Rabu, 15 Juli 2009

Social Protection in Asia Workshop di Hanoi - Vietnam

Saku mendapat kehormatan mewakili Indonesia melalui organisasiku (Mitra Wanita Pekerja Rumahan Indonesia) menghadiri workshop mengenai Social Protection in Asia di Hanoi Vietnam pada 1 - 5 Juni 2009 kemarin. Aku hadir sebagai salah satu partner peneliti untuk kasus Pekerja Rumahan di Indonesia.
Bukan sekedar kehadiranku, bukan pula fasilitas cukup mewah yang kuterima, maklum transit hotelku aja di Hotel Ciputra Jakarta yang bersebelahan dengan Mall Ciputra, bukan pula rekan2 Indonesia lain yang berasal dari organisasi2 besar dan ternama seperti dari SMERU (Bu Anti dan Mas Sirojudin) dan BAPPENAS (Pak Rudy). Bukan pula fasilitas workshop di Hotel Fortuna, hotel bintang lima di Vietnam sana, dengan fasilitas 1 kamar untuk 1 orang peserta. Tetapi lebih pada keherananku mengenai Vietnam.
Berangkat dengan sedikit masalah di sana sini tetapi dapat diatasi dengan baik, datang melihat bandara yang sederhana, perjalanan ke kota yang penuh debu karena pembangunan infrastruktur baik jalan, bangunan, dan perusahaan2 baru, serta tentu saja perumahan mewah. Vietnam berbenah dan membangun dengan kecepatan yang sulit di bayangkan.
Aku berfikir, apakah Vietnam seperti negaraku dalam membangun, seperti Indonesia? ternyata tidak, jauh, bahkan sangat jauh.
Di negara Paman Ho (Ho Ci Minh), nyaris tidak konflik dalam penggusuran karena tempat tinggal baru yang layak serta pekerjaan pengganti disiapkan oleh Pemerintah dengan baik. Pedagang akan tetap jadi pedaganga, petani akan tetap jadi petani di daerahnya yang baru dengan fasilitas yang sangat memadai. Beda dengan aparat2 negaraku yang menggusur ya sekedar menggusur seperti mengusir hewan liar perusak pemandangan.
Di negara Paman Ho bangunan2 lama sisa2 peninggalan Perancis dan Rusia tetap dibiarkan kokoh berdiri dengan tata kota yang seperti apa adanya, sedangkan pengembangan daerah baru begitu tertata, tidak seperti di negaraku semua dihancurkan, di bumi hanguskan, semua yang bernilai sejarah dirusak hanya untuk mengganti sesuatu yang baru, sangat moody dan hanya mengikuti trend sesaat, sangat jangka pendek, secupep pemikiran para birokrat dan penguasa negeri ini, keuntungan sesaat dengan menghancurkan yang hakiki.
Di negara Paman Ho bukan utang dari luar negeri yang jadi andalan, tetapi kekuatan sendiri dalam membangun. Ekonomi yang berbasis pertanian (ekportir beras kedua terbesar setelah thailand dan kopi setelah brasil), dipergunakan untuk membangun infrastuktur pertanian dengan baik. Daerah industri dikembangkan, banyak investor asing masuk, tetapi diharuskan memproduksi dengan kandungan lokal dan tenaga lokal yang tinggi. Industrialisasipun di beri zona khusus yang jauh dari areal pertanian, bahkan jauh dari areal pemukiman.
Ekonomi kerakyatan di kedepankan, nyaris tidak ditemui mall besar di negara itu. Semua berbasis toko2 kecil yang dimiliki oleh warga lokal. Berjajar rapi dengan zoning yang fungsional. Ditengah2 kota Hanoi akan ditemui belasan zona belanja dengan masing2 zona untuk masing2 produk. Produk2 yang dijualpun berbasis produk dalam negeri sendiri, produk anak negeri. Sedangkan produk2 impor dari manca negara di beri zona tersendiri, yang jelas2 dijauhkan dari pusaat keramaian. Pembeli produk impor harus bersusah2 menjangkaunya. Benar2 cara2 yang berpihak pada anak negeri.
Bahkan kesan keberpihakan pada produk anak negeri sangat terasa di bandara. Kita datang, keluar sebentar banyak berjajar money changer yang siap menerima uang dollar dengan uang dong setempat. Tetpai jangan harap kita menemui yang namanya money changer saat kita akan meninggalkan negara itu, di keberangkatan hanya ditemui berjajar toko2 dan gerai2 tanpa ada money changer satupun. Toko2 dan gerai2 itupun hanya menjual produk2 setempat dan nyaris tidak ada produk impor di jual disana. Sangat jauh berbeda dengan bandara2 di Indonesia yang berlomba menjual rpduk2 impor ketimbang produk anak negeri. Terlihat perbedaan keberpihakan pengambil kebijakan di negara ini, jelas2 lebih berpihak pada manca ketimbang anak negeri. Jelas2 berpihak pada keuntungan finansial ketimbang harga diri sebagai bangsa mandiri yang merdeka dan berdaulat.
Belum lagi kala bertemu dengan rekan2 sesama pendamping UKM, iri berat di buatnya. Bagaimana cerita mereka tentang dukungan Pemerintah Paman Ho terhadap kawan2 pengusaha mikro, mulai dari pendirian, pendampingan, permodalan, sampai ekspor, semua serba muda dan serba terlindungi. Usaha kecil berkembang dengan pesat dan mampu duduk sejajar dengan produsen masal seperti pabrik. Sangat berpihak pada rakyat dan orientasi pada ekonomi kerakyatan dan pemerataan yang sesungguhnya. Sedangkan di negaraku, ekonomi kerakyatan dan pemerataan hanya jargon dan bahan kampanye yang hanya sekedar janji2 surga semata. Kenyataannya, semua diserahkan pada pasar. Produsen besar menggulung pengusaha kecil, produk impor melindas produk anak negeri. Rakyaat benar2 dijadikan tumbal atas nama pembangunan ekonomi dan kemakmuran.
Akh ... kalau diteruskan, hanya kekecewaan dan kesedihan saja yang terungkap. Bahwa negeri ini merupakan negeri yang terjual, negeri yang para penguasanya lebih berpihak pada pemodal dan juga pada kekuatan asing ketimbang memberdayakan anak negeri. Lebih senang mereguk kesenangan sesaat ketimbang bersakit2 dahulu untuk memperoleh kebahagiaan hakiki bagi seluruh anak negeri. Menyakitkan benar2 menyakitkan.

Ohya, mengenai presentasi dan pekerjaan kami, ternyata kita tidak kalah kalau tidak bisa dikatakan malah menjadi yang terbaik diantara presentasi negara2 lain dan bahkan dalam hal kedalaman penelitian, kita masih tergolong yang terbaik.
Bukan karena kami pandai atau jumwa, segalanya jadi begitu indah dan meyakinkan karena permsalahan yang kami hadapi begitu kompleks, begitu banyak alternatif pemikiran yang kami sajikan karena tiadanya jalan yang jelas dalam perlindungan sosial di negeri ini. Begitu tinggi sajian konsep yang kami sajikan, begitu holistik pemecahan masalah yang kami tawarkan, karena tidak ada konsep dan pemecahan masalah yang pasti di negeri ini. Kesimpang siuran dan ketidak niatan pengambil kebijakan dan pelaksana lapangan menjadikan perlindungan sosial sebagai sesuatu janji indah negeri di atas awan yang sangat sulit diterapkan di negara ini.
Sedangkan di negara lain, begitu sederhana konsep mereka, begitu mudah jalan keluar yang diambil untuk pelaksanaan perlindungan sosial, karena negara telah menyiapkan semuanya dan menerima dengan mudah konsep yang ditawarkan. Rakyat menjadi yang utama dan benar2 diutamakan, sesuatu yang muskil di negara ini.
Indonesia menyajikan sesuatu yang indah, Indonesia menjadi daya tarik, Indonesia menjadi perhatian pada forum itu, bukan karena pelaksanaan perlindungan sosial tetapi karena herannya rekan2 dari negara2 se Asia, bahwa Indonesia yang mereka nilai sebagai salah satu negara besar dan kaya di Asia, ternyata begitu tidak pedulinya pada rakyatnya, begitu liberal dan kapitalis melebihi Amerika yang gembongnya kapitalis liberal. Mereka heran bagaimana mungkin Indonesia yang negara besar, salah satu pencetus ide non blok, yang sangat berpihak pada kemerdekaan dan kerakyatan pada awal2 kemerdekaan negara2 di Asia saat ini bisa menjadi negara yang memperbudakkan diri pada kapitalisme dan liberalisme, bahkan lebih kapitalis dan liberal ketimbang Amerika.
Hebatkan Indonesia ..... hebat abis ........

Semoga pengalaman dan catatanku ini berguna bagi siapapun yang membacanya.
Salah satu perjalanan hidup yang semakin meyakinkanku untuk bekerja dan berjuang untuk rakyat. Berjuang sampai benar2 MERDEKA dan BERDAULAT ........

Malang, 15 Juli 2009