20.05.2016, LPM
DIANNS @Kampus FIA UB
Dipaparkan oleh Rere, Direktur Eksekutif WALHI Jawa Timur, Pasca
Revolusi Industri, terjadi perbuahan metabolisma manusia. Dari metabolisma memenuhi kebutuhan menjadi
metabolisma memenuhi keinginan. Tekno metabolisma, menjadikan manusia
berproduksi sebanyak mungkin dengan konsekuensi eksploitasi alam dan merubahnya
menjadi Sumber Daya Alam (material yang dikomersialisasikan). Akibatnya, menghancurkan ekologi, merobohkan
infra struktur kehidupan dan peradaban.
Sebagai contoh kecil, bagaimana dengan emisi di lingkungan Kampus UB? Bagaimana dengan RTH Kota Malang yang hanya
2,8% padahal Undang-Undang mengharuskan 30% dari luas wilayah? Bagaimana dengan
persoaalan mata air seperti di Gemulo, Batu?
Masalah relasi dan paradigma terhadap alam.
Contoh kasus Sumber Air Gemulo dipaparkan oleh Aris Kenthung
Koordinator Nawakalam Kota Batu. Sumber
Air Gemulo menghidupi kurang lebih 9.000 jiwa untuk kebutuhan sehari-hari dan
untuk pertanian. Akan didirikan Hotel
(Hotel Rayja) dengan kapasitas 112 kamar, dengan kebutuhan air kurang lebih 100
meter kubik perdektik. Ijin belum
lengkap (by pass) tetapi bisa memulai
pembangunan karena mndapat dukungan dan ijin dari Pemkot batu. Akhirnya mendapat perlawanan warga, walau
warga harus menghdapai intimidasi dari ratusan preman berseragam, dan bahkan
kriminalisasi. Guagatan warga dilawan
dengan gugatan perdata oleh perusahaan dengan tuntutan sebesar 30 milyar. Setelah 8 bulan beracara di Pengadilan Negeri
setiap Senin setiap minggunya. Gugatan
dimenangkan warga, di lakukan banding ke Pengadilan Tinggi oleh pemodal dan
tetap dimenangkan oleh masyarakat.
Kriminalisasi dengan tuduhan pencurian (3 batu dan 30cm bambu), proses
pemeriksaan selama 3 tahun dan belum selesai hingga saat ini.
Kekompakan warga menjadi kunci. Saat BAP pencurian, 750 warga datang ke
Polsek Bumiaji dan mnita di BAP semua dengan mengaku melakukan pencurian
bersama. Putusan terakhir dari Mahkamah Agung, tidak terbukti melakukan
pencurian dan tindakan kriminal lain tetapi Rayja tetap boleh melanjutkan
investasi dengan catatan harus memulai proses perijinan dari awal dan lengkap.
Gemulo adalah satu-satunya sumber mata iar untuk kehidupan
rakyat. Sampai saat ini telah 6 tahun berjuang. Kebutuhan air di Kota Batu semakin meningkat.
Bahkan, PDAM Kota Batu telah mengurangi jatah air untuk Kota malang sebesar 30%
(kurang lebih 100 liter perdetik). Kebutuhan
air di Kota Batu meningkat karena eksploitasi kawasan wisata artifisial. Saat ini, Kota Batu memiliki 56 Mata air yang
dimanfaatkan oleh PDAM, 2 Mata air untuk Kota batu dan 54 mata air untukKota
Malang. Sebagai catatan, Jatim Park
Group membutuhkan air sebanyak 50 liter perdetik dari Sumber Dami. Pemkot Batu memfasilitasi korporasi (Jatim
Park Group) dengan mengorbankan rakyat Batu dan Malang.
Lestari dari IMPALA UB menyampikan bahwa IMPALA UB telah
melakukan pemetaan pohon di UB. Emisi
karbondioksida dai UB sebesar 42 juta sedangkan oksigen sebesar 4 juta,
sehingga UB kekurangan 38 Juta oksigen.
Hal ini dikarenakan UB kekurangan pohon untuk memproduksi oksigen. Solusi lain selain menanam pohon adalah
dengan mengurangi jumlah kendaraan bermotor di UB dan membangun parkiran
terpusat.
Ditegaskan kembali oleh Rere (WALHI JATIM), Di Malang Raya
ada banyak perlawanan terhadap Pemkot dan Pemkab terkait dengan RTH. Perlawanan yang berujung pada
kriminalisasi. Padahal peraturan daerah
di Malang Raya terkait lingkungan dan RTH bertentangan dengan Undang-undang
yang di atasnya. Advokasi lingkungan
mengharuskan penguasaan peraturan dan perundangan yang memadai.
Sistuasi Ekologis di Jawa Timur (data WALHI Jawa Timur):
Krisis Hutan, Air, Tanah, dan Energi.
1.
Hutan: tersisa 1.357.206,3 hektar (881.889,5 hektar hutan produksi; 700.000 hektar
rusak; 312.636,5 hutan lindung) dengan tingkat deforestasi 30% pertahun.
2.
Air dan sungai: DAS Brantas hutan menciut karena
berubah menjadi hunian dan perladangan.
Di Kabupaten Malang ada 873 mata air, 111 mata air di Kota Batu tetap
hanya 58 yang masih hidup. Kota Malang
tidak memiliki mata air dan menjelang krisis air. Limbah di Sungai Surabaya sebanyak 33,5 ton
yang berasal dari 86% limbah industri dan 8% limbah domestik. Bengawan Solo di
eksplotasi oleh Exxon dengan menyedot 800 liter perdetik dan hanya mengalirkan
70 liter perdetik ke Kabupaten Bojonegoro yang dilalui pipa airnya.
3.
Energi: Geotermal memang lebih hijau ketimbang
PLTA dan PLTU tetapi tetap rakus air dan memaksa pembukaan tutupan hutan untuk
tapak instalasinya. Di Jawa Timur, Gunung
Arjino, Lemongan, dan Raung telah di survei dan terancam untuk
dieksploitasi. Dengan teknologi yang ada
saat ini peningkatan kebutuhan energi berbanding terbalk dengan kebutuhan air. Setiap pusat energi masih membutuhkan air
dalam jumlah yang sangat besar. Semakin
besar instalasi energi dibangun, semakin besar air yang dibutuhkan untuk
menciptakan energi tersebut.
4.
Pangan: kerentanan yang harus dihadapi (1)
petani tak bertanah; (2) pupuk dan pestisida; (3) benih rekayasa genetik (GMO)
dan paten; (4) harga fluktuatif; dan (5) impor sebagai jalan keluar. Jeratan korporasi yang menciptakan
ketergantungan (benih, pupuk, dan pestisida) juga mengatur harga produk
pertanian. Hilangnya benih lokal dan
tergantikan dengan benih hasil rekayasa genetik.
5.
Migas dan tambang: Blok Migas di seluruh Jawa
Timur telah terkapling dan mayoritas dikuasai oleh asing. Demikian pula dengan yang ada di lepas pantai
utara Pulau Madura. Bahkan, pipa migas
dari lepas pantai utara Pulau Madura langsung menuju ke luar negeri (China dan
Jepang). Indonesia mengekspor bahan
mentah bahkan energi dan mengimpor bahan pangan dan barang jadi, ironi. Selain itu, ada makelar yang mendapat
keuntungan dengan menjadi perantara ekspor impor tersebut.
Pengurangan Risiko Bencana Ekologis yang bisa dilakukan (1)
Menurunkan laju daya rusak ekologis. (2) Menjaga kearifan lokal. (3) Mendorong
prakarsa rakyat. (4) Menguatkan hak veto rakyat.
Diskusi:
1.
Tata kelola negara disusun untuk kepentingan
pemodal. Produk hukum yang pro modal
mengakibatkan ketimpangan pembangunan.
Bahkan tata kelola lembaga pendidikan tinggi seperti UB sudah profit oriented. Sebagai contoh, mendapatkan konsesi Hutan
Pendidikan seluas 514 hektar di Karang Ploso oleh Kementerian KLH, 50 hektar
dikelolakan pada Nestle dengan pemasukan kurang lebih 1milyar pertahun. Bahkan mencanangkan diri sebagai greeen campus tetapi pembangunan gedung
terus menerus dan menghilangkan RTH.
2.
Hukum pengelolaan sumber daya alam sering kali
menimbulkan konflik sumber daya alam.
Sebagai contoh, MIFE di Merauke untuk pembukaan sawah dan kebun sawit.
Sarjana Hukum Agraria malah menjadi agen perusakan lingkkungan. Hukum adat selalu dikalahkan dengan hukum
positif. Hukum pertambanan nasional
mengikuti perda yang merupakan produk politik yang berorientasi profit jangka
pendek.
3.
Diseminasi dan belajar bersama rakyat untuk
meningkatkan prakarsa rakyat dan memperkuat hak veto rakyat menjadi kerja-kerja
kongkrit saat ini.
29.05.2016, Taman
Dwakarsa Porong: 10 tahun Tragedi Lapindo
Paradigma penanganan korban Lapindo yang ada selama ini
hanya mengurusi masalah fisik dan kerugian ekonomi saja. Sedangkan masalah sosial dan budaya
terabaikan.
Disampaikan oleh Nino seorang akademisi dari Universitas
Brawijaya, Korban lumpur Lapindo masih anonim baik nama maupun jumlah. Korban hanya sebatas data luasan tanah dan
bangunan. Tidak ada rilis resmi dari
Pemerintah tentang jumlah korban manusia.
Pemenuhan Hak-Hak Dasar warga negara nyaris tidak ada. Demikian pula
dengan Hak Politik. Korban secara
politis anonim karena berpindah domisili dan tak terurus administrasi
kependudukannya sehingga Hak Suara hilang.
Sebagai contoh, warga Desa Gedang yang termasuk dalam 45 RT terdampak,
telah mendapatkan ganti rugi tetapi belum meninggalkan rumahnya. Pengukuran kehilangan hanya sekedar luasan
tanah dan rumah. Kehilangan sosial dan
budaya tidak dihitung dan diabaikan.
Dipaparkan oleh Catur Dewan Nasional WALHI tentang kualitas
lingkungan dan status kesehatan di Porong sebagai dampak dari lumpur
Lapindo. Hasil penelitian pada tahun
2013 terdapat kandungan Cabmium (id) 0,3 mg/lt (ambang batas aman 0,05 mg/lt)
dan timbal (pb) 7,5 mg/lt (ambang batas aman 0,05 mg/lt). Kandungan tersebut bukan hanya di tanah dan
air tetap juga ditemukan di dalam tubuh ikan Sungai Porong. Hasil penelitian pada tahun 2014 menemukan
kandungan Besi (Fe) v29,4 mg/lt (batas aman 0,05 mg/lt), Cadmium (id) yang
tinggi, Kobaldt setinggi 17 mg/lt (batas aman 0,05 mg/lt). Catatan dari Puskesmas Porong, penderita ISPA
pada tahun 2005 adalah 23.000 jiwa dan pada tahun 2009 meningkat menjadi 52.000
jiwa. Medical check up pada tahun 2010 dilakukan pada 20 orang dan
diketemukan 70% mengalami gangguan darah, urine, dan ginjal. Pada medical
check up tahun 2016 dari 20 orang yang diperiksa, 50% mengalami gangguan
darah dan urine, 20% menggalami gagguan torax, dan laju endapan darah menurun
karena darah mengental. Juga mengalami
kenaikan jumlah sel darah putih yang mengakibatkan risiko infeksi dan batu
ginjal. Juga urine mengandung darah
merah.
Kualitas lingkungan buruk karena terkontaminasi logam
berat. Timbal (pb) mengakibatkan
kelainan jantung, Kabmium (cb) mengakibatkan kelainan pada paru-paru dan
ginjal. Agenda pemulihan korban kesehatan belum ada dari pemerintah. Masih perlu usaha advokasi dan mitigasi.
Diskusi:
Sigit, Ketua RT 11 Kelurahan Gedang menyampaikan bahwa warga
Rtnya sudah mendapatkan pelunasan ganti rugi.
Pada akhir Juli 2016 diminta untuk meninggalkan rumah oleh BPLS. Sedangkan rumah tempat tinggal masih layak
ditempati dan jauh dari semburan walau masuk peta terdampak, sesuai hasil
survey dari ITS. BPLS hanya menangani
jual beli aset, sedangkan relokasi tidak dikoordinasi, sehingga saat mencari
lahan baru banyak yang tertipu dan bermasalah.
Selain itu, stigma sebagai korban lumpur lapindo melekat. Aktivitas sosial dan budaya menjadi hancur
karena tercerai beria. Sebagai catatan,
pada bulan Mei 2016 ada 19 orang meninggal mendadak di Keluarahan Gedang. Selain itu, penyakit ISPA pada anak
meningkat. Juga ganti rugi fasum dan
fasos masih belum selesai.
mBak Har dari Siring menyampaikan bahwa hak dasar sebagai
warga negara sudah hilang sejak tahun 2009.
Tanah fasum dan fasos sudah dibahas di Kecamatan oleh forum Lurah,
tetapi banyak yang hilang. Penderita
kanker dan ISPA meningkat. Bahkan ada
rencana penghapusan nama desa dari peta.
Abdul Jalal dari Penatar Sewu dan anggota Koalisi Lumpur
Menggugat (KLM) menyatakan bahwa, desanya belum masuk peta dan tidak
mendapatkan ganti rugi. Tetapi,
pertainan di desanya rusak karena air irigasi bercampur dengan air lumpur. Demikian pula dengan kesehatan, masyarakat di
sebelah timur tanggul mulai mengalami gangguan kesehatan. Karena telah beradaptasi dengan bau asap
lapindo yang berbahaya menjadikan kesehatan turun. Sedangkan bila pindah, bukan hanya tidak ada
ganti rugi juga akan mengakibatkan tercerabut dari akaar budaya dan tanah
kelahirannya. Ancaman gegar sosial dan
budaya.
Maksum dari Glagah Arum (KLM) menyampaikan bahwa Kartu Sakti
yang telah dibagikan sebagai jaminan kesehatan tidak tepat sasaran. Pelayanan kesehatan untuk pemegang Kartu
Sakti di Puskesmas tidak optimal. Kali
Alo bahkan sudah tercemar dengan air lumpu Lapindo, sehingga di sisi timur
tanggul sudah terdampak.
Rochim dari Desa Besuki menyampaikan bahwa penanganan
masalah ekonomi, sosial, dan budaya tidak sepenuhnya diperhatikan dan tidak
optimal dilaksanakan. Hanya jual beli
aset saja yang diurus oleh BPLS. Stigma sebagai
korban Lapindo dan orang kaya baru melekat. Pemerintah daerah, baik Bupati terdahulu maupun
Bupati yang sekarang lebih berpihak pada Lapindo ketimbang pada rakyat. Perlu rencana advokasi dan gerakan yang matang
untuk memastikan jaminan kesehatan dan layanan publik bagi korban Lapindo.
Rencana Tindak Lanjut Advoksi:
1.
Kerja-kerja advokasi rakyat untuk pemetaan masalah
ekonomi, sosial, budaya, dan kesehatan.
2.
Desain advokasi: Lingkungan, Kesehatan, Ekonomi,
Sosial, dan budaya.
3.
Advokasi dampak kesehatan dari lumpur Lapindo
untuk mendorong jaminan dan perlindugan kesehatan korban Lapindo. Advokasi ditujukan ke Kementerian Sosial.
4.
Advoksai penghilangan nama Desa akan berdampak
pada Dana Desa.
5.
Pemantauan kondisi ekonomi, sosial, dan budaya korban
Lapindo di tempat yang baru.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar