Pada Majalah National Geographic edisi Juni 2009 di paparkan dakta dan fakta bahwa sejak tahun 2000, jumlah konsumsi lebih besar ketimbang hasil produksi pertanian. Bukan saja diakibatkan oleh pertumbuhan jumlah penduduk, tetapi tanaman biji dipergunakan untuk pakan ternak secara besar-besaran di China dan untuk bahan bakar dalam bentuk etanol di Amerika Serikat. Sejak tahun 2005 sampai tahun 2008, harga gandum naik 3 kali lipat, sedangkan harga beras naik 5 kali lipat. Akibatnya, keluarga miskin menghabiskan 70% pendapatannya hanya untuk bahan pangan saja. Produksi pertanian hanya naik hanya 2% pertahun. Terlalu rendah untuk mengimbangi laju pertumbuhan penduduk. Belum lagi terjadi permasalahan perubahan iklim. Consultative Group on Intenational Agriculture Research (CGIAR) menyatakan telah berusaha untuk menggandakan produksi pangan pada tahun 2030.
Theori Malthus
Thomas Robert Malthus pada tahun 1798 menerbitkan sebuah
tulisan yang berjudul Esaay on The
Principle of Population yang menyatakan bahwa populasi penduduk naik sesuai
deret ukur dengan besaran 2 kali lipat dalam 25 tahun. Sedangkan produksi pertanian naik sesuai
dengan deret hitung. Sehingga,
pertumbuhan populasi lebih besar ketimbang pertumbuhan pertanian. Sehingga, perlu dilakukan pengendalian
terhadap populasi.
Pengendalian populasi dapat dilakukan dengan beberapa cara
menurut Malthus (1798).
1.
Secara Sukarela
Dilakukan dengan cara pengaturan kelahiran,
berpantang senggama, dan menunda pernikahan.
2.
Secara Paksa
Akan terjadi karena bencana perang,
penyakit, dan kelaparan.
Bantuan bahan pangan hanya diberikan untuk
yang termiskin saja dan tidak pada semua orang supaya tidak banyak anak lahir
dalam kesengsaraan.
Pada tahun 1980—2000 terjadi deforestasi besar-besaran untuk
lahan pertanian karena naikna permintaan baik untuk bahan pangan, pakan ternak,
dan biofuel. Di Brazil pada tahun
1990—2005 telah menghancurkan kurang lebih 10% Hutan Amazon untuk lahan
pertanian. Di China, dibutuhkan kurang
lebih 200 juta ekor babi untuk konsumsi daging, sedangkan babi diberi pakan
kedelai, sehingga kebutuhan kedelai naik.
Konsumsi biji-bijian di dunia pada tahun 1960an sebesar 815 juta metrik
ton, sedangkan pada tahun 2008 naik menjadi 2,16 miliar metrik ton
pertahun. Bukan hanya untuk bahan pangan
tetapi seperti di Amerika Serikat dipergunakan untuk pakan sapi dan produksi
biofuel, sedangkan di China untuk pakan babi.
Revolusi Hijau
Pada tahun 1970 produksi pangan di India naik menjadi 3 kali
lipat. Tokoh yang berhasil melakukan
“keajaiban” tersebut adalah Norman Borlang dari Amerika Serikat. Brolang memperkenalkan metoda pertanian
produksi tinggi, khususnya untuk daerah-daerah miskin. Pertanian dengan mempergunakan varietas
gandum pendek dengan batang besar sehingga menghasilkan bulir-bulir gandum yang
besar. Tetapi, konsekuensinya asupan
pupuk dan air yang dibutuhkan juga tinggi pula.
Serta tentu saja pemakaian pestisida besar-besaran untukmencegah hama
dan gulma. Syarat lain yang harus
dipenuhi adalah lahan luas dan monokultur.
Untuk ide dan hasil yang diperoleh, Borlang mendapat Hadiah Nobel pada
tahun 1970. Revolusi Hijau dianggap
solusi. Termasuk dibawa masuk ke
Indonesia oleh Soeharto, Presiden yang berkuasa kala itu.
Pada tahun 1990, Revolusi Hijau mulai menuai dampak
buruknya. Beberapa dampak yang muncul
adalah sebagai berikut.
1.
Irigasi berlebihan mengakibatkan jumlah air
turun.
2.
Pestisida dan pupuk buatan merusak tanah.
3.
Gejala keracunan dan kanker menyebar. Pestisida mencemari tanah dan air, bahkantelah
masuk ke darah manusia dan Air Susu Ibu (ASI) sesuai hasil penelitian di Punjab
– India.
4.
Biaya pertanian semakin tinggi karena konsumsi
pupuk dan pestisida yang tinggi tersebut.
Tetapi, bila berhenti akan mengakibatkan kelaparan. Sebuah dilema yang tidak mudah diatasi,
sampai kemudian muncullah ide untuk melakukan Revolusi Hijau Kedua.
Revolusi Hijau Kedua
Revolusi produksi peningkatan produki pertanian untuk pangan
yang kedua ini diinisiasi oleh Robert Fradey dari Monsanto Corporation. Fradey melakukan revolusi hijau tidak dengan
ekstensifikasi tetapi dengan melakukan pemulian tanaman, melakukan rekayasa
genetik (GMO) untuk varietas-varietas unggul.
Varietas yang membutuhkan sedikit pupuk, bisa tumbuh di lahan kering,
dan tahan hama. Maka, era pupuk dan
pestisida berakhir digantikan dengan era GMO.
Sebagai catatan, revolusi hijau besar-besaran terjadi di
Amerika (utara dan selatan), Australia, dan Asia tidak pernah masuk ke Afrika
sampai tahun 2000an. Pada tahun 2005,
Malawi baru memulai revolusi hijau dengan hasil dari defisit 44% menjadi
surplus 18%. Pada Oktober 2007, World
Bank yang anti terhadap investasi publik di bidang pertanian dan selalu
menyarankan pasar bebas untuk bahan pangan baru mengucurkan dana untuk subsidi
pertanian di Afrika.
Pada tahun 2008, penelitian terhadap penilaian internasional
atas pengetahuan, sains, dan teknologi pertanian untuk pengembangan
menyimpulkan bahwa perkembangan iptek selama 30 tahun terakhir gagal
memperbaiki akses pangan di banyak negara miskin. Penelitian yang diprakarsai oleh FAO sejak
tahun 2003 dan melibatkan 400 pakar pertanian menganjurkan perubahan paradigma
pertanian ke arah yang lebih baik, berkelanjutan, dan ramah lingkungan serta
berpihak pada petani dan bukan pada pelaku agribisnis.
Kritik Terhadap
Revolusi Hijau
Akibat buruk dari Revolusi Hijau baik yang pertama maupun
yang kedua menuai perlawanan dari beberapa pakar pangan. Michael Pollan, seorang profesof dari
University of Michigan melakukan kritik karena akibat buruk Revolusi Hijau yang
pertama. Warisan berupa tanah gersang
dan kekeringan harus sesegara mungkin diatasi, karena akan mengakibatkan
permasalahan lingkungan dan juga kelaparan dalam jangka panjang. Produksi pupuk dan pestisida buatan
mengakibatkan ketergantungan pada bahan bakar fosil, jelas-jelas memunculkan
dampak perusakan hutan untuk tambang dan juga polusi udara hebat di seputar
kawasan pabrik. Sebagai contoh adalah
Kabupaten Gresik untuk kasus di Indonesia.
Strategi monokultur perlu dirubah karena rakus terhadap pupuk,
pestisida, dan air.
Vandana Shiva, seorang pakar agroekologi dari India
menyatakan bahwa strategi monokultur pertanian adalah strategi monokultur
pikiran juga. Seakan-akan bahan pangan
hanya gandum dan jagung saja, padahal di India ada 250 bahan pangan. Seperti juga di Indonesia saat bahan pangan
pokok dipaksakan hanya beras, bahan pangan lokal yang berbasis pada kearifal
lokal dan kekayaan alam lokal menjadi terpinggirkan san satu persatu hilang. Bukan saja pada bahan pangan di luar besar,
tetapi varietas lokal padipun hilang tergusur oleh padi varietas unggul hasil
GMO. Padahal, Petanian skala kecil dan
heterogen dapat memberikan hasil yang lebih banyak dan beragam serta tidak
memerlukan pupuk dan pestisida buatan yang banyak sehingga menghemat juga
penggunaan bahan bakar fosil. Penggunaan
kompos dan pupuk kandang malah akan menaikkan jumlah zat organik di tanah,
menyimpan karbon dalam jumlah tinggi, dan menjaga kelembaban tanah.
Hasil penelitian dari Soils, Food, and Healthy Community
pada tahun 2000 menemukan bahwa pertanian monokultur mengakibatkan malnutrisi
bagi anak-anak petani kecil. Boyd Zimba
dan Zacharia Nkhonya, Koordinator dari Proyek Penyelia Keamanan Pangan
menyetakan bahwa subsidi pupuk tidak menyentuh seluruh petani dan tidak akan
bertahan lama. Selain itu, tanaman
kacang-kacangan jangka panjang menghasilkan nutrisi yang jauh lebih baik.
Revolusi hijau baru masuk ke Afrika pada tahun 2000an dan
didukung oleh lembaga-lembaga internasional.
Menjadi ancaman baru di Afrika seperti sebelumnya telah terjadi di
Amerika Selatan dan Asia pada era 1970an sampai 1990an. Strategi ekstensifikasi yang di Eropa dan
Amerika Utara sudah dihentikan sejak tahun 1960an. Karena terbukti gagal untuk mengatasi krisis
pangan dalam jangka panjang dan malah memuculkan krisi baru. Krisis ekologi yang membutuhkan rehabilitasi
lebih lama dan lebih mahal.
Krisis Pangan, Krisis
Ekologi, dan Perubahan Iklim
Permasalahan riil yang harus dihadapi dan harus segera
disikapi oleh para pemangku kepentingan untuk mengatasi krisis pangan global
yang jelas-jelas nampak terlihat. Pada tahun 2050 diperkirakan jumlah penduduk
Bumi sebanyak 9 Milyar, tentu saja semuanya butuh makan. Krisis pangan yang dibarengi dengan krisis
ekologi akan menjadi ancaman nyata.
Belum lagi dampak perubahan iklim yang semakin terasa. Sejak tahun 2003,
bencana gelombang panas, perubahan musim hujan, naiknya iar laut, dan berbagai
bencana alam akibat perubahan iklim semakin sering terjadi.
Ancaman nyata dari perubahan iklim seperti mencairnya
gletser di Himalaya karena pemanfataan besar-besaran oleh China dan India,
banyak ahli memperkirakan akan nyata pada tahun 2035. Sedangkan di Afrika akan terjadi penurunan
besar-besaran produksi pangan pada tahun 2030, diperkirakan sebesar 30% karena
daya dukung lingkungan yang menurun, sedangkan petumbuhan populasinya sebesar
2,5 jiwa perdetik.
Teori Malthus akan berlaku kembali. Menghujat Malthus berarti belum membaca
dengan benar tulisannya. Paradigma
Malthus yang menempatkan jumlah penduduk atau populasi manusia harus seimbang
dengan daya dukung sumber daya alam untuk memproduksi bahan pangan harus
dikedepankan. Bila pertumbuhan populasi
jauh di atas daya dukung alam untuk memproduksi bahan pangan, niscaya akan
terjadi krisis pangan. Bila krisis
pangan terjadi maka ancaman terjadinya perang karena perebutan lahan dan bahan
pangan niscaya terjadi. Bila krisis
pangan terjadi dan perang berkecamuk maka wabah penyakit akan datang melanda. Sebuah pemikiran yang rasional yang menjadi
awal berpikir. Baru kemudian Malthus
mengemukakan idenya untuk mengendalikan pertumbuhan penduduk, supa ya kiris
yang ditakutkannya tidakl terjadi.
Refleksi
Pemikirian Malthus untuk mengendalikan pertumbuhan penduduk
dengan berpantang senggama, menunda usia pernikahan, dan mengatur kelahiran
adalah reaksi dari ketakutannya akan munculnya krisis pangan secara global
karena ledakan populasi yang tidak sejalan dengan kenaikan produksi pertanian
sebagai bahan pangan. Munculnya revolusi
industri yang telah mentransformasi industri, pertanian, ekonomi menjadikan
sumber daya alam dan bahan pangan bukan sebagai kebutuhan untuk hidup tetapi
bergeser menjadi alat kapitallisasi untuk menumpuk kekayaan.
Revolusi Hijau yang digadang-gadang dapat mengatasi krisis
pangan hanya berlaku untuk jangka pendek, selain itu ternyata mengakibatkan
krisis baru yaitu krisis ekologis dalam jangka panjang. Kembali, revolusi hijaupun menjadi alat
kapitalisasi pasar dengan menciptakan ketergantungan pada pupuk, pestisida, dan
tentu saja bibit. Sistem monokultur
bukan hanya menghilangkan bahan pangan lain dan hilangnya varietas lokal tetapi
ternyata menjadi monokultur pikiran.
Ancaman lain yang sama membahayakannya dengan krisis pangan dan krisis
ekologis.
Dalam Bahasa China, penduduk terdiri dari penggabungan dua kata, kata orang dan mulut. Sehingga, dalam filosofi Tiongkok, penduduk merupakan keseimbangan antara jumlah penduduk dan ketersedian jumlah bahan pangan. Jumlah populasi terus bertambah, ketersediaan pangan juga harus terus bertumbuh, bila tidak, krisis akan terjadi. Masalahnya, jumlah penduduk Bumi terus bertambah, Bumi semakin terbagi untuk industri, pemukiman, dan lahan tanam pangan, tetapi luas Bumi tidaklah bertambah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar