Daniel S. Stephanus
Balai Rakyat Korban Lumpur Lapindo
Pokja Masyarakat Sadar Bencana
Rakyat Berdaya dan Siaga (RABERDASI)
Daftar
Isi
Pengantar
1.
Lapindo Brantas Inc.
2.
Kronologi
Pembebasan Tanah
Ledakan Bawah Tanah
Pengungsi Gelombang I
3.
Pelanggaran Hukum
Pertanggungjawaban Hukum dan Politik
Pertanggungjawaban Perdata
Pertanggungjawaban Pidana
Pertanggungjawaban Politik
Kejahatan Korporasi
4.
Dampak dan Kerusakan Lingkungan
Kerusakan Linkungan
Kelaut: Menyelesaikan Masalah
dengan Bencana
5.
Dampak Ekonomi, Sosial dan Budaya
Ekonomi, Sosial dan Budaya
Perempuan dan Anak
Hak Perempuan
Hak Anak
Transportasi dan Ekonomi Jawa Timur
Fasilitas Umum dan Fasilitas Negara
6.
Penanggulangan Teknis
Peran TNI
Snubbing Unit
Relief Well
Penanggulan
7.
Ledakan Pipa Gas
Korban Ledakan
Pengungsi Gelombang II
Kesengajaan Menenggelamkan Kawasan Pemukiman Oleh Warga Sendiri
Penanggulan Setengah hati
8.
Ganti Rugi
Relokasi Sementara
Relokasi Permanen (Rekomendasi Pemerintah)
Ganti Rugi Rumah dan Tanah (Cash
and Carry)
9.
Tuntutan Rakyat
10. Rekomendasi-Rekomendasi
Penanganan Teknis
Penanganan Masalah Sosial
11. Lampiran Data dan
Fakta
Data Korban Per 02 Februari 2007
Data Pengungsi
Data Perawatan Korban
Lahan/Tanaman/Ternak
Bangunan
Infrastruktur
Catatan Kecil
Kejanggalan-Kejanggalan
Pengamanan Seperti Daerah
Konflik
Keganjilan-Keganjilan di
Seputar Kasus Banjir Lumpur Lapindo
Sekilas Data dan Fakta per 09
Oktober 2006
Catatan-Catatan
Kronologoi Penanganan Banjir Lumpur Lapindi di Porong
Pengantar
Tragedi banjir lumpur lapindo saat ini (per 02 Februari 2007) telah
menenggelamkan 9 desa dari 3 kecamatan di kabupaten sidoarjo (Renokenongo,
Siring, Jatirejo Kec. Porong; Kedungbendo, Ketapang, Kalitengah Kec.
Tanggulangin; dan Pejarakan, Besuki, Kedungcangkring Kec Jabon). Desa yang hilang tenggelam di bawah lumpur
adalah desa Renokenongo, Jatirejo, Siring, Kedungbendo dan Ketapang (timur),
sedangkan desa-desa lain masih dapat terlihat atau hanya tenggelam
persawahannya.
Tragedi banjir lumpur lapindo telah mengakibatkan 7.716 kepala
keluarga atau 28.617 jiwa mengungsi (terusir) dari rumah mereka. Pengungsian terdiri dari 2 gelombang,
gelombang pertama terjadi akibat banjir lumpur pertama sebanyak 3.285 KK atau
12.607 jiwa (pos pengungsian Pasar Baru Porong, Balai Desa Renokenongo dan
Balai Desa Kedungbendo) yang sempat teratasi baik secara teknis (banjir lumpur
dapat dikendalikan) maupun secara sosial (rakyat mendapat dana kontrak untuk
relokasi sementara). Pengungsian
gelombang kedua terjadi karena pecahnya pipa gas BP Migas dibawah tanggul jalan
tol km38 yang mengakibatkan tanggul jebol dan lumpur meluap ke arah utara yang
sampai saat ini belum tertanggulangi, pengungsi berjumlah 4.431 KK atau 16.010
jiwa. Jumlah pengungsi gelombang kedua
lebih banyak karena luasan luapan lumpur yang tinggi sebagai akibat dari
penanganan luapan yang setengah hati (ketiadaan dana sebagai alasan). Saat ini masih ada 3.793 KK atau 13.926 jiwa
yang masih mengungsi baik di Pasar Baru Porong, Dinsos Sidoarjo, Balai Desa
Kalitengah dan sepanjang tanggul Kali Porong (Balai Desa Ketapang sudah di
relokasi sementara).
Kerusakan bukan hanya pada fisik bangunan, jalan dan infrastruktur
semata tetapi juga terjadi kerusakan pada perekonomian, sosial – budaya,
pendidikan, hukum dan pranata-pranata sosial lainnya. Kerusakan juga terjadi secara personal pada
para pengungsi selain ketidak pastian tempat tinggal, mata pencarian, pendidikan
bagi anak, kesehatan dan dampak psiko sosial karena harus berpindah-pindah
tempat tinggal yang mengakibatkan stress.
Ditingkahi lagi dengan ketidakpastian pengurusan ganti rugi (banyak
aturan yang sengaja menghambat proses ganti rugi seperti kepemilikan
sertifikat). Belum lagi masalah
pendidikan anak yang harus berpindah karena sekolah lama telah tenggelam dan
berpindah mengikuti perpindahan (mengungsi) orang tua mereka. Bukan hanya masalah biaya pindah sekolah
tetapi juga masalah penyesuaian dengan sekolah dan juga lingkungan rumah yang
baru.
Penangangan yang lebih menitik beratkan pada permasalahan
penghentian semburan (snubbing unit, relief well 1 dan 2) yang terbukti gagal,
juga pembuangan ke kali porong (spill way pejarakan) juga tidak mengurangi
banjiur lumpur walau tanggul telah dibuat dengan cukup baik tetapi tidak cukup
untuk menghentikan banjir lumpur, telah memakan biaya yang tidak sedikit. Sedangkan penanganan dampak sosial relatif
mendapat porsi yang tidak terlalu besar kecuali makan-minum seadanya di
pengungsian dan uang kontrak untuk relokasi sementara tanpa ada kepastian masa
depan seperti apa, sama dengan tidak pastinya kapan semburan lumpur lapindo
akan berhenti. Bahkan proses gnati
rugipun menajdi sedemikian rumit dan penuh dengan aturan padahal waktu
pembebasan tanah untuk pengeboran amatlah mudah dan tanpa syarat macam-macam.
Sejak awal Pemerintah (Daerah dan Pusat) nampkanya sudah mengalah
terhadap swasta (Lapindo Brantas Inc.)
Hal ini terlihat dari proses pembebasan tanah yang diperantarai oleh Ibu
Lurah Renokeonongo, aktifitas eksplorasi oleh LBI tanpa AMDAL yang tidak pernah
mendapat peringatan apapun dari Pemkab Sidoarjo, Pemerintah Pusat (Presiden dan
para Menteri) yang terkesan tidak dapat bertindak tegas untuk menekan LBI
bahkan muncul dukungan dari Wapres dan Ketua MA pada pemilik LBI (Menko Kesra)
untuk terhindar dari jerat hukum dan tuntutan langsung dari masyarakat.
Sampai kapan rakyat Porong khususnya dan Sidoarjo pada umumnya hidup
dalam ketidakpastian dan tanpa ada solusi atau putusan yang cepat dan tepat
serta berpihak pada rakyat tanpa menjadikan Banjir Lumpur Lapindo menajdi
bencana alam. Biarlah tetap sang
penyebab menjadi pihak yang bertanggung jawab, bukan pemerintah.
1.
Lapindo Brantas Inc.
PT. Lapindo Brantas adalah salah satu dari berbagai anak
perusahaan PT. Energi Mega Persada Tbk. PT. Lapindo Brantas didirikan untuk
mengeksploitasi sumur-sumur yang ada di blok Brantas, dalam hal ini, PT Lapindo
Brantas/EMP ibaratnya hanya sebagai operator, sedangkan saham blok tersebut
dimiliki bersama oleh PT. Energi Mega Persada Tbk, PT. Medko Energi Tbk, dan
Santos LTD – Australia merupakan perusahaan yang juga memiliki berbagai kilang
minyak dan gas terbesar seantero Nusantara.
PT Lapindo Brantas/EMP bukan warga baru di Sidoarjo, Jawa Timur.
Perusahaan ini nongol di Sidoarjo satu dasawarsa lalu setelah ditunjuk oleh BP
Migas.
Sekarang siapa saja yang berada dalam Top managemen yang
mengeksplorasi blok Brantas. Pada Skema kepemilikan saham eksplorasi dan
eksploitasi blok Brantas, PT. Energi Mega Persada Tbk yang dimiliki keluarga
Bakrie menguasai saham 50% sedangkan PT. Medko Energi Tbk yang dimiliki
keluarga Panigoro menguasai 32% dan Santos Brantas Indonesia Tbk yang dimiliki
pemodal asing dengan komposisi saham 18%.
Diantara ketiga pemegang saham, PT. Energi Mega Persada
tampak dominan karena disamping saham terbesar, juga menempatkan PT Lapindo
Brantas/EMP sebagai anak perusahaan untuk menguasai dan bekerja sebagai
operator di sumur Banjar Panji I ini.
Adapun jajaran top managemen di tubuh PT. Energi Mega
Persada Tbk yang listing di pasar modal sejak 6 Januari 2006, meliputi Presiden
Direktur : Chris Newton, Rennier A.R.Latief (Dirut utama PT Lapindo / Direktur
Eksekutif PT. Energi Mega Persada); direktur operasional Lapindo Faiz Shahab,
dan General Manager Lapindo Brantas/EMP Imam Agustino. Top Manager adalah Erwin Hidayat yang menjabat Vice
Presiden Capital Market
2.
Kronologi
2.1 Pembebasan Tanah
Tidak ada sosialisasi dan transparansi mengenai rencana eksplorasi
Gas oleh PT Lapindo Brantas Inc. Sosialisasi pembebasan tanah dilakukan oleh
aparat desa (Bu Kades Renokenongo) dengan peruntukkan sebagai gudang peralatan
berat. Negosiasi pembebasan tanah
dilakukan oleh warga pemilik dengan aparat desa (renokenongo) sedangkan PT
Lapindo sebagai pembeli tidak pernah menampakkan diri. Bahkan pembayaran oleh aparat desa dengan
kwitansi tanpa tanda pengenal pembeli (Lapindo).
2.2 Ledakan dari Bawah Tanah
Jumat, 26 Mei 2006,
Pukul 03.00 WIB, warga
Desa Renokenongo mendengar suara sirine yang sangat keras dari lokasi
pengeboran PT. Lapindo Brantas/EMP, entah apa yang terjadi, masyarakat di
sekitar desa tidak tahu menahu mengapa dan apa maksud bunyi sirine itu. Tidak
ada komunikasi atau pengumuman apapun sebelumnya dari PT. Lapindo Brantas/EMP.
Senin, 29 Mei 2006, lumpur panas di area
pemboran eksplorasi gas Banjar Panji I di Desa Siring, Kec. Porong pertama kali
menyembur pada pukul 05.30 WIB. Material ganas itu keluar melalui titik-titik
baru pada celah batuan atau tanah yang diperkirakan terletak lebih kurang 50
meter dari titik bor yang sedang dieksplorasi oleh PT. Lapindo Brantas/EMP Inc.
Lumpur ini menyembur hingga ketinggian 150 meter diakibatkan oleh kesalahan dan
kelalaian PT. Lapindo Brantas/EMP Inc.
Selasa, 30 Mei 2006, Lokasi pemboran eksplorasi di sumur Banjar Panji I
kemudian di amankan, bahkan sehari setelah itu malah terjadi peningkatan
semburan lumpur. Material ganas itu dengan cepat menyebar dan merendam
persawahan penduduk yang terletak di sekitar lokasi Desa Siring.
Kamis, 1 Juni 2006, disusul lagi oleh
dua titik semburan baru, terjadi pada pukul 19.30 WIB, satu titik semburan
terletak di wilayah pemukiman penduduk dan satu titik lagi terletak di wilayah persawahan. Tiga titik
lokasi semburan lumpur yang yang ada di Desa Siring dan Renokenongo ini
memiliki orientasi arah timur laut – barat daya. Saat itu memang tidak ada
korban jiwa, namun lumpur sudah mulai menyebar dan menggenangi beberapa rumah
penduduk di wilayah tersebut
Pada minggu pertama, pihak PT. Lapindo/EMP berkelit bahwa
tiga titik semburan lumpur ganas itu diakibatkan oleh faktor alam atau
dipengaruhi oleh gempa yang terjadi di Yogyakarta 27 Mei 2006. Spekulasi PT. Lapindo/EMP ternyata mendapat kecaman
dari berbagai pihak, karena diperoleh keterangan bahwa, sebelum terjadi
semburan lumpur, posisi drilling pada kedalaman 9297 feet atau setara dengan
3000 meter, mengalami mud logging hilang tiba-tiba (lost circulation), dan sempat terjadi kick atau muncul gas dibawah
permukaan secara mendadak dan periodik, akhirnya terhenti (stuck).
Situasi ini terjadi sebelum gempa Yogyakarta, 27 Mei
2006, sehingga ada perkiraan baru bahwa terjadinya semburan karena underground blow out atau semburan gas
dibawah permukaan yang memicu meningkatnya tekanan shale1 (over
presurre shale) dari formasi kalibeng naik melalui rekahan-rekahan, volume
semburan lumpur telah melebihi volume mud yang lose dilubang pemboran, sehingga
yang yang tersembur keluar adalah shale dan air formasi; dari sinilah diketahui
bahwa pada kedalaman 9000 kaki, PT. Lapindo Brantas/EMP tidak melakukan
pemasangan casing 9 5/8 inchi yang
merupakan rambu keselamatan dalam setiap pengeboran.
Selain lalai, jauh sebelumnya para ahli Geologi menemukan
lapisan SLUMP – indikasi shale bergerak
yang labil di wilayah operasi PT. Lapindo Brantas. Bila lapisan itu ditembus
secara vertikal, sudah diprediksi adanya resiko ledakan lumpur panas. Oleh
Karenanya mereka menyarankan untuk melakukan pengeboran miring, supaya terhindar dari lapisan SLUMP yang terkandung dalam struktur geologi Blok Brantas.
Lagi-lagi pendapat para ahli ini diabaikan oleh PT. Lapindo Brantas.
Di samping itu, PT. Lapindo tidak mengantisipasi adanya
zona patahan yang ada dalam kawasan eksplorasinya. Patahan itu kini meretakkan
struktur geologi sehinga mengakibatkan semburan lumpur. Zona patahan-lemah itu
berupa garis membentang sepanjang Porong (Sidoarjo) hingga Purwodadi
(Pasuruan). Posisi patahan miring terhadap utara mata angin dengan sudut N30E
(30 derajat dari utara ke timur). Teori yang dikembangkan komunitas geologi
diantaranya dugaan bahwa lumpur berasal dari deposit minyak dalam bentuk kubah
dengan ujung kubah paling dekat dengan permukaan. Struktur ini disebut diapir.
Pengeborann Lapindo kemungkinan memicu retakan di zona
lemah di atas kubah dan menimbulkan blow out jebakan lumpur dan gas di dalam
kubah. Dengan tekanan tinggi,lumpur dan gas akan mencari lokasi yang paling
lemah dalam retakan perut bumi2. Sejak awal beroperasi, PT. Lapindo
Brantas/EMP tidak melakukan sosialisasi ke warga. Bahkan saat membebaskan tanah
warga, PT.Lapindo Brantas/EMP malah membohongi warga dengan alasan tanah warga
yang akan dibeli akan dipergunakan untuk usaha pakan ternak. Bahkan, ketika luapan lumpur panas
terjadi Lapindo Brantas/EMP tidak pernah
menjelaskan pada warga tentang apa yang sebenarnya terjadi di sumur pengeboran
biak secara teknis, peruntukan, dan skenario tim penanggulangannya.
2.3
Pengungsi Gelombang I
Pengungsi dari gelombang pertama berada di pos
pengungsian (Pasar baru Porong, Balai Desa Renokenongo dan Balai Desa
Kedungbendo) yang mengungsi sejak awal juni sampai dengan akhir agustus 2006
dan pengungsian sementara di over pass jalan porong Besuki karena luberan air
lumpur yang mengenangi Desa Besuki.
Jumlah pengungsi yang pernah tinggal di pos pengungsian adalah 2605 KK
atau 9936 jiwa di pos pengungsian Pasar Baru Porong, Balai Desa Renokenongo
188KK atau 725 jiwa, Balai Desa Kedungbendo 125 KK atau 463 jiwa dan di Over
Pass Tol Besuki 223 KK atau 949 Jiwa, sehingga total pengungsi adalah 3285 KK
atau 12607 jiwa. Para pengungsi telah mendapatkan kompensai untuk relokasi
sementara sehingga pada awal September pos-pos pengungsi yang ada telah bersih
dari pengungsi. Bahkan sebagian besar
pengungsi (khusunyanya dari desa Renokenongo dan Kedungbendo) mengungsi ke
Perumtas I Tanggulangin.
Pada paska peristiwa ledakan pipa gas 22 november 2006
yang akhirnya juga menenggelamkan lebih banyak desa dan khususnya Perumtas I,
pengunsi dari gelombang pertama tidak lagi dianggap sebagai korban (pengungsi)
dan harus mencari kontrakan secara swadana dan bahkan uang jatah hidup
tertunggak sampai 3 bulan. Pengungsi
yang sudah berat hidupnya, semakin berat karena terabaikan hak-haknya yang sama
sekali tidak mendapat perhatian dari Pemerintah baik daerah maupun pusat.
3.
Pelanggaran-Pelanggaran Hukum
1.
Diijinkannya eksplorasi Migas
di dekat pemukiman dan fasilitas umum yang melanggar pasal 41 dan 42 UU 23/1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, dan pasal
94 UU 7/2004 tentang Sumber Daya Air.
2.
Pembebasan tanah tidak
transparan peruntukkaannya dan warga pemilik tanah tidak pernah bertemu dengan
pembeli.
3.
Tidak adanya dokumen AMDAL.
3.1 Pertanggung jawaban Hukum dan
Politik
Jakarta, 14/08. Seperti diberitakan sebelumnya bahwa saat ini Polda Jawa
Timur telah memeriksa 7 tersangka untuk kasus Lumpur Panas Lapindo Brantas/EMP
Inc. Dan akan kembali mengembangkan pemeriksaan untuk 2 orang lagi Vice
President DSS (Driling Share Service ) PT. Energi Mega Persada, perusahan induk
Lapindo Brantas Inc, dan Dirut PT Medici Citra Nusa dengan dugaan :
(1) Kelalaian yang menimbulkan bahaya banjir lumpur (pasal187 dan 188 KUHP
serta pasal 41 dan 42 UUPLH)
(2) Kelalaian, karena seharusnya memberikan perintah menghentikan operasi
pengeboran, ternayata masih terus dibiarkan.
(3) Patut mengetahui perbedaan antara kontrak kerja ayng diberikan Lapindo
Brantas/EMP pada perusahaannya dengan driling
program.
Dari ketiga dugaan ini tampak terlihat bahwa sebanyak 9 orang akan
dijadikan tersangka dalam kasus lumpur panas ini terutama dari sisi hukum
pidana yang diterapkan oleh Polda Jawa Timur, dimana ketentuan pidana dalam
KUHP kita masih menerapkan bahwa “barang siapa yang melakukan tindakan
kejahatan” maka pertanggung jawaban pidananya dikenakan hanya kepada orang
sebagai recht person (pasal 59 KUHP dan pasal 1 KUHAP)
3.2 Pertanggunjawaban Perdata
Dilihat dari logikan operasional, bahwa Sumur Banjar Panji-1 berada di Blok
Brantas yang merupakan konsesi milik PT. Lapindo Brantas/EMP atas dasar
Production Sharing Contract (PSC) dengan BP-Migas. Pekerjaan Driling merupakan
tanggung jawab department Driling di LAPINDO, namun pekerjaan ini
di-subkontrakkan kepada pihak lain yaitu PT. Medici Citra Nusantara (MCN).
Seperti yang juga kita ketahui bahwa pemilik saham sektor migas di blok brantas
adalah sebanyak 50% dipegang oleh PT. EMP dan sisanya terbagi menjadi milik
Santos LTD, PT. Medco Energi Tbk dan Lapindo Brantas/EMP Inc. Artinya terdapat
empat pihak yang terkait langsung dengan operasi pengeboran pipa diseluruh
wilayah Blok Brantas. Dimana penanganan lumpur yakni PT Energi Mega Persada
Tbk, PT Medco Energi Tbk, dan Santos LTD sesuai Pasal 6 ayat 2 poin c UU 22
tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi.
3.3 Pertanggungjawaban Pidana
Namun melihat begitu besarnya kerugian (sosial, ekonomi dan lingkungan)
yang diderita sebagai akibat kelalaian kebocoran pipa gas dan menimbulkan
lumpur panas ini, tidak pantas rasanya penganganan kasus tersebut hanya
dibebankan secara hukum hanya kepada 9 orang seperti tersebut diatas.
Secara teoritis (Tumbuan, 1988:3) selain orang, badan hukum hanya dapat
melakukan apa yang secara eksplisit atau implisit dijinkan oleh hukum maupun
anggaran dasarnya. Karena banyak penelitian menyebutkan (M. Hamdan, 2000: 63)
bahwa pelanggaran hukum yang bisa dikenakan kepada Korporasi adalah:
pelanggaran hukum administrasi, pencemaran lingkuangan, finasial, peburuha,
manufaktur dan persaingan dagang. Dua ketentuan pertama diatas menjadi wajib
dikenakan kepada para pemilik ijin Blok Brantas sebagai subyek dalam hukum pidana,
mengingat dampak negatif yang sangat luas terhadap setiap bagian kehidupan
masyarakat.
3.4 Pertanggungjawaban Politik
Sekjen Pro Demokrasi dalam Harian Terbit. Com (28/07/2006) menyatakan bahwa
Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat (Menko Kesra) Aburizal Bakrie
dipandang perlu segera dinonaktifkan dari Kabinet Indonesia Bersatu. Hl itu
dimaksud guna menghindari konflik kepentingan dalam menuntaskan kasus semburan
lumpur panas di Sidoarjo, Jatim. Sebab, PT Lapindo Brantas/EMP merupakan milik
PT Energi Mega Persada yang merupakan milik Aburizal Bakrie.
Dalam hal ini penting juga untuk meminya Kepolisian RI membongkar jaringan
KKN yang diduga keras melibatkan par petinggi negara. Diantara dengan
menanyakan proses perizinan dan perpanjangan kontrak kepada SBY selaku Mentaben
ketika izin diperpanjang dan Menteri
ESDM Purnomo Yusgiantoro yang ketika menjabat sebagai Dirjen Migas. Termasuk
kepada Aburizal sebagai pemilik PT. Lapindo Brantas/EMP.
Untuk pertanggungjawaban BP Migas didalam melakukan pengawasan, sebenarnya
terdapat pada BAB VIII Pasal 41, UU 22/2001 tentang Migas : (1) Tanggung jawab
kegiatan pengawasan atas pekerjaan dan pelaksanaan kegiatan usaha minyak dan
gas bumi terhadap ditaatinya ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku
berada pada departemen yang bidang tugas
dan kewenangannya meliputi kegiatan usaha minyak dan gas bumi dan departemen
lain yang terkait.
(2) Pengawasan atas pelaksanaan Usaha Hulu berdasarkan Kontrak Kerja sama
dilaksanakan oleh Badan Pelaksanaan.
Pasal 42 menyebutkan : Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat
(1) meliputi:
a, b,...
c. Penerapan kaidah
keteknian yang baik;...
f. Keselamatan dan kesehatan kerja ...dst.
m. Kegiatan-kegiatan lain di bidang usaha minyak
dan gas bumi ...dst...
Namun pasal 44 butir
(3) menyebutkan: bahwa BP Migas bukan sebagai pengendali operasi KKKS namun
BP Migas menyetujui Rencana Kerja dan Budget (Perencanaan dan anggaran) yang
akan dipakai sebagai sarana “cost
recovery” (hal ini diperjelas dalam PP 35/2004 pasal 56). Masih dalam PP
tersebut, pasal 86 sampai pasal 90 dapat diartikan bahwa sebenarnya pembinaan
dan pengawasan terhadap “penerapan kaidah keteknikan yang baik serta
keselamatan dan kesehatan kerja” terdapat pada tugas dan wewenang pembinaan dan
pengawasan antara Menteri ESDM mengenai tugasnya ( sebagai pembina dan
pengawas) didalam kegiatan hulu minyak dan gas bumi.
3.5 Kejahatan Korporasi
Definisi kejahatan dalam tulisan ini adalah tindak pidana yang artinya
perilaku yang melanggar ketentuan pidana yang berlaku ketika perilaku itu
dilakukan, baik perilaku tersebut berupa melakukan perbuatan tertentu yang
dilarang oleh ketentuan pidana maupun tidak melakukan perbuatan tertentu ang
diwajibkan oleh ketentuan pidana. Sementara pengertian korporasi adalah subyek
hukum selain perseorangan dan atau kelompok orang, lebih dalam lagi artinya
korporasi adalah sebuah badan hukum. Dimana kita membedakan
perseorangan/kelompok orang dapat melakukan apa saja yang tidak dilarang oleh
hukum, sementara korporasi sebagai sebagai badan hukum hanya dapat melakukan
apa yang secara eksplisit atau implisit diizinkan oleh hukum atau anggaran
dasarnya. Jadi kejahatan korporasi adalah segala perbuatan tindak pidana yang
dilakukan oleh korporasi yang menurut hukum dilarang atau tidak melakukan
perbuatan tertentu seperti yang diatur dalam keentuan pidana. Bahkan UU No. 23
Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, pasal 45 dan 46 menyebut
dengan tegas bahwa pelaku tindak pidana (pencemaran dan perusakan lingkungan hidup)
tidak hanya dikenakan terhadap orang secara pribadi tetapi juga termasuk badan
hukum.
4.
Dampak dan Kerusakan Lingkungan
Kerusakan Lingkungan
Lumpur yang menyembur dari perut bumi itu tidak hanya
panas tapi juga ganas, setiap harinya lumpur panas itu bertambah sekitar 150
ribu meter kubik, hingga hari ke 90 lupur itu mengendap dipermukaan bumi porong
sudah lebih dari 7 juta meter kubik dan menggenangi lebih dari 300 hektar lahan
masyarakat.
Berdasrkan hasil uji laboratorium ITS, jumlah zat padat
terlarut dan jumlah zat padat tersuspensi dalam lumpur sangat tinggi. Artinya,
padatan terlarut dan tersuspensi hanya mungkin bisa diendapkan, tapi dalam
jangka waktu lama karena harus memanfaatkan terik matahari dan angin.
Dalam analisa lingkungan yang dibuat Bapedal Jawa Timur,
Dinas Lingkungan Hidup dan Pertambangan Sidoarjo dan Lapindo Brantas/EMP
sendiri, disebutkanlumpur yang menggenagi 5 desa di Sidoarjo ini mengandung
konsentrasi fenol5 melebihi baku mutu
Kerusakan lingkungan hidup yang terjadi secara masive di
Kecamatan Porong dan sekitarnya, telah mengarah mehgarah pada tindakan
pengrusakan dan pemusnahan ekosistem secara terbuka, bahkan akan berpengaruh
pada wilayah-wilayah di sekitarnya, jika penanganannya sama sekali tidak
memperhatikan geo-ecology wilayah
setempat.
Lumpur yang menyembur di Porong ini, selain panas juga
mengandung bahan beracun berbahaya (B3) yang melebihi ambang batas, kandungan
fenol dalam lumpur tersebut – sebagaimana disebutkan dalam PP No 85/99 tentang
perubahan atas PP No 18/1999 tentang pengolahan limbah B3 – termasuk dalam
daftar zat limbah pencemar yang bersifat kronis. Bahkan jika diakumulasi hingga
hari ke 90, insiden lumpur Lapindo diperkirakan akan memuntahkan lebih dari 40
ton fenol, 8 ton besi (Fe), 1,4 juta ton padatan tersuspensi, 50 ribu ton
senyawa klorida.
Berdasarkan temuan itu, Kepala Bidang Pengawasan dan
Pengendalian Bapedal Provinsi Jatim Warno Harisasono, lumpur dikategorikan
bahan berbahaya dan beracun kendati tingkat toksisitasnya rendah.
Bukan itu saja, Pemerintah kabupaten Sidoarjo melalui
dinas terkait, secara resmi telah mengirimkan sampel lumpur sebanyak dua tong
ke Laboratorium Kimia Tanah, Fakultas Pertanian Unibraw, Malang, dengan maksud
apakah lahan yang digenangi lumpur panas masih layak bagi kepentingan pertanian
dan pemukiman. Hasilnya, bila digunakan untuk bercocok tanam ternyata
membutuhkan biaya mahal.
Guru Besar Kesuburan Tanah Unibraw Prof. Dr. Ir Syakhfani membuat analisis
dalam dua perspektif, hara makro dan hara mikro. Bila mengacu pada hara makro
yang cukup tinggi, mencakup kandungan Sulfur 50 ppm, Kalium 1 ml/100 gram,
Kalsium 10 ml/10 gram, Magnesium 2 ml/100 gram, bisa disimpulkan bahwa kendati
unsur hara makro terlalu tinggi bagi kebutuhan tanaman, namun tidak ada masalah.
Persoalannya, bila didekati dalam perspektif unsur hara mikro, kandungannya
ternyata juga sama ekstrimnya. Karakter unsur hara mikro itu berlebihan bisa
berdampak meracuni tanaman. Hasil analisa hara mikro juga sangat tinggi, bahkan
ekstrim tinggi. Kandungan garam Natrium 1 ml/100 gr, Alumunium 0,2 ml/100 gr,
Besi 700 ppm dan Khlor 0,1 NHCl. Oleh karenanya, bisa disimpulkan bahwa tanah
dengan campuran lumpur dari semburan geologi itu tak bisa dimanfaatkan untuk tujuan
bercocok tanam.
Sebagai contoh, kandungan Khlor yang mencapai 10 ppm saja sudah tinggi,
apalagi dalam lumpur Lapindo mencapai 10 ribu ppm. Begitu juga tingginya kadar
Natrium akan membuat butiran tanah pecah, dan sulit dibentuk menjadi gumpalan
yang menyebabkan tersumbatnya aliran udara dan air ke tanah. Akibatnya tanaman
akan mati keracunan alumunium.
4.2 Ke Laut:
Menyelesaikan Masalah dengan Bencana
Pembuangan lumpur ke laut memiliki resiko kerugian
sosial, ekonomi, dan lingkungan yang jauh lebih besar dibandingkan dengan specific treatment yang dilakukan didarat.
Artinya, solusi ini justru hanya akan menambah masalah baru baik dilihat dari
skala luasan daerah terkena dampak (akan semaki luas) maupun dari sisi waktu
penyelesaian (akan semakin lama). Mengapa bisa demikian?
Pertama, perlu diketahui lumpur panas Lapindo
Brantas/EMP ini tidak hanya terkontaminasi oleh bahan pencemar seperti fenol,
clhor, dsb, tapi lebih dari itu, terdapat material padatan tersuspensi (MPT)
yang merupakan partikel dengan ukuran yang sangat halus dan tersusun dalam
jumlah yang cukup besar, yang selanjutnya kita sebut sebagai lumpur panas
tersebut. Setiap harinya semburan lumpur panas itu keluar dari perut bumi
sekurang-kurangnya 1,8 m3 /det atau satu buah tangki berukuran 5000
liter tiap 2-3 detik. Tentu ini angka yang cukup fantastis.
Kedua, sekurang-kurangnya ada 2 faktor
kunci yang mempengaruhi proses pengendapan lumpur secara sempurna (dalam hal
ini pemisahan antara lumpur dan air), yaitu velocity
(kecepatan aliran) dan diameter ukuran butir. Dalam hal ini, semakin besar
diameter ukuran butir maka akan semakin cepat mengalami pengendapan, dan begitu
pula sebaliknya, semakin kecil diameter ukuran butir maka akan semakin sulit
mengalami pengendapan, dan tentunya hal ini terkait erat dengan kecepatan
lairan sebagai media atau pembawa pertikel-partikel tersebut. Sehingga, dalam
kasus ini pemisahan lumpur panas Sidoarjo terhadap air sebelum dibuang ke laut
adalah sesuatu yang tidak mungkin dilakukan dalam skala besar. ini artinya
lumpur panas tersebut akan ikut mengalir ke perairan laut.
Ketiga, jika dilihat dalam konteks dinamika
oseanografi-nya perairan Indonesia umumnya memiliki 2 musim utama, yaitu musim
barat dan musim timur dan ditambah dengan musim pancaroba (peralihan) diantara
perubahan atau pergantian musim tersebut. Dinamika oseanografi perairan
Indonesia yang cukup kompleks tersebut akan membuat scoping (pembatasn daerah yang terkena dampak) sangat sulit
dilakukan, dan dipastikan tidak hanya berdampak buruk terhadap perairan
disekitar Sidoarjo saja, tapi akan terus meluas di daerah lain sesuai dengan
musim yang sedang berlangsung.
Dan keempat, bahwa setidaknya ada 6 parameter
kunci, yang sangat mempengaruhi kualitas dan kuantitas sumberdaya perairan,
masing-masing: bau, kecerahan, kekeruhan, Muatan padatan tersuspensi (TSS,
total suspended solid), Suhu, lapisan minyak atau bahan pencemar lainnya (bisa
logam berat, dsb). Dengan skenario seperti dijelaskan sebelumnya, dimana lumpur
panas Lapindo Brantas /EMP dibuang kelaut, maka dipastikan akan mempengaruhi keenam
parameter tersebut, dan tidak akan dapat dihindari. Pertikel sedimen yang
tersusun dalam jumlah besar akan menyebabkan meningkatnya padatan tersuspensi
di perairan laut (TSS), akibatnya tingkat kekeruhan perairan menjadi tinggi dan
tingkat kecerahan menjadi sangat rendah dalam waktu bersamaan pulau akan
mengakibatkan bau dan perubahan suhu yang cukup signifikan. Akhirnya, sinar
matahari yang memegang peran penting dalam proses fotosintesis perairan (erat
kaitannya dengan tingkat kesuburan perairan) akan sangat sulit menembus hingga
dasar perairan. Sehingga produktivitas perairan dipastikan menurun, dan dilain
sisi mengkonsumsi produk-produk perikanan di sekitar kawasan ini akan berdampak
buruk bagi kesehatan manusia.
5. Dampak Ekonomi, Sosial
dan Budaya
5.1 Ekonomi, Sosial dan
Budaya
Sungguh tak pernah dibayangkan sebelumnya, semburan lumpur ganas bersuhu 60
derajat Celcius itu menyembur tanpa pandang bulu, lumpur panas itu tanpa
mengenal ideologi apapun, kaya maupun miskin, kyai maupun pendeta, tua maupun
muda bahkan anak-anak yang ikut kehilangan masa depannya. Lumpur ganas ini
meluas sebegitu cepat menggenangi sawah, perkebunan, tambak, permukiman,
sekolah, rumah ibadah, pabrik, dan industri manufaktur lainnya.Yang paling
dirugikan dari semburan lumpur panas PT. Lapindo Brantas/EMP ini adalah ribuan
kelas bawah terdiri dari petani, buruh, pedagang kecil, serta mayarakat
berpenghasilan rendah yang tinggal dan bekerja di sekitar wilayah tersebut,
mereka pun terpaksa harus hijrah.
Pihak Lapindo Brantas/EMP pun tak lepas tangan begitu saja, bahkan
melakukan langkah cepat walaupun tanpa mitigasi yang cerdas, posko mewah
sebagai penyanggah hidup sementara bagi korban lumpur panas, mereka berjanji
akan menanggung semua kerugian yang dialami oleh masyarakat sekitar melalui
pemberian dana yang sesuai bagi masyarakat korban untuk hidup tapi dengan
embel-embel MOU dimana dalam point MOU itu tertera bahwa masyarakat tidak boleh
melakukan gugatan pada PT Lapindo Brantas/EMP baik pidana maupun perdata.
Hingga hari ke 249 (02 Februari 2007) sudah 18.696 rumah tergenang lumpur.
Saluran irigasi yang rusak mencapai 5,675 kilometer dan jaringan air minum
mencapai 2,4 kilometer. Lahan tanaman padi yang terendam sudah mencapai 376,2 hektar
dan lahan tebu 92,31 hektar. Aktivitas warga disekitar tidak hanya terganggu,
tetapi lumpuh bahkan lenyap akibat PT Lapindo Brantas/EMP. Saat ini, bangunan 23
sekolah juga tenggelam oleh lumpur sehingga mereka harus belajar di pengungsian
atau pindah sekolah mengikuti perpindahan keluarga. Sedangkan yang masih
sekolah dari pos pengungsian atau tetap bertahan di sekolah lama yang
direlokasi harus mencari jalan akses lain yang notabene harus meyediakan biaya tambahan.
Ada pula terpaksa putus sekolah karena tidak tidak mampu pindah ke sekolah
lain. Secara psikis, diindikasi anak usia sekolah mengalami trauma tersendiri
karena mengalami ketidakpastian terkait penanganan bencana.
Belum lagi terhentinya
aktivitas 29 pabrik yang tenggelam meiliki lebih dari 2.000 pekerja. Para
pekerja pabrik terpaksa libur hingga waktu yang belum ditentukan. Sebagian
bahkan terkena PHK karena pabrik tutup atau pindah. Ratusan perajin kulit (tas
dan koper), khusunya di desa kedungbendo dan renokenongo berhenti bekerja
karena peralatan produksinya tenggelam ditambah dengan enggannya masyarakat
konsumen datang ke pasar tas dan koper di tanggulangin. Bukan hanya pengrajin, showroom
produkpun menjadi sepi. Kemacetan di
ruas jalan raya porong mengakibatkan jalur distribusi dari arah timur (pasuruan
dan seterusnya serta dari
Lebih parah lagi, Tol Surabaya-Gempol berkali-kali mengalami penutupan.
Kalaupun dibuka mobil-mobil yang lewat tampak merayap. Akibat penutupan tol, berdasarkan
pengakuan pemilik armada kontainer, mereka mesti mengeluarkan Rp 1 juta per
kontainer. Jumlah truk yang melintas Surabaya-Gempol rata-rata 1000 truk per
hari. Nah, hitung sendiri kerugian yang diderita PT Jasa Marga dan para
pengusaha yang menggunakan jalan tol Surabaya-Gempol. Pada akhirnya karena ledakan pipa gas BP
Migas pada 22 November 2006, jalan tol benar-benar putus karena tenggelam oleh
lumpur bahkan jembatan tol yang ada di atas jalan raya Porong pun dibongkar
karena bergeser dan retak sehingga mengakibatkan bahaya bagi pengguna jalan
yang lewat di bawahnya karena dikawatirkan roboh sewaktu-waktu.
Ternyata seluruh biaya kerugian akibat lumpur panas, tidak semuanya
ditanggung si biang keladi Lapindo Brantas/EMP. Berdasarkan analisis biaya yang
ditanggung oleh PT Lapindo terdiri dari biaya akibat langsung dan tidak
langsuang dari pencemaran lingkungan hidup. Rincian biayanya sebagai berikut;
pertama upaya menghidari pencemaran, kedua biaya menjaga dan ketiga mengurangi
tingkat pencemaran, serta keempat biaya sumber daya untuk penelitian
pengelolahan dan pemantauan pencemaran. Semuanya ini belum dikelurkan oleh PT
Lapindo Brantas/EMP.
Ekonomi
dan sosio budaya yang ambles:
1.
29 pabrik tutup sehingga kurang lebih 18.000
buruh menganggur.
2.
Kurang lebih 500 ha sawah tenggelam sehingga
ratusan petani menganggur dan ribuan ton beras tidak dapat diproduksi.
3.
Hampir 20.000 rumah tenggelam sehingga muncul
masalah perumahan dan terjadi perpindahan penduduk antar daerah yang cukup
tinggi dan berpencarnya sekelompok masyarakat dan dipastikan ada budaya-budaya
lokal yang terhilang.
4.
Lebih dari 25 sekolahan tenggelam sehingga
ribuan anak usai sekolah mengalami masalah sekolah (penyesuaian untuk yang
pindah sekolah baru, tingginya biaya transportasi dan biaya pindah serta
penyesuaian dengan tempat baru)
5.
Ratusan perajin kulit (tas dan koper),
khusunya di desa kedungbendo dan renokenongo berhenti bekerja karena peralatan
produksinya tenggelam ditambah dengan enggannya masyarakat konsumen datang ke
pasar tas dan koper di tanggulangin.
Bukan hanya pengrajin, showroom produkpun menjadi sepi.
6.
Pasar Baru Porong sebagai pusat pengungsian
sehingga aktifitas ekonomi rakyat terganggu.
7.
4 Balai Desa tenggelam dan 3 Balai Desa jadi
pusat pengungsian sehingga aktifitas birokrasi dan pemerintahan desa terganggu.
8.
Pembuangan air dan lumpur ke kali porong
sehingga air dan lumpur mengalir ke laut yang akan mengancam kelangsungan hidup
7.000 hektar tambak, hutan bakau dan nelayan di selat jawa pada umumnya.
9.
Pengungsian mengakibatkan tidak terjaminya
kesehatan dan gisi bukan hanya pengungsi dewasa tetapi juga lansia dan anak-anak.
5.2 Perempuan dan Anak
5.2.1 Hak Perempuan
Terjadi beberapa
pelanggaran terhadap hak perempuan.
1. Hak memperoleh kesehatan reproduksi
Kesehatan reproduksi seperti pembalut harus disediakan sendiri dalam
kondisi ketiadaan penghasilan dan juga pemeriksaaan kesehatan reporduksi dan
keluarga berencana tidak tertangani dengan baik dipengungsian. Bahkan proses pemeriksaan kandungan dan
proses kelahiran dibiayai sendiri dulu baru kemudian proses ganti rugi
dimintakan ke LBI.
2. Pengabaian oleh suami
Beberapa perempuan merupakan korban dari poligami. Beberapa kasus terjadi, sang suami
meninggalkan istri yang mengungsi untuk pindah ke tempat istri yang lain yang
tidak pernah muncul selama di pengungsian dan muncul-muncul saat proses
pencairan dana untuk relokasi sementara dan jatah hidup untuk mengambil uangnya
dan kemudian balik lagi ke istri yang lain.
5.2.2. Hak Anak
Tidak semua Hak Anak dilanggar tetapi ada beberapa Hak Anak yang
tidak terpenuhi di lokasi pengungsian baik saat di pos pengungsian maupun saat
di relokasi sementara.
Pelanggaran terhadap Konvensi Hak Anak:
1. Hak untuk mendapatkan standar hidup yang layak.
Tidak terpenuhi karena hidup di pengungsian dengan tempat tidur,
fasilitas kamar mandi darurat dan makan minum seadanya jatah dari dapur umum.
2. Hak untuk mendapatkan standar kesehatan yang paling tinggi.
Tidak terpenuhi karean hidup dilingkungan yang tidak sehat dan
kurangnya asupan gisi dan makanan tambahan, kecuali kalau udah sakit dan
dibawah ke pos kesehatan.
3. Hak untuk mendapatkan perlindungan khusus jika mengalami konflik
hukum.
Tidak terlindungi karean konflik hukum (ganti rugi) tidak
mempertimbangkan dan menghitung kerugian material dan imaterial anak kecuali
ganti rugi tanah dan bangunan yang dimiliki oleh orang tuanya.
4. Hak untuk mendapatkan perlindungan khusus jika mengalami eksploitasi
sebagai anggota kelompok minoritas atau masyarakat adat.
Tidak mendapat perlindungan sebagai anak korban (pengungsi) banjir
lumpur lapindo, karena mendapatkan fasilitas sama dengan orang tuanya tanpa
memperhatikan kebutuhan anak lainnya seperti makanan tambahan bergisi dan
pendidikan layak serta aktifitas bermain.
5. Hak untuk hidup dengan orang tua.
Banyak anak yang terpaksa hidup terpisah dengan orangtuanya karena
harus dititipkan pada saudara atau orang lain demi pertimbangan keamanan,
kesehatan dan kedekatan dengan tempat sokolah baru.
6. Hak untuk tetap berhubungan dengan orang tua bila dipisahkan dengan
salah satu orang tua.
Komunikasi terhambat oleh masalah peralatan komunikasi dan biaya
komunikasi bila telah terpisah dari ortang tua (khususnya yang terpisah keluar
7. Hak untuk mendapatkan pelatihan ketrampilan.
Tidak ada aktifitas pelatihan ketrampilan dan pendampingan anak,
karena pendamping yang ditunjuk oleh Satlak (P3A) tdiak melaksanakan aktifitas
secara ajeg kecuali menyediakan perpustakaan tanpa pendamping. Sedangkan lembaga lain (relawan) yang akan
melakukan pendampingan ditolak atau yang bisa masuk dibatasi waktu dan harus
diserahkan pada posko Pramuka atau Tagana yang tidak berpengalaman menangani
anak.
8. Hak untuk berekreasi.
Tidak ada aktifitas rekreasi karena orang tua yang mengungsi dan
ditempat pengungsi tidak disediakan sarana dan prasaran rekreasi.
9. Hak untuk bermain.
Bermain bebas (karena luasnya lokasi pengungsian) tetapi aktifitas
permainan cenderung tidak terarah dan seadanya.
10. Hak untuk berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan seni dan budaya.
Ketiadaan pendamping, sarana-prasarana dan biaya untuk anak maka
aktifitas seni dan budaya relatif tidak terpenuhi bahkan terabaikan.
11. Hak untuk mendapatkan perlindungan khusus dalam situasi yang
genting.
Bila terjadi siatusi genting seperti luapan lumpur panas dan
terjadinya konflik horisontal tidak mendapat perlindungan khusus karena
diperlakukan sebagai pengungsi dewasa.
12. Hak untuk mendapatkan perlindungan khusus sebagai pengungsi.
Tidak mendapatkan perlindungan khusus baik untuk makanan, saranan
tidur, pendidikan, kreatifitas dasn seni budaya karna secarea nominal
diberlakukan sama dengan pengungsi dewasa pada umumnya.
13. Hak untuk mendapatkan pendidikan dasar secara cuma-cuma.
Pendidikan berantakan karena harus pindah lokasi sekolah sehingga
terhalang jarak, sedangkan pindah sekolah bermasalah dengan rumah yang tidak
menetap dan biaya pindah sekolah yang tidak dilimiliki orang tuanya. Banyak terjadi kasus putus sekolah atau
paling tidak inferior (rendah diri) disekolahnya.
5.3
Transportasi dan Ekonomi Jawa Timur
Kemacetan
di ruas jalan raya porong mengakibatkan jalur distribusi dari arah timur
(pasuruan dan seterusnya serta dari
5.4
Fasilitas Umum dan Fasilitas Negara
Fasilitas Negara
yang ikut rusak karena banjir lumpur lapindo ini terdiri dari:
1. Hilangnya Jalan Tol Porong –
2. Putusnya pipa gas dari BP Migas yang menggalirkan Gas Alam dari
Madura ke perusahaan-perusahaa Sidoarjo,
3. Putusnya pipa PDAM yang menggalirkan air bersih dari Pandaan ke
Sidoarjo dan
4. Pindahnya Instalasi Gardu Listrik Negara di Porong serta terancam
robohnya menara jaringan SUTET dari Paiton ke
5. Beberapa kantor Balai Desa, Koramil dan Sekolah Negeri.
6. Infrastruktur seperti jaringan irigasi, jaringan air bersih,
instalasi listrik rumah, instalasi telefon, jalan di pemukiman.
6
Pananggulangan Teknis
6.1 Peran TNI
Penanggulangan seluruhnya pada saat awal semburan (sebelum
terbentuknya Timnas) dilakukan oleh TNI, bukan hanya keamanan seputar tanggul
dan fasilitas penghentian semburan lumpur tetapi juga penanggulan (perencanaan
dan pelaksanaan), transportasi pengungsi dan sekolah anak pengungsi serta dapur
umum di pasar baru porong yang dilaksanakan oleh Yon Zipur 5 kepanjen Malang. Setelah terbentuknya Timnas, maka tugas TNI
hanya sebatas penanggulan saja, sedangkan keamanan fasilitas penghentian
dilakukan oleh pengelolah serta dapur umum diserahkan pada katering dan dibantu
oleh Pramuka. Setelah Timnas terbentuk
pengerjaan tanggul dilakukan oleh TNI dengan menggirimkan Yon Zipur 10 Pasuruan
sebagai pengganti Yon Zipur 5 malang.
Sedanhgkan kesatuan-kesatuan yang lain (selain Brimob) telah ditarik
dari lokasi dan seputar lokasi banjir lumpur di kecamatan porong kabupaten
sidoarjo.
6.2 Snubbing Unit
Skenario pertama penhentian semburan lumpur. Secara teknis dilakukan pengeboran lanjutan
di pusat semburan untuk menemukan pusat semburan dan delanjutnya dilakukan
penutupan dengan material tertentu.
Snubbing Unit berada disisi utara sumur lumpur dan berjalan antara bulan
juli dan agustus tetapi mengalami kegagalan karena semburan lumpur bukannya
berhenti malah membesar dan menenggelamkan areal snubbing unit.
6.3 Relief Well
Skenario kedua setelah snubbing unit gagal. Dilakukan dengan melakukan pengeboran miring
di sepanjang sumur di atas sumber semburan lumpur untuk kemudian menyuntikkan
material penutup sumur lumpur. Relief well 1didirikan di desa siring
untuk menutup dari arah selatan – barat, sedangkan relief well 2 didirikan di
desar renokenongo untuk menutup dari arah utara – timur sumur. Usaha dengan 2 relief well juga gagal ditambah dengan tenggelamnya relief well 2
sebagai akibat dari jebolnya tanggul karena ledakan pipa gas pada
6.4
Penanggulan
Untuk mencegah semakin luasnya banjir lumpur dilakukan
penanggulan. Kesalahan penanggulan sudah
dilakukan sejak dari awal terjadi banjir lumpur. Pada awal-awal terjadi luapan lumpur
penanggulan diseputar sumur lumpur hanya setinggi tanggul sawah saja, sehingga
saat semburan lumpur membesar dan menenggelamkan sawah di desa Renokenongo dan
Siring tidak dapat ditanggulangi dan bahkan masuk ke Jalan Tol. Konflik horisontal mulai terjadi khususnya
masyarakat desa kedungbendo dan renokenongo mengenai arah dan tinggi tanggul
serta usaha masyarakat menjebol tanggul di Jalan Tol agar lumpur tertapi di
jalan tol dan tidak menenggelamkan desa. Tanggul di utara berdiri dan lumpur
mengalir ke arah selatan sehingga menenggelamkan persawahan di desa jatirejo,
penanggulan di pemukiman dilakukan tetapi karena besarnya debit lumpur dan
kuatnya tanggul disisi utara yang juga berusaha menyelamatkan jalan tol maka
desa jatirejo tenggelam. Tanggul di tol
jebol, akhirnyapun desa renokenongo dan kedungbendo tenggelam, khusunya dusun
balongnongi desa renokenongo yang paling dekat dengan sumur lumpur tenggelam
sudah.
Penanggulan dilaksanakan dengan lebih baik, tinggi dan kuat untuk
mengelilingi sumur lumpur dan aliran diarahkan ke sebelah timur. Terjadi konflik horisontal lagi, antara
masyarakat di kawasan barat dan selatan sumur (siring, besuki, mindi,
pejarakan, kedungcangkring dan besuki) dengan masyarakat di kawasan utara dan
timur sumur (renokenongo, glagah arum, permisan, sentul) sehigga pada malam
detik-detik 17 agustus pecah konflik horisontal terbesar bahkan pihak TNI harus
melepaskan tembakan peringatan untuk memisahkan warga yang siap bertempur. Akhirnyapun tanggul di desa Besuki jebol dan
menenggelamkan desa-desa di sebelah selatan sumur walau cuman air lumpur saja.
Penanggulan dilakukan semakin berlapis, bukan hanya dilingkar sumur
lumpur (4 tingkat) dengan ketinggian mencapai 15 meter, disebelah utara jalan
tol, sepanjang desa renokenongo. Di Besuki dan Pejarakan (bahkan dibangun spill
way untuk membuang lumpur ke sungai, karena pipanisasi untuk membuang lumpur ke
laut gagal total dan membuang biaya yang besar sekali) dan tanggul di sepanjang
siring, jatirejo, mindi sampai pejarakan untuk menyelamatkan jalan raya dan rel
KA. Sehingga dapat dikatakan penanggulan
terdiri dari cincin 1 di seputar sumur lumpur, cincin 2 untuk menampung lumpur
di penampungan (pond) serta cincin 3 untuk menjaga jalan tol, jalan raya, rel
KA dan pemukiman di sebelah selatan dan utara sumur. Sampai terjadi ledakan pipa gas BP Migas pada
tanggal 22 november 2006, akibat dari penurunan tanah yang mematahkan pipa gas.
7
Ledakan Pipa Gas 22 November 2006
7.1
Korban Ledakan
Ledakan pipa gas pada rabu malam pukul 22.00 memang hanya
mengakibatkan kobaran tiang api selama 1 menit saja tetapi akibat selanjutanya
begitu mengerikan. Akibat dari ledakan
itu adalah 13 orang petugas yang pada malam itu berjaga hilang nyawa terendam
lumpur panas tetapi telah diketemukan jasadnya, 2 orang belum diketemukan dan
yang terparah adalah berapa nyawa pekerja harian lepas yang tiap malam bekerja
di atas tanggul. Tidak ada laporan yang
menjelaskan ada atau tidak adanya korban dari para pekerja lepas tersebut.
7.2
Pengungsi Gelombang II
Ledakan pipa gas ini mengakibatkan tanggul di sisi utara sumur jebol
dan akibatknya menenggelamkan lebih banyak desa ketimbang banjir yang pertama,
hal ini karena lumpur yang sudah tertampung di tempat penampungan memiliki
volume dan tekanan yang besar, belum lagi ditambah dengan tingginya curah hujan
di kecamatan porong dan diatas sumur lumpur dan penampungan. Akibatnya banjir
lumpur menenggelamkan Desa Renokenongo dan Kedungbendo secara keseluruhan,
Ketapang (timur), Kalitengah (selatan sungai) dan mengancam desa Gempolsari,
Glagah Arum dan Sentul di Kecamatan Tanggulangin. Curah hujan tinggi dan tidak
mengalirnya air dan lumpur dengan baik ke kali porong, air lumpur telah meluap
dan menenggelamkan (kembali) desa Besuki, Kedungcangkring dan Pejarakan
Kecamatan Jabon.
Jumlah pengungsi di Pasar Baru Porong sebanyak 4060 KK atau 14452
jiwa, di Dinsos Sidoarjo 25 KK atau 79 jiwa, di balai desa Ketapang 93 KK atau
347 jiwa, di Balai Desa Kalitengah 21 KK atau 96 jiwa sedangkan di tanggul Kali
Porong sebanyak 232 KK atau 1036 jiwa, sehingga total pengungsi gelombang kedua
adalah sebanyak 4431 KK atau 16010 jiwa.
Jumlah pengungsi ini belum ditambah dengan pengungsi dari desa
Renokenongo dan Kedungbendo yang berada di Perumtas I dan mengungsi kembali
karena rumah kontrakan mereka tenggelam dan sekali lagi menjadi pengungsi tanpa
fasilitas pengungsi.
Sehingga bila dijumlahkan maka total jumlah pengungsi yang mengungsi
karena terjangan banjir lumpur lapindo adalah gelombang pertama sebanyak 3285
KK atau 12607 jiwa sedangkan pengungsi gelombang kedua sebanyak 4431 Kk dan
16010Jiwa sehingga total pengungsi akibat banjir lumpur lapindo adalah sebanyak
7716 KK atau 28617 jiwa. Ribuan KK yang terbaikan hak-haknya dan puluhan ribu
rakyat yang hilang hak-hak dasarnya belum lagi anak-anak yang kehilangan masa
kecilnya yang mungkin akan berakibat hilangnya satu generasi di porong,
tanggulangin dan jabon.
7.3
Kesengajaan Menenggelamkan Kawasan Pemukiman oleh Warga Sendiri
Pemerintah bukannya tutup mata dan telinga terhadap penderitaan
rakyat, walau terasa kurang serius saja menanganinya. Permintaan ganti rugi, agas rakyat segera
dapat hidup dengan layak dan tenang sudah juga dikabulkan dengan 1juta untuk
tanah pemukiman, 1,5juta untuk bangunan rumah dan 120rb untuk tanah sawah telah
disepakati walau entah kapan akan terealisasi.
Belum lagi usaha untuk mempersulit dengan LBI meminta tanda kepemilikan
yang saha berupa sertifikat tanah (padahal rakyat jarang memiliki karena
percaya pada letter c, pethok d dan bothekan di desa), anehnya lagi saat
pembebasan tanah tidak ada permintaan sertifikat, cukup dengan bukti dari desa
pembelian berjalan lancar.
Akibat lebih lanjut dari janji surga ini mulai terasa. Pada beberapa
tempat (Perumtas sisi utara dan desa Kedungbendo sisi barat) dengan sengaja
menolak penanggulan karena mereka ingin desanya tenggelam dan memperoleh ganti
rugi, bahkan dengan gembira ria mereka mengungsi. Walau pada akhirnya terjadi penyesalan karena
banyaknya persayaratan adminsitrasi yang belum dimiliki, KTP hanya Kipem,
sertifikat yang masih di Bank karena rumahnya KPR dan banyak masalah yang muncul
di pengungsian, yang seenak apapun jauh lebih enak di rumah sendiri. Yang terparah adalah saat rumah belum
tenggelam sudah mengevakuasi isi rumah dan keluarga tetapi juga perlengkapan
rumah seperti kusen, pintu dan daun jendela bahkan genting.
7.4
Kondisi Pengungsi Gelombang II
Pos pengungsian Pasar Baru Porong kembali beroperasi kembali karena
terjadinya gelombang pengungsian akibat pecahanya pipa gas. Jumlah pengungsi
dan asal desa yang semakin banyak mengakibatkan pengaturan pengungsian dan
pembagian tempat menjadi lebih kompleks ketimbang pengungsian pertama. Belum lagi tata laksana pengungsian tidak
lagi ditangani oleh TNI (Yon Zipur V) tetapi langsung oleh Satlak, terlihat
ketidak siapan Satlak dan Pemda Sidoarjo menangani pengungsi. Bukan hanya masalah fasilitas yang seringkali
bermasalah seperti pengriman air bersih yang terlambat dan terlebih lagi
masalah makanan. Selain lebih sedikit
ketimbang pengungsian pertama, penanganan oleh katering yang dibantu oleh
pramuka menuai masalah dengan beberapa kali makanan yang dibagikan ke pengungsi
sudah basi dan bahkan berbelatung.
Masalah penanganan kesehatan juga tidak selengkap pengungsian yang
pertama, karena terkonsentrasi di satu titik belum lagi tidak ada bantuan bailk dari TNI maupun Partai dan
lembaga relawan (yang memang dibatasi kalau tidak boleh dikatakan
dilarang). Pendampingan anak tidak ada
(tidak diijinkannya lembaga luar masuk ke pos pengungsi pasar baru porong)
sehingga masalah psikologi dan pendidikan anak-anak benar-benar terbengkalai. Belum lagi untuks
Propaganda pemerintah daerah sidoarjo dan satlak yang menyatakan
bahwa pengungsi tertangani dengan baik menuai masalah. Bukan hanya tidak ada lembaga eksternal (LSM,
Partai atau lembaga lain) yang turut membantu menangani pengungsi atau sekedar
mengirim bantuan menjadi sedikit (kecuali saat hari raya korban) tetapi saat
muncul masalah di pengungsian menjadi berita besar yang mempermalukan satlak
dan pemkab sidoarjo. Sampai saat ini
bantuan masuk ke pengungsian hanya diijinkan dalam bentuk barang dan akan lebih
diterima lagi kalau melibatkan seremonial yang layak masuk koran dan
televisi. Sedangkan bantuan dalam bentuk
tenaga pendamping baik untuk pengungsi secara umum apalagi untuk anak tidak
mendapat ijin, walau pendampingan untuk anak-anak sama sekali tidak ada. Rupanya satlak dan pemkab sidoarjo menganggap
pengungsi tidak ada bedanya antara orang dewasa, anak dan bayi ataupun lelaki
dan perempuan, pengungsi hanyalah pengungsi yang dihitung berdasar kepala tanpa
ada pembedaan sama sekali sehingga perlakuan dan penangganan dapat dilakukan
secara seragam. Atau memang diberlakukan
isolasi dengan tujuan-tujuan tertentu.
7.5
Penanggulan Setengah Hati
Akibat dari ledakan pipa gas, luasan banjir lumpur semakin melauas
terutama ke arah utara dan tinmur sumur.
Untuk mencegah perluasan banjir lumpur dilakukan penanggulan, tetapi
entah kenapa penanggulan terasa dilakukan setengah hati dan sekenanya
saja. Ternyata masalahnya adalah
ketiadaan dana baik untuk pembelian sirtu, operasional transportasi sirtu dan
aktifitas penanggulan (alat-alat berat).
Penanggulan dilakukan dengan mengambil tanah sawah di deakt tanggul
seperti yang ada di dusun sengon desa renokenongo dan desa gempolsari yang
akibatnya saat debit lumpur membesar tanggul jebol. Bahkan di desa kali tengah dan gempol sari
warga melakukan patungan untuk membeli solar dan membayar operator alat-alat
berat guna menanggul desa mereka, walau saat ini telah jebol.
Penanggulan di dalam perumtas (yang rencananya untuk menyelamatkan
separuh perumtas, khususnya sebelah utara dan desa-desa di sebelahnya gagal)
dilakukan dengan setengah hati dengan besar tanggul yang tidak seberapa dan
mutu sirtu yang jelek. Juga demikian untuk
desa ketapang, hanya separuh jalan penanggulan dihentikan tanpa ada
penjelasan. Akibatknya desa-desa di
sebelah utara tenggelam oleh air lumpur dan terancam oleh banjir lumpur,
seperti desa gempolsari, kalitengah, glagah arum dan sentul.
Pada akhirnya usaha penutupan tanggul yang jebol akibat ledakan pipa
gas dapat djuga dilakukan, walau dengan mutu tanggul yang tidak sebaik
penanggulan pertama. Untuk sementara
lumpur dapat dikendalikan dan diusahakan untuk menggalir ke arah spill way, walau air lumpur tetap saja
menerjang ke arah utara. Sedangkan spill way mengalami pendangkalan dan air
lumpur meluap ke pemukiman-pemukiman penduduk di sekitar spill way.
8
Ganti Rugi
Wacana ganti rugi telah bergulir beberapa kali dan beberapa kali
pula dilakukan penyesuaian baik penyesuaian yang dilakukan oleh rakyat
pengungsi maupun oleh Timnas dan Pemkab Sidoarjo sebagai perpanjangan tangan
dari Pemerintah dan LBI. Pada awalnya
rakyat bersikeras tidak akan menjual tanahnya, sedangkan Timnas memaksakan
adanya relokasi permanen, gagal total dan tidak ada kesepakatan. Selanjutnya rakyat bersikeras menjual tanah
mereka pada LBI karena melihat tidak ada kemungkinan untuk kembali ke tanah
leluhur mereka, Timnas tetap menginginkan reloaksi permanen. Tekanan rakyat membesar bahkan sampai
menduduki Pendopo Pemkab Sidoarjo sampai disepakati adanya ganti rugi dengan
rincian tanah perumahan 1 juta, bangunan rumah 1,5 juta dan tanah sawah 120 rb
permeter persegi. Tidak berhenti sampai
disitu, LBI dengan bantuan Timnas memberlakukan ganti rugi harus dilakukan
dengan mekanisme jual beli biasa yang artinya rakyat harus menyiapkan tanda
bukti kepemilikan berupa sertifikat (tidak menerima letter c dan pethok d),
dengan batas waktu pembayaran 2 tahun ke depan.
8.1
Relokasi Sementara
Relokasi sementara (uang kontrak untuk 2 tahun sebesar 5 juta
ditambah dengan 500 ribu untuk biaya pindahan) diberikan pada pengungsi untuk
mencari rumah (kontrakan) baru yang jauhd ari lokasi bencana sembar menunggu
penyelesaian ganti rugi baik dengan sistem relokasi permanen maupun jual
beli. Pemberian uang kontrak diberikan
per kepala keluarga berdasarkan Kartu Susunan Keluarga.
Kebijakan yang terasa bijaksana tetapi rentan menimbulkan masalah
baru. Perpindahan penduduk apalagi
secara besar-besaran bukan hanya meningkatkan nilai kontrak rumah (walau masih
dapat dijangkau dengan uang relokasi), tetapi yang paling berbahaya adalah
permasalahan ekonomi, sosial, dan budaya.
Masyarakat pengungsi yang berlatar belakang pedasaan dipaksa untuk
mencari rumah kontrakan yang relatif ada diperumahan, masalah gegar budaya
terjadi. Tuntutan hidup ala perumahan
sudah merasuki pada pengungsi seperti kepemilikan handphone untuk orang tua dan
paly station untuk anak-anak menjadi masalah baru. Belum lagi permasalahan jaunya dari tempat
mencari pekerjaan (sawah dan tambak) menjadikan kepemilikan sepeda motor
sesuatu yang bersifat wajib.
Permasalahan jauhnya anak dari tempat sekolah juga menjadi masalah baru
yang harus dipecahkan oleh orang tua.
Banyak permasalahan-permasalahan kecil lain yang timbul seperti
hilangnya budaya silahturohmi melalui tahlilan dan seni terbangan menjadi
semakin pudar.
Belum lagi lokasi relokasi sementara (Perumtas I yang banyak dihuni
oleh pengungsi dari dari Desa Kedungbendo dan Renokenongo) diterjang banjir
lumpur, terjadi perpindahan lagi dan tentu akan muncul masalah seperti
ketiadaan dana dan semakin jauhnya dari tempat kerja dan tempat sekolah bagi
anak. Belum lagi ketidakpastian ganti
rugi dan pengurusan adminstrasi dan birokrasi sertifikat menjadi permalahan
baru yang harus tetap dipikirkan siang dan malam oleh para pengungsi si tempat
relokasi sementara mereka. Bukan tempat
atau relokasi sementara yang dibutuhkan oleh pengungsi tetapi kepastian tempat
tinggal, bekerja, beraktifitas sebagai manusia pribadi dan keluarga tanpa
dibayang-bayangi banjir lumpur dan ketidakpastian ganti rugi yang mereka
peroleh, entah dalam bentuk apapun yang penting pasti.
8.2
Relokasi Permanen (Rekomendasi Pemerintah)
Relokasi permanen atau bedhol desa merupakan wacana yang ditawarkan
oleh Timnas beserta aparat Pemkab Sidoarjo.
Sebuah wacana yang mulai dari awal keluar sampai saat ini masih ditolak
mentah-mentah oleh rakyat pengungsi.
Bukan karena yang ditawarkan tidak bagus tetapi konsep yang ditawarkan
oleh Timnas jauh dari budaya lokal masyarakat.
Pemaksaan konsep perumahan perkotaan yang individualistis sebagai
pengganti budaya pedesaan yang menekankan kebersamaan. Sepertinya Timnas sama sekali tidak memahami
budaya dan kearifan lokal yang masih dipegang teguh oleh rakyat pengungsi.
Pemukiman di desa yang mengutamakan kebersamaan tidak diindahkan
oleh Timnas dalam mengonsep areal relokasi permanen (400 ha yang telah
dipersiapkan untuk mengganti 4 desa yang sudah tenggelam.
(1) Timnas mengganti rumah model pedesaan yang terbuka (keempat sisi
rumah terbuka) dengan model perumahan yang saling berhimpitan satu deegan yang
lain). Rakyat enggan punya rumah dengan
jendela hanya di depan, sedangkan kamar tidak ada jendela langsung ke halaman.
(2) Halaman rumah yang luas untuak menanam buah-buahan dan kebutuhan
hidup lain digantikan dengan secuil tanah untuk taman.
(3) Rumah yang disediakan hanya 3 tipe (120, 70 dan 45) sebagai
pengganti rumah yang tenggelam.
Sedangkan penilaian rumah yang tenggelam lumpur hanya dinilai dengan
kelas A, B dan C berdasar mutu bangunan tanpa mempertimbangkan luas tanah.
(4) Pembangunan dilakukan oleh pemborong yang ditunjuk oleh Timnas
sehingga rakyat pengungsi meragukan mutu dan kwalitas bangunan.
Rakyat pengungsi
akan menerima konsep relokasi sementara bila:
(1) Penggantian luas tanah sesuai dengan luas tanah yang sebelumnya
dimiliki oleh rakyat. Sehingga kebutuhan
untuk halaman sebagai tempat menanam tumbuhan buah, obat dan sayur tetap dapat
dilakukan. Setiap ruangan rumah dan
kamar dapat memiliki jendela yang langsung menghadap ke halaman masing-masing
(sirkulasi udara dan sinar matahari langsung)
(2) Bangunan dibangun sendiri dengan konsep ganti rugi bangunan sebesar
1,5 juta permeter persegi. Sehingga mutu
dan kwalitas bangunan serta bentuk dan luas bangunan dapat disesuaikan dengan
keinginan dan kebutuhan pemilik rumah.
Kondisi
ketidakpastian saat ini membuat rakyat telah mau menerima konsep ganti rugi
dengan relokasi permanen tetapi dengan pergantian tanah yang adil (sama
luasnya), pelaksanaan pembangunan dilakukan sendiri sesuai mutu, bentuk dan
luas yang dibutuhkan dan kejelasan jumlah ganti rugi bangunan. Selain itu fasilitas umum yang memadai
seperti sekolah, tempat ibadah, rumah sakit, akses jalan, pusat industri dan
perdagangan serta areal persawahan tetap harus ada. Rakyat tidak meminta lebih, hanya memperoleh
kembali seperti dulu yang dimiliki, tidak lebih tidak juga kurang.
8.3
Ganti Rugi Rumah dan Tanah (Cash
and Carry)
Ganti rugi dengan menerima uang melalu proses jual beli merupakan
hal terakhir yang dipikirkan oleh rakyat juga oleh Pemkab dan Timnas. Tetapi karena ketidakpastian yang dirasakan
oleh rakyat perihal ganti rugi dan kejelasan mengenai masa depan diri dan
keluarganya, jalan pintas diambil, ganti rugi dalam bentuk uang dan selanjutnya
rakyat mengatur sendiri hidupnya.
Sebenarnya rakyat enggan menjual tanah leluhurnya (kecuali beberapa
pendatang yang menikah dengan masyarakat asli bersikeras menjual, karena
kemudian kepemilikan akan jatuh pada mereka) tetapi karena ketidakpastian masa
depan dan ketidak mungkinan untuak kembali ke tanah leluhur mereka, maka ganti
rugi dengan sistem jual beli menjadi kesepakatan akhir.
Ganti rugi sebesar 1 juta permeter persegi untuk tanah pemukiman,
1,5 juta permeter persegi untuk bangunan dan 120 ribu permeter persegi untuk
tanah sawah, sebenarnya tidaklah cukup untuk mengganti tercerabutnya rakyat
dari tanah leluhurnya. Contoh yang kecil
saja, kemana mereka akan “nyekar” makam orang tua dan leluhur setelah ini. Belum lagi muncul permasalahan karena
pembagian tanah waris, banyak keluarga telah terpecah karena bersitegang hak
waris tanah keluarga. Ditingkahi oleh
ronrongan pendatang (lelaki) yang menikah dengan wanita lokal untuk menerima
ganti rugi, karena setelah pindah maka hak kepemilikan akan jatuh pada tangan
mereka. Diperparah lagi oleh para
pendatang yang membeli tanah (kavlingan) dan perumahan yang ngotot untuk
meminta ganti rugi dengan harapan akan memperoleh tempat yang lebih baik dari
yang dimilikinya saat ini.
Permasalahan tidak berhenti sampai disitu saja. LBI sebagai calon tunggal pembeli tanah
karena kerusakan yang disebabkannya mensyaratkan bukti kepemilikan sah untuk
proses ganti rugi seperti proses jual beli tanah biasa. Bisa dimaklumi karena setelah ini LBI akan
punya tanah yang sebegitu luas tanpa bisa dimanfaatkan dan kemungkinan akan
ambles dan berubah menjadi danau lumpur.
Kalau pada saat pembebasan tanah yang dipergunakan untuk pengeboran LBI
mau menerima pembelian tanah dengan bukti kepemilikan letter C dan pethok D
saja (karena tidak luas dan murah) saat ini LBI harus membeli tanah yang begitu
luas dengan dana yang sebegitu besar.
Bukan masalah kepemilikan yang sah sebenarnya yang dipermasalahkan
tetapi lebih sebagai usaha untuk mengulur penyelesaian masalah dan kalau bisa
lepas dari tanggung jawab untuk mengganti rugi tanah yang sebegitu luas.
9. Tuntutan
Rakyat
Sebenarnya tidak
banyak dan tidak sulit yang dituntut oleh rakyat pengungsi korban lumpur
lapindo saat ini, hanya kembali hidup normal dan layak serta bermartabat seperti
sedia kala. Entah relokasi permanen
ataupun jual beli rakyat akan menerima dengan lapang dada (walau tetap saja
telah dirugikan) asal adil dan sesuai dengan kebutuhan dan keinginan mereka,
keinginan yang sederhana. Tuntutan yang
telah terjabarkan pada bagian ganti rugi di atas.
Hidup normal
dalam rumah sendiri, tenang dalam bekerja, rumah tangga yang normal tanpa
dibayang-bayangi kedatangan lumpur, anak bersekolah dengan baik, kehidupan
bermasyarakat dan aktifitas sosial yang normal, cuman itu tidak lebih dan tidak
kurang. Apakah terlalu sulit? Sepertinya tidak, tetapi entah mengapa sulit
sekali diwujudkan oleh LBI, Satlak, Pemkab Sidoarjo dan Timnas.
10. Rekomendasi Untuk DPR
(Pansus RUU Penanggulangan Bencana), Pemerintah Pusat dan Bappenas
Berdasar pemaparan data dan fakta serta hasila analisis sosial di
atas maka kami merekomendasikan:
10.1 Penanganan Teknis
(1) Tetap dapat dilakasanakan seperti sediakala tetapi tetap
dilaksanakan dengan serius tanpa ada alasan ketidaaan dana untuk operasional
teknis.
(2) Pengawasan yang ketat oleh pemerintah dalam pelaksanaan kerja karena
terkait dengan keamanan rakyat di desa-desa yang terancam air dan lumpur serta
fasilitas umum khususnya jalan raya, rel KA dan gardu instalasi listrik milik
PLN.
(3) Melakukan audit terhadap kemungkinan kecurangan dan korupsi pada
pelaksanaan kerja teknis yang menjadi lahan basah baik pada tingkatan
pemborong, Pemkab, Satlak maupun Timnas.
10.2 Penanganan Masalah
Sosial
(1) Segera diberikan uang kontrak
untuk relokasi sementara bagi masyarakat pengungsi yang terkena dampak langsung
maupun tidak langsung banjir lumpur lapindo.
(2) Segera merealisasikan ganti
rugi baik dalam bentuk relokasi permanen maupun dalambentuk cash and carry
tanpa harus mensyaratkan bukti kepemilikan berupa sertifikat, letter C, pethik
D dan bothekan desa sudah lebih dari cukup sebagai bukti.
(3) Melakukan audit pada
pelaksana kerja penanganan masalah sosial seperti pengelolah Posko Terpadu,
Dapur Umum, Pemkab, Satlak dan Timnas terkait dengan penanganan masalah sosial.
(4) Tidak menjadikan kasus
lapindo (sebagai salah satu contoh kasus kejahatan korporasi dan kegagalan
teknologi) sebagai kasus bencana alam, karena akan melepaskan korporasi dan
pribadi yang melakukan dari tanggung jawab secara finansial dan sosial kepada
masyrakat.
(5) Memasukkan kejahatan
korporasi dan kegagalan teknologi yang merugikan masyarakat secara luas ke
dalam Undang-Undang Bencana tetapi dengan aturan khusus (tanggung jawan sosial
dan finansial ada pada korporasi dan pribadi yang melakukan dan pemerintah
sebagai pengawas).
(6) Menjadikan penanganan masalah
sosial kasus kejahatan korporasi dan kegagalan teknologi sebagai penanganan
bencana sehingga banyak pihak (lembaga relawan dan kemanusiaan) dapat terlibat
aktif membantu meringankan beban pengungsi dan pemerintah daerah dan pusat
menanganinya.
(7) Akses informasi bagi
masyarakat luas mengenai bahaya kejahatan korporasi dan kegagalan teknologi
sebagai bencana nasional sehingga masayarakat dapat berperan aktif membantu
meringankan permasalahan sosial yang muncul dan berdaya serta bersiaga
menhadapi bencana yang sama tanpa harus menjadikan bencana kejahatan korporasi
dan kegagalan teknologi sebagai bencana alam.
11. Lampiran Data, Fakta dan
Kejanggalan-Kejanggalan
11.1 Data Korban Per 02 Februari 2007
Pengungsi per 02 Februari 2007 |
|||
Pasar Porong
Baru (PPB) |
Renokenongo |
1057 |
3692 |
PERUMTAS |
1612 |
5506 |
|
Kedungbendo |
849 |
3515 |
|
Perum TCPP |
10 |
36 |
|
Kali Tengah |
12 |
45 |
|
BPSI Dinsos
Sidoarjo |
Renokenongo |
25 |
79 |
Tanggul Kali
Porong |
Besuki |
10 |
60 |
Pejarakan |
78 |
400 |
|
Kedungcangkring |
144 |
576 |
|
Balai Desa
Kali Tengah |
Kali Tengah |
21 |
96 |
Jumlah |
3793 |
13926 |
TOTAL PENGUNGSI
Pos Pengungsi |
Desa Asal |
Jumlah KK |
Jumlah Jiwa |
Pengungsi
sebelum ledakan pipa gas |
|||
Pasar Porong
Baru (PPB) |
Jatirejo +
Siring + Renokenongo + Kedungbendo |
2605 |
9936 |
Balai Desa
Renokenongo |
Renokenongo |
188 |
725 |
Balai Desa
Kedungbendo |
Kedungbendo |
125 |
463 |
Jalan Tol |
Besuki +
Ginonjo |
223 |
949 |
Tempat lain |
|
144 |
534 |
Jumlah |
3285 |
12607 |
|
Pengungsi
Pasca Ledakan Pipa Gas (221106 |
|||
Pasar Porong
Baru (PPB) |
Renokenongo |
1057 |
3692 |
PERUMTAS |
2132 |
7164 |
|
Kedungbendo |
849 |
3515 |
|
Perum TCPP |
10 |
36 |
|
Kali Tengah |
12 |
45 |
|
BPSI Dinsos
Sidoarjo |
Renokenongo |
25 |
79 |
Balai Desa
Ketapang |
Ketapang |
93 |
347 |
Tanggul Kali
Porong |
Besuki |
10 |
60 |
Pejarakan |
78 |
400 |
|
Kedungcangkring |
144 |
576 |
|
Balai Desa
Kali Tengah |
Kali Tengah |
21 |
96 |
|
4431 |
16010 |
|
TOTAL PENGUNGSI |
7716 |
28617 |
Data
Perawatan Korban
No. |
Rumah Sakit |
Rawat Jalan |
Rawat Inap |
Inap |
Keterangan |
1 |
Puskesmas
Porong |
3929 orang |
360 orang |
6 orang |
Aktif |
2 |
Pos Kesehatan
Pasar Porong |
18897 orang |
1304 orang |
0 |
Aktif |
3 |
RS Bhayangkara
Porong |
1419 orang |
340 orang |
0 |
Aktif |
4 |
|
5125 orang |
12 orang |
0 orang |
Aktif |
5 |
RSUD Sidoarjo |
248 orang |
256 orang |
12 orang |
Aktif |
6 |
RS Delta Surya |
1 orang |
5 orang |
0 |
Aktif |
7 |
RS Siti Hajar |
0 orang |
11 orang |
0 |
Aktif |
8 |
Pos Kesehatan
ketapang |
211 orang |
0 |
0 |
Aktif |
8 |
Polindes
Jatirejo |
415 orang |
0 |
0 |
Tidak aktif |
9 |
Polindes
Siring |
226 orang |
0 |
0 |
Tidak aktif |
10 |
Polindes
Renokenongo |
32 orang |
0 |
0 |
Tidak aktif |
11 |
Pos Kesehatan
Jatirejo |
824 orang |
0 |
0 |
Tidak aktif |
12 |
Pos Kesehatan
Renokenongo |
3.821 orang |
0 |
0 |
Tidak aktif |
13 |
Pos Kesehatan
Kedungbendo |
3.605 orang |
0 |
0 |
Tidak aktif |
14 |
Pos Kesehatan
Mobile |
324 orang |
0 |
0 |
Tidak aktif |
15 |
Pos Kesehatan
PKS |
1.702 orang |
0 |
0 |
Tidak aktif |
16 |
Pos Kesehatan
PAN |
344 orang |
0 |
0 |
Tidak aktif |
17 |
Pos Kesehatan
Marinir |
416 orang |
0 |
0 |
Tidak aktif |
18 |
Pos Kesehatan
Jalan Tol |
170 orang |
0 |
0 |
Tidak aktif |
|
Jumlah |
41.428 orang |
1387 orang |
18 orang |
|
Lahan/Tanaman/Ternak
Desa |
Sawah |
Tebu |
Hortikultura
& Palawija |
Unggas |
Kambing |
Sapi |
Tambak |
Lainnya |
Renokenongo |
77,35 ha |
9,08 ha |
0 |
295 ekor |
4 ekor |
0 |
Lahan tambak
nihil tapi bila Lumpur dialirkan ke saluran tambak maka sekitar 7.000 ha
terancam |
0 |
Jatirejo |
29,6 ha |
5,63 ha |
0 |
1.049 ekor |
11 ekor |
2 ekor |
Kijang 7 ekor |
|
Siring |
22.25 ha |
0 |
0 |
261 ekor |
15 ekor |
0 |
0 |
|
Kedungbendo |
3,5 ha |
0 |
0 |
0 |
0 |
0 |
0 |
|
Sentul |
25 ha |
0 |
0 |
0 |
0 |
0 |
0 |
|
Besuki |
82 ha |
3 ha |
0 |
0 |
0 |
0 |
0 |
|
Glagah Arum |
58 ha |
9 ha |
0 |
0 |
0 |
0 |
0 |
|
Kedungcangkring |
27 ha |
19,9 ha |
0 |
0 |
0 |
0 |
0 |
|
Pajarakan |
36 ha |
17,6 ha |
0 |
0 |
0 |
0 |
0 |
|
Mindi |
17,6 ha |
22,1 ha |
0 |
0 |
0 |
0 |
0 |
|
Ketapang |
0 |
0 ha |
4 ha |
0 |
0 |
0 |
0 |
|
Total |
376,2ha |
92,31 ha |
|
1.605 ekor |
30 ekor |
2 ekor |
Kijang 7 ekor |
BANGUNAN
Bangunan |
Lokasi |
Jumlah |
Perumahan |
Siring |
395 |
Jatirejo |
858 |
|
Kedungbendo |
7066 |
|
Renokenongo |
1007 |
|
Besuki |
170 |
|
PERUMTAS I |
6.100 |
|
Ketapang |
1.100 |
|
Jumlah |
18.696 |
|
Sekolah |
|
23 unit |
Kantor |
Koramil dan
Kelurahan Jatirejo |
2 |
Pabrik |
|
24 unit |
Rumah Ibadah |
|
15 unit |
INFRASTRUKTUR
Penerangan
jalan |
Ds Siring dan
Renokenongo |
20 titik |
Saluran
irigasi sekunder |
Juwet |
2.200 m |
Saluran
irigasi tersier |
|
3.475 m |
Bangunan
bagi/sadap/pintu |
|
6 unit |
Bangunan ukur |
|
5 unit |
Boks
tersier/kuarter |
|
4 unit |
Saluran
drainase kampung |
|
4.800 m |
Pengendali
banjir afvour |
Jatianom |
2.750 m |
Afvour |
Ketapang |
1.000 m |
Anak afvour |
Ketapang |
1.500 m |
Saluran
pembuangan (afvour desa) |
Renokenongo |
1.400 m |
Siring |
1.200 m |
|
Jatirejo |
2.000 m |
|
Kedungbendo |
3.000 m |
|
Mindi Hilir |
150 m |
|
Dam pengendali |
|
2 unit |
Jalan aspal |
|
26.800 m |
Jalan tanah |
|
300 m |
Jalan
lingkungan |
|
4.800 m |
Jalan tol |
|
300 m |
Utilitas PDAM
untuk masyarakat |
Jatirejo |
92 unit |
Siring |
68 unit |
|
PDAM untuk
pabrik |
Siring |
1 unit |
Jaringan pipa |
|
850 m |
Jaringan
distribusi |
Siring |
50 |
Jatirejo |
47 |
|
PLN LV panel |
PT Gunungmas |
2 unit |
GCB pembatas
(20 Kv) |
PT Caturputra |
1 unit |
Hydrant umum
(tandon air beton) |
|
5 unit |
Jaringan air
minum (HIPPAM) |
|
1.624 m |
Sambungan
Rumah (SR) |
|
199 SR |
Sumur Bor (air
|
Kedungbendo |
1 Unit |
11.2
Catatan Kecil
1) Kejanggalan-Kejanggalan
1. Pembebasan tanah di”makelari” oleh Lurah Renokenongo tanpa pernah
munculnya pembeli.
2. Sosialisasi peruntukkan tanah untuk gudang bukan untuk pengeboran
gas.
3. Operasi eksplorasi tanpa disertai AMDAL.
4. Sejak terjadi letusan pertama tidak ada sosialisai yang transparan
dan selalu dikatakan tidak berbahaya.
5. Penanganan teknis oleh Tentara dan bukan oleh pelaksana profesional
pertambangan.
6. Belum ada pembicaraan ganti rugi yang transparan. Hanya wacana dan
cenderung memaksakan relokasi, tanpa ditunjukkan lokasi relokasi.
7. Sosialiasi dampak lumpur yang selalu dikatakan tidak berbahaya dan
dapat dimanfaatkan untuk banyak hal.
8. Penanganan dampak sosial yang digembar-gemborkan memadai padahal
jauh panggang dari api.
9. Pembuangan lumpur ke sungai langsung tanpa ada pengolahan sama
sekali dan sering macet pula.
10. Setelah relokasi sementara, pengungsi ring 1 (kedungbendo,
renokenongo, jatirejo dan siring) terabaikan dan bahkan semakin tidak jelas
penyelesaian ganti untung rumah, tanah dan sumber penghidupan.
2). Pengamanan Seperti Daerah Konflik
Jumlah aparat yang dilibatkan:
1. Polisi
2.000 personel
(Polwitabes Surabaya, Polres Sidoarjo dan Polda Jatim)
1.500 Personel
berada di sekitar sumur (daerah jalan tol) dengan batas waktu yang belum
ditentukan sampai kapan berakhir.
500 personel di
sepanjang jalan raya
2. TNI AD
500 personel Yon
Zipur V Malang sebagai petugas koordinator penanggulangan luapan lumpur
(berkoordinasi denganm Satlak dan Timnas)
500 personel
yang dibantu oleh Koramil Porong, Tanggulangin, dan Jabon sebagai petugas
kemanan.
2.000 peronel
atas nama TMMD (Tentara Manunggal Membangun Desa) yang bertugas membantu
pelaksanaan kerja lapangan.
Titik2 pengamanan yang dijaga ketat oleh
aparat keamanan (20 titik)
1. Delapan desa (8 titik) yang tenggelam tergenang lumpur, dengan
masing2 3 (tiga) regu keamanan.
2. Pos2 kemanan sepanjang tol
3. Gardu PLN di Jalan Raya Porong (1 titik).
4. Pintu masukl Desa Siring, karena seringh terjadi unjuk rasa warga (1
titik).
5. Diekitar relief well (Jatirejo
dan Renokenongo) (2 titik).
6. Dibawah Tol Siring (1 titik)
7. Pinggir tanggul kali porong tempat pembuangan air lumpur (1 titik).
8. Pengawasan pada alat2 berat dan juga dilakukan patrol bermotor
diseputaran tanggul lumpur.
3) Keganjilan-Keganjilan
Diseputar Kasus Banjir Lumpur Lapindo
1. Awal Mula Negosiasi Pembebasan Tanah
Tidak ada
sosialisasi dan transparansi mengenai rencana eksplorasi Gas oleh PT Lapindo
Brantas Inc. Sosialisasi pembebasan tanah dilakukan oleh aparat desa (Bu Kades
Renokenongo) dengan peruntukkan sebagai gudang peralatan berat.
Negosiasi
pembebasan tanah dilakukan oleh warga pemilik dengan aparat desa (renokenongo)
sedangkan PT Lapindo sebagai pembeli tidak pernah menampakkan diri. Bahkan pembayaran oleh aparat desa dengan
kwitansi tanpa tanda pengenal pembeli (Lapindo).
Pendirian
eksplorasi gas lapindo menyalahi Undang-Undang Lingkungan (didirikan dekat
dengan perkampungan dan fasilitas umum) dan tidak ada AMDAL.
2. Awal Mula Bencana
Sejak letusan
pertama tidak ada tanda bahaya yang memperingatkan masyarakat sekitar
sumur.
Sosialisasi
dilakukan Lapindo yang menyesatkan karena menyampaikan tidak akan ada bahaya
dari luapan lumpur yang terjadi.
3. Keamanan dan Penanggulangan Bencana
Keamanan
langsung ditangan TNI, walau bukan daerah konflik dan bukan fasilitas penting
negara tetapi penjagaan oleh TNI relatif ketat.
Lapindo sangat
siap dan segera dapat bertindak dengan cepat dalam menangani dampak2 sosial
yang terjadi akibat luapan lumpur.
Penanggulangan
luapan lumpur dilakukan oleh 18 kontraktor dibawah koordinasi Yon Zipur V
Malang dan bukan oleh kontraktor atau lembaga profesional.
Proses penanggulan
dan berbagai tindakan penanggulangan tanpa proses sosialisasi apalagi negosiasi
dengan warga korban dan pemilik lahan.
4. Sosialisasi dan Informasi
Selalu digembar
gemborkan (melalui media
Tidak
tersampaikannya dengan lengkap dan cukup (disensor atau ditunda) berita2 dan
informasi2 penting yang ada di lapangan.
Pernyataan2
pejabat setempat dan bahkan pusat yang berpihak pada Lapindo bukan pada masyarakat
korban.
Maslah kerugian
fasilitas umum lebih dominan dibahas ketimbanga kerugian masyarakat secara
langsung dan kerusakan lingkungan.
5. Penanganan Pengungsi
Diserahkan pada
Satla Kab. Sidoarjo dengan operator lapangan TNI.
Sulitnya
organsisasi2 relawan dan kemanusiaan ikut bekerja membantu menangani
pengungsi. Koordinasi dan pengawasan
oleh Posko Terpadu yang ketat dan birokratif.
Penanganan
pengungsi tanpa skala prioritas dan ketepatan sasaran. Contoh, pemberian makanan berupa nasi bungkus
(yang tidak matang) + air minum dengan hitung kepala tanpa membagi dalam
klasifikasi usia sehingga bayipun diperlakukan sama dengan orang dewasa.
Pengawasan yang
ketat oleh Satlak maupun TNI terhadap aktifitas berbagai organisasi dan media
6. Ganti Rugi
Jaminan hidup
yang terlambat diberikan bahkan dengan pengurusan yang relatif sulit.
Uang kontrak
rumah untuk relokasi sementara dibebani klausul2 yang meringankan Lapindo dan
Satlak. Contoh Klausul Kontrak:
1)
Kerusakan rumah (yang tenggelam)
selama relokasi ditanggung oleh pemilik.
Padahal
penanggulangan disekitar pemukiman penduduk terus dilakukan, khususnya untuk
menyelamatkan Rel KA dan Jalan Tol.
2)
Tidak boleh menuntut Lapindo
dalam bentuk apapun baik pidana maupun perdata.
Saat ini telah
berhasil direvisi berkat perjuangan saudara2 masyarakat RT 20 Dusun Balongnongo
Desa Renokenongo.
Belum ada
pembicaraan mengenai ganti rugi (nilai maupun klasifikasi) telah
disosialisasikan mengenai rencana relokasi (sabtu 07 oktober 2006 di Pendopo
Kab. Sidoarjo) yang secara ekonomi, sosial dan budaya sulit diterima oleh
masyarakat.
7. Kerja Timnas Penanggulangan Luapan Lumpur
Lebih
berkonsenrtasi untuk sosialisasi membuang lumpur ke laut. Lembaga advokasi lingkungan (Walhi salah
satunya) ditolak dan diharamkan oleh warga korban secara sistematis.
Lebih
mementingkan menyelamatkan Fasilitas Umum (Rel KA dan Jalan Tol) ketimbang
memikirkan masalah pengungsi.
4)
Seklilas data dan Fakta (per 09 Oktober 2006)
1. Mud
Volcano (lumpur panas lapindo)
Merupakan hasil
sedimentasi yang naik ke atas (permukaan bumi) dari kedalaman 3000 – 4000 meter
di bawah tanah.
Di seluruh dunia
kurang lebih telah terjadi sebanyak 700 kasus dengan 300 kasus terjadi di
Azerbaijan, merupakan tanda2 adanya kandungan minyak bumi yang tinggi. Kasus terbesar (
Kasus Porong
menjadi luar biasa karena terjadi di daerah pemukiman dan industri.
Luapan lumpur
akan berhenti dengan sendirinya saat tekanan udara yang ada di perut bumi
dengan yang ada di permukaan bumi sama, dan tidak bisa dihentikan secara
teknis.
Saat ini setiap
harinya mengeluarkan material (lumpur dan air) sebanyak 126.000m3 perhari.
2.
Korban
1) Perusahaan dan UKM yang tutup
27 perusahaan
tutup, 40 UKM tutup, 1.700 buruh menganggur, 241ha sawah produktif hancur,
1.810 rumah penduduk tenggelam dengan kerugian material diperkirakan sebesar
Rp3trilyun, dan masih akan bertambah.
2) Dampak lingkungan
*
Topografi
Perubahan
wilayah dari wilayah persawahan dan pemukiman akan menjadi danau lumpur.
*
Penurunan tanah
Telah turun
sedalam 1 meter dan terus menurun dengan percepatan 1,5cm perhari.
*
Luapan lumpur
Material (lumpur dan air) yang dikeluarkan sebesar 126.000m3
perhari, dan tinggi semburan mencapai 15m dari atas permukaan tanah.
* Rencana pembuangan lumpur ke laut melalui
sungai porong
Menyebar lumpur
ke selat madura dengan akibat air bertambah beruh dan adanya sedimentasi
sehingga merusak ekosistem pesisir dan laut di selat madura.
5) Catatan:
1. Pengeboran yang dilakukan Lapindo Brantas Inc. Pelanggaran terhadap
Undang-Undang Lingkungan
2. UU No. 22 tahun 2001 menyatakan bahwa tanggung jawab pengeboran ada
pada BP Migas.
11.3 Kronologi Penanganan Banjir Lumpur Lapindo di Porong
29
mei 2006
Lumpur panas keluar pertama kali dari
area sumur banjar panji 1 (BJP-1) Desa Renokenongo – Porong
5
Juni 2006
Luapan lumpur mulai mengenangi 10
hektar sawah disekitar sumur dan mengalir menjur jalan tol yang terletak 200
meter dari pusat sumur.
8
juni 2006
Warga desa jatirejo, siring dan
renokenongo mulai mengungsi dan kekurangan makanan-minuman.
9
Juni 2006
Menteri Lingkungan Hidup meminta
pertanggung jawaban PT Lapindo
18
Juni 2006
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral
menyatakan bahwa PT Lapindo yang harus bertanggung jawab.
21
Juni 2006
Menko Kesra (pemilik Lapindo)
menyatakan bahwa PT Lapindo akan bertanggung jawab.
28
Juli 2006
Batas waktu penghentian sembutan
lumpur (skenario 1) dari BP Migas tidak terpenuhi.
31
Juli 2006
Polisi menetapkan Imam P. Agustino,
Presdir PT Medici Yeni Nawawi, Vice Drilling Share Service PT Energi Mega
Persada Nurohmad Sawulo dan 9 pengawas pengeboran sebagai tersangka (yang
sampai saat ini tidak ada kelanjutan pemeriksaan dan penyidikan).
6
Agustus 2006
Warga desa Siring dan Jatirejo mulai
dievakuasi habis.
22
Agustus 2006
Menteri Lingkungan Hidup menyetujui
pembuangan lumpur ke laut melalui sungai porong.
25
agustus 2006
Terjadi ledakan di pusat semburan
lumpur dan dinyatakan 2 petugas tewas (?)
6
September 2006
Kelurahan Jatirejo lenyap tenggelam.
29
September 2006
Rel KA di lintasan tanggulangin –
porong melengkung sepanjang 15 meter akibat penurunan tanah.
2
Oktober 2006
Tim dari IPB menyatakan ada penurunan
tanah hingga 94 cm.
11
Oktober 2006
Sejumlah jembatan di sekitar sumur
lumpur mulai retak dan miring.
15
Oktober 2006
Spillway mulai mengalirkan lumpur ke
kali porong
30
Oktober 2006
Aliran lumpur tidak terkendali dan
lumpur dari spillway meluber ke pemukiman penduduk di desa pejarakan dan
kedungcangkring.
22
November 2006
Terjadi ledakan gas akibat dari
patahnya pipa gas BP migas, 13 orang dinyatakan meninggal dan 2 orang tidak
ditemukan (?)
25
Desember 2006
Jembatan tol porong mulai dibongkar
karena telah retak dan miring.