Triple Bottom Line The Series
Menggagas Bisnis dan Aktivitas Ekonomi yang Bertanggung Jawab pada Bumi, Manusia, dan Entitas Ekonomi
Daniel Sugama Stephanus
Program Studi Akuntansi
Fakultas Ekonomi & Bisnis
Universitas Ma Chung
Kabupaten Malang
2015
ABSTRAKS
Bisnis dan aktivitas ekonomi dari sebuah entitas pada umumnya bertujuan untuk memperoleh keuntungan dan menginginkan pertumbuhan ekonomi untuk meningkatkan nilai entitasnya. Seringkali, dengan menjadikan keuntungan dan pertumbuhan sebagai tujuan menjadikan entitas ekonomi akan menghalalkan segala cara seperti mengeksploitasi tenaga kerja dan mengabaikan kelestarian lingkungan di sekitarnya bahkan mengorbankan konsumen sebagai sumber pendapatannya.
Konsep Tripple Bottom Line (People, Planet, and Profit) merupakan konsep bisnis dan aktivitas ekonomi yang berbeda. Pertama, mengedepankan konsep pemberdayaan masyarakat baik karyawan, konsumen, maupun masyarakat secara umum menjadikan entitas ekonomi berorientasi untuk mengedukasi dan mengadvokasi manusia sebagai factor utama menjaga pertumbuhan dan kelanjutan usaha yang manusiawi. Bila masyarakat teredukasi dengan produk yang berkualitas apalagi dengan harga terjangkau, dijamin kesetiaan konsumen pada produk dan perusahaan akan terjaga. Di sisi lain, karyawan yang teredukasi dengan baik akan menciptakan tenaga kerja yang mumpuni untuk memroduksi produk yang bermutu sekaligus efisien dalam biaya.
Kedua, entitas ekonomi menjadikan kelestarian alam sebagai dasar untuk bukan hanya menjaga keberlanjutan bahan baku dan energy, tetapi benar-benar menjaga lestarinya planet Bumi sebagai satu-satunya tempat hidup manusia. Bahan baku dan energy yang lestari akan menjamin kelangsungan usaha entitas ekonomi dalam jangka panjang sekaligus menjadikan bumi sebagai tempat tinggal yang nyaman dan asri. Bukan hanya memperhatikan bahan baku dan energy, tetapi polusi dan sampah yang dihasilkan oleh perusahaan hendaknya ramah lingkungan dan memiliki dampak yang sangat kecil bagi lingkungan.
Bila manusia sudah berdaya dan planet tetap lestari, profit atau keuntungan akan datang dengan sendirinya baik keuntungan yang dinikmati oleh manajemen sebagai agen pengelola entitas maupun investor sebagai pemilik entitas ekonomi tersebut. Jadi, keuntungan atau profit bukanlah menjadi tujuan pertama dan utama, tetapi menjadi dampak dari kinerja perusahaan yang baik dan bertanggung jawab. Keuntungan yang akan bersifat jangka panjang dan berkesinambungan (going concern).
Kata-kata kunci: Triple Bottom Line, People & Planet Before Profit, Going Concern.
SERI #1: TRIPPLE BOTTOM LINE: SEBUAH PENGANTAR
PENDAHULUAN
Konsep Triple Bottom Line (People & Planet Before Profit)
Isu lingkungan hidup menjadi agenda penting masyarakat internasional di forum regional dan multilateral sejak tahun 1972 setelah pelaksanaan konferensi internasional tentang Human Environment di Stockholm, Swedia dan KTT Bumi di Rio de Jeneiro, Brazil tahun 1992. Sejak saat itu, masyarakat internasional menilai bahwa perlindungan lingkungan hidup menjadi tanggung jawab bersama dan perlindungan lingkungan hidup tidak terlepas dari aspek pembangunan ekonomi dan sosial (Nuraini, 2010).
Planet, People, and Profit atau yang di Ilmu Akuntansi lazim disebut dengan Triple Bottom Line merupakan pemikiran yang sudah berkembang cukup lama di Eropa. Pemikiran tentang bisnis yang berkelanjutan (sustainable business) yang mengedepankan kelestarian alam (planet) sebagai sumber dari semua sumber daya, kesejahteraan masyarakat atau manusia (people), dan memperoleh laba (profit) yang memadai untuk kelangsungan hidup perusahaan.
Gray, dkk., (1995) menyatakan bahwa tanggung jawab sosial dan lingkungan merupakan tanggung jawab dunia bisnis untuk menjadi akuntabel terhadap seluruh stakeholder, bukan hanya kepada stockholder saja. Dengan pelaporan pelaksanaan tanggung jawab sosial dan lingkungan dalam laporan tahunan perusahaan ini diharapkan perusahaan memperoleh legitimasi atas peran social dan kepedulian lingkungan yang telah dilakukan oleh perusahaan tersebut, sehingga perusahaan akan memperoleh dukungan dari masyarakat, dankelangsungan hidup perusahaan dapat diperoleh.
Prior, dkk., (2008) menyatakan bahwa tanggung jawab sosial dan lingkungan perusahaan dalam laporan tahunan dapat digunakan oleh manajer sebagai alat untuk mengamankan kedudukannya. Hal tersebut digunakan oleh manajer untuk mengalihkan perhatian stakeholder dari monitoring aktivitas manajemen laba yang mereka lakukan. Hal ini dapat terjadi karena manajemen memiliki informasi yang lebih banyak dari pada pihak berkepentingan lainnya sebagaimana dijelaskan dalam agency theory (teori keagenan).
Wibisono (2007) menjelaskan konsep Triple Bottom Line digunakan sebagai landasan prinsipal dalam aplikasi program Corporate Social Responsibility pada sebuah perusahaan. Tiga kepentingan yang menjadi satu ini merupakan garis besar dan tujuan utama tanggung jawab sosial sebuah perusahaan.
1. Profit (Keuntungan)
Keuntungan merupakan unsur terpenting dan menjadi tujuan utama dari setiap kegiatan usaha. Keuntungan sendiri pada hakikatnya merupakan tambahan pendapatan yang dapat digunakan untuk menjamin kelangsungan hidup perusahaan.
2. People (Masyarakat)
Menyadari bahwa masyarakat sekitar perusahaan merupakan salah satu stakeholder penting bagi perusahaan karena dukungan masyarakat sekitar sangat diperlukan untuk keberadaan, kelangsungan hidup dan perkembangan perusahaan. Perusahaan perlu berkomitmen untuk berupaya memberikan manfaat sebesar-besarnya kepada masyarakat. Selain itu, operasi perusahaan berpotensi memberikan dampak kepada masyarakat sekitar. Tanggung jawab sosial perusahaan didasarkan pada keputusan perusahaan tersebut tidak bersifat paksaan atau tuntutan masyarakat sekitar. Untuk memperkokoh komitmen dalam tanggung jawab sosial diperlukan pandangan menganai Corporate Social Responsibility. Melalui kegiatan sosial perusahaan maka itu dapat dikatakan melakukan investasi masa depan dan timbal baliknya masyarakat juga akan ikut serta menjaga eksistensi perusahaan.
3. Planet (Lingkungan)
Lingkungan merupakan sesuatu yang terkait dengan seluruh bidang kehidupan perusahaan. Hubungan perusahaan dan lingkungan adalah hubungan sebab akibat yaitu jika perusahaan merawat lingkungan maka lingkungan akan bermanfaat bagi perusahaan. Sebaliknya jika perusahaan merusak lingkungan maka lingkungan juga akan tidak memberikan manfaat kepada perusahaan. Dengan demikian, penerapan konsep Triple Bottom Line yakni profit, people, dan planet sangat diperlukan sebuah perusahaan dalam menjalankan operasinya. Sebuah perusahaan tidak hanya keuntungan saja yang dicari melainkan juga memperdulikan masyarakat dan lingkungan sekitar perusahaan.
Elkington (1997) menekankan pentingnya keberlanjutan bisnis dengan mempertimbangkan tiga pilar utama: People (masyarakat), Planet (lingkungan), dan Profit (keuntungan). Konsep ini menyatakan bahwa keberhasilan bisnis tidak hanya diukur dari keuntungan finansial, tetapi juga dari dampak sosial dan lingkungan yang ditimbulkan. TBL mengintegrasikan tiga aspek penting dalam pembangunan berkelanjutan:
1. People (Masyarakat):
Melibatkan kesejahteraan masyarakat, termasuk karyawan, komunitas, dan masyarakat sekitar perusahaan.
2. Planet (Lingkungan):
Menekankan perlindungan dan pengelolaan lingkungan, serta pengurangan dampak negatif terhadap ekosistem.
3. Profit (Keuntungan):
Menjaga keberlanjutan bisnis secara finansial, namun dengan pendekatan yang bertanggung jawab dan berkelanjutan.
Jadi, People & Planet Before Profit atau Triple Bottom Line adalah pendekatan yang bukan hanya mengepepankan prinsip berkelanjutan berbasis mengutamakan aktivitas social dan lingkungan sebagai yang utama sedangkan pendapatan akan didapatkan sendirinya. Dengan kata lain, TBL mendorong perusahaan untuk tidak hanya fokus pada keuntungan finansial, tetapi juga harus memberikan perhatian yang sama terhadap kesejahteraan sosial dan lingkungan. Konsep ini menjadi landasan penting dalam pengembangan strategi bisnis yang berkelanjutan dan bertanggung jawab.
Sumber: https://www.linkedin.com/pulse/ethical-leadership-triple-bottom-line-sustainable-business-etu-wvupe
TEORI-TEORI YANG MENDASARI TRIPLE BOTTOM LINE
Teori Legitimasi (Legitimacy Theory)
Teori legitimasi berasal dari konsep legitimasi organisasi yang diungkapkan oleh Dowling & Pfeffer (1975) dalam Ghozali & Chariri (2007) yang mengungkapkan bahwa legitimasi adalah sebuah kondisi atau status yang ada ketika sistem nilai entitas kongruen dengan sistem nilai masyarakat yang lebih luas di tempat entitas tersebut berada. Ketika terjadi suatu perbedaan, baik yang nyata atau berpotensi muncul di antara kedua sistem nilai tersebut, maka akan muncul ancaman terhadap legitimasi entitas. Sesuai dengan yang dinyatakan O’Donovan (2002) bahwa legitimasi merupakan gagasan agar sebuah organisasi dapat terus beroperasi dengan sukses, maka organisasi tersebut harus bertindak sesuai aturan yang diterima secara luas oleh masyarakat. Deegan (2004) menyatakan bahwa teori legitimasi adalah sebagai, “Teori yang menyatakan bahwa organisasi secara berkelanjutan mencari cara untuk menjamin operasi mereka berada dalam batas dan norma yang berlaku di masyarakat. Suatu perusahaan akan secara sukarela melaporkan aktivitasnya jika manajemen menganggap bahwa hal ini adalah yang diharapkan komunitas”.
Ghozali & Chariri (2007) menyatakan bahwa hal yang mendasari teori legitimasi adalah kontrak sosial antar perusahaan dan masyarakat di tempat perusahaan beroperasi dan menggunakan sumber ekonomi. Jadi, setiap perusahaan memiliki kontrak implisit dengan masyarakat untuk melakukan aktivitasnya berdasarkan nilai-nilai yang dijunjung di dalam masyarakat. Apabila perusahaan bertindak memenuhi kontrak implisit maka masyarakat akan mendukung keinginan perusahaan tersebut. Ahmad, dkk., (2004) menyatakan bahwa pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan merupakan salah satu mekanisma yang dapat digunakan untuk mengomunikasikan perusahaan dengan masyarakat, dan merupakan salah satu cara untuk memperoleh keuntungan atau memperbaiki legitimasi perusahaan. Praktik dan pengungkapan tanggung jawab sosial akan dianggap sebagai cara bagi perusahaan untuk tetap menyelaraskan diri dengan norma-norma dalam masyarakat. Dengan demikian, perusahaan disarankan untuk mengungkapkan kinerja lingkungan sehingga mendapatkan reaksi positif dari lingkungan dan memperoleh legitimasi atas usahanya.
Perusahaan yang melakukan kinerja lingkungan dan pengungkapan tanggung jawab sosial diharapkan dapat meningkatkan keuntungan perusahaan di masa yang akan datang. Menurut Saidi (2004), teori legitimasi adalah suatu kondisi atau status, yang ada ketika suatu sistem nilai perusahaan kongruen dengan sistem nilai dari system sosial yang lebih besar di mana perusahaan merupakan bagiannya. Ketika suatu perbedaan yang nyata atau potensial ada antara kedua sistem nilai tersebut, maka akan muncul ancaman terhadap legitimasi perusahaan. O’Donovan (2002) mendefinisikan legitimasi sebagai, “Legitimacy theory as the idea that in order for an organization to continue operating successfully, it must act in a manner that society deems socially acceptable.”
Barkemeyer (2007) menyatakan legitimasi sebagai, “Legitimacy is sought by organisations as it affects understanding and actions of people towards the organization. People perceive a legitimate organisation as “… more trustworthy.” Lebih lanjut Barkemeyer (2007) memberikan definisi mengenai organizational legitimacy sebagai, “Legitimacy is a generalized perception or assumption that the actions of an entity are desirable, proper, or appropriate within some socially constructed system of norms, values, beliefs, and definitions.”
Ghozali & Chariri (2007) menyatakan bahwa salah satu dari sekian banyak faktor yang dimasukkan oleh para peneliti sebagai motif dibalik pengungkapan tanggung jawab sosial dan lingkungan perusahaan adalah keinginan untuk melegitimasi operasi organisasi. Legitimasi merupakan sebuah pengakuan akan legalitas sesuatu. Suatu legitimasi organisasi dapat dikatakan sebagai manfaat atau sumber potensial bagi perusahaan untuk bertahan hidup (O’Donovan, 2002 dalam Chariri & Ghozali, 2007).
Legitimasi organisasi dapat dipandang sebagai sesuatu yang diberikan oleh masyarakat kepada perusahaan dan sesuatu yang diinginkan atau dicari perusahaan dari masyarakat. Kedudukan perusahaan sebagai bagian dari masyarakat ditunjukkan dengan operasi perusahaan yang seringkali memengaruhi masyarakat sekitarnya. Eksistensinya dapat diterima sebagai anggota masyarakat, sebaliknya eksistensinya pun dapat terancam bila perusahaan tidak dapat menyesuaikan diri dengan norma yang berlaku dalam masyarakat tersebut atau
bahkan merugikan anggota komunitas tersebut.
Gray, dkk., (1995) juga menyatakan bahwa organisasi atau perusahaan akan berlanjut keberadaannya jika masyarakat menyadari bahwa organisasi beroperasi untuk sistem nilai yang seiring dengan sistem nilai masyarakat itu sendiri. Teori legitimasi menganjurkan perusahaan untuk meyakinkan bahwa aktivitas dan kinerjanya dapat diterima oleh masyarakat. Hal ini akan mendorong perusahaan melalui top manajemennya akan mencoba memperoleh kesesuaian antara tindakan organisasi dan nilai-nilai dalam masyarakat umum dan publik yang relevan dengan stakeholder.
Teori legitimasi didasarkan pada pengertian kontrak sosial yang diimplikasikan antara institusi sosial dan masyarakat (Ahmad & Sulaiman, 2004). Teori legitimasi dibutuhkan oleh institusi-institusi untuk mencapai tujuan agar kongruen dengan masyarakat luas. Menurut Gray, dkk., (1996) dalam Ahmad & Sulaiman (2004) dasar pemikiran teori legitimasi adalah organisasi atau
perusahaan akan terus berlanjut keberadaannya jika masyarakat menyadari bahwa perusahaan tersebut beroperasi untuk sistem nilai yang sepadan dengan system nilai masyarakat itu sendiri.
Perusahaan menggunakan laporan keuangan tahunan untuk menggambarkan akuntabilitas atau tanggung jawab manajemen terhadap perusahaan dan kesan tanggung jawab sosial dan lingkungan, sehingga perusahaan yang bersangkutan diterima oleh masyarakat. Teori legitimasi menganjurkan perusahaan untuk meyakinkan bahwa aktivitas dan kinerjanya dapat diterima oleh masyarakat. Dengan adanya penerimaan dari masyarakat tersebut diharapkan nilai perusahaan dapat meningkat sehingga berdampak pula pada peningkatan laba perusahaan. Hal ini juga dapat mendorong dan membantu investor dalam melakukan pengambilan keputusan investasi.
Ghozali & Chariri (2007) menjelaskan bahwa teori legitimasi sangat bermanfaat dalam menganalisis perilaku organisasi, karena teori legitimasi adalah hal yang paling penting bagi organisasi. Teori legitimasi juga memberikan perspektif yang komprehensif pada pengungkapan tanggung jawab sosial dan lingkungan perusahaan. Teori ini secara eksplisit mengakui bahwa bisnis dibatasi oleh kontrak sosial yang menyebutkan bahwa perusahaan harus dapat menunjukkan berbagai aktivitasnya agar perusahaan memperoleh penerimaan masyarakat yang pada gilirannya akan menjamin kelangsungan hidup perusahaan (Reverte, 2008). Lindblom (1994) dalam Gray, dkk., (1995) menyatakan bahwa teori legitimasi adalah suatu kondisi atau status yang ada ketika suatu sistem nilai perusahaan kongruen dengan sistem nilai dari sistem sosial yang lebih besar di mana perusahaan merupakan bagiannya. Hal ini menyebabkan munculnya ancaman terhadap legitimasi perusahaan ketika terjadi perbedaan yang nyata atau potensial antara kedua sistem nilai tersebut. Sehingga, dengan melakukanpengungkapan tanggung jawab sosial dan lingkungan, perusahaan akan merasa bahwa keberadaan dan aktivitasnya terlegitimasi.
Meskipun perusahaan memiliki kebijakan operasi dalam batasan institusi, kegagalan perusahaan dalam menyesuaikan diri dengan norma ataupun adat yang diterima masyarakat, akan mengancam legitimasi serta sumber daya perusahaan, yang pada akhirnya akan mengancam kelangsungan hidup perusahaan (Reverte, 2008). Praktik- praktik tanggung jawab sosial dan pengungkapan social (corporate social and environmental disclosure (CSED)) yang dilakukan perusahaan dapat dipandang sebagai suatu usaha untuk memenuhi harapanharapan
masyarakat terhadap perusahaan. Aktivitas tanggung jawab sosial dan lingkungan perusahaan diharapkan dapat meningkatkan hubungan antara pemegang saham, supplier, kreditur, dan pihak yang berkepentingan lainnya atau dengan kata lain, kinerja ekonomi dan keuangan sebuah entitas memiliki hubungan positif dengan pengungkapan tanggung jawab sosialnya (Hasibuan, 2001). Hal ini berarti pengungkapan tanggung jawab sosial dan lingkungan perusahaan merupakan salah satu mekanisma yang dapat digunakan untuk mengkomunikasikan perusahaan dengan stakeholders.
Gray, dkk., (1995) mengatakan bahwa informasi yang diungkapkan kepada stakehoder merupakan legitimasi tanggung jawab sosial dan lingkungan yang telah dilakukan perusahaan. Manajer yang terlibat manajemen laba cenderung menyadari bahwa pengungkapan lingkungan dengan sukarela (voluntary corporate social and environmental disclosure) dapat digunakan untuk mempertahankan legitimasi organisasional, terutama pada pihak terkait dengan politik dan sosial dan untuk mengalihkan perhatian stakeholder terhadap pendeteksian manajemen laba. CSED merupakan jalan masuk yang digunakan beberapa organisasi untuk memperoleh keuntungan atau memperbaiki legitimasi (Ahmad & Sulaiman, 2004). Karena itu, teori legitimasi merupakan salah satu teori yang mendasari pengungkapan tanggung jawab sosial dan lingkungan perusahaan untuk mendapatkan nilai positif dan legitimasi dari masyarakat.
Teori legitimasi juga dapat digunakan untuk menjelaskan keterkaitan mekanisma corporate governance dan profitabilitas terhadap pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan. Mekanisma corporate governance dan profitabilitas memberikan keyakinan perusahaan untuk melakukan pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan. Dengan mekanisma corporate governance dan profitabilitas yang mencukupi, perusahaan tetap akan mendapatkan keuntungan positif, yaitu mendapatkan legitimasi dari masyarakat yang pada akhirnya akan
berdampak meningkatnya keuntungan perusahaan di masa yang akan datang.
Gray, dkk., (1995) juga menjelaskan bahwa pengungkapan tanggung jawab sosial dan lingkungan merupakan bagian dari pengungkapan laporan keuangan. Ada banyak studi yang menguji lebih lanjut informasi sosial yang dihasilkan oleh perusahaan, dan menemukan bahwa informasi lingkungan merupakan salah satu bagian dari informasi tersebut. Walaupun tidak bersifat wajib, banyak perusahaan yang secara sukarela melakukan pengungkapan tanggung jawab sosial dan lingkungan (voluntary social and environmental disclosures). Voluntary social and environmental disclosures banyak dilakukan perusahaan dalam rangka menjaga reputasi perusahaannya dan perusahaan bisa tetap survive serta terhindar dari berbagai bentuk penolakan dari masyarakat. Di dalam teori legitimasi (legitimacy theory) dipaparkan jawaban-jawaban yang mendukung mengapa perusahaan harus mengungkapkan tanggung jawab sosial dan lingkungannya .
Jadi, legitimasi adalah suatu tindakan atau perbuatan hukum yang berlaku, peraturan yang ada, baik peraturan hukum formal, etnis, adat-istiadat, maupun hukum kemasyarakatan yang sudah lama tercipta secara sah. Batasan-batasan yang ditekankan oleh norma-norma dan nilai-nilai sosial serta reaksi terhadap batasan tersebut mendorong pentingnya analisis perilaku organisasi dengan memerhatikan lingkungan.
Teori Stakeholder (Stakeholder Theory)
Konsep tanggung jawab sosial perusahaan telah mulai dikenal sejak awal 1970, yang secara umum dikenal dengan stakeholder theory artinya sebagai kumpulan kebijakan dan praktik yang berhubungan dengan stakeholder, nilai-nilai, pemenuhan ketentuan hukum, penghargaan masyarakat dan lingkungan, serta komitmen dunia usaha untuk berkontribusi dalam pembangunan secara berkelanjutan. Stakeholder theory dimulai dengan asumsi bahwa nilai secara eksplisit dan tak dipungkiri merupakan bagian dari kegiatan usaha (Freeman dkk., 2004).
Teori stakeholder mengatakan bahwa perusahaan bukanlah entitas yang hanya beroperasi untuk kepentingannya sendiri, namun harus memberikan manfaat bagi stakeholder (pemegang saham, kreditor, konsumen, supplier, pemerintah, masyarakat, analis dan pihak lain). Dengan demikian, keberadaa suatu perusahaan sangat dipengaruhi oleh dukungan yang diberikan oleh stakeholder kepada perusahaan tersebut (Ghozali & Chariri, 2007). Deegan (2004) menyatakan bahwa stakeholder theory adalah “Teori yang menyatakan bahwa semua stakeholder memunyai hak memperoleh informasi mengenai aktivitas perusahaan yang dapat memengaruhi pengambilan keputusan mereka. Para stakeholder juga dapat memilih untuk tidak menggunakan informasi tersebut dan tidak dapat memainkan peran secara langsung dalam suatu perusahaan.”
Budimanta, Prasetijo, & Rudito (2008) menyatakan bahwa terdapat dua bentuk dalam pendekatan stakeholder yaitu old-corporate relation dan new-corporate relation. Old-corporate relation menekankan pada bentuk pelaksanaan aktivitas perusahaan secara terpisah, yang menunjukkan bahwa tidak terdapat kesatuan di antara fungsi dalam sebuah perusahaan ketika melakukan pekerjaannya. Hubungan perusahaan dengan pihak di luar perusahaan juga bersifat jangka pendek dan hanya sebatas hubungan transaksional saja tanpa ada kerjasama untuk menciptakan kebermanfaatan bersama. Pendekatan old-corporate relation ini dapat menimbulkan konflik karena perusahaan memisahkan diri dengan para stakeholder baik yang berasal dari dalam perusahaan dan dari luar perusahaan. Sedangkan, pendekatan new-corporate relation menekankan kolaborasi antara perusahaan dengan seluruh stakeholder sehingga perusahaan bukan hanya menempatkan dirinya sebagai bagian yang bekerja secara sendiri dalam sistem sosial masyarakat. Hubungan perusahaan dengan stakeholder di dalam perusahaan dibangun berdasarkan konsep kebermanfaatannya yang membangun kerjasama dalam menciptakan kesinambungan usaha perusahaan, sedangkan hubungan dengan stakeholder di luar perusahaan didasarkan pada hubungan yang bersifat fungsional yang bertumpu pada kemitraan. Perusahaan selain menghimpun kekayaan juga berusaha bersama-sama membangun kualitas kehidupan dengan stakeholder di luar perusahaan.
Tunggal (2008) menyatakan bahwa teori stakeholder dapat dilihat dalam tiga pendekatan.
1. Deskriptif
Pendekatan deskriptif pada intinya menyatakan bahwa, stakeholder secara sederhana merupakan deskripsi yang realitas mengenai bagaimana sebuah perusahaan beroperasi. Teori stakeholder dalam pendekatan deskriptif, bertujuan untuk memahami bagaimana manajer menangani kepentingan stakeholder dengan tetap menjalankan kepentingan perusahaan. Manajer dituntut untuk mengarahkan energi mereka terhadap seluruh pemangku kepentingan, tidak hanya terhadap pemilik perusahaan saja.
2. Instrumental
Teori stakeholder dalam pendekatan instrumental menyatakan bahwa, salah satu strategi pihak manajemen perusahaan untuk menghasilkan kinerja perusahaan yang lebih baik adalah dengan memperhatikan para pemangku kepentingan. Hal ini didukung oleh bukti empiris yang diungkapkan oleh Lawrence & Weber (2008), yang menunjukkan bahwa setidaknya lebih dari 450 perusahaan yang menyatakan komitmennya terhadap pemangku kepentingan dalam laporan tahunnya memiliki kinerja keuangan yang lebih baik dibandingkan dengan perusahaan yang tidak memiliki komitmen. Pendekatan instrumental bertujuan untuk mempelajari konsekuensi yang ditanggung perusahaan, dengan melihat dari pengelolaan hubungan stakeholder dan berbagai tujuan tata kelola perusahaan yang telah dicapai.
3. Normatif
Teori stakeholder dalam pendekatan normatif menyatakan bahwa setiap orang atau kelompok yang telah memberikan kontribusi terhadap nilai suatu perusahaan memiliki hak moral untuk menerima imbalan (rewards) dari perusahaan, dan hal ini menjadi suatu kewajiban bagi manajemen untuk memenuhi apa yang menjadi hak para pemangku kepentingan. Pendekatan normatif juga bertujuan untuk mengidentifikasi pedoman moral atau filosofis terkait dengan aktivitas ataupun manajemen perusahaan.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa stakeholder teori merupakan suatu teori yang mempertimbangkan kepentingan kelompok stakeholder yang dapat memengaruhi strategi perusahaan. Pertimbangan tersebut memunyai kekuatan karena stakeholder adalah bagian perusahaan yang memiliki pengaruh dalam pemakaian sumber ekonomi yang digunakan dalam aktivitas perusahaan. Strategi stakeholder bukan hanya kinerja dalam finansial namun juga kinerja sosial yang diterapkan oleh perusahaan. Corporate Sosial Responsibility merupakan strategi perusahaan untuk memuaskan keinginan para stakeholder, makin baik pengungkapan Corporate Sosial Responsibility yang dilakukan perusahaan maka stakeholder akan makin terpuaskan dan akan memberikan dukungan penuh kepada perusahaan atas segala aktivitasnya yang bertujuan menaikkan kinerja dan mencapai laba.
Stakeholder theory mengatakan bahwa perusahaan bukanlah entitas yang hanya beroperasi untuk kepentingannya sendiri namun harus memberikan manfaat bagi stakeholdernya (pemegang saham, kreditur, konsumen, supplier, pemerintah, masyarakat, analis, dan pihak lain). Dengan demikian, keberadaan suatu perusahaan sangat dipengaruhi oleh dukungan yang diberikan oleh stakeholder kepada perusahaan tersebut (Ghozali & Chariri, 2007).
Gray, dkk., (1995) dalam Ghozali & Chariri (2007) menyatakan bahwa kelangsungan hidup perusahaan tergantung pada dukungan stakeholders dan dukungan tersebut harus dicari, sehingga aktivitas perusahaan adalah untuk mencari dukungan tersebut. Teori Stakeholder Freeman (1984) dalam Roberts (1992) mendefinisikan stakeholder seperti sebuah kelompok atau individual yang dapat memberi dampak atau terkena dampak oleh hasil tujuan perusahaan. Stakeholders adalah para pemangku kepentingan, yaitu pihak atau kelompok yang berkepentingan, baik langsung maupun tidak langsung, terhadap eksistensi atau aktivitas perusahaan, dan karenanya kelompok tersebut memengaruhi dan/atau dipengaruhi oleh perusahaan. Stakeholder termasuk di dalamnya yaitu stockholders, creditors, employees, customers, suppliers, public interest groups, dan govermental bodies (Roberts, 1992).
Stakeholder pada dasarnya dapat mengendalikan atau memiliki kemampuan untuk memengaruhi pemakaian sumber-sumber ekonomi yang digunakan perusahaan. Oleh karena itu, power stakeholder ditentukan oleh besar kecilnya power yang dimiliki stakeholder atas sumber tersebut. Power tersebut dapat berupa kemampuan untuk membatasi pemakaian sumber ekonomi yang terbatas (modal dan tenaga kerja), akses terhadap media yang berpengaruh, kemampuan untuk mengatur perusahaan, atau kemampuan untuk memengaruhi konsumsi atas barang dan jasa yang dihasilkan perusahaan (Ghozali & Chariri, 2007).
Roberts (1992) memaparkan bahwa perkembangan konsep stakeholder dibagi menjadi tiga yaitu model perencanaan perusahaan, kebijakan bisnis dan corporate social responsibility. Pengungkapan tanggung jawab sosial dan lingkungan merupakan bagian dari komunikasi antara perusahaan dengan stakeholder-nya. Oleh karena itu, ketika stakeholder mengendalikan sumber ekonomi yang penting bagi perusahaan, maka perusahaan akan bereaksi dengan cara yang memuaskan keinginan stakeholder (Ghozali & Chariri, 2007).
Teori stakeholder secara eksplisit mempertimbangkan akan dampak kebijakan pengungkapan perusahaan ketika ada perbedaan kelompok stakeholder dalam sebuah perusahaan. Pengungkapan informasi oleh perusahaan dijadikan alat manajemen untuk mengelola kebutuhan informasi yang dibutuhkan oleh berbagai kelompok (stakeholders). Oleh karena itu, manajemen mengungkapkan informasi tanggung jawab sosial dan lingkungan ini dalam rangka mengelola stakeholder agar perusahaan mendapatkan dukungan dari mereka. Dukungan tersebut dapat berpengaruh terhadap kelangsungan hidup perusahaan (Gray, dkk., 1995).
Sumber: https://accounting.binus.ac.id/2023/11/01/memahami-konsep-dasar-teori-stakeholder/
Teori Keagenan (Agency Theory)
Teori Keagenan (Agency Theory) menjelaskan adanya konflik kepentingan yang terjadi antara agen dengan principal. Principal adalah pemegang saham atau investor sedangkan agen adalah orang yang diberi kuasa oleh principal yaitu manajemen untuk mengelola perusahaan yang terdiri dari dewan komisaris dan dewan direksi. Adanya pemisahan kepemilikan oleh principal dan pengendalian oleh agen dalam sebuah organisasi cenderung menimbulkan konflik keagenan antara principal dan agen. Teori agensi ini muncul untuk mengatasi konflik agensi yang dapat terjadi dalam hubungan keagenan. Di dalam teori keagenan dikatakan bahwa hubungan keagenan timbul ketika salah satu pihak (principal) memberi kuasa kepada pihak lain (agen) untuk melakukan beberapa jasa untuk kepentingannya yang melibatkan pendelegasian beberapa otoritas pembuatan keputusan kepada agen. Dalam kontrak ini agen berkewajiban untuk melakukan hal-hal yang memberikan manfaat dan meningkatkan kesejahteraan principal (Jensen & Meckling, 1976).
Principal ingin mengetahui segala informasi termasuk aktivitas manajemen, yang terkait dengan investasi atau dananya dalam perusahaan. Hal ini dilakukan dengan meminta laporan pertanggungjawaban pada agen (manajemen). Laporan tersebut akan digunakan oleh principal sebagai landasan dalam menilai kinerja manajemen. Tetapi, yang seringkali terjadi adalah kecenderungan manajemen untuk melakukan tindakan yang membuat laporannya kelihatan baik, sehingga kinerjanya pun dianggap baik. Manajemen seringkali melakukan sesuatu yang dapat menguntungkan dirinya sendiri yaitu dengan memaksimumkan laba manajemen yang dilakukan dengan manajemen laba (earnings management).
Tindakan manajemen laba ini dapat menyesatkan dan dapat menyebabkan pihak luar membuat keputusan ekonomi yang salah. Gray, dkk., (1995) berpendapat bahwa pengungkapan tanggung jawab sosial dan lingkungan perusahaan/ corporate social and environmental disclosure (CSED) merupakan sinyal yang dapat mengalihkan perhatian pemegang saham dari monitoring atas rekayasa laba atau isu lain, sehingga berdampak pada harga saham. Aktivitas pengungkapan tanggung jawab sosial dan lingkungan perusahaan akan memberikan informasi yang berguna dalam penilaian resiko yang lebih akurat bagi investor. Hal ini akan memberikan akses kepada pendanaan eksternal dengan biaya yang lebih rendah. Dalam hal ini dapat diinterpretasikan bahwa manajemen yang melakukan manajemen laba dapat diprediksikan akan melakukan lebih banyak pengungkapan tanggung jawab sosial dan lingkungan perusahaan.
Sumber: https://ariipsm1.wordpress.com/2013/01/07/teori-keagenan/
TANGGUNG JAWAB SOSIAL DAN LINGKUNGAN PERUSAHAAN
Triple Bottom Line
Istilah Triple Bottom Line dipopulerkan oleh John Elkington pada tahun 1997. Melalui bukunya yang berjudul “Cannibals with Forks, the Triple Bottom Line of Twentieth Century Business”, Elkington mengembangkan konsep Triple Bottom Line dalam istilah economic prosperity, environmental quality, dan social justice. Perusahaan yang ingin berkelanjutan haruslah memerhatikan “3P”. Selain mengejar profit, perusahaan juga harus memerhatikan dan terlibat dalam pemenuhan kesejahteraan masyarakat (people) dan turut berkontribusi aktif dalam menjaga kelestarian lingkungan (planet). Aspek-aspek yang terdapat dalam Triple Bottom Line adalah sebagai berikut (Wibisono, 2007).
1. Profit
Profit merupakan unsur terpenting dan menjadi tujuan dari setiap kegiatan usaha. Fokus utama dari seluruh kegiatan dalam perusahaan adalah mengejar profit atau mendongkrak harga saham setinggi-tingginya, baik secara langsung maupun tidak langsung. Profit sendiri adalah tambahan pendapatan yang dapat digunakan untuk menjamin kelangsungan hidup perusahaan. Aktivitas yang dapat ditempuh untuk mendongkrak profit antara lain dengan meningkatkan produktivitas dan melakukan efisiensi biaya. Hal tersebut akan menyebabkan perusahaan memiliki keunggulan kompetitif yang dapat memberikan nilai tambah semaksimal mungkin.
2. People
Masyarakat di sekitar perusahaan adalah salah satu stakeholder penting yang harus diperhatikan oleh perusahaan. Dukungan dari masyarakat sekitar sangat diperlukan bagi keberadaan, kelangsungan hidup, dan perkembangan perusahaan sehingga perusahaan akan selalu berupaya untuk memberikan manfaat yangsebesar-besarnya kepada masyarakat. Operasi perusahaan berpotensi memberikan dampak bagi masyarakat sekitar, sehingga perusahaan perlu untuk melakukan berbagai kegiatan yang menyentuh kebutuhan masyarakat. Secara ringkas, jika perusahaan ingin tetap mempertahankan usahanya, perusahaan juga harus menyertakan tanggung jawab yang bersifat sosial.
3. Planet
Selain aspek people, perusahaan juga harus memperhatikan tanggung jawabnya terhadap lingkungan. Karena keuntungan merupakan inti dari dunia bisnis, kerapkali sebagian besar perusahaan tidak terlalu memperhatikan hal yang berhubungan dengan lingkungan, karena tidak ada keuntungan langsung di dalamnya. Dengan melestarikan lingkungan, perusahaan akan memperoleh keuntungan yang lebih, terutama dari sisi kenyamanan dan ketersediaan sumber daya yang menjamin kelangsungan hidup perusahaan.
Konsep dan Definisi Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perusahaan
Menurut Global Reporting Initiative (GRI) dalam Siregar (2010) tanggung jawab sosial dan lingkungan adalah, “Corporate social reporting/sustainability reporting is a process for publicly disclosing an organization’s economic, environmental, and social performance”. World Bank (2003) menyatakan definisi CSR sebagai, “The commitment of business to contribute to sustainable economic development, working with employees, their families, the local community and society at large to improve their quality of life.” Untung (2008) memberikan pengertian mengenai tanggung jawab sosial dan lingkungan sebagai, “Corporate Social Responsibility adalah komitmen perusahaan atau dunia bisnis untuk berkontribusi dalam pengembangan ekonomi yang berkelanjutan dengan memerhatikan tanggung jawab sosial perusahaan dan menitikberatkan pada keseimbangan antara perhatian terhadap aspek ekonomis, sosial, dan lingkungan.”
Jadi, tanggung jawab sosial dan lingkungan perusahaan adalah tanggung jawab yang diemban oleh perusahaan terhadap keseimbangan antara aspek- aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan. Tanggung jawab sebuah perusahaan tersebut meliputi beberapa aspek yang tidak dapat dipisahkan. Tanggung jawab sosial atau Corporate Social Responsibility (CSR) adalah kontribusi sebuah perusahaan yang terpusat pada aktivitas bisnis, investasi sosial dan program philantrophy, serta kewajiban dalam kebijakan publik (Wineberg, 2004).
Tujuan dari adanya CSR yaitu sebagai wujud tanggung jawab sosial dan lingkungan perusahaan atas dampak-dampak lingkungan yang ditimbulkannya. Banyaknya global warming, kemiskinan yang semakin meningkat, serta memburuknya kesehatan masyarakat memicu perusahaan untuk melakukan tanggung jawab sosial dan lingkungannya. CSR memegang peranan yang penting dalam strategi perusahaan di berbagai sektor yang terjadi ketidakkonsitenan antara keuntungan perusahaan dan tujuan sosial, atau perselisihan yang dapat terjadi karena isu-isu tentang kewajaran yang berlebihan (Heal, 2004).
CSR merupakan suatu bentuk kepedulian sosial perusahaan untuk melayani kepentingan organisasi maupun kepentingan publik eksternal/masyarakat. CSR adalah komitmen perusahaan untuk mempertanggungjawabkan dampak operasi dalam dimensi sosial, ekonomi serta lingkungan. Dengan atau tanpa aturan hukum, sebuah perusahaan harus menjunjung tinggi moralitas. Parameter keberhasilan suatu perusahaan dalam sudut pandang CSR adalah pengedepankan prinsip moral dan etis, yakni menggapai suatu hasil terbaik, tanpa merugikan kelompok masyarakat yang lainnya.
European Commission (2001) dalam Darwin (2008) mendefinisikan CSR sebagai, “a concept where by companies integrate social and environmental concerns in their business operations and in their interaction with their stakeholders on a voluntary basis”. CSR Asia dalam Darwin (2008) mendefinisikan CSR sebagai, “CSR is a company’s commitment to operating in an economically, socially and environmentally sustainable manner whilst balancing the interests of diverse stakeholders.”
Hal ini selaras dengan legitimacy theory yang menyatakan bahwa perusahaan memiliki kontrak dengan masyarakat untuk melakukan kegiatannya berdasarkan nilai-nilai keadilan, dan bagaimana perusahaan menanggapi berbagai kelompok kepentingan untuk melegitimasi tindakan perusahaan (Haniffa & Cooke, 2005). Jika terjadi ketidakselarasan antara sistem nilai perusahaan dan sistem nilai masyarakat, maka perusahaan akan kehilangan legitimasinya, yang selanjutnya akan mengancam kelangsungan hidup perusahaan itu sendiri (Lindblom, 1994 dalam Haniffa & Cooke, 2005 dan Sayekti & Wondabio, 2007).
Jadi, CSR adalah komitmen perusahaan terhadap tiga (3) elemen, yaitu elemen ekonomi, sosial, dan lingkungan. Definisi CSR dalam penelitian ini merujuk pada definisi yang disampaikan European Commission dan CSR Asia di atas, yaitu perusahaan semakin menyadari bahwa kelangsungan hidup perusahaan juga tergantung dari hubungan perusahaan dengan masyarakat dan lingkungannya tempat perusahaan beroperasi.
Pengungkapan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perusahaan
Pengungkapan secara kontekstual adalah bagian integral dari pelaporan keuangan, sedangkan secara teknis pengungkapan adalah langkah akhir dalam proses akuntansi yaitu penyajian informasi dalam bentuk penuh laporan keuangan (Suwardjono, 2005). Hendriksen (1991) mendefinisikan pengungkapan sebagai penyajian sejumlah informasi yang dibutuhkan untuk pengoperasian secara optimal pasar modal yang efisien. Pengungkapan mengandung arti bahwa sebuah laporan harus memberikan informasi dan penjelasan yang cukup mengenai hasil
aktivitas suatu unit usaha (Ghozali & Chariri, 2007).
Tujuan pengungkapan secara umum adalah menyajikan informasi yang dipandang perlu untuk mencapai tujuan pelaporan keuangan dan melayani berbagai pihak yang memiliki kepentingan berbeda (Suwardjono, 2005). Security Exchange Committee (SEC) menuntut lebih banyak pengungkapan karena pelaporan keuangan memiliki aspek sosial dan publik. Oleh karena itu, pengungkapan dituntut lebih dari sekedar pelaporan keuangan, tetapi meliputi pula penyampaian informasi kualitatif dan kuantitatif, baik yang mandatory (wajib) maupun voluntary (sukarela) (Chrismawati, 2007).
Anggraini (2006) menyatakan bahwa tuntutan terhadap perusahaan untuk memberikan pengungkapan informasi yang transparan, organisasi yang akuntabel serta tata kelola perusahaan yang baik (good corporate governance) memaksa perusahaan untuk memberikan informasi mengenai aktivitas sosialnya. Masyarakat membutuhkan informasi mengenai sejauh mana perusahaan sudah melaksanakan aktivitas sosialnya sehingga hak masyarakat untuk hidup aman dan tentram, kesejahteraan karyawan, dan keamanan mengonsumsi produk dapat terpenuhi. Pengungkapan sosial dan lingkungan yang dilakukan oleh perusahaan umumnya bersifat voluntary (sukarela), unaudited (belum diaudit), dan unregulated (tidak dipengaruhi oleh peraturan tertentu) (Nurlela & Islahudin, 2008).
REFLEKSI
Sebegitu gamblang dan jelas tentang arti penting bisnis dan aktivitas ekonomi yang berkelanjutan (sustainable business) bagi sebuah entitas ekonomi. Bukan hanya teori tetapi didukung oleh bukti empiris atau bukti dari duni bisnis di berbagai Negara. Tetapi, sayangnya di Indonesia bisnis dan aktivitas ekonomi berkelanjutan yang memperhatikan lestarinya bumi, pemberdayaan masyarakat, yang pada akhirnya akan berdampak pada profit masih belum menjadi perhatian. Bahkan, telah banyak instrumen hukum dan peraturan yang mendukungnya, tetapi belum bersifat mengikat dan masih bersifat sukarela. Artinya, entittas ekonomi alias perusahaan belum diharuskan tetapi hanya bersifat sukarela melaksanakan bisnis berkonsep triple bottom line.
Dari banyak sumber dan analisis penulis, nampaknya kepentingan untuk mendatangkan investor demi meningkatkan investasi (orientasi kuantitas) masih menjadi pertimbangan utama. Pemberdayaan masyarakat sebagai konsumen dan tenaga kerja apalagi masalah kelestarian lingkungan dan energy ramah lingkungan masih tidak dipertimbangkan. Akhirnya, banyak investor dan pelaku ekonomi di Indonesia memfokuskan usahanya hanya untuk mencari keuntungan sebesar-besarnya. Bukan hanya tidak memperhatikan manusia dan lingkungan, malah dengan semena-mena melakukan eksploitasi manusia sebagai sumber daya, juga merugikan konsumen dengan produk yang tidak bermutu. Perlikau menghancurkan alam dengan alasan sumberdaya alam yang melimpah serta penanganan limbah yang serampangan menjadikan planet bumi sebagai tempat tinggal manusia satu-satunya rusak dengan sangat cepat.
Bisnis atau aktivitas ekonomi bukan tidak bisa dikelola dengan arif dan bijaksana. Konsep bisnis triple bottom line menawarkan metoda dan cara berbisnis yang arif dan bijaksana yang berorientasi jangka panjang dan berkelanjutan. Walau telah diterapkan diberbagai Negara maju seperti di Eropa, Amerika, Australia, dan sebagian Negara-negara maju di Asia belum menjadi prioritas untuk diajarkan apalagi diterapkan di Indonesia. Bahkan, masih cenderung menjadi arus pinggiran yang sering kali diremehkan dan ditertawakan oleh pemangku kepentingan, khususnya dari kalangan pengambil kebijakan seperti Pemerintah Pusat dan Daerah, para pelaku usaha baik investor maupun industrialis, bahkan oleh kalangan akademisi sendiri. Pemangku kepentingan di Indonesia pada umumnya masih menjadikan keuntungan, walau bersifat jangka pendek, menjadi tujuan utama dan bahkan satu-satunya tujuan berusaha dan pembangunan ekonominya.
Sosialisasi, edukasi, dan advokasi harus terus dilakukan demi kehidupan yang lebih baik dan lestarinya bumi sebagai satu-satunya tempat manusia bisa hidup. Kerja keras dari setiap orang yang telah sadar untuk menjaga lestarinya bumi demi lestarinya kehidupan, memanusiakan manusia sebagai makhluk yang berdaya dan bermartabat, serta entitas ekonomi yang bijaksana dan bertanggung jawab untuk terus dan terus mengabarkan kebenaran walau seringkali pahit dan menyakitkan. Pekerjaan berat menanti di depan kita, tetapi kebenaran tentang lestarinya bumi, manusia yang bermartabat, dan usaya yang bertanggung jawab lagi bijaksana harus dikabarkan.
Seri #2: Instrumen-Instrumen Bisnis yang Bekelanjutan
Corporate Social Responsibility (CSR): Undang-Undang 40/2007 Tentang Perseroan Terbatas
Topik mengenai Tanggung Jawab Sosial Korporat atau yang biasa dikenal dengan Corporate Social Responsibility (CSR) menjadi topik yang semakin marak dibicarakan dan menjadi topik yang semakin banyak dibahas di seluruh belahan dunia. Telah banyak diulas bahasan-bahasan sehubungan dengan CSR baik melalui media cetak, elektronik, seminar, dan bahkan hingga konferensi. Perkembangan topik CSR di perguruan tinggi di Indonesia pun telah menunjukkan adanya peningkatan, walaupun masih berada di tahap awal (Jalal, 2007).
Konsep tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) muncul sebagai akibat adanya kenyataan atas karakter alami dari setiap perusahaan. Setiap perusahaan secara alamiah selalu ingin mencari keuntungan semaksimal mungkin tanpa memedulikan kesejahteraan karyawan, masyarakat, dan lingkungan alam. Perkembangan CSR juga terkait erat dengan semakin parahnya kerusakan lingkungan yang terjadi di Indonesia maupun di dunia, mulai dari penggundulan hutan, polusi udara dan air, hingga perubahan iklim (Utama, 2007).
Konsep tanggung jawab sosial muncul seiring dengan semakin parahnya lingkungan serta semakin meningkatnya kesadaran dan kepekaan dari stakeholder perusahaan. Hal ini menjadikan tanggung jawab sosial menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan dengan kelangsungan hidup perusahaan di masa yang akan dating (going concern perusahaan). Tanggung jawab perusahaan memberikan konsep yang berbeda bahwa perusahaan tersebut secara sukarela (voluntary) menyumbangkan sesuatu untuk masyarakat, lingkungan, serta kelangsungan hidup yang lebih baik.
Praktik pengungkapan sukarela dalam wujud pengungkapan tanggung jawab sosial dan lingkungan semakin meningkat selama beberapa tahun terakhir. Pengungkapan informasi CSR yang dilakukan perusahaan secara sukarela pun telah banyak diteliti sebelumnya. Hasil dari penelitian dan studi yang telah dilakukan di berbagai negara juga dimuat di berbagai jurnal internasional. Studi tersebut tidak saja dilakukan dengan menggunakan pendekatan positif tetapi juga interpretive dan critical theory (Deegan, 2002). Isu serta fenomena yang berkaitan dengan tanggung jawab sosial dan lingkungan perusahaan juga telah ditulis dalam beberapa buku teori akuntansi di bab tersendiri sejak lama, salah satunya yaitu oleh Mathews & Perera (1996).
CSR merupakan pernyataan umum yang di dalamnya menunjukkan kewajiban perusahaan untuk memanfaatkan sumber daya ekonomi dalam kegiatan usaha untuk menyediakan dan memberikan kontribusi kepada para pemangku kepentingan internal dan eksternal (Saleh, dkk., 2010). Dalam era globalisasi sekarang ini serta adanya kecenderungan akan kebutuhan yang meningkat dari stakeholder pada perusahaan untuk mengadopsi praktek tanggung jawab social dan lingkungan (CSR), entah disadari atau tidak, akan ikut mendorong keterlibatan perusahaan dalam praktik CSR. Karena itu, CSR telah muncul sebagai subjek penting yang harus diberi perhatian oleh perusahaan.
Terdapat berbagai macam alasan perusahaan dalam melakukan pengungkapan tanggung jawab sosial dan lingkungannya secara sukarela. Perusahaan melakukan pengungkapan tanggung jawab sosial dan lingkungannya sebagai bentuk pertanggungjawaban perusahaan kepada stakeholder atas segala aktivitas CSR yang telah dilaksanakan oleh perusahaan. Darwin (2006) dalam Novita & Djakman (2008) menyatakan bahwa pengungkapan kinerja lingkungan, sosial, dan ekonomi di dalam laporan tahunan atau laporan terpisah adalah wujud untuk mencerminkan tingkat akuntabilitas, responsibilitas, dan transparansi korporat kepada investor dan stakeholders lainnya.
Lebih jauh, Novita & Djakman (2008) mengatakan bahwa pengungkapan tersebut bertujuan untuk menjalin hubungan komunikasi yang baik dan efektif antara perusahaan dengan publik dan stakeholders lainnya tentang bagaimana perusahaan telah mengintegrasikan corporate social responsibilty (CSR) dalam setiap aspek kegiatan operasinya. Alasan lain yang melatarbelakangi perusahaan dalam melakukan pengungkapan tanggung jawab sosial dan lingkungannya secara sukarela adalah berkaitan dengan legitimasi perusahaan.
Haniffa & Cooke (2005) mengatakan bahwa perusahaan juga dapat memperoleh legitimasi dengan memperlihatkan tanggung jawab sosial melalui pengungkapan CSR dalam media termasuk dalam laporan tahunan perusahaan. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Kiroyan (2006) dalam Sayekti & Wondabio (2007) yang menyatakan bahwa dengan menerapkan CSR, diharapkan perusahaan akan memperoleh legitimasi sosial dan memaksimalkan kekuatan keuangannya dalam jangka panjang. Hal ini mengindikasikan bahwa perusahaan yang menerapkan CSR mengharapkan akan direspon positif oleh para pelaku pasar.
Undang-Undang di Indonesia mengamanatkan agar perusahaan melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungannya. Ada dua undang-undang yang mengatur mengenai hal tersebut. Undang-undang pertama adalah Pasal 15b Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal. Undang-undang ini menyatakan bahwa setiap investor berkewajiban melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan. Penjelasan pasal ini menyatakan bahwa yang dimaksud dengan tanggung jawab sosial perusahaan adalah tanggung jawab yang melekat pada perusahaan penanaman modal untuk tetap menciptakan hubungan yang serasi, seimbang, dan sesuai dengan lingkungan, nilai, norma, dan budaya masyarakat.
Undang-undang kedua yang mengatur mengenai tanggung jawab sosial dan lingkungan perusahaan adalah Undang- Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Pasal 74 ayat (1) Undang- undang ini menyatakan bahwa perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan. Ayat (2) pasal ini menyatakan kewajiban tersebut diperhitungkan sebagai biaya perseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran. Selanjutnya ayat (3) menyebutkan perseroan yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana yang dimaksud ayat (1) dikenai sanksi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang terkait. Kemudian ayat (4) menyatakan ketentuan lebih lanjut mengenai tanggung jawab sosial dan lingkungan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Dengan diberlakukannya kedua Undang-undang di atas, perusahaan akan lebih terdorong untuk bertanggungjawab terhadap lingkungan dan sosialnya. Adanya standar yang dilakukan terhadap praktek pelaporan CSR (Corporate Social Reporting) akan menjadikan pengungkapan tanggung jawab sosial dan lingkungan sebagai mandatory disclosure, sehinggap pelaporan CSR akan lebih lengkap dan akurat. Walaupun Undang-undang tersebut telah mendorong kesadaran perusahaan terhadap tanggung jawab lingkungan dan sosialnya, namun undang-undang tersebut masih memiliki kelemahan. Dalam undang-undang tersebut tidak dicantumkan sektor apa saja yang diwajibkan untuk melaksanakan CSR, sanksi yang dikenakan apabila melanggar, berapa besar anggaran minimum, serta pelaporan CSR.
Sumber: https://samahita.co.id/corporate-social-responsibility/
International Standard Organization (ISO) 14001 tentang Manajemen Lingkungan
International Organization for Standardization (ISO) adalah suatu asosiasi global di luar pemerintahan yang terdiri dari badan-badan standardisasi nasional yang beranggotakan 140 negara dan berdiri sejak tahun 1947 (www.iso.org, 2013).
Tujuan ISO 14000 (Kuhre, 1995) adalah sebagai berikut.
1. Mendorong upaya dan melakukan pendekatan untuk pengelolaan lingkungan hidup dan sumberdaya alam dan kualitas pengelolaannya diseragamkan pada lingkup global.
2. Meningkatkan kemampuan organisasi untuk mampu memperbaikikualitas dan kinerja lingkungan hidup dan sumber daya alam.
3. Memberikan kemampuan dan fasilitas pada kegiatan ekonomi danindustri, sehingga tidak mengalami rintangan dalam berusaha.
Untuk mencapai tujuan tersebut dibentuk SAGE (Startegic Advisory Group on the Environment). Kemudian TC 207 (Komisi Teknis) pada tahun 1993 dibentuk oleh Organisasi Internasional untuk Standarisasi (ISO). Komisi ini terdiri dari berbagai negara dan bertugas merumuskan konsep standar internasional di bidang lingkungan. Adapun pembagian tugasnya adalah sebagai berikut.
1. Sub komisi yang menangani Environmental Management System (Sistem pengelolaan Lingkungan dan sumberdaya alam).
2. Sub komisi yang menangani Environmental Auditing (Odit Lingkungan).
3. Sub komisi yang menangani Environmental Labelling (Label Lingkungan).
4. Sub komisi yang menangani Environmental Performance Evaluating (Evaluasi Kinerja Lingkungan).
5. Sub komisi yang menangani Life Cycle Analysis (Analisis Daur Hidup)
6. Sub komisi yang menangani Environemental aspect in Product Standard (Aspek Lingkungan dalam Baku mutu Produk).
7. Sub komisi yang bertugas menyusun Term and Definitions (Istilah dan Definisi).
ISO 14000 adalah seperangkat standar internasional untuk manajemen lingkungan yang dikembangkan oleh International Organization for Standardization (ISO). Standar ini membantu organisasi untuk meningkatkan efektivitas pengelolaan lingkungan mereka, mulai dari meminimalisir dampak negatif aktivitas mereka terhadap lingkungan hingga mematuhi peraturan dan persyaratan hukum yang berlaku. ISO 14000 juga membantu organisasi untuk meningkatkan kinerja lingkungan mereka dan mencapai keberlanjutan.
· Tujuan ISO 14000:
· Meminimalkan dampak negatif aktivitas organisasi terhadap lingkungan.
· Mematuhi peraturan dan persyaratan hukum yang berlaku.
· Terus meningkatkan kinerja lingkungan.
· Mencapai keberlanjutan.
· Penerapan ISO 14000:
· ISO 14000 dapat diterapkan oleh semua jenis organisasi, terlepas dari ukuran, sektor industri, atau lokasi.
· Penerapan ISO 14000 bersifat sukarela, tetapi dapat memberikan manfaat bagi organisasi, baik dari segi lingkungan, ekonomi, maupun sosial.
· Manfaat Penerapan ISO 14000:
· Lingkungan:
· Meminimalisir dampak negatif terhadap lingkungan.
· Mengurangi limbah dan polusi.
· Melindungi sumber daya alam.
· Ekonomi:
· Menurunkan biaya operasional.
· Meningkatkan efisiensi.
· Memperbaiki kinerja perusahaan.
· Sosial:
· Meningkatkan citra perusahaan.
· Meningkatkan kepercayaan konsumen.
· Meningkatkan hubungan dengan masyarakat.
· Seri Standar ISO 14000:
· ISO 14001: Sistem Manajemen Lingkungan.
· ISO 14010-14015: Audit Lingkungan.
· ISO 14020-14024: Label Lingkungan.
· ISO 14031: Evaluasi Kinerja Lingkungan.
· ISO 14040-14044: Analisa Siklus Hidup.
· ISO 14060: Aspek Lingkungan dari Produk.
Simpulan
ISO 14000 adalah standar penting yang membantu organisasi untuk mengelola dampak lingkungan mereka secara efektif dan berkelanjutan.Penerapan ISO 14000 dapat memberikan banyak manfaat bagi organisasi dan masyarakat, serta berkontribusi pada upaya perlindungan lingkungan global.
Sumber: https://tekniksipil.id/iso-14000-tujuan-jenis-sektor-dan-manfaat/
International Standard Organization (ISO) 26000 tentang Corporate Responsibility
International Organization for Standardization (ISO) adalah suatu asosiasi global di luar pemerintahan yang terdiri dari badan-badan standardisasi nasional yang beranggotakan 140 negara dan berdiri sejak tahun 1947. Pada 1 November 2010, ISO mengeluarkan ISO 26000 yang merupakan suatu standar mengenai panduan perilaku bertanggung jawab sosial bagi organisasi guna berkontribusi terhadap pembangunan berkelanjutan (www.iso.org, 2013).
Munculnya ISO 26000 ini diharapkan dapat memberikan tambahan nilai terhadap aktivitas tanggung jawab sosial yang berkembang saat ini melalui pengembangan suatu konsensus terhadap pengertian tanggung jawab sosial dan isunya, menyediakan pedoman tentang penerjemahan prinsip-prinsip menjadi kegiatan yang efektif dan memilah praktik-praktik terbaik yang sudah berkembang dan menyebarluaskannya untuk kebaikan komunitas atau masyarakat internasional. ISO 26000 menerjemahkan tanggung jawab sosial sebagai tanggung jawab suatu organisasi atas dampak dari keputusan dan aktivitasnya terhadap masyarakat dan lingkungan melalui perilaku yang transparan dan etis, serta konsisten dengan pembangunan berkelanjutan dan kesejahteraan masyarakat, memperhatikan kepentingan dari para stakeholder, sesuai hukum yang berlaku dan konsisten dengan norma-norma internasional serta terintegrasi di seluruh aktivitas organisasi (www.iso.org, 2013).
Pedoman ISO 26000 terdiri dari 6 bab serta memuat 7 prinsip, 2 praktik dasar, 7 subjek inti, 36 isu, dan 6 praktik integrasi tanggung jawab sosial organisasi. Berbagai isu yang tercakup dalam tanggung jawab sosial menurut ISO 26000 digambarkan sebagai berikut. Tanggung Jawab Sosial: (1) Lingkungan; (2) Praktik operasi yang adil; (3) Isu-isu konsumen; (4) Pembangunan social; (5) Tata kelola organisasi; (6) Hak asasi manusia; (7) Praktik Ketenagakerjaan
ISO 26000 adalah pedoman internasional tentang tanggung jawab sosial perusahaan (CSR). Pedoman ini memberikan panduan bagi organisasi untuk mengelola tanggung jawab sosial mereka, termasuk prinsip-prinsip dan isu-isu inti, dengan tujuan untuk berkontribusi terhadap pembangunan berkelanjutan global. ISO 26000 bukan standar yang dapat disertifikasi, tetapi memberikan kerangka kerja bagi organisasi untuk menerapkan tanggung jawab sosial secara efektif. ISO 26000 memberikan kerangka kerja yang luas dan fleksibel bagi organisasi untuk menerapkan tanggung jawab sosial sesuai dengan konteks dan kebutuhan mereka masing-masing. Berikut adalah poin-poin penting mengenai ISO 26000:
· Tujuan:
ISO 26000 bertujuan untuk membantu organisasi memahami dan menerapkan prinsip-prinsip tanggung jawab sosial yang relevan dengan kegiatan mereka, sehingga dapat meningkatkan dampak positif mereka terhadap masyarakat, lingkungan, dan ekonomi.
· Prinsip:
ISO 26000 mengidentifikasi 7 prinsip inti tanggung jawab sosial, yaitu akuntabilitas, transparansi, perilaku etis, menghormati kepentingan pemangku kepentingan, menghormati hukum, menghormati norma perilaku internasional, dan menghormati hak asasi manusia.
· Isu Inti:
ISO 26000 juga mengidentifikasi 7 isu inti tanggung jawab sosial, yaitu tata kelola organisasi, hak asasi manusia, praktik ketenagakerjaan, lingkungan, praktik bisnis yang jujur, isu konsumen, dan pengembangan masyarakat.
· Penerapan:
ISO 26000 memberikan panduan praktis bagi organisasi untuk mengidentifikasi dan mengelola risiko dan dampak sosial mereka, serta untuk mengintegrasikan tanggung jawab sosial dalam kebijakan dan praktik mereka.
· Bukan Sertifikasi:
ISO 26000 tidak dimaksudkan sebagai standar yang dapat disertifikasi. Sertifikasi terkait tanggung jawab sosial perusahaan biasanya melibatkan standar-standar lain, seperti ISO 14001 untuk sistem manajemen lingkungan, atau ISO 9001 untuk sistem manajemen mutu.
Sumber: https://lindungihutan.com/blog/mengenal-iso-26000-csr/
Global Reporting Initiative (GRI)
Pengungkapan tanggung jawab sosial pada laporan keuangan perusahaan juga memiliki standar yang disebut dengan Global Reporting Initiatives (GRI). GRI merupakan suatu organisasi nirlaba yang memelopori kinerja ekonomi, lingkungan dan sosial yang berkelanjutan. Tujuan utama GRI yaitu membantu para investor, pemerintah, perusahaan dan masyarakat umum untuk memahami lebih jelas proses peningkatan dan pencapaian perusahaan (Sudana & Arlindania, 2011).
Aspek yang terdapat dalam GRI yaitu aspek ekonomi (9 item), lingkungan (30 item), tenaga kerja (14 item), hak asasi manusia (11 item), masyarakat (8 item), dan produk (9 item). Rerangka pelaporan yang dikembangkan oleh GRI bersifat umum dan telah disetujui oleh berbagai pemangku kepentingan di seluruh dunia (www.globalreporting.org, 2013).
Global Reporting Initiative (GRI) adalah sebuah organisasi internasional independen yang menyediakan kerangka kerja dan standar untuk pelaporan keberlanjutan. GRI membantu bisnis dan organisasi lain untuk memahami, mengukur, dan mengomunikasikan dampak mereka terhadap ekonomi, lingkungan, dan sosial. Lebih detailnya:
· Organisasi Independen:
GRI adalah organisasi independen yang tidak berafiliasi dengan pemerintah atau perusahaan tertentu.
· Kerangka Kerja dan Standar:
GRI mengembangkan kerangka kerja dan standar yang digunakan secara global untuk pelaporan keberlanjutan.
· Pelaporan Keberlanjutan:
Pelaporan keberlanjutan, atau sustainability reporting, adalah proses mengkomunikasikan dampak organisasi terhadap ekonomi, lingkungan, dan masyarakat kepada pemangku kepentingan.
· Tujuan:
GRI bertujuan untuk membuat pelaporan keberlanjutan lebih transparan dan akuntabel, sehingga organisasi dapat lebih bertanggung jawab terhadap dampak mereka.
· Manfaat:
Standar GRI membantu organisasi untuk:
· Mengidentifikasi dampak mereka yang paling signifikan.
· Mengkomunikasikan dampak mereka dengan cara yang jelas dan konsisten.
· Meningkatkan transparansi dan akuntabilitas mereka.
· Meningkatkan kinerja keberlanjutan mereka.
· Standar GRI:
Standar GRI terdiri dari tiga jenis:
· Universal Standards: Berlaku untuk semua organisasi.
· Sector Standards: Berlaku untuk sektor-sektor tertentu.
· Topic Standards: Menyediakan pengungkapan yang relevan untuk topik-topik tertentu.
·
GRI membantu organisasi untuk berbicara dalam bahasa yang sama tentang dampak mereka terhadap dunia. Dengan menggunakan standar GRI, organisasi dapat lebih mudah dibandingkan dan diukur kinerjanya dalam hal keberlanjutan.
Sumber: https://tekniksipil.id/global-reporting-initiative-gri-pengertian-tujuan-jenis/#google_vignette
Sustainable and Responsible Investment Keaneka Ragaman Hayati Indonesia (Indeks SRI-KEHATI)
Pengungkapan lingkungan di Indonesia terdapat di Indeks bernama SRI-KEHATI, SRI-KEHATI diluncurkan pada tanggal 8 Juni 2009 yang merupakan hasil kerjasama antara Bursa Efek Indonesia dan Yayasan Keanekaragaman Hayati Indonesia (KEHATI) yang bergerak dalam bidang pelesatarian dan pemanfaatan keanekaragaman hayati (www.kehati.or.id, 2014). Perusahaan yang terdaftar dalam Indeks SRI-KEHATI adalah perusahaan yang telah dinilai berdasarkan kriteria Indeks SRI-KEHATI. Kriteria Indeks SRI-KEHATI seperti aset total di atas satu triliun Rupiah pada laporan audit tahunan, memiliki Price Earnings Ratio positif, dan Free Float Ratio. Pemilihan Indeks SRI-KEHATI sebagian sampel penelitian dikarenakan indeks SRI-KEHATI menjadi acuan para investor dan masyarakat untuk mengetahui perusahaan apa saja yang telah menerapkan 4 konsep Corporate Social Responsibility dengan menggunakan standar Global Reporting Initiatives.
Indeks SRI-KEHATI (Sustainable and Responsible Investment Keanekaragaman Hayati Indonesia) adalah indeks saham yang mengukur kinerja saham perusahaan yang berfokus pada prinsip keberlanjutan, tanggung jawab sosial, dan tata kelola perusahaan yang baik (ESG). Indeks ini merupakan kolaborasi antara Bursa Efek Indonesia (BEI) dan Yayasan Keanekaragaman Hayati Indonesia (KEHATI). Lebih Detail:
· Tujuan:
Indeks SRI-KEHATI bertujuan untuk mengukur kinerja saham perusahaan yang tidak hanya berfokus pada keuntungan, tetapi juga memperhatikan kelestarian lingkungan, sosial, dan tata kelola perusahaan.
· Kriteria:
Perusahaan yang masuk ke dalam indeks ini harus memenuhi kriteria ESG, termasuk kinerja keuangan yang baik, perhatian terhadap lingkungan, tanggung jawab sosial, dan tata kelola perusahaan yang baik.
· Manfaat:
Indeks ini memberikan informasi kepada investor mengenai kinerja perusahaan yang berfokus pada keberlanjutan dan tanggung jawab sosial, serta dapat menjadi acuan bagi investor yang tertarik dengan investasi yang bertanggung jawab.
· Peran KEHATI:
Yayasan KEHATI berperan dalam mengembangkan dan mempromosikan investasi yang berkelanjutan dan bertanggung jawab di Indonesia, termasuk melalui Indeks SRI-KEHATI. KEHATI juga mengelola hasil dari penyisihan biaya manajer investasi yang digunakan untuk membiayai program pemanfaatan keanekaragaman hayati.
· Daftar Saham:
Indeks SRI-KEHATI terdiri dari 25 saham perusahaan yang memiliki kinerja baik dalam mendorong usaha berkelanjutan dan memiliki kesadaran terhadap lingkungan, sosial, dan tata kelola perusahaan. Daftar saham dapat berubah secara berkala sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan.
· Indeks Lain:
Selain Indeks SRI-KEHATI, BEI dan KEHATI juga menghadirkan indeks lainnya, seperti ESG Sector Leaders IDX KEHATI dan ESG Quality 45 IDX KEHATI.
Indeks SRI-KEHATI merupakan contoh nyata dari penerapan prinsip ESG dalam investasi di Indonesia, yang diharapkan dapat meningkatkan kesadaran investor terhadap pentingnya investasi yang berkelanjutan dan bertanggung jawab.
Sumber: https://www.instagram.com/p/C8Gd--AyuaH/?img_index=1
Environmental Management Accounting (EMA)
EMA didefinisikan sebagai alat analisis infomasi keuangan dan non-keuangan yang digunakan untuk mendukung proses manajemen lingkungan hidup yang dilakukan oleh internal perusahaan.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa EMA merupakan sebuah alat yang dapat menyajikan informasi bagi internal perusahaan terkait dengan kegiatan pengelolaan kinerja lingkungan yang tepat dan praktis. Dalam pelaksanaannya, EMA memiliki 5 kegiatan yang utama
Tujuan dan Manfaat Penggunaan EMA
Tujuan EMA menurut Savage (2014) dapat dirumuskan bahwa setiap pengambil keputusan dapat menggunakan informasi fisik dan biaya dari EMA untuk membuat keputusan yang akan berdampak pada kinerja lingkungan dan kunerja keuangan perusahaan. Sedangkan menurut IFAC (2005) tujuan EMA adalah manajemen internal perusahaan dapat mengambil langkah-langkah insiatif yang sangat baik menggunakan informasi yang diperoleh dari EMA. Beberapa fokus lingkungan seperti, produk “hijau”, desain produk yang menggunakan bahan ramah lingkungan. Selain itu EMA sering digunakan untuk pelaporan eksternal.
Jadi, EMA lebih dari sekedar alat pengelolaan lingkungan saja, tetapi EMA bisa menjadi sekumpulan prinsip dan pendekatan yang menyediakan data penting untuk keberhasilan banyak kegiatan pengelolaan lingkungan perusahaan. Dan sejak keputusan mengenai kegiatan lingkungan dipengaruhi isu lingkungan, dengan adanya EMA setiap keputusan mengenai kegiatan lingkungan dapat diambil secara objektif.
Beberapa manfaat dari penggunaan EMA
1) Perusahaan mampu untuk lebih akurat melacak dan mengelola penggunaan aliran energi dan material, termasuk volume polusi/limbah, jenis, dan nasib
2) Perusahaan juga dapat mengidentifikasi, mengestimasi, mengalokasikan, dan mengelola/mengurangi biaya, terutama biaya yang terkait lingkungan
3) Perusahaan dapat hasil informasi yang lebih akurat dan komprehensif untuk pengukuran dan pelaporan kinerja lingkungan, sehingga citra perusahaan meningkat dengan para pemangku kepentingan seperti pelanggan, masyarakat setempat, karyawan, pemerintah, dan penyedia dana investasi.
4) Manfaat bagi Pemerintah ketika Perusahaan menerapkan EMA
5) Semakin banyak industri yang dapat mengaplikasikan program lingkungan atas dasar hukum dan peraturan yang sudah diatur oleh pemerintah
6) Pelaksanaan EMA oleh industri harus meningkatkan efektivitas kebijakan pemerintah/peraturan yang berlaku dengan cara perusahaan mengungkapkan biaya lingkungan dan manfaat yang dihasilkan dari kebijakan-kebijakan/peraturan tersebut.
7) Pemerintah dapat menggunakan perusahaan yang sudah menerapkan EMA untuk dijadikan tolok ukur performa kinerja perusahaan terhadap lingkungan serta penyusunan regulasi bagi pemerintah.
Framework Environmental Management Accounting
Rerangka EMA berhubungan dengan dua komponen utama manajemen lingkungan yaitu: monetary environmental management accounting (MEMA) dan physical environmental management accounting (PEMA)
Environmental Management Accounting (EMA) adalah cabang akuntansi manajemen yang fokus pada informasi lingkungan untuk membantu perusahaan dalam pengambilan keputusan terkait lingkungan dan kinerja ekonomi. EMA membantu perusahaan mengelola biaya lingkungan, mengurangi polusi, dan meningkatkan efisiensi ekonomi melalui pendekatan akuntansi dan pelaporan yang spesifik.
EMA memiliki beberapa fungsi utama:
· Memperbaiki Efisiensi Sumber Daya:
EMA membantu perusahaan mengidentifikasi dan mengelola penggunaan sumber daya seperti energi dan air secara lebih efisien.
· Mengelola Biaya Lingkungan:
EMA membantu perusahaan mengidentifikasi dan mengelola biaya lingkungan yang terkait dengan produksi, seperti biaya pengendalian polusi, limbah, dan emisi.
· Mengurangi Dampak Lingkungan:
EMA membantu perusahaan mengurangi dampak lingkungan dari aktivitas mereka, misalnya melalui penerapan teknologi ramah lingkungan dan pengurangan limbah.
· Meningkatkan Kinerja Ekonomi:
EMA membantu perusahaan meningkatkan kinerja ekonomi dengan mengurangi biaya lingkungan, meningkatkan efisiensi, dan menciptakan peluang bisnis baru yang berkelanjutan.
· Memenuhi Kebutuhan Pelaporan dan Audit:
EMA membantu perusahaan memenuhi kebutuhan pelaporan dan audit lingkungan, baik yang bersifat wajib maupun sukarela.
EMA mencakup berbagai aspek, termasuk:
· Pengukuran dan Pelaporan Biaya Lingkungan:
EMA mengukur dan melaporkan biaya yang terkait dengan aktivitas lingkungan, seperti biaya pengendalian polusi, limbah, dan emisi.
· Analisis Siklus Hidup Produk:
EMA dapat menganalisis dampak lingkungan produk sepanjang siklus hidupnya, dari produksi hingga pembuangan.
· Perencanaan Lingkungan:
EMA membantu perusahaan merencanakan dan mengimplementasikan strategi lingkungan yang berkelanjutan.
· Pengendalian Lingkungan:
EMA membantu perusahaan mengendalikan dampak lingkungan dari aktivitas mereka, seperti dengan menerapkan teknologi ramah lingkungan dan pengurangan limbah.
· Pengambilan Keputusan:
EMA menyediakan informasi yang relevan untuk pengambilan keputusan terkait investasi lingkungan, pengurangan polusi, dan peningkatan efisiensi ekonomi.
Singkatnya, EMA adalah alat yang penting bagi perusahaan yang ingin menjadi lebih berkelanjutan dan bertanggung jawab terhadap lingkungan. Dengan menggunakan EMA, perusahaan dapat mengelola biaya lingkungan, mengurangi dampak negatif, dan meningkatkan kinerja ekonomi secara bersamaan.
Sumber: https://accounting.binus.ac.id/2021/09/07/environmental-management-accounting-ema/
Audit Lingkungan Hidup
Audit lingkungan merupakan instrumen berharga untuk memverifikasi dan membantu penyempurnaan kinerja lingkungan. Audit perlu dilakukan secara berkala, untuk menentukan apakah sistem yang dilaksanakan sudah sesuai dengan pengaturan yang direncanakan dan telah dijalankan dan dipelihara secara benar, yang pelaksanaannya tergantung dari pentingnya masalah lingkungan bagi kegiatan perusahaan dan hasil audit sebelumnya.
Audit lingkungan hidup adalah evaluasi sistematis, terdokumentasi, periodik, dan objektif terhadap kinerja organisasi, sistem manajemen, dan peralatan untuk menilai ketaatan terhadap peraturan dan kebijakan lingkungan yang berlaku, serta untuk mengontrol dampak lingkungan. Audit ini bertujuan untuk memastikan bahwa suatu usaha atau kegiatan mematuhi standar lingkungan dan mengidentifikasi area yang perlu ditingkatkan. Lebih detail:
· Evaluasi Sistematis dan Terdokumentasi:
Audit lingkungan melibatkan evaluasi yang terstruktur dan tercatat secara mendetail.
· Periodik dan Objektif:
Audit dilakukan secara rutin dan berdasarkan fakta dan data yang obyektif, bukan berdasarkan opini pribadi.
· Tujuan:
· Menilai Ketaatan: Memastikan usaha atau kegiatan mematuhi peraturan dan kebijakan lingkungan.
· Mengontrol Dampak Lingkungan: Memastikan kegiatan usaha tidak menimbulkan dampak negatif yang signifikan bagi lingkungan.
· Meningkatkan Kinerja: Mengidentifikasi area yang perlu ditingkatkan untuk mengurangi dampak lingkungan.
· Contoh:
Audit terhadap pembuangan limbah cair, emisi gas buang, atau penggunaan bahan kimia yang berpotensi mencemari lingkungan.
· Pentingnya:
Audit lingkungan membantu perusahaan untuk meningkatkan kinerja lingkungan, mengurangi risiko hukum, dan meningkatkan citra positif.
· Lembaga yang Menyelenggarakan:
Audit lingkungan dapat dilakukan oleh auditor internal perusahaan atau auditor eksternal yang independen, seperti Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Sumber: https://www.sucofindo.co.id/layanan-jasa/audit-lingkungan-hidup/
Refleksi
Penjelasan mengenai masing-masing instrument dengan lebih detail akan dituliskan pada serial artikel-artikel lebih lanjut. Semoga bermanfaat dan menjadi informasi serta pengetahuan lebih lanjut mengenai pengelolaan usaha, bisnis, dan aktivitas ekonomi yang berkelanjutan. Aktivitas ekonomi yang ramah terhadap alam, memberdayakan masyarakat, yang pada akhirnya akan menghasilkan keuntungan atau profit yang memadai.
Seri #3: Corporate Social Responsibility dan Undang-Undang No. 40/2007 Tentang Perseroan Terbatas
Pengantar
Corporate Social Responsibility (CSR) dapat didefinisikan sebagai sebuah komitmen untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui praktik bisnis secara sukarela dan melalui sumber daya perusahaan. Dalam hal ini, perusahaan melakukan komitmennya murni secara sukarela turut meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan bukan dikarenakan sebuah kewajiban atau keterpaksaan
Sedangkan Sedangkan menurut Friedman (1970), tanggung jawab sosial perusahaan adalah menjalankan bisnis sesuai dengan keinginan pemilik perusahaan, biasanya dalam bentuk menghasilkan uang sebanyak mungkin dengan senantiasa mengindahkan aturan dasar yang digariskan dalam suatu masyarakat sebagaimana diatur oleh hukum dan perundang-undangan.
Jadi, dapat disimpulkan, Corporate Social Responsibility adalah konsep yang diterapkan perusahaan dengan tujuan agar menyejahterakan masyarakat serta menjaga lingkungan sekitar terkait keberadaan perusahaan tersebut. Kepedulian perusahaan terhadap masyarakat dan lingkungan dapat meningkatkan citra perusahaan di mata publik.
Corporate Social Responsibility (CSR) atau Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (TJSP) adalah konsep di mana perusahaan memiliki tanggung jawab terhadap dampak sosial dan lingkungan yang dihasilkan oleh aktivitas bisnisnya. CSR bukan hanya tentang memberikan sumbangan atau filantropi, tetapi juga tentang bagaimana perusahaan menjalankan bisnisnya secara etis, berkelanjutan, dan bertanggung jawab terhadap berbagai pihak yang terkait, seperti karyawan, masyarakat, dan lingkungan. Lebih detail tentang CSR:
· Tujuan CSR:
Tujuan utama CSR adalah meningkatkan kualitas hidup masyarakat dan lingkungan, serta menciptakan keberlanjutan dalam seluruh kegiatan bisnis perusahaan.
· Aspek-aspek CSR:
CSR mencakup berbagai aspek, termasuk:
· Dampak Lingkungan: Perusahaan bertanggung jawab untuk mengurangi dampak negatif kegiatan bisnisnya terhadap lingkungan, seperti polusi, limbah, dan pemanfaatan sumber daya alam.
· Tanggung Jawab Etis: Perusahaan harus beroperasi dengan jujur, adil, dan transparan dalam semua aspek bisnisnya, termasuk dalam hubungannya dengan karyawan, konsumen, dan pemangku kepentingan lainnya.
· Upaya Filantropis: Perusahaan dapat memberikan sumbangan atau bantuan kepada masyarakat dan komunitas yang membutuhkan, seperti bantuan pendidikan, kesehatan, atau pemberdayaan ekonomi.
· Tanggung Jawab Ekonomi: Perusahaan harus terus beroperasi secara berkelanjutan dan menguntungkan, sehingga dapat terus berkontribusi pada perekonomian dan menyediakan lapangan kerja.
· Manfaat CSR:
Penerapan CSR dapat memberikan berbagai manfaat bagi perusahaan, seperti:
· Meningkatkan citra dan reputasi perusahaan.
· Meningkatkan daya saing dan menarik investor yang peduli dengan dampak sosial dan lingkungan.
· Meningkatkan motivasi dan produktivitas karyawan.
· Menjalin hubungan baik dengan masyarakat dan pemangku kepentingan lainnya.
· Tingkatan CSR:
Ada beberapa tingkatan CSR yang dapat dilakukan oleh perusahaan, mulai dari yang paling dasar hingga yang paling komprehensif.
· Contoh CSR:
Contoh penerapan CSR dapat berupa:
· Program pendidikan dan pelatihan bagi masyarakat sekitar.
· Program kesehatan dan kebersihan lingkungan.
· Program pemberdayaan ekonomi masyarakat melalui pengembangan UMKM.
· Program penghijauan dan pelestarian lingkungan.
Sumber: https://markplusinstitute.com/explore/corporate-social-responsibility/
Hukum dan Perundang-undangan yang mengatur Corporate Social Responsibility (CSR)
Secara hukum dan perundang-undangan ada sedikitnya tiga peraturan yang mewajibkan CSR untuk dilaksanakan. CSR sendiri dibagi menjadi tiga macam yaitu CSR untuk Perseroan Terbatas (PT), CSR untuk penanam modal, dan CSR untuk BUMN.
Undang-undang yang Mengatur CSR untuk Perseroan Terbatas (PT)
CSR dalam Perseroan Terbatas (PT) diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas pada Pasal 74 yang menyebutkan bahwa perusahaan wajib menciptakan hubungan Perseroan yang serasi, seimbang, dan sesuai dengan lingkungan, nilai, norma, dan budaya masyarakat setempat.
Undang-undang yang Mengatur CSR untuk Penanam Modal nntuk penanam modal, CSR diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanam Modal pada Pasal 15 ayat (b) menyebutkan bahwa setiap penanam modal berkewajiban melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan.
Undang-undang yang Mengatur CSR untuk Badan Usaha Milik Negara (BUMN)
Dalam Keputusan Menteri Badan Usaha Milik Negara NOMOR KEP-236/MBU/2003 pada pasal 2 menyatakan bahwa BUMN wajib melaksanakan Program Kemitraan dan Program BL dengan memenuhi ketentuan-ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini. Sumber dana pembinaan berasal dari bagian pemerintah atas laba BUMN sebesar antara 1%-5% dari seluruh laba perusahaan setelah pajak.
Jadi, Hukum dan perundang-undangan yang mengatur Corporate Social Responsibility (CSR) di Indonesia adalah Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UUPT) dan Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2012 tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perseroan Terbatas. UU 40/2007 mengatur kewajiban CSR bagi perusahaan yang beroperasi di bidang atau terkait dengan sumber daya alam, sedangkan PP 47/2012 memberikan rincian lebih lanjut mengenai pelaksanaan CSR.
Sumber: https://lindungihutan.com/blog/macam-macam-dasar-hukum-csr/
Definisi Tanggung Jawab Sosial Perusahaan
Hackston & Milne (1996) dalam Sembiring (2005) menyatakan bahwa tanggung jawab sosial perusahaan atau corporate social responsibility (CSR) merupakan proses pengomunikasian dampak sosial dan lingkungan dari kegiatan ekonomi perusahaan terhadap kelompok khusus yang berkepentingan dan terhadap masyarakat secara keseluruhan. Undang-Undang No 40 tahun 2007 pasal 74 ayat (2) mengenai Perseroan Terbatas menyatakan bahwa tanggung jawab sosial merupakan kewajiban Perseroan yang dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya perseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan kepatuhan dan kewajaran. Untung (2008) mendefinisikan tanggung jawab sosial perusahaan atau corporate social responsibility (CSR) adalah komitmen perusahaan atau dunia bisnis untuk berkontribusi dalam perkembangan ekonomi yang berkelanjutan dengan memperhatikan tanggung jawab sosial perusahaan dan menitikberatkan pada keseimbangan terhadap aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan.
Harsanti (2011) menyatakan tanggung jawab sosial adalah sebuah gagasan yang menjadikan perusahaan tidak lagi berpijak pada prinsip single bottom line, yaitu nilai perusahaan hanya direfleksikan pada kondisi keuangannya saja dan perusahaan hanya memunyai kewajiban ekonomi kepada pemegang saham (shareholder), tetapi juga kewajiban terhadap pihak-pihak lain yang berkepentingan (stakeholder). Berdasarkan definisi yang telah diungkapkan, maka dapat disimpulkan tanggung jawab sosial perusahaan atau corporate social responsibility merupakan suatu komitmen perusahaan kepada pihak stakeholder ataupun shareholder untuk bertanggung jawab atas kinerja bisnis perusahaan dalam aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan. Tanggung jawab sosial bukan saja menuntut perusahaan untuk memperoleh laba yang tinggi namun bagaimana hubungan perusahaan dengan lingkungan sekitar perusahaan.
Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (TJSP) atau Corporate Social Responsibility (CSR) adalah komitmen bisnis untuk berkontribusi pada pembangunan ekonomi berkelanjutan, dengan memperhatikan dampak sosial, lingkungan, dan etika operasionalnya, di luar kewajiban hukumnya. Penerapan CSR dapat meningkatkan citra positif perusahaan, meningkatkan loyalitas pelanggan, menarik investasi, dan menciptakan lingkungan kerja yang lebih baik. Lebih rinci, CSR adalah:
· Komitmen berkelanjutan:
Perusahaan tidak hanya fokus pada keuntungan, tetapi juga pada dampak operasionalnya terhadap masyarakat dan lingkungan.
· Menyeimbangkan aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan:
CSR mendorong perusahaan untuk mempertimbangkan dampak operasionalnya terhadap ketiga aspek tersebut.
· Pengintegrasian perhatian sosial dan lingkungan:
Perusahaan mengintegrasikan perhatian sosial dan lingkungan dalam operasi bisnis mereka untuk meningkatkan kualitas hidup dan lingkungan.
· Berpikir jangka panjang:
CSR mendorong perusahaan untuk beroperasi secara berkelanjutan dan bertanggung jawab untuk generasi mendatang.
· Lebih dari sekadar filantropi:
CSR bukan hanya tentang menyumbang atau melakukan kegiatan amal, tetapi juga mencakup etika bisnis, keadilan sosial, dan keberlanjutan lingkungan.
· Memenuhi harapan pemangku kepentingan:
Perusahaan bertanggung jawab terhadap konsumen, karyawan, pemegang saham, komunitas, dan lingkungan.
Contoh-contoh CSR antara lain:
· Melakukan program pemberdayaan masyarakat:
Misalnya, memberikan pelatihan keterampilan, bantuan modal usaha, atau pembangunan infrastruktur.
· Melakukan program pendidikan:
Misalnya, memberikan beasiswa, membangun sekolah, atau mendukung program literasi.
· Melakukan program lingkungan:
Misalnya, menanam pohon, melakukan reboisasi, atau mengelola limbah industri secara bertanggung jawab.
· Menerapkan prinsip-prinsip etika dalam rantai pasokan:
Misalnya, memastikan tidak ada eksploitasi tenaga kerja anak atau praktik bisnis yang merugikan.
· Meningkatkan kesejahteraan karyawan:
Misalnya, memberikan pelatihan, tunjangan, atau fasilitas yang baik.
Pengungkapan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan
Chariri & Ghozali (2007) menyatakan bahwa pengungkapan dapat diartikan sebagai pemberian informasi bagi pihak-pihak yang berkepentingan terhadap informasi tersebut. Rakhiemah & Agustia (2009) menyatakan bahwa pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan atau corporate social responsibility (CSR) merupakan suatu proses penyedia informasi yang dirancang untuk mengemukakan masalah seputar social accountability, yang secara khas tindakan ini dapat dipertanggungjawabkan dalam media-media seperti laporan tahunan maupun dalam bentuk iklan yang berorientasi sosial. Dari beberapa definisi di atas maka dapat disimpulkan bahwa pengungkapan tanggung jawab social merupakan suatu proses yang dilakukan perusahaan untuk menyediakan informasi mengenai aktivitas sosial perusahaan, yang dapat memengaruhi persepsi masyarakat dan kinerja keuangan perusahaan.
Sitepu & Siregar (2009) menyatakan tujuan dari pengungkapan tanggung jawab sosial adalah menyediakan informasi yang memungkinkan dilakukan evaluasi perusahaan terhadap masyarakat. Pengaruh kegiatan ini bersifat negatif jika menimbulkan biaya sosial pada masyarakat, dan bersifat positif jika menimbulkan manfaat sosial bagi masyarakat. Utomo (2000) menyatakan bahwa tujuan pengungkapan dikategorikan menjadi dua yaitu protective disclosure yang merupakan upaya perlindungan terhadap investor, dan information disclosure yang bertujuan memberikan informasi yang layak kepada pengguna laporan. Jadi, tujuan tanggung jawab sosial adalah menyediakan informasi bagi para pengguna laporan keuangan baik dalam dampak dan manfaat atas aktivitas yang dilakukan perusahaan kepada masyarakat. Selain itu, pengungkapan tanggung jawab sosial tersebut dapat menjadi evaluasi kinerja perusahaan dan menerangkan dampak yang timbul atas kinerja perusahaan.
Di Indonesia, pengungkapan tanggung jawab sosial dan lingkungan dalam laporan tahunan Perseroan Terbatas telah diwajibkan melalui pasal 66 ayat 2 Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Undang-Undang tersebut mewajibkan setiap laporan tahunan Perseroan Terbatas memuat sekurang-kurangnya laporan keuangan, laporan mengenai kegiatan perusahaan, laporan tanggung jawab sosial dan lingkungan, rincian masalah yang timbul selama tahun buku, laporan mengenai tugas pengawasan, nama anggota Direksi dan Dewan Komisaris dan gaji beserta tunjangan anggota Direksi dan Dewan Komisaris.
Praktik pengungkapan tanggung jawab sosial diatur oleh Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) dalam Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK 2011) No. 1 Paragraf 12, yang menyatakan bahwa entitas dapat pula menyajikan, terpisah dari laporan keuangan, laporan mengenai lingkungan hidup dan laporan nilai tambah khususnya bagi industri yang faktor-faktor lingkungan hidup memegang peranan penting dan bagi industri yang menganggap pegawai sebagai kelompok pengguna laporan yang memegang peranan penting.
Peraturan Bapepam-LK mengenai Emiten dan Perusahaan Publik terkait Pelaporan Emiten dan Perusahaan Publik, tertuang dalam peraturan VIII.G.2 yang telah diubah menjadi peraturan No. X.K.6 (Kewajiban Penyampaian Laporan Tahunan Bagi Emiten dan Perusahaan Publik) juga menyatakan bahwa laporan tahunan wajib memuat ikhtisar data keuangan penting, laporan Dewan Komisaris, laporan Direksi, profil perusahaan, analisis dan pembahasan manajemen, tata kelola perusahaan, tanggung jawab sosial perusahaan, laporan keuangan tahunan yang telah diaudit, dan surat pernyataan tanggung jawab Dewan Komisaris dan Direksi atas kebenaran isi laporan tahunan.
Jadi, dapat dikatakan bahwa secara keseluruhan pengungkapan laporan tanggung jawab sosial telah menjadi suatu kewajiban bagi perusahaan publik di Indonesia. Perusahaan dituntut untuk tidak hanya memikirkan kepentingan pemegang saham atau pemilik, namun juga mementingkan kepentingan masyarakat sekitar. Perusahaan dalam memperoleh laba harus memperhatikan kondisi masyarakat dan lingkungan, dan kegiatan yang dilakukan oleh perusahaan diungkapkan pula pada laporan tahunan perusahaan. 18
Sumber: https://www.esgi.ai/mengenal-csr-disclosure/
Pengungkapan Lingkungan
Al Tuwaijiri, Christensen & Hughes (2004) menyatakan pengungkapan lingkungan perusahaan sebagai kumpulan informasi yang berhubungan dengan aktivitas pengelolaan lingkungan oleh perusahaan di masa lalu, sekarang, dan yang akan datang. Suratno, Darsono, & Mutmainah (2006) menyatakan bahwa pengungkapan lingkungan perusahaan merupakan pengungkapan informasi terkait dengan lingkungan di dalam laporan tahunan (annual report) perusahaan. Fatayaningrum (2011) pengungkapan lingkungan merupakan pengungkapan perusahaan terhadap dampak dari aktivitas perusahaan pada lingkungan fisik atau alam pada tempat perusahaan beroperasi. Berdasarkan beberapa definisi maka dapat disimpulkan bahwa pengungkapan lingkungan merupakan kumpulan informasi yang terdapat pada laporan tahunan perusahaan mengenai aktivitas perusahaan pada lingkungan sekitar. Pengungkapan tersebut dapat berupa pencegahan polusi akibat aktivitas perusahaan, pelestarian lingkungan, pemanfaatan dan perlindungan lingkungan, serta informasi lain yang berhubungan dengan lingkungan hidup.
Pengungkapan lingkungan merupakan salah satu pengungkapan yang menjadi bagian dari pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan atau corporate social responsibility (CSR), yang berfokus pada kepedulian perusahaan terhadap lingkungan sekitar. Kepedulian perusahaan terhadap permasalahan lingkungan dapat dilakukan dengan melaksanakan program-program kinerja lingkungan yang kemudian di ungkapkan dalam laporan, baik pada laporan tahunan maupun laporan terpisah lainnya yang disebut laporan keberlanjutan (sustainability report).
Terdapat beberapa alasan perusahaan dalam memperhatikan lingkungan adalah sebagai berikut (Januarti & Apriyanti, 2005).
1. Isu lingkungan yang melibatkan kepentingan berbagai kelompok dalam masyarakat yang dapat mengganggu kualitas hidup mereka.
2. Dalam era globalisasi, produk-produk yang diperdagangkan harus bersahabat dengan lingkungan.
3. Para investor dalam menanamkan modalnya cenderung untuk memilih perusahaan yang memiliki dan mengembangkan kebijakan dan program lingkungan.
4. Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan pecinta lingkungan semakin vokal dalam mengkritik perusahaan-perusahaan yang kurang peduli terhapa lingkungan.
Pentingnya pengungkapan lingkungan juga menimbulkan adanya peraturan khusus seperti yang tertuang pada pasal 68 huruf (a) Undang-Undang No.32 Tahun 2009 mengenai Pengelolaan Lingkungan Hidup. Dalam pasal 68 huruf (1) Undang-Undang No. 32 tahun 2009 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup disebutkan bahwa setiap orang yang melakukan usaha atau kegiatan berkewajiban memberikan informasi yang terkait dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup secara benar, akurat dan terbuka, serta tepat waktu. Pengungkapan kinerja lingkungan dan tanggung jawab sosial perusahaan dapat dilakukan melalui laporan tahunan atau laporan terpisah yang disebut dengan sustainability report dan media lainnya seperti website. Sustainability report ini mencakup kinerja lingkungan, sosial dan ekonomi, dan sering dibuat dengan nama environmental report, social report, atau environmental and social report tergantung dari tujuan pengungkapan.
Seri #4: International Standard Organization (ISO) 14001 tentang Manajemen Lingkungan
International Standard Organization (ISO)
International Organization for Standardization (ISO) adalah suatu asosiasi global di luar pemerintahan yang terdiri dari badan-badan standardisasi nasional yang beranggotakan 140 negara dan berdiri sejak tahun 1947.
Untuk mencapai tujuan tersebut dibentuk SAGE (Startegic Advisory Group on the Environment). Kemudian TC 207 (Komisi Teknis) pada tahun 1993 dibentuk oleh Organisasi Internasional untuk Standarisasi (ISO). Komisi ini terdiri dari berbagai negara dan bertugas merumuskan konsep standar internasional di bidang lingkungan.
Adapun pembagian tugasnya adalah sebagai berikut.
1. Sub komisi yang menangani Environmental Management System (Sistem pengelolaan Lingkungan dan sumberdaya alam),
2. Sub komisi yang menangani Environmental Auditing (Odit Lingkungan),
3. Sub komisi yang menangani Environmental Labelling (Labe Lingkungan),
4. Sub komisi yang menangani Environmental Performance Evaluating (Evaluasi Kinerja Lingkungan),
5. Sub komisi yang menangani Life Cycle Analysis (Analisis Daur Hidup),
6. Sub komisi yang menangani Environemental aspect in Product Standard (Aspek Lingkungan dalam Baku mutu Produk),
7. Sub komisi yang bertugas menyusun Term and Definitions (Istilah dan Definisi)
Sumber: https://www.awesomefintech.com/term/international-organization-for-standardization-iso/
Seri ISO 14000
Tujuan ISO 14000 (Kuhre, 1995) antara lain adalah.
1. Mendorong upaya dan melakukan pendekatan untuk pengelolaan lingkungan hidup dan sumberdaya alam dan kualitas pengelolaannya diseragamkan pada lingkup global.
2. Meningkatkan kemampuan organisasi untuk mampu memperbaiki kualitas dan kinerja lingkungan hidup dan sumber daya alam.
3. Memberikan kemampuan dan fasilitas pada kegiatan ekonomi dan industri, sehingga tidak mengalami rintangan dalam berusaha.
ISO seri 14000 terdiri dari beberapa seri yaitu.
1. ISO seri 14001--14009 tentang Environmental Manajemen Sistem (EMS) atau Sistem Manajemen Lingkungan.
Dari seluruh seri ISO 14000, ISO 14001 tentang sistem manajemen lingkungan adalah seri yang paling banyak dikenal karena sertifikasi ISO 14000 sebenarnya adalah sertifikasi untuk ISO 14001 ini. Ada 3 komponen besar dalam ISO 14001 yaitu program lingkungan tertulis;
pendidikan dan pelatihan; dan pengetahuan mengenai peraturan perundang-undangan lokal dan nasional.
2. ISO seri 14010--14019 tentang Environmental Auditing (Audit Lingkungan)
ISO seri ini merupakan suatu alat (tools) dalam penerapan system manajemen lingkungan, jadi tidak memerlukan sertifikasi. Audit lingkungan mirip dengan medical check up yaitu evaluasi secara rutin mengenai kondisi suatu perusahaan. Audit lingkungan dapat dilakukan oleh intern perusahaan (internal audit) maupun oleh pihak luar (eksternal audit). Untuk audit sistem manajemen lingkungan seorang auditor harus memenuhi kriteria auditor seperti yang ditetapkan dalam ISO 14012.
3. ISO seri 14020--14029 tentang Environmental Labelling (Ekolabel).
ISO seri ini juga dimaksudkan untuk sertifikasi, tetapi yang disertifikasi adalah produknya sedangkan EMS yang disertifikasi adalah sistemya. Jadi suatu perusahaan yang sudah mendapat sertifikat ISO 14001, bila diperlukan maka dapat juga mengusulkan untukk memperoleh ekolabeling. Yang mana yang akan didahulukan untuk perolehannya tergantung dari permintaan pasar.
4. ISO seri 14030--14039 tentang Environmental Performance
Evaluation (EPE) atau Evaluasi Kinerja Lingkungan.
Environmental Performance Evaluation diukur dengan mengkuantifikasi dampak kegiatan terhadap lingkungan. Hal-hal tersebut dapat diidentifikasi secara dini dengan menginventarisasi
dampak seperti emisi udara, effluen limbah cair, dan sebagainya. Penetapan baseline dari hasil inventarisasi, perusahaan kemudian mengidentifikasi indikator adanya peningkatan kinerja.
5. ISO seri 154040--14049 tentang Life Cycle Assessment (LCA) atau
Analisis Daur Hidup Produk.
LCA juga merupakan suatu alat, jadi standar ini tidak dimaksudkan untuk sertifikasi. Setiap produk mempunyai siklus hidup yaitu: lahir (fabrikasi), hidup (dioperasikan) dan mati (dibuang).
6. ISO 14050 tentang Term and Definition.
Dalam dokumen ini terdapat definisi-definisi yang digunakan dalam ISO seri 14000. Standar ISO seri 14000 yang telah ditetapkan menjadi standar internasional adalah ISO 14001, 14004, 14010, 14011, 14012 dan ISO 14040. Indonesia pada saat ini telah mengadopsi Standar ISO
14001, 14002, 14010, 14011 dan 14012 menjadi Standar Nasional Indonesia (SNI).
Pengertian tentang masing-masing standar dan istilah yang di dalam ISO 14000 akan sangat membantu pemahaman tentang konsep ISO seri 14000.
Adapun beberapa pengertian dasar adalah sebagai berikut.
1. Environmental Management System.
Bagian dari keseluruhan sistem manajemen yang termasuk didalamnya struktur organisasi, aktivitas perencanaan, tanggung jawab, praktek, prosedur-prosedur, proses dan sumber daya untuk pengembangan, penerapan, pencapaian, pengkajian dan pemeliharaan
kebijaksanaan lingkungan.
2. Continual Improvement.
Proses peningkatan atau perbaikan sistem pengelolaan lingkungan untuk mencapai / memperbaiki kinerja lingkungan secara keseluruhan dan sejalan dengan kebijaksanaan lingkungan dari suatu organisasi.
3. Environment.
Lingkungan sekitar operasi suatu perusahaan, termasuk udara, air, tanah, sumber daya alam, flora, fauna, manusia dan hubungannya satu dengan lainnya.
4. Environmental Aspect.
Elemen dari suatu kegiatan organisasi, produk atau jasa yang dapat berinteraksi dengan lingkungan
5. Environmental Impact.
Perubahan terhadap lingkungan, menguntungkan atau merugikan, secara keseluruhan ataupun sebagian yang dihasilkan dari kegiatan suatu organisasi, produk dan jasa.
6. EMS Audit.
Proses verifikasi yang sistimatis dan terdokumentasi yang secara obyektif menentukan dan mengevaluasi bukti audit untuk menentukan apakah suatu sistem pengelolaan lingkungan suatu organisasi telah sesuai dengan kriteria EMS audit dan mengkomunikasikan hasil dari proses ini kepada klien.
7. Organisasi.
Perusahaan, korporasi, firma, usaha, atau institusi atau secara bagian ataupun kombinasi, swasta ataupun milik publik, yang memiliki fungsi dan administrasi.
8. Kriteria audit EMS.
Kebijaksanaan, hal praktis, prosedur-prosedur atau persyaratan seperti yang tercantum dalam ISO 14000 dan jika tersedia, erbagai tambahan persyaratan EMS yang dibandingkan dengan hasil pengumpulan bukti audit oleh auditor tentang sistem pengelolaan lingkungan (EMS) suatu
organisasi.
9. Environmental label/declaration.
Klaim yang mengindikasikan atribut lingkungan dari suatu produk atau jasa yang dapat berupa pernyataan, symbols, atau grafik pada produk atau label paket, literatur produk, buletin teknis, iklan, publikasi.
10. Environmental performance.
Kinerja lingkungan, hasil pengelolaan suatu manajemen terhadap aspek lingkungan (environmental aspects) daripada kegiatannya, produk dan jasa.
11. Environmental performance evaluation.
Proses untuk mengukur, menganalisis, mengkaji, melaporkan dan mengkomunikasikan kinerja lingkungan suatu organisasi dibandingkan dengan kriteria yang disetujui oleh manajemen.
12. Life cycle assessment.
Prosedur sistimatis untuk mengumpulkan dan menguji masukan dan keluaran dari bahan dan energi serta dampak lingkungan yang terkait yang langsung terikut dalam fungsi sistem produk dan jasa melalui siklus hidup dari produk dan jasa tersebut.
Sumber: http://dwisuryanis.blogspot.com/2017/05/iso-14000-peran-iso-14000-dalam_72.html
Seri #5: International Standard Organization (ISO) 26000 tentang Corporate Responsibility
Pengantar ISO 26000 tentang CSR
International Organization for Standardization (ISO) adalah suatu asosiasi global di luar pemerintahan yang terdiri dari badan-badan standardisasi nasional yang beranggotakan 140 negara dan berdiri sejak tahun 1947. Pada 1 November 2010, ISO mengeluarkan ISO 26000 yang merupakan suatu standar mengenai panduan perilaku bertanggung jawab sosial bagi organisasi guna berkontribusi terhadap pembangunan berkelanjutan (www.iso.org, 2013).
Munculnya ISO 26000 ini diharapkan dapat memberikan tambahan nilai terhadap aktivitas tanggung jawab sosial yang berkembang saat ini melalui pengembangan suatu konsensus terhadap pengertian tanggung jawab sosial dan isunya, menyediakan pedoman tentang penerjemahan prinsip-prinsip menjadi kegiatan yang efektif dan memilah praktik-praktik terbaik yang sudah berkembang dan menyebarluaskannya untuk kebaikan komunitas atau masyarakat internasional. ISO 26000 menerjemahkan tanggung jawab sosial sebagai tanggung jawab suatu organisasi atas dampak dari keputusan dan aktivitasnya terhadap masyarakat dan lingkungan melalui perilaku yang transparan dan etis, serta konsisten dengan pembangunan berkelanjutan dan kesejahteraan masyarakat, memperhatikan kepentingan dari para stakeholder, sesuai hukum yang berlaku dan konsisten dengan norma-norma internasional serta terintegrasi di seluruh aktivitas organisasi (www.iso.org, 2013).
Pedoman ISO 26000 terdiri dari 6 bab serta memuat 7 prinsip, 2 praktik dasar, 7 subjek inti, 36 isu, dan 6 praktik integrasi tanggung jawab sosial organisasi. Berbagai isu yang tercakup dalam tanggung jawab sosial menurut ISO 26000 digambarkan sebagai berikut. Tanggung Jawab Sosial, Lingkungan, Praktik operasi yang adil, Isu-isu konsumen, Pembangunan social, Tata kelola organisasi, Hak asasi manusia, Praktik Ketenagakerjaan.
ISO 26000 adalah sebuah standar internasional yang berfungsi sebagai panduan (guidance) mengenai tanggung jawab sosial (social responsibility) bagi berbagai jenis organisasi. Standar ini tidak memberikan sertifikasi, tetapi menawarkan praktik terbaik dan rekomendasi untuk membantu organisasi mengintegrasikan tanggung jawab sosial ke dalam operasi, rantai pasokan, dan pasar mereka.
· Tujuan:
ISO 26000 bertujuan untuk membantu organisasi memahami, menerapkan, dan mengkomunikasikan komitmen, kinerja, dan informasi terkait tanggung jawab sosial.
· Konsensus Internasional:
Standar ini dikembangkan melalui proses negosiasi dan konsensus internasional, melibatkan berbagai pemangku kepentingan seperti pemerintah, LSM, industri, kelompok konsumen, dan organisasi buruh.
· Bukan Standar Sertifikasi:
ISO 26000 bukan standar sertifikasi, artinya tidak ada sistem audit atau sertifikasi yang terkait dengan standar ini.
· Tujuan Utama:
Standar ini bertujuan untuk mendorong organisasi beroperasi secara bertanggung jawab sosial dan memberikan kontribusi terhadap pembangunan berkelanjutan global.
· Ruang Lingkup:
ISO 26000 mencakup berbagai aspek tanggung jawab sosial, seperti hak asasi manusia, praktik perburuhan, lingkungan, praktik operasional yang adil, isu konsumen, dan pelibatan komunitas.
· Penerapan:
Standar ini dapat diterapkan oleh berbagai jenis organisasi, baik itu perusahaan, pemerintah, atau organisasi non-pemerintah, tanpa memandang ukuran atau lokasinya.
Sumber: https://bangazul.com/iso-26000/
Subjek Fundamental dari Tanggung Jawab Sosial menurut ISO 26000 (www.iso.org, 2013)
1. Tata kelola organisasi (organizational governance): sistem pengambilan dan penerapan keputusan perusahaan dalam rangka pencapaian tujuannya.
2. Hak asasi manusia (human rights): hak dasar yang berhak dimiliki semua orang sebagai manusia, yang antara lain mencakup hak sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya.
3. Praktik ketenagakerjaan (labour practices): segala kebijakan dan praktik yang terkait dengan pekerjaan yang dilakukan di dalam atau atas nama perusahaan.
4. Lingkungan (the environment): dampak keputusan dan kegiatan perusahaan terhadap lingkungan.
5. Prosedur operasi yang wajar (fair operating procedures): perilaku etis organisasi saat berhubungan dengan organisasi dan individu lain.
6. Isu konsumen (consumer issues): tanggung jawab perusahaan penyedia barang/jasa terhadap konsumen dan pelanggannya.
7. Pelibatan dan pengembangan masyarakat (community involvement and development): hubungan organisasi dengan masyarakat di sekitar wilayah operasinya.
Subjek fundamental dari Tanggung Jawab Sosial (TJS) menurut ISO 26000 mencakup tujuh area utama yang saling terkait: tata kelola organisasi, hak asasi manusia, praktik ketenagakerjaan, lingkungan, praktik operasi yang adil, isu konsumen, dan keterlibatan serta pengembangan komunitas. Elaborasi:
1. Tata Kelola Organisasi:
Ini mencakup prinsip-prinsip seperti akuntabilitas, transparansi, etika, dan keterlibatan pemangku kepentingan dalam proses pengambilan keputusan.
2. Hak Asasi Manusia:
Organisasi harus menghormati dan melindungi hak asasi manusia, termasuk hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya.
3. Praktik Ketenagakerjaan:
Ini menyangkut hubungan kerja, kondisi kerja, kesehatan dan keselamatan di tempat kerja, serta dialog sosial antara pengusaha dan pekerja.
4. Lingkungan:
Organisasi harus bertanggung jawab dalam penggunaan sumber daya, pencegahan pencemaran, mitigasi perubahan iklim, dan pelestarian lingkungan.
5. Praktik Operasi yang Adil:
Ini mencakup praktik anti-korupsi, keterlibatan politik yang bertanggung jawab, persaingan yang adil, dan promosi tanggung jawab sosial dalam rantai nilai.
6. Isu Konsumen:
Organisasi harus memastikan praktik pemasaran yang adil, melindungi kesehatan dan keselamatan konsumen, serta mempromosikan konsumsi yang berkelanjutan.
7. Keterlibatan dan Pengembangan Komunitas:
Organisasi harus berinteraksi dengan masyarakat, mendukung pengembangan ekonomi dan sosial, serta berpartisipasi dalam upaya pemberdayaan masyarakat.
ISO 26000 memberikan panduan bagi organisasi untuk memahami dan mengimplementasikan TJS secara efektif, dengan mempertimbangkan konteks dan tantangan unik yang dihadapi setiap organisasi. Berdasarkan konsep ISO 26000, penerapan sosial responsibility hendaknya terintegrasi di seluruh aktivitas perusahaan dengan mencakup keseluruhan isu pokok yang terdapat pada ISO 26000. Dengan demikian, jika suatu perusahaan hanya memperhatikan isu tertentu saja, misalnya seperti aspek lingkungan, maka dapat dikatakan bahwa perusahaan tersebut sesungguhnya belum melaksanakan tanggung jawab sosial.
Seri #6: Global Reporting Initiative (GRI)
Global Reporting Initiatives (GRI)
Global Reporting Initiatives (GRI) disusun pertama kali pada tahun 1997 oleh Coalition on Environment Responsible Economies (CERES) yang bekerjasama dengan Tellus Institutes (www.globalreporting.org). Global Reporting Initiatives (GRI) menyediakan sarana internal untuk mengevaluasi konsistensi kebijakan sustainability perusahaan dan strategi yang digunakan, serta kegiatan aktual lainnya. Pada tahun 2000, Global Reporting Initiatives (GRI) mengeluarkan The Sustainability Reporting Guidelines yang telah diadopsi oleh kurang lebih seratus perusahaan di seluruh dunia (Nuraini, 2010). Purnasiwi (2011) menyatakan bahwa standar pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan atau Corporate Sosial Responsibility (CSR) yang berkembang di Indonesia menggunakan standar yang dikembangkan oleh Global Reporting Initiatives (GRI). Dengan demikian, perusahaan-perusahaan di Indonesia dalam melakukan pengungkapan tanggung jawab lingkungan dapat menggunakan standar dari Global Reporting Initiatives. Standar tersebut dapat menjadi tolok ukur dan acuan pada penerapan tanggung jawab lingkungan.
Global Reporting Initiatives merupakan suatu organisasi nirlaba yang memelopori kinerja ekonomi, lingkungan dan sosial berkelanjutan. Tujuan Global Reporting Initiatives (GRI) yaitu membantu para investor, pemerintah, perusahaan dan masyarakat umum untuk memahami lebih jelas mengenai proses peningkatan dalam pencapaian keberlanjutan (sustainability). Global Reporting Initiatives menyediakan rerangka pelaporan keberlanjutan untuk semua perusahaan dengan indikator pengungkapan seperti ekonomi (9 item), lingkungan (30 item), tenaga kerja (14 item), hak asasi manusia (11 item), masyarakat (8 item) dan produk (9 24 item). Rerangka pelaporan yang dikembangkan oleh GRI bersifat umum dan telah disetujui oleh berbagai pemangku kepentingan di seluruh dunia, serta dapat diaplikasikan secara umum dalam melaporkan kinerja keberlanjutan dari sebuah organisasi (Sudana & Arlindania, 2011).
Global Reporting Initiatives merupakan organisasi nirlaba yang dibentuk pada tahun 1997 oleh Coalition for Environmentally Responsible Economies (CERES) dan Tellus Institute dengan dukungan dari United Nations Environment Programme (UNEP) (www.globalreporting.org, 2013). Pada tahun 2006, GRI menerbitkan pedoman GRI report dan versi terbaru pedoman ini diterbitkan pada tahun 2013 yaitu GRI G4.
Global Reporting Initiative adalah sebuah kerangka pelaporan untuk membuat sustainability reports yang terdiri atas prinsip-prinsip pelaporan, panduan pelaporan dan standar dalam pengungkapan termasuk didalamnya indikator kinerja (www.globalreporting.org, 2013). Dengan diterbitkannya pedoman GRI diharapkan dapat membantu investor, pemerintah, perusahaan dan masyarakat umum untuk memahami lebih jelas mengenai proses peningkatan dalam pencapaian keberlanjutan (sustainability).
Global Reporting Initiative (GRI) adalah sebuah organisasi internasional independen yang menyediakan kerangka kerja dan standar untuk pelaporan keberlanjutan. GRI membantu bisnis dan organisasi lain untuk melaporkan dampak ekonomi, lingkungan, dan sosial mereka secara transparan.
· Organisasi Independen:
GRI adalah organisasi non-profit yang independen, bukan lembaga pemerintah atau organisasi bisnis.
· Standar Pelaporan:
GRI mengembangkan standar yang digunakan oleh organisasi di seluruh dunia untuk melaporkan kinerja keberlanjutan mereka.
· Dampak Ekonomi, Lingkungan, dan Sosial:
Standar GRI mencakup berbagai topik, seperti perubahan iklim, hak asasi manusia, dan tata kelola perusahaan.
· Transparansi:
GRI bertujuan untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas perusahaan dan organisasi lain dalam hal keberlanjutan.
· Penerapan Global:
Standar GRI diadopsi dan digunakan secara luas di seluruh dunia, dengan lebih dari 10.000 organisasi yang melaporkan menggunakan standar GRI setiap tahunnya.
· Manfaat:
Penerapan GRI dapat membantu organisasi untuk meningkatkan kinerja keberlanjutan, meningkatkan citra perusahaan, dan menarik investor.
Pedoman Global Reporting Initiative (GRI)
Dalam pedoman Global Reporting Initiative terdapat tiga jenis pengungkapan yaitu strategi dan profil, pendekatan manajemen serta indikator kinerja. Pengungkapan strategi dan profil merupakan pengungkapan yang menentukan konteks keseluruhan dalam memahami kinerja organisasi, seperti strategi, profil dan tata kelola. Pengungkapan pendekatan manajemen mencakup bagaimana sebuah organisasi mengarahkan seperangkat topik dalam menyediakan konteks untuk memahami kinerja pada wilayah tertentu. Sedangkan pengungkapan indikator kinerja berkaitan dengan hasil perbandingan informasi mengenai kinerja organisasi dalam hal ekonomi, lingkungan, dan sosial.
Global Reporting Initiative (GRI) 3.1 adalah versi sebelumnya dari standar pelaporan keberlanjutan yang digunakan oleh organisasi untuk mengomunikasikan dampak ekonomi, lingkungan, dan sosial mereka. GRI 3.1, bersama dengan versi sebelumnya, digunakan sebagai dasar bagi versi terbaru yaitu GRI 3 (2021), yang menekankan pada transparansi dan keterbukaan dalam pelaporan keberlanjutan.
- GRI (Global Reporting Initiative) adalah organisasi internasional independen:yang mengembangkan standar pelaporan keberlanjutan (Sustainability Report).
- GRI 3.1 (dan juga versi sebelumnya) adalah kerangka kerja yang digunakan oleh organisasi: untuk membuat laporan keberlanjutan.
- GRI 3.1 memberikan panduan bagi organisasi: untuk mengidentifikasi, mengukur, dan mengkomunikasikan dampak keberlanjutan mereka.
- GRI 3.1 telah digantikan oleh GRI 3 (2021): yang merupakan standar terbaru dan lebih komprehensif.
- GRI 3 (2021) menekankan pada transparansi dan keterbukaan: dalam pelaporan keberlanjutan, sehingga organisasi dapat dengan jelas menunjukkan dampak positif dan negatif mereka terhadap masyarakat dan lingkungan.
- Standar GRI digunakan oleh berbagai jenis organisasi: seperti bisnis, pemerintah, dan organisasi nirlaba untuk melaporkan dampak mereka terhadap keberlanjutan.
Singkatnya, GRI 3.1 adalah versi lama dari standar pelaporan keberlanjutan yang digunakan untuk mengomunikasikan dampak organisasi, sementara GRI 3 (2021) adalah versi terbaru yang lebih komprehensif dan menekankan pada transparansi. Dalam standar pengungkapan Global Reporting Initiative Guideliness G3.1 terdapat 6 indikator dengan 79 item pengungkapan seperti berikut ini.
1. Indikator kinerja ekonomi (9 item)
Indikator kinerja ekonomi berkaitan dengan dampak organisasi terhadap kondisi perekonomian para pemegang kepentingan ditingkat sistem ekonomi lokal, nasional, dan global. Indikator ini menunjukkan aliran dana di antara para pemegang kepentingan dan dampak ekonomi utama organisasi terhadap masyarakat.
2. Indikator kinerja lingkungan (30 item)
Indikator kinerja lingkungan digunakan untuk melihat dampak organisasi terhadap sistem alami hidup dan tidak hidup, termasuk ekosistem, tanah, air dan udara. Adapun indikator lingkungan meliputi kinerja yang berhubungan dengan input (misalnya material, energi, dan air) dan output (misalnya emisi, air limbah, dan limbah) serta yang berhubungan biodiversity (keanekaragaman hayati), kepatuhan lingkungan, dan informasi relevan lainnya seperti pengeluaran lingkungan (environmental expenditure) dan dampaknya terhadap produk dan jasa.
3. Indikator kinerja tenaga kerja (14 item)
Aspek tenaga kerja digunakan untuk melihat dari sisi ketenagakerjaannya berdasarkan aspek standar internasional yang diakui, termasuk United Nations Universal Declaration of Human Rights and its Protocols, United Nations Convention: International Covenant on Civil and Political Rights, United Nations Convention: International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights, ILO Declaration on Fundamental Principles and Rights at Work of 1998 (in particular the eight core convention of the ILO) dan The Vienna Declaration and Programme of Action.
4. Indikator kinerja hak asasi manusia (9 item)
Aspek hak asasi manusia digunakan untuk melihat sejauh mana hak asasi manusia diperhitungkan dalam investasi dan praktek pemilihan supplier/kontraktor. Selain itu, indikator dalam aspek ini juga meliputi pelatihan mengenai hak asasi manusia bagi karyawan dan aparat keamanan, sebagaimana juga bagi nondiskriminasi, kebebasan berserikat, tenaga kerja anak, hak adat, serta kerja paksa, dan kerja wajib.
5. Indikator kinerja masyarakat (8 item)
Indikator kinerja masyarakat digunakan untuk melihat dampak dari organisasi terhadap masyarakat setempat, dan menjelaskan risiko dari interaksi dengan institusi sosial lainnya.
6. Indikator kinerja produk (9 item)
Sumber: https://issuu.com/sustainability-knowledge-group/docs/the_gri_standards_2019
GRI 4.0
Global Reporting Initiative (GRI) adalah sebuah organisasi internasional independen yang menyediakan kerangka kerja dan standar untuk pelaporan keberlanjutan. GRI G4 adalah generasi sebelumnya dari pedoman pelaporan keberlanjutan, yang telah digantikan oleh standar terbaru. Penjelasan lebih rinci:
· GRI sebagai Organisasi:
GRI adalah organisasi independen yang membantu perusahaan dan organisasi lain untuk melaporkan dampak ekonomi, lingkungan, dan sosial mereka secara publik.
· GRI G4:
G4 adalah pedoman lama yang digunakan sebagai rujukan dalam menyusun laporan keberlanjutan.
· GRI Standards:
GRI telah mengembangkan standar baru yang menggantikan G4. Standar baru ini lebih komprehensif dan mencakup berbagai aspek keberlanjutan.
· Manfaat GRI:
GRI membantu perusahaan untuk:
· Menilai dan mengelola dampak mereka terhadap lingkungan, sosial, dan ekonomi.
· Mengkomunikasikan dampak mereka kepada pemangku kepentingan.
· Mencapai tujuan keberlanjutan mereka.
· Struktur Standar GRI:
Standar GRI terdiri dari tiga rangkaian standar:
· Standar Universal: Berlaku untuk semua organisasi.
· Standar Sektor: Berlaku untuk sektor-sektor tertentu.
· Standar Topik: Mencakup pengungkapan yang relevan dengan topik tertentu.
Sumber: https://blog.olahkarsa.com/indikator-global-reporting-initiative-gri-g4/
Seri #7: Sustainable and Responsible Investment Keaneka Ragaman Hayati Indonesia (Indeks SRI-KEHATI)
Pengantar
Berikut ini adalah informasi mengenai Indeks SRI KEHAtI yang dikutip langsung dari Website Yayasan Keanekaragaman Hayati Indonesia http://www.kehati.or.id/id/indeks-sri-kehati.html.
Indeks SRI-KEHATI diberlakukan sejak 8 Juni 2009, Yayasan KEHATI bekerjasama dengan PT Bursa Efek Indonesia (BEI) meluncurkan indeks SRI KEHATI yang mengacu pada tata cara Sustainable and Responsible Investment (SRI) dengan nama Indeks SRI KEHATI. Tahun dasar yang digunakan sebagai tahun awal indeks dengan basis 100 (seratus) adalah pada 30 Desember 2006 dan dipublikasikan oleh BEI sebagai Indeks SRI KEHATI. Diharapkan dengan peluncuran indeks SRI KEHATI ini masyarakat mengenal adanya indeks yang menggambarkan perusahaan-perusahaan yang menguntungkan secara ekonomi dengan tetap memperhatikan kelestarian lingkungan hidup. Tujuan dibentuknya indeks ini adalah untuk memberikan informasi secara terbuka kepada masyarakat luas mengenai ciri dari perusahaan terpilih pada indeks SRI KEHATI yang dianggap memiliki bermacam bentuk pertimbangan dalam usahanya berkaitan dengan kepedulian pada lingkungan, tata kelola perusahaan, keterlibatan masyarakat, sumber daya manusia, hak asasi manusia, dan perilaku bisnis dengan etika bisnis yang diterima di tingkat international.
Yayasan KEHATI menetapkan 25 (dua puluh lima) perusahaan terpilih yang dianggap dapat memenuhi kriteria dalam indeks SRI KEHATI sehingga dapat menjadi pedoman bagi para investor. Keberadaan perusahaan terpilih akan dievaluasi setiap 2 (dua) periode dalam setahun, yaitu pada bulan April dan Oktober, dan setelah terpilih nama-nama dari 25 (dua puluh lima) perusahaan tersebut akan di publikasikan oleh BEI yang dapat dilihat di www.idx.co.id. Mekanisma pemilihan perusahaan-perusahaan untuk masuk indeks SRI KEHATI dilakukan melalui dua tahap, yaitu tahap pertama adalah penapisan awal seleksi negatif dan aspek keuangan kemudian pada tahap kedua adalah dengan aspek fundamental. Penilaian dilakukan melalui review terhadap data sekunder, pengisian kuesioner oleh perusahaan-perusahaan yang telah melalui tahapan seleksi di atas, dan data lain yang relevan. Dari hasil review tersebut, 25 (dua puluh lima perusahaan) perusahaan dengan nilai tertinggi masuk dalam Indeks SRI KEHATI.
Pada tahap pertama di penapisan awal ini dilakukan untuk memastikan bahwa perusahaan-perusahaan yang dinilai memenuhi prasyarat penilaian adalah sebagai berikut:
Seleksi Negatif bagi perusahaan (1) Pestisida, (2) Nuklir, (3) Senjata, (4) Tembakau, (5) Alkohol, (6) Pornografi, (7) Perjudian, (8) Genetically Modified Organism (GMO).
Aspek Keuangan yang terdiri dari: (1) Perusahaan memiliki Kapitalisasi Pasar (Market Capitalization) di atas Rp1 triliun berdasarkan laporan keuangan teraudit tahun terakhir; (2) Perusahaan memiliki Asset di atas Rp1 triliun berdasarkan laporan keuangan teraudit tahun terakhir; (3) Perusahaan memiliki Free Float Ratio di atas 10% berdasarkan saham aktif di bursa dengan kepemilikan public; (4) Perusahaan memiliki Price Earning Ratio (PER) yang positif dalam 6 (enam) bulan terakhir.
Pada tahap kedua setelah perusahaan-perusahaan yang lolos penapisan awal akan dinilai kinerjanya yaitu pada aspek fundamental yang meliputi beberapa bidang, diantaranya :
Aspek Fundamental terdiri dari: (1) Tata Kelola Perusahaan; (2) Lingkungan; (3) Keterlibatan Masyarakat; (4) Perilaku Bisnis; (5) Sumber Daya Manusia; (6) Hak Asasi Manusia
Indeks SRI-KEHATI (Sustainable and Responsible Investment Keanekaragaman Hayati Indonesia) adalah indeks saham yang mengukur kinerja saham perusahaan yang juga memiliki komitmen pada keberlanjutan, tanggung jawab sosial, dan pengelolaan lingkungan. Indeks ini dikembangkan oleh Bursa Efek Indonesia (BEI) dan Yayasan KEHATI (Keanekaragaman Hayati Indonesia). Lebih Detail:
· Maksud Indeks:
Indeks SRI-KEHATI bertujuan untuk menunjukkan kinerja saham dari perusahaan-perusahaan yang tidak hanya fokus pada keuntungan finansial, tetapi juga memperhatikan aspek lingkungan, sosial, dan tata kelola (ESG).
· Kriteria Pemilihan Saham:
Saham yang masuk dalam indeks SRI-KEHATI dipilih berdasarkan kriteria yang meliputi kinerja keuangan, komitmen terhadap keberlanjutan, dan kepedulian terhadap lingkungan.
· Fungsi Indeks:
Indeks ini berfungsi sebagai indikator pergerakan harga saham di pasar modal yang memperhatikan aspek keberlanjutan, membantu investor dalam membuat keputusan investasi yang bertanggung jawab.
· Penerapan di Indonesia:
Indeks SRI-KEHATI menjadi pelopor investasi berbasis ESG di Indonesia dan diharapkan dapat menjadi dasar instrumen investasi di pasar modal.
· Manfaat:
Indeks ini membantu menciptakan mutualisme antara dunia konservasi dan sektor bisnis, serta mendorong peningkatan kesadaran terhadap investasi berkelanjutan.
Sumber: https://kehati.or.id/investasi-hijau/
SERI #8: ENVIRONMENTAL MANAGEMENT ACCOUNTING (EMA)
Pengantar
Perusahaan dalam melakukan kegiatan bisnisnya selalu memiliki tujuan untuk memperoleh nilai semaksimal mungkin. Dengan menggali dan memaksimalkan sumber daya alam serta masyarakat yang ada, perusahaan dapat memproduksi barang dan jasa sehingga dapat memperoleh laba yang maksimal. Namun, seringkali perusahaan tidak memperhatikan dampak negatif bagi lingkungan dan masyarakat ketika perusahaan melakukan eksplorasi terhadap sumber daya yang ada.
Oleh karena itu, pemerintah Indonesia telah menetapkan Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 bab V Pasal 74 tentang Perseroan Terbatas, bahwa perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan tersebut. Selain diwajibkan, berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, ketika perusahaan melakukan CSR, maka hal itu akan meningkatkan profitabilitas maupun reputasi perusahaan. Oleh karena itu, prinsip Triple Bottom Line (people and planet before profit) yang dicetuskan oleh Jhon Elkington pada tahun 1997 banyak dianut oleh perusahaan. Hal ini dikarenakan ketika perusahaan menerapkan prinsip Triple Bottom Line ini, masyarakat lebih mengapresiasi setiap produk yang dihasilkan dengan mengutamakan kepentingan lingkungan hidup dan masyarakat luas.
Namun dalam pelaksanaannya, CSR bukanlah sesuatu hal yang bisa dilaksanakan tanpa menggunakan dana perusahaan. Sebagai bentuk tanggung jawab, perusahaan harus mengalokasikan dana yang akan digunakan untuk melaksanakan bentuk-bentuk tanggung jawab perusahaan. Dengan kata lain, perusahaan harus mengalokasikan dana untuk pengeluaran yang dampaknya akan mengurangi laba perusahaan.
Sayangnya pengalokasian dana dan setiap rencana yang telah disusun bagian anggaran untuk melakukan kegiatan sebagai bentuk tanggung jawab perusahaan tidak berjalan maksimal dan sangat rentan terjadinya kesalahan sasaran. Contohnya pada Oktober 2013, PT Semen Tonasa sempat dipertanyakan mengenai aliran dana CSR yang dinilai salah sasaran. Hal ini dapat terjadi dikarenakan tidak adanya sistem dan alat perencanaan yang baik untuk menyelengarakan CSR perusahaan.
Kendala yang dihadapi perusahaan saat ini sudah bisa diatasi dengan penggunaan Environmental Management Accounting (EMA). EMA menurut Jhonson (2004) adalah alat untuk analisis informasi keuangan dan non-keuangan dalam rangka mendukung proses pengelolaan lingkungan perusahaan. Namun EMA saat ini belum diterapkan dalam perencanaan CSR perusahaan yang ada di Indonesia. Berbeda dengan Indonesia, Jepang adalah salah satu Negara yang sangat menjunjung tinggi kepedulian terhadap dampak yang terjadi pada lingkungan. Dan penerapan EMA bukanlah hal asing lagi di negara tersebut, bahkan setiap perusahaan wajib melakukan EMA dan tiap tahun diadakan Audit Lingkungan atas perusahaan tersebut.
Menurut Purwanto (2007), awalnya sebuah perusahaan akan menetapkan kebijakan yang berfokus pada hal – hal yang cenderung berhubungan dengan dampak langsung dari proses bisnis suatu perusahaan seperti membersihkan polusi yang ada dan mencoba untuk mengurangi polusi dari sumber titik pembuangan, kemudian strategi manajemen berpindah kearah modifikasi proses – proses produksi sehingga dapat meminimalkan jumlah polusi yang dihasilkan.
Saat ini kerusakan alam dan pemanasan global menjadi perhatian yang serius. Bumi sudah menunjukkan gejala – gejala yang tidak sehat lagi seperti kondisi cuaca yang tidak normal, bencana alam, dan lain sebagainya. Banyaknya tuntutan atas peraturan kepada perusahaan untuk mengurangi dampak yang ditimbulkan terhadap lingkungan mengahruskan sebuah perusahaan untuk menganut sebuah prinsip eco-efficiency yang artinya perusahaan harus menghasilkan produk barang maupun jasa yang lebih bermanfaat sekaligus mengurangi dampak lingkungan, penggunaan sumber daya yang berlebihan, maupun efisiensi yang dihasilkan dari perbaikan kinerja. Peranan EMA memberikan sebuah motivasi bagi manajer lingkungan dan bawahannya agar terpacu untuk mengurangi biaya lingkungan yang ditimbulkan, yang mana akan berpengaruh terhadap keputusan yang akan menjadi dasar eksistensi perusahaan di masa mendatang.
Daljono (2004) mengemukakan bahwa dalam mengelola perusahaan, manajer harus membuat keputusan yaitu mempertimbangkan secara hati – hati dari berbagai alternatif tindakan dan memilih tindakan terbaik untuk mencapai tujuan yang telah direncanakan. Alasan yang mendasari mengapa sebuah organisasi dan akuntan harus peduli permasalahan lingkungan. Menurut Ikhsan (2009), banyak para stakeholder perusahaan baik dari sisi internal maupun eksternal menunjukkan peningkatan kepentingannya terhadap kinerja lingkungan dari sebuah organisasi.
Adanya kebijakan di bidang lingkungan inilah yang kemudian menjadi awal berkembangnya suatu konsep yang bertujuan untuk menemukan solusi atas pemenuhan tujuan bisnis dan penyelesaian masalah lingkungan yang dinamakan eco-efficiency. Eco-efficiency merupakan upaya peningkatan efisiensi perusahaan dengan memperkecil output limbah melalui proses produksi atau teknologi bersih lingkungan.
Environment Management Accounting (EMA) dapat digunakan sebagai tolak ukur dalam membantu pengambilan keputusan manajemen lingkungan dalam peningkatan sustainable perusahaan. EMA dibutuhkan oleh setiap perusahaan untuk memberikan informasi kepada perusahaan berkaitan dengan kinerja lingkungan perusahaan. EMA juga bertujuan untuk meningkatkan jumlah informasi yang relevan bagi mereka yang memerlukan, sehingga dapat digunakan sebagai salah satu indikator pengambilan keputusan.
Menurut Ikhsan (2009), keberhasilan akuntansi lingkungan tidak hanya tergantung pada ketepatan dalam menggolongkan semua biaya – biaya yang dibuat perusahaan. Akan tetapi kemampuan dan keakuratan data akuntansi perusahaan dalam menekan dampak lingkungan yang ditimbulkan dari aktivitas perusahaan. Penerapan akuntansi manajemen lingkungan memberikan banyak manfaat bagi penggunanya. Salah satu manfaat akuntansi manajemen lingkungan yaitu adanya inovasi yang dilakukan perusahaan untuk mengurangi dampak lingkungan. Penerapan akuntansi manajemen lingkungan dapat membantu manajer lingkungan untuk merencanakan produksi pembersih dan mengidentifikasi cara – cara baru dan penghematan biaya serta memperbaiki kinerja lingkungan pada waktu yang bersamaan.
Penerapan lainnya adalah memberikan informasi kepada manajer dalam mengidentifikasi biaya – biaya lingkungan yang sering disembunyikan dalam akuntansi umum. Penelitian yang menjadi acuan dari penelitian penulis adalah Ferreira, et al., (2009) yang menguji pengaruh penerapan EMA dan strategi perusahaan terhadap inovasi produk dan inovasi proses. Sampel dalam penelitian yang dilakukan Fereira adalah perusahaan – perusahaan terbesar di Australia. Kategori perusahaan yang diteliti adalah perusahaan yang bergerak di bidang manufaktur, kesehatan, konstruksi, dan transportasi. Hasil analisis menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif antara penerapan EMA dan inovasi proses.
Belum banyaknya penelitian akuntansi yang membahas penerapan EMA menjadi salah satu kendala dalam penelitian ini. Maka dari itu, penelitian ini cenderung masih tergolong dalam fase awal atau penelitian yang bersifat explanatory.
Berdasarkan argumen yang telah penulis sebutkan, penelitian ini menjadi bukti bahwa penerapan EMA dapat memberikan banyak manfaat bagi perusahaan. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan kuantitatif untuk menguji pengaruh EMA dan strategi sebagai inovasi. Kemudian dilanjutkan dengan meneliti variabel – variabel lain dalam praktik penggunaan EMA, apakah berpengaruh terhadap inovasi produk atau inovasi proses.
Melalui aktivitas – aktivitas lingkungan dan aktivitas pada laporan tahunan menyebabkan pengguna laporan keuangan (manajemen, investor, kreditor) akan mendapat informasi yang akan membantu para pengguna informasi tersebut dalam pengambilan keputusan untuk program perusahaan yang berkaitan dengan pelestarian lingkungan di masa yang akan datang. Hal ini akan mempengaruhi persepsi positif pada masyarakat dan pada akhirnya mereka akan memiliki kepercayaan terhadap perusahaan. Kepercayaan masyarakat yang didapat oleh perusahaan pasti akan meningkatkan penjualan produk yang dikeluarkan oleh perusahaan. Dengan adanya penerapan EMA pada perusahaan, maka diharapkan lingkungan sekitar akan terjaga kelestariannya.
Belajar dari Negara-Negara Maju
The Japan Environmental Management Association for Industry (JEMAI) adalah salah satu wujud nyata Jepang dalam memperhatikan dampak yang dihasilkan perusahaan atas lingkungan hidup. Sejak berdirinya JEMAI pada tahun 1993, Organisasi Pemerintah ini memiliki 700 perusahaan sebagai anggota termasuk perusahaan asing yang berdiri di Negara ini. Ryuichi Tomizawa selaku ketua JEMAI mengatakan ada empat hal yang menjadi perhatian utama organisasi ini, antara lain: (1) penilaian lingkungan, (2) perkembangan teknologi, (3) survei untuk polusi udara dan air, kebisingan, getaran, dan zat kimia berbahaya, dan (4) masalah lingkungan global.
Berbeda dengan JEMAI, Australia juga memiliki organisasi yang mengatur secara khusus mengenai dampak lingkungan yang dihasilkan perusahaan. Australian Environmental Management (AEM) adalah suatu organisasi sumber daya dengan membawa ide-ide dan teknologi “green building” bagi perusahaan di Australia. Selain membawa ide-ide dan teknologi berkaitan dengan lingkungan hidup, AEM juga memperhatikan Efisiensi Energi, dan Recycling dengan cara yang profesional.
Jepang dan Australia adalah beberapa Negara yang sudah menerapkan perhitungan EMA sebagai bukti bahwa Negara tersebut sudah memperhatikan kelestarian lingkungan hidup. Namun, setiap Negara dalam menjalankan EMA memiliki pedoman dan peraturan yang berbeda. Perbedaan ini disebabkan keadaan lingkungan dan geografis yang berbeda. Selain itu jenis-jenis perusahaan juga memiliki dampak lingkungan yang berbeda. Oleh karena perbedaan-perbedaan yang ada, International Federation of Accountants (IFAC) juga telah membuat sebuah pedoman yang bisa diterapkan secara internasional tentang EMA. Pedoman ini disusun pada Agustus 2005.
Dalam kesempatan ini, peneliti ingin menerapkan sistem EMA pada perusahaan yang berdiri di Indonesia. Selama ini pelaksanaan bentuk tanggung jawab terhadap dampak lingkungan di Indonesia belum berjalan secara maksimal. Hal ini ditandai dengan banyaknya kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh kegiatan produksi perusahaan.
Environmental Management Accounting (EMA)
EMA didefinisikan sebagai alat analisis infomasi keuangan dan non-keuangan yang digunakan untuk mendukung proses manajemen lingkungan hidup yang dilakukan oleh internal perusahaan.
Jadi dapat disimpulkan bahwa EMA merupakan sebuah alat yang dapat menyajikan informasi bagi internal perusahaan terkait dengan kegiatan pengelolaan kinerja lingkungan yang tepat dan praktis. Dalam pelaksanaannya, EMA memiliki 5 kegiatan yang utama
TUJUAN DAN MANFAAT PENGGUNAAN EMA
Tujuan Penggunaan EMA
Tujuan EMA menurut Savage (2014) dapat dirumuskan bahwa setiap pengambil keputusan dapat menggunakan informasi fisik dan biaya dari EMA untuk membuat keputusan yang akan berdampak pada kinerja lingkungan dan kunerja keuangan perusahaan. Sedangkan menurut IFAC (2005) tujuan EMA adalah manajemen internal perusahaan dapat mengambil langkah-langkah insiatif yang sangat baik menggunakan informasi yang diperoleh dari EMA. Beberapa fokus lingkungan seperti, produk “hijau”, desain produk yang menggunakan bahan ramah lingkungan. Selain itu EMA sering digunakan untuk pelaporan eksternal.
Jadi, EMA lebih dari sekedar alat pengelolaan lingkungan saja, tetapi EMA bisa menjadi sekumpulan prinsip dan pendekatan yang menyediakan data penting untuk keberhasilan banyak kegiatan pengelolaan lingkungan perusahaan. Dan sejak keputusan mengenai kegiatan lingkungan dipengaruhi isu lingkungan, dengan adanya EMA setiap keputusan mengenai kegiatan lingkungan dapat diambil secara objektif.
Manfaat Penggunaan EMA
Beberapa manfaat dari penggunaan EMA antara lain:
Manfaat dari EMA untuk Perusahaan adalah sebagai berikut:
Perusahaan mampu untuk lebih akurat melacak dan mengelola penggunaan aliran energi dan material, termasuk volume polusi/limbah, jenis, dan Nasib.
Perusahaan juga dapat mengidentifikasi, mengestimasi, mengalokasikan, dan mengelola/mengurangi biaya, terutama biaya yang terkait lingkungan
Perusahaan dapat hasil informasi yang lebih akurat dan komprehensif untuk pengukuran dan pelaporan kinerja lingkungan, sehingga citra perusahaan meningkat dengan para pemangku kepentingan seperti pelanggan, masyarakat setempat, karyawan, pemerintah, dan penyedia dana investasi.
Manfaat bagi Pemerintah ketika Perusahaan menerapkan EMA
Semakin banyak industri yang dapat mengaplikasikan program lingkungan atas dasar hukum dan peraturan yang sudah diatur oleh pemerintah
Pelaksanaan EMA oleh industri harus meningkatkan efektivitas kebijakan pemerintah/peraturan yang berlaku dengan cara perusahaan mengungkapkan biaya lingkungan dan manfaat yang dihasilkan dari kebijakan-kebijakan/peraturan tersebut.
Pemerintah dapat menggunakan perusahaan yang sudah menerapkan EMA untuk dijadikan tolok ukur performa kinerja perusahaan terhadap lingkungan serta penyusunan regulasi bagi pemerintah.
Selain setiap manfaat menurut Savage (2014), ada pula beberapa kegunaan dan manfaat dari EMA menurut IFAC (2005). Beberapa kegunaan tersebut ditampilkan dalam tabel sebagai berikut:
Tabel 1. Manfaat EMA Menurut IFAC (2005)
Sumber: International Federation of Accountants (2005)
Framework Environmental Management Accounting
Rerangka EMA berhubungan dengan dua komponen utama manajemen lingkungan yaitu: monetary environmental management accounting (MEMA) dan physical environmental management accounting (PEMA)
Berikut rerangka EMA yang dibedakan menjadi MEMA dan PEMA dan perbedaan EMA dengan Environmental Accountin
Tabel 2. Perbedaan MEMA dengan PEMA
Sumber:
Namun, selain dibedakan menjadi PEMA dan MEMA saja, EMA masih memiliki rerangka lain yang mencakup dimensi yang lebih luas. Ada lima dimensi yang membentuk multi-dimensi EMA
Tabel 3. Multi-dimensi EMA
Sumber:
Environmental Management Plans (EMP)
Environmental Management Plans (EMP) adalah alat yang menjelaskan secara terperinci mengenai, apa, siapa, dimana, dan kapan manajemen lingkungan dan pengukuran akan diterapkan
Perhitungan EMA berdasarkan Environmental Accounting Guidelines Japan 2005
Setelah disusun EMP, dengan mengetahui setiap rencana yang akan dilakukan untuk manajemen lingkungan, langkah selanjutnya adalah melakukan perhitungan EMA berdasarkan Environmental Accounting Guidelines Japan.
Klasifikasi Biaya Konservasi Lingkungan
Sebelum mempelajari cara perhitungan, terlebih dahulu setiap biaya yang berhubungan dengan konservasi lingkungan akan diklasifikasikan. Dalam hal ini, biaya dikategorikan berdasarkan aktivitas konservasi. Ada enam jenis biaya antara lain:
Business Area Cost
Biaya ini digunakan untuk aktivitas pengurangan dampak lingkungan yang mungkin terjadi ketika bisnis dijalankan. Dalam hal ini, perusahaan memiliki hak untuk mengatur secara langsung dampak yang terjadi atas lingkungan di area perusahaan. Selanjutnya, biaya akan dibagi menjadi tiga lagi yaitu:
Pollution Prevention Cost
Biaya ini dibentuk sebagai wujud usaha perusahaan mengurangi dampak lingkungan seperti penerapan fasilitas yang difungsikan sebagai tindakan pencegahan dan pengurangan polusi udara. Berikut klasifikasi bentuk Pollution Prevention Cost:
1) Cost for preventing air pollution (including acid rain)
2) Cost for preventing water pollution
3) Cost for preventing ground contamination
4) Cost for preventing noise pollution
5) Cost for preventing vibration pollution
6) Cost for preventing odor pollution
7) Cost for preventing ground sinkage
8) Cost for preventing other types of pollution
Global Environmental Conservation Cost
Biaya konservasi lingkungan global adalah biaya-biaya yang terkait dengan dampak negatif lingkungan terhadap lingkungan global, yang dihasilkan dari aktivitas manusia. Biaya ini dibagi menjadi tiga kategori antara lain:
1) Cost for preventing global warming and energy conservation
2) Cost for preventing the ozone depletion
3) Cost for other global environmental conservation activities
Resourece Circulation Cost
Biaya ini didefinisikan sebagai biaya yang dikeluarkan yang digunakan untuk biaya biaya berkelanjutan. Upaya sirkulasi sumber daya termasuk penertiban pembuangan sampah, pemanfaatan siklus sumber daya bisa digunakan terlepas dari nilai pasar (daur ulang, daur ulang termal), dan pembuangan limbah yang tidak disirkulasikan. Biaya ini dibagi lagi menjadi enam jenis yaitu:
1) Cost for the efficient utilization of resources
2) Cost for recycling industrial waste
3) Cost for recycling municipal waste
4) Cost for disposal of industrial
5) Cost for disposal of municipal waste
6) Cost contributing to resource circulation
Upstream/Downstream Cost
Biaya upstream merupakan biaya yang digunakan sebagai upaya untuk mengurangi dampak lingkungan yang dibuat sebelum terjadi input barang dan jasa ke daerah-daerah bisnis, serta biaya yang terkait dengan upaya-upaya tersebut. Sedangkan biaya downstream merupakan biaya yang digunakan sebagai upaya untuk mengurangi dampak lingkungan yang dibuat setelah barang dan jasa telah dikeuarkan dari bidang bisnis, serta biaya yang terkait dengan upaya-upaya tersebut. Berikut adalah gambar yang menjelaskan mengenai biaya upstream/downstream
Gambar 1. Diagram Alir biaya upstream/downstream
Sumber:
Administration Cost
Biaya administrasi adalah biaya yang digunakan untuk kegiatan pengelolaan yang dilakukan oleh perusahaan dan organisasi lain untuk kegiatan konservasi lingkungan. Jenis biaya ini termasuk usaha yang secara tidak langsung berkontribusi untuk mengurangi dampak lingkungan yang dihasilkan melalui kegiatan bisnis, dan biaya yang dilakukan sebagai upaya terjadinya komunikasi antara masyarakat dengan perusahaan dan organisasi lain seperti untuk pengungkapan informasi lingkungan.
Biaya ini dibagi menjadi lima yaitu:
Cost for the implementation and maintenance of an environmental management system
Cost for disclosure of environmental information associated with business activities and environmental advertising
Cost for monitoring environmental impact
Cost for environmental training of employees
Cost for environmental improvement activities, such as nature conservation, greening, beautification, and landscape preservation, at or in the vicinity of the business site
Research and Development Cost
Biaya ini merupakan pengeluaran untuk kegiatan penelitian dan pengembangan yang dialokasikan untuk konservasi lingkungan. Ada tiga jenis biaya R&D antara lain:
R&D cost to develop products that contribute to environmental conservation
R&D cost to curtail environmental impact at the product manufacturing stage
Other R&D cost associated to the curtailment of environmental impact at the distribution stage or the marketing stage of products
Social Activity Cost
Biaya kegiatan sosial adalah biaya yang berkaitan dengan konservasi lingkungan yang dilakukan untuk kebaikan berbagai kalangan masyarakat. Hal ini dianggap sebagai upaya konservasi lingkungan yang terdiri dari kegiatan sosial tanpa hubungan langsung dengan kegiatan dari perusahaan atau organisasi lainnya. Ada tiga jenis biaya ini antara lain:
Cost for environmental improvement activities, including nature conservation, planting of greenery, beautification and landscape preservation, with the exception of the business site
Cost related to donation or financial support of environmental groups
Cost associated with various social activities, such as the financial support of a local community’s environmental conservation activities and the disclosure of information to the local community
Environmental Remediation Cost
Biaya Perbaikan lingkungan dialokasikan untuk pemulihan dari kerusakan lingkungan akibat kegiatan usaha. Biaya ini terdiri dari tiga jenis yaitu:
Cost to restore the natural environment back to its original state
Cost to cover degradation suits connected with environmental conservation
Provisions or insurance fees to cover degradation to the environment
Metoda Pehitungan Biaya Konservasi Lingkungan
Berikut beberapa metoda yang digunakan untuk perhitungan biaya konservasi lingkungan
Biaya diklasifikasikan sebagai biaya langsung
Biaya diklasifikasikan sebagai biaya langsung selanjutnya digabungkan sebagai biaya konservasi lingkungan.
Biaya Kompleks
Aggregating the difference
Penggabungan biaya selain dari biaya observasi lingkungan yang sudah dibebankan sebelumnya
Cost Allocation
Dalam keadaan di mana jumlah barang dan jasa yang diperlukan sebagai dasar untuk perbandingan dalam perbedaan agregasi tidak dapat dipastikan secara jelas, metode agregasi alokasi, berdasarkan standar yang tetap, dapat digunakan untuk acuan.
Rational Cost Aggregation
Dalam keadaan dimana perbedaan agregasi tidak dapat digunakan, alokasi agregasi harus dilakukan sesuai dengan metode proporsi wajar ditentukan berdasarkan tujuan pengeluaran. Metode yang wajar harus ditentukan dengan mempertimbangkan isi dari subyek kegiatan konservasi lingkungan, karakteristik biaya konservasi lingkungan, jenis dampak lingkungan, dan lain sebagainya.
Allocation Based in Simple Methods
Ketika perbedaan agregasi maupun alokasi agregasi berdasarkan metode yang wajar tidak dapat digunakan, alokasi agregasi harus dilakukan melalui penentuan tingkat alokasi biaya sederhana. Metode sederhana ditetapkan berdasarkan asumsi korelasi, dan oleh karena itu konten utama dari standar dan tempat dari asumsi yang dibuat harus dicatat.
Aplikasi dan Implikasi dalam Bisnis: Tujuan EMA dan Manfaat bagi Industri
Tujuan dari EMA adalah untuk meningkatkan jumlah informasi relevan yang dibuat bagi mereka yang memerlukan atau dapat menggunakannya. Keberhasilan EMA tidak hanya tergantung pada ketepatan dalam menggolongkan semua biaya-biaya yang dibuat perusahaan. Akan tetapi kemampuan dan keakuratan data akuntansi perusahaan dalam menekan dampak lingkungan yang ditimbulkan dari aktifitas perusahaan.
Tujuan lain dari pentingnya pengungkapan akuntansi lingkungan berkaitan dengan kegiatan-kegiatan konservasi lingkungan oleh perusahaan maupun organisasi lainnya yaitu mencakup kepentingan organisasi publik dan perusahaan-perusahaan publik yang bersifat lokal. Pengungkapan ini penting terutama bagi para stakeholders untuk dipahami, dievaluasi, dan dianalisis sehingga dapat memberi dukungan bagi usaha mereka. Oleh karena itu, akuntansi lingkungan selanjutnya menjadi bagian dari suatu sistem sosial perusahaan.
Biaya yang terkait dengan pengelolaan lingkungan sangat banyak sehingga harus diperhitungkan dengan benar agar tidak terjadi kesalahan dalam pengambilan keputusan. Biaya yang terkait umumnya meliputi biaya pengelolaan limbah, biaya material dan energi, biaya pembelian material dan energi, serta biaya proses.
Berikut ini merupakan hal – hal mengapa EMA bermanfaat bagi industri.
1. Kemampuan secara akurat meneliti dan mengatur penggunaan bahan-bahan, termasuk polusi / sisa volume, jenis-jenis lain dan sebagainya.
2. Kemampuan mengidentifikasi, mengestimasi, mengalokasikan, mengatur atau mengurangi biaya-biaya, khususnya biaya yang berhubungan dengan lingkungan.
3. Informasi yang lebih akurat dan lebih menyeluruh dalam mendukung penetapan dari dan keikutsertaan di dalam program-program sukarela, penghematan biaya untuk memperbaiki kinerja lingkungan.
4. Informasi yang menyeluruh untuk mengukur dan melaporkan kinerja lingkungan, seperti meningkatkan citra perusahaan pada stakeholder, pelanggan, masyarakat lokal, karyawan, pemerintah, dan penyedia keuangan.
Strategi Bisnis
Anthony (1965) mengungkapkan bahwa penerapan EMA dalam suatu organisasi kemungkinan akan dipengaruhi oleh strategi bisnis. Sistem pengendalian manajemen (SPM) memastikan bahwa manajer menggunakan sumber daya yang tersedia efektif dan efisien dalam mencapai tujuan organisasi.
Miles & Snow (1978) dalam Ferreira et al., (2009) membagi empat tipologi strategi perusahaan, yaitu prospector,defender, analyzer dan reaction. Prospector merupakan strategi yang mengidentifikasi dan mengembangkan produk baru serta memanfaatkan peluang pasar, sedangkan defender adalah strategi yang cenderung mempertahankan pasar yang telah dicapai dan produk yang stabil dengan harga yang murah (low cost leadership).
Gosselin (1997) dalam Ferreira (2009) menemukan bahwa strategi prospektor dikaitkan dengan penerapan kegiatan manajemen. Disimpulkan bahwa jenis strategi yang diikuti oleh organisasi menentukan kebutuhan inovasi berkaitan dengan kegiatan pengelolaan dan mengamati bahwa organisasi yang mengejar strategi prospektor cenderung mengadopsi akuntansi inovasi. Tahap awal relatif adopsi dan implementasi EMA dan fakta bahwa itu adalah fenomena baru yang cukup, mendukung pandangan EMA sebagai contoh inovasi akuntansi.
Menurut Gosselin (1997) dalam Ferreira et al., (2009) penggunaan EMA kemungkinan lebih besar dalam organisasi melakukan strategi prospektor karena dapat membantu mereka dengan tujuan mereka yang inovatif. Keberhasilan di dalam menghubungkan manajemen biaya stratejik terhadap akuntansi lingkungan akan bergantung pada setidaknya lima faktor berikut.
1. Motivasi untuk perlindungan lingkungan dan atau inisiatif pencegahan polusi
2. Sebuah prosedur sistematis untuk pengidentifikasian biaya.
3. Dapat dicapai tetapi menuntut tujuan dan sasaran.
4. Integrasi dari berbagai strategi perusahaan pada organisasi secara keseluruhan.
5. Sistem pelaporan menyediakan sebuah pengawasan dan koreksi sistem umpan balik untuk strategi
Sejak tahun 1970, tekanan undang-undang lingkungan terus meningkat dan secara luas berdampak terhadap biaya-biaya yang melekat pada regulasi. Pada tahun 1990, perusahaan terus meningkatkan temuannya dalam beberapa hal yang dapat menciptakan nilai untuk para pemegang saham dan pelangan mereka dengan cara memenuhi regulasi yang ada. Isu-isu lingkungan secara langsung maupun tidak, telah masuk dalam performa ekonomi suatu kegiatan maupun organisasi.
Biaya Lingkungan
Ketidaktepatan alokasi biaya lingkungan sebagai biaya tetap menyebabkan biaya lingkungan tersembunyi dalam biaya umum pada saat diperlukan. Hal ini akan menjadi sulit untuk menelusuri biaya sebenarnya dari proses, produk atau lini produksi tertentu. Jika biaya umum dianggap tetap, biaya limbah sesungguhnya merupakan biaya variabel yang mengikuti volume limbah yang dihasilkan berbanding lurus dengan tingkat produksi.
Perusahaan dapat menghitung biaya limbah sebagai biaya pengolahan ditambah biaya pembelian bahan baku. Sehingga biaya limbah yang dikeluarkan lebih besar daripada biaya yang selama ini diperhitungkan. Dan dapat meminimalisirkan pemakaian bahan agar tidak terbuang percuma dan akhirnya menjadi limbah.
Perusahaaan bisa meminimalisirkan dengan biaya yang diperkecil. Biaya lingkungan dalam perusahaan sangat perlu diperhatikan untuk meminimalisirkan permasalahan lingkungan yang berakibat juga terhadap perusahaan. Biaya lingkungan berhubungan dengan kreasi, deteksi, perbaikan, dan pencegahan degradasi lingkungan.
Dengan definisi ini, biaya lingkungan dapat diklasifikasikan menjadi empat kategori.
1. Biaya pencegahan (prevention cost)
Biaya - biaya untuk aktivitas yang dilakukan untuk mencegah diproduksinya limbah atau sampah yang dapat menyebabkan kerusakan lingkungan. Contoh-contoh aktivitas pencegahan adalah evaluasi dan pemilihan pemasok, evaluasi dan pemilihan alat untuk mengendalikan polusi, desain proses dan produk untuk mengurangi atau menghapus limbah, melatih pegawai, mempelajari dampak lingkungan, pelaksanaan penelitian lingkungan, pengembangan sistem manajemen lingkungan, daur ulang produk, dan pemerolehan sertifikasi ISO 14001.
2. Biaya deteksi lingkungan (environmental detection cost)
Biaya - biaya untuk aktivitas yang dilakukan untuk menentukan apakah produk, proses dan aktivitas lainnya di perusahaan telah memenuhi standar lingkungan yang berlaku atau tidak. Standar lingkungan dan prosedur yang diikuti oleh perusahaan didefinisikan dalam tiga cara yaitu peratuan pemerintah, standar sukarela (ISO 14001) yang dikembangkan oleh International Standards Organization, dan kebijakan lingkungan yang dikembangkan oleh manajemen. Contoh-contoh aktivitas deteksi adalah audit aktivitas lingkungan, pemeriksaan produk dan proses agar ramah lingkungan, pengembangan ukuran kinerja lingkngan,pelaksanaan pengujian pencemaran, verifikasi kinerja lingkungan dari pemasok, dan pengukuran tingkat pencemaran.
3. Biaya kegagalan internal lingkungan (environmental internal failure cost)
Biaya - biaya untuk aktivitas yang dilakukan karena diproduksinya limbah dan sampah, tetapi tidak dibuang ke lingkungan luar. Jadi, biaya kegagalan internal terjadi untuk menghilangkan dan mengolah limbah dan sampah ketika diproduksi. Aktivitas kegagalan internal bertujuan untuk memastikan bahwa limbah dan sampah yang diproduksi tidak dibuang ke lingkungan luar dan untuk mengurangi tingkat limbah yang dibuang sehingga jumlahnya tidak melewati standar lingkungan. Aktivitas kegagalan internal misalnya pengoperasian peralatan untuk mengurangi atau menghilangkan polusi, pengolahan dan pmbuangan lmbah beracun, pemeliharaan peralatan polusi, lisensi fasilitas untuk memproduksi limbah, dan daur ulang sisa bahan.
4. Biaya kegagalan eksternal lingkungan (environmental external failure cost)
Biaya untuk aktivitas yang dilakukan setelah melepas limbah atau sampah ke dalam lingkungan.
5. Biaya kegagalan eksternal yang direalisasi (realized external failure cost)
Biaya yang dialami dan dibayar oleh perusahaan. Biaya eksternal yang tidak direalisasikan (unrealized external failure cost) atau biaya social (societal cost), disebabkan oleh perusahaan tetapi dialami dan dibayar oleh pihak- pihak di luar perusahaan. Biaya sosial lebih lanjut dapat diklasifikasikan sebagai biaya yang berasal dari degradasi lingkungan dan biaya yang berhubungan dengan dampak buruk terhadap properti atau kesejahteraan masyarakat.
Membebankan Biaya Lingkungan
Produk dan proses merupakan sumber-sumber biaya lingkungan. Proses yang memproduksi produk dapat menciptakan residu padat, cair, dan gas yang selanjutnya dilepas ke lingkungan. Residu ini memiliki potensi mendegradasi lingkungan. Dengan demikian, residu merupakan penyebab biaya kegagalan lingkungan internal dan eksternal misalnya, investasi pada peralatan untuk mencegah penyebaran residu ke lingkungan dan pembersihan residu setelah memasuki lingkungan. Pengemasan juga merupakan sumber biaya lingkungan.
Biaya Produk Lingkungan
Biaya lingkungan dari proses yang memproduksi, memasarkan, dan mengirimkan produk serta biaya lingkungan pasca pembelian yang disebabkan oleh penggunaan dan pembuangan produk merupakan contoh-contoh biaya produk lingkungan. Pembebanan biaya lingkungan pada produk dapat menghasilkan informasi manajerial yang bermanfaat. Dengan membebankan biaya lingkungan secara tepat, maka akan diketahui apakah suatu produk menguntungkan atau tidak. Jika tidak menguntungkan, produk tersebut dapat dihentikan guna mencapai perbaikan yang signifikan dalam kinerja lingkungan dan efisiensi ekonomi.
Target Costing
Target costing merupakan penentuan biaya yang diharapkan untuk suatu produk berdasarkan harga yang kompetitif sehingga produk tersebut memperoleh laba sesuai yang diharapkan. Perusahaan mempunyai dua pilhan untuk menurunkan biaya sampai pada target biaya yaitu.
1. Mengintegrasikan teknologi manufaktur baru, menggunakan teknik-teknik manajemen biaya yang canggih dan mencari produktivitas yang lebih tinggi melalui perbaikan organisasi dan hubungan tenaga kerja, perusahaan akan dapat menurunkan biaya. Pendekatan ini diimplementasikan dengan menentukan biaya standar (standart costing).
2. Dengan melakukan desain ulang terhadap produk atau jasa, perusahaan dapat menurunkan biaya sampai mencapai level target biaya (target costing). Metode ini lebih umum karena mengakui bahwa keputusan desain mempunyai pengaruh yang besar terhadap total biaya selama siklus hidup produk. Dengan memberi perhatian yang cermat pada desain dimungkinkan untuk menurunkan biaya total secara signifikan.
Inovasi Perusahaan
Beberapa ahli menyatakan bahwa inovasi merupakan salah satu jaminan untuk perusahaan atau organisasi dalam meningkatkan daya saingnya. Salah satunya Drucker dalam Raka (2011) yang mengatakan bahwa inovasi merupakan sebuah kebutuhan dan harus menjadi sebuah disiplin. Inovasi secara umum merupakan aspek penting dari banyak usaha yang dapat berperan untuk mendapatkan keunggulan kompetitif (Porter, 1985).
Konsep inovasi memunyai sejarah yang panjang dan pengertian yang berbeda-beda, terutama didasarkan pada persaingan antar perusahaan dan strategi yang berbeda yang diterapkan perusahaan itu sendiri. Schumpeter (1949) dalam Hermana menyebutkan bahwa inovasi terdiri dari lima unsur sebagai berikut.
1. Memperkenalkan produk baru atau perubahan kualitatif pada produk yang sudah ada
2. Memperkenalkan proses baru ke industri
3. Membuka pasar baru
4. Mengembangkan sumber pasokan baru pada bahan baku atau masukan lainnya
5. Perubahan pada organisasi indutri
.
Sumber: https://onlinelibrary.wiley.com/doi/full/10.1002/bse.3828
SERI #9: AUDIT LINGKUNGAN
Pengertian Audit Lingkungan
Audit lingkungan merupakan instrumen berharga untuk memverifikasi dan membantu
penyempurnaan kinerja lingkungan Audit perlu dilakukan secara berkala, untuk menentukan apakah sistem yang dilaksanakan sudah sesuai dengan pengaturan yang direncanakan dan telah dijalankan dan dipelihara secara benar, yang pelaksanaannya tergantung dari pentingnya masalah lingkungan bagi kegiatan perusahaan dan hasil audit sebelumnya.
Definisi dan Konsep Audit Lingkungan
BerdasarkanKep.Men.LHNo.42Tahun1994:
Suatualatmanajemenyangmeliputievaluasisecarasistematik,terdokumentasi,periodik,danobyektif,tentangbagaimanasuatukinerjaorganisasi,sistemmanajemen,danperalatanyangdigunakan,dengantujuanmemfasilitasikontrolmanajementerhadapupayapengendaliandampaklingkungandanpengkajianpenataankebijaksaaanusahaataukegiatanterhadapperaturanperundang-undangantentangpengelolaanlingkungan
BerdasarkanUUNo.23tahun1997:
Suatuprosesevaluasiyangdilakukanpenanggungjawabusahadanataukegiatanuntukmenilaitingkatketaatanterhadappersyaratanhukumyangberlakudanataukebijaksanaandanstandaryangditetapkanolehpenanggungjawabusahaataukegiatanyangbersangkutan.
Menurut US EPA:
“Audit lingkungan merupakan suatu pemeriksaan yang sistematis,
terdokumentasi, periodic dan obyektif berdasarkan aturan yang tersedia
terhadap fasilitas operasi dan praktek yang berkaitan dengan pentaatan
kebutuhan lingkungan”.
Menurut SML ISO/SNI 14010:
“Suatu proses verifikasi tersistemasi dan terdokumentasi untuk memperoleh
dan mengevaluasi bukti secara obyektif untuk menentukan apakah SML
dari organisasi sesuai dengan kriteria audit SML yang dibuat organisasi,
dan untuk mengkomunikasikan hasil proses ini kepada manajemen”.
Fungsi Audit Lingkungan
1. Upayapeningkatanpenaatansuatuusahaterhadapperaturanperundang-undanganlingkungan.
2.Dokumensuatuusahatentangpelaksanaanstandaroperasi,prosedurpengelolaan,danpemantauanlingkungantermasuktanggapdarurat
3.Jaminanuntukmenghindariperusakanataukecenderungankerusakanlingkungan
4.BuktikeabsahanprakiraandampakdanpenerapanrekomendasiyangtercantumdalamdokumenAmdal
5.Upayaperbaikanpenggunaansumberdaya
6.Upayauntukmeningkatantindakanyangtelahdilaksanakan/yangperludilaksanakanolehsuatuusahauntukmemenuhikepentinganlingkungan
Manfaat Audit Lingkungan:
1.Mengidentifikasiresikolingkungandanpengelolaannya
2.Menjadidasarbagipelaksanaankebijaksanaanpengelolaanlingkungan
3.Menghindarikerugianfinansial
4.Mencegahtekanansanksihukumterhadapsuatuusaha
5.Membuktikanpelaksanaanpengelolaanlingkungan
6.Meningkatkankepedulianpimpinandanstafterhadapkebijakandantanggungjawablingkungan
7.Mengidentifikasikemungkinanpenghematanbiaya
8.Menyediakaninformasiyangmemadaibagikepentinganusaha
9.Menyediakanlaporanauditlingkungan
Sasaran Audit Lingkungan:
1. Pengembangan kebijakan lingkungan
2.Penaatan terhadap regulasi, lisensi, dan standar
3.Review tentang tindakan manajemen dan operasi perusahaan
4.Meninimisasi resiko lingkungan
5.Efisiensi penggunaan energi dan sumberdaya alam
6.Perbaikan kondisi kesehatan dan keselamatan kerja
7.Pengembangan aktivitas pasca-Amdal
8.Penyediaan informasi untuk asuransi, merger, dan disinvesment
9.Pengembangan citra “Hijau” untuk perusahaan
Ruang Lingkup Audit Lingkungan
1. Membahas Sejarah atau rangkaian suatu usaha, rona dan kerusakan lingkungan di tempat usaha, pengelolaan dan pemantauan yang dilakukan, sert isu lingkungan yang terkait
2.Perubahan rona lingkungan
3.Penggunaan input dan sumber daya alam, proses bahan dasar, bahan jadi, dan limbah, termasuk limbah B3
4.Identifikasi penanganan dan penyimpanan bahan kimia, B3, serta potensi kerusakan yang mungkin timbul
5.Kajian resiko lingkungan
6.Sistem control manajemen, rute pengangkutan bahan dan pembuangan limbah
7.Efektifitas alat pengendalian pencemaran
Catatan tentang lisensi pembuangan limbah dan penaatanper UU
9. Penaatan terhadap hasil dan rekomendasi AMDAL (RPL & RKL)
10. Perencanaan dan prosedur standar operasi keadaan darurat
11. Rencana minimisasi limbah dan pengendalian pencemaran lingkungan
12. Penggunaan energi, air, dan sumberdaya alam lainnya
13. Program daur ulang
14. Peningktan kemampuan sumberdaya manusia dan kepedulian lingkungan
JENIS-JENIS AUDIT LINGKUNGAN:\
Audit Manajemen Lingkungan
2.Audit Penaatan Lingkungan
3.Audit Fasilitas Teknik
4.Audit Amdal
5.Audit Tanggung jawab
6.Audit Pemasaran Lingkungan
7.Audit Hemat Energi
8.Audit Minimisasi Limbah
9.Audit Lingkungan Komprehensif
KUNCI KEBERHASILAN AUDIT LINGKUNGAN
Audit lingkungan dapat disusun dengan baik bila ada :
1.Dukungan pihak pimpinan
2.Partisipasi banyak pihak
3.Kemandirian dan obyektivitas auditor
4.Kesepakatan tentang tata laksana dan lingkup yang diaudit
METODOLOGI AUDIT LINGKUNGAN
Daftar isi (Table of Content)
2.Daftar Uji Sederhana (Checklist)
Cara ini dipilih jika telah memiliki informasi atau data yang cukup banyak. Informasi parameter yang diaudit diberikan dengan data atau deskriptif. Seluruh anggota tim dimintai pendapatnya dan kemudian dibuat daftar (list). Daftar ini kemudian diuji oleh tim auditor
3.Questionare
Questioner Memberikan arahan dan petunjuk kepada auditor dalam mengidi daftar pertanyaan dan atau cara mengajukan pertanyaan Pada metode ini, jawaban pertanyan sudah tersedia.
Contoh bentuk jawabab yang disediakan pada metode ini:
1.Jawaban pertanyaan langsung menunjukkan perbedaan secara jelas dalam bentuk: “yes/no/unknown”
2.Jawaban menunjukkan tingkat implementasi:
-No action/not yet been taken
-Action on progress
-Limited presence
-Adequate presence
-Not appleciable
4.Pedoman (Guideline)
5.Sistem Peringkat (Rating System)
PeringkatBentuk dasar: daftar pertanyaan dan pemberian nilai (skor)
Contoh:Berdasarkan tingkat nilai implementasi/keberadaan:
-Nilai 5 : telah dilaksanakan semua
-Nilai 1-3 : baru dilaksanakan sebagian
-Nilai 0 : belum dilaksanakan
Perbedaan Audit Lingkungan dengan AMDAL
Audit Lingkungan | Amdal |
Dibuat untuk kegiatan pembangunan yang sedang berjalan | Dibuat untuk rencana kegiatan pembangunan |
Dibuat berkali-kali (periodik) | Dibuat hanya 1 kali |
Untuk telaah masalah yang sedang dihadapi (terbatas pada masalah yang dihadapi) | Untuk perkiraan potensi dampak lingkungan secara total |
Dilaksanakan berdasarkan Kep.No.42/MENLH/1994 dan format teknis sesuai tujuan audit lingkungan | Dilaksanakan berdasarkan PP 08/ 2001 dan peraturan pelaksanaannya |
Sukarela, insentif, dan disentif | Wajib (Mandatory) |
Rahasia | Terbuka |
KEUNTUNGAN DAN KERUGIAN AUDIT
Program audit dapat bersifat menguntungkan dan merugikan.
Pada sisi yang positif, program audit dapat menghasilkan sejumlah keuntungan yang berarti, termasuk diantaranya :
Menimbulkan pentaatan yang lebih baik; dengan melakukan audit lingkungan maka manajer perusahaan akan menjadi lebih taat akan peraturan dan standar yang berlaku.
Menimbulkan lebih sedikit kejutan; dengan adanya audit lingkungan ini maka segala sesuatu yang ada di lokasi perusahaan terpantau secara baik sehingga jika ada hal yang menyimpang atau kurang tepat dapat diketahui sedini mungkin.
Menimbulkan lebih sedikit denda dan gugatan; dengan adanya program audit maka diharapkan bahwa perusahaan berjalan/ dioperasikan sesuai dengan peraturan dan standar yang berlaku sehingga dapat menghindari denda akibat kelalaian pengoperasian dan gugatan dari pihak yang bersengketa.
Menimbulkan persepsi yang lebih baik kepada masyarakat dan pembuat peraturan; dengan melakukan program audit maka masyarakat akan mengetahui keadaan perusahaan tersebut dan dapat menilainya sehingga dapat menimbulkan persepsi yang lebih baik, khususnya yang berkaitan dengan kesadaran akan lingkungan.
Mengakibatkan penghematan biaya yang potensial; dengan adanya program audit maka dapat diketahui efisiensi pengoperasian perusahaan mulai dari penyimpanan bahan baku sampai dengan penyimpanan barang jadi, sehingga jika terjadi ketidakefisienan dapat segera diketahui dan dicarikan jalan keluarnya, hal ini memungkinkan dilakukan penghematan.
Meningkatkan pengalihan informasi; dengan melakukan audit lingkungan maka informasi tentang kebijakan yang berkaitan dengan peraturan dan standar yang sebelumnya kemungkin belum diketahui dapat segera diperoleh melalui konsultan pelaksana audit.
Meningkatkan kesadaran akan lingkungan; dengan melakukan audit lingkungan maka dapat diketahui secara tepat apakah proses produksi dan limbah yang dihasilkan akan menimbulkan pencemaran lingkungan atau tidak, sehingga hal ini dapat meningktakan kesadaran akan lingkungan bagi pemilik dan karyawan perusahaan tersebut.
Sedangkan kerugiannya adalah :
Hanya memberi gambaran pengamatan yang sepintas dari pengoperasian proyek pada waktu tertentu sehingga tidak dapat menggambarkan atau mewakili pengoperasian yang sebenarnya secara keseluruhan;
Tidak termasuk dalam sistem pengelolaan lingkungan Audit lingkungan masih belum merupakan kewajiban bagi sebuah perusahaan. Audit lingkungan ini hanya merupakan salah satu piranti pemantauan lingkungan dari sebuah kegiatan.
Belum adanya format yang seragam dalam melaksanakan audit dan system penulisan laporan sehingga sulit memperbandingkan antara audit yang satu dengan yang lain;
Karena kurangnya peraturan dan pedoman yang tersedia, audit lingkungan banyak dilakukan berdasarkan kriteria yang subyektif dan lebih banyak dipengaruhi oleh pendapat dari si penyusun berdasarkan pengalamannya;
Hasil dari audit lingkungan dapat digunakan untuk menuntut perusahaan, jika ada issue yang kritis atau meresahkan;
Tanggung jawab terhadap sumber daya untuk menjalankan program; perusahaan yang telah membuat laporan audit lingkungan wajib melaksanakan program yang disarankan di dalamnya;
Selama proses audit kemungkinan terjadi penghentian sementara pengoperasian pabrik; selama proses audit akan dilakukan peninjauan lapangan dan wawancara yang melibatkan segenap pegawai dari perusahaan/pabrik tersebut sehingga akan dapat menyebabkan penghentian proses produksi sementara;
Meningkatkan biaya untuk pengatur; biaya tersebut adalah untuk menjalankan program yang telah disarankan di dalam laporan audit lingkungan;
Meningkatkan tanggung jawab yang salah satunya tidak dapat ditanggapi oleh rekomendasi audit, termasuk di dalamnya adalah pembayaran modal yang berarti.
AUDIT LIMBAH
Definisi dari audit limbah adalah:
“Analisis rinci secara metodologis terhadap proses perusahaan yang bertujuan untuk meminimisasi atau bahkan menghilangkan limbah buangan dari unit proses”.
Aktivitas audit limbah meliputi:
Pengamatan (obervasi), pengukuran (measuring), perekaman (recording), dan analisis sampel limbah (analyzing).
Suatu audit limbah dikatakan baik, jika memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
Mengindentifikasi sumber, kuantitas dan jenis limbah yang dihasilkan
Mengumpulkan seluruh data dari unit proses, produk, bahan baku, penggunaan air dan timbulan limbah
Menitikberatkan pada efisiensi dan inefisiensi proses
Mengidentifikasi luasan limbah, kehilangan dan masalahnya
Mengidentifikasi konstituen limbah
Menyusun target untuk reduksi limbah
Mendukung pembentukan strategi pengelolaan limbah yang efektif secara ekonomis
Meningkatkan pemahaman pekerja atas proses produksi dan penghargaan atas keuntungan dari proses reduksi limbah.
Proses audit adalah proses yang didasarkan pada kejadian pada waktu tertentu (snapshot in time), sehingga merupakan fungsi waktu. Karenanya audit harus dilakukan setiap ada perubahan besar, termasuk:
Perubahan biaya bahan baku
Perubahan peraturan
Perubahan biaya pembuangan limbah
Perubahan proses
Pendekatan proses audit limbah ada enam fase, yaitu:
FASE I : PEMAHAMAN PROSES DALAM PABRIK
Langkah 1: Membuat list unit-unit proses
Langkah 2: Membuat diagram alir proses
FASE II : PEMBATASAN MASUKAN DALAM PROSES
Langkah 3 : Menetapkan penggunaan sumber
Langkah 4 : Menginvestigasi penyimpanan bahan baku dan kehilangan saat penanganannya.
Langkah 5 : Merekam penggunaan air
Langkah 6 : Menetapkan level penggunaan kembali limbah
FASE III : PEMBATASAN KELUARAN DARI PROSES
Langkah 7 : Mengkuantifikasi keluaran proses
Langkah 8 : Menghitung aliran air limbah
Langkah 9 : Mendokumentasi limbah yang disimpan dan dibuang ke tempat pembuangan akhir
FASE IV : PENGUASAAN KESETIMBANGAN MASSA
Langkah 10 : Merangkum informasi masukan dan keluaran proses
Langkah 11 : Menurunkan kesetimbangan massa awal untuk unit proses
Langkah 12 : Mengevaluasi ketidakseimbangan massa
Langkah 13 : Menyempurnakan kesetimbangan massa
FASE V : PENGIDENTIFIKASIAN ALTERNATIF REDUKSI LIMBAH
Langkah 14 : Mengkaji cara-cara yang digunakan dalam mereduksi limbah
Langkah 15 : Menargetkan masalah aliran limbah
Langkah 16 : Membuat alternatif reduksi limbah jangka Panjang
FASE VI : ANALISIS C/B DAN PELAKSANAAN RENCANA AKSI
Langkah 17 : Melaksanakan analsis cost/benefit untuk pengolahan dan reduksi limbah
Langkah 18: Melaksanakan rencana implementasi, mengurangi limbah dan meningkatkan efisiensi produksi.
AUDIT SISTEM MANAJEMEN LINGKUNGAN
Di dalam ISO 14001, audit SML didefinisikan sebagai”suatu proses yang tersistemas, independen dan terdokumentasi untuk memperoleh dan mengevaluasi bukti secara obyektif untuk mengevaluasi apakah SML dari organisasi sesuai dengan kriteria audit SML yang dibuat organisasi”
Audit perlu dilakukan secara berkala, untuk menentukan apakah sistem yang dilaksanakan sudah sesuai dengan pengaturan yang direncanakan dan telah dijalankan dan dipelihara secara benar, yang pelaksanaannya tergantung dari pentingnya masalah lingkungan bagi kegiatan perusahaan dan hasil audit sebelumnya
Tujuan audit adalah untuk menentukan apakah SML sesuai dengan pengaturan pengelolaan lingkungan yang sudah dirncanakan dan apakah SML sudah diterapkan secara benar dan dipelihara
Menurut ISO 14001 : 2004 4.5.5, suatu organisasi harus membuat dan memelihara program dan prosedur untuk pelaksanaan audit SML secara berkala, agar dapat:
a. Menentukan apakah SML memenuhi atau tidak memenuhi
Sesuai dengan pengaturan yang direncanakan untuk manajemen lingkungan, termasuk persyaratan yang tertera dalam Standard Internasional ini.
Telah diterapkan dan dipelihara secara baik.
b. memberikan informasi ttg hasil audit kpd pihak manajemen.
Langkah awal dari suatu pelaksanaan audit lingkungan dengan melibatkan seluruh manajemen dan pekerja. Keterlibatan ini bisa terjadi apabila mereka memahami keuntungan yang dapat diperoleh dari:
Penurunan timbulan limbah
Penurunan konsumsi bahan baku
Penurunan biaya pengolahan limbah
Penurunan tingkat pertanggungjawaban
Peningkatan hubungan masyarakat
Peningkatan efisiensi proses sehingga meningkatkan keuntungan Perusahaan
Program audit organisasi, termasuk jadwalnya, harus didasarkan pada pentingnya faktor lingkungan pada kegiatan terkait dan hasil audit sebelumnya. Agar dapat lebih memberikan gambaran lengkap, prosedur audit harus meliputi lingkup audit, frekuensi dan metodologi, maupun tanggung jawab dan persyaratan pelaksanaan audit, dan pelaporan hasilnya
Program dan Prosedur Audit sebaiknya mencakup:
• Kegiatan dan lingkup yang diperhatikan dalam audit
• Frekuensi audit
• Metodologi audit dan bagaimana audit dilaksanakan
• Tanggung jawab yang dikaitkan dengan pengelolan dan pelaksanaan audit
• Komunikasi atas hasil audit
• Kewenangan auditor/asesor untuk melaksanakan audit
Lingkup audit sebaiknya dibatasi terhadap persyaratan yang ditentukan oleh SML, dan sebaiknya tidak mencakup kinerja lingkungan itu sendiri Audit SML memberikan potret dalam suatu waktu tertentu tentang keefektifan SML. Proses didesain sedemikian sehingga bukti-bukti kuantitatif atau kualitatif menentukan apakah kriteria audit dipenuhi.
Metode yang dapat dilakukan untuk mengumpulkan bukti adalah sebagai berikut:
Wawancara dengan personil
Pemeriksaan dokumen
Pengamatan kegiatan
Pengamatan kondisi kerja
Data pengujian
Data pemantauan
Rekaman lainnya
SIMPULAN
Audit lingkungan adalah salah satu instrumentasi untuk melakukan control terhadap pelaksanaan pengaturan pengelolaan lingkungan yang sudah direncanakan. Untuk menjaga kualitas lingkungan dapat pula melakukan audit limbah dan audit sistem.
Sumber: https://www.sucofindo.co.id/layanan-jasa/audit-lingkungan-hidup/.
DAFTAR PUSTAKA
Adams, C.A. & McNicholas, P. (2007). Making a Difference: Sustainability Reporting, Accountability and Organizational Change. Accounting, Auditing & Accountability Journal Vol. 20, Iss: 3.
Ahmad, N & Sulaiman, M. 2004. Environmental Disclosure in Malaysian Annual Reports: A Legitimacy Theory Perspective. International Journal of Commerce & Management. Vol.14, No.1.
Alhusin, S. (2004). Aplikasi Statistik Praktis dengan SPSS 10 for Windows. Jogjakarta: Graha Ilmu.
Al Tuwajiri, & Sulaiman A. (2003). The Relation Among Environmental Disclosure, Environmental Performance, dan Economic Performance: A Simultaneous Equation Approach. Accounting Environment Journal. USA. 5-10.
Altman, E. I. (2000). Predicting financial distress of companies: Revisiting the Zscore and Zeta® Models. Journal of Banking & Finance, 1.
Amal, M. (2011). Pengaruh Manajemen Laba, Kepemilikan Manajerial, Ukuran Perusahaan, dan Profitabilitas terhadap Pengungkapan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (Studi Empiris pada Perusahaan Manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia Tahun 2008-2009). Skripsi. Universitas Diponegoro, Semarang.
Amilia, Luciana Spica & Dwi Wijayanto. (2007). Pengaruh Environmental Performance dan Environmental Disclosure Terhadap Economic Performance. The 1st Accounting Conference, Faculty of Economics Universitas Indonesia. Depok, (November).
Amran, A & Devi, S. (2008). The Impact Of Government and Foreign Affiliate Influence on Corporate Social Reporting (The Case of Malaysia). Accounting, Auditing, and Accountability Journal, Vol. 23, No. 4, hal 386- 404.
Aupperle, K.E., Carroll, A.B & Hatfield, J.D. (1985). An Empirical Examination of the Relationship between Corporate Social Responsibility and Profitability. The Academy of Management Journal Vol. 28, No. 2.
Anggaini, R. R. (2006). Pengungkapan Informasi Sosial dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pengungkapan Infromasi Sosial dalam Laporan Keuangan Tahunan (Studi Empiris pada Perusahaan-Perusahaan yang Terdaftar pada Bursa Efek Jakarta). Simposium Nasional Akuntansi IX, Padang.
Andayani, (2003), Tanggung Jawab Lingkungan Dan Informasi Biaya Lingkungan Dalam Pengambilan Keputusan Manajemen, Surabaya: Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Indonesia (Stiesia)
Arif, I. Y. (2006). Pengaruh Struktur Kepemilikan dan Mekanisme Corporate Governance Terhadap Agency Cost (Studi pada Perusahaan di BEJ). Jurnal Ilmiah Bidang Manajemen dan Akuntansi, Vol.3, No.2, hal. 194 213, September 2006.
Arikunto, S. (2006). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta.
Azwar, S. 1998. Metodologi Penelitian. Yogyakarta: Pustaka Belajar.
Barkemeyer, R. 2007. Legitimacy as a Key Driver and Determinant of CSR in Developing Countries. Paper for the 2007 Marie Curie Summer School on Earth System Governance, 28 May – 06 June 2007, Amsterdam.
Barnae, A & Rubin, A. (2005). “Corporate Social Responsibility as a Conflict Between Shareholders”.
Beiner, S, Drobetz, W, Schmid, F, & Zimmermann, H. (2003). Is Board Size an Independent Corporate Governance Mechanism? Working Paper. University of Basel.
Belkaoui, A. & Karpik, P. G. (1989). Determinants of the Corporate Decision to Disclose Social Information. Acoounting, Auditing and Accountability Journal, Vol. 2, No. 1, hal. 36-51
Bowman, E. H & Haire, M. (1976). “Social Impact Disclosure and Corporate Annual Reports”. Accounting, Organizations, and Society, Vol. 1 No. 1, pp.11-21.
Botosan, C.A. (1997). Disclosure Level and the Cost of Equity Capital. The Accounting Review. Vol. 72 No. 3: 323-349.
Branco, M & Rodrigues, L. L. (2006). Corporate Social Responsibility and Resource-Based Perspectives. Journal of Business Ethics 69 (2), pp. 111-132.
Brealey, M & Marcus. (2007). Dasar- dasar Manajemen Keuangan Perusahaan. Edisi kelima. Jakarta: Erlangga.
Brigham, E. F., & Weston. J. F. (1994). Dasar-Dasar Manajemen Keuangan. Jilid 2. Jakarta: Binarupa Aksara.
Brigham, E & Houston, J. F. (2001). Manajemen Keuangan II. Jakarta: Salemba Empat.
Brigham, E. F., & Houston, J. F. (2008). Manajemen Keuangan. Jilid 3. Jakarta: Salemba Empat.
Budimanta, A., Prasetijo, A. & Rudito, B. (2008). Corporate Social Responsibility, Alternatif Bagi Pembangunan Indonesia. Jakarta: Indonesia Center for Sustainibility Development Chariri, A. & Ghozali, I. 2007. Teori Akuntansi. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro.
Burritt, R. L., Hahn, T., & Schaltegger, S. (2002). Towards A Comprehensive Framework For Environmental Management Accounting – Links Between Business Actors And EMA Tools. Australian Accounting Review, 39-50.
Carroll, A.B. (1991). The Pyramid of Corporate Social Responsibility: Toward the Moral Management of Organizational Stakeholders. Business Horizons.
Cadbury Committee. (1992). Report of the Committee on the Financial Aspects of Corporate Governance. London: Gee.
Cahyonowati, N. (2003). Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pengungkapan Sosial (Social Disclosure) Dalam Laporn Tahunan Perusahaan. Skripsi S1 Tidak Dipublikasikan. Fakultas Ekonomi Universitas Diponegoro.
Cahyandito, M.. (2009) . Environmental Management Accounting (EMA) (Akuntansi Manajemen Lingkungan). Bandung : Universitas padjajaran.
Cahyono. (2002). Peran Akuntan Dan Akuntansi Dalam Environmental Management System (Ems). Media Akuntansi Edisi 25 (Mei).
Chrismawati, D. T. 2007. Pengaruh Karakteristik Keuangan dan Non Keuangan Perusahaan terhadap Praktik Environmental Disclosure di Indonesia. Skripsi. Perpustakaan Ekonomi Referensi. Universitas Diponegoro, Semarang.
Chih, H, Shen, C, & Kang, F. (2008). Corporate Social Responsibility, Investor Protection and Earning Management: Some International Evidence. Journal of Business Ethics, 79 (April), 179-198.
Commission of the European Communities. (2001). Promoting a European Framework for Corporate Social Responsibility. Brussels: European Community.
Cowen, S. S, Ferreri, L. B, Parker, L. D. (1987). The Impact of Corporate Characteristic on Social Responsibility Disclosure; a Typology and Frequency Based Analysis. Accounting, Organization and Society, Vol. 12 No. 2.
Chung, K.H & Pruitt, S.W. (1994). A Simple Approximation of Tobin’s Q, Financial Management, Vol. 23 No. 3 Autumn.
Creswell, J.W. (2012). Research Design Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif, dan Mixed. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Darwin, A. (2004). Penerapan Sustainability Reporting di Indonesia. Konvensi Nasional Akuntansi V, Program Profesi Lanjutan. Yogyakarta.
Darwin, A. (2006). Akuntabilitas, Kebutuhan, Pelaporan, dan Pengungkapan CSR bagi Perusahaan di Indonesia”. Economics Business Accounting Review: Corporate Social Responsibility, 3rd ed, pp. 83-95. Departemen Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
Darwin, A. (2008). CSR: Standards dan Reporting. Makalah disampaikan pada Seminar Nasional CSR sebagai Kewajiban Asasi Perusahaan; Telaah Pemerintah, Pengusaha, dan Dewan Standar Akuntansi, 27 November 2010.
Davey, H. B. (1982). Corporate Social Responsibility Disclosure in New Zealand; An Empirical Investigation. Unpublished Working Paper. Massey University, Palmerston North, New Zealand.
Deegan. (2002). Introduction: The Legitimizing Effect Of Social And Environmental Disclosure – A Theoretical Foundation. Accounting, Auditing & Accountability Journal, vol.15, no. 3, pp. 282-311.
Deegan, C. (2004). Financial Accounting Theory. Sydney: McGraw-Hill Book Company.
Deegan, Craig dan Michaela Rankin. (1996). Do a Australian Companies Report Environmental News Objectively? An Analysis of Environmental isclosures Firms Prosecuted Successfully by the Environmental Protection Authority. Accounting Auditing and Accountability Journal: 50-68.
Deegan, C., Rankin, M. & Tobin, J. (2002). An Examination of Corporate Social and Environmental Disclosures of BHP from 1983-1997: A Test of Legitimacy Theory. Accounting, Auditing & Accountability Journal Vol. 15, No.3.
Dechow, P. M, Sloan, R. G, & Sweeney, A. P. (1995). Detecting Earnings Management. Accounting and Business Research. Vol. 70, No. 2.
Department of Infrastructur, P. a. (2004, May 28). Guidelines Environmental Management Plans. Retrieved from www.dipnr.nsw.gov.au
Dowling, J. and Pfeffer, J. (1975), “Organizational legitimacy: social values and organization behaviour,” Pacific Sociological Review, Vol. 18 No. 1, pp. 122-136.
Elkington, J. (1997).Cannibals with Forks: The Triple Bottom Line of 21st Century Business. Oxford: Capstone Publishing.
Endiarto, O.T. & Stephanus, D. S. (2014). Analisis Pengaruh Kinerja Lingkungan Terhadap Nilai Perusahaan Yang Terdaftar Di Index Sri Kehati .Proposal Skripsi. Universitas Ma Chung. Malang.
Epstein, M.J. & Freedman, M. (1994). Social Disclosure and the Individual Investor. Accounting, Auditing & Accountability Journal Vol. 7, Iss: 4.
Fahrizqi, A. (2010). Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pengungkapan Corporate Social Responsibility dalam Laporan Tahunan Perusahaan. Skripsi. Jurusan Akuntansi, Universitas Diponegoro , Semarang.
Fama, E. F. & Jensen, M. C. (1983). Separation of Ownership and Control. Journal Of Law and Economics, Vol.26. pp.301-325.
Farook, S & Lanis, R. (2005). Banking On Islam? Determinants of Corporate Social Responsibility Disclosure. The 6 th International Conference on Islamic and Fnance. Jakarta.
Fiakas, D. (2005). Tobin’s Q: Valuing Small Capitalization Companies. Crystal EQuity Research.
Ferri, M. G & Jones, W. H. (1979). Determinants of Financial Structure: A New Methodological Approach. The Journal Of Finance XXXIV, 3, pp. 631-644.
Fitriyani. (2001). Signifikansi Perbedaan Tingkat Kelengkapan Wajib dan Sukarela pada Laporan Keuangan Perusahaan Publik yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia. Simposium Nasional Akuntansi IV. Hlm 133-154.
Forum for Corporate Governance in Indonesia. (2001). Peranan Dewan Komisaris dan Komite Audit dalam Pelaksanaan Corporate Governance (Tata Kelola Perusahaan). Jilid II. Edisi Kedua. Jakarta: FCGI.
Forum for Corporate Governance in Indonesia. (2003). Indonesian Company Law. Dipetik November 29, 2013, dari www.fcgi.org.id
Freeman, R.E. (1984). Strategic Management: A Stakeholder Approach. Pitman. Boston.
Freedman, M. dan Wasley, C. (1990). “The Association Between Environmental Performance and Environmental Disclosure in Annual Reports and 10-Ks”. Advances in Public Interest Accounting. Vol. 3, pp.183-193.
Freedman, M. (1970). The Social Responsibility of Business Is to Increase its Profits. New York Times. 76 Freeman, R. E. 1984. Strategic Management: A Stakeholder Approach. Boston: Pitman Publishing.
Gale, J.P. & Stokoe. (2001). Environmental cost accounting and business strategy, in chris madu (Ed.). Handbook of environmentally conscious manufacturing. Victoria: Kluwer Academic Publishers.
Gary O‟Donovan, (2002) “Environmental disclosures in the annual report: Extending the applicability and predictive power of legitimacy theory”. Accounting, Auditing & Accountability Journal, Vol. 15 Iss: 3, pp.344 –371
Ghozali, I. (2005). Aplikasi Analisis Multivariate dengan Program SPSS. Semarang: Universitas Diponegoro.
Ghozali, I. (2006). Aplikasi Analisis Multivariate dengan Program SPSS, Cetakan IV. Semarang : Badan Penerbit Universitas Diponegoro.
Ghozali, I. (2009). Aplikasi Analisis Multivariate dengan Program SPSS. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro.
Ghozali & Chairiri. (2007). Teori Akuntansi. Semarang: Universitas Diponegoro
Global Reporting Initiative. (2006). GRI Sustainability Reporting GuideLines G3 Version. Dipetik Desember 6, 2013, dari https://www.globalreporting.org/
Gujarati, D. 2003. Ekonometrika Dasar. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Gray, R, Kouhy, R, Lavers, S. (1995). Corporate Social and Environmental Reporting: a Review of the Literature and a Longitudinal Study of UK Disclosure, Accounting, Auditing & Accountability Journal, vol. 8, no. 2, pp 47-77.
Gray, R, Owen, D. L, & Adams, C. (1996). Accounting and Accountability: Social and Environmental Accounting in a Changing World. Hemel Hempstead: Prentice Hall.
Gray, R., Bebbington, J. dan Walters, D. 1993. Accounting for the Environment. ACCA. Hongkong.
Griffin, R.W. & Ebert, R.J. (2007). Bisnis Edisi Kedelapan Jilid 1. Jakarta: Erlangga.
Gujarati, D. (2007). Ekonometrika Dasar. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Hackston, D. & Milne, M. J. (1996). Some Determinants of Social and Environmental Disclosures in New Zealand Companies. Accounting, Auditing and Accountability Journal, Vol. 9, No. 1.
Hadi. N. (2011). Corporate Social Responsibility. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Hadiwidjaja, R.D. (2007). Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Dividend Payout Ratio pada Perusahaan Manufaktur di Indonesia. Tesis. Universitas Sumatera Utara.
Hanafi, M. M & Halim, A. (2005). Analisis Laporan Keuangan, Edisi Kedua. Yogyakarta: AMP-YKPN.
Haniffa, R. M & Cooke, T. E. (2005). The Impact of Culture and Governance on Corporate Social Reporting. Journal of Accounting and Public Policy 24.
Harahap, M. E. (4 Februari 2014). Perkembangan CSR di Indonesia. Dipetik April 29, 2014, dari
Hasibuan, R. (2001). Pengaruh Karakteristik Perusahaan Terhadap Pengungkapan Sosial. Tesis. Universitas Diponegoro. Semarang.
http://muchtareffendiharahap.blogspot.com/2014/02/perkembangan-csr-diindonesia.
Hasibuan, R. (2001). Pengaruh Karakteristik Perusahaan Terhadap Pengungkapan Sosial. Tesis. Universitas Diponegoro. Semarang.
Heal, G. (2004). Corporate Social Responsibility – An Economic and Financial Framework. Working Paper. Columbia Business School.
Hendriksen, E. (1991). Teori Akuntansi Diterjemaahkan oleh Nugroho Widjajanto. Jakarta: Gramedia
Herawaty, V. (2008). Peran Praktek Corporate Governance sebagai Moderating Variable dari Pengaruh Earnings Management terhadap Nilai Perusahaan. Simposium Nasional Akuntansi II. Pontianak.
Ikhsan. (2008). Akuntansi Lingkungan dan Pengungkapannya. Yogyakarta: Graha Ilmu Harahap sofyan syafari. Teori akuntansi. 2009. Jakarta. Penerbit: Raja wali pres Bastian indra.
Ikhsan. (2009). Akuntansi Manajemen Lingkungan. Yogyakarta: Graha Ilmu.
International Federation of Accountants (IFAC). (2005). International Guidance Document: Environmental Management Accounting. New York: The International Federation of Accountants.
Indriantoro, N., & Supomo, B. (2009). Metodologi Penelitian Bisnis: Untuk Akuntansi dan Manajemen. Yogyakarta: BPFE.
Ikatan Akuntansi Indonesia (IAI). (2004). Standar Akuntansi Keuangan. Jakarta: Salemba Empat.
Jalal. (2007). Perkembangan Mutakhir Corporate Social Responsibility di Indonesia. Jakarta: Lingkar Studi Corporate Social Responsibility.
Ja‟far dan Arifah. (2006). “Pengaruh Dorongan Manajemen Lingkungan, Manajemen Lingkungan Proaktif Dan Kinerja Lingkungan Terhadap Public Environmental Reporting”. SNA IX Padang. 23-26 Agustus.
Japanese Ministry of the Environment. (2005, May 28). Environmental Accounting Guidelines. Tokyo. Retrieved from http://www.env.go.jp/en/policy/ssee/eag05.pdf
Jensen, M. C & Meckling, W. H. (1976). Theory of the Firm: Managerial Behavior, Agency Costs and Ownership Structure. Journal of Financial Economics, Oktober, 1976, V. 3, No. 4, pp. 305-360.
Johnson, S. (2004). Environmental Management Accounting.
Kasali, R. 2005. Manajemen Public Relations. Jakarta: Grafiti.
Kaen, R. F. (2003). Blueprint for Corporate Governance. American Management Association. New York, USA.
Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 4294 Tahun 1994 Tentang Pedoman Umum Pelaksanaan Audit Lingkungan.
Kiroyan, N. (2006). “Good Corporate Governance (GCG) dan Corporate Social Responsibility (CSR) adakah kaitan di antara keduanya?”, Economics Business Accounting Review: Corporate Social Responsibility, 3rd ed, pp. 45-58. Departemen Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG). (2004). Pedoman Umum Good Corporate Governance Indonesia 2004. Jakarta.
Kotler, P & Lee, N. (2005). Corporate Social Responsibility: Doing the Most Good for Your Company and Your Cause. New Jersey: John Wiley & Sons, Inc.
Kusumadilaga, R. (2010). Pengaruh Corporate Social Responsibility Terhadap Nilai Perusahaan Dengan Profitabilitas Sebagai Variabel Moderating (Studi Empiris pada Perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia). Skripsi. Fakultas Ekonomi Universitas Diponegoro, Semarang.
Kuhre, W. L. (1995). ISO 14001 Certification - Environmental Management Systems: A Practical Guide for Preparing Effective Environmental Management System
Lawrence, A. & Webber, J. (2008). Business & Society: Stakeholders, Ethics, Public Policy. McGraw Hill Companies Incorporated.
Lindrianasari. (2006). “Hubungan antara Kinerja Lingkungan dan Kualitas pengungkapan Lingkungan dengan Kinerja Ekonomi Perusahaan di Indonesia”. JAAI Vol. 11, pp. 159-172.
Lindblom, C. K. (1994). The Implications of Organizational Legitimacy for Corporate.
Lindenberg, E.B & Ross, S.A. (1981). Tobin’s Q Ratio and Industrial Organization. Journal of Business, 54 (1).
Lo, E. W. (2005). Penjelasan Teori Prospek Terhadap Manajemen Laba. Jurnal Akuntansi dan Manajemen. Vol. XVI. No. 1. April. STIE YKPN. Yogyakarta.
Maemunah, N. (2009). Pengaruh Karateristik Perusahaan Terhadap Corporate Social Responsibility Disclosure pada Perusahaan Manufaktur. Jurnal Fakultas Ekonomi Jurusan Akuntansi. Universitas Gunadarma.
Mahdiyah, F. (2008). Ananlisis Karakteristik Perusahaan dan Pengungkapan Tanggung Jawab Sosial dalam Laporan Tahunan Perusahaan. Skripsi Tidak Dipublikasikan. Universitas Diponegoro, Semarang.
Mathews, M. R. & Perera, M. H. (1996). Accounting Theory and Development. Thomas Nelson, South Melbourne, Australia.
Midiastuty, P & Mas’ud, M. (2003). Analisis Hubungan Mekanisme Corporate Governance dan Indikasi Manajemen Laba. Seminar Nasional Akuntansi VI. Surabaya.
Mulyadi. (2002). Auditing: Jilid 1 Edisi Enam. Jakarta: Salemba Empat.
Munawir. (2000). Analisis Laporan Keuangan. Jogjakarta: Liberty.
Munawir, S. (2004). Analisis Laporan Keuangan Edisi Ke-4. Yogyakarta: Liberty.
Munif, A. Z. (2010). Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Indeks Pengungkapan Corporate Social Responsibility Di Indonesia (Studi Empiris Pada Perusahaan Non Keuangan Yang Listing Di Bursa Efek Indonesia). Tesis. Universitas Diponegoro.
Murtanto. (2006). Menciptakan Nilai Tambah Melalui Corporate Social Responsibility. Media Akuntansi, Edisi 53.
Nazir, M. (2005). Metode Penelitian. Bogor: Ghalia Indonesia.
Nasution, M & Setiawan, D. (2007). Pengaruh Corporate Governance Terhadap Manajemen Laba di Industi Perbankan Indonesia. Simposium Nasional Akuntansi X.
Ningsaptiti, R. (2010). Analisis Pengaruh Ukuran Perusahaan Dan Mekanisme Corporate Governance Terhadap Manajemen Laba. Skripsi S1. Fakultas Ekonomi Universitas Diponegoro.
Novita & Djakman. (2008). Pengaruh Struktur Kepemilikan Terhadap Luas Pengungkapan Tanggung Jawab Sosial (Corporate Social Rwsponsibility Disclosure) Pada Laporan Tahunan Perusahaan: Studi Empiris Pada Perusahaan Publik Yang Tercatat Di Bursa Efek Indonesia Tahun 2006. Simposium Nasional Akuntansi XI.
Nugroho, B.A. (2005). Strategi Jitu Memilih Metode Statistik Penelitian dengan SPSS. Yogyakarta: ANDI
Nugroho, O.C. & Stephanus, D.S. (2014). Studi Empiris Pengaruh Manajemen Laba (Earnings Management), Corporate Governance, Ukuran Perusahaan (Size), Leverage, dan Profitabilitas Terhadap Pengungkapan Tanggung Jawab Sosial Dan Lingkungan Perusahaan. Proposal Skripsi. Universitas Ma Chung. Malang.
Nugroho, Y. (2007). Dilema Tanggung Jawab Korporasi. Kumpulan Tulisan, www.unisosdem.org. Diakses pada tanggal 27 Agustus 2013. 77
Nuraini, E. (2010). Pengaruh Environmental Performance Dan Environmental Disclosure Terhadap Economic Performance (Studi Pada Perusahaan Yang Terdaftar Di Bursa Efek Indonesia). Skripsi Tidak Dipublikasikan. Universitas Diponegoro.
Nuraini & Sumarno. (2007). Analisis Pengaruh Kepemilikan Institusional dan Kualitas Audit Terhadap Manajemen Laba. Jurnal MAKSI, Vol. 7, No. 1, Januari, hal:1-18.
Nurlela, R & Islahuddin. (2008). Pengaruh Corporate Social Responsibility terhadap Nilai Perusahaan dengan Prosentase Kepemilikan Manajemen sebagai Variabel Moderating: Studi Empiris pada Perusahaan yang Terdaftar di Bursa Efek Jakarta. Simposium Nasional Akuntansi XI Pontianak 2008.
Nurkhin, A. (2009). Corporate Governance Dan Profitabilitas; Pengaruhnya terhadap Pengungkapan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (Studi Empiris pada Perusahaan yang tercatat di Bursa Efek Indonesia. Tesis. Universitas Diponegoro, Semarang.
Nur, M & Priantinah, D. (2012). Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pengungkapan Corporate Social Responsibility di Indonesia (Studi Empiris pada Perusahaan berkategori High Profile yang Listing di Bursa Efek Indonesia. Jurnal Nominal, Volume 1 No 1, pp: 22-34.
Patten, D.M. (1990). The Market Reaction to Social Responsibility Disclosures: The Case of the Sullivan Principles Signings, Accounting, Organizations and Society Vol. 15, Iss. 6.
Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Republik Indonesia Nomor 03 Tahun 2013 Tentang Audit Lingkungan Hidup.
Prior, D, Jordi, S, Josep, A. (2008). Are socially responsible managers really ethical? Exploring the relationship between earnings management and corporate social responsibility. Corporate Governance: An International nurainiReview, Vol.16, no.3, 160-177.
Primario, Andria. (2007). “Pengaruh Pengungkapan Sosial Pada Laporan Tahunan Terhadap Harga Saham dan Volume Penjualan”. Skripsi Fakultas Konomi Universitas Jember.\
Porter, E Michael. (2008). Competitive Advantage (Keunggulan Bersaing). Dialih bahasakan oleh Saputra Lyndon dan Sigit Suryanto. Tangerang: Karisma Publishing Group. Sahasrakirana Widya, Evaluasi Peran Akuntansi Lingkungan Untuk Mendukung Keputusan Manajemen Lingkungan Dalam Mencapai Sustainability Perusahaan (Pt Sahabat Mewah Dan Makmur), Jakarta: Jurnal Ilmiah Mahasiswa Universitas Bina Nusantara.
Puspita, M. E. & Stephanus, D.S. (2014). Pengaruh Pengungkapan Corporate Social Responsibility, Global Reporting Initiatives Dan Iso 26000 Terhadap Nilai Perusahaan Sektor Pertambangan. Proposal Skripsi. Universitas Ma Chung. Malang.
Purnasiwi, J. (2011). Analisis Pengaruh Size, Profitabilitas dan Leverage Terhadap Pengungkapan CSR pada Perusahaan yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia. Skripsi S1 Program Reguler 1 yang Tidak Dipublikasikan. Universitas Diponegoro.
Oktiviana, D. & Stephanus, D.S. (2014). Analisis Pengaruh Penerapan Environment Management Accounting Dan Strategi Terhadap Inovasi Perusahaan . Proposal Skripsi. Universitas Ma Chung. Malang
O’Donovan. (2002). Environmental Disclosure in the Annual Report: Extending the Applicability and Predictive Power of Legitimacy Theory. Accounting, Auditing, and Accountability Journal, Vol.15, No.3
Organization for Economic Coperation and Development. (2004). OECD Principles of Corporate Governance. OECD Publication Service.
Rahmawati, dkk. (2006). Pengaruh Asimetri Informasi Terhadap Praktik Manajemen Laba PadaPerusahaan Perbankan Publik Yang Terdaftar di Bursa Efek Jakarta. Simposium Nasional Akuntansi IX. Padang.
Rahmawati, Ala. (2012). Pengaruh Kinerja Lingkungan Terhadap Kinerja Keuangan dengan CSR sebagai Variabel Intervening. Skripsi S1 Fakultas Ekonomi Universitas Diponegoro.
Rahayu, S. (2010). Pengaruh Kinerja Keuangan Terhadap Nilai Perusahaan Dengan Pengungkapan Corporate Social Responsibility dan Good Corporate Governance sebagai Variabel Pemoderasi (Studi Empiris pada Perusahaan Manufaktur di Bursa Efek Jakarta). Skripsi. Fakultas Ekonomi Universitas Diponegoro, Semarang.
Republik Indonesia,Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal.
Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
Restuningdyah, Nurika. (2010). Mekanisme GCG dan Pengungkapan Tanggung Jawab Sosial terhadap Koefisien Respon Laba. Jurnal Keuangan dan Perbankan, Vol. 14, No 3 hlm. 377-390
Reverte, C. (2008). Determinants of Corporate Social Responsibility Disclosure Ratings by Spanish Listed Firms. Journal of Business Ethics (2009) 88:351– 366 DOI 10.1007/s10551-008-9968-9.
Reverte, C. (2009). Determinants of Corporate Social Responsibility Disclosure Ratings by Spanish Listed Firms. Journal of Business Ethics, 88.
Rustiarini, N. W. (2010). Pengaruh Corporate Governace pada Hubungan Corporate Social Responsibility dan Nilai Perusahaan. Simposium Nasional Akuntansi XIII, Purwokerto.
Robert, D. & Stephanus, D.S. (2014). Penerapan Dan Analisis Pengaruh Environmental Management Accounting (Ema). Proposal Skripsi. Universitas Ma Chung. Malang.
Roberts, R.W. (1992). Determinants Of Corporate Social Responsibility: An Application Of Stakeholder Theory. Accounting, Organisations and Society, Vol. 17 No. 6.
Rosmasita, H. (2007). Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pengungkapan Sosial (Social Disclosure) Dalam Laporan Keuangan Tahunan Perusahaan Manufaktur Di Bursa Efek Jakarta. Skripsi Tidak Dipublikasikan. Universitas Islam Indonesia.
Riyadi, Eddie Sius. (2008). “Landasan Teoritis bagi Tanggung Jawab Sosial Perusahaan: dari Pemegang Saham ( Shareholder ) ke Pemangku Kepentingan ( Stakeholder )”. Dignitas Volume V, No. 11.
Saidi. (2004). Faktor-faktor yang Mempengaruhi Struktur Modal pada Perusahaan Manufaktur Go Public di BEJ 1997-2002. Jurnal Bisnis dan Ekonomi Vol. 11 no.1, hal. 44-58.
Saleh, M, Zulkifli, N, & Muhamad, R. (2010). Corporate Social Responsibility Disclosure And Its Relation On Institutional Ownership. Managerial Auditing Journal, Vol. 25, No. 6, Pp. 591-613.
Santoso, S. (2001). SPSS Versi 10: Mengolah Data Statistik Secara Profesional. Jakarta: PT Elex Media Komputindo
Santoso, S. (2009). Panduan Lengkap Menguasai Statistik dengan SPSS 17. Jakarta: PT Elex Media Komputindo Gramedia.
Santoso, S. (2010). Statistik Multivariat. Jakarta : PT Gramedia.
Santoso, S. (2010). Buku Latihan SPSS Statistik Parameter. Jakarta: PT Elex Media Komputindo
Salim, A. (2006). Teori dan Paradigma Penelitian Sosial. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Saputra, N. A. & Stephanus, D.S. (2014). Pengaruh Pengungkapan Corporate Social Resposibility Dan Global Reporting Initiatives Terhadap Nilai Perusahaan Pada Perusahaan Yang Tercatat Di Indeks Sri-Kehati 2010—2012. Skripsi. Universitas Ma Chung. Malang.
Sartono, A. (2001). Manajemen Keuangan Teori dan Aplikasi, Edisi Keempat. Yogyakarta: BPFE.
Sartono, A. (2008). Manajemen Keuagan: Teori dan Aplikasi. Yogyakarta: BPFE Yogyakarta.Tilt, CA 1994, 'The influence of external pressure groups on corporate social disclosure: Some empirical evidence', Accounting, Auditing & Accountability Journal, vol. 7
Sastra, I. (2011). Faktor-faktor yang Memengaruhi Pemilihan Metode Penilaian Persediaan Sesuai dengan PSAK 14 (Revisi 2008) Pada Perusahaan Consumer Goods yang terdaftar di Bursa Eek Indonesia. Skripsi. Universitas Bina Nusantara Jakarta.
Savage, D. D. (2014, May 27). Retrieved from Ministry of the Environment Goverment of Japan: http://www.env.go.jp/en/
Sayekti & Wondabio. (2007). Pengaruh Corporate Social Responsibility (CSR) Disclosure Terhadap Earnings Response Coefficient. Simposium Nasional Akuntansi X. Makassar.
Scott, W. R. (2003). Financial Accounting Theory. New Jersey: Prentice Hall Inc
Scott, W. R. (2009). Financial Accounting Theory. Second Edition. Canada: Pearson Prentice-Hall
Shleifer, A. dan Vishny, R.W. (1997). A Survey of Corporate Governance. Journal of Finance, Vol 52. No 2.
Sekaran, U. (2006). Metodologi Penelitian untuk Bisnis, Edisi 4, Buku 1, Jakarta: Salemba Empat.
Sembiring, E. R. (2003). Kinerja Keuangan, Political Visibility, Ketergantungan pada Hutang dan Pengungkapan Tanggung Jawab Perusahaan. Simposium Nasional Akuntansi VI.
Sembiring, E. R. (2005). Karakteristik Perusahaan dan Pengungkapan Tanggung jawab Sosial: Studi Empiris pada Perusahaan yang Tercatat di Bursa Efek Jakarta. Simposium Nasional Akuntansi 8, Solo.
Singgih, (….) Pengukuran Dampak Lingkungan Menggunakan Environmental Management Accounting (Ema), Surabaya: Jurnal Ilmiah Jurusan Teknik Industri Institut Teknologi Sepuluh Nopember
Singgih, & Moses L. (2006). Pengukuran dampak lingkungan menggunakan Environmental Management Accounting (EMA). Surabaya: Institut Teknologi Sepuluh Nopember.
Siregar, S. V. (2010). Corporate Social Reporting: Empirical Evidence from Indonesia Stock Exchange. International Journal of Islamic and Middle Eastern Finance and Management III. Social Performance and Disclosure. Critical Perspectives on Accounting Conference, New York.
Solihin, I. (2009). In Corporate social responsibility: from charity to sustainability. Penerbit Salemba Empat.
Sudana, I M. & Arlindania W. P.A., (2011). “Corporate Governance dan Pengungkapan Corporate Sosial Responsibility pada Perusahaan Go Public di Bursa Efek Indonesia”, Jurnal Manajemen Teori dan Terapan, Volume 4 Nomor 1 hal 37-49.
Suwardjono. 2005. Teori Akuntansi: Perekayasaan Pelaporan Keuangan. Yogyakarta: Badan Penerbit Universitas Gadjah Mada.
Subramanyam & Wild. 2010. Analisis Laporan Keuangan Buku 1. Jakarta: PT Salemba Empat.
Sugiyono, Prof. Dr. (2004). Statistik Nonparametiik Untuk Penelitian. Bandung : Penerbit CV. Alfabeta.
Sugiyono. (2012). Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta.
Sugiyono. (2010). Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kulaitatif dan R & D. Bandung : CV. Alfa Beta.
Sugiyono. (2009). Metoda Penelitian Bisnis. Bandung: Alfabeta.
Sugiyono. (2007). Statistika Untuk Penelitian. Bandung: CV Alfabeta.
Sundjaja, Ridwan S. Dan Barlian, Inge. (2002). Manajemen keuangan Dua, Edisi Keempat, Literata Lintas Media, Jakarta.
Sugiyarbini. (13 November 2012). Pengertian Populasi dan Sampel dalam Penelitian. Dipetik April 30, 2014, dari BLOG’S BIMBINGAN: http://sugithewae.wordpress.com/2012/11/13/pengertian-populasi-dansampel-dalam-penelitian/
Sulastini, S. (2007). Pengaruh Karakteristik Perusahaan Terhadap Social Disclosure Perusahaan Manufaktur Yang Telah Go Public. Skripsi. Fakultas Ekonomi, UNNES, Semarang.
Sulistyanto, S. (2008). Manajemen Laba, Teori dan Model Empiris. Jakarta: PT Grasindo.
Sun, N, Salama, A, Hussainey, K, & Habbash, M. (2010). Corporate Environmental Disclosure, Corporate Governance and Earnings Management, Managerial Auditing Journal. Vol 25:7.
Suranta & Machfoedz. (2003). Analisis Struktur Kepemilikan, Nilai Perusahaan, Investasi dan Ukuran Dewan Direksi, Simposium Nasional Akuntansi VII, Surabaya, 16-17 Oktober.
Suwardjono. (2005). Teori Akuntansi: Perekayasaan Pelaporan Keuangan. Yogyakarta: Badan Penerbit Universitas Gadjah Mada.
Sulastri. (2007). Sebuah Pengembangan Model Hipotesis Pengaruh Aset Strategis dan Lingkungan terhadap Pilihan Strategi Diversivikasi. Jurnal Manajemen & Bisnis Sriwijaya Vol. 4. No 7. Juni 2006
Sudaryanto. (2011_. Pengaruh Kinerja Lingkungan Terhadap Kinerja Keuangan dengan CSR sebagai variable Intervening. Skripsi S1 Fakultas Ekonomi Universitas Diponegoro.
Suratno, Ignatius Bondan, dkk. (2006). “Pengaruh Environmental Performance terhadap Environmental Disclosure dan Economic Performance”. Simposium Nasional Akuntansi 9. Padang.
Sutedi, A. 2011. Hukum Pertambangan. Jakarta: Sinar Grafika
Smith & Lauren K. Wright, (2007), Manajemen Pemasaran Jasa, Alih Bahasa Agus Widyantoro, Cetakan Kedua, Jakarta; PT. INDEKS.
Taufan, M. (2012). Pengaruh Rasio Keuangan terhadap Prediksi Kebangkrutan Perusahaan Industri Makanan dan Minuman yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia tahun 2007-2010. Skripsi. Jakarta: Universitas Gunadharma.
Tanzil. J. 2012. Environmental Management Accounting. Diakses pada tanggal 01 april 2013 dari http://www.jtanzilco.com/main/index.php/mission-and-vision/656 environmentalmanagementaccounting
Tobin’s, J. (1969). A General EQuilibrium Approach to Monetary Theory, Journal of Money, Credit and Banking.
Tomizawa, R. (2014, May 23). Retrieved from Japan Environmental Management Association for industry: http://www.jemai.or.jp/english/#1
Tunggal, A, W. (2008). “Corporate Social Responsibility (CSR)”. Harvarindo.
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal.
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas.
Undang-Undang Republik Indonesia No.32 Tahun 2009 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Utama, S. (2007). Evaluasi Infrastruktur Pendukung Pelaporan Tanggung Jawab Sosial Dan Lingkungan Di Indonesia. Pidato Pengukuhan Profesor Fakultas Ekonomi Ui. Jakarta.
Untung, H. B. (2008). Corporate Social Responsibility. Jakarta: Sinar Grafika.
Veronica, S & Bachtiar, Y. S. (2005). Corporate Governance, Information Asymmetry, and Earning Management. Jurnal Akuntansi dan Keuangan Indonesia, Vol.2, No.1, hal. 77-106, Juli 2005.
Veronica, T. M. & Sumin, A. (2009). Pengaruh Karakteristik Perusahaan terhadap Pengungapan Tanggung Jawab Sosial pada Perusahaan Sektor Pertambangan yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia. Skripsi. Universitas Gunadharma, Jakarta.
Watts, R. L & Zimmerman, J. L. (1986). Positive Accounting Theory. New York: Prentice Hall.
Wilmshurst T., & Frost G., (2000), 'Corporate Environmental Performance. A Test of Legitimacy Theory.', Accounting, Auditing and Accountability Journal, Vol. 13, No. 1
Wibisono, Y. (2007). Membedah Konsep dan Aplikasi Corporate Social Responsibility. Gresik: Fascho Publishing
Widarjono, A. (2007). Ekonometrika: Teori dan Aplikasi untuk Ekonomi dan Bisnis. Edisi Kedua. Yogyakarta: Ekonisia Fakultas Ekonomi Universitas Islam Indonesia.
Widyaningdyah, A. U. (2001). Analisis Faktor-Faktor Yang Berpengaruh Terhadap Earnings Management Pada Perusahaan Go Public Di Indonesia. Jurnal Akuntansi & Keuangan Vol. 3 No.
Wilopo. (2009). Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) No 1: Penyajian Laporan Keuangan. Jakarta: Ikatan Akuntan Indonesia.
Wineberg, D. (2004). Corporate Social Responsibility – What Every In House Counsel Should Know. Acc Docket.
World Bank Ext Communications For Development Division Devcomm/Sdo. (2003). Corporate Social Responsibility And Multi Stakeholder Dialogue: Towards Environmental Behavioral Change. Discussion Paper.
www.oc.its.ac.id/ambilfile.php?idp=1833. Konsep Audit Lingkungan
www.unglobalcompact.org. Diakses tanggal 10 Maret 2014.
www.wbcsd.org. Diakses tanggal 3 Maret 2014.
Yin, R. K. (2009). Case Study Research: Design and Methods. London: Sage Publisher.
Yulita, L. (2011). The Effect Characteristics Of Company Toward Corporate Social Responsibility Disclosures In Mining Company Listed At. Jurnal Reformasi Ekonomi, Vol. 4, No. 1.
Zaleha, S. (2005). Pengaruh Karakteristik Perusahaan terhadap Pengungkapan Sosial dalam Laporan Tahunan Perusahaan Go Public di Bursa Efek Jakarta Tahun 2003. Skripsi S1 Akuntansi tidak dipublikasikan. Fakultas Ekonomi Universitas Diponegoro.
LAMPIRAN-LAMPIRAN
Lampiran 1. Pedoman Umum Audit Lingkungan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 42 Tahun 1994 Tentang Pedoman Umum Pelaksanaan Audit Lingkungan
Menimbang:
1. bahwa set iap orang yang menjalankan suatu bidang usaha atau kegiatan wajib memelihara kelestar ian kemampuan lingkungan hidup yang serasi dan seimbang untuk menunjang pembangunanyang berkelanjutan;
2. bahwa audit lingkungan sebagai suatu perangkat pengelolaan yang dilakukan secara dasar telah diakui merupakan alat yang efekt if dan sangat bermanfaat bagi suatu usaha atau kegiatan dalam mengelola lingkungan hidup;
3. bahwa audit lingkungan adalah suatu proses untuk melaksanakan kajian secara sistematik, terdokumentasi, berkala, dan obyekt if terhadap prosedur dan praktek-praktek dalam pengelolaan lingkungan hidup;
4. bahwa audit lingkungan dapat membantu menemukan upaya penyelesaian yang efektif tentang masalah lingkungan hidup yang dapat dihadapi suatu usaha atau kegiatan, sehingga dapat meningkatkan kiner ja usaha atau kegiatan yang bersangkutan dalam kaitan dengan pelestar ian kemapuan lingkungan;
5. bahwa oleh karena itu dipandang per lu untuk menetapkan suatu pedoman umum tentang pelaksanaan audit lingkungan dengan suatu keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup;
Mengingat :
1. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentauan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara R.I . Nomor 12 Tahun 1982, Tambahan Lembaran Negara R.I . Nomor 3215) ;
2. Peraturan Pemer intah Nomor 51 Tahun 1993 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Lembaran Negara R.I . Nomor 84 Tahun 1993, Tambahan Lembaran Negara R. I . Nomor 3538) ;
3. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 1993 tentang Kedudukan, Tugas Pokok, Fungsi, dan Tata Ker ja Menter i Negara serta Organisasi Staf Menteri Negara;
4. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 96/M Tahun 1993 tentang Pembentukan Kabinet Pembangunan VI ;
MEMUTUSKAN
Menetapkan
KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP TENTANG PEDOMAN UMUM PELAKSANAAN AUDIT LINGKUNGAN
Pertama
Audit Lingkungan merupak suatu kegiatan yang diajurkan untuk dilaksanakan oleh dan merupakan tanggung jawab pihak penanggung jawab usaha atau kegiatan; Kedua Audit Lingkungan dapat dilaksanakan sesuai dengan pr insip-prinsip dasar sebagaimana tercantum pada lampiran keputusan ini;
Ketiga
1. Penanggung jawab usaha atau kegiatan dapat member ikan sebagian atau seluruh laporan audit lingkungan kepada Pemer intah, masyarakat umum atau organisasi lainnya dengan tujuan;
2. mempublikasi upaya pengelolaan dan pemantauan lingkungan; untuk itu hasil audit lingkungan dapat dimintakan keabsahannya dar i instansi yang diyugasi mengendalikan dampak lingkungan;
3. pengembagan sistem pengelolaan dan pemantauan lingkungan;
4. meningkatkan kiner ja lingkungan suatu usaha atau kegiatan;
5. tujuan lainnya sebgaimana ditentukan oleh usaha atau kegiatan yang bersangkutan;
Keempat
Keputusan ini mulai ber laku pada tanggal, dan apabila terdapat kekeliruan maka keputusan ini akan dit injau kembali.
Di tetapkan di: Jakarta
Pada tanggal: 22 Nopember 1994
Menter i Negara Lingkungan Hidup,
t td.
Sarwono Kusumaatmadja
Lampiran 2. Lampiran Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
No. 4 2 Tahun 1 9 9 4 PRINSI P-PRI NSI P DAN PEDOMAN UMUM PELAKSANAAN AUDIT
LI NGKUNGAN
A. FUNGSI DAN TUJUAN
Pedoman Umum Pelaksanaan Audit Lingkungan dimaksudkan sebagai acuan untuk melakukan pelaksanaan audit lingkungan bagi suatu usaha atau kegiatan.
Audit lingkungan yang dimaksud dalam keputusan ini dilaksanakan secara sukarela oleh penanggung jawab usaha atau kegiatan dan merupakan alat pengelolaan dan pemantauan lingkungan yang bersifat internal. Dengan adanya pedoman ini, maka pengelolaan dan pemantauan lingkungan suatu usaha atau kegiatan diharapkan dapat dilakukan dengan baik, lebih terarah, efekt if dan efisien.
B. PENDAHULUAN
1. Definisi
Audit Lingkungan adalah suatu atau manajemen yang meliputi evaluasi secara sistemat ik, terdokumentasi, per iodik dan objekt if tentang bagaimana suatu kiner ja organisasi, sistem manajemen dan peralatan dengan tujuan memfasilitasi kont rol manajemen terhad ap pelaksanaan upaya nengendalian dampak lingkungan dan pengkaj ian pentaatan kebijakan usaha atau kegiatan terhadap peraturan perundang undangan tentang pengelolaan lingkungan.
Audit Lingkungan suatu usaha atau kegiatan merupakan perangkat manajemen yang dilakukan secara internal oleh suatu usaha atau kegiatan sebagai tanggung jawab pengelolaan dan pemantauan lingkungannya. Audit lingkungan bukan merupakan pemer iksaan resmi yang diharuskan oleh suatu peraturan perundang-undangan, melainkan suatu usaha proaktif yang dilaksanakan secara sadar untuk mengindent ifikasi permasalahan lingkungan yang akan timbul sehingga dapat dilakukan upaya-upaya pencegahannya.
2. Fungsi
Fungsi audit lingkungan adalah sebagai:
(a) Upaya peningkatan pentaatan suatu usaha atau kegiatan terhadap peraturan perundang-undangan lingkungan, misalnya: standar emisi udara, limbah cair, penanganan limbah dan standar operasi lainnya;
(b) Dokumen suatu usaha atau kegiatan tentang pelaksanaan standar operasi, prosedur pengelolaan dan pemantauan lingkungan termasuk rencana tangggap darurat , pemantauan dan pelaporan ser ta rencana perubahan pada proses dan peraturan;
(c) Jaminan untuk rnenghindar i perusakan atau kecenderungan kerusakan lingkungan;
(d) Bukt i keabsahan prakiraan dampak dan penerapan rekomendasi
yang tercantum dalam dokurnen AMDAL, yang berguna dalam penyempurnaan proses AMDAL;
(e) Upaya perbaikan penggunaan sumberdaya melalui penghematan
penggunaan bagan, minimisasi limbah dan ident ifikasi kemungkinan proses daur ulang;
( f) Upaya untuk meningkatkan t indakan yang telah dilaksanakan atau yang per lu dilaksanakan oleh suatu usaha atau kegiatan untuk memenuhi kepent ingan lingkungan, misalnya pembangunan yang berkelanjutan, proses daur ulang dan efisiensi penggunaan sumberdaya.
3. Manfaat
Audit Lingkungan bermanfaat untuk:
(a) Mengindent ifikasi r isiko lingkungan;
(b) Menjadi dasar bagi pelaksanaan kebijaksanaan pengelolaan lingkungan atau upaya penyempurnaan rencana yang ada;
(c) Menghindar i kerugian finansial seper t i penutupan / pemberhentian suatu usaha atau kegiatan atau pembatasan oleh pemer intah, atau publikasi yang merugikan akibat pengelolaan dan pemantauan lingkungan yang t idak baik;
(d) Mencegah tekanan sanksi hukum terhadap suatu usaha atau kegiatan atau terhadap pimpinannya berdasarkan pada peraturan perundang-undangan yang ber laku;
(e) Membukt ikan pelaksanaan pengelolaan lingkungan apabila dibutuhkan dalam proses pengadilan;
( f) Meningkatkan kepedulian pimpinan/ penanggung jawab dan staf suatu badan usaha atau kegiatan tentang pelaksanaan kegiatannya terhadap kebijakan dan tanggung jawab lingkungan;
(g) Mengident ifikasi kemungkinan penghematan biaya melalui Upaya konservasi energi, dan pengurangan, pemakaian ulang dan daur ulang limbah;
(h) Menyediakan laporan audit lingkungan bagi keper luan usaha atau kegiatan yang bersangkutan, atau bagi keper luan kelompok pemerhati lingkungan, pemerintah, dan media massa;
(i) Menyediakan informasi yang memadai bagi kepent ingan usaha usaha atau kegiatan asuransi, lembaga keuangan, dan pemegang saham.
C. RUANG LINGKUP
Audit Lingkungan per lu disusun sedemikian rupa, sehingga dapat memberikan informasi mengenai:
1. sejarah atau rangkaian suatu usaha atau kegiatan, rona dan kerusakan lingkungan di tempat usaha atau kegiatan tersebut , pengelolaan dan pemantauan yang dilakukan, ser ta isu lingkungan yang terkait ;
2. perubahan rona lingkungan sejak usaha atau kegiatan tersebut didir ikan sampai waktu terakhir pelaksanaan audit ;
3. penggunaan input dan sumberdaya alam, proses bahan dasar, bahan jadi, dan limbah termasuk limbah B3;
4. ident ifikasi penanganan dan penyimpanan bahan kimia, B3 ser ta potensi erusakan yang mungkin imbul;
5. kaian resiko lingkungan;
6. sistem kont rol manajemen, rute pengangkutan bahan dan pembuangan limbah, termasuk fasilitas untuk meminimumkan dampak buangan dan kecelakaan;
7. effekt ifitas alat pengendalian pencemaran seperti ditunjukkan dalam laporan inspeksi, perawatan, uji emisi, uji rutin, dll;
8. catatan tentang lisensi pembuangan limbah dan pentaatan terhadap peraturan perundang-undangan termasuk standar dan baku mutu lingkungan;
9. pentaatan terhadap hasil dan rekomendasi AMDAL (Rencana Pengelolaan Lingkungan dan Rencana Pemantauan Lingkungan) ;
10. perencanaan dan prosedur standar operasi keadaan darurat ;
11. rencana minimalisasi limbah dan pengendalian pencemaran lingkungan;
12. penggunaan energi, air dan sumberdaya alam lainnya;
13. program daur ulang, konsiderasi product life cycle;
14. peningkatan kemampuan sumberdaya manusia dan kepedulian lingkungan.
Ruang lingkup audit lingkungan sangat luwes, tergantung pada kebutuhan atau kegiatan yang bersangkutan.
D. PRINSIP-PRINSIP DASAR
1. Karakter ist ik dasar
Audit Lingkungan mempunyai cir i khas sebagai berikut:
(a) Metodotogi yang komprehensif;
Audit lingkungan memer lukan tata laksana dan metodologi yang r inci. Audit lingkungan harus dilaksanakan dengan metodologi yang komprehensif dan prosedur yang telah ditentukan, untuk
menjamin pengumpulan data dan informasi yang dibutuhkan serta dokumentasi dan penguj ian informasi tersebut.
Metodologi tersebut harus fleksibel sehingga t im auditor dapat menerapkan teknik- teknik yang tepat. Audit lingkungan harus berpedoman kepada penggunaan rencana yang sistemat ik dan
sesuai dengan prosedur pelaksanaan audit lapangan dan penyusunan laporan.
(b) Konsep pembukt ian dan penguj ian;
Konsep pembukt ian dan penguj ian terhadap penyimpangan pengelolaan lingkungan adalah hal yang pokok dalam audit ingkungan. Tim audit harus mengkonfirmasikan semua data dan informasi yang diperolehnya melalui pemer iksaan lapangan secara langsung.
(c) Pengukuran dan standar yang sesuai;
Penetapan standardan pengukuran ter t iadap kiner ja Hngkungan harus sesuai dengan usaha atau kegiatan dan proses produksi yang diaudit . Audit lingkungan tidak akan berait i kecuali Ha
kiner ja usaha atau kegiatan dapat dibandingkandengan standar yang digunakan
(d) Laporan ter tulis.
Laporan harus mernuat hasH pengamatan dan fakta- iakta penun ser ta dokumentasi terhadap proses produksi. Seluruh data dan basil temuan barus disajikan dengan letas dan akurat, serla dilandasi dengan bukt’ yang sahib dan terdokumentasi.
2. Kunci keberhasilan
(a) Dukungan pihak pimpinan
Pelaksanaan audit lingkungan harus diawali dengan adanya itikad pimpinan usaha atau kegiatan. Usaha atau kegiatan dan proses audit dapat menjadi sangat kompleks dan pelaksanaan audit lingkungan menjadi tidak efektif bila tidak ada dukungan yang kuat dar i pimpinan usaha atau kegiatan. Selain itu tim auditor harus pula diberi keleluasan untuk mengkaj i hal-hal yang sensitif dan berpotensi menimbulkan dampak lingkungan.
(b) Keikutser taan semua pihak
Keberhasilan audit lingkungan ditentukan pula oleh keikutser taan dan ker jasama yang baik dari semua pihak dalam usaha atau kegiatan yang bersangkutan, mengingat kaj ian terhadap kinerja lingkungan akan meliput i semua aspek dan pelaksanaan tugas secara luas.
(c) Kemandir ian dan obyekt ifitas auditor
Tim audit lingkungan harus mandiri dan tidak ada keter ikatan dengan usaha atau kegiatan yang diaudit. Apabila tidak, maka obyekt ifitas dan kredibilitas akan diragukan. Pada umumnya, kemandir ian auditor diartikan bahwa tim auditor harus dilaksanakan oleh orang di luar usaha atau kegiatan yang diaudit.
(d) Kesepakatan tentang tata laksana dan lingkup audit
Harus ada kesepakatan awal antara pimpinan usaha atau kegiatan dengan tim auditor tentang lingkup audit lingkungan yang akan dilaksanakan.
E. PEDOMAN UMUM PELAKSANAAN AUDIT LINGKUNGAN
1. Tata Laksana
Pelaksanaan audit lingkungan per lu mengikut i suatu tata laksana audit. Tata laksana audit merupakan suatu rencana yang harus diikut i oleh auditor untuk dapat mencapai tujuan audit yang diharapkan. Dengan mengacu pada tata laksana tersebut maka diharapkan adanya konsistensi dalam pelaksanaan audit dan pelaporan hasil audit. Tata laksana audit sangat beragam dan tergantung pada jenis usah dan karakteristik lingkungan.
Berikut ini adalah beberapa tata laksana audit yang umum dilaksanakan:
(a) Daftar Isian. Bentuk pelaksanaan audit yang paling sederhana adalah mempergunakan daftar isian dar i laporan yang akan dihasilkan sebagai acuan audit.
(b) Checklist . Jenis ini merupakan cara yang umum digunakan yaitu dengan mempergunakan daftar yang r inci mengenai isi yang akan diaudit .
(c) Daftar per tanyaan. Daftar per tanyaan ser ingkali digunakan dalam pelaksanaan audit , dan daftar per tanyaan tersebut harus dijawab secara lengkap oleh auditor. Pada umumnya, auditor telah mempersiapkan format baku untuk melaksanakan audit dan menyusun laporan akhir .
(d) Pedoman. Audit dengan menggunakan pedoman merupakan jenis tata laksanana yang paling r inci. Pedoman ini memuat inst ruksiinst ruksi dan petunjuk pelaksanaan yang harus dilaksanakan oleh auditor , ser ta aspek yang harus diteliti.
2. Pelaksanaan.
Tahapan pelaksanaan audit lingkungan adalah sebagai berikut:
1. Pendahuluan
Penerapan audit lingkungan akan tergantung kepada jenis audit yang dilaksanakan, jenis usaha atau kegiatan dan pelaksanaan oleh tim auditor.
2. Pra-audit
Kegiatan pra-audit merupakan bagian yang penting dalam prosedur audit lingkungan. Perencanaan yang baik pada tahap ini akan menentukan keberhasilan pelaksanaan audit dan t indak lanjut audit tersebut. Informasi yang diper lukan pada tahap ini meliputi informasi rinci mengenai aktifitas di lapangan, status hukum, instruktur organisasi, dan lingkup usaha atau kegiatan yang akan diaudit. Aktifitas pra-audit juga meliputi pemilihan tata laksana audit,cpenentuan tim auditor, dan pendanaan pelaksanaan kegiatan audit . Pada saat ini, tujuan dan ruang lingkup audit harus telah disepakati.
3. Kegiatan Lapangan
(1) Pertemuan pendahuluan
Tahap awal yang harus dilaksanakan oleh tim audit adalah mengadakan per temuan dengan pimpinan usaha atau kegiatan untuk mengkaji tujuan audit, tata laksana, dan jadual kegiatan audit .
(2) Pemer ikasaan lapangan
Pemer iksaan di lapangan dilaksanakan setelah per temuan pendahuluan. Tim audit akan mendapatkan Gambaran tentang kegiatan usaha atau kegiatan yang akan menjadi dasar penetapan areal kegiatan yang memer lukan perhat ian secara khusus, Dengan melaksanakan pemer iksaan lapangan, tim auditor dapal menemukan hal-hal yang terkait erat dengan kegiatan audit namun belum ter ident ifikasi dalam perencanaan.
(3) Pengumpulan data
Data dan informasi yang dikumpulkan selama audit lingkungan akan mencakup tata laksana audit, dokumentasi yang diber ikan oleh pemilik usaha atau kegiatan, catatan dan hasil pengamatan tim auditor, hasil sampling dan pemantauan, foto- foto, rencana, peta, diagram, ker tas ker ja dan hal-hal lain yang berkaitan. Informasi tersebut harus terdokumentasi dengan baik agar mudah ditelusurI kembali. Tujuan utama pengumpulan data adalah untuk
menunjang dan merupakan dasar bagi penguj ian temuan audit lingkungan.
(4) Penguj ian;
Pr insip utama audit lingkungan adalah bahwa informasi yang disajikan oleh tim audiotor telah diuji dan dikonfirmasikan. Dokumentasi yang dihasilkan oleh tim auditor harus menunjang semua pernyataan, atau telah teruji melalui pengamatan langsung oleh tim auditor.
Dalam menguji hasil temuan audit, tim auditor harus menjamin bahwa dokumen yang dihasilkan merupakan dokumen yang asli dan sah. Oleh karena itu tata laksana audit harus menentukan t ingkat pengujian data yang dibutuhkan, atau harus ditentukan oleh tim auditor.
(5) Evaluasi hasil temuan
Hasil temuan audit harus dievaluasi sesuai dengan tujuan audit dan tata laksana yang telah disetujui untuk menjamin bahwa semua isu/masalah telah dikaji. Dokumentasienunjang harus dikaji secara teliti sehingga semua hasil temuan telah ditunjang oleh data dan diuji secara tepat.
(6) Per temuan akhir
Setelah penelit ian lapangan selesai, tim auditor harus memaparkan hasil temuan pendahuluan dalam suatu per temuan akhir secara resmi. Per temuan ini akan mendiskusikan berbagai hal yang belum terpecahkan atau informasi yang belum tersedia. Tim auditor harus mengkajI hasil per temuan secara gar is besar dan menentukan waktu penyelesaian laporan ahkir. Seluruh dokumentasi selama penelit ian harus dikembalikan kepada penanggung jawab usaha atau kegiatan.
4. Pasca Audit
Tim auditor akan menyusun laporan ter tulis secara lengkap sebagai hasil pelaksanaan audit lingkungan. Laporan tersebut juga mencakup pemaparan tentang rencana tindak lanjut terhadap isuisu yang telah diident ifikasi.
F. SIFAT KERAHASIAAN
Laporan hasil audit lingkungan merupakan milik usaha atau kegiatan yang diaudit dan bersifat rahasia. Namun demikian, dunia usaha atau kegiatan sesuai dengan kebebasannya dapat menyampaikan laporan audit lingkungan kepada pemer intah, masyarakat luas atau organisasi lainnya dengan tujuan sebagai berikut:
(a) Publikasi terhadap upaya pengelolaan dan pemantauan lingkungan yang telah dilakukan. Pemer intah dapat memberikan vertifikasi atas hasil audit;
(b) Ant isipasi kebutuhan penilaian per ingkat kiner ja usaha atau kegiatan lainnya;
(c) Tujuan lainnya yang ditetapkan oleh usaha atau kegiatan tersebut.
Kebijakan audit lingkungan dalam hal ini tidak membatasi hai-hal sebagai berikut:
(a) Hak pemer intah untuk melaksanakan pemer iksanaan secara rutin pada suatu usaha atau kegiatan;
(b) Hak pemer intah untuk melaksanakan pemer iksaan terhadap suatu kegiatan yang dicur igai sebagai kelalaian, penghindaran kewajiban dan pelanggaran terhadap pentaatan hukum dan peraturan;
c) Hak pemer intah untuk meminta sesuatu informasi khusus sebagai dasar penentuan per ingkat kiner ja lingkungan suatu usaha atau kegiatan pelanggaran terhadap pentaatan hukum dan peraturan:
(d) Tanggung jawab dunia usaha atau kegiatan untuk menyediakan data hasil pengelolaan dan pemantauan kepada pemer intah sesuai ketentuan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982, Peraturan Pemer intah Nomor 51 Tahun 1993 dan peraturan pelaksanaan lainnya.
G. PENGAWASAN MUTU HASIL AUDIT
Dalam rangka menjamin bahwa audit lingkungan akan dilaksanakan secara baik dan profesional, maka usaha atau kegiatan atau organisasi (non pemer intah) dianjurkan untuk membuat dan melaksanakan kode et ik ser ta ser t ifikasi auditor lingkungan.
Auditor lingkungan harus mempunyai pendidikan yang sesuai dan memiliki pengalaman profesional untuk dapat melaksanakan tugasnya. Kemampuan yang harus dimiliki oleh t im auditor adalah meliput i pengetahuan tentang :
- Proses, prosedur dan teknis audit
- Karakter ist ik dan analisis tentang sistem manajemen
- Peraturan perundang-undangan dan kebijaksanaan lingkungan
- Sistem dan teknologi pengelolaan lingkungan, kesehatan dan keselamatan ker ja
- Fasilitas usaha atau kegiatan yang akan diaudit
- Potensi dampak lingkungan, kesehatan dan keselamatan ker ja serta resiko bahaya
Auditor juga per lu mendapatkan pelat ihan dan peningkatan kemampuan dalam bidang yang dibutuhkan dalam audit, meliput i:
- Kemampuan berkomunikasi
- Kemampuan perencanaan dan penjadualan ker ja
- Kemampuan untuk menganalisis data dan hasil temuan
- Kemampuan untuk menulis laporan audit
Auditor lingkungan harus ter lat ih secara profesional untuk menjamin ketepatan, konsistensi dan objekt ifitas dalam pelaksanaan audit . Auditor harus mengikut i kode et ik auditor yang ada.
Proposal Program Pelat ihan Pengenalan Inst rumen Ekonomi Untuk Pengendalian Dampak Lingkungan
1. Latar belakang
Sampai saat ini pendekatan dalam menangani masalah lingkungan di Indonesia hampir seluruhnya ber tumpu pada inst rumen legal yang di wujudkan dalam bentuk peraturan perundangan. Kenyataan dibeberapa negara menunjukkan bahwa peraturan perundangan saja t idaklah cukup untuk memaksa para pelaku perusak lingkungan untuk memasukkan biaya lingkungan sebagai bagian dan biaya kegiatannya.
Inst rumen ekonomi atau yang lebih dikenal dengan sistem “ Insensif” akhir -akhir ini berkembang sebagai alternat if ataupun pelengkap pendekatan untuk mencapai tujuan dalam upaya pengendalian dampak lingkungan. Pendekatan ini pada dasarnya ber tumpu pada pr insip menawarkan finansial intensif ataupun disinsent if kepada para pelaku ekonomi untuk membayar bila merusak lingkungan atau menanam modal untuk t idak merusak lingkungan. Dengan demikian, make jelaslah bahwa penerapan inst rumen ini akan sangat
membantu dalam penerapan “Polluters Pay Pr inciples” .
Melihat kenyataan ini, maka Bapedal beker jasama dengan German Foundat ion For Internat ional Development (DSE) bernmaksud mengadakan pelat ihan pengenalan inst rumen ekonomi untuk pengendalian dampak lingkungan.
2. Tujuan
Pelat ihan ini diharapkan dapat membantu para peser ta untuk mengenal sebagai inst rumen ekonomi untuk pengendalian dampak lingkungan. Selain mengenal berbagai inst rumen tersebut , para peser ta juga diharapkan akan memahami persyaratan penggunaan inst rumen ekonomi kelemahan dan keuntungan ser ta pengadminist rasian penggunaan inst rumen ekonomi.
Lampiran 3. PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP REPUBLIK INDONESIA NOMOR 03 TAHUN 2013 TENTANG AUDIT LINGKUNGAN HIDUP
Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 52 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, perlu menetapkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup tentang Audit Lingkungan Hidup;
Mengingat : Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5059);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan: PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP TENTANG AUDIT
LINGKUNGAN HIDUP.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
1. Audit Lingkungan Hidup adalah evaluasi yang dilakukan untuk menilai ketaatan penanggung jawab Usaha dan/atau Kegiatan terhadap persyaratan hukum dan kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah.
2. Usaha dan/atau Kegiatan adalah segala bentuk aktivitas yang dapat menimbulkan perubahan terhadap rona lingkungan hidup serta menyebabkan dampak terhadap
lingkungan hidup.
3. Auditor Lingkungan Hidup adalah seseorang yang memiliki Kompetensi untuk melaksanakan Audit Lingkungan Hidup.
4. Lembaga Penyedia Jasa Audit Lingkungan Hidup adalah badan hukum yang bergerak dalam bidang jasa Audit Lingkungan Hidup.
5. Kegiatan Berisiko Tinggi adalah Usaha dan/atau Kegiatan yang jika terjadi kecelakaan dan/atau keadaan darurat menimbulkan dampak yang besar dan luas terhadap
kesehatan manusia dan lingkungan hidup.
6. Dokumen Lingkungan Hidup adalah dokumen yang memuat pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup yang terdiri atas analisis mengenai dampak lingkungan hidup (Amdal), upaya pengelolaan lingkungan hidup dan upaya pemantauan lingkungan hidup (UKL-UPL), surat pernyataan kesanggupan pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup (SPPL), dokumen pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup (DPPL), studi evaluasi mengenai dampak lingkungan hidup (SEMDAL), studi evaluasi lingkungan hidup (SEL), penyajian informasi lingkungan (PIL), penyajian evaluasi lingkungan (PEL), dokumen pengelolaan lingkungan hidup (DPL), rencana pengelolaan lingkungan dan rencana pemantauan lingkungan (RKL-RPL), dokumen evaluasi lingkungan hidup (DELH), dokumen pengelolaan lingkungan hidup (DPLH), dan Audit Lingkungan Hidup.
7. Instansi Lingkungan Hidup Kabupaten/Kota adalah instansi yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup kabupaten/kota.
8. Instansi Lingkungan Hidup Provinsi adalah instansi yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup provinsi.
9. Kompetensi adalah kemampuan personil untuk mengerjakan suatu tugas dan pekerjaan yang dilandasi oleh pengetahuan, keterampilan, dan sikap kerja yang dapat dipertanggungjawabkan.
10. Kriteria Kompetensi adalah suatu rumusan mengenai lingkup kemampuan personil yang dilandasi oleh pengetahuan, keterampilan dan didukung sikap kerja serta penerapannya di tempat kerja yang mengacu pada unjuk kerja yang dipersyaratkan.
11. Lembaga Pelatihan Kompetensi Auditor Lingkungan Hidup, yang selanjutnya disebut LPK Auditor Lingkungan Hidup adalah lembaga yang memiliki sarana dan prasarana bagi pelatihan dalam Audit Lingkungan Hidup dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh Menteri Lingkungan Hidup.
12. Penilaian Kompetensi adalah kegiatan untuk mengevaluasi tingkat pengetahuan, keterampilan personil, dan sikap kerja yang memenuhi kriteria Kompetensi yang telah ditetapkan.
13. Sertifikat Kompetensi adalah tanda pengakuan Kompetensi seseorang yang memenuhi standar Kompetensi tertentu setelah melalui uji Kompetensi.
14. Pengakuan Penyetaraan adalah pengakuan terhadap kurikulum pelatihan Kompetensi Auditor Lingkungan Hidup atau Sertifikat Kompetensi Auditor Lingkungan Hidup yang berasal dari luar negeri.
15. Lembaga Sertifikasi Kompetensi Auditor Lingkungan Hidup, yang selanjutnya disebut LSK Auditor Lingkungan Hidup adalah lembaga pelaksana Penilaian Kompetensi dan pelaksana sertifikasi Kompetensi dalam Audit Lingkungan Hidup.
16. Registrasi Kompetensi adalah rangkaian kegiatan pendaftaran dan dokumentasi terhadap Lembaga Penyedia Jasa Audit Lingkungan Hidup dan LPK Audit Lingkungan Hidup yang telah memenuhi persyaratan tertentu.
17. Akreditasi adalah penilaian kelayakan lembaga Pendidikan dan pelatihan dalam menyelenggarakan program pendidikan dan pelatihan tertentu yang ditetapkan dalam Surat Keputusan dan Sertifikat Akreditasi oleh instansi pembina.
18. Sistem Manajemen Mutu adalah suatu sistem yang dilaksanakan untuk menjaga kualitas dari suatu pelaksanaan kegiatan yang meliputi perencanaan, seleksi dan penugasan tenaga pelaksana, penerapan prosedur operasional standar, dokumentasi, evaluasi, dan pelaporan.
19. Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup adalah Pegawai Negeri Sipil yang diberi tugas, tanggungjawab, wewenang, dan hak secara penuh oleh pejabat yang berwenang untuk melaksanakan kegiatan pengawasan lingkungan hidup sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
20. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
Pasal 2
Peraturan Menteri ini bertujuan memberikan pedoman untuk pelaksanaan:
a. sertifikasi Kompetensi Auditor Lingkungan Hidup; dan
b. Audit Lingkungan Hidup.
Pasal 3
Peraturan Menteri ini mengatur mengenai:
a. Kompetensi Auditor Lingkungan Hidup;
b. tata laksana Audit Lingkungan Hidup;
c. pembinaan dan pengawasan; dan
d. pembiayaan.
Pasal 4
Audit Lingkungan Hidup terdiri atas:
a. Audit Lingkungan Hidup yang bersifat sukarela; dan
b. Audit Lingkungan Hidup yang diwajibkan.
Pasal 5
(1) Audit Lingkungan Hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dilakukan oleh tim Audit Lingkungan Hidup.
(2) Tim Audit Lingkungan Hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
a. 1 (satu) orang auditor utama, sebagai ketua tim;
b. paling sedikit 1 (satu) orang Auditor Lingkungan Hidup, sebagai anggota tim; dan
c. ahli yang membidangi Usaha dan/atau Kegiatan yang bersangkutan, sebagai anggota tim.
Pasal 6
Dalam melaksanakan Audit Lingkungan Hidup, tim Audit Lingkungan Hidup wajib menggunakan metodologi:
a. standar nasional indonesia; dan/atau
b. standar/pedoman lain,
berdasarkan tujuan pelaksanaan Audit Lingkungan Hidup.
BAB II
KOMPETENSI AUDITOR LINGKUNGAN HIDUP
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 7
(1) Auditor Lingkungan Hidup meliputi:
a. Auditor Lingkungan Hidup perorangan; atau
b. Auditor Lingkungan Hidup yang tergabung dalam lembaga penyedia jasa Audit Lingkungan Hidup.
(2) Kualifikasi Auditor Lingkungan Hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
a. auditor utama; dan
b. auditor.
(3) Kriteria Kompetensi untuk auditor utama sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf a meliputi kemampuan:
a. memahami prinsip, metodologi, dan tata laksana Audit Lingkungan Hidup;
b. melakukan Audit Lingkungan Hidup yang meliputi tahapan perencanaan, pelaksanaan, pengambilan kesimpulan, dan pelaporan;
c. merumuskan rekomendasi langkah perbaikan sebagai tindak lanjut Audit Lingkungan Hidup;
d. menunjuk dan mengoordinasikan kegiatan auditor di bawah tanggungjawabnya sebagai auditor utama;
e. merumuskan kesimpulan Audit Lingkungan Hidup;
f. mengoordinasikan penyusunan dan penyampaian laporan hasil Audit Lingkungan Hidup; dan
g. memenuhi kriteria lain yang ditetapkan oleh LSK Auditor Lingkungan Hidup.
(4) Kriteria Kompetensi untuk auditor sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b meliputi kemampuan:
a. memahami prinsip, metodologi, dan tata laksana Audit Lingkungan Hidup;
b. melakukan Audit Lingkungan Hidup yang meliputi tahapan perencanaan, pelaksanaan, pengambilan kesimpulan, dan pelaporan;
c. merumuskan rekomendasi langkah perbaikan sebagai tindak lanjut Audit Lingkungan Hidup; dan
d. memenuhi kriteria lain yang ditetapkan oleh LSK Auditor Lingkungan Hidup.
Bagian Kedua
Sertifikasi Kompetensi dan Lembaga Sertifikasi Kompetensi Auditor Lingkungan Hidup
Pasal 8
(1) Auditor Lingkungan Hidup sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 7 wajib memiliki Sertifikat Kompetensi Auditor Lingkungan Hidup.
(2) Untuk memperoleh Sertifikat Kompetensi Auditor Lingkungan Hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1), Auditor Lingkungan Hidup wajib:
a. memenuhi kriteria Kompetensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (3) dan ayat (4);
b. mengikuti dan lulus pelatihan Audit Lingkungan Hidup; dan
c. mengikuti uji Kompetensi yang diselenggarakan oleh LSK Auditor Lingkungan Hidup.
(3) Uji Kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c terdiri atas:
a. penilaian portofolio; dan
b. uji tertulis dan/atau wawancara.
(4) Penilaian portofolio sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a dilakukan terhadap:
a. latar belakang pendidikan;
b. pelatihan di bidang Audit Lingkungan Hidup;
c. pengalaman kerja di bidang lingkungan hidup; dan
d. pengalaman melakukan Audit Lingkungan Hidup.
(5) Uji tertulis dan/atau wawancara sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b dilakukan terhadap penguasaan kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7.
Pasal 9
(1) Sertifikat Kompetensi Auditor Lingkungan Hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) diterbitkan oleh LSK Auditor Lingkungan Hidup yang ditunjuk oleh Menteri.
(2) Sertifikat Kompetensi Auditor Lingkungan Hidup
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku selama 3 (tiga) tahun dan dapat diperpanjang.
Pasal 10
(1) LSK Auditor Lingkungan Hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 wajib memiliki:
a. Sistem Manajemen Mutu;
b. penguji atau penilai yang memiliki pengalaman paling sedikit 5 (lima) tahun di bidang Audit Lingkungan Hidup dan/atau 5 (lima) kali melakukan Audit Lingkungan Hidup sebagai auditor utama;
c. sistem informasi publik yang terkait dengan pelaksanaan sertifikasi Kompetensi; dan
d. mekanisme penanganan pengaduan dari pengguna jasa dan publik.
(2) LSK Auditor Lingkungan Hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib melaporkan pelaksanaan sertifikasi Kompetensi kepada Menteri.
Bagian Ketiga
Lembaga Pelatihan Kompetensi Auditor Lingkungan Hidup
Pasal 11
(1) Pelatihan Audit Lingkungan Hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) huruf b dilaksanakan oleh LPK Auditor Lingkungan Hidup.
(2) Setiap LPK Auditor Lingkungan Hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib melakukan Registrasi Kompetensi.
(3) LPK Auditor Lingkungan Hidup mengajukan permohonan registrasi secara tertulis kepada Menteri.
(4) LPK Auditor Lingkungan Hidup yang teregistrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi persyaratan, memiliki:
a. identitas LPK Auditor Lingkungan Hidup;
b. akte pendirian badan hukum;
c. dokumen Sistem Manajemen Mutu;
d. dokumen sertifikat pengelola lembaga pendidikan dan pelatihan;
e. dokumen mengenai pengajar yang kompeten, termasuk pengajar di bidang metodologi dan teknik Audit Lingkungan Hidup yang berSertifikat Kompetensi dengan kualifikasi auditor utama dan/atau berpengalaman paling sedikit 3 (tiga) kali melakukan Audit Lingkungan Hidup;
f. dokumen mengenai program pelatihan Kompetensi Auditor Lingkungan Hidup yang menggunakan kurikulum baku yang ditetapkan oleh Menteri;
g. dokumen mengenai sarana dan prasarana pelatihan; dan
h. dokumen mengenai sistem informasi publik mengenai pelatihan Kompetensi Auditor Lingkungan Hidup.
(5) Tata cara registrasi LPK Auditor Lingkungan Hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan Peraturan Menteri mengenai tata cara Registrasi Kompetensi.
Pasal 12
(1) Dalam hal LPK Auditor Lingkungan Hidup menggunakan kurikulum di luar kurikulum baku sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (4) huruf f, penggunaannya wajib memperoleh penetapan pengakuan penyetaraan dari Menteri.
(2) Menteri dapat mendelegasikan penetapan pengakuan penyetaraan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Pejabat Eselon I yang bertanggungjawab di bidang standardisasi.
Bagian Keempat
Lembaga Penyedia Jasa Audit Lingkungan Hidup
Pasal 13
(1) Setiap lembaga penyedia jasa Audit Lingkungan Hidup wajib melakukan Registrasi Kompetensi.
(2) Lembaga penyedia jasa Audit Lingkungan Hidup mengajukan permohonan registrasi secara tertulis kepada Menteri.
(3) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib dilengkapi dengan persyaratan:
a. identitas pemohon;
b. akte pendirian badan hukum;
c. dokumen Sistem Manajemen Mutu; dan
d. dokumen mengenai tenaga tetap dengan kualifikasi auditor utama.
(4) Menteri melakukan penilaian terhadap permohonan registrasi sesuai dengan peraturan mengenai tata laksana registrasi.
Pasal 14
(1) Menteri menyediakan informasi publik mengenai:
a. tujuan Registrasi Kompetensi lembaga penyedia jasa
Audit Lingkungan Hidup dan LPK Auditor Lingkungan Hidup;
b. tata laksana registrasi, penerbitan surat tanda registrasi, dan pemeliharaan registrasi;
c. persyaratan dan prosedur mengikuti Registrasi Kompetensi;
d. daftar registrasi lembaga penyedia jasa Audit Lingkungan Hidup yang meliputi:
1. nomor dan tanggal registrasi;
2. identitas lembaga penyedia jasa;
3. penanggung jawab teknis pelaksanaan Audit Lingkungan Hidup; dan
4. daftar Auditor Lingkungan Hidup yang memiliki Sertifikat Kompetensi dan ditugaskan untuk melakukan Audit Lingkungan Hidup;
e. daftar registrasi LPK Auditor Lingkungan Hidup yang meliputi:
1. nomor dan tanggal registrasi;
2. identitas LPK Auditor Lingkungan Hidup;
3. penanggung jawab pelatihan Kompetensi Auditor Lingkungan Hidup; dan
4. daftar pengajar tetap dan tidak tetap; dan
f. daftar pemegang registrasi yang dalam status dibekukan atau dicabut.
(2) LPK Auditor Lingkungan Hidup menyediakan informasi publik mengenai:
a. tujuan pelatihan Kompetensi Auditor Lingkungan Hidup dan kurikulum yang digunakan;
b. daftar pengajar tetap dan tidak tetap;
c. persyaratan dan prosedur mengikuti pelatihan Kompetensi Auditor Lingkungan Hidup;
d. jadwal dan tempat pelaksanaan pelatihan Kompetensi yang disediakan untuk publik; dan
e. daftar pemegang surat tanda tamat pelatihan Kompetensi Auditor Lingkungan Hidup.
(3) LSK Auditor Lingkungan Hidup menyediakan informasi publik mengenai:
a. tujuan sertifikasi Kompetensi Auditor Lingkungan Hidup;
b. sistem Penilaian Kompetensi, penerbitan Sertifikat Kompetensi, dan pemeliharaan sertifikat;
c. persyaratan dan prosedur sertifikasi Kompetensi Auditor Lingkungan Hidup bagi pemohon;
d. jadwal dan tempat pelaksanaan Penilaian Kompetensi yang disediakan untuk pemohon; dan
e. daftar pemegang Sertifikat Kompetensi Auditor Lingkungan Hidup, termasuk masa berlaku sertifikat dan daftar sertifikat yang dalam status dibekukan atau dicabut.
(4) Kementerian Lingkungan Hidup, LPK Auditor Lingkungan Hidup, dan LSK Auditor Lingkungan Hidup wajib melakukan pemutakhiran informasi publik sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (3).
BAB III
TATA LAKSANA AUDIT LINGKUNGAN HIDUP
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 15
Tata laksana Audit Lingkungan Hidup yang diatur dalam Peraturan Menteri ini hanya untuk Audit Lingkungan Hidup yang diwajibkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1)
huruf b.
Pasal 16
(1) Audit Lingkungan Hidup dilakukan terhadap Usaha dan/atau Kegiatan yang memiliki dokumen lingkungan hidup.
(2) Audit Lingkungan Hidup dapat dilakukan terhadap lebih dari 1 (satu) Usaha dan/atau Kegiatan yang berlokasi dalam 1 (satu) kawasan.
Pasal 17
Audit Lingkungan Hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal
15 merupakan audit yang diwajibkan oleh Menteri kepada:
a. Usaha dan/atau Kegiatan tertentu yang berisiko tinggi terhadap lingkungan hidup; dan/atau
b. Usaha dan/atau Kegiatan yang menunjukkan ketidaktaatan terhadap peraturan perundang-undangan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
Pasal 18
(1) Usaha dan/atau Kegiatan tertentu yang berisiko tinggi terhadap lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 huruf a tercantum dalam Lampiran I yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
(2) Menteri dapat menetapkan jenis Usaha dan/atau Kegiatan
yang berisiko tinggi di luar Lampiran I Peraturan Menteri ini, berdasarkan usulan dari:
a. Komisi Penilai Amdal, untuk Usaha dan/atau Kegiatan yang masih dalam tahap perencanaan; dan/atau
b. Kementerian dan/atau lembaga pemerintah nonkementerian terkait, untuk Usaha dan/atau Kegiatan yang sudah beroperasi.
(3) Usulan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) didasarkan pada hasil analisis risiko lingkungan hidup sesuai peraturan perundang-undangan.
Pasal 19
Usaha dan/atau Kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 huruf b ditetapkan berdasarkan kriteria:
a. adanya dugaan pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup;
b. pelanggaran tersebut telah terjadi paling sedikit 3 (tiga) kali dan berpotensi tetap terjadi lagi di masa datang; dan
c. belum diketahui sumber dan/atau penyebab ketidaktaatannya.
Pasal 20
Pelaksanaan Audit Lingkungan Hidup tidak membebaskan penanggung jawab Usaha dan/atau Kegiatan dari sanksi hukum sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Bagian Kedua
Dokumen Audit Lingkungan Hidup
Pasal 21
(1) Dokumen Audit Lingkungan Hidup terdiri atas:
a. rencana Audit Lingkungan Hidup; dan
b. laporan hasil Audit Lingkungan Hidup.
(2) Rencana Audit Lingkungan Hidup sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf a paling sedikit berisi:
a. identitas pemberi perintah audit dan pihak yang diaudit;
b. tujuan audit;
c. lingkup audit;
d. kriteria audit;
e. identitas dan identifikasi Kompetensi tim audit;
f. pernyataan ketidakberpihakan dan kemandirian tim audit;
g. proses dan metode kerja audit;
h. tata waktu audit keseluruhan;
i. lokasi dan jadwal audit lapangan;
j. wakil dari pihak yang diaudit;
k. kerangka protokol audit;
l. pengumpulan bukti audit; dan
m. kerangka sistematika laporan.
(3) Laporan hasil Audit Lingkungan Hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b paling sedikit berisi:
a. informasi yang meliputi tujuan, lingkup, kriteria, dan proses pelaksanaan audit;
b. temuan audit;
c. kesimpulan audit;
d. rekomendasi audit dan tindak lanjut; dan
e. data dan informasi pendukung yang relevan.
Bagian Ketiga
Penilaian Audit Lingkungan Hidup
Pasal 22
(1) Menteri melakukan penilaian pelaksanaan Audit Lingkungan Hidup.
(2) Penilaian pelaksanaan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilakukan terhadap:
a. usulan jenis Usaha dan/atau Kegiatan berisiko tinggi di luar Lampiran I Peraturan Menteri ini;
b. usulan dilakukannya Audit Lingkungan Hidup yang diwajibkan untuk Usaha dan/atau Kegiatan yang menunjukan ketidaktaatan;
c. rencana Audit Lingkungan Hidup; dan
d. laporan hasil Audit Lingkungan Hidup yang diwajibkan untuk Usaha dan/atau Kegiatan yang menunjukan ketidaktaatan.
(3) untuk melaksanakan penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Menteri membentuk tim evaluasi.
Pasal 23
Tim evaluasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (3) terdiri atas:
a. ketua yang secara ex-officio dijabat oleh Pejabat Eselon I yang bertanggungjawab di bidang kajian dampak lingkungan hidup.
b. sekretaris yang secara ex-officio dijabat oleh pejabat setingkat eselon II yang bertanggungjawab di bidang Audit Lingkungan Hidup.
c. anggota yang terdiri atas unsur:
1. instansi lingkungan hidup Pusat;
2. instansi yang membidangi Usaha dan/atau Kegiatan;
3. ahli di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup khususnya yang berkaitan dengan pelaksanaan hasil Audit Lingkungan Hidup;
4. ahli di bidang Usaha dan/atau Kegiatan yang berkaitan dengan pelaksanaan hasil Audit Lingkungan Hidup;
5. Instansi Lingkungan Hidup Provinsi; dan/atau
6. Instansi Lingkungan Hidup Kabupaten/Kota.
Bagian Keempat
Audit Lingkungan yang Diwajibkan Untuk Usaha dan/atau Kegiatan Tertentu yang Berisiko Tinggi Terhadap Lingkungan Hidup
Pasal 24
(1) Audit Lingkungan Hidup untuk Usaha dan/atau Kegiatan tertentu yang berisiko tinggi terhadap lingkungan hidup dilakukan secara berkala sesuai periode Audit Lingkungan
Hidup yang telah ditentukan sebagaimana tercantum dalam Lampiran I Peraturan Menteri ini.
(2) Dalam melaksanakan Audit Lingkungan Hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penanggung jawab Usaha dan/atau Kegiatan menunjuk tim Audit Lingkungan Hidup paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sebelum berakhirnya periode Audi t Lingkungan Hidup
yang telah ditentukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Tim Audit Lingkungan Hidup melalui penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan menyampaikan rencana Audit Lingkungan Hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21
ayat (2) kepada tim evaluasi paling lama 10 (sepuluh) hari kerja sejak tim Audit Lingkungan Hidup ditunjuk.
Pasal 25
(1) Tim evaluasi melakukan penilaian terhadap rencana Audit Lingkungan Hidup.
(2) Penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan kriteria yang ditetapkan oleh tim evaluasi.
(3) Dalam hal terjadi perbaikan terhadap rencana Audit Lingkungan Hidup, tim Audit Lingkungan Hidup menyampaikan perbaikan atas rencana Audit Lingkungan Hidup kepada tim evaluasi.
(4) Penilaian rencana Audit Lingkungan Hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling lama 10 (sepuluh) hari kerja sejak rencana Audit Lingkungan Hidup diterima.
(5) Terhadap rencana audit lingkungan yang telah memenuhi kriteria penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ketua tim evaluasi menerbitkan persetujuan rencana Audit Lingkungan Hidup.
Pasal 26
(1) Tim Audit Lingkungan Hidup melaksanakan Audit Lingkungan Hidup yang diwajibkan secara berkala berdasarkan rencana Audit Lingkungan Hidup yang telah disetujui sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (5).
(2) Audit Lingkungan Hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak diterbitkannya surat persetujuan rencana Audit Lingkungan Hidup bagi Usaha dan/atau Kegiatan bersangkutan.
(3) Berdasarkan pelaksanaan Audit Lingkungan Hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tim Audit Lingkungan Hidup menyusun laporan hasil Audit Lingkungan Hidup.
Pasal 27
(1) Tim Audit Lingkungan Hidup melalui penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan menyerahkan laporan hasil Audit Lingkungan Hidup sebagaimana dimaksud dalam
pasal 26 ayat (3) secara tertulis kepada Menteri.
(2) Tim Audit Lingkungan Hidup bertanggungjawab terhadap laporan hasil Audit Lingkungan Hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Menteri mengumumkan laporan hasil Audit Lingkungan Hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (2) melalui
multimedia.
(4) Pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat informasi mengenai:
a. nama Usaha dan/atau Kegiatan;
b. jenis Usaha dan/atau Kegiatan;
c. lokasi Usaha dan/atau Kegiatan;
d. penanggung jawab Usaha dan/atau Kegiatan;
e. tim Audit Lingkungan Hidup beserta nomor Sertifikat Kompetensinya bagi Auditor Lingkungan Hidup dan/atau lembaga penyedia jasa Audit Lingkungan Hidup beserta nomor registrasinya;
f. ruang lingkup Audit Lingkungan Hidup;
g. risiko dan/atau dampak lingkungan dari Usaha dan/atau Kegiatan;
h. rekomendasi Audit Lingkungan Hidup; dan
i. alamat dan/atau lokasi dokumen laporan hasil Audit Lingkungan Hidup yang dapat diakses masyarakat.
(5) Pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan sesuai format sebagaimana tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan
dari Peraturan Menteri ini.
Pasal 28
Tata laksana Audit Lingkungan Hidup untuk Usaha dan/atau Kegiatan tertentu yang berisiko tinggi terhadap lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 sampai dengan Pasal 27 tercantum dalam bagan alir Lampiran III yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
Bagian Kelima
Audit Lingkungan Hidup yang diwajibkan untuk Usaha dan/atau Kegiatan
yang Menunjukan Ketidaktaatan
Pasal 29
(1) Menteri memerintahkan kepada penanggung jawab Usaha dan/atau Kegiatan untuk melakukan Audit Lingkungan Hidup yang diwajibkan karena menunjukkan
ketidaktaatan berdasarkan:
a. hasil pengawasan oleh Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup;
b. usulan dari menteri atau kepala lembaga pemerintah nonkementerian yang membidangi Usaha dan/atau Kegiatan; dan/atau
c. usulan dari gubernur atau bupati/walikota.
(2) Usulan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan huruf c didasarkan atas hasil pengawasan oleh:
a. kementerian dan/atau lembaga pemerintah nonkementerian yang membidangi Usaha dan/atau Kegiatan;
b. instansi lingkungan hidup provinsi, untuk usulan dari gubernur; dan/atau
c. instansi lingkungan hidup kabupaten/kota, untuk usulan dari bupati/walikota.
(3) Usulan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan kepada Menteri dengan menggunakan format surat usulan sebagaimana dimaksud dalam Lampiran IV yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
Pasal 30
(1) Berdasarkan usulan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1) huruf b atau huruf c, tim evaluasi melakukan evaluasi paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja, terhitung
sejak usulan diterima.
(2) Tim evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyampaikan hasil evaluasi dalam bentuk rekomendasi tertulis kepada Menteri paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja, setelah selesai melaksanakan evaluasi.
(3) Rekomendasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat berupa:
a. kelayakan untuk dikeluarkannya perintah Audit Lingkungan Hidup yang diwajibkan, dilengkapi dengan rancangan lingkup Audit Lingkungan Hidupnya; atau
b. ketidaklayakan untuk dikeluarkan perintah Audit Lingkungan Hidup yang diwajibkan, dilengkapi dengan alasan ketidaklayakan tersebut.
Pasal 31
(1) Berdasarkan rekomendasi tim evaluasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (3), Menteri dapat menyetujui atau menolak usulan perintah Audit Lingkungan Hidup yang diwajibkan.
(2) Apabila Menteri menyetujui usulan perintah Audit Lingkungan Hidup yang diwajibkan, Menteri mengeluarkan surat perintah pelaksanaan Audit Lingkungan Hidup kepada penanggung jawab Usaha dan/atau Kegiatan yang bersangkutan.
(3) Apabila Menteri menolak usulan perintah Audit Lingkungan Hidup yang diwajibkan, Menteri memberikan alasan penolakan tersebut dan memberitahukannya kepada:
a. menteri yang membidangi Usaha dan/atau Kegiatan atau kepala lembaga pemerintah nonkementerian yang membidangi Usaha dan/atau Kegiatan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1) huruf b; atau b. gubernur atau bupati/walikota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1) huruf c.
Pasal 32
(1) Penanggung jawab Usaha dan/atau Kegiatan setelah menerima surat perintah pelaksanaan Audit Lingkungan Hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (2),
harus menunjuk Auditor Lingkungan Hidup dengan persetujuan Menteri, paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak dikeluarkannya surat perintah pelaksanaan Audit Lingkungan Hidup.
(2) Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terlampaui, Menteri dapat menunjuk Auditor Lingkungan Hidup untuk melaksanakan Audit Lingkungan Hidup yang diwajibkan.
(3) Tim Audit Lingkungan Hidup menyampaikan rencana Audit Lingkungan Hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2) kepada tim evaluasi paling lama 10
(sepuluh) hari kerja sejak tim Audit Lingkungan Hidup ditunjuk.
Pasal 33
(1) Tim evaluasi melakukan penilaian terhadap rencana Audit Lingkungan Hidup.
(2) Penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan kriteria yang ditetapkan oleh tim evaluasi.
(3) Dalam melakukan penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tim evaluasi dapat menetapkan kebutuhan dilakukan penyaksian oleh tim evaluasi dalam pelaksanaan Audit Lingkungan Hidup.
(4) Dalam hal terjadi perbaikan terhadap rencana audit lingkungan, tim Audit Lingkungan Hidup menyampaikan perbaikan atas rencana Audit Lingkungan Hidup kepada tim evaluasi.
(5) Penilaian rencana Audit Lingkungan Hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling lama 10 (sepuluh) hari kerja sejak rencana Audit Lingkungan Hidup diterima.
(6) Terhadap rencana audit lingkungan yang telah memenuhi kriteria penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ketua tim evaluasi menerbitkan persetujuan rencana Audit Lingkungan Hidup.
Pasal 34
(1) Tim Audit Lingkungan Hidup melakukan Audit Lingkungan Hidup berdasarkan rencana Audit Lingkungan Hidup yang telah disetujui sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (6).
(2) Audit Lingkungan Hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak diterbitkannya surat persetujuan rencana Audit
Lingkungan Hidup bagi Usaha dan/atau Kegiatan bersangkutan.
(3) Dalam hal terdapat penyaksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (3), penyaksi tidak terlibat dalam pekerjaan Audit Lingkungan Hidup yang dilakukan oleh tim Audit Lingkungan Hidup.
(4) Berdasarkan pelaksanaan Audit Lingkungan Hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tim Audit Lingkungan Hidup menyusun laporan hasil Audit Lingkungan Hidup.
Pasal 35
(1) Tim Audit Lingkungan Hidup menyerahkan laporan hasil Audit Lingkungan Hidup sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 33 ayat (4) secara tertulis kepada tim evaluasi.
(2) Tim evaluasi melakukan penilaian terhadap laporan hasil Audit Lingkungan Hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Penilaian atas laporan hasil Audit Lingkungan Hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan paling lama 10 (sepuluh) hari kerja sejak diterimanya laporan
hasil Audit Lingkungan Hidup.
(4) Penilaian laporan hasil Audit Lingkungan Hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berupa:
a. diterima; atau
b. ditolak.
(5) Ketua tim evaluasi menyampaikan penilaian laporan hasil Audit Lingkungan Hidup kepada Menteri.
Pasal 36
(1) Terhadap laporan hasil Audit Lingkungan Hidup yang diterima sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (4) huruf a, Menteri:
a. menerima dan mengesahkan laporan hasil Audit Lingkungan Hidup; dan
b. menetapkan tindak lanjut terhadap hasil Audit Lingkungan Hidup.
(2) Pengesahan dan penetapan tindak lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan dalam bentuk keputusan Menteri.
(3) Pengesahan laporan hasil Audit Lingkungan Hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a berisi pernyataan:
a. taat; atau
b. tidak taat.
(4) Tindak lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b berupa:
a. perbaikan kinerja pengelolaan dan pemanatuan lingkungan hidup Usaha dan/atau Kegiatan;
b. perubahan izin lingkungan;
c. pertimbangan dalam penerbitan perpanjangan izin perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup; dan/atau
d. penegakan hukum.
Pasal 37
(1) Terhadap laporan hasil Audit Lingkungan Hidup yang ditolak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (4) huruf b, Menteri menetapkan pelaksanaan Audit
Lingkungan Hidup kembali terhadap penanggung jawab Usaha dan/atau Kegiatan dengan tim Audit Lingkungan Hidup yang berbeda.
(2) Kriteria penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. laporan hasil Audit Lingkungan Hidup tidak disusun sesuai metodologi Audit Lingkungan Hidup dan kaidah penulisan laporan Audit Lingkungan Hidup yang benar;
b. tim Audit Lingkungan Hidup melakukan kesalahan dalam menetapkan ketaatan dan/atau ketidaktaatan terhadap suatu temuan Audit Lingkungan Hidup; dan/atau
c. ditemukan bukti bahwa tim Audit Lingkungan Hidup melaporkan hasil Audit Lingkungan Hidup yang tidak sesuai dengan fakta dan/atau tidak melakukan jaminan mutu dan kendali mutu atas laporan hasil Audit Lingkungan Hidup yang dilaporkannya.’
Pasal 38
Menteri mengumumkan pengesahan dan penetapan tindak lanjut hasil Audit Lingkungan Hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 melalui multimedia.
Pasal 39
Tata laksana Audit Lingkungan Hidup bagi Usaha dan/atau Kegiatan yang menunjukkan ketidaktaatan terhadap peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29
sampai dengan Pasal 38 tercantum dalam bagan alir Lampiran V yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
BAB IV
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
Bagian Kesatu
Pembinaan
Pasal 40
(1) Menteri melakukan pembinaan terhadap:
a. pelaksanaan Audit Lingkungan Hidup kepada instansi yang membidangi Usaha dan/atau Kegiatan, gubernur, dan/atau bupati/walikota;
b. LPK Auditor Lingkungan Hidup dan LSK Auditor Lingkungan Hidup.
(2) Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan dalam bentuk peningkatan kapasitas di bidang Audit Lingkungan Hidup dan/atau pelatihan Auditor
Lingkungan Hidup.
19
(3) Dalam melaksanakan pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, Menteri dapat bekerjasama dengan gubernur dan/atau bupati/walikota.
Pasal 41
(1) Menteri, gubernur, dan/atau bupati/walikota melakukan pembinaan kepada:
a. penanggung jawab Usaha dan/atau Kegiatan;
b. lembaga penyedia jasa Auditor Lingkungan Hidup.
(2) Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan dalam bentuk pemberian informasi di bidang Audit Lingkungan Hidup.
(3) Menteri dapat bekerjasama dengan pemerintah daerah provinsi dan/atau pemerintah daerah kabupaten/kota dalam melakukan pembinaan terhadap LPK Auditor Lingkungan Hidup.
(4) Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat
(3) meliputi antara lain:
a. penyediaan informasi yang relevan dan mutakhir kepada lembaga penyedia jasa Audit Lingkungan Hidup, LSK Auditor Lingkungan Hidup, LPK Auditor Lingkungan Hidup dan pengajar;
b. penyediaan panduan teknis yang memuat tatacara dan penjelasan teknis Audit Lingkungan Hidup; dan/atau
c. bimbingan teknis kepada auditor utama, auditor, dan pengajar.
Pasal 42
(1) Instansi yang membidangi Usaha dan/atau Kegiatan melakukan pembinaan teknis pelaksanaan pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup terhadap Usaha
dan/atau Kegiatan yang melakukan Audit Lingkungan Hidup.
(2) Pembinaan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
sesuai dengan izin Usaha dan/atau Kegiatan yang diterbitkannya.
(3) Pembinaan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam bentuk penetapan norma, standar, prosedur dan/atau kriteria pelaksanaan pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup.
Bagian Kedua
Pengawasan
Pasal 43
(1) Menteri melakukan pengawasan terhadap LPK Auditor Lingkungan Hidup dan LSK Auditor Lingkungan Hidup.
(2) Dalam melaksanakan pengawasan terhadap LPK auditor sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri dapat bekerjasama dengan gubernur dan/atau bupati/walikota.
(3) Menteri, gubernur, atau bupati/walikota melakukan pengawasan terhadap lembaga penyedia jasa Audit Lingkungan Hidup.
(4) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) dilakukan secara berkala dan/atau sewaktuwaktu terhadap lembaga penyedia jasa Audit Lingkungan Hidup, LPK Auditor Lingkungan Hidup, dan LSK Auditor Lingkungan Hidup.
Pasal 44
(1) Berdasarkan hasil pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43, Menteri berwenang membekukan Registrasi Kompetensi terhadap:
a. LPK Auditor Lingkungan Hidup, yang tidak dapat menjaga pemenuhan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11; atau
b. lembaga penyedia jasa Audit Lingkungan Hidup, yang tidak dapat menjaga pemenuhan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13.
(2) Menteri berwenang mencabut Registrasi Kompetensi lembaga penyedia jasa Audit Lingkungan Hidup dan/atau LPK Auditor Lingkungan Hidup apabila:
a. lembaga penyedia jasa Audit Lingkungan Hidup melakukan penjiplakan dan/atau pemalsuan data hasil Audit Lingkungan Hidup; atau
b. setelah dibekukan dalam waktu paling lama 6 (enam)
bulan lembaga penyedia jasa Audit Lingkungan Hidup dan/atau LPK Auditor Lingkungan Hidup tetap tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf a atau huruf b.
(3) Pada kondisi pembekuan atau pencabutan Registrasi Kompetensi, LPK Auditor Lingkungan Hidup dilarang melaksanakan pelatihan Kompetensi Auditor Lingkungan
Hidup.
(4) Pada kondisi pembekuan atau pencabutan Registrasi Kompetensi, lembaga penyedia jasa Audit Lingkungan Hidup dilarang melaksanakan Audit Lingkungan Hidup.
(5) Menteri menginformasikan kepada publik mengenai pembekuan dan pencabutan Registrasi Kompetensi lembaga penyedia jasa Audit Lingkungan Hidup dan LPK
Auditor Lingkungan Hidup.
Pasal 45
(1) LSK Auditor Lingkungan Hidup melakukan pengawasan terhadap Auditor Lingkungan Hidup yang telah memiliki Sertifikat Kompetensi.
(2) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan berdasarkan kriteria pemeliharaan Sertifikat Kompetensi dan mekanisme pengawasan yang ditetapkan oleh LSK Auditor Lingkungan Hidup setelah mendapat persetujuan Menteri.
Pasal 46
(1) Berdasarkan hasil pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45, LSK Auditor Lingkungan Hidup berwenang:
a. membekukan Sertifikat Kompetensi Auditor Lingkungan Hidup apabila pemegang sertifikat tidak memenuhi kriteria pemeliharaan Sertifikat Kompetensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (2); dan
b. mencabut Sertifikat Kompetensi Auditor Lingkungan Hidup apabila pemegang sertifikat melakukan penjiplakan dan/atau pemalsuan data dalam pelaksanaan Audit Lingkungan Hidup.
(2) Pada kondisi pembekuan atau pencabutan Sertifikat Kompetensi, Auditor Lingkungan Hidup dilarang melakukan Audit Lingkungan Hidup.
(3) Tata laksana pembekuan atau pencabutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan sesuai dengan tata laksana pembekuan dan pencabutan Sertifikat Kompetensi Auditor Lingkungan Hidup yang ditetapkan oleh LSK Auditor Lingkungan Hidup setelah mendapat persetujuan Menteri.
(4) LSK Auditor Lingkungan Hidup menginformasikan kepada publik mengenai pembekuan atau pencabutan Sertifikat Kompetensi Auditor Lingkungan Hidup dan melaporkan kepada Menteri paling lama 1 (satu) bulan terhitung sejak pembekuan atau pencabutan Sertifikat Kompetensi Auditor Lingkungan Hidup.
Pasal 47
(1) Menteri, gubernur, dan/atau bupati/walikota melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan tindak lanjut hasil Audit Lingkungan Hidup sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 38.
(2) Pelaksanaan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berkoordinasi dengan instansi yang membidangi Usaha dan/atau Kegiatan.
BAB VII
PEMBIAYAAN
Pasal 48
(1) Biaya pelaksanaan pelatihan Kompetensi dan sertifikasi Kompetensi dibebankan kepada peserta.
(2) Standar biaya sertifikasi Kompetensi ditetapkan oleh LSK Auditor Lingkungan Hidup setelah mendapat pertimbangan dari Menteri.
(3) Biaya Registrasi Kompetensi dibebankan kepada pemohon.
(4) Biaya Registrasi Kompetensi ditetapkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Pasal 49
(1) Biaya pelaksanaan Audit Lingkungan Hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20, Pasal 22, dan Pasal 26 dibebankan kepada penanggung jawab Usaha dan/atau Kegiatan.
(2) Biaya pelaksanaan evaluasi terhadap usulan Audit Lingkungan Hidup yang diwajibkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
(3) Biaya pelaksanaan penilaian rencana Audit Lingkungan Hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 dan Pasal 33 dibebankan kepada penanggung jawab Usaha dan/atau Kegiatan.
(4) Biaya penerbitan surat persetujuan rencana Audit Lingkungan Hidup, penilaian, dan penyaksian audit, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (5), Pasal 26 ayat (2), Pasal 33 ayat (6), Pasal 34 (2), Pasal 36 ayat (2), dan Pasal 42 ayat (2) dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
(5) Biaya pengumuman dan publikasi oleh Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat 3 dan Pasal 38 dibebankan kepada penanggung jawab Usaha dan/atau Kegiatan.
23
(6) Biaya pengumuman ringkasan laporan hasil evaluasi atas hasil Audit Lingkungan Hidup yang diwajibkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1) dibebankan kepada penanggung jawab Usaha dan/atau Kegiatan.
(7) Biaya pembinaan kepada penanggung jawab Usaha dan/atau Kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 dibebankan pada:
a. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah kabupaten/kota, untuk pembinaan yang dilakukan bupati/walikota;
b. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah provinsi, untuk pembinaan yang dilakukan gubernur; atau
c. APBN untuk pembinaan yang dilakukan Menteri.
(8) Biaya pembinaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 dibebankan pada anggaran instansi yang membidangi Usaha dan/atau Kegiatan.
(9) Biaya pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 dibebankan pada:
a. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah kabupaten/kota, untuk pengawasan yang dilakukan bupati/walikota;
b. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah provinsi, untuk pengawasan yang dilakukan gubernur; atau c. APBN untuk pengawasan yang dilakukan Menteri.
Pasal 50
(1) Biaya pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40, Pasal 41, Pasal 43, dan Pasal 47 yang dilaksanakan oleh Menteri dibebankan pada APBN Kementerian Lingkungan Hidup.
(2) Biaya pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41, Pasal 43, dan Pasal 47 yang dilaksanakan oleh gubernur atau bupati/walikota dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.
(3) Biaya pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 dibebankan pada LSK Auditor Lingkungan Hidup.
BAB VIII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 51
Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, terhadap Usaha dan/atau Kegiatan yang sedang dilakukan Audit Lingkungan Hidup yang diwajibkan, hasil Audit Lingkungan Hidup
dievaluasi sesuai dengan mekanisme Audit Lingkungan Hidup yang diwajibkan karena ketidaktaatan terhadap peraturan perundang-undangan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
BAB IX
PENUTUP
Pasal 52
Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku:
a. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor:
KEP-42/MENLH/XI/1994 tentang Pedoman Umum Pelaksanaan Audit Lingkungan;
b. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 30 Tahun 2001 tentang Pedoman Pelaksanaan Audit Lingkungan Hidup Yang Diwajibkan; dan
c. Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 17 Tahun 2010 tentang Audit Lingkungan Hidup, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 53
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.