Rabu, 21 Oktober 2015

TAMBANG LIAR: MERUSAK DAN MEMBUNUH BERKACA PADA TRAGEDI SELOK AWAR-AWAR, PASIRIAN, LUMAJANG


Kronologis Penolakan Tambang Pasir Di Desa Selok Awar – Awar Kecamatan Pasirian Kabupaten Lumajang Jawa Timur
Laporan Investigasi Oleh:  ACHMAD ZAKKY QHUFRON, SH

Awal terjadinya penolakan aktivitas penambangan pasir oleh masyarakat Desa Selok Awar-Awar, dimulai sekitar bulan Januari 2015. Bentuk penolakan masyarakat berupa pernyataan sikap FORUM KOMUNIKASI MASYARAKAT PEDULI DESA SELOK AWAR – AWAR KECAMATAN PASIRIAN KABUPATEN LUMAJANG, yang dibentuk oleh 12 warga masyarakat, yaitu :
Bapak TOSAN; Bapak IKSAN SUMAR; Bapak ANSORI; Bapak SAPARI; Bapak SALIM KANCIL; Bapak ABDUL HAMID; Bapak TURIMAN; Saudara M.HARIYADI; Saudara ROSYID; Saudara MOHAMMAD IMAM; Saudara RIDWAN; Bapak COKROWIDODO RS
Mereka melakukan gerakan advokasi protes tentang penambangan pasir yang mengakibatkan rusaknya lingkungan di Desa mereka dengan cara bersurat kepada Pemerintahan Desa Selok Awar-Awar, Pemerintahan Kecamatan Pasirian danPemerintahan Kabupaten Lumajang/Bupati Lumajang.
Sekitar bulan Juni 2015, FORUM warga menyurati Bupati Lumajang untuk meminta AUDENSI tentang penolakan tambang pasir. Tetapi tidak di respon oleh Bupati yang diwakili oleh CAMAT Pasirian. AUDENSI tersebut tentang keberatan FORUM warga terhadap aktivitas penambangan yang Izin penambangannya berkedok izin pariwisata.
Pada 9 September 2015 FORUM warga melakukan aksi damai penyetopan aktivitas penambangan pasir dan penyetopan truk muatan pasir di Balai Desa Selok Awar-Awar, yang menghasilkan Surat Pernyataan Kepala Desa Selok Awar-Awar untuk menghentikan aktivitas penambangan pasir di Desa Selok Awar-Awar.
Pada 10 September 2015 muncul pengancaman dan pembunuhan yang dilakukan oleh TIM PREMAN bentukan dari  Kepala Desa Selok Awar – Awar kepada Bapak TOSAN. Tim PREMAN tersebut diketuai oleh P. DESIR. Dan sebelum itu juga ada beberapa anggota FORUM warga yang pernah diancam oleh TIM PREMAN tersebut.
Pada 11 September 2015  perwakilan FORUM warga melaporkan kejadian Tindak Pidana pengancaman ke POLRES LUMAJANG yang ditemui dan/atau diterima langsung oleh KASAT RESKRIM LUMAJANG Bapak HERI. Pada saat itu KASAT menjamin dan akan merespon pengaduan FORUM  yang telah dikordinasikan dengan pimpinan POLSEK PASIRIAN.
Pada tanggal 19 September 2015, FORUM warga menerima Surat Pemberitahuan dari POLRES LUMAJANG terkait nama-nama Penyidik POLRES yang menangani kasus pengancaman tersebut.
Pada tanggal 21 September 2015 , FORUM warga mengirim Surat Pengaduan terkait ILEGAL MINING yang dilakukan oleh oknum Aparat Desa Selok Awar-Awar di daerah hutan lindung Perhutani.
Pada tanggal 25 September 2015, FORUM warga mengadakan kordinasi dan konsolidasi dengan masyarakat luas bahwa akan melakukan aksi penolakan tambang pasir dikarenakan aktivitas penambangan tetap berlangsung dilakukan oleh pihak Penambang. Rencana aksi dilakukan besok pagi harinya tanggal 26 September 2015 Pukul 07.30 WIB.
Pada tanggal 26 September 2015 kurang lebih pukul 08.00 WIB, terjadi penjemputan paksa dan penganiayaan terhadap 2  orang anggota FORUM warga yaitu Bapak TOSAN dan Bapak SALIM / P. KANCIL yang  dilakukan sekelompok preman yang dipimpim oleh DESIR  yang mengakibatkan meninggalnya Bapak SALIM/P.KANCIL dan Luka Berat; Bapak TOSAN.
Kejadian Alur TKP  Korban P. TOSAN
Sekitar Pukul 07.00 WIB, Pak Tosan menyebar selebaran di depan rumahnya bersama saudara Imam, kemudian ada satu orang kebetulan melintas dan berhenti sempat marah-marah, setelah itu dia meninggalkan pak Tosan dan Imam.
Sekitar pukul 07.30  WIB, sekelompok preman sekitar  kurang lebih 40 orang bermotor mendatangi P. TOSAN kemudian mengeroyok. Sebelum melarikan diri, Imam, teman korban sempat melerai kemudian preman berbalik ingin menyerang IMAM. Karena IMAM sendirian dan preman memakai dan membawa kayu, batu dan clurit, IMAM diminta korban untuk melarikan menyelamatkan diri dari lokasi tersebut. Kemudian pak Tosan melarikan diri dengan menaiki sepeda angin, namun masa terus mengejar. Pada saat di lapangan Persil, korban terjatuh, di aniaya dengan memakai pentungan kayu, pacul, batu dan celurit. Setelah korban terjatuh, preman sempat melindas dengan sepeda motor.
Kemudian setelah beberapa lama datang teman P.TOSAN yaitu RIDWAN yang telah menerima kabar bahwa P.TOSAN dianiaya oleh 30 orang lebih. Lalu RIDWAN hendak melerai preman agar melepaskan P.TOSAN. Kemudian para preman berbalik hendak mengeroyok RIDWAN, lalu RIDWAN menantang pimpinan preman, yang bernama Deser. Kemudian para preman berbalik dan meninggalkan P.TOSAN yang sudah penuh luka berat dan RIDWAN  mengantarkan P.TOSAN ke PUSKESMAS Pasirian dan dirujuk ke RSUD Lumajang dan RS.BHAYANGKARA Lumajang.

Kejadian Alur TKP Korban Alm. P.SALIM KANCIL
Setelah dari menganiaya P.TOSAN, para preman menuju rumah P.SALIM KANCIL. Selanjutnya para preman menjemput paksa P. SALIM/KANCIL di rumahnya. Pada saat kejadian, Alm Pak Kancil sedang mengendong cucunya yang masih berusia sekitar 5 tahun. Melihat gerombolan preman datang kerumahnya, korban menaruh cucunya dilantai, kemudian preman mengikat kedua tangan korban, memukuli dengan kayu dan batu. Kemudian preman membawa P.SALIM/P.KANCIL ke Balai Desa Selok Awar – Awar dengan cara diseret. Jarak rumah korban dengan Balai Desa sekitar 2 kilo meter. Pada saat di Balai Desa korban sempat mendapat penyiksaan berat. Selain dipukuli, digergaji lehernya, Almarhum juga disetrum. Kejadian ini kurang lebih setengah jam; antara jam 08.00-08.30 WIB, sampai menimbulkan kegaduhan, dan terdengar suara kesakitan dari P. SALIM/KANCIL di Balai Desa tersebut, yang pada saat itu ada proses belajar mengajar disekolah Anak – Anak PAUD di Desa. Peristiwa itu sampai mengakibatkan proses belajar mengajar di hentikan dan dipulangkan. Kemudian preman menyeret P.SALIM/KANCIL ke luar Balai Desa menuju tempat disekitar Makam Desa. Pada saat disekitar makam, korban diminta berdiri tangan terikat dan diangkat keatas, kemudian preman membacok perut selama tiga kali namun tidak menimbulkan luka sama sekali, kemudian kepala korban di kepruk pakai batu dan mengakibatkan korban meninggal posisi tertelungkup dengan tangan terikat/diikat dengan tambang. Tubuh terutama kepala korban penuh luka benda tumpul, di dekat korban banyak batu dan kayu berserakan.
Menurut kesaksian dari RIDWAN dan IMAM, para preman berjumlah kurang lebih 40 orang tersebut dipimpin oleh P. DESIR yang kesemuanya itu melakukan penganiayaan terhadap P.TOSAN dan kemungkinan besar juga pelaku yang sama terhadap pembunuhan P. SALIM/ P. KANCIL. Kesaksian  RIDWAN dan IMAM telah dimintai keterangan di TKP oleh pihak Penyidik POLRES Lumajang dan menyebutkan beberapa nama pelaku penganiayaan dan Pembunuhan yang diketahui, yaitu : DESIR; EKSAN; TOMIN; TINARLAP; SIARI; TEJO; ELI; BUDI; SIO; BESRI; SUKET; SIAMAN; JUMUNAM; SATUWI; TIMAR; BURI; MISTO; PARMAN; SATRUM; dan pelaku lainnya tidak diketahui namanya. Untuk beberapa anggota FORUM lainnya, pasca kejadian tersebut berada di POLSEK PASIRIAN untuk meminta perlindungan keamanan.

Pembunuhan Terhadap Salim Kancil dan Tosan Sudah Direncanakan
(Laporan Investigasi Pusham Surabaya dan CMARs Surabaya)
Oleh: Johan Avie & Abdul Karim

Malam Harinya; Pembunuhan Direncanakan
Pembunuhan terhadap Salim Kancil, serta penganiayaan terhadap Tosan sudah direncanakan oleh para pelaku sejak tanggal 25 September 2015, satu hari sebelum pembunuhan itu terjadi. Malam hari, 25 September 2015, Tim 12 dan Kepala Desa menyusun rencana untuk membunuh Salim Kancil dan Tosan. Rencana pembunuhan dilakukan di salah satu pondok pesantren milik Kyai Huri. Letaknya di sebelah selatan terminal Probolinggo, Jawa Timur.
Pada 25 September 2015, sekitar pukul 22.00 WIB, Desir, pimpinan tim 12 yang kini jadi tersangka, mendatangi Asnawi. Ia mengajak Asnawi untuk mengikuti pertemuan di Probolinggo dengan Kepala Desa, dan tim 12. Asnawi diajak karena ia adalah mantan kepala dusun, dan dulu merupakan tim sukses dari Hariyono, Kepala Desa Selok Awar-Awar, Kecamatan Pasirian, Kabupaten Lumajang. Berdasarkan keterangan Asnawi, ia menolak untuk ikut karena merasa ada yang tidak beres dengan pertemuan tersebut. Akhirnya Desir kembali pulang ke rumahnya untuk mempersiapkan keberangkatan 12 orang lainnya ke Probolinggo.
Di tempat yang berbeda, Gus Namin, salah seorang tokoh agama di Kecamatan Wotgalih, Kabupaten Lumajang juga menyatakan bahwa 2 orang santrinya berpamitan kepada dirinya untuk ikut berangkat ke Probolinggo karena ada pertemuan dengan Kepala Desa Selok Awar-Awar, Kecamatan Pasirian, Kabupaten Lumajang. Saat itu, Gus Namin sudah melarang kedua santrinya untuk ikut dalam pertemuan tersebut, tetapi mereka tetap memaksa berangkat bersama dengan tim 12 lainnya. Gus Namin sendiri tidak mengetahui apa isi dari pertemuan di Probolinggo tersebut, karena menurutnya, kedua santrinya tidak mengatakan apa-apa soal pertemuan di Probolinggo.
Pukul 22.15 WIB, Asnawi, bersama dengan 3 warga Desa Selok Awar-Awar lainnya melihat 2 buah mobil yang ditumpangi oleh tim 12 dan Kepala Desa berangkat dari Balai Desa. Kedua mobil tersebut berjalan menuju ke utara, arah jalan keluar Desa Selok Awar-Awar, Kecamatan Pasirian, Kabupaten Lumajang. Saat itu, kaca mobil ditutup rapat, tetapi salah seorang warga (nama dirahasiakan) melihat bahwa mobil itu berisi tim 12 dan juga kepala desa. Asnawi bahkan mengatakan bahwa mobil yang digunakan adalah mobil milik perangkat Desa Selok Awar-Awar, dan kini telah disita oleh penyidik Polda Jatim. Menurut Asnawi, 1 mobil yang digunakan adalah mobil kepunyaan dari Didik (Pembantu Staff Desa Selok Awar-Awar), dan 1 mobil lainnya milik dari Eko (Kepala Urusan Pembangunan Desa Selok Awar-Awar).
Tim investigasi juga menemukan fakta lain di malam hari sebelum pembunuhan terjadi. Berdasarkan keterangan Abdul Hamid, warga Desa Selok Awar-Awar, Kecamatan Pasirian, Kabupaten Lumajang, 25 September 2015, pukul 21.00 WIB, Ia bersama dengan Salim Kancil, Tosan, dan 7 orang lainnya sempat berkunjung ke rumah Kyai di Kecamatan Wotgalih, Kabupaten Lumajang. Menurut Hamid, kunjungannya tersebut dalam rangka meminta doa kepada Kyai, karena keesokan harinya mereka akan melakukan aksi demonstrasi ke Kepala Desa. Pada saat di jalan menuju Wotgalih, Abdul Hamid merasa rombongannya dikuntit oleh beberapa orang tidak dikenal. “Orang yang menguntit kami itu terus mampir ke rumah Kepala Desa Wotgalih,” ujar Hamid.
Kejanggalan lainnya juga ditemui Hamid sesampainya di rumah sang Kyai. Entah secara kebetulan atau tidak, rombongan Hamid ini juga berjumpa dengan seorang anggota Brimob di dalam rumah Kyai. Hamid tidak sempat berkenalan dengan anggota Brimob tersebut, ia hanya mengetahui bahwa anggota Brimob tersebut juga sedang berkunjung ke rumah Kyai untuk meminta doa dari si Kyai. Setelah bercerita panjang lebar mengenai rencana demonstrasi yang akan dilakukannya pada esok harinya, rombongan Hamid ini pun kembali ke desa mereka. Seorang anggota Brimob yang tidak dikenali tersebut juga ikut berpamitan, setelah sempat mendengarkan panjang-lebar mengenai rencana demonstrasi yang dilakukan oleh Hamid, Salim Kancil, Tosan, dan kawan-kawannya.

Pagi Hari; Titik Kumpul Para Pembunuh
Pukul 06.00 WIB, ketika para warga sedang sibuk mempersiapkan kebutuhan domestik dan berbelanja di pasar, tim 12 (pelaku pembunuhan) justru sibuk berkumpul dan mempersiapkan senjata yang akan dipergunakan untuk membunuh Salim Kancil dan Tosan. Saat itu, BI (seorang warga yang tidak mau disebutkan namanya) berpapasan dengan Basri, salah seorang tersangka pembunuhan terhadap Salim Kancil dan Tosan. Menurut keterangannya, Basri menaiki sepeda motor sembari membawa cangkul, menuju ke arah utara (arah rumah Pak Desir), sedangkan ia sendiri saat itu sedang pulang ke rumahnya (arah selatan) setelah berbelanja di pasar. “Saya kira waktu itu mau ada kerja bakti membetulkan jalan raya, kok saya melihat Basri itu bawa cangkul ke arah utara,” ujar BI
Selain Basri, BI juga melihat Tejo, salah seorang tersangka pembunuhan lainnya, berkendara sepeda motor sembari membawa bambu berjalan ke arah rumah Desir. Cangkul dan bambu inilah yang kemudian digunakan sebagai alat untuk menganiaya Tosan dan Salim Kancil. Keterangan BI tersebut diperkuat juga oleh keterangan dari DL, salah seorang warga  yang rumahnya bersebelahan dengan rumah Desir. Ia melihat sekitar 40 orang dengan menggunakan 20 sepeda motor berkumpul di rumah Desir. “Waktu itu saya kira mau ada acara desa mas, karena mereka bawa alat-alat kerja itu,” ujar DL. Alat-alat kerja yang dimaksudkan adalah cangkul, celurit, bambu, dan juga parang. Alat-alat ini memang telah dibawa oleh para pelaku pembunuhan sejak dari rumah mereka.
Bahkan di saat mereka berkumpul di rumah Desir, alat-alat tersebut telah dipersiapkan. DL juga menyaksikan pada pagi itu, Desir sempat berbicara kepada 40 orang, seperti memberikan arahan kepada mereka. Menurut DL, ke-40 orang tersebut berkumpul sekitar 10 menit, sebelum berangkat bersama-sama menuju ke arah rumah Tosan. Ia juga mengatakan bahwa tidak hanya dirinya yang menjadi saksi mata atas peristiwa tersebut, tetangga-tetangga Desir juga ikut melihat massa berkumpul di rumah Desir, pada pukul 06.00 WIB.

Skema 1: Membunuh Tosan
Pada 26 September 2015, Pukul 06.25 WIB, Imam menerima telepon dari Tosan melalui handphonenya. Tosan meminta Imam untuk datang ke rumahnya, karena ia berencana mengajak Imam untuk berangkat bersama-sama melakukan demonstrasi menolak tambang pasir ke Balai Desa. Pukul 06.30 WIB, Imam sampai di rumah Tosan. Ia berangkat dari rumahnya dengan berjalan kaki. Waktu itu, Tosan sedang memanasi mesin motornya di teras depan rumahnya. Imam sendiri sedang duduk-duduk di dalam ruang tamu rumah Tosan. Pukul 06.30 WIB, Tosan dan Imam membagikan selebaran yang berisi pernyataan kepala desa untuk menutup tambang pasir di Desa Selok Awar-Awar, Kecamatan Pasirian, Kabupaten Lumajang. Imam dan Tosan membagikan selebaran itu kepada para pengendara yang melewati depan rumahnya. Menurut keterangan Imam, saat itu mereka baru berhasil membagikan 9 lembar selebaran kepada para pengendara.
Pukul 07.00 WIB, Parman, salah seorang anggota Tim 12 tiba-tiba berhenti di depan rumah Tosan, mematikan mesin sepeda motornya, memarkirnya, lalu kemudian berteriak membentak-bentak Tosan. Menurut Imam, Parman membentak tosan dengan kata-kata, “Kenapa kamu mau demo kepala desa! Kalau kamu mau demo kepala desa, lawan saya dulu,” ujar Imam menirukan ucapan dari Parman. Setelah sempat membentak Tosan, Parman kemudian kembali menaiki sepeda motornya dan pergi menuju ke arah utara (arah rumah Desir).
 Berselang 10 menit kemudian, sekitar pukul 06.30 WIB, Parman kembali dengan 40 orang lainnya. Mereka menghampiri rumah Tosan dengan mengendarai 20 sepeda motor. Menurut keterangan Imam, rombongan massa tersebut dipimpin oleh Ehsan, anak kandung Desir. Rombongan massa ini datang dari arah Utara rumah Tosan (dari rumah Pak Desir). Ehsan adalah orang pertama yang menghampiri Tosan di halaman depan rumah Tosan. Tanpa basa-basi, Ehsan langsung memukul Tosan dengan menggunakan tangan kosong. Melihat Ehsan memukul Tosan, Tinarlab dan Misto, tersangka lainnya, menyusul melancarkan pukulan ke Tosan. Desir pun ikut memukul Tosan dari belakang, dan Tomin beserta Buri langsung membacok kepala Tosan dengan menggunakan celurit. Menurut keterangan Imam, celurit yang digunakan Tomin berasal dari sepeda motor milik Tomin. “Tomin waktu itu ngambil celuritnya itu dari sepeda motornya,” terang Imam. Sedangkan Tejo, dan Ari, tersangka lainnya, memukul Tosan dengan menggunakan bambu sepanjang 1 meter. Bambu tersebut dibawa dengan menggunakan motornya.
 Imam juga sempat melihat Basri ikut memukul Tosan dengan menggunakan cangkul, dan Satrum, beserta Sukit membacok Tosan dengan menggunakan golok. Anehnya, di tengah pengeroyokan terhadap Tosan, Imam sempat melihat salah seorang anggota Babinsa berdiri di seberang jalan depan rumah Tosan. Anggota Babinsa tersebut juga diketahui berada di lapangan tempat Tosan dianiaya oleh massa. Melihat Tosan dikeroyok oleh 40 orang, Imam lari ke belakang rumah Tosan untuk meminta tolong kepada warga lainnya. Di belakang rumah, Imam sudah dihadang oleh 10 orang yang dipimpin oleh Buri. Ia pun lari bersembunyi ke rumah Rohim, di dekat lapangan belakang rumah Tosan. Sekitar pukul 07.30 WIB, dari rumah Rohim, Imam melihat Tosan lari tunggang-langgang dengan menggunakan sepeda onthel, dikejar oleh 40 orang yang menggunakan sepeda motor.
Di depan lapangan, sepeda Tosan ditabrak oleh Siyo yang menggunakan sepeda motor. Tosan pun terjatuh dari sepedanya. Setelah jatuh, Tosan sempat dipukuli lagi dengan menggunakan bambu dan kayu oleh massa. Imam juga sempat melihat tubuh Tosan dilindas sebanyak 4 kali dengan menggunakan motor oleh Ehsan dan Siyo. Melihat Tosan dilindas berkali-kali dengan menggunakan motor, Ridwan, salah seorang warga yang rumahnya dekat dengan tempat kejadian berusaha untuk mengusir massa. Menurut Ridwan, dengan komando dari Desir, massa akhirnya berjalan ke arah utara menuju rumah Salim Kancil. Polisi sendiri baru datang ke tempat kejadian (lapangan) pada pukul 07.45 WIB, setelah massa bergerak ke rumah Salim Kancil. Menurut keterangan Ridwan, terdapat 4 orang anggota Polsek Pasirian yang
datang ke lapangan pada pukul 07.45 WIB. Imam dan Ridwan pun ikut dibawa ke kantor Polsek Pasirian agar aman dari ancaman pembunuhan yang dilakukan oleh tim 12.

Skema 2: Membunuh Salim Kancil
Setelah puas menganiaya Tosan di lapangan, 40 orang tim eksekutor yang diketuai oleh Desir bergerak ke rumah Salim Kancil. Jarak antara Lapangan dan Rumah Salim Kancil sekitar 4 km. Jika ditempuh dengan menggunakan sepeda motor, setidaknya memerlukan waktu sekitar 10 menit untuk sampai ke rumah Salim Kancil. Pukul 07.30 WIB, di rumahnya, Salim Kancil bersama dengan Dio, anaknya yang berusia 12 tahun (kelas 5 SD), sedang mempersiapkan diri untuk berangkat menuju rumah Ichsan, untuk membahas rencana menolak tambang pasir besi di Desa Selok Awar-Awar, Kecamatan Pasirian, Kabupaten Lumajang. Pukul 07.40 WIB, Salim Kancil berboncengan dengan Dio, berangkat dari rumahnya menuju rumah Ichsan dengan menggunakan sepeda motor. Setelah berjalan sekitar 50 meter dari rumahnya, Salim Kancil melihat rombongan tim 12 beserta 40 orang massa datang dari arah selatan. Ia pun memutar balik sepeda motornya kembali ke rumahnya. Sepeda motornya kemudian ia parkir di depan pintu rumah, dan Salim Kancil meminta Dio untuk lari ke belakang rumah. Kehadiran Salim Kancil di depan rumahnya disambut oleh cucunya yang masih berusia 5 tahun. Salim seketika menggendong cucunya tersebut, dan membawanya masuk ke dalam rumah.
Setelah membalikkan badannya, Salim langsung dipukul oleh Ehsan, dan Desir dengan menggunakan tangan kosong. Badan Salim Kancil didekap oleh Tejo, dan kemudian tangannya diikat oleh Desir dengan menggunakan tali tambang yang masih baru. Seketika itu Salim dinaikkan ke sepeda motor oleh Desir, dan diapit oleh Basri. Oleh massa, ia dibawa ke Balai Desa. Dio yang berusaha mengejar, dilempari batu oleh salah satu pelaku yang tidak dikenali. “Waktu itu saya juga dibentak ‘jangan ikut-ikut kamu!”, ujar Dio menirukan ucapan dari salah seorang pelaku tersebut.
Jarak antara rumah Salim Kancil dengan Balai Desa sekitar 2 km. Jika ditempuh dengan menggunakan sepeda motor, memakan waktu sekitar 5 menit perjalanan. Berdasarkan keterangan salah seorang Guru PAUD (nama dirahasiakan) yang pada saat itu sedang berada di Balai Desa, Salim Kancil dipukuli berkali-kali dengan menggunakan bambu, dan kayu. Salim Kancil juga dicelurit berkali-kali, dan dibacok dengan menggunakan golok. Tim eksekutor juga sempat merebahkan tubuh Salim Kancil, lalu menggorok lehernya dengan menggunakan gergaji kayu. Tidak juga berhasil dibunuh, salah seorang pelaku menyetrum tubuh Salim Kancil dengan menggunakan kabel listrik yang disambungkan ke sakelar listrik yang ada di Balai Desa. Menurutnya, massa yang mengeroyok Salim Kancil berjumlah 30-40 orang, ia tidak dapat mengenalinya satu per satu karena situasinya pada saat itu sangat ricuh. Ia sendiri lari dan mengevakuasi murid PAUD nya keluar dari Balai Desa Selok Awar-Awar, Kecamatan Pasirian, Kabupaten Lumajang.
Pukul 08.30 WIB, dari Balai Desa Selok Awar-Awar, massa membawa Salim Kancil ke tempat pemakaman di dekat lapangan Desa Selok Awar-Awar, Kecamatan Pasirian, Kabupaten Lumajang. Di tempat pemakaman tersebut, Salim kembali dipukuli dengan menggunakan bambu dan kayu oleh Tejo, kepalanya sempat dipukul dengan menggunakan cangkul, dan dicelurit oleh Basri. Salim Kancil roboh, dan tidak sadarkan diri. Mengira Salim Kancil telah mati, massa kemudian meninggalkan Salim Kancil yang terbaring di depan halaman makam desa tersebut. Saat para pelaku sudah berjarak sekitar 50 meter, Salim Kancil bangun sadarkan diri. Ia berdiri dan berusaha untuk lari. Salah seorang pelaku melihat Salim Kancil yang ternyata belum mati itu pun berteriak kepada anggota massa untuk kembali mengeroyok Salim Kancil. 40 orang itu pun kembali menghajar Salim Kancil. Saat itu, Desir masuk ke tempat pemakaman, mengambil batu nisan yang ada di makam tersebut, dan memukulkannya ke kepala Salim Kancil. Melihat bahwa Salim Kancil ternyata bisa berdarah ketika dipukul dengan batu nisan, Desir pun menghajar kepala Salim Kancil berkali-kali dengan menggunakan batu nisan tersebut, hingga akhirnya Salim Kancil tewas di tempat kejadian pada pukul 08.40 WIB.


Pelajaran dari tragedi pasir Lumajang

Sumber: http://www.antaranews.com/berita/521701/pelajaran-dari-tragedi-pasir-lumajang, Senin, 5 Oktober 2015 12:21 WIB | Oleh Zumrotun Solichah
“Kasus tersebut menggambarkan konflik sumber daya antara Salim cs dengan akses sosial ekonomi politik terbatas melawan kades cs yang memiliki akses dan otoritas yang kuat di desa setempat."
Aksi solidaritas terhadap pembunuhan Salim Kancil di depan Balaikota Malang, Jawa Timur, Senin (28/9). (ANTARA FOTO/Ari Bowo Sucipto)
Lumajang (ANTARA News) - Almarhum Salim alias Kancil (52) mungkin tidak pernah berharap namanya dikenal oleh masyarakat karena menolak tambang pasir di pesisir selatan kabupaten Lumajang, Jawa Timur.

"Pak Salim Kancil itu berjuang dengan ikhlas bersama warga karena tidak ingin penambangan pasir liar itu merusak lahan pertanian yang sudah digarap warga," kata Hamid, teman Salim Kancil.

Keinginan Salim bersama warga Desa Selok Awar-Awar, Kecamatan Pasirian, Kabupaten Lumajang, sebenarnya sederhana yakni ingin menggarap lahan pertanian untuk kelangsungan hidup.

"Pak Salim yang tidak pernah duduk di bangku sekolah pun tahu kalau penambangan pasir itu dapat merusak lingkungan dan rawan bencana, sehingga kami sebanyak 12 orang membentuk Forum Komunikasi Masyarakat Peduli Desa Selok Awar-Awar dan saya sebagai koordinatornya," tuturnya.

Melihat dampak yang cukup serius akibat penambangan pasir di Desa Selok Awar-Awar itu, beberapa warga tergerak membentuk forum sebagai kekuatan melawan penambangan yang dikelola oleh kepala desa setempat.

"Kawasan pesisir selatan seharusnya tidak dieksploitasi karena ancaman tsunami bisa datang kapan saja, sehingga tidak boleh ada penambangan," ujarnya.

Dampak kerusakan lingkungan akibat penambangan pasir di Desa Selok Awar-Awar selama dua tahun itu sudah dirasakan oleh warga sekitar yang bermata pencarian sebagai petani dan nelayan.

"Irigasi pertanian menjadi rusak dan warga tidak bisa menanam padi karena air laut yang menggenangi areal persawahan," ucap Hamid.

Almarhum Salim Kancil dan warga sekitar yang sehari-hari bekerja di sawah tidak bisa memanen hasil padinya karena penambangan yang semakin merusak lingkungan dan irigasi pertanian.  Awalnya kepala desa meminta persetujuan masyarakat setempat untuk membangun kawasan objek wisata di sekitar Pantai Watu Pecak, namun lama-kelamaan bukan wisata yang digarap, malah penambangan pasir. Warga kemudian melakukan gerakan advokasi protes tentang penambangan pasir yang mengakibatkan rusaknya lingkungan dengan cara bersurat kepada pemerintahan desa, Pemerintahan Kecamatan Pasirian, dan Pemerintahan Kabupaten Lumajang.

"Pada Juni 2015, forum menyurati Bupati Lumajang untuk meminta audiensi tentang penolakan tambang pasir, tetapi tidak direspons dengan baik oleh Bupati yang diwakili oleh Camat Pasirian," paparnya.

Perjuangan Forum Komunikasi terus dilakukan hingga 9 September 2015 dengan melakukan aksi damai penghentian aktivitas penambangan Pasir dan penghentian truk bermuatan pasir di Balai Desa Selok Awar-Awar.  Kemudian pada 10 September 2015, adanya ancaman pembunuhan yang dilakukan oleh preman bayaran yang diduga dari kepala desa setempat kepada Tosan dan beberapa anggota forum komunikasi lainya yang lantang menyuarakan penolakan tambang pasir yang diduga mengandung biji besi itu.

"Kami kemudian melaporkan kejadian tindak pidana pengancaman kepada Polres Lumajang. Saat itu Kasat Reskrim Polres Lumajang menjamin dan merespons pengaduan forum yang telah dikoordinasikan dengan pimpinan Polsek Pasirian," tuturnya.

Ancaman tersebut ternyata tidak hanya isapan jempol, karena preman bayaran itu benar-benar menindaklanjuti dengan melakukan penganiayaan terhadap dua aktivis antitambang tersebut pada 26 September 2015.  Salim Kancil meninggal dunia setelah dianiaya oleh preman bayaran di Balai Desa Selok Awar-Awar, sedangkan Tosan mengalami luka parah hingga dilarikan ke rumah sakit.

"Setelah meninggalnya Salim Kancil, warga sudah bertekad bulat untuk melanjutkan perjuangannya menolak tambang di Desa Selok Awar-Awar karena jalan itu yang akan membuka pada kesejahteraan warga setempat," kata Hamid.

Penutupan Tambang
Setelah terbunuhnya Salim Kancil, Bupati Lumajang Asat Malik menginstruksikan penutupan tambang pasir di tujuh kecamatan di pesisir selatan, yakni Yosowilangun, Kunir, Tempeh, Pasirian, Candipuro, Pronojiwo dan Tempursari.

"Keputusan penutupan tambang pasir tidak berlaku di keseluruhan wilayah pertambangan karena yang ditutup adalah penambangan pasir di wilayah pesisir selatan Lumajang," kata Asat.

"Soal penambangan pasir yang berada di daerah aliran sungai (DAS) Semeru masih diizinkan dan akan terus ditata karena pasir galian C di DAS Semeru harus terus dikeruk agar tidak terjadi pendangkalan," tuturnya.

Pengamat lingkungan dari Universitas Jember Dr Abdul Qodim Manembojo mengatakan kasus pembunuhan Salim Kancil bermula dari konflik sumber daya alam (lahan pertanian) yang berhadapan dengan Kepala Desa Selok Awar-Awar cs yang ingin menguasai bisnis pasir.

"Salim tidak sendirian dalam konflik itu karena sekitar lima warga lainnya juga memiliki lahan yang luasnya sekitar 1 hektare, sehingga enam orang yang bersuara lantang menolak tambang dan menjadi target operasi dari kelompok penambang pasir yang dikendalikan kades setempat," tuturnya.

Kades menghendaki agar lahan Salim dan warga lainnya dijual atau diserahkan untuk ditambang dengan alat berat, namun bagi aktivis antitambang itu, menyerahkan lahan kepada kades sama saja merusak lahan bertani mereka yang berada di bibir Pantai Watu Pecak karena terjadi abrasi.

"Kasus tersebut menggambarkan konflik sumber daya antara Salim cs dengan akses sosial ekonomi politik terbatas melawan kades cs yang memiliki akses dan otoritas yang kuat di desa setempat. Konflik itu juga bersumber dari kelangkaan sumber daya karena kades merasa lahan yang mereka kuasai sudah sangat terbatas dan tidak mampu lagi memenuhi permintaan pasir Lumajang yang berkualitas selama lima tahun terakhir," paparnya.

Salim cs bertahan dengan cara hidup agraris karena tidak mau melepas lahan pertanian sebagai basis hidup mereka, sedangkan kades cs menganggap lahan Salim lebih menguntungkan dengan cara ditambang daripada dikelola sebagai lahan pertanian.

"Menurut saya konflik pasir berdarah di Lumajang itu merupakan konflik sumber daya lahan pertanian antarelit lokal desa yang telah mengalami proses ramifikasi dengan menyentuh isu lingkungan, sehingga menimbulkan ledakan kades cs sebagai perusak lingkungan vs Salim cs sebagai pejuang lingkungan," paparnya.

Abdul menegaskan masyarakat pesisir lebih paham tentang bagaimana menjaga lingkungan karena mereka bertahan hidup dengan bergantung pada sumber daya alam setempat. Terbunuhnya pejuang antitambang itu juga membuka lebar kepada publik, bahwa penambangan liar tanpa izin yang dikelola oleh pihak-pihak tertentu masih marak di pesisir pantai selatan Lumajang dan tidak ada tindakan tegas dari pemerintah setempat untuk menertibkan hal itu.

"Kasus Salim Kancil menjadi momentum introspeksi semua pihak untuk lebih peka terhadap masalah lingkungan dan tidak mengabaikan kaum minoritas yang berjuang hanya untuk mempertahankan hidup mereka," ucap dosen FKIP Universitas Jember itu.

Ia berharap kasus Salim Kancil dan Tosan menjadi pelajaran penting dan terakhir bagi semua pihak, tentang perlunya perlindungan terhadap para aktivis kemanusiaan dan manajemen pengelolaan tambang yang lebih baik ke depan dengan memperhatikan kelestarian lingkungan.
Editor: Aditia Maruli
COPYRIGHT © ANTARA 2015
REFLEKSI
Dari Tragedi Selok Awar-awar, ada beberapa hal yang bisa kita baca dan kita sarikan menjadi permasalahan yang menjadi akar masalah, seperti berikut ini.
1.      Penguasaan sumberdaya alam secara sepihak untuk mengeruk keuntungan sebesar-besanya tanpa mengindahkan kepentingan orang lain dan masyarakat secara luas.
2.      Penguasa local yang menyalahgunakan kekuasaannya sebagai alat untuk menimbun kekayaan tanpa mempedulikan kesejahteraan rakyat yang dipimpinnya.
3.      Otoritarianisma dalam bentuk premanisnma masih gaya kepemimpinan yang dipuja untuk diterapkan oleh penguasa (local).
4.      Pembiaran terhadap aktivitas penambangan dan aktivitas usaha yang merusak lingkungan dan alam oleh Aparat Negara dan Aparat Keamanan di berbagai tempat.
5.      Keterlibatan Birokrat yang lebih tinggi dan Aparat Keamanan sebagai “pelindung” aktivitas pertambangan liar untuk memperoleh pendapatan lebih yang bersifat koruptif.
6.      Penegakkan hokum yang lemah bahkan cenderung melindungi pelaku perusak lingkungan alam dan hokum dan malah mengkriminalisasi aktivis-aktivis pembela lingkungan dan alam.
7.      Negara dan Korporasi masih menjadikan eksploitasi alam (tambang, perkebunan sawit, alih fungsi lahan pertanian, dan lain sebagainya) sebagai cara cepat untuk mendapatkan Pendapatan Asli Daerah dan bahkan Devisa Negara dengan cepat tanpa berhitung untuk jangka panjang. 
Tragedi Selok Awar-awar hanya satu dari berbagai permasalahan konflik perebutan sumberdaya yang terjadi di Indonesia.  Bukan hanya konflik antara rakyat dengan penguasa local saja, tetapi ada berbagai kasus yang melibatkan rakyat dan korporasi, bahkan di beberapa kasus malah rakyat harus berhadapan dengan Negara yang seharusnya melindungi rakyatnya.
Terbunuhnya Salim Kancil hanya salah satu korban yang tampak dan terkespos oleh media, bagaimana dengan berbagai kasus akibat pembukaan lahan untuk perkebunan dan pertambangan di pedalaman Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Papua dan berbagai tempat lainnya yang jauh dari mata media.
Sebagai catatan akhir, apa yang bisa kita lakukan? Bagaimana kita melakukannya? Untuk bukan sekedar bersimpati dan berempati semata tetapi berbuat nyata untuk mengurangi permasalahan konflik sumberdaya alam dan perusakan lingkungan di berbagai tempat di seantero Nusantara ini.

Malang, 19 Oktober 2015
Daniel S. Stephanus