Kamis, 12 Agustus 2010

Ajaran2 Ki Ronggi Warsito

Pendahuluan

Tulisan ini ditujukan untuk mengenal salah satu Pujangga Besar di Tanah Jawa ini, Raden Ngabehi Ranggawarsita, seseorang yang dengan karyanya dapat member warna tersendiri dalam kehidupan masyarakat dan komunitas Jawa serta orang-orang Jawa yang masih mau menjadi Jawa. Tulisan ini akan sedikit membahas siapa, apa karyanya, apa pemikian (filosofi) yang beliau ingin sampaikan, dan nilai-nilai apa yang ingin beliau sampikan pada kita. Tulisan ini disadur , disarikan, diadaptasi dan diterjemahkan dari 2 (dua) tulisan yang ditulis di MajalahPanjebar Semangat, No 14 dan 15, 14 dan 21 Juni 2008. Banyak kekurangan, kelengkapan karya, pemaknaan dan berbagai kekurangan lain yang ada dalam tulisan ini, hal ini dikarenakan keterbatasan saya mengenai Sang Pujangga Besar Tanah Jawa, semoga sedikit memberikan cahaya bagi pembaca. Pengayaan bacaan dan sumber sebaiknya dilakukan oleh siapapun pembaca yang tertarik untuk belajar dan ngangsu kawruh mengenai nilai-nilai dan filosofi Jawa, khususnya yang untuk karya-karya Sang Pujangga.

Riwayat Hidup

Raden Ngabehi Ranggawarsita

Lahir pada 10 Dulkaidah 1728 atau 15 Maret 1802.

Nama kecilnya adalah Bagus Burhan.

Meninggal pada 5 Dulkaidah 1802 atau 24 Desember 1873.

Di makamkan di Dusun Dalar, Desa Trucuk, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah.

Gelar yang disandang oleh beliau adalah Abdi Dalem Kaliwon Nem Kadipaten Anom Pujangga ing Kraton Surakarta Hadiningrat.

Karya-karya beliau mencapai lebih dari 60 karya.

Thema-thema karya beliau meliputi (1) pengetahuan bahasa dan sastra, (2) dongeng, (3)roman klasik, (4) kesenian, (5) cerita pewayangan, (6) ramalan, (7) filsafat, dan lain-lainnya.

Mahakarya

1. Kitab Sabdajati

Berupa tembang macapat megatruh (sapupuh), terdiri dari 19 pada.

Berisi nasehat2 untuk :

Berlaku baik untuk menuju keselamatan, berhati2 dan tidak berbuat salah, melakukan kesalahan akan menjadi tempat (sarang) iblis.

Memintalah (berdoa) dengan sungguh pada Illahi, karena akan terjadi jaman binggung (pakewuh). Jaman yang membinggungkan, kesengsaraan dan keributan, tiap orang mencari benarnya sendiri, dan tidak ada kesetiaan. (setan mono nggawa kendhi isi dhuwit emas).

2. Kitab Kalatida

Tembang Sinom (sapupuh), 12 pada. Negara yang sepi dengan tata Negara yang ruwet, tidak ada teladan yang baik dan meninggalkan sifat2 terpuji. Pra cendikiawan terseret ombak katatida, kehidupan menjadi susah. Banyak orang baik tetapi tidak memapu mencegah kalabendu, malah semakin ruwet.

Jaman edan, melu edan ora tahan, yen ora nglakoni edan ora kebagian wusana keluwen. Keadilaning Gusti Allah, sak beja-bejane wong kang lali iso beja wong kang eling lan waspada.

3. Kitab Sabdapranawa

Tembang Dandang Gula, 12 pada.

Jaman Edan, merupakan kehendak Gusti, jaman dengan kwkawatiran, jaman dengan aturan yang acak2an, hidup menjadi sangat susah.

Kurangilah nafsu jahat, memikirkan y ang baik, mengayomi sesame dan memerangi kejahatan, hendaknya berterus terang untuk menciptakan kebaikan bersama.

Munculnya aji mumpung, korupsi dan keserakahan merajalela, sulit berbuat baik (ewuh aya in tyase), lupa pada keutamaan (llimut ing kautaman), kejahatan dimana2, sifat kurang menjadi2 (watak candhala andadhra), kehilangan ketentraman (sirna tentreming ati), banyak ratap tangis (wong udarasa manggung).

Waspadalah, karena akan berganti dengan jaman baik (taun windu kuning, tekane wewe kuning,ageman tebu wulung kanggo mateni wedhon, sing ilere mbebayani banget). Selanjutnya akan muncul jaman baik (jaman becik) karena kekuasaan Hyang Maha Mulya. Datangnya wahyu, kebaikan, dan keselamatan, menuju kemakmuran bersama (rayayu harja mulya).

4. Kitab Sabdatama

Tembang Gambuh (sapupuh), 22 pada.

Pada jaman kalabendu manusia hendaknya pandai2 mengelolah nafsu supaya tidak berbuat jahat dan maksiat. Menjaga hati, mengayomi sesame dan mencegah kejahatan. Aturan semakin banyak dibuat tetapi keserakahan menjadi2. Kebingungan dan ratap tangis dimana2 (njugrugake gunung ora ana sing ngalang2i).

Gambaran dalam warna kuning, merah,d an biru. Taun windu kuning, ana wewe putih, nyekel gaman tebu wulung nedya ngrangsang pocongan. Datangnya Wahyu tidak dapat dicegah, keselamatan akan datang. Para cerdik pandai bersatu hati menghadapai bahaya dan berani bertindak untuk kebaikan.

5. Kitab Jaka Lodang

Tembang Macapat (3 pupuh - Gambuh, Sinom, Megatruh).

Berisi ramalan Ranggawarsitan:

1) Pupuh Gambuh

Mulai tahun 1850 Saka (1919 Masehi) dan setelahnya.

Gunung meletus, tanah longsor dan lain2nya.

2) Pupuh Sinom

Mulaih tahun 1860 Saka (1929 Masehi)

Kejadian2 yang selalu berlawanan.

Kehendak baik selalu gagal, penguasa berlaku korup, dan orang pandai menjadi bodoh danmempu.

3) Pupuh Megatruh

Suatu saat nanti.

Orang ngantuk menemukan harta benda dan kebaikan ada dimana2.

6. Citra Prabu Watu Gunung

Dalam kitab Pustakakara Jupurwa, Raden Watugunung menjadi Raja di Giligwesi dan menikahi ibunya sendiri (Basundari atau Sinta).

Catatan-Catatan

1) Kalabendu

Jaman dalam Kitab Jangka Jayabaya

Kalabendu (1701—1800 )Sadana, Lodra, Jayta

Kalasuba (1801—1900) Wibawa, Saeka, Santosa

Kalasumbaga (1901—2000) Hendana, Karetna

Kaladrata (2001—2100) Darmana, Watara, Iseka.

Kalabendu Ranggawarsitan:

Waluyane benjang yen wus ana wiku, memuji ngesthi sawiji, sabuk lebulir majenun, gali bedan tudang-tuding, ana cahken sakehing wong (Jaman yang menyedihkan akan kembali menjadi baik dan tenteram jika para alim ulama kembali mengumandangkan puji2an dan pemikiran yang baik).

2) Taun Windu Kuning

Datangnya wewe putih, membawa senjata tebu wulung untuk mengalahkan pocongan.

3) Kethuk isi duwit mas

Jaman Kalabendu akan lewat dan berganti dengan jaman Kalasuba.

Jaman yang membahagiakan, orang menganggur saja kaya raya.

Anjuran dan Ajaran

Ing Jaman edan, wong dadi binggung. Melu edan ati ora tekan, ora melu edan ora kebagian, wusana keluwen. Nangging sabegja-begjane wong lali, luwih begja wong kang eling lan waspada.

Ajaran dan pertanda yang masih berguna sampai saat ini dan perlu perenungan lebih dalam lagi untuk menemukan mutiara2 terpendam lainnya.

KAWRUH KEJAWEN

PRAKATA

Belajar KEJAWEN, bukan semata belajar ritual2 Jawa tetapi lebih pada belajar mengenai filsafat hidup (falsafah) ala Jawa.

Sebagai manusia2 yang hidup (makan, minum, dan beraktivitas) di tanah Jawa, seharusnyalah setiap manusia itu tahu mengenai pandagan hidup tanah yang didiaminya. Artinya belajar KEJAWEN adalah suatu keharusan. Tetapi saying karena bengkoknya pemahaman, KEJAWEN hanya dianggap sebagai ritual2 animisme dan dinamisme tinggalan manusia2 prasejarah. Bahkan oleh para penganut Agama2 Samawi telah dijadikan barang haram yang najis untuk disentuh, padahal merekalah ajaran2 import yang masuk dan menjajah JAWA.

KEJAWEN telah ditinggalkan, KEJAWEN telah dilupakan, bahkan KEJAWEN telah dinistakan dan dihinakan sebagai haram jadah yang tidak boleh disentuh sama sekali. Pantaslah kalau sekarang ini banyak orang JAWA yang telah kehilangan kejawaannya (lali jawane) dan bahkan ada yang menolak menjadi JAWA sehingga menjadi perusak tanah JAWA (ora jawa). Tanah JAWA menjadi merana karena tatanannya telah dirusak dan porak porandakan oleh pemikiran2 bengkok dan sesat, yang ingin menjadikan JAWA hanya sebagai tanah bukan JAWA sebagai suatu kesatuan kosmos, kesatuan dunia.

Tulisan ini disajikan untuk membuka mata hati dan mata bathin manusia2 yang hidup di tanah JAWA dan manusia2 keturunan JAWA yang bukan lagi lupa tetapi menolak dan bahkan menistakan JAWA dan KEJAWEN sebagai tatanan dan ajaran hidup di atasnya. Tulisan ini hanya sebagian kecil, hanya beberapa butir tanah diantara bermilyar butiran tanah di Tanah JAWA yang tak terhitung jumlahnya.

Tulisan yang terbatas ini disajikan berdasar secuil pengetahuan penulis dan dilengkapi dengan saduran dan adaptasi dari 2 tulisan dari Majalah Panjebar Semangat, edisi 41 dan 49, tanggal 11 Oktober dan 6 Desember 2008. Tulisan yang sederhana dan jauh dari sempurna ini mewajibkan siapapun pembacanya untuk memperkaya pengetahuan dan pemahaman mengenai JAWA dan KEJAWEN dari berbagai sumber yang bisa didapatkannya. Semoga berkenan dan bermanfaat. Hayu, Hayu, Rahayu.

KAWRUH KEJAWEN

Kawruh Kejawen merupakan filsafat hidup (falsafah) alah JAWA.

Saat ini diartikan berbeda oleh banyak orang, Kejawen dianggap sebagai suatu aliran kepercayaan., bahkan dianggap sebagai AGAMA JAWA.

KEJAWEN mencakup ide dasar kehidupan, mengenai adanya Tuhan, Dunia dan isinya, Asal usul manusia, Manusia dan alam, dan Tuntutan untuk hidup. Bedanya, KEJAWEN tidak memiliki Kitab Suci seperti Agama2 yang ada.

Filsafat Jawa berasal dari oleh rasa dan spiritual orang Jawa sejak dahulu kala. Tuhan (Gusti kang Murbeng Dumadi) telah menaruh benih spiritual pada masing2 manusia untuk setiap bangsa. Spiritualisme Jawa bermanfaat untuk hidup di tanah Jawa dan untuk membangun peradaban Jawa.

JAWA merupakan wilayah tropis dengan gunung vulkanis yang beragam sehingga tanahnya subur dan keanekaragaman hayati yang cukup lengkap. Tetapi tanah JAWA juga rentan terhadap bencana alam, sehingga pengertian dan nilai2 hidup dibangun atas pemahaman tersebut.

JAWA juga bersinergi (campur wayuh) dengan berbagai ajaran seperti Hindu, Buddha, dan Islam. Eksistensi JAWA susah dirunut karena semua bukti tertulis dan tercatat merupakan sinkritisme dengan Hindu, Buddha, dan Islam. Catatan asli tentang JAWA yang dapat dirunut adalah HARI PASARAN, WUKU, MANGSA, WINDU, dan TAUN serta DINA PARINGKELAN. Bukti kejawaan nampak dalam mahakarya MAHABHARATA dan RAMAYANA yang penuh dengan ide2 JAWA, termasuk silsilah raja2 yang berbeda dengan yang di India.

Masuknya Islam menambah kasanah filsafat JAWA dalam bentuk Layang, Suluk, dan Serta Kapunjangan. Berisi ajaran2 Tasawuf Islam yang kaya dengan unsur konseptualisme JAWA. Contohnya adalah sejarah nabi2 Islam yang bercampur dengan dewa2. Cerita Kakawin Serat Kapunjangan merupakan penyikapan JAWA terhadap masuknya ‘ agama baru’ dari luar JAWA. JAWA sangat pluralistis dan siap hidup dengan perbedaan agama dan kepercayaan. Bukannya dikooptasi, tetapi JAWA menjadi warna baru dari tiap2 agama impor yang masuk ke tanah JAWA.

JAWA memiliki bukti kehidupan, baik berupa fosil maupun artefak dari ribuan tahun yang lalu, tetapi JAWA juga penuh dengan artefak yang berbau agama impor. Hal ini membuktikan bahwa JAWA adalah tempat yang nyaman untuk berkehidupan dan perkembangan budaya dan peradaban.

Dasar2 Filsafat JAWA

1. Kesadaran Religius

Keimanan dan kepercayaan kepada sesembahan (Tuhan Semesta Alam) yang mendasari munculnya sistem religi dan ritual penyembahan.

2. Kesadaran Kosmis

Menggambarkan hubungan manusia dengan alam semesta dan isinya. Menciltakan ritual sesaji dengan falsafah “sakabehing kang ana manunggal kang kapurbalan kawasesa dening Kang Murbeng Dumadi”.

3. Kesadaran Peradaban

Pemahaman mengenai hubungan manusia dengan manusia.

Berwujud ajaran:

· Memayu hayuning pribadi,

· Memayu hayuning kaluwarga,

· Memayu hayuning bebyaran,

· Memayu hayuning Negara,

· Memayu hayuning bawana.

Menurut Prof. Dr. Branders (1889), manusia JAWA telah memiliki 10 dasar kehidupan asli yang ada sebelum masuknya agama2 impor, yaitu:

(1) Pertanian, sawah, dan irigasi, (2) pelayaran, (3) perbintangan, (4) wayang, (5) gamelan, (6) batik, (7) metrum, (8) cor logam, (9) mata uang, dan (10) system pemerintahan.

Budaya2 tersebut ada sejak JAWA kuno dan merupakan kedaulatan spiritual JAWA, filsafat yang digunakan untuk hidup di tanah JAWA, filsafat hidup lengkap di JAWA.

Kesempurnaan, Kesatuan, dan Keutamaan

1. Kesadaran Religius

Iman adanya Tuhan (sesembahan) yang memunculkan ritual penyembahan.

Sembah Raga, Jiwa, dan Sukma, yang mencakup semua daya hidup berupa cipta, rasa, karsa, dan daya spiritual. Bertentuk Tapa Brata (Durung wenangamemuja lamun during tapa brata).

Terdiri dari 5 bentuk:

1) Mengurangi makan dan minum (anerima),

2) Mengurangi keinginan hati (eling),

3) Mengurangi nafsu birahi (tata susila),

4) Mengurangi nafsu amarah (sabar), dan

5) Mengurangi berkata2 atau bercakap2 yang sia2 (sumarah).

Tapa Brata bukan tata cara penyembahan seperti pada agama impor tetapi hanya sarana untuk menata kekuatan hidup (dayaning urip). Tapa Brata merupakan sifat totalitas menjalani hidup yang benar dan baik menuju kesempurnaan. Hidup yang sempurna (sukma) akan bersatu dengan Sang Sempurna (Guruning Ngadadi). Ilmu Kesempurnaan (Kawruh Kasampurnan)

2. Kesadasaran Kosmis

Hubungan manusia dan alam semesta, semua yang ada di semesta adalah satu (manunggal) yang ada berasal dari Sang Pencipta (Sukma Kawekas, Sah Hyang Wisesaning Tunggal, Sanghyang Wenang). Mendasari pengetahuan kesatuan, berupa hubungan kosmis-magis manusia dan alam seisinya.

Bentuk2 ajarannya adalah :

1) Bersatunya alam kecil (mikrokosmos) dengan alam besar (makrokosmos)

Alam dan seisinya, termasuk manusia adalah satu kesatuan.

2) Bapa Angkasa dan Ibu Bumi

Manusia dibangun dari unsur cahaya (cahya lan teja) dan unsur bumi (bumi, banyu, geni, lan angin utowo hawa).

3) Kakang Kawah Adi Ari2

Kelahiran berupa makhluk (Sabda Tuhan) yang tampak maupun tidak tampak. Kesadaran kesatuan akan semesta menjadikan manusia JAWA memiliki ritual SLAMETAN dan SESAJO (caos dahar). Sebagai contoh adalah SLAMETAN BROKOHAN.

Pengetahuan mengenai kesatuan disebut dengan persatuan manusia dan Tuhan (manunggaling kawula lan Gusti). Merupakan puncak filsafat JAWA.

3. Kesadaran Peradaban

Berupa hubungan manusia dengan sesama manusia.

Manusia sebagai makhluk utama haru berhubungan dengan sesame manusia dalam keutamaan (beradab). Mewujudkan kesadasaran berintergrasi apalagi dalam bernegara. Konsep “tata tentrem kerta raharja” menjadi tujuan utama. Sebagai konsep bermasyarakat dan bernegara.

Pengetahuan keutamaan merupakan ajaran untuk menciptakan dunia yang indah (memayu hayuning bawana). Untuk menciptakan dunia yang indah dibutuhkan keutamaan budi pekerti, nilai kerukunan, dan keselarasan yang menjadi nilai utama.

Sehingga, FILSAFAT JAWA (KEJAWEN) merupakan filsafat keutamaan, filsafat keselarasan, dan filsafat keberadaban untuk menciptakan hidup yang rukun, selaras, dan beradab yang berlandaskan budi pekerti dan spiritualitas yang luhur.