Minggu, 22 Februari 2015

Ketimpangan dan Kesimpangsiuran Atas Nama Pembangunan....

Atas nama pembangunan yang berpihak pada pasar dan pemodal, mengaibatkan terjadinya ketimpangan.  Bukan saja antara pemodal dan tak bermodal, bukan saja desa dan kota, bukan saja Jawa dan luar Jawa tetapi bahkan sampai terjadi antar pasar itu sendiri. Data yang dirilis oleh Koran Surya (Selasa, 17/02/2015) menunjukkan pertumbuhan bisnis ritel (pertokoan, minimarket, dan toko kelontong) darintahun 2011 sampai dengan 2014 di Jawa Timur mengalami peningkatan pesat tetapi juga sekaligus menciptakan jurang yang semakin menganggah lebar.
Data yang didasarkan dari data Badan Pusat Statistik (BPS) Jawa Timur menyebutkan bahwa jumlah Desa dan Kelurahan yang perkembangan ritelnya naik selalu diiringi dengan sarana perdagangan toko kelontong yang semakin mengecil.  Sedangkan minimarket yang adalah peaaing dari toko kelontong berkembang pesat sampai tingkat 40,47%.  Pada tahun 2011 tercatat di wilayah pedesaan minimarket  berjumlah 1.448 dan meningkat menjadi 2.034 pada tahun 2014.  Tercatat pula jumlah pasar desa pada tahun 2011 berjumlah 2.066 pasar desa turun menjadi 1.402 pasar desa pada tahun 2014.  Pasar desa semakin hilang bukan saja karena dampak dari pemekaran desa menjadi kelurahan tetapi yang terbesar karena dampak kalah bersaing dengan minimarket yang semakin menjamur di pedesaan.
Akibat dari ekspansi minimarket yang disertai dengan ekspansi modal ke desa mengakibatkan perniagaan rakyat menjadi terhimpit bahkan terlindas.  Ketiadaan atauran dan perlindungan oleh Pemerintah Pusat dan Daerah menjadikan minimarket merajalela dan menghabisi toko kelontong dan bahkan pasar desa sebagai sarana perniagaan rakyat.  Bagaimana akan berbicara tentang ekonomi rakyat dan ekonomi kerakyatan bila pemodal ritel dibiarkan atau bahkan difasilitasi menguasai perniagaan rakyat, bahkan sampai di pedesaan. Jawa Timur dengan 7.721 Desa dan 781 Kelurahan yang tersebar di 664 Kecamatan di 38 Kabuapaten dan Kota bersiap diri menjadi ajang investasi ritel bermodal besar yang akan menguasai perniagaan desa dan akan menghabisintoko kelontong dan bahkan pasar desa.  Kemana pemerintah? Mengapa Pemerintah tidak hadir? Apakah mereka bersekongkol dengan para pemodal? atau jangan2, dibalik seragam coklat mereka berdasi karena memilikimperan ganda sebagai investor2 lokal yang menjadi perpanjangan tangan dari para pemodal besar?

Kabar lain tentang ketimpangan akibat investasi besar juga terjadi antara Jawa dan Luar Jawa.  Menteri Perindustrian dikabarkan merencanakan pembangunan 13 Kawasan Industri di Luar Jawa sampai tahun 2020 karena masih terjadi ketimpangan yang sangat besar antara Jawa dan Luar Jawa. Berdasarkan data Ditjen Pengembangan Perwilayahan Industri, kontribusi ekonomi Jawa sebesar 57,99% sedangkan Luar Jawa hanya sebesar 42,01%.  Kontirbusi ekonomi non migas di Jawa sebsar 72,78% sedangkan Luar Jawa hanya 27,22%.  Jumlah industri besar dan sedang di Jawa sebesar 83,04% dibanding hanya 16,96% dari Luar Jawa. Adapun Penanaman Modal Ading di Jawa sebesar 74,11% sedangkan di aluar JAwa hanya sebesar 25,89% saja. Sedangkan Penanaman Modal Dalam Negeri di Jawa mencapai 64,67% dibanding dengan 35,33% dari seluruh Luar Jawa.
Tetapi data yang kontradiktif menunjukkan, ekspor industri dari Jawa hanya sebesar 35,58% sedangkan Luar Jawa berkontribusi sebesar 61,42%.  Sedangkan disektor  impor sektor industri di Jwa menelan 77,81% sedangkan dari Luar Jawa hanya sebesar 22,19% saja. Artinya bahwa industri menengah dan besar sebagian besar ada di Jawa dan menyerap konsumsi impor industri yang besar tetapi hanya kecil sekali berkontribusi terhadap ekspor industri.  Industri2 di Jawa  hanya berlaku sebagai konsumen yang baik dari industri lain dan tidak menjadi produsen bagi industri.  Sehingga, bukan saja menyebabkan ketimpangan, pembangunan industri di Jawa bahakn akan merusak struktur ekonomi nasional secara keseluruhan.  Oleh sebab itu, kebijakan membangun kawasan industri di Luar Jawa sangatlah tepat.  Bukan saja melakukan pemerataan tetapi juga akan memperbesar kontribusi terhadap perekonomian nasional secara berimbang dan memberi dampak positif. Tetapi, tentu saja dibutuhkan dana yang tidak sedirkit dibutuhkan dana sebesar IDR55,44 untuk pembangunan infrastrukturya saja, tetapi akan berdampak multiplier bagi pembangunan ekonomi setempat dan ekonomi nasional.

Ketimpangan akibat ekspansi yang berlebihan dan ketakberpihakan pemerintah terhadap rakyat menjadikan jurang pemisah antara pemodal dan rakyat menjadi semakin mengangah.  Dibutuhkan bukan hanya keberpihakan tetapi juga kemauan negara untuk bertindak dngan berpihak pada rakyat.  Bila tidak, bukan saja jurang mengangah semakin besar dan dalam antara desa dan kota dan antara Jawa dan Luar Jawa.  Sekali lagi, bukan sekedar pemahaman tetapi sikap, tindakan, dan keberpihakan negara pada rakyat dinantikan untuk menjadikan Indonesia yang adil dan makmur sekaligus sejahtera dan  beradab.

Malang, 22 Februari 2015