PENGURANGAN RISIKO
BENCANA BERBASIS KOMUNITAS (COMMUNITY
BASED DISASTER RISK REDUCTION) - DISARIKAN
DARI PRAKTIK BAIK (LESSON LEARN) FORUM
PENGURANGAN RISIKO BENCANA
Pengelolaan Risiko
Bencana Berbasis Komunitas (Eko Teguh Paripurno)
Prolog
Letak geografis dan stutkur geloogis menjadikan Indonesia
sebagai salah satu negara yang subur.
Sangat berpotensi tetapi juga rawan bencana (gempa bumi, banjir, tanah
longsor, badai, tsunami, erupsi gunung berapi, dan kebakaran hutan dan lahan)
bahkan beberapa bencana berulang terjadi setiap tahunnya. Pada akhir-akhir ini, peristiwa bencana
terjadi silih berganti, setelah kekeringan diikuti oleh kebakaran lahan dan
setelahnya dilanjuti oleh banjir dan tanah longsor. Akibatnya, komunitas/masyarakat menganggap
bencana adalah hal lumrah yang harus terjadi.
Padahal, bencana adalah fenomena alamiah yang merupakan bagian dari
siklus hidup bumi.
Keragaman dan dinamika sosial, budaya, etnis, agama,
kepercayaan, kondisi ekonomi, dan politik juga merupakan kekayaan bangsa Indonesia. Namun, kemajemukan yang adalah potensi juga
merupakan pemicu terjadinya bencana.
Bencana berupa konflik, baik konflik horisontal maupun vertikal. Bencana yang akan menimbulkan kerusakan dan
kerugian baik jiwa, material, bahkan akan memicu pengungsian yang akan
berakibat pada terganggunya kehidupan sosial ekonomi masyarakat secara luas.
Sampai hari ini, manusia belum mampu secara tuntas
meniadakan risiko bencana. Tetapi
kemampuan untuk mengenali, memahami, dan menyikapi munculnya fenomena yang berpotensi
dan berisiko menjadikan besaran risiko yang akan terjadi berbeda satu komunitas
dengan komunitas lainnya. Semakin kenal
dan faham akan risiko dan potensi bencana,
sebuah komunitas akan semakin mampu menghadapi dan menyikapi datangnya
bencana. Pengenalan dan pemahaman yang
baik akan bencana akan memperkecil risiko bencana. Kesiapsiagaan dan sikap
tanggap akan memunculkan perilaku tangguh bencana.
Peristiwa bencana akibat gemba bumi dan tsunami Aceh dan
Sumatera Utara, gempa bumi di Yogyakarta dan Jawa Tengah, juga di Alor dan Palu
menjadi pembelajaran yang menunjukkan pada kita tentang ketidakmampuan dan
ketidaksiapan kita menghadapi peritsiwa bencana dan belum fahamnya kita akan
fenomena alam. Akibatnya, sikap dan
perilaku kita tidak tepat. Pembelajaran
yang menjadikan kita dan komunitas kita untuk belajar dan faham tentang bencana
untuk memperkecil risiko yang harus dihadapi serta meminimalkan dampak dan
korban yang harus diderita.
Bencana seringkali dianggap sebagai suatu peristiwa yag
harus terjadi dan diterima sebagai sebuah takdir. Saat terjadi bencana, hampir seluruh pihak
yang terlibat (aktor) mencurahkan seluruh perhatiannya, tenaga dan pikirannya
pada tindakan tanggap daurat (emergency
response). Selanjutnya, para
pemangki kepentingan (aktor) disibukkan dengan aktivitas rehabilitasi dan
rekonstruksi. Tindakan yang tidak salah
dan memang harus dilakukan. Tanggap
darurat dilakukan karena adanya korban yang harus ditangani dan ditolong. Rehabilitasi dan rekosntruksi dilakukan
karena adanya kerusakan infrastruktur yang menganggu kehidupan keseharian
komunitas. Siklus yang rutin harus
dilakukan saat dan setelah bencana terjadi.
Tetapi, bagaimana dengan sebelum terjadi peristiwa bencana? Apa yang
harus dilakukan oleh individu dan komunitas?
Seputar Bencana
Bencana (disaster)
merupakan fenomena yang terjadi karena pemicu (trigger), ancaman (hazard),
dan kerentanan (vulnerability)
bekerja bersama-sama secara sistematis yang menyebabkab risiko (risk) pada komunitas. Bencana adalah gangguan serius terhadap
fungsi suatu masyarakat yang menyebabkan kerugian baik kehidupan, materi,
ekonomi, dan lingkungan. Sedangkan
pemicu merupakan faktor-faktor luar yang menjadikan potensi atau ancaman
menjadi kenyataan. Ancaman adalah
kejadian-kejadian, gelaja alam, atau perbuatan manusia yang berpotensi
menimbulkan kematian, luka-luka, kerusakan harta benda, gangguan sosial
ekonomi, dan kerusakan lingkungan.
Kerentanan adalah kondisi-kondisi yang ditentukan oleh faktor-faktor dan
proses-proses fisik, sosial ekonomi, dan lingkungan hidup yang meningkatkan
kerawanan suatu masyarakat terhadap dampak dari ancaman bencana. Risiko merupakan suatu peluang timbulnya
akibat buruk, kemungkinan kerugian baik berupa kematian, luka-luka, kerusakan
dan kehilangan harta benda, gangguan kegiatan mata pencarian dan ekonomi, dan
kerusakan lingkungan yang ditimbulka oleh interaksi antara ancaman bencana dan
kerentanan masyarakat.
Bencana terjadi bila komunitas tidak memiliki kemampuan atau
kapasitas menghadapi ancaman yang mungkin datang, atau disebut kondisi rentan. Ancaman menjadi bencana bila komunitas rentan,
bila masyarakat tidak memiliki kapasitas menghadapi bahaya atau sumber
ancaman. Bencana terjadi apabila sistem
sosial yang ada di komunitas dan masyarakat, utamanya yang lebih tinggi
strukturnya, tidak memililki kapasitas mengelola ancaman bencana dan kerentanan
masyarakat. Ancaman, pemicu, dan
kerentanan hadir secara bersama-sama, baik serial mapun pararel, akan
menyebabkan bencana menjadi membesar atau yang disebut dengan bencana kompleks.
Demikian pula dengan konflik. Konflik antar komunitas maupun unit sosial
terjadi apabila secara langsung maupun tidak langsung ada upaya perebutan aset
atau akses kehidupan dan penghidupan.
Pengambil alihan aset maupun gangguan terhadap akses kehidupan dan
penghidupan dapat pula dipicu oleh permasalahan lingkungan. Aktivitas komunitas maupun unit sosial dapat
menimbulkan kerusakan lingkungan yang akan menjadi ancaman bagi komunitas atau
unit sosial lain bila aset dan akses kehidupan dan penghidupan terganggu.
Bencana dalam kehidupan keseharian akan menyebabkan:
(1)
berubahnya pola dan perilaku kehidupan
komunitas;
(2)
kerugian harta benda bahan jiwa manusia;
(3)
merusak struktur sosial komunitas;
(4)
memunculkan lonjakan kebutuhan pribadi dan
komunitas.
Oeh karena itu, bencana cenderung terjadi pada komunitas
yang rentan dan akan membuat komunitas menjadi semakin rentan. Kerentanan komunitas diawali oleh kondisi
lingkungan fisik, sosial, dan ekonomi yang tidak aman. Kondisi tidak aman terjadi oleh tekanan
dinamis internal maupun eksternal.
Tekanan dinamis terjadi karena terdapat akar permasalahan. Akar masalah internal umumnya adalah
komunitas tidak memiliki akses sumberdaya, struktur, dan kekuasaan. Akar masalah eksternal berupa sistem politik
dan ekonomi yang tidak tepat. Oleh
karenanya, pengelolaan bencana perlu dilakukan secara menyeluruh dengan
meningkatkan kapasitas dan menengani akar masalah dengan tepat untuk mereduksi
risiko bencana secara total.
Pengurangan risiko total adalah penerapan prinsip
kehati-hatian pada setiap tahapan manajemen risiko bencana (disaster risk management), Manajemen risiko bencana merupakan kegiatan
yang meliputi aspek perencanaan dan penanggulangan bencana pada saat sebelum,
saat terjadi, dan sesudah bencana.
Manajemen risiko bencana merupakan suatu rerangka kerja konseptual yang
berfokus pada pengurangan ancaman dan potensi kerugian dan bukan pada
pengelolaan bencana dan konsekuensinya.
Manajemen risiko bencana bertujuan untuk mengembangkan suatu budaya aman
dan membentuk komunitas yang tangguh bencana.
Prinsip kehati-hatian dimulai dengan mencermati setiap
bagian kegiatan yang berpotensi menjadi ancaman terhadap keberadaan aset
penghidupan dan jiwa manusia. Ancaman
tersebut perlahan-lahanmaupun tiba-tiba akan berpotensi menjadi bencana yang
akan menyebabkan hilangnya jiwa dan harta benda serta rusaknya lingkungan. Kejadian bencana di luar kemampuan adaptasi
masyarakat dengan sumberdaya yang dimilikinya.
Maka, perlu dipahami potensi risiko yang akan muncul seperti kemungkinan
besaran kerugian dan keusakan yang akan ditimbulkan serta korban jiwa yang akan
jatuh. Risiko bisa dihitung secara
matematis, berupa probabilitas dari dampak atau konsekuensi bahaya bencana. Jika potensi risiko lebih besar dari
kemampuan dan sumberdaya komunitas (kondisi rentan), maka kehati-hatian perlu
ditingkatkan. Upaya untuk mengurangi
kerentanan (konsekuensi fisik, perilaku, sosial, dan ekonomi), adalah upaya
untuk pencegahan dan penanggulan bencana.
Perilaku menebang hutan, menambang pasir dan batu, atau membakar hutan
merupakan upaya mengurangi kerentanan untuk pencegahan bencana.
Siklus penggulangan bencana harus dipahami dan digambarkan
secara utuh. Upaya pencegahan (prevention) berfokus utama pada
timbulnya dampak atau korban bencana.
Untuk mencegah banjir, komunitas didorong untuk menanam pohon dan
membuat sumur resapan. Untuk mencegah
kekeriangan, komunitas didorong untuk tidak menebang hutan dan menanam
pohon. Untuk mencegah kebocoran limbah,
perusahaan-perusahaan diharuskan membuat Instalasi Pengelolaan Akhir Limbah dan
save procedure. Walaupun tindakan pencegahan telah
dilakukan, kemungkinan terjadinya bencana tetap ada, untuk memperkecil
risikonya perlu dilakukan tindakan mitigasi (mitigation). Mitigasi adalah
upaya untuk memperkecil risiko dan dampak akibat bencana. Mitigasi dapat dilakukan dengan:
(1)
mitigasi struktural, berupa pembangunan
infrastruktur untuk meminimalisasi dampak; dan
(2)
mitigasi non struktural, berupa peraturan,
pengelolaan tata ruang, dan pelatihan.
Usaha-usaha pencegahan dan mitigasi harus didukung dengan
upaya kesiapsiagaan (preparedness). Kesiapsiagaan merupakan upaya untuk
mengantisipasi bencana melalui pengorganisasian langkah-langkah yang tepat,
efektif, dan terencana. Kesiapsiagaan
yang dilakukan dapat berupa:
(1)
penyiapan sarana komunikasi;
(2)
pos komando;
(3)
lokasi evakuasi;
(4)
sistem peringatan dini (early warning system).
Peringatan dini merupakan perangkat yang akan
menginformasikan ke masyarakat jika ancaman bencana datang. Seperti perinngatan dini datangnya banjir
atau tsunami. Peringatan dini haruslah:
(1)
mengjangkau seluruh masyarakat (accessible);
(2)
segera (immediate);
(3)
tegas dan tidak membinggungkan (coherent);
(4)
resmi (official).
Bilapun bencana terjadi, maka tindakan tanggap darurat (response) berupa upaya untuk
menganggulangi dampak atau korban bencana, utamanya untuk penyelamatan nyawa
dan harta benda dapat dilakukan dengan baik dan tersisematis. Secara bersamaan (sinergis) dapat dilakukan
mobilisasi bantuan dasar (relief) untuk
memenuhi kebutuhan dasar (pangan, sandang, tempat tinggal sementara, kesehatan,
sanitasi, dan air bersih).
Supaya dampak tidak berkepanjangan, maka proses pemulihan (recovery) kondisi lingkungan dan
masyarakat yang terkenan dampak bencana dengan memulihkan sarana dan prasarana
harus dilakukan. Upaya yang dilakukan
bukan sekadar memperbaiki prasarana dan pelayanan dasar seperti perbaikan
jalan, listrik, air bersih, pasar, puskesmas dan fasilitas umum serta fasilitas
sosial lainnya saja tetapi juga fungsi-fungsi ekologis. Upaya-upaya pemulihan dalam jangka pendek
terdiri dari usaha rehabilitasi (rehabilitation)
berupa usaha-usaha untuk membantu masyarakat memperbaiki rumah, fasilitas umum,
dan fasilitas sosial tetapi juga menghidupkan kembali roda perekonomian dan
fungsi ekologis lainnya. Selanjutanya,
dilakukan usaha rekonstruksi (reconstruction)
berupa upaya-upaya jangka menengah dan jangka panjang berupa perbaikan fisik,
sosial, dan ekonomi untuk mengembalikan kehidupan masyarakat menjadi normal
kembali dan bahkan lebih baik lagi.
Dilihat dari waktu terjadinya, ancaman bencana dapat datang
dengan tiba-tiba dan tidak terduga.
Tetapi ancaman juga ada yang datang secara perlahan dan berangsur-angsur
dan bahkan musiman (periodik). Ancaman
yang datang dengan tiba-tiba seperti gempa bumi dan banjir bandang akan
menimbulkan bencana yang tiba-tiba.
Demikian pula ancaman yang datang berangsur-angsur seperti banjir
kiriman serta ancaman musiman seperti banjir pasang akan menyebabkan bencana
yang musiman. Status ancaman sangat
tergantung pada kapasitas individu dan komunitas serta sistem peringatan dini
yang ada. Artinya, ancaman yang
tiba-tiba bagi suatu komunitas bisa jadi bukan merupakan ancaman yang tiba-tiba
bagi komunitas lain, komunitas yang telah tangguh bencana.
Setiap individu, komunitas, dan unit sosial harus
meningkatkan kapasitas dan membangun sistem peringatan dini untuk merespon
bencana, baik jangka pendek maupun jangka panjang. Respon yang bersifat jangka pendek disebut
dengan mekanisme penyesuaian. Sedangkan
respon yang bersifat jangka panjang disebut dengan mekanisme adaptasi. Mekanisme untuk menghadapi perubahan dalam
jangka pendek bertujuan untuk mengakses kebutuhan hidup dasar seperti keamanan,
sandang, pangan, papan. Sedangkan
mekanisme adaptasi bertujuan untuk mengakses sumber-sumber kehidupan.
Bencana akan mereduksi kapasitas komunitas dalam menguasai
maupun mengakses aset penghidupan. Di
beberapa peristiwa bencana, seluruh kapasitas dan aset kehidupan hilang sama
sekali. Reduksi kapasitas memungkinkan
bencana akan cenderung hadir berulang di kawasan dan komunitas tertentu. Di sisi lain, kapasitas komunitas dalam
mengelola risiko bencana sangat tergantung pada aset kehidupan yang
dimilikinya.
Menurut Konsep Penghidupan Berkelajutan (sustainable livelihood) ada lima aset
penghidupan yang dimiliki oleh setiap indvidud dan unit sosial yang lebih
tinggi untuk pengembangan kehidupan:
(1)
modal kapital, modal yang dimiliki manusia
seperti ketrampilan, kemampuan bekerja, dan kesehatan.
(2)
modal sosial, kekayaan sosial yang dimiliki
komunitas seperti jaringan dan keterikatan hubungan berdasar kepercayaan;
(3)
modal alam & lingkungan, merupakan
persediaan sumberdaya alam seperti tanah, air, kualitas udara, dan perlindungan
terhadap erosi;
(4)
modal fisik
& buatan, adalah infrastruktur dasar dan produksi barang-barang
dasar seperti transportasi, bangunan tempat tinggal yang aman, sanitasi dan
persediaan air yang memadai, akses terhadap komunikasi;
(5)
modal finansial, adalah sumber-sumber keuangan
yang digunakan oleh komunitas untuk mencapai tujuan-tujuan kehidupannya seperti
persediaan uang dan barang.
Seputar Partisipasi Komunitas
Komunitas merupakan sekelompok orang dengan hubungan yang
harmonis, memiliki satu keselarasan minat dan aspirasi, serta terikat dengan
nilai-nilai dan tujuan-tujuan yang sama.
Komunitas bersifat homogen, walau anggotanya berlatar belakang sosial
yang beragam. Gender, kelas, kasta,
kekayaan, usia, etnis, agama, bahasa, dan berbagai aspek lain yang membedakan
anggota komunitas nan beragam tetapi saling melengkapi. Kepercayaan, minat, dan nilai juga bisa
berbeda tetapi tujuan dan nilai bersama yang menyatukannya.
Dalam Manajemen Risiko Bencana Berbasis Masyarakat (community based disaster risk management),
komunitas adalah sebuah kelompok masyarakat yang memiliki kesamaan tertentu
seperti tinggal di lingkungan yang sama, terpapar risiko yang serupa, dan
terkena dampak bencana yang sama.
Komunitas juga memiliki maalah, kekhawatiran, dan harapan yang sama
terhadap risiko bencana. Tetapi, walau
tinggal di daerah yang sama dan menghadapi risiko bencana yang sama, kerentanan
yang dihadapi dan kapasitas yang dimiliki anggota komunitas berbeda-beda. Ada anggota komunitas yang lebih mampu dan
tangguh tetapi adapula yang lebih rentan.
Partisipasi komunitas merupakan suatu proses untuk
memberikan wewenang yang lebih luas kepada komunitas untuk bersama-sama
memecahkan berbagai persoalan. Pemberian
wewenang ini dilakukan berdasar tingkat keikutsertaan (level of involment) anggota komunitas. Partisipasi komunitas bertujuan untuk mencari
jawaban atas masalah dengan lebih baik.
Memberi peran komuitas untuk memberi kontribusi pada kegiatan sehingga
berjalan lebih efektif, efisien, dan lestari.
Pastisipasi komunitas dilakukan mulai dari tahapan-tahapan:
pembuatan konsep à konstruksi à operasional & pemeliharaan à pengawasan & evaluasi.
Tingkat partisipasi komunitas dalam kegiatan penanggulangan
bencanan terdiri dari mekanisme interaksi dari: (1) penolakan; (2) berbagi
informasi; (3) konsultasi tanpa komentar; (4) konsensus & pengambilan
kesepakatan bersama; (5) kolaborasi; (6) berbagi penguatan & risiko; (7)
pemberdayaan & kemitraan. Lebih
lanjut, tingkat partisipasi masyarakat diperkuat dari kecenderungan partisipasi
yang bermakna “untuk komunitas” menjadi “bersama komunitas” dan akhirnya “oleh
komunitas”.
Ada berbagai pemangku kepentingan (stakeholders) dan aktor dalam proses pengelolaan risiko bencana
berbasis komunitas. Dapat dikelompokkan
menjadi:
(1)
penerima manfaat, yaitu komunitas yang menerima
manfaat baik langsung maupun tidak langsung;
(2)
intermediari, yaitu kelompok komunitas, lembaga
atau individu yang dapat memberikan pertimbangan atau fasilitasi manajemen
kebencaan seperti konsultasn, pakar, LSM, dan profesional di bidang kebencanaan;
(3)
(3) pembuat kebijakan, lembaga atau institusi
yang berwenang membuat landasan dan keputusan hukum seperti lembaga
pemerintahan dan badan kebencanaan (BNPB dan BPBD).
Penentuan dan pemilihan pemangku kepentingan dilakukan
dengan metode Analisis Pemangku Kepentingan (Stakeholders Analysis) dengan tahapan-tahapan:
(1)
identifikasi pemangku kepentingan;
(2)
penilaian
ketertarikan pemangku kepentingan terhadap penanggulangan bencana;
(3)
penilaian
tingkat pengaruh dan kepentingan setiap pemangku kepentingan;
(4)
perumusan rencana strategi partisipasi pemangku
kepentingan dalam penanggulangan bencana pada setiap fase kegiatan.
Semua proses dilakukan dengan cara mempromosikan kegiatan
pembelajaran dan peningkatan potensi komunitas untuk berpartisipasi secara
aktif. Turut serta menyediakan
kesempatan untuk ikut bagian dan kewenangan dalam proses pengambilan
keputusan. Juga menyediakan alokasi
sumberdaya dalam kegiatan penanggulangan bencana.
Peran komunitas dalam proses pembangunan sangatlah
penting. Hal ini dikarenakan tidak
seorangpun dapat memahami kesempatan dan hambatan di tingkat lokal selain
komunitas itu sendiri. Demikian pula
dengan urusan dan masalah lokal yang hanya komunitas setempat yang peduli
dengan keberlanjutan hidup dan kesejahteraannya. Oleh karena itu, komunitas setempat harus
dilibatkan dalam identifikasi dan pemecahan masalah yang berkaitan dengan
kerentanan terhadap bencana. Dengan
pemberian Informasi yang harus disampaikan dengan cara dan bahasa yang dapat
dipahami oleh komunitas. Banyak program
manajemen kebencanaan yang bersifat instruksi (top down) yang tidak mampu memenuhi kebutuhan komunitas rentan
karena mengabaikan potensi, sumberdaya, dan kapasitas lokal. Bahkan malah meningkatkan ketergantungan
sekaligus kerentanan.
Sebagai hasilnya, para praktisi manajemen risiko kebencanaan
telah menghasilkan kesepakatan umum untuk program-program yang menekankan pada
reduksi risiko bencana berbasis komunitas.
Artinya, komunitas rentan yang akan dilibatkan dalam perencanaan dan
pelaksanaan tindakan-tindakan pengelolaan risiko bencana bersama dengan entitas
lokal, provinsi, dan nasional.
Tujuan manajemen risiko bencana oleh komuntas adalah
mengurangi kerentanan dan memperkuat kapasitas komunitas untuk mengelola risiko
bencana yang dihadapi. Keterlibatan
langsung komunitas dalam pelaksanaan tindakan-tindakan reduksi merupakan suatu
keharusan. Keikutsertaan dan
keterlibatan komunitas artinya komunitas bertanggung jawab untuk semua tahapan
program, mulai dari perencaan, pelaksanaan, sampai evaluasi. Partisipasi komunitas adalah upaya
penganggulangan bencana oleh komunitas secara mandiri.
Pengalaman dalam pelaksanaan penanggulangan bencana berbasis
pemberdayaan dan kemandirian komunitas haruslah merujuk pada:
(1)
upaya reduksi risiko bencana bersama komunitas
di kawasan rawan bencana hingga komunitas mampu mengelola risiko bencana secara
mandiri;
(2)
menghindari munculnya kerentanan baru dan
ketergantungan komunitas pada pihak luar;
(3)
penanggulangan risiko bencana merupakan bagian
dari proses pembangunan dan pengelolaan sumberdaya dalam untuk keberlanjutan
hidup komunitas;
(4)
pendekatan multi sektor, multi disiplin, dan
multi budaya.
Lebih lanjut, manajemen risiko bencana memperhatikan:
(1)
fokus perhatian pada komunitas setempat;
(2)
bertujuan untuk mereduksi bencana. Strategi utamanya adalah dengan meningkatkan
kapasitas dan sumberdaya komunitas untuk mengurangi kerentanan guna mencegah
dampak bencana yang besar di kemudian hari;
(3)
pengakuan adanya hubungan antara pengelolan
risiko bencana dan proses pembangunan. Pendekatan
untuk menangani penyebab mendasar bencana seperti kemiskinan, diskriminasi,
marginalisasi, penyelenggaraan negara yang lemah, pengelolaan politik dan
ekonomi yang buruk, dan kualitas hidup dan lingkungan;
(4)
komunitas adalah sumberdaya kunci dalam
manajemen risiko bencana. Komunitas
adalah aktor utama dan penerima manfaat utama;
(5)
Penerapan pendekatan multi sektor dan multi
disiplin akan menyatukan banyak kepentingan manajemen risiko bencana untuk
memperluas basis sumberdaya;
(6)
Merupakan rerangka kerja yang berkembang
dinamis. Pembagaian pengalaman,
metodologi, dan alat-alat oleh komunitas akan memperkaya praktik;
(7)
Pengakuan terhadap berbagai komunitas yang
memiliki persepsi yang berbeda tentang risiko.
Terutama antara lelaki dan perempuan yang memiliki pemahaman dan
pengalaman yang berbeda mengenai risiko bencana akan memperkaya praktik reduksi
risiko bencana;
(8)
Berbagai anggota komunitas dan individu dalam
komunitas memiliki kerentanan dan kapasitas yang berbeda. Individu, keluarga, dan kelompok yang berbeda
dalam komunitas ditentukan oleh usia, jender, kelas, sumber penghidupan,
etnisitas, bahasa, agama, dan lokasi fisik.
Seputar Proses Manajemen Reduksi Bencana
Manajemen Risiko Berbasis Komunitas merupakan proses untuk
mendorong komunitas di kawasan rawan bencana untuk mampu secara mandiri
mengatasi ancaman yang ada dilingkungannya dan kerentanan yang ada di
dirinya. Oleh karena itu, komunitas yang
menghadapi risiko bencana harus terlibat secara aktif dalam melakukan
identifikasi, analisis, tindakan, pemantauan, dan evaluasi risiko bencana untuk
mengurangi kerentanan dan meningkatkan kapasitas. Komunitas berperan sebagai pusat pengambilan
keputusan dan pelaksanaan aktiviats-aktivitas manajemen risiko bencana.
Berdasar pengalaman kerja komunitas, terdapat beberapa
proses penanggulangan risiko bencana berbasis komunitas, sebagaimana berikut
ini.
1.
Analisis Situasi dan Kondisi
Analisis situasi dan kondisi dilakukan untuk prediki kebutuhan
penanggulangan bencana guna memperoleh kesesuaian antara kebutuhan dan
ketersediaan sumberdaya. Analisis
dimulai dengan menyusun profil masyarakat tentang pemahaman risiko bencana
dengan metoda partisipatif. Profil
berupa (1) informasi historis kebencanaan; (2) cici-ciri geoklimat; (3) fisik
& tata ruang; (4) tatanan sosio politik & budaya; (5) kegiatan ekonomi;
(6) kelompok rentan.
2.
Pemahaman Konteks
Mobiliasasi pemahaman konteks ditujukan untuk kemungkinan penanganan
masalah melalui intervensi yang tepat dan perumusan kegiatan bersama. Kegiatan berbagi pengalaman dan pelatihan
bersama (1) manajemen bencana & kedaruratan; (2) penanganan penderita gawat
darurat; (3) pengamatan & pemantauan bahaya; (4) advokasi kebijakan; (5)
penguatan ekonomi.
3.
Pengajian Risiko Partisipatif
Pengajian menyeluruh mengenai keterpaparan komunitas terhadap bahaya dan
analisis mengenai kerentanan serta kapasitas komunitas sebagai dasar aktivitas
dan program reduksi risiko bencana.
Penjajakan risiko bencana merupakan proses partisipatif dalam menentukan
sifat, cakupan, dan besaran dampak negatif risiko bencana terhadap komunitas
dalam suatu periode waktu yang dapat diramalkan. Enjajakan risiko bencana komunitas juga untuk
memfasilitasi proses penentuan dampak negatif yang akan terjadi baik kerusakan
dan kerugian aset penghidupan. Pengajian
tingkat bersama risiko meliputi (1) persepsi masyarakat terhadap risiko
bencana; (2) pemetaan karakter bahaya; (3) pemetaan kerentanan; (4) pemetaan
kapasitas dalam penanganan kerentanan; (5) identifikasi risiko; (6) evaluasi
dan penilaian risiko; (7) pemetaan potensi dan mobilisasi sumberdaya; (8)
analisis dan pelaporan bersama komunitas.
4.
Perencanaan Program dan Formulasi Rencana
Tindakan perencanaan progrm dan dormulasi rencana dilakukan berdasar
hasil analisis risiko. Perencanaan ini
meliputi (1) formulasi tujuan untuk peningkatan kapasitas danpengurangan
kerentanan guna meningkatkan kemampuan mencegah, memitigasi, dan menyiapkan
diri; (2) manfaat dan hasil pengurangan risiko; (3) perencanaan kegiatan
bersama; (4) identifikasi dan mencari dukungan sumberdaya dan finansial; (45)
memformulasikan rencana kegiatan.
5.
Pelaksanaan dan Pemantauan Program
Tindakan untuk menjalankan kesepakatan perencaaan yang telah
diformulasikan. Merupakan serangkaian
kegiatan yang terdiri dari (1) pengorganisasian pelaksanaan kegiatan; (2)
mobilisasi sumberdaya; (3) pelaksanaan kegiatan yang telah direncanakan; (4)
pemantauan kegiatan; (5) memperbaiki rencana reduksi bencana melalui hasil
pemantauan kegiatan.
6.
Penilaian dan Umpan Balik
Menilai hasil kegiatan disesuaikan dengan hasil yang diharapkan
dipergunakan untuk menilai efektivitas program.
Selanjutnya, menggunakan hasil evaluasi melakukan pemberdayaan di
komunitas lain (diseminasi).
7.
Penyebarluasan dan Pengintergrasian
Mendokumentasikan proses pembelajaran dan menyebarluaskan praktik baik (lesson learn)ke komunitas lain dan
masyarakat luas untuk kampanye reduksi risiko bencana. Penyebarluasan dilakukan juga untuk menarik
berbagai kalangan dan sektor lain untuk mengintegrasikan upaya reduksi risiko
bencana untuk kehidupan masyarakat yang lebih baik.
8.
Pelembagaan dan Kolsultatif
Usaha reduksi risiko bencana berbasis komunitas harus pula mendorong
upaya pembentukan organisasi rakyat dalam penanggulangan risiko bencana
berkelanjutan, tersebar luas, dan dan terintegrasi. Dibangun pula mekanisme konsultatif dengan
aktor dan pemangku kepentingan lain untuk memperluas usaha reduksi risiko
bencana. Pelembagaan dilakukan untuk
memastikan bahwa usaha reduksi risiko bencana berkelanjutan dan berkesinambungan.
Parameter atau Indikator Penanggulangan Risiko Bencana Berbasis
Komunitas (PRBBK)
Parameter dari PRB sebagai komunitas atau masyarakat yang
tangguh adalah sebagai berikut:
1.
Komuitas memiliki kemampuan mengaji dan memahami
ancaman, kapasitas, kerentanan, dan risiko bencana secara partisipatif berbasis
pengetahuan lokal dan keilmuan.
2.
Komunitas memiliki RAK-PRBBK yang disusun secara
partisipatif dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan serta menjadi
bagian dari rencana pembangunan desa yang dirumuskan dalam Musrengbang. Diwujudkan dalam Rencana Pembangunan Daerah
dan RAD PRBBK.
3.
Komunitas memiliki kemampuan mobiliasi
sumberdaya internal da tatanan sosial di atasnya untuk melaksanakan RAK PRBBK
serta kemampuan mobilisasi sumberdaya eksternal untuk melengkapinya.
4.
Komunitas memiliki Organisasi Rakyat untuk PRBBK
sebagai representasi dari kelompok-kelompok warga untuk kepentingan PRBBK atau
merevitaliasi kelembagaan lokal untuk keperluan PRBBK.
5.
Komunitas memiliki sistem pembelajaran OR-PRBBK
dan komunitas dalam pemahaman dan pengelolaan ancaman, pengurngan kerentanan,
dan peningkatan kapasitas.
6.
Komunitas memiliki sistem gladi sesuai dengan
jenis bahaya dan tingkat risiko bencana yang telah diidentifikasi oleh OR-PRBBK
dan masyarakat sendiri. Gladi
disesuaikan dengan standar kebuuhan masyarakat dan eksplorasi kapasitas
masyarakat untuk memberdayakan diri dalam mereduksi risiko dan mengatasi
bencana.
7.
Komunitas memiliki pemahaman reduksi risiko
bencana dan penghidupan yang berkelanjutan melalui pengelolaan sumberdaya, aset
penghidupan, jaring pengaman sosial, kelestarian lingkungan, teknologi tepat
guna, dan perilaku sehari-hari.
8.
Komunitas memilik Sistem Informasi Dini (SID),
Sistem Deteksi Dini (SDD), dan Sistem Peringatan Dini (SPD) berbasis komunitas
dan dapat menjangkau seluruh komunitas di kawasan rawan bencana berbasis
kearifan lokal yang terpadu dengan teknologi tepat guna dan tepat sasaran serta
dikelola oleh komunitas.
9.
Komunitas memiliki Tim Siaga Bencana (TSB) yang
mandiri, tangguh dan terampil dengan fasilitas yang memadai serta memiliki mekanisme
koordinasi dan pengambilan keputusan yang baik.
10.
Komunitas memiliki Rencana Siaga (Rensi) dan
Rencana Kontijensi (Renkon) untuk setiap jenis ancaman dan tingkat risiko
bencana secara paritisipatif berdasar hasil belajar masyarakat dan masukan para
pakar dengan memanfaatkan sumberdaya lokal.
11.
Komunitas memiliki Kelompok Kerja PRBBK yang
terdiri dari para pemangku kepentingan ditingkat Kabupaten/Kota yang memiliki
mandat dalam upaya manajemen ancaman, pengurangan kerentanan, dan peningkatan
kapasitas PRBBK dan mendorong praktik PRBBK.
12.
Komunitas memiliki jaringan kemitraan dan
kesepakatan pembagian peran dan tanggung jawab para pemangku kepentingan dalam
peningkatan kapasitas, pembangian tanggung jawab, dan pengambilan keputusan
untuk pengelolaan sumberdaya & sumberdana, pengetahuan, ketrampilan,
informasi secara formal maupun informal.
13.
Komunitas memiliki pemaduan dan koordinasi dalam
manajemen kedaruratan, rehabilitasi, maupun konstruksi, khususnya membantu
komunitas untuk mendapatkan perangkat kesiapsiagaan dan penanganan kedaruratan
yang terencana, efektif, dan efisien serta mengjangkau seluruh komunitas yang
meliputi bantuan sosial, psikologi, kesehatan, dan penyelamatan fasilitas
publik berdasarkan pada kemampuan lokal, kerelawanan, dan gotong royong.
14.
Komunitas bersama pemangku kepentingan memiliki
visi tentang kesiapsiagaan bencana dan komitmen terhadap prioritas pelaksanaan
PRBBK yang efektif dan akuntabel serta praktik berkehidupan dan
pengorganisasian reduksi risiko bencana.
15.
Komunitas memiliki rerangka kelembagaan dan
sitem hukum serta kebijakan yang mendukung pelaksanaan PRBBK sebagai bagian
dari proses pembangunan.
16.
Komunitas memiliki peta risiko bencana
partisipatif dan didukung oleh pengetahuan ilmiah.
17.
Komunitas memiliki sistem reduksi kerentanan
seperti: (1) lumbung bencana; (2) penganekaragaman dan pengembangan mata
pencarian; (3) model rumah tahan bencana; (4) tempat ibadah tahan bencana; (5)
prasarana lain yang tahan bencana.
Prinsip-Prinsip PRBBK
Prinsip-Prinsip pelaksanaan kegiatan PRBBK adalah
sebagai berikut:
1.
Komunitas atau masyarakat berisiko dan terkena
bencana adalah pelaku aktif dalam pembagunan kehidupan.
2.
Melakukan upaya-upaya reduksi risiko bencana
bersama komunitas di kawasan bencana hingga komunits mampu mengelola risiko
bencana secara mandiri.
3.
Menghindari munculnya kerentanan baru dan
ketergantungan komunitas di kawasan bencana pada pihak luar.
4.
Reduksi risiko bencana merupakan bagian dari
proses pembangunan dan pengelolaan sumberdaya alam berkelanjutan untuk
kehidupan dan penghidupan komunitas di kawasan bencana.
5.
Pendekatan multi sektor, multi disiplin, dan
multi budaya.
6.
Pendekatan yang holistik dan menyeluruh dari
seluruh kegiatan manajemen risiko bencana dan integratif dalam menautkan
program dengan kebutuhan lainnya.
7.
Partisipasi sejak mulai dari perencanaan hingga
akhir program baik seluruh strata sosial, kelompok, maupun gednder.
8.
Pemberdayaan, bukan kembali “normal” karena bisa mereduksi risiko bencana.
9.
Tidak merusak sistem yang telah ada, termasuk
kepercayaan, tradisi, dan adat istiadat komunitas.
10.
Melakukan kemitraan lokal dan intervensi dari
seluruh pemangku kepentingan.
11.
Membuka diri untuk memfasilitasi lembaga dan
komunitas lain.
12.
Mengutamakan peran dan partisipasi masyarakat
lokal dalam penanggulan bencana dan reduksi risiko bencana.
13.
Menekankan program edukasi dan pemberdayaan
masyarakat.
14.
Transparansi, kepercayaan, dan non profit.
15.
Kemampuan masyarakat digunakan dan dibangun
melalui partisipasi.
16.
Pengajian keruasakan, kebutuham, dan kemampuan
dilakukan bersama masyarakat dengan mempertimbangkan kesetaraan gender, budaya,
dan usia.
17.
Bantuan baik material maupun aspek kelembagaan
dilakukan untuk mengatasi akar masalah.
18.
Penanggulangan bencana adalah tanggung jawab
semua orang, sedangkan lembaga kebencaan berperan sebagai sistem pendukung.
19.
Sasaran program adalah mengurangi kerentanan
jangka panjang dengan meningkatkan kemampuan dan kapasitas masyarakat dalam
menghadapi bencana.
Rekomendasi Kegiatan PRBBK
Untuk membangun masyarakat yang tangguh bencana melalui
PRBBK, dilakukan melalui kegiatan-kegiatan sebagai berikut:
1.
Memfasilitasi penguatan kemampuan dan kapasitas
komunitas dengan memahami dan mengaji ancaman, kapasitas, kerentanan, dan
risiko serta partisipasi yang didukung oleh pengetahuan lokal dan keilmuan
ilmiah.
2.
Memfasilitasi penyusunan RAK PRBBK yang disusun
secara partisipatif dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan dan masuk
sebagai bagian dari rencana pembangunan melalui Musrengbang yang nantinya
diwujudkan dalam Rencana Pembangunan Daerah dan RAD PRB
3.
Memfasilitasi peningkatan mobilisasi sumberdaya
internal komunitas dan tatanan sosial di atasnya untuk melaksanakan RAK PRBBK
dan kemampuan mobilisasi dan pengelolaan sumberdaya eksternal untuk
melengkapinya.
4.
Memfasilitasi pembertukan Organisasi Komunitas
(OK PRBBK) yang merupakan representasi
dari kelompok-kelompok warga yang dibangun untuk PRBBK atau
merevitalisasi kelembagaan lokal yang ada untuk PRBBK.
5.
Memfasilitasi penyusunan sistem pembelajaran
bari OK PRBBK dan komunitas dalam memahami pengelolaan ancaman, reduksi kerentanan,
dan peningkatan kapasitas.
6.
Memfasilitasi pembentukan sistem gladi sesuai
dengan jenis dan tingkat risiko bencana yang
telah diidentifikasi oleh OK PRBBK dan komuunitas sesuai dengan standar
kebutuhan penduduk dan eksplorasi kemampuan untuk memberdayakan diri sendiri
dalam menghadapi bencana.
7.
Memfasilitasi peningkatan pemahaman reduksi
risiko dan penghidupan berkelanjutan serta pengelolaan sumberdaya, pengelolaan
aset, jaring pengaman sosial, kelestarian lingkungan, teknologi tepat guna, dan
perilaku sehari-hari.
8.
Memfasilitasi ketersediaan Sistem Informasi Dini
(SID), Sistem Deteksi Dini (SDD), dan Sistem Peringatan Dini (SPD) berbasis
komunitas yang terpercaya, menjangkau seluruh komunitas dengan teknologi tepat
guna dan tepat sasaran serta dikelola secara mandiri oleh komunitas.
9.
Memfasilitasi terbentuknya Tim Siaga Bencana
(TSB) yang mandiri, tangguh, dan terampil dengan jumlah serta fasilitas yang
memadai serta memiliki mekanisme
koordinasi dan pengambilan keputusan yang baik.
10.
Memfasilitasi terwujudnya Rencana Siaga (Rensi)
dan Rencana Kontijensi (Renkon) di komunitas untuk setiap jenis ancaman dan
tingkat risiko utama secara partisipatif berdasarkan hasil penelitian pakar dan
masyarakat dalam memanfaatkan sumberdaya lokal.
11.
Memfasiliatsi terwujudnya Kelompok Kerja PRBBK
yang terdiri dari pada pemangku kepentingan di tingkat Kabupaten/Kota yang
memiliki mandat upaya penanganan ancaman, pengurangan kerentanan, dan
peningkatan kapasitas PRBBK serta mendorong praktik PRBBK.
12.
Memfasilitasi terbangunnya kemitraan dan
kesepakatan dalam pembagian peran dan tanggung jawab pada pemangku kepentingan
dalam peningkatan kapasitas, pembagian tanggung jawab, pengambilan keputusan,
pengelolaan sumber dana, pengetahuan & ketrampilan, dan informasi formal
& informal dalam pengelolaan PRBBK.
13.
Memfasilitasi pemanduan dan koordinasi dalam
manajemen kedaruratan, rehabilitasi, dan rekonsntruksi khususnya untuk membantu
komunitas mendapatkan perangkat kesiapsiagaan dan penanganan darurat yang
terencana, efektif, dan efisien serta mampu menjangkau seluruh komunitas baik
bantuan sosial, psikologi, kesehatan, dan penyelamatan fasilitas berdasarkan
kemampuan lokal, kerelawanan, dan gotong royong.
14.
Memfasilitasi terwujudnya visi bersama antara
komunitas dan seluruh pemangku kepentingan tentang kesiapsaiagaan bencana dan
prioritas pelaksanaan PRBBK yang efektif dan akuntabel serta praktik
berkehidupan dan pengorganisasian reduksi risiko bencana.
15.
Memfasilitasi terwujudnya rerangka kelembagaan
dan sistem hukum serta kebijakan yang mendukung pelaksanaan PRBBK sebagai
bagian dari proses pembangunan.
16.
Memfasilitasi tersusunnya peta risiko bencana
berbasis partisipasi masyarakat yang didukung oleh pengetahuan ilmiah.
17.
Memfasilitasi terwujudnya sistem pengirangan
kerentanan komunitas seperti lumbung bencana, penganekaragaman pendapatan,
sistem penghidupan berkelanjutan, model rumah tahan bencana, tempat ibadah
tahan bencana, dan prasaranan umum lainnya yang tahan bencana.
Upaya Kabupaten
Bantul Dalam Program Pengurangan Risiko Bencana dan Tsunami
Gambaran keadaan Alam dan Pemerintahan
Luas wilayah Kabupaten Bantul 508.85 Km2 dengan topografi
sebagai dataran rendah 40% dan perbukitan 60%.
Bagian barat adalah daerah landaidan perbukitan yang membujur dari utara
ke selatan seluas 89,86 Km2 atau 17,73% dari luas seluruh wilayah. Bagian tengah adalah daerah datar dan landai
sebagai daerah pertanian yang subur seluas 210.94 Km2 tau 41,62% dari luas
wilayah. Bagian timur adalah daerah
landai, miring, dan terjal yang keadaannya lebih baik dari bagian barat seluas
206,05 Km2 atau 40,65% dari luas wilayah.
Bagian selatan merupakan bagian dari bagian tengah dengan keadaan alam
berpasir, sedikit lagun, dan terbentang di pantai selatan (Kecamatan Srandakan,
Sanden, dan Ketek).
Kabupaten Bantul dilalui oleh 6 sungai yang mengalir
sepanjang tahun dengan panjang 114 Km2 (Sungai Oya 35,75 Km, Opak 19 Km, Code 7
Km, Winongo 18,75 Km, Bedog 9,5 Km, Progo 24 Km). Terdiri dari 17 Kecamatan, 75 Desa, dan 933
Dusun.
Profil Kebencanaan Kabupaten Bantul
Kabupaten Bantul merupakan wilayah rawan bencana, seperti
gempa bumi, tsunami, gelombang pasang, badai tropis, puting beliung, banjir,
tanah longsor, dan kekeringan.
1.
Tanah longsor: Piyungan, Pleret, Imogiri, dan
Dlingo.
2.
Kekeringan: Piyungan, Pleret, Imogiri, Dlingo, Bambanglipuro.
3.
Banjir: Kretek, Srandakan, Sanden,
Bambanglipuro.
4.
Angin Puting Beliung: Bantul, Pleret, Pitungan,
Sewon.
5.
Gempa Bumi: Seluruh Bantul.
6.
Gelombang Pasang & Badai Tropis: Kretek,
Srandakan, Sanden.
7.
Tsunai: Kretek, Srandakan, Sanden.
Perubahan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD)
RPJMD Kabupaten Bantul tahun 2006—2010 direvisi dengan mengadopsi
pokok-pokok pikiran reduksi risiko bencana.
Dalam perubahan RPJMD tersebut memuat kawasan-kawasan rawan
bencana. Terdapat pula penambahan misi:
“mempercepat pemulihan kondisi sosial. Budaya, dan ekonomi melalui pembangunan
ekonomi lokal berwawasan lingkungan yang tangguh paska gempa bumi 27 Mei 2006
serta mewujudkan ketahanan Pemerintah Daerah dan Masyarakat dalam menghadapi
risiko bencana”.
Tanggap Bencana merupakan suatu proses perencanaan dan
pembangunan di Kabupaten Bantul berbasis pada Pengurangan Risiko Bencana
(PRB). Maka dilakukan beberapa kegiatan
PRB dengan tujuan:
1.
Meningkatkan ketahanan dan stabilitas harga
pangan berbasis potensi sumberdaya lokal.
2.
Meningkatkan peran serta masyarakat dan swasta
dalam mempercepat pembangunan dunia usaha, UMKM, dan Koperasi.
3.
Meningkatkan kapasitas pemerintah dalam
penyelenggaraan pengurangan risiko dan penanggulangan bencana.
4.
Berkurangnya kerentanan dan meningkatkan
kapasitas masyarakat dalam menghadapi bencana.
5.
Meningkatknya kerukunan masyarakat dan
solidaritas sosial berbasis nilai-nilai budaya dan kearifan lokal.
6.
Meningkatnya kemitraan dengan berbagai pemangku
kepentingan pembangunan.
7.
Terwujudnya keserasian pemanfaatan dan
pengendalian ruang dalam suatu sistem wilayah pembangunan yang berkelanjutan.
8.
Terwujudnya pengelolaan lingkungan yang lestari.
Tindakan Awal Kabupaten Bantul:
Belajar dari Pengalaman (Tsunami Aceh, Desember 2004; Isu
Badai Tropis di Pantai Selatan Yogyakarta, 2005; Gempa Bumi di Bantul, 2006;
Tsunami di Pangandaran, 2006) Ã Masyarakat dan Pemkab Bantul serta Pemprov
DIY tanggap dan melakukan tindakan-tindakan semampunya untuk mengembangkan
peralatan peringatan dini (sirine dan
pengeras suara) + Masyarakat memperkuat tradisi lokal + Komunitas SAR
menguatkan jaringan komunikasi.
Pembangunan Sistam Peringatan Dini Tsunami di Kabupaten
Bantul
1.
Dipasangnya alat pengeras suara dan sirine.
2.
Dibangunnya jalur evakuasi.
3.
Penataan ulang lahan pantai.
4.
Kampanye penyadaran masyarakat.
5.
Gladi tsunami.
Kerjasama Pemkab Bantul dengan GTZ-IS GITEWS
1.
Kajian kondisi kesiapan daerah.
2.
Penyamaan pemahaman antara anggota Pokja.
3.
Kajian rerangka hukum untuk daerah percontohan
di Jawa.
4.
Konsep rantai peringatan di daerah.
5.
Pengembangan teknologi peralatan komunikasi
penerimaan dan penyebaran peringatan dini di daerah.
6.
Peta bahaya tsunami.
7.
Rencana evakuasi.
8.
Komunitas fasilitator.
9.
Kampanye peningkatan kesadaran.
10.
Jaring komunikasi – penguatan jaring komunikasi
antar komunitas SAR dan lembaga lainnya.
Langkah-Langkah PRB yang sudah dilakukan:
1.
Memasang sirine (EWS) di sepanjang pesisir
selatan.
2.
Pembuatan peta bahaya.
3.
Sosialisasi di tingkat komunitas.
4.
Sosialisasi di sekoiah.
5.
Memfasilitasi masyarakat menyusun SOP Desa, RT, dan
Keluarga.
6.
Membentuk kelompok-kelompok PRB di masyarakat.
7.
Membuat peta jalur evakuasi bersama masyarakat.
8.
Memasang rambu-rambu petunjuk arah evakuasi.
9.
Menwujudkan RUPUSDALOPS.
10.
Membangun jaring komunikasi.
11.
Tsumani drill.
12.
Piket 24/7
13.
SOP PUSDALOPS
Lebih baik berbuat daripada tidak sama sekali dan jangan
sekali-kali (1) melanggar prosedur; (2) merusak lingkungan; (3) mengingkari
janji; (4) tidak meratapi yang telah tiada tetapi melihat yang selagi hidup;
(5) Sang Maha Kuasa berbuat sekehendakNya apabila manusia sudah berpaling
dariNya. Selamatkan manusia dari
musibah...!?!
Forum Pengurangan
Risiko Bencana Gajihan, Kecamatan Wedi, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah
Latar Belakang
Idonesia adalah negeri bencana, karena 81% wilayahnya rawan
bencana (gempa bumi, tanah longsor, angin puting beliung, banjir, kekeringan,
dan lain sebagainya. Masyarakat harus
menumbuhkan kesadaran tentang pentingnya kesiapsiagaan bencana. Gempa bumi Jogja pada 27 Mei 2006
mengakibatkan 90% rumah di Dukuh Gajihan rusak berat, selain mengakibatkan
kepanikan warga. Kecamatan Wedi
merupakan daerah rawan bencana dengan tingkat keparahan dan korban setara
dengan Ring III. Kurangnya kesiapsiagaan
terhadap gempa berpotensi menimbulkan berbagai masalah seperti konflik,
lambatnya penanganan korban, dan lambannya evakuasi, dan berbagai permasalahan
lainnya.
Berdirinya Forum PRB
FPRB berdiri pada 25 November 2007. Visi: Menjadi organisasi sosial
kemasyarakatan dalam bidang peredaman risiko bencana dan penganggulangan
bencana. Misi: Memberikan pelayanan
sosial dalam memberikan pemahaman kebencanaan, pertolongan, dan penyelamatan
korban bencana. Tujuan FPRB adalah
meningkatkan pemahaman masyarakat tentang kesiapsiagaan memghadapi bencana
sehingga dapat mengurangi dampak negatif yang timbul akibat bencana.
Struktur Organisasi FPRB
Ketua + Sekretaris + Bendahara dibantu oleh Pokja PP + Pojka
Kesehatan + Pokja Sosial + Pokja PU + Pokja Keamanan.
Kegiatan yang Telah Dilakukan
1.
Pembuatan peta jalur evakuasi.
2.
Simulasi evakuasi bagi Murid SD.
3.
Kampanye DRR.
Kesiapsiagaan Masyarakat
1.
Penyusunan SOP – PRB.
2.
Pengorganisasian dan perencanaan emergency response.
3.
Pemutakhiran data risiko masyarakat rentan dan
golongan darah.
4.
Mendorong tersedianya ambulans dusun.
5.
Membangun sistem peringatan dini (early warning system) dengan kentongan.
Upaya FPRB Membangun Hubungan dan Pembelajaran
1.
Berkolaborasi dengan kegiatan Desa Pandes
sebagai Desa Siaga.
2.
Sosialisasi hidup sehat, aman, dan sejahtera
melalui Posyandu, Polindes, dan Puskesmas.
3.
Sosialisasi DRR setiap bulan di pertemuan PKK.
Rencana dalam Proses
1.
Pembuatan radio komunitas.
2.
Pengolaan sampah organik.
3.
Pengolaan pupuk organik.
4.
Mitigasi bencana puting beliung.
5.
Persewaan tenda.
6.
Persewaan genset.
7.
Penyediaan hewan kurban, aqiqah, pupuk organik,
pestisida hayati, dan susu kambing.
Manfaat Program
1.
Warg semakin memahami berbagai macam bencana di
Indonesia.
2.
Tumbuhnya kesadaran mitigasi bencana di
daerahnya.
3.
Terbangunnya kesadaran pengurangan risiko
bencana di setiap keluarga.
4.
Terciptanya pola pikir kemandirian masyarakat
dalam mengurangi dampak bencana.
Tantangan
1.
Masyarakat belum sepenuhnya menyadari akan
pentingnya pengurangan risiko bencana berbasis masyarakat.
2.
Kurangnya motivator DRR di masing-masing
wilayah.
3.
Penganggulangan bencana dipahami sebagai
tanggung jawab pemerintah.
4.
Program pembangunan pemerintah tidak
disinergikan dengan program DRR di wilayahnya.
Forum Pengurangan
Risiko Bencana Desa Ngargomulyo Lereng Merapi
Latar Belakang
Wilayah Desa Ngargomulyo merupakan wilayah rawan bencana,
masuk KRB – 3 atau kawasan paling rawan.
Siklus ancaman Gunung Merapi terjadi secara periodik (2—7 tahun). Jarak sumber acnaman dengan desa hanya 7
kilometer. Sedangkan pemahaman
masyarakat terhadap risiko bencana masih rendah.
Mengapa Perlu Forum PRB
1.
Kondisi wilayah desa yang sering terancam oleh
letusan Gunung Merapi.
2.
Pengetahuan dan ketrampilan masyarakat tentang
risiko bencana masih rendah.
3.
Perlunya kelembagaan di tingkat desa yang
bertanggung jawab dalam penanggulangan bencan.
4.
Penanganan saat terjadi bencana kurang terpadu
dan kurang terkoordinasi.
Visi, Misi, dan Tujuan PRB
Forum PRB berdiri
sejak Februari 2008. Visi: Terwujudnya
masyarakat Desa Ngargomulyo sadar, siap, dan tanggap akan ancaman letusan
Gunung Merapi maupun bencana lainnya.
Misi: (1) meningatkan pengetahuan dan kapasitas anggota forum,
masyarakat Desa Ngargomulyo dalam pengurangan risiko bencana; (2) mewujudkan
masyarakat Desa Ngargomulyo yang siap siaga dan peduli terhadap ancaman letusan
Gunung Merapi; (3) menjadikan Forum PRB sebagai saranan komunikasi dan penangan
maupun pengurangan risiko bencana dari Gunung Merapi maupun bencana lain di
Desa Ngargomulyo. Tujuan: Adanya
masyarakat Desa Ngargomulyo yang sadar, siap, dan tanggap an ancaman letusan
Gunung Merapi dan bencana-bencana lainnya.
Kepengurusan Forum PRB Desa Ngargomulyo
Ketua Umum (Kades Ngargomulyo) + Ketua Pelaksana Harian +
Sekretaris + Bendahara dibantu oleh Regu Deteksi Dini dan Pengumpulan Data +
Regu Dapur Umum + Regu Tandu + Regu Evakuasi.
Pihak-Pihak yang Terlibat di Forum PRB
Pemerintah Desa Ngargomulyo + Linmas Desa + Tokoh masyarakat
dan agama + Bidan Desa + Karang Taruna +PKK + Guru dan Murid Sekolah Dasar.
Koordinasi, Integrasi, dan Sinkronisasi Forum PRB dan Pemerintah Desa
1.
Pertemuan rutin setiap 1 bulan sekali.
2.
Peningkatan masyarakat dan Pemerintah Desa
tentang PRB yang diintegrasikan dengan pertemuan-pertemuan RT, RW, dan Dusun.
3.
Pelatihan simulasi evakuasi dan pengenalan PRB
bagi anak-anak sekolah
4.
Pelatihan simulasi evakuasi bersama
Kesbanglinmas.
5.
Pelatihan PPGD/P3K.
6.
Pelatihan manajemen organisasi.
7.
Pelatihan manajemen keuangan dan pennggalian
dana (fund raising).
8.
Pelatihan kewirausahaan
Mitigasi oleh Masyarakat
1.
Konservasi hutan untuk menahan laju awan panas,
menyimpan air, mengurangi erosi.
2.
Mengadakan sistem peringatan dini seperti tanda
bahaya merapi, alat komunikasi elektronik dan tradisional.
3.
Perbaikan jalur evakuasi secara swadaya maupun
bersama pihak lain.
Kesiapsiagaan
1.
Perngorganisasian masyarakat tanggap Merapi
melalui kelembagaan sosial di tingkat RT, RW, dan Dusun.
2.
Membuat media kampanye DRR seperti leaflet, panflet, media belajar untuk
anak.
3.
Simulasi evakuasi dan P3K.
4.
Melakukan pemutakhiran data penduduk secara
rutin.
5.
Membuat peta risiko bencana dan jalur evakuasi.
6.
Menyusun standar prosedur penanganan bencana.
Membangun Sistem Peringatan Dini
1.
Merancang standar prosedur operasi peringatan
dini.
2.
Menyepakati tanda-tanda bahaya Merapi
berdasarkan pengetahuan lokal dan teknologi.
3.
Mengadakan sarana komunikasi untuk peringatan
terjadinya bencana seperti menara siar, pengeras suara, dan handy talky.
Mengembangkan Jaringan
1.
Kerjasama dengan Kesbanglinmas.
2.
Kerjasama dengan Palang Merah Indonesia.
3.
Kerjasama dengan Forum Merapi.
4.
Kerjasama dengan Dinas Pertanian.
5.
Kerjasama dengan Plan Internasional.
PRB Sebagai Bagian dari Pembangunan Desa Margomulyo
1.
Integrasi, sinkronisasi, dan sinergi upaya PRB
dalam kegiatan pembangunan Desa.
2.
Disahkannya Peraturan Desa berkaitan dengan
pengurangan risiko bencana dalam Perdes Tata Kelola Lingkungan.
3.
Mengalokasikan Dana Desa untuk pengurangan
risiko bencana.
Praktik-Praktik Terbaik
1.
Adanya peningkatan pengetahuan dan ketrampilan
masyarakat tentang PRB dengan menggabungkan kearifan lokal dengan teknologi
yang ada.
2.
Dukungan dari pemerintah Desa sampai Kabupaten
terhadap Program PRB.
3.
Forum PRB menjadi bagian dari kelembagaan
tingkat desa dalam upaya PRB.
4.
Kerjasama dengan berbagai pemangku kepentingan
dalam upaya PRB.
Rencana Ke Depan
1.
PRB menjadi bagian penting dalam kegiatan
perencanaan pembangunan melalui Musrengbangdes dan pengalokasian Dana melalui
ADD.
2.
Pengembangan Desa menjadi Desa Ekowisata sebagai
upaya penggalangan dana untuk kegiatan PRB.
3.
Upaya pengembangan jaringan yang lebih luas.
4.
Penyusunan Protap Kebencanaan menjadi bagian
penting untuk kesiapsiagaan.
Forum Pengurangan
Risiko Bencana Pucung, Desa Wukirsari, Kecamatan Imogiri, Kabupaten Bantul,
Daerah Istimewa Yogyakarta
Gambaran Umum Desa Wukirsari
Desa Wukirsari, Kecamatan Imogiri memiliki luas 1.538,5505
ha yang berbatasan dengan Kecamatan Pleret dan Jetis di sebelah utara, Desa
Girirejo Kecamatan Kecamatan Dlingo di sebelah barat dan Timur. Kondisi geografis Desa Wukirsaridi ketinggian
50—300 MDPL dengan curah hujn 55 mm/tahun, sedangkan topografi adalah
pegunungan dengan suhu rata-rata 27 derajat celcius. Jarak desa dengan Ibukota Kecamatan kurang
lebih 3 Km, sedangkan ke Ibukota Kabupaten Bantul berjarak 10 Km, sedangkan
dengan Ibukota Provinsi berjarak kurang lebih 17 Km. Peruntukan lahan di Desa Wukirsari: untuk
sawah dan ladang 815,7415 ha, pemukiman 514,4775 ha, kuburan 10,001 ha, dan
lain-lain 266,556 ha. Jumlah penduduk
14.806 yang terdiri dari 7.288 laki-laki dan 7.518 perempuan dengan 3.509
kepala keluarga. Penganut agama terbesar
adalah Islam sejumlah 98%.
Latar Belakang
Refleksi dari Gempa Bumi Jogja 27 Mei 2006. Masyarakat tidak siap menghadapi bencana
sehingga banyak jatuh korban dan kebingungan dalam mencari bantuan. Akibanya, penanganan tanggap darurat lambat,
koordinasi kurang baik selama masa bencana.
Setelah bencana terjadi permasalah sosial seperti kesenjangan sosial dan
ketidakstabilan ekonomi.
Potensi Ancaman Bencana
Selain Gempa Bumi (berada di dekat cincin gempa), Desa
Wukirsari juga sering dilanda banjir di Daerah Aliran Sungai, kekeringan di
setiap kemarau, longsor di perbukitan, angin puting beliung, dan kesenjangan
sumberdaya manusia.
Aksi yang Dilakukan
1. Pembentukan Forum
Dibentuk pada Oktober 2007 dengan anggota
35 orang (26 laki-laki dan 9 perempuan).
Target atau sasaran adalah 4 Dukuh: (1) Dengkeng: 288 KK; (2) Karang
Talun: 412 KK; (3) Karang Asem: 324 KK; (4) Jatirejo: 464 KK.
2. Pendataan Risiko, Ancaman, Kerentanan, dan
Kekuatan
(1)
Mapping atau
pemetaan risiko bencana; (2) Transect atau
penelusuran kawasan; (3) Trend atau
bagan kecenderungan; (4) Diagram Venn; (5) Sketsa usaha; (6) kegiatan rutin
atau aktivitas harian masyarakat; (7) peringkat pilihan; (8) peta mobilitas;
(9) matriks langsung; (10) diagram alir.
3. Menyusun Peta Risiko Bencana
4. Transek
5. Sosialisasi, Koordinasi, dan Evaluasi
6. Peningkatan Kapasitas SDM
Pelatihan-pelatihan: (1) teknis operasional;
(2) manajemen organisasi; (3) manajemen keuangan; (4) ekonomi rumah tangga dan
wirausaha kecil. Konsultasi teknis
dengan: (1) water plan UGM; (2) PUPUK
Caritas Swiss; (3) Saker PKPAM DIY; (4) Cipta Karya Bantul; (5) PT WIKA.
Upaya Mitigasi Bencana
Inisiatif masyarakat yang didukung oleh para pemangku
kepentingan.
1.
Longsor: reboisasi, penbangketan, dan
terasiring.
2.
Banjir: kawat bronjong, pembersihan aluran air
dan selokan.
3.
Gempa Bumi: kontruksi bangunan tahan gempa,
jalur evakuasi, pelatihan sistem evakuasi dan P3K.
Prioritas Aksi
Setelah diadakan pemetaan dan evaluasi koordinasi,
diputuskan bahwa yang paling awal harus diatasi adalah ancaman kekeringan. Wukirsari memiliki sumber air dan telah
dibangun jaringan air bersih oleh pemerintah pada tahun 2003. Tetapi, karena pengelolaan yang kurang baik
dan gempa tahun 2006, sumber air tidak terawat dan kerusakan yang parah. Sehingga, diputuskan untuk revitalisasi
sumber air.
Mitigasi Kekeringan
Mengapa kekeringan dijadikan prioritas utama? Karena (1)
kekeringan melanda setiap tahun; (2) ada sumber air dengan debit yang memadai; (3) ada alat berupa pompa dan
perlengkapan distribusi dengan teknologi yang cukup canggih; (4) adanya
dukungan dari warga, pemerintah, maupun swasta.
Langkah-langkah mitigasi yang dilakukan adalah sebagai berikut:
1. Sumberdaya
(1)
Sumber mata air dengan debit 20 liter perdetik;
(2)
Tersedianya genset, pompa booster &
resevoir;
(3)
Adanya sistem transmisi dan distribusi;
(4)
Adanya bak booster dengan kapasitas 20 meter
kubik;
(5)
Adanya bak reservoir induk dengan kapasitas 100
meter kubik;
(6)
Adanya 20
hidran umum dengan kapasitas 3 meter kubik;
(7)
Jaringan perpipaan untuk sebagian Dukuh
Dengkeng, Karang Talun, Karang Asem, dan Jatirejo, serta Nogosari sepanjang
12.800 meter;
(8)
Jaringan pemakai atau pemanfaat sebanyakn 611 KK
dengan masing-masing water meter.
2. Dasar Pengelolaan
(1)
Surat dari Dinas Pemukiman dan Prasarana Wilayah
Dirjen Sumber Daya Air – Proyek PPAB DIY Nomer 3.91.PAB/180.A tanggal 27 Juli
2004 tentang Penyerahan Pengelolaan Fasilitas Sumur dan Jaringan Sumber Air
Bersih Pedesaan Wukirsari.
(2)
Surat Keputusan Desa Wukirsari Nomor 1/KPTS/2008
jo Perdes Nomor 06/Perdes/Wks/2008 tentang Penunjukkan Pengelola Air Bersih
Wilayah Pucung Desa Wukirsari.
(3)
Surat Penyerahan Pengelolaan Sipas Karang Talun
Nomor 530/TAM/DIY.12.08 tanggal 27 Desember 2007.
3. Langkah-Langkah yang Dilakukan
(1)
Inventarisasi aset berupa sistem pompa, bak
reservoir, pemipaan, dan aksesoris.
(2)
Identifikasi kerusakan.
(3)
Uji coba.
(4)
Perencanaan pengelolaan atau manajemen.
(5)
Legal formal.
(6)
Perencanaan dan pelaksanaan perbaikan.
(7)
Penggalangan jaringan.
(8)
Sosialisasi.
4. Pengelolaan
(1)
Pengeloaan air bersih di Pucung adalah dengan
sistem pompa ke bak reservoir kemudian didistribusikan dengan gaya gravitasi.
(2)
Masyarakat berkontribusi dalam membayar biaya
pasang baru, iuran bulanan, dan pemakaian.
(3)
Masyarakat ikut merawat dan mengawasi aset dan
peralatan.
5. Upaya Perbaikan Secara Swadaya
(1)
Pembenahan jaringan sambung ke Karang Talun,
Jatirejo, Dengkeng, dan Karang Asem.
(2)
Penggabungan pompa listrik dan genset.
(3)
Pembuatan data
base pelanggan yang mutakhir.
(4)
Perancangan sistem administrasi yang akuntabel.
(5)
Penggalangan bantuan dari pemangku kepentingan.
(6)
Pemeriksaan instalasi sambung rumah tangga dan
fasilitas umum.
(7)
Penambahan jaringan di Karang Talun.
(8)
Penurunan tarif perkubik.
(9)
Penentuan biaya beban.
(10)Perbaikan mesin genset.
(11)Perbaikan jaringan induk
dan sekunder.
(12)Pengadaan alat komunikasi
antar pengelola.
6. Perbaikan oleh Pemangku Kepentingan
(1)
Penambahan sistem penyediaan air bersih
sederhana oleh Disperindagkop DIY.
(2)
Perluasan jaringan oleh CWS Indonesia.
(3)
Perbaikan genset dan saluran induk oleh PPAB
DIY.
(4)
Perluasan jaringan oleh Sakter PKPAM DIY.
(5)
Perbaikan jaringan oleh CORDAID/Bina Swadaya.
(6)
Pemetaan jaringan dan gambar teknis pengembangan
oleh Water Plan UGM.
(7)
Bimbingan teknis oleh Caritas Swiss.
(8)
Perluasan jaringan oleh Cipta Karya Kabupaten
Bantul.
Peran FPRB dalam Meningkatkan Kapasitas Masyarakat
Pemahaman untuk masyarakat tentang PRB atau Sistem DRR
dengan bahasa yang mudah dan dikenal masyarakat. Sosialisasi dan pelatihan evakuasi bagi anak
sekolah.
1. Advokasi Pemerintah Desa
PRB menjadi bagian dari pembangunan desa
yang ditetapkan melalui Perdes Nomor 06/PD/WKS/2009 tentang Penanggulangan
Bencana. Ditetapkan pada tanggal 30
Maret 2009.
2. Aksi-Aksi yang Lain
(1)
Sosialisasi PRB tingkat RT se-Desa Wukirsari
bersama CBO-CWS Indonesia.
(2)
Kontributor perencanaan dan ujicoba Tools PASTI
atau alat pengukur kesiapsiagaan masyarakat terhadap bencana bersama
HFI-Unesco-MDMC-ISDR.
(3)
Monitoring
dan evaluasi TAGANA bersama dengan Dirjen Litbang Depsos RI.
(4)
Dropping
air bersih bersama TAGANA, Dinsos, dan Cipta Karya DIY.
(5)
Perumusan CSP Desa Wukirsari bersama
IRF-Rekompak.
(6)
Perencanaan, penyusunan, dan pengesahan Perdes
PB Desa Wukirsari.
(7)
Studi banding SKS dan YPK Nagro Aceh Darussalam.
(8)
Studi banding Lembaga Alam Tropika Indonesia
(LATIN) Bogor.
(9)
Kontribusi penyusunan Modul Pembinaan Air Minum
Non PDAM oleh Dirjen BPPSPAM DepPU RI.
(10)Peserta studi banding GTZ
tentang pengelolaan dan penanggulangan bencana tsunami di Kabupaten Bantul,
Kebumen, dan Cilacap.
Membangun Kerjasama dan Pembelajaran
Bekerjasama dengan para pemangku kepentingan baik Pemerintah
Daerah Kabupaten Bantul, Pemerintah Provinsi DIY, Kementerian RI, Perguruan
Tinggi, Lembaga Lokal, Lembaga Internasional, dan Badan di bawah Perserikatan
Bangsa-Bangsa.
Manfaat FPRB
1.
Meningkatnya kemampuan mengelola keuangan PAB
dan analisis arus kas.
2.
Adanya pendelegasian tugas dan wewenang.
3.
Anak-anak faham dan siapsiaga.
4.
Meingkatnya pengetahuan dan ketrampilan.
5.
Tersedianya tenaga-tenaga kader.
6.
Adanya keberlanjutan di tingkat CBO Desa
wukirsari.
7.
Meningatknya Kahlian teknis fasilitasi peserta.
8.
Meningkatnya kemampuan penggalangan dana dan
membangun jaringan.
9.
Meningkatnya pengetahuan tentang kalkulasi
usaha, peternakan, dan tambahan penghasilan.
10.
Meningkatnya pengetahuan pengenalan alat-alat
standar, sistem operasi, cara perawatan, penanganan darurat, teknik alternatif
untuk Pengelolaan Air Bersih.
11.
Mengingkatnya kemampuan menghitung dan mengukur
teknis pengembangan jaringan air bersih dan kekuatan pipa.
Tantangan FPRB
1.
Konsep
yang berbeda-beda dari beberapa narasumber terkadang menjadikan peserta
binggung.
2.
Kurang menjangkau secara luas karena peserta
pelatihan hanya perwakilan.
3.
Belum bisa mempraktekkan secara maksimal hasil
pelatihan.
4.
Pelatihan untuk anak-anak dilakukan secara masal
sehingga kurang konsentrasi.
5.
Waktu pelaksanaan pelatihan P3K dan evaluasi
terlalu banyak teori dan kurang praktek.
6.
Pelibatan sumberdaya manusia yang tepat dan
memiliki waktu.
7.
Peserta condong ke arah masalah komunitas
(kekeringan) saja.
Rencana Ke Depan FPRB
1.
Melakukan sosialisasi melalui Radio Komunitas,
media poster, dan dari rumah ke rumah.
2.
Simulasi evakuasi.
3.
Sistem peringatan dini dan koordinasi dengan
Kesbanglinmas.
4.
Melakukan usaha bersama untuk penggalangan dana.
5.
Dokumentasi kegiatan dan pengelolaan
administrasi.
6.
Melakukan study untuk manajemen forum yang
bergerak di wilayah dengan ancaman gempa bumi dan kekeringan.
7.
Menyusun dan memaksimalkan kesiapsiagaan bencana
(SOP FPRB).
8.
Adanya pelatihan bagi anak-anak, menyiapkan
fasilitator anak-anak, dan teman sebaya unntuk mendorong anak-anak melakukan
sosialisasi di keluarga dan teman.
9.
Mulok PAUD, mengaitkan lingkungan bersih dan
pola hidup sehat sebagai PRB.
10.
Mengefektifikan peserta pelatihan untuk
melakukan sosialisasi PRB.
11.
Mengintegrasikan PRB dengan program desa.
12.
Menumbuhkan sektor agribisnis.
13.
PRB menambah pengetahuan dan peralatan,
pelatihan teknis, memperluas jaringan, dan mendapat alternatif energi
alternatif.
Warta Disaster Risk Reduction CORDAID – Bina
Swadaya
Partisipasi Masyarakat Mewujudkan Ketahanan Bencana
Usai bencana gempa bumi yang disusul dengan tsunami Aceh
2005, silih berganti kita disadarkan oleh berbagai bencana alam. Seperti Gempa Nias, Jogjakarta, Papua,
Tasikmalaya, dan Padang yang meninggalkan dampak kerusakan yang parah dan
bahkan kematian yang sangat besar. Oleh
karena itu, selian kegiatan tanggap darurat, rehabilitasi, dan rekonstruksi,
upaya Pengurangan Risiko Bencana (PRB) menjadi hal penting yang harus dilakukan
untuk meminimalisir dampak bencana.
Partisipasi untuk Meningkatkan Keberdayaan Masyarakat
Peristiwa gempa bumi yang melanda Yogyakarta dan Jawa Tengah
pada bulan mei 2006 telah membuka kesadaran Bina Swadaya, bahwa selama ini
pendampingan masyarakat berfokus pada peningkatan kualitas hidup dan
peningkatan pendapatan telah mengabaikan faktor risiko bencana. Kemandirian kelompok masyarakat secara sosial
dan ekonomi yang telah dicapai menjadi luluh lantak karena masyarakat tidak
siap menghadapi dampak bencana.
Bina Swadaya dan Cordaid bekerja bersama masyarakat
melaksanakan program Pengurangan Risiko bencana Berbasis masyarakat (Community Managed Disaster Rsik Redusction)
di Dusun Pucung Kabupaten Bantul Yogyakarta, Dusun Gajihan Kabupaten Klaten
Jawa Tengah, dan Desa Ngargomulyo Kabupaten Magelang Jawa Tengah. Ancaman bencana yang dihadapi Dusun Pucung
adalah kekeringan dan gempa bumi, Dusun Gajihan adalah gempa bumi, dan Desa
Ngargomulyo adalah erupsi Gunung Merapi.
Pengurangan Risiko Bencana Berbasis Masyarakat (PRBBM)
dimaknai sebagai suatu proses pemberdayaan komunitas melalui pengalaman menghadapi
dan mengatasi bencana yang bertumpu pada kegiatan partisipatif. Kegiatan partisipatif yang dimaksud adalah
melakukan kajian, membuat perencanaan, mengorganisir masyarakat untuk memberuk
Forum PRB yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan untuk menanggulangi
bencana sebelum, saat, dan sesudah terjadi bencana.
Sasaran Progam PRB adalah perubahan pola pikir dan ketahanan
masyarakat terhadap bencana. Fokus utama partisipasi masayrakat adalah
menumbuhkan, membangkitkan jiwa atau semangat masyarakat bahwa mereka memiliki
kemampuan atau kapasitas dalam menanggulangi dan mengurangi risiko bencana.
Kapasitas tersebut ditunjukkan dengan melakukan identifikasi
dan analis risiko bencana hingga menghasilkan suatu rencana aksi
masyarakat. Berdasarkan rencana aksi
tersebut, masyarakat melaksanakan kegiatan pendidikan kebencanaan dan
pembelajaran sosial yang berkesinambungan, mitigasi bencana, kesiapsiagaan,
membangun sistem peringatan dini, belajar, dan bekerjasama dengan berbagai
pemangku kepentingan untuk mencari solusi pemecahan masalah. Selanjutnya,
melakukan advokasi kepada pemerintah untuk mendorong perubahan institusi lokal
dan kebijakan publik yang memengaruhi kehidupan mereka. Serta mengintegrasikan kegiatan peningkatan
mata pencarian (livelihood) yang tidak
hanya memberi manfaat ekonomi tetapi juga menjaga kelestarian lingkungan.
Forum PRB Sebagai Agen Perubahan
Berangkat dari keterbatasan yang dimiliki masyarakat
terdampak bencana, maka pendampingan pemberdayaan tidak menyeret masyarakat
dalam ketergantungan yang akan melestarikan keterpurukan. Strategi yang paling relevan adlah membentuk
wahana dairi – oleh – untuk masyarakat, wahana yang memberi kesempatan untuk
saling membantu dan berkembang tanpa menutup kemungkinan keterlibatan pihak
luar. Dalam program PRB, wahana
tersebut adalah Forum PRB. FPRB
merupakan agen utama penggerak kegiatan PRB di setiap dusun dan desa. Penggurus dan anggota FPRB adalah
individu-individu yang memiliki kepedulian dan memilii berbagai peran di
desanya. Baik tokoh masyarakat, tokoh
agaman, tokoh pemuda, pendidik, petugas lapangan, bidan, anggota PKK, pedagang,
pengrajin, aparat pemerintah desa, dan berbagai peran lainnya.
Saat ini FPRB bersama masyarakat dan para pemangku
kepentingan mulai menampakkan perubahan dengan capaian-capaian signifikan. Pemahaman masyarakat terhadap PRB di lokasi
dampingan nampak meningkat. Capaian ini
dicapai dengan proses sosialisasi dan pelatihan yang terus menerus hingga
akhirnya masyarakat mulai dapat melihat potensi dan kapasitas yang dimililiknya
dan siap mengurangi risiko bencana.
Anggota FPRB dan pendamping juga mendorong partisipasi masyarakat dalam
kegiatan FPRB baik dalam bentuk tenaga maupun dana untuk menciptakan rasa
memiliki. Selanjutnya, diharapkan
masyarakat dapat mengembangkan program PRB sebagai inisiatif sendiri dan
swadaya.
Sebagai contoh, FPRB Dusun Pucung Kabupaten Bantul telah
dapay mengupayakan perbaikan dan pembangunan jaringan air bersih secara
mandiri. Dengan bantuan dari Cordaid,
FPRB berinisiatif melakukan pengerasan jalan antar dusun untuk jalur
evakuasi. FPRB telah juga dapat mengajak
dinsa-dinas di Kabupaten Bantul dan Provinsi DIY serta lembaga-lembaga lain dan
masyarakat untuk berpartisipasi dalam bentuk pengetahuan, materi, dan
tenaga. Demikian pula dalam pembangunan
infrastruktur, pendanaan dari Pemerintah dan Lembaga sedangkan pengerjaan oleh
masyarakat sendiri, termasuk perawatan yang dilakukan secara mandiri.
Sementara itu, FPRB Desa Ngargomulyo Kabupaten Magelang
secara teratur melakukan koordinasi dengan Pemerintah Desa untuk menyampaikan
perkembangan terbaru PRB dan kegiatan FPRB.
Sebagai hasilnya, Pemerintah Desa telah menjadikan FPRB sebagai mitra
kerja dalam perencanaan pembangunan desa yang berbasis PRB serta sinergitas
dengan berbgai lembaga desa untuk menggelorakan isu PRB.
Ketika terjadi gempa bumi pada Mei 2006, banyak warga Dusun
Gajihan Kabupaten Klaten yang tidak tahu mengenai jalur evakuasi, titik kumpul,
dan tempat pengungsian. Para pengungsi
memanfaatkan lapangan olahraga untuk tempat pengungsian, tetapi tanpa fasilitas
yang memadai. Sebagai akibatnya, banyak
pengungsi yang menderita sakit. Belajar
dari pengalaman tersebut, FPRB bersama Pemerintah Desa merancang jalur evakuasi
dan memasang rambu jalur evakuasi di semblian lokasi. Jalur dan rambu evakuasi bukan hanya
mengarahkan warga ke pos pengungsian tetapi juga ke pos pengobatan
terdekat. Terdapat tiga pos pengobatan
yang ditentukan sebagai pos pertolongan pertama. Lokasi pengungsian disiapkan di lapangan olah
raga dan dekat dengan sumber-sumber air.
Bermodalkan dana stimulan, FPRB membeli tenda untuk pengungsian dan alat
komunikasi. Masyarakat telah faham
tentang kesiapsiagaan bencana dan berkomitmen untuk merawat fasilitas yang ada
secara swadaya dan gotong royong.
Kemandirian
Dengan terlibat aktif di FPRB, masyarakat semakin menyadari
ancaman bencana di daerahnya. Di sisi
lain, tumbuh kesadaran untuk menemukan jawaban mengatasi ancaman tersebut
berdasarkan kemampuan dan potensi yang dimiliki. Jawaban tersebut kemudian diwujudkan secara
nyata, sehingga tumbuh kekuatan dan kemandirian dalam menghadapi bencana. Proses menuju kemandirian juga dalam hal
manajemen. FPRB telah memiliki kemampuan
otonom untuk mengembangkan diri dan mengelola kegiatan baik di tingkat dusun
maupun desa. Kemandirian ekonomi juga
mulai diperoleh dengan berbagai kegiatan produktif untuk memenuhi kebutuhan
dasar, cadangan, dan mekanisme bertahan hidup di masa krisis.
Perjalanan Pembuatan Perdes Pengurangan Risiko Bencana: Ayat-Ayat
Penangulangan Bencana
Mengacu pada Rerangka Aksi Hyogo, Indonesia sebagai bagian
dari masyarakat dunia telah berkomitmen untuk melaksanakan pengurangan risiko
bencana. Tindakan nyata itu diwujudkan
dengan mengesahkan Undang-Undang Nomor 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Undang-Undang yang menjadi landasan dan
sistem hukum nasional dalam penanggulangan bencana di Indonesia dan untuk
penyusunan dan penetapan peraturan di bawahnya.
Hal ini memberi inspirasi bagi FPRB dalam mendorong
pembuatan kebijakan publik di tingkat desa.
FPRB melakukan lobi dan advokasi agar Pemerintah Desa merancang dan
mengesahkan Peraturan Desa (Perdes) tentang PRB yang memunyai dampak bagi
masyarakat luas. Perdes adalah peraturan perundang-undangan yang ditetapkan
oleh Kepala Desa (Kades) bersama dengan Bapan Permusyawaratan Desa (BPD). Masyarakat berhak dan bahkan wajib untuk
memberikan masukan lisan maupun tertulis saat penyiapan atau perancangan
Perdes. Oleh karena itu, isi Perdes
ditentukan oleh keinginan dan partisipasi masyarakat. Perdes ditetapkan berdasarkan musyarawarah.
Secara umum, pembuatan Perdes harus memenuhi 3 syarat,
filosofis, sosiologis, dan hukum. Syarat
filosofis berkaitan dengan norma yang ada di masyarakat. Syarat sosiologis berkaitan dengan kebutuhan
masyarakat. Syarat hukum berkiatan
dengan peraturan di atasnya. Berikut
jalan cerita penyusunan Perdes di Desa Wukirsari, Kecamatan Imogiri, Kabupaten
Bantul, provinsi DIY dan Desa Margomulyo, Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang,
Provinsi Jawa Tengah.
Berawal dari kekeringan
FPRB Pucung – Wukirsari, khususnya Divisi Kekeringan sejak
awal menyadari kebutuhan adanya Peraturan Desa terkait dengan pengadaan air bersih.
FPRB menita dukungan Pemerintah Desa dan ditanggapi baik dengan
mengeluarkan Surat Keputusan yang menyatakan bahwa kegiatan Divisi Kekeringan
FPRB dilakukan dengan sepengatahuan desa dan untuk membantu Pemerintah Desa
dalam mengatasi kekeringan.
Di sisi lain, dalam menjalankan fungsi dan perannya yang
lebih luas, FPRB membutuhkan legalitas dari Pemerintah Desa sebagai payung hukum untukmelaksanakan
kegiatan yang telah direncanakan. Bentuk
legalitas yang diperlukan adalah Peraturan Desa (Perdes) tentang Penanggulangan
Bencana.
Untuk mencapai disahkannya Perdes tersebut, harus melewati
bebrapa tahapan proses. Tahap pertama, diseminasi pemahama mengenai Pengurangan
Risiko Bencana (PRB). Tahap kedua,
penyusunan draft Perdes. Tahap ketiga, pembahasan draft untuk menjadi rancangan Perdes. Tahap keempat, pembahasan serta pengesahan
rancangan Perdes menjadi Perdes. Keseluruhan proses memakan waktu lima bulan.
Selama dua bulan pertama dipergunakan untuk proses
diseminasi baik kepada Pemerintah Desa maupun masyarakat. Diseminasi dilakukan baik secara formal
maupun informal. Secara informasl
dilakukan dengan curah pendapat dan diskusi dengan masyarakat, tokoh
masyarakat, dan Pemerintah Desa di forum-forum informal. Meskipun informal, tetapi tidak semudah yang
dibayangkan. Diperlukan usaha-usaha yang
terus menerus, tak kenal lelah, dan kesabaran tingkat tinggi. Apalagi tidak mudah untuk mencari waktu dan
topik yang sesuai untuk membicarakan isu PRB.
Begitu pula dengan pada pertemuan-pertemuan formal. Pembahasan pembuatan Perdes terhambat dan
dikesampingkan karena ada hal-hal lain yang dianggap lebih penting.
Setalah proses diseminasi, Pengurus FPRB telah mendapat
banyak informasi yang mendukung perancangan Perdes. Seperti informasi tentang keinginan
masyarakat dan Pemerintah Desa, wujud nyatanya, tanggung jawab dan kewenangan
masing-masing pihak, dan berbagai hal lain.
Berbagai informasi tersebut dijadikan dasar penyusunan naskah akademik
dan konsep Perdes PB. Selanjutnya,
pendamping menawarkan dan mendiskusikan
naskah dan konsep dengan Pengurus FPRB, kemudian diajukan ke Pemerintah Desa
dan BPD untuk dikaji. Tujuan kajian
untuk memastikan terpenuhinya kebutuhan semua pihak. Sehingga, dalam pelaksanaannya dapat
memberikan manfaat pada masyarakat luas.
FPRB, Pemerintah Desa, BPD secara terpisah mengaji konsep
Perdes, kemudian mendiskusikannya secara pleno.
Hasil diskusi pleno menjadi acuan pembuatan draft awal Perdes.
Diperlukan waktu dua minggu untuk membuat draft. Selanjutnya, draft dikaji kembali oleh masing-masing
pihak terkait, lalu diplenokan untuk memperoleh kesepakatan tentang rancangan
Perdes. Raperdes kemudian diberikan
kepada semua pihak yang terlibat untuk dipelajari, dipahami, dan dikoreksi
secara menyeluruh. Raperdes yang terdiri
dari 13 bab, 73 Pasal, dan 92 Ayat dan setiap kalimat dan kata dibahas secara
detail oleh seluruh pihak terkait. Proses yang membutuhkan waktu dua bulan.
Tiba saatnya pembahasan Raperdes secara pleno. Pembahasan dilakukan pada hari Senin, 30
Maret 2009 di Kantor Desa Wukirsari dan dihadiri oleh 17 orang anggota BPD, 6
orang Pemerintah Desa, 2 orang dari FPRB dan 2 orang pendamping dari Bina
Swadaya. Ketua BPD memimpin pembahasan,
satu persatu Bab, Pasal, dan Ayat dibahas sehingga disepakati adanya beberapa
perubahan. Setelah hasil revisi
dibacakan ulang oleh notulis, Kepala Desa menyatakan bahwa Raperdes dapat disahkan
dan dipergunakan sebagai acuan dalam kegiatan PRB dan koordinasinya. Ketua BPD mendukung dan menyetujui Raperdes
untuk disahkan dan diberlakukan.
Perarutan Desa Wukirsari Nomor 06/PD/WKS/2009 tentang Penanggulangan
Bencana disahkan dan ditandatangi pada pukul 15.40.
Dengan disahkan dan terbitnya Perdes Wukirsari tentang
Penganggulangan Bencana, FPRB Pucung telah berperan dengan optimal serta dapat
melaksanakan kegiatannya dengan lebih peraya diri. Disampin itu, kerja FPRB dengan Pemerintah
Desa Wukirsari dapat terkoordinir dengan lebih baik untuk pengurangan risiko
bencana demi kepentingan masyarakat.
Mengelolah Lingkungan Mencegah Ancaman Bencana
Ketika Bapak Yatin menjabat sebagai Kepala Desa pada tahun
2007, beliau membentuk tim yang tujuannya untuk menggali gagasan dan masukan
dari masyarakat untuk pembangunan desa ke depan. Tim tersebut terdiri dari tokoh masyarakat,
tokoh agama, BPD, unsur pemerintah, dan masyarakat. Dari tim tersebut diperoleh berbagai gagasan dan persoalan desa
mulai dari tingkat RT, RW, Dusun, hingga Desa.
Salah satu gagasan yang muncul dari masyarkat adalah masalah
kelestarian alam dan lingkungan yang tidak terjaga dan mengancam kehidupan
masyarakat karena akan berpotensi menjadi bencana. Masyarakat sangat menyadari penanggulangan
bencana erat kaitannya dengan keberadaan dan kelestarian sumberdaya alam dan
lingkungan hidup seperti hutan, air, bebatuan, pasir, dan berbagai elemen alam
lainnya. Berbagai gagasan dan masalah
yang lain dibahas dan didiskusikan untuk disusun skala prioritas untuk
selanjutnya disusunkan Peraturan Desa, diawali dengan Raperdes tentunya.
Raperdes yang telah disusun disampaikan dan dikonsultasikan
dengan Pemerintah Kabutapen Magelang untuk dikaji lebih lanjut dan mendapatkan
persetujuan. Berdasarkan hasil kajian
dari Pemerintah Kabupaten Magelang, salah satu Raperdes yang dapat dilanjutkan
adalah Raperdes Tata Kelola Lingkungan.
Raperdes tersebut kemudian disosialisasikan ke FPRB dan masyarakat untuk
dipertajam hingga Raperdes sarat dengan muatan PRB.
Selanjutnya, Raperdes yang telah direvisi dikirimkan kembali
ke Pemerintah Kabupaten Magelang untuk dikaji kelayakan yuridisnya baik secara
hukum, lingkungan hidup, pertambangan, dan sumberdaya alamnya. Setelah dikaji, Raperdes tersebut
dikembalikan ke Desa untuk disosialisasikan dan setelahnya dilakukan pengesahan
oleh Kepala Desa.
Walaupun telah disosialisasikan beruangkali, tetap saja ada
kontroversi dan ketidaksetujuan dari beberapa pihak. Proses dan dinamika yang biasa, karena
kekurangan pahaman yang akan dijelaskan lebih lanjut dalam Petunjuk Pelaksanaan
(Juklak) dan Petunjuk Teknis (Juknis). Tujuan
Perdes adalah untuk mengelola lingkungan hidup dan kelestarian alam demi kesejahteraan
masyarakat yang lestari dan mengurangi risiko bencana harus terus disosialisasikan
dan digelorakan.
REFERENSI
Forum
Pengurangan Risiko Bencana Desa Ngargomulyo. 2009. Pembelajaran Baik (Lesson
Learn).
Forum
Pengurangan Risiko Bencana Dukuh Gajihan, Kecamatan Wedi, Kabupaten Klaten,
Jawa Tengah. 2009. Pembelajaran Baik (Lesson Learn).
Forum
Pengurangan Risiko Bencana Pucung, Desa Wukirsari, Kecamatan Imogiri, Kabupaten
Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. 2009. Refleksi
Mengenai Berbagai Kesuksesan, Tantangan, Pembelajaran, dan Kesempatan dalam
Program PRBOM.
Kesbangpollinmas
Kabupaten Bantul. 2009. Upaya Kabupaten Bantul Dalam Program
Pengurangan Risiko Bencana Gempa dan Tsunami.
Masyarakat
Peduli Bencana Indonesia. 2008. Pedoman
PRBBK, SCDRR, dan CBDRMNU.
Paripurno, E.T.
2006. Pengelolaan Risiko Bencana oleh Komunitas. PSMB UPN Veteran
Yogyakarta.
Paripurno, E.T.
2008. Laporan Baseline Study Pengelolaan Risiko Bencana Berbasis Komunitas (PRBBK)
pada 4 Kabupaten.
Paripurno, E.T.
2009. Community Based Disaster Risk
Management (CBDRM) untuk Semua.
Warta DRR
Cordaid – Bina Swadaya. Edisi 02/3 – 2009.