Daniel Sugama
Stephanus, SE., MM., MSA., Ak., CA |
Juli 2014 |
Bisnis dan aktivitas
ekonomi dari sebuah entitas pada umumnya bertujuan untuk memperoleh
keuntungan dan menginginkan pertumbuhan ekonomi untuk meningkatkan nilai
entitasnya. Seringkali, dengan
menjadikan keuntungan dan pertumbuhan sebagai tujuan menjadikan entitas
ekonomi akan menghalalkan segala cara seperti mengeksploitasi tenaga kerja
dan mengabaikan kelestarian lingkungan di sekitarnya bahkan mengorbankan
konsumen sebagai sumber pendapatannya.
Konsep Tripple Bottom Line (People, Planet, and Profit) merupakan
konsep bisnis dan aktivitas ekonomi yang berbeda. Mengedepankan konsep pemberdayaan
masyarakat baik karyawan, konsumen, maupun masyarakat secara umum
menjadikan entitas ekonomi berorientasi untuk mengedukasi dan mengadvokasi
manusia sebagai factor utama menjaga pertumbuhan dan kelanjutan usaha yang
manusiawi. Kemudian, entitas ekonomi
menjadikan kelestarian alam sebagai dasar untuk bukan hanya menjaga
keberlanjutan bahan baku dan energy, tetapi benar-benar menjaga lestarinya
planet Bumi sebagai satu-satunya tempat hidup manusia. Bila manusia sudah berdaya dan planet
tetap lestari, profit atau keuntungan akan dating dengan sendirinya baik
keuntungan yang dinikmati oleh manajemen sebagai agen pengelola entitas
maupun investor sebagai pemilik entitas ekonomi tersebut. |
ABSTRAKS
Bisnis dan aktivitas ekonomi dari
sebuah entitas pada umumnya bertujuan untuk memperoleh keuntungan dan
menginginkan pertumbuhan ekonomi untuk meningkatkan nilai entitasnya. Seringkali, dengan menjadikan keuntungan dan
pertumbuhan sebagai tujuan menjadikan entitas ekonomi akan menghalalkan segala
cara seperti mengeksploitasi tenaga kerja dan mengabaikan kelestarian
lingkungan di sekitarnya bahkan mengorbankan konsumen sebagai sumber
pendapatannya.
Konsep Tripple Bottom Line (People,
Planet, and Profit) merupakan konsep bisnis dan aktivitas ekonomi yang
berbeda. Pertama, mengedepankan konsep
pemberdayaan masyarakat baik karyawan, konsumen, maupun masyarakat secara umum
menjadikan entitas ekonomi berorientasi untuk mengedukasi dan mengadvokasi
manusia sebagai factor utama menjaga pertumbuhan dan kelanjutan usaha yang
manusiawi. Bila masyarakat teredukasi dengan produk yang berkualitas apalagi
dengan harga terjangkau, dijamin kesetiaan konsumen pada produk dan perusahaan
akan terjaga. Di sisi lain, karyawan
yang teredukasi dengan baik akan menciptakan tenaga kerja yang mumpuni untuk
memproduksi produk yang bermutu sekaligus efisien dalam biaya.
Kedua, entitas ekonomi menjadikan
kelestarian alam sebagai dasar untuk bukan hanya menjaga keberlanjutan bahan
baku dan energy, tetapi benar-benar menjaga lestarinya planet Bumi sebagai
satu-satunya tempat hidup manusia. Bahan
baku dan energy yang lestari akan menjamin kelangsungan usaha entitas ekonomi
dalam jangka panjang sekaligus menjadikan bumi sebagai tempat tinggal yang
nyaman dan asri. Bukan hanya
memperhatikan bahan baku dan energy, tetapi polusi dan sampah yang dihasilkan
oleh perusahaan hendaknya ramah lingkungan dan memiliki dampak yang sangat
kecil bagi lingkungan.
Bila manusia sudah berdaya dan planet
tetap lestari, profit atau keuntungan akan datang dengan sendirinya baik
keuntungan yang dinikmati oleh manajemen sebagai agen pengelola entitas maupun
investor sebagai pemilik entitas ekonomi tersebut. Jadi, keuntungan atau profit bukanlah menjadi
tujuan pertama dan utama, tetapi menjadi dampak dari kinerja perusahaan yang
baik dan bertanggung jawab. Keuntungan
yang akan bersifat jangka panjang dan berkesinambungan (going concern).
SERI #1: TRIPPLE BOTTOM LINE: SEBUAH PENGANTAR
PENDAHULUAN
Isu lingkungan hidup
menjadi agenda penting masyarakat internasional di forum regional dan
multilateral sejak tahun 1972 setelah pelaksanaan konferensi internasional
tentang Human Environment di Stockholm, Swedia dan KTT Bumi di Rio de
Jeneiro, Brazil tahun 1992. Sejak saat itu, masyarakat internasional menilai
bahwa perlindungan lingkungan hidup menjadi tanggung jawab bersama dan
perlindungan lingkungan hidup tidak terlepas dari aspek pembangunan ekonomi dan
sosial (Nuraini, 2010).
Planet,
People, and Profit atau
yang di Ilmu Akuntansi lazim disebut dengan Triple
Bottom Line merupakan pemikiran yang sudah berkembang cukup lama di
Eropa. Pemikiran tentang bisnis yang
berkelanjutan (sustainable business)
yang mengedepankan kelestarian alam (planet)
sebagai sumber dari semua sumber daya, kesejahteraan masyarakat atau manusia (people), dan memperoleh laba (profit) yang memadai untuk kelangsungan
hidup perusahaan.
Gray, dkk., (1995) menyatakan bahwa
tanggung jawab sosial dan lingkungan merupakan tanggung jawab dunia bisnis
untuk menjadi akuntabel terhadap seluruh stakeholder, bukan hanya kepada
stockholder saja. Dengan pelaporan pelaksanaan tanggung jawab
sosial dan lingkungan dalam laporan tahunan perusahaan ini diharapkan
perusahaan memperoleh legitimasi atas peran social dan kepedulian lingkungan
yang telah dilakukan oleh perusahaan tersebut, sehingga perusahaan akan
memperoleh dukungan dari masyarakat, dankelangsungan hidup perusahaan dapat
diperoleh.
Prior, dkk., (2008) menyatakan bahwa tanggung jawab sosial dan
lingkungan perusahaan dalam laporan tahunan dapat digunakan oleh manajer
sebagai alat untuk mengamankan kedudukannya. Hal tersebut digunakan oleh
manajer untuk mengalihkan perhatian stakeholder dari monitoring aktivitas
manajemen laba yang mereka lakukan. Hal ini dapat terjadi karena manajemen
memiliki informasi yang lebih banyak dari pada pihak berkepentingan lainnya
sebagaimana dijelaskan dalam agency theory (teori keagenan).
Konsep The Triple
Bottom Line
Elkington (1997) dalam Wibisono (2007)
menjelaskan konsep Triple Bottom Line digunakan sebagai landasan
prinsipal dalam aplikasi program Corporate Social Responsibility pada
sebuah perusahaan. Tiga kepentingan yang menjadi satu ini merupakan garis besar
dan tujuan utama tanggung jawab sosial sebuah perusahaan.
1. Profit (Keuntungan)
Keuntungan merupakan unsur terpenting
dan menjadi tujuan utama dari setiap kegiatan usaha. Keuntungan sendiri pada
hakikatnya merupakan tambahan pendapatan yang dapat digunakan untuk menjamin
kelangsungan hidup perusahaan.
2. People (Masyarakat)
Menyadari bahwa masyarakat sekitar
perusahaan merupakan salah satu stakeholder penting bagi perusahaan
karena dukungan masyarakat sekitar sangat diperlukan untuk keberadaan,
kelangsungan hidup dan perkembangan perusahaan. Perusahaan perlu berkomitmen
untuk berupaya memberikan manfaat sebesar-besarnya kepada masyarakat. Selain
itu, operasi perusahaan berpotensi memberikan dampak kepada masyarakat sekitar.
Tanggung jawab sosial perusahaan didasarkan pada keputusan perusahaan tersebut
tidak bersifat paksaan atau tuntutan masyarakat sekitar. Untuk memperkokoh
komitmen dalam tanggung jawab sosial diperlukan pandangan menganai Corporate
Social Responsibility. Melalui kegiatan sosial perusahaan maka itu dapat
dikatakan melakukan investasi masa depan dan timbal baliknya masyarakat juga
akan ikut serta menjaga eksistensi perusahaan.
3. Planet (Lingkungan)
Lingkungan merupakan
sesuatu yang terkait dengan seluruh bidang kehidupan perusahaan. Hubungan
perusahaan dan lingkungan adalah hubungan sebab akibat yaitu jika perusahaan
merawat lingkungan maka lingkungan akan bermanfaat bagi perusahaan. Sebaliknya
jika perusahaan merusak lingkungan maka lingkungan juga akan tidak memberikan
manfaat kepada perusahaan. Dengan demikian, penerapan konsep Triple Bottom
Line yakni profit, people, dan planet sangat diperlukan
sebuah perusahaan dalam menjalankan operasinya. Sebuah perusahaan tidak hanya
keuntungan saja yang dicari melainkan juga memperdulikan masyarakat dan
lingkungan sekitar perusahaan.
TEORI-TEORI YANG MENDASARI TRIPLE BOTTOM LINE
Teori Legitimasi (Legitimacy
Theory)
Teori legitimasi berasal dari konsep
legitimasi organisasi yang diungkapkan oleh Dowling & Pfeffer (1975) dalam
Ghozali & Chariri (2007) yang mengungkapkan bahwa legitimasi adalah sebuah
kondisi atau status yang ada ketika sistem nilai entitas kongruen dengan sistem
nilai masyarakat yang lebih luas di tempat entitas tersebut berada. Ketika
terjadi suatu perbedaan, baik yang nyata atau berpotensi muncul di antara kedua
sistem nilai tersebut, maka akan muncul ancaman terhadap legitimasi entitas.
Sesuai dengan yang dinyatakan O’Donovan (2002) bahwa legitimasi merupakan
gagasan agar sebuah organisasi dapat terus beroperasi dengan sukses, maka
organisasi tersebut harus bertindak sesuai aturan yang
diterima secara luas oleh masyarakat. Deegan (2004) menyatakan bahwa teori
legitimasi adalah sebagai, “Teori yang menyatakan bahwa organisasi
secara berkelanjutan mencari cara untuk menjamin operasi mereka berada dalam
batas dan norma yang berlaku di masyarakat. Suatu perusahaan akan secara
sukarela melaporkan aktivitasnya jika manajemen menganggap bahwa hal ini adalah
yang diharapkan komunitas”.
Ghozali & Chariri
(2007) menyatakan bahwa hal yang mendasari teori legitimasi adalah kontrak
sosial antar perusahaan dan masyarakat di tempat perusahaan beroperasi dan
menggunakan sumber ekonomi. Jadi, setiap perusahaan memiliki kontrak implisit
dengan masyarakat untuk melakukan aktivitasnya berdasarkan nilai-nilai yang
dijunjung di dalam masyarakat. Apabila perusahaan bertindak memenuhi kontrak
implisit maka masyarakat akan mendukung keinginan perusahaan tersebut. Ahmad,
dkk., (2004) menyatakan bahwa pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan
merupakan salah satu mekanisma yang dapat digunakan untuk mengomunikasikan
perusahaan dengan masyarakat, dan merupakan salah satu cara untuk memperoleh
keuntungan atau memperbaiki legitimasi perusahaan. Praktik dan pengungkapan
tanggung jawab sosial akan dianggap sebagai cara bagi perusahaan untuk tetap
menyelaraskan diri dengan norma-norma dalam masyarakat. Dengan demikian,
perusahaan disarankan untuk mengungkapkan kinerja lingkungan sehingga
mendapatkan reaksi positif dari lingkungan dan memperoleh legitimasi atas usahanya.
Perusahaan yang melakukan
kinerja lingkungan dan pengungkapan tanggung jawab sosial diharapkan dapat
meningkatkan keuntungan perusahaan di masa yang akan datang. Menurut
Saidi (2004), teori legitimasi adalah suatu kondisi atau status, yang ada ketika
suatu sistem nilai perusahaan kongruen dengan sistem nilai dari system sosial
yang lebih besar di mana perusahaan merupakan bagiannya. Ketika suatu perbedaan
yang nyata atau potensial ada antara kedua sistem nilai tersebut, maka akan
muncul ancaman terhadap legitimasi perusahaan.
O’Donovan (2002) mendefinisikan legitimasi sebagai, “Legitimacy
theory as the idea that in order for an organization to continue operating
successfully, it must act in a manner that society deems socially acceptable.”
Barkemeyer (2007)
menyatakan legitimasi sebagai, “Legitimacy is sought by organisations as it
affects understanding and actions of people towards the organization. People
perceive a legitimate organisation as “… more trustworthy.” Lebih lanjut Barkemeyer (2007) memberikan
definisi mengenai organizational legitimacy sebagai, “Legitimacy is a generalized perception or
assumption that the actions of an entity are desirable, proper, or appropriate
within some socially constructed system of norms, values, beliefs, and
definitions.”
Jadi, legitimasi adalah
suatu tindakan atau perbuatan hukum yang berlaku, peraturan yang ada, baik
peraturan hukum formal, etnis, adat-istiadat, maupun hukum kemasyarakatan yang
sudah lama tercipta secara sah. Batasan-batasan yang ditekankan oleh
norma-norma dan nilai-nilai sosial serta reaksi terhadap batasan tersebut
mendorong pentingnya analisis perilaku organisasi dengan memerhatikan
lingkungan. Ghozali & Chariri (2007) menyatakan bahwa salah satu dari
sekian banyak faktor yang dimasukkan oleh para peneliti sebagai motif dibalik
pengungkapan tanggung jawab sosial dan lingkungan perusahaan adalah keinginan
untuk melegitimasi operasi organisasi. Legitimasi merupakan sebuah pengakuan
akan legalitas sesuatu. Suatu legitimasi organisasi dapat dikatakan sebagai
manfaat atau sumber potensial bagi perusahaan untuk bertahan hidup (O’Donovan,
2002 dalam Chariri & Ghozali, 2007).
Legitimasi organisasi dapat
dipandang sebagai sesuatu yang diberikan oleh masyarakat kepada perusahaan dan
sesuatu yang diinginkan atau dicari perusahaan dari masyarakat. Kedudukan
perusahaan sebagai bagian dari masyarakat ditunjukkan dengan operasi perusahaan
yang seringkali memengaruhi masyarakat sekitarnya. Eksistensinya dapat diterima
sebagai anggota masyarakat, sebaliknya eksistensinya pun dapat terancam bila
perusahaan tidak dapat menyesuaikan diri dengan norma yang berlaku dalam
masyarakat tersebut atau
bahkan merugikan anggota
komunitas tersebut.
Gray, dkk., (1995) juga menyatakan bahwa
organisasi atau perusahaan akan berlanjut keberadaannya jika masyarakat
menyadari bahwa organisasi beroperasi untuk sistem nilai yang seiring dengan
sistem nilai masyarakat itu sendiri. Teori legitimasi menganjurkan perusahaan
untuk meyakinkan bahwa aktivitas dan kinerjanya dapat diterima oleh masyarakat.
Hal ini akan mendorong perusahaan melalui top manajemennya akan mencoba
memperoleh kesesuaian antara tindakan organisasi dan nilai-nilai dalam
masyarakat umum dan publik yang relevan dengan stakeholder.
Teori legitimasi didasarkan
pada pengertian kontrak sosial yang diimplikasikan antara institusi sosial dan
masyarakat (Ahmad & Sulaiman, 2004). Teori legitimasi dibutuhkan oleh
institusi-institusi untuk mencapai tujuan agar kongruen dengan masyarakat luas.
Menurut Gray, dkk., (1996)
dalam Ahmad & Sulaiman (2004) dasar pemikiran teori legitimasi adalah
organisasi atau
perusahaan akan terus
berlanjut keberadaannya jika masyarakat menyadari bahwa perusahaan tersebut
beroperasi untuk sistem nilai yang sepadan dengan system nilai masyarakat itu sendiri.
Perusahaan menggunakan
laporan keuangan tahunan untuk menggambarkan akuntabilitas atau tanggung jawab
manajemen terhadap perusahaan dan kesan tanggung jawab sosial dan lingkungan,
sehingga perusahaan yang bersangkutan diterima oleh masyarakat. Teori
legitimasi menganjurkan perusahaan untuk meyakinkan bahwa aktivitas dan
kinerjanya dapat diterima oleh masyarakat. Dengan adanya penerimaan dari
masyarakat tersebut diharapkan nilai perusahaan dapat meningkat sehingga
berdampak pula pada peningkatan laba perusahaan. Hal ini juga dapat mendorong
dan membantu investor dalam melakukan pengambilan keputusan investasi.
Ghozali & Chariri
(2007) menjelaskan bahwa teori legitimasi sangat bermanfaat dalam menganalisis
perilaku organisasi, karena teori legitimasi adalah hal yang paling penting
bagi organisasi. Teori legitimasi juga memberikan perspektif yang komprehensif
pada pengungkapan tanggung jawab sosial dan lingkungan perusahaan. Teori ini
secara eksplisit mengakui bahwa bisnis dibatasi oleh kontrak sosial yang
menyebutkan bahwa perusahaan harus dapat menunjukkan berbagai aktivitasnya agar
perusahaan memperoleh penerimaan masyarakat yang pada gilirannya akan menjamin
kelangsungan hidup perusahaan (Reverte, 2008). Lindblom (1994) dalam Gray, dkk., (1995) menyatakan bahwa
teori legitimasi adalah suatu kondisi atau status yang ada ketika suatu sistem
nilai perusahaan kongruen dengan sistem nilai dari sistem sosial yang lebih
besar di mana perusahaan merupakan bagiannya. Hal ini menyebabkan munculnya
ancaman terhadap legitimasi perusahaan ketika terjadi perbedaan yang nyata atau
potensial antara kedua sistem nilai tersebut. Sehingga, dengan
melakukanpengungkapan tanggung jawab sosial dan lingkungan, perusahaan akan
merasa bahwa keberadaan dan aktivitasnya terlegitimasi.
Meskipun perusahaan
memiliki kebijakan operasi dalam batasan institusi, kegagalan perusahaan dalam
menyesuaikan diri dengan norma ataupun adat yang diterima masyarakat, akan
mengancam legitimasi serta sumber daya perusahaan, yang pada akhirnya akan mengancam
kelangsungan hidup perusahaan (Reverte, 2008). Praktik- praktik tanggung jawab
sosial dan pengungkapan social (corporate social and environmental
disclosure (CSED)) yang dilakukan perusahaan dapat dipandang sebagai suatu
usaha untuk memenuhi harapanharapan
masyarakat terhadap
perusahaan. Aktivitas tanggung jawab sosial dan lingkungan perusahaan
diharapkan dapat meningkatkan hubungan antara pemegang saham, supplier,
kreditur, dan pihak yang berkepentingan lainnya atau dengan kata lain, kinerja
ekonomi dan keuangan sebuah entitas memiliki hubungan positif dengan
pengungkapan tanggung jawab sosialnya (Hasibuan, 2001). Hal ini berarti
pengungkapan tanggung jawab sosial dan lingkungan perusahaan merupakan salah
satu mekanisma yang dapat digunakan untuk mengkomunikasikan perusahaan dengan stakeholders.
Gray, dkk., (1995) mengatakan bahwa
informasi yang diungkapkan kepada stakehoder merupakan legitimasi
tanggung jawab sosial dan lingkungan yang telah dilakukan perusahaan. Manajer
yang terlibat manajemen laba cenderung menyadari bahwa pengungkapan lingkungan
dengan sukarela (voluntary corporate social and environmental disclosure)
dapat digunakan untuk mempertahankan legitimasi organisasional, terutama pada
pihak terkait dengan politik dan sosial dan untuk mengalihkan perhatian stakeholder
terhadap pendeteksian manajemen laba. CSED merupakan jalan masuk yang
digunakan beberapa organisasi untuk memperoleh keuntungan atau memperbaiki
legitimasi (Ahmad & Sulaiman, 2004). Karena itu, teori legitimasi merupakan
salah satu teori yang mendasari pengungkapan tanggung jawab sosial dan
lingkungan perusahaan untuk mendapatkan nilai positif dan legitimasi dari
masyarakat.
Teori legitimasi juga dapat
digunakan untuk menjelaskan keterkaitan mekanisma corporate governance dan
profitabilitas terhadap pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan.
Mekanisma corporate governance dan profitabilitas memberikan keyakinan
perusahaan untuk melakukan pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan.
Dengan mekanisma corporate governance dan profitabilitas yang mencukupi,
perusahaan tetap akan mendapatkan keuntungan positif, yaitu mendapatkan
legitimasi dari masyarakat yang pada akhirnya akan
berdampak meningkatnya
keuntungan perusahaan di masa yang akan datang.
Gray, dkk., (1995) juga menjelaskan bahwa
pengungkapan tanggung jawab sosial dan lingkungan merupakan bagian dari
pengungkapan laporan keuangan. Ada banyak studi yang menguji lebih lanjut
informasi sosial yang dihasilkan oleh perusahaan, dan menemukan bahwa informasi
lingkungan merupakan salah satu bagian dari informasi tersebut. Walaupun tidak
bersifat wajib, banyak perusahaan yang secara sukarela melakukan pengungkapan
tanggung jawab sosial dan lingkungan (voluntary social and environmental
disclosures). Voluntary social and environmental disclosures banyak
dilakukan perusahaan dalam rangka menjaga reputasi perusahaannya dan perusahaan
bisa tetap survive serta terhindar dari berbagai bentuk penolakan dari
masyarakat. Di dalam teori legitimasi (legitimacy theory) dipaparkan
jawaban-jawaban yang mendukung mengapa perusahaan harus mengungkapkan tanggung
jawab sosial dan lingkungannya .
Teori Stakeholder (Stakeholder
Theory)
Konsep tanggung jawab sosial
perusahaan telah mulai dikenal sejak awal 1970, yang secara umum dikenal dengan
stakeholder theory artinya sebagai kumpulan kebijakan dan praktik yang
berhubungan dengan stakeholder, nilai-nilai, pemenuhan ketentuan hukum,
penghargaan masyarakat dan lingkungan, serta komitmen dunia usaha untuk
berkontribusi dalam pembangunan secara berkelanjutan. Stakeholder theory dimulai
dengan asumsi bahwa nilai secara eksplisit dan tak dipungkiri merupakan bagian
dari kegiatan usaha (Freeman dkk., 2004).
Teori stakeholder mengatakan
bahwa perusahaan bukanlah entitas yang hanya beroperasi untuk kepentingannya
sendiri, namun harus memberikan manfaat bagi stakeholder (pemegang
saham, kreditor, konsumen, supplier, pemerintah, masyarakat, analis dan
pihak lain). Dengan demikian, keberadaa suatu perusahaan sangat dipengaruhi
oleh dukungan yang diberikan oleh stakeholder kepada perusahaan tersebut
(Ghozali & Chariri, 2007). Deegan (2004) menyatakan bahwa stakeholder
theory adalah “Teori yang menyatakan bahwa semua stakeholder memunyai
hak memperoleh informasi mengenai aktivitas perusahaan yang dapat memengaruhi
pengambilan keputusan mereka. Para stakeholder juga dapat memilih untuk
tidak menggunakan informasi tersebut dan tidak dapat memainkan peran secara
langsung dalam suatu perusahaan.”
Budimanta, Prasetijo, & Rudito
(2008) menyatakan bahwa terdapat dua bentuk dalam pendekatan stakeholder yaitu
old-corporate relation dan new-corporate relation.
Old-corporate relation menekankan pada bentuk pelaksanaan aktivitas
perusahaan secara terpisah, yang menunjukkan bahwa tidak terdapat kesatuan di
antara fungsi dalam sebuah perusahaan ketika melakukan pekerjaannya. Hubungan
perusahaan dengan pihak di luar perusahaan juga bersifat jangka pendek dan
hanya sebatas hubungan transaksional saja tanpa ada kerjasama untuk menciptakan
kebermanfaatan bersama. Pendekatan old-corporate relation ini dapat
menimbulkan konflik karena perusahaan memisahkan diri dengan para stakeholder
baik yang berasal dari dalam perusahaan dan dari luar perusahaan.
Sedangkan, pendekatan new-corporate relation menekankan kolaborasi
antara perusahaan dengan seluruh stakeholder sehingga perusahaan bukan
hanya menempatkan dirinya sebagai bagian yang bekerja secara sendiri dalam
sistem sosial masyarakat. Hubungan perusahaan dengan stakeholder di
dalam perusahaan dibangun berdasarkan konsep kebermanfaatannya yang membangun
kerjasama dalam menciptakan kesinambungan usaha perusahaan, sedangkan hubungan
dengan stakeholder di luar perusahaan didasarkan pada hubungan yang
bersifat fungsional yang bertumpu pada kemitraan. Perusahaan selain menghimpun
kekayaan juga berusaha bersama-sama membangun kualitas kehidupan dengan stakeholder
di luar perusahaan.
Tunggal (2008)
menyatakan bahwa teori stakeholder dapat dilihat dalam tiga pendekatan.
1. Deskriptif
Pendekatan deskriptif
pada intinya menyatakan bahwa, stakeholder secara sederhana merupakan
deskripsi yang realitas mengenai bagaimana sebuah perusahaan beroperasi. Teori stakeholder
dalam pendekatan deskriptif, bertujuan untuk memahami bagaimana manajer
menangani kepentingan stakeholder dengan tetap menjalankan kepentingan
perusahaan. Manajer dituntut untuk mengarahkan energi mereka terhadap seluruh
pemangku kepentingan, tidak hanya terhadap pemilik perusahaan saja.
2. Instrumental
Teori stakeholder dalam
pendekatan instrumental menyatakan bahwa, salah satu strategi pihak manajemen
perusahaan untuk menghasilkan kinerja perusahaan yang lebih baik adalah dengan
memperhatikan para pemangku kepentingan. Hal ini didukung oleh bukti empiris
yang diungkapkan oleh Lawrence & Weber (2008), yang menunjukkan bahwa
setidaknya lebih dari 450 perusahaan yang menyatakan komitmennya terhadap
pemangku kepentingan dalam laporan tahunnya memiliki kinerja keuangan yang
lebih baik dibandingkan dengan perusahaan yang tidak memiliki komitmen.
Pendekatan instrumental bertujuan untuk mempelajari konsekuensi yang ditanggung
perusahaan, dengan melihat dari pengelolaan hubungan stakeholder dan
berbagai tujuan tata kelola perusahaan yang telah dicapai.
3. Normatif
Teori stakeholder dalam
pendekatan normatif menyatakan bahwa setiap orang atau kelompok yang telah
memberikan kontribusi terhadap nilai suatu perusahaan memiliki hak moral untuk
menerima imbalan (rewards) dari perusahaan, dan hal ini menjadi suatu
kewajiban bagi manajemen untuk memenuhi apa yang menjadi hak para pemangku
kepentingan. Pendekatan normatif juga bertujuan untuk mengidentifikasi pedoman
moral atau filosofis terkait dengan aktivitas ataupun manajemen perusahaan.
Dengan demikian, dapat
disimpulkan bahwa stakeholder teori merupakan suatu teori yang
mempertimbangkan kepentingan kelompok stakeholder yang dapat memengaruhi
strategi perusahaan. Pertimbangan tersebut memunyai kekuatan karena stakeholder
adalah bagian perusahaan yang memiliki pengaruh dalam pemakaian sumber
ekonomi yang digunakan dalam aktivitas perusahaan. Strategi stakeholder bukan
hanya kinerja dalam finansial namun juga kinerja sosial yang diterapkan oleh
perusahaan. Corporate Sosial Responsibility merupakan strategi
perusahaan untuk memuaskan keinginan para stakeholder, makin baik
pengungkapan Corporate Sosial Responsibility yang dilakukan perusahaan
maka stakeholder akan makin terpuaskan dan akan memberikan dukungan
penuh kepada perusahaan atas segala aktivitasnya yang bertujuan menaikkan
kinerja dan mencapai laba.
Stakeholder theory mengatakan bahwa perusahaan
bukanlah entitas yang hanya beroperasi untuk kepentingannya sendiri namun harus
memberikan manfaat bagi stakeholdernya (pemegang saham, kreditur,
konsumen, supplier, pemerintah, masyarakat, analis, dan pihak lain).
Dengan demikian, keberadaan suatu perusahaan sangat dipengaruhi oleh dukungan
yang diberikan oleh stakeholder kepada perusahaan tersebut (Ghozali
& Chariri, 2007).
Gray, dkk., (1995) dalam Ghozali &
Chariri (2007) menyatakan bahwa kelangsungan hidup perusahaan tergantung pada
dukungan stakeholders dan dukungan tersebut harus dicari, sehingga
aktivitas perusahaan adalah untuk mencari dukungan tersebut. Teori Stakeholder
Freeman (1984) dalam Roberts (1992) mendefinisikan stakeholder seperti
sebuah kelompok atau individual yang dapat memberi dampak atau terkena dampak
oleh hasil tujuan perusahaan. Stakeholders adalah para pemangku
kepentingan, yaitu pihak atau kelompok yang berkepentingan, baik langsung
maupun tidak langsung, terhadap eksistensi atau aktivitas perusahaan, dan
karenanya kelompok tersebut memengaruhi dan/atau dipengaruhi oleh perusahaan. Stakeholder
termasuk di dalamnya yaitu stockholders, creditors, employees,
customers, suppliers, public interest groups, dan govermental bodies (Roberts,
1992).
Stakeholder pada dasarnya dapat
mengendalikan atau memiliki kemampuan untuk memengaruhi pemakaian sumber-sumber
ekonomi yang digunakan perusahaan. Oleh karena itu, power stakeholder ditentukan
oleh besar kecilnya power yang dimiliki stakeholder atas sumber
tersebut. Power tersebut dapat berupa kemampuan untuk membatasi
pemakaian sumber ekonomi yang terbatas (modal dan tenaga kerja), akses terhadap
media yang berpengaruh, kemampuan untuk mengatur perusahaan, atau kemampuan
untuk memengaruhi konsumsi atas barang dan jasa yang dihasilkan perusahaan (Ghozali
& Chariri, 2007).
Roberts (1992) memaparkan
bahwa perkembangan konsep stakeholder dibagi menjadi tiga yaitu model
perencanaan perusahaan, kebijakan bisnis dan corporate social responsibility.
Pengungkapan tanggung jawab sosial dan lingkungan merupakan bagian dari
komunikasi antara perusahaan dengan stakeholder-nya. Oleh karena itu,
ketika stakeholder mengendalikan sumber ekonomi yang penting bagi
perusahaan, maka perusahaan akan bereaksi dengan cara yang memuaskan keinginan stakeholder
(Ghozali & Chariri, 2007).
Teori stakeholder secara
eksplisit mempertimbangkan akan dampak kebijakan pengungkapan perusahaan ketika
ada perbedaan kelompok stakeholder dalam sebuah perusahaan. Pengungkapan
informasi oleh perusahaan dijadikan alat manajemen untuk mengelola kebutuhan
informasi yang dibutuhkan oleh berbagai kelompok (stakeholders). Oleh
karena itu, manajemen mengungkapkan informasi tanggung jawab sosial dan
lingkungan ini dalam rangka mengelola stakeholder agar perusahaan
mendapatkan dukungan dari mereka. Dukungan tersebut dapat berpengaruh terhadap
kelangsungan hidup perusahaan (Gray, dkk.,
1995).
Teori
Keagenan (Agency Theory)
Teori Keagenan (Agency
Theory) menjelaskan adanya konflik kepentingan yang terjadi antara agen
dengan principal. Principal adalah pemegang saham atau investor
sedangkan agen adalah orang yang diberi kuasa oleh principal yaitu
manajemen untuk mengelola perusahaan yang terdiri dari dewan komisaris dan
dewan direksi. Adanya pemisahan kepemilikan oleh principal dan
pengendalian oleh agen dalam sebuah organisasi cenderung menimbulkan konflik
keagenan antara principal dan agen. Teori agensi ini muncul untuk
mengatasi konflik agensi yang dapat terjadi dalam hubungan keagenan. Di dalam
teori keagenan dikatakan bahwa hubungan keagenan timbul ketika salah satu pihak
(principal) memberi kuasa kepada pihak lain (agen) untuk melakukan
beberapa jasa untuk kepentingannya yang melibatkan pendelegasian beberapa
otoritas pembuatan keputusan kepada agen. Dalam kontrak ini agen berkewajiban
untuk melakukan hal-hal yang memberikan manfaat dan meningkatkan kesejahteraan principal
(Jensen & Meckling, 1976).
Principal ingin mengetahui segala
informasi termasuk aktivitas manajemen, yang terkait dengan investasi atau
dananya dalam perusahaan. Hal ini dilakukan dengan meminta laporan
pertanggungjawaban pada agen (manajemen). Laporan tersebut akan digunakan oleh principal
sebagai landasan dalam menilai kinerja manajemen. Tetapi, yang seringkali
terjadi adalah kecenderungan manajemen untuk melakukan tindakan yang membuat
laporannya kelihatan baik, sehingga kinerjanya pun dianggap baik. Manajemen
seringkali melakukan sesuatu yang dapat menguntungkan dirinya sendiri yaitu
dengan memaksimumkan laba manajemen yang dilakukan dengan manajemen laba (earnings
management).
Tindakan manajemen laba ini
dapat menyesatkan dan dapat menyebabkan pihak luar membuat keputusan ekonomi
yang salah. Gray, dkk., (1995)
berpendapat bahwa pengungkapan tanggung jawab sosial dan lingkungan perusahaan/
corporate social and environmental disclosure (CSED) merupakan sinyal
yang dapat mengalihkan perhatian pemegang saham dari monitoring atas
rekayasa laba atau isu lain, sehingga berdampak pada harga saham. Aktivitas
pengungkapan tanggung jawab sosial dan lingkungan perusahaan akan memberikan
informasi yang berguna dalam penilaian resiko yang lebih akurat bagi investor.
Hal ini akan memberikan akses kepada pendanaan eksternal dengan biaya yang
lebih rendah. Dalam hal ini dapat diinterpretasikan bahwa manajemen yang
melakukan manajemen laba dapat diprediksikan akan melakukan lebih banyak
pengungkapan tanggung jawab sosial dan lingkungan perusahaan.
TANGGUNG JAWAB SOSIAL DAN
LINGKUNGAN PERUSAHAAN
Triple Bottom Line
Istilah Triple Bottom
Line dipopulerkan oleh John Elkington pada tahun 1997. Melalui bukunya yang
berjudul “Cannibals with Forks, the Triple Bottom Line of Twentieth Century
Business”, Elkington mengembangkan konsep Triple Bottom Line dalam
istilah economic prosperity, environmental quality, dan social justice.
Perusahaan yang ingin berkelanjutan haruslah memerhatikan “3P”. Selain mengejar
profit, perusahaan juga harus memerhatikan dan terlibat dalam pemenuhan
kesejahteraan masyarakat (people) dan turut berkontribusi aktif dalam
menjaga kelestarian lingkungan (planet). Aspek-aspek yang terdapat dalam
Triple Bottom Line adalah sebagai berikut (Wibisono, 2007).
1. Profit
Profit merupakan unsur terpenting
dan menjadi tujuan dari setiap kegiatan usaha. Fokus utama dari seluruh
kegiatan dalam perusahaan adalah mengejar profit atau mendongkrak harga
saham setinggi-tingginya, baik secara langsung maupun tidak langsung. Profit
sendiri adalah tambahan pendapatan yang dapat digunakan untuk menjamin
kelangsungan hidup perusahaan. Aktivitas yang dapat ditempuh untuk mendongkrak profit
antara lain dengan meningkatkan produktivitas dan melakukan efisiensi
biaya. Hal tersebut akan menyebabkan perusahaan memiliki keunggulan kompetitif
yang dapat memberikan nilai tambah semaksimal mungkin.
2. People
Masyarakat di sekitar
perusahaan adalah salah satu stakeholder penting yang harus diperhatikan
oleh perusahaan. Dukungan dari masyarakat sekitar sangat diperlukan bagi
keberadaan, kelangsungan hidup, dan perkembangan perusahaan sehingga perusahaan
akan selalu berupaya untuk memberikan manfaat yangsebesar-besarnya kepada
masyarakat. Operasi perusahaan berpotensi memberikan dampak bagi masyarakat
sekitar, sehingga perusahaan perlu untuk melakukan berbagai kegiatan yang
menyentuh kebutuhan masyarakat. Secara ringkas, jika perusahaan ingin tetap
mempertahankan usahanya, perusahaan juga harus menyertakan tanggung jawab yang
bersifat sosial.
3. Planet
Selain aspek people,
perusahaan juga harus memperhatikan tanggung jawabnya terhadap lingkungan.
Karena keuntungan merupakan inti dari dunia bisnis, kerapkali sebagian besar
perusahaan tidak terlalu memperhatikan hal yang berhubungan dengan lingkungan,
karena tidak ada keuntungan langsung di dalamnya. Dengan melestarikan
lingkungan, perusahaan akan memperoleh keuntungan yang lebih, terutama dari
sisi kenyamanan dan ketersediaan sumber daya yang menjamin kelangsungan hidup
perusahaan.
Konsep dan Definisi
Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perusahaan
Menurut Global Reporting
Initiative (GRI) dalam Siregar (2010) tanggung jawab sosial dan lingkungan
adalah, “Corporate social reporting/sustainability reporting is a process
for publicly disclosing an organization’s economic, environmental, and
social performance”. World Bank (2003)
menyatakan definisi CSR sebagai, “The commitment of business to contribute
to sustainable economic development, working with employees, their families,
the local community and society at large to improve their quality of
life.” Untung (2008) memberikan
pengertian mengenai tanggung jawab sosial dan lingkungan sebagai, “Corporate
Social Responsibility adalah komitmen perusahaan atau dunia bisnis untuk
berkontribusi dalam pengembangan ekonomi yang berkelanjutan dengan memerhatikan
tanggung jawab sosial perusahaan dan menitikberatkan pada keseimbangan antara
perhatian terhadap aspek ekonomis, sosial, dan lingkungan.”
Jadi, tanggung jawab sosial
dan lingkungan perusahaan adalah tanggung jawab yang diemban oleh perusahaan
terhadap keseimbangan antara aspek- aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan.
Tanggung jawab sebuah perusahaan tersebut meliputi beberapa aspek yang tidak
dapat dipisahkan. Tanggung jawab sosial atau Corporate Social Responsibility
(CSR) adalah kontribusi sebuah perusahaan yang terpusat pada aktivitas
bisnis, investasi sosial dan program philantrophy, serta kewajiban dalam
kebijakan publik (Wineberg, 2004). Tujuan dari adanya CSR yaitu sebagai wujud
tanggung jawab sosial dan lingkungan perusahaan atas dampak-dampak lingkungan
yang ditimbulkannya. Banyaknya global warming, kemiskinan yang semakin
meningkat, serta memburuknya kesehatan masyarakat memicu perusahaan untuk
melakukan tanggung jawab sosial dan lingkungannya. CSR memegang peranan yang
penting dalam strategi perusahaan di berbagai sektor yang terjadi
ketidakkonsitenan antara keuntungan perusahaan dan tujuan sosial, atau
perselisihan yang dapat terjadi karena isu-isu tentang kewajaran yang
berlebihan (Heal, 2004).
CSR merupakan suatu bentuk
kepedulian sosial perusahaan untuk melayani kepentingan organisasi maupun
kepentingan publik eksternal/masyarakat. CSR adalah komitmen perusahaan untuk
mempertanggungjawabkan dampak operasi dalam dimensi sosial, ekonomi serta
lingkungan. Dengan atau tanpa aturan hukum, sebuah perusahaan harus menjunjung
tinggi moralitas. Parameter keberhasilan suatu perusahaan dalam sudut pandang
CSR adalah pengedepankan prinsip moral dan etis, yakni menggapai suatu hasil
terbaik, tanpa merugikan kelompok masyarakat yang lainnya.
European Commission (2001)
dalam Darwin (2008) mendefinisikan CSR sebagai, “a concept where by
companies integrate social and environmental concerns in their business
operations and in their interaction with their stakeholders on a voluntary
basis”. CSR Asia dalam Darwin (2008)
mendefinisikan CSR sebagai, “CSR is a company’s commitment to operating in
an economically, socially and environmentally sustainable manner whilst
balancing the interests of diverse stakeholders.”
Jadi, CSR adalah komitmen
perusahaan terhadap tiga (3) elemen, yaitu elemen ekonomi, sosial, dan
lingkungan. Definisi CSR dalam penelitian ini merujuk pada definisi yang
disampaikan European Commission dan CSR Asia di atas, yaitu perusahaan semakin
menyadari bahwa kelangsungan hidup perusahaan juga tergantung dari hubungan
perusahaan dengan masyarakat dan lingkungannya tempat perusahaan
beroperasi. Hal ini selaras dengan legitimacy
theory yang menyatakan bahwa perusahaan memiliki kontrak dengan masyarakat
untuk melakukan kegiatannya berdasarkan nilai-nilai keadilan, dan bagaimana
perusahaan menanggapi berbagai kelompok kepentingan untuk melegitimasi tindakan
perusahaan (Haniffa & Cooke, 2005). Jika terjadi ketidakselarasan antara
sistem nilai perusahaan dan sistem nilai masyarakat, maka perusahaan akan
kehilangan legitimasinya, yang selanjutnya akan mengancam kelangsungan hidup
perusahaan itu sendiri (Lindblom, 1994 dalam Haniffa & Cooke, 2005 dan
Sayekti & Wondabio, 2007).
Pengungkapan Tanggung Jawab
Sosial dan Lingkungan Perusahaan
Pengungkapan secara
kontekstual adalah bagian integral dari pelaporan keuangan, sedangkan secara
teknis pengungkapan adalah langkah akhir dalam proses akuntansi yaitu penyajian
informasi dalam bentuk penuh laporan keuangan (Suwardjono, 2005). Hendriksen
(1991) mendefinisikan pengungkapan sebagai penyajian sejumlah informasi yang
dibutuhkan untuk pengoperasian secara optimal pasar modal yang efisien.
Pengungkapan mengandung arti bahwa sebuah laporan harus memberikan informasi
dan penjelasan yang cukup mengenai hasil
aktivitas suatu unit usaha
(Ghozali & Chariri, 2007).
Tujuan pengungkapan secara
umum adalah menyajikan informasi yang dipandang perlu untuk mencapai tujuan
pelaporan keuangan dan melayani berbagai pihak yang memiliki kepentingan
berbeda (Suwardjono, 2005). Security Exchange Committee (SEC) menuntut
lebih banyak pengungkapan karena pelaporan keuangan memiliki aspek sosial dan
publik. Oleh karena itu, pengungkapan dituntut lebih dari sekedar pelaporan
keuangan, tetapi meliputi pula penyampaian informasi kualitatif dan
kuantitatif, baik yang mandatory (wajib) maupun voluntary (sukarela)
(Chrismawati, 2007).
Anggraini (2006) menyatakan
bahwa tuntutan terhadap perusahaan untuk memberikan pengungkapan informasi yang
transparan, organisasi yang akuntabel serta tata kelola perusahaan yang baik (good
corporate governance) memaksa perusahaan untuk memberikan informasi
mengenai aktivitas sosialnya. Masyarakat membutuhkan informasi mengenai sejauh
mana perusahaan sudah melaksanakan aktivitas sosialnya sehingga hak masyarakat
untuk hidup aman dan tentram, kesejahteraan karyawan, dan keamanan mengonsumsi
produk dapat terpenuhi. Pengungkapan sosial dan lingkungan yang dilakukan oleh
perusahaan umumnya bersifat voluntary (sukarela), unaudited (belum
diaudit), dan unregulated (tidak dipengaruhi oleh peraturan tertentu)
(Nurlela & Islahudin, 2008).
REFLEKSI
Sebegitu gamblang dan jelas
tentang arti penting bisnis dan aktivitas ekonomi yang berkelanjutan (sustainable business) bagi sebuah
entitas ekonomi. Bukan hanya teori
tetapi didukung oleh bukti empiris atau bukti dari duni bisnis di berbagai
Negara. Tetapi, sayangnya di Indonesia
bisnis dan aktivitas ekonomi berkelanjutan yang memperhatikan lestarinya bumi,
pemberdayaan masyarakat, yang pada akhirnya akan berdampak pada profit masih
belum menjadi perhatian. Bahkan, telah
banyak instrumen hukum dan peraturan yang mendukungnya, tetapi belum bersifat
mengikat dan masih bersifat sukarela.
Artinya, entittas ekonomi alias perusahaan belum diharuskan tetapi hanya
bersifat sukarela melaksanakan bisnis berkonsep triple bottom line.
Dari banyak sumber dan
analisis penulis, nampaknya kepentingan untuk mendatangkan investor demi meningkatkan
investasi (orientasi kuantitas) masih menjadi pertimbangan utama. Pemberdayaan masyarakat sebagai konsumen dan
tenaga kerja apalagi masalah kelestarian lingkungan dan energy ramah lingkungan
masih tidak dipertimbangkan. Akhirnya,
banyak investor dan pelaku ekonomi di Indonesia memfokuskan usahanya hanya
untuk mencari keuntungan sebesar-besarnya. Bukan hanya tidak memperhatikan
manusia dan lingkungan, malah dengan semena-mena melakukan eksploitasi manusia
sebagai sumber daya, juga merugikan konsumen dengan produk yang tidak bermutu.
Perlikau menghancurkan alam dengan alasan sumberdaya alam yang melimpah serta
penanganan limbah yang serampangan menjadikan planet bumi sebagai tempat
tinggal manusia satu-satunya rusak dengan sangat cepat.
Bisnis atau aktivitas
ekonomi bukan tidak bisa dikelola dengan arif dan bijaksana. Konsep bisnis triple bottom line menawarkan metoda dan cara berbisnis yang arif
dan bijaksana yang berorientasi jangka panjang dan berkelanjutan. Walau telah diterapkan diberbagai Negara maju
seperti di Eropa, Amerika, Australia, dan sebagian Negara-negara maju di Asia
belum menjadi prioritas untuk diajarkan apalagi diterapkan di Indonesia. Bahkan, masih cenderung menjadi arus
pinggiran yang sering kali diremehkan dan ditertawakan oleh pemangku
kepentingan, khususnya dari kalangan pengambil kebijakan seperti Pemerintah
Pusat dan Daerah, para pelaku usaha baik investor maupun industrialis, bahkan
oleh kalangan akademisi sendiri.
Pemangku kepentingan di Indonesia pada umumnya masih menjadikan
keuntungan, walau bersifat jangka pendek, menjadi tujuan utama dan bahkan
satu-satunya tujuan berusaha dan pembangunan ekonominya.
Sosialisasi, edukasi, dan
advokasi harus terus dilakukan demi kehidupan yang lebih baik dan lestarinya
bumi sebagai satu-satunya tempat manusia bisa hidup. Kerja keras dari setiap orang yang telah
sadar untuk menjaga lestarinya bumi demi lestarinya kehidupan, memanusiakan
manusia sebagai makhluk yang berdaya dan bermartabat, serta entitas ekonomi
yang bijaksana dan bertanggung jawab untuk terus dan terus mengabarkan
kebenaran walau seringkali pahit dan menyakitkan. Pekerjaan berat menanti di depan kita, tetapi
kebenaran tentang lestarinya bumi, manusia yang bermartabat, dan usaya yang
bertanggung jawab lagi bijaksana harus dikabarkan.
Salam Lestari,
Malang, 07072014
REFERENSI
Ahmad, N & Sulaiman, M.
2004. Environmental Disclosure in Malaysian Annual Reports: A Legitimacy Theory
Perspective. International Journal of Commerce & Management. Vol.14,
No.1.
Barkemeyer, R. 2007.
Legitimacy as a Key Driver and Determinant of CSR in Developing Countries. Paper
for the 2007 Marie Curie Summer School on Earth System Governance, 28 May –
06 June 2007, Amsterdam.
Budimanta, A., Prasetijo,
A. & Rudito, B. 2008. Corporate Social Responsibility, Alternatif Bagi
Pembangunan Indonesia. Jakarta: Indonesia Center for Sustainibility
Development Chariri, A. & Ghozali, I.
2007. Teori Akuntansi. Semarang: Badan Penerbit Universitas
Diponegoro.
Chrismawati, D. T. 2007.
Pengaruh Karakteristik Keuangan dan Non Keuangan Perusahaan terhadap Praktik Environmental
Disclosure di Indonesia. Skripsi. Perpustakaan Ekonomi Referensi.
Universitas Diponegoro, Semarang.
Commission of the European
Communities. 2001. Promoting a European Framework for Corporate Social
Responsibility. Brussels: European Community.
Darwin, A. 2008. CSR:
Standards dan Reporting. Makalah disampaikan pada Seminar Nasional CSR
sebagai Kewajiban Asasi Perusahaan; Telaah Pemerintah, Pengusaha, dan Dewan
Standar Akuntansi, 27 November 2010.
Deegan. 2002. Introduction:
The Legitimizing Effect Of Social And Environmental Disclosure – A Theoretical
Foundation. Accounting, Auditing & Accountability Journal, vol.15,
no. 3, pp. 282-311.
Dowling, J. and Pfeffer, J.
1975, “Organizational legitimacy: social values and organization behaviour,” Pacific
Sociological Review, Vol. 18 No. 1, pp. 122-136.
Elkington,
J. 1997.Cannibals with Forks: The Triple Bottom Line of 21st Century
Business. Oxford: Capstone Publishing.
Endiarto, O.T. &
Stephanus, D. S. 2014. Analisis
Pengaruh Kinerja Lingkungan Terhadap Nilai Perusahaan Yang Terdaftar Di Index
Sri Kehati .Proposal Skripsi. Universitas
Ma Chung. Malang
Forum for Corporate
Governance in Indonesia.
2001. Peranan Dewan Komisaris dan Komite Audit dalam Pelaksanaan Corporate
Governance (Tata Kelola Perusahaan). Jilid II. Edisi Kedua. Jakarta:
FCGI.
Freeman, R.E. 1984. Strategic
Management: A Stakeholder Approach.Pitman. Boston
Ghozali & Chairiri.
2007. Teori Akuntansi. Semarang: Universitas Diponegoro
Global Reporting
Initiative. 2006. GRI Sustainability Reporting GuideLines G3 Version.
Dipetik Desember 6, 2013, dari https://www.globalreporting.org/
Haniffa, R. M & Cooke,
T. E. 2005. The Impact of Culture and Governance on Corporate Social Reporting.
Journal of Accounting and Public Policy 24.
Hasibuan, R. 2001. Pengaruh
Karakteristik Perusahaan Terhadap Pengungkapan Sosial. Tesis.
Universitas Diponegoro. Semarang.
Heal, G. 2004. Corporate
Social Responsibility – An Economic and Financial Framework. Working Paper.
Columbia Business School.
Jensen, M. C &
Meckling, W. H. 1976. Theory of the Firm: Managerial Behavior, Agency Costs and
Ownership Structure. Journal of Financial Economics, Oktober, 1976, V.
3, No. 4, pp. 305-360.
Lawrence, A. & Webber,
J. 2008. Business & Society: Stakeholders, Ethics, Public Policy. McGraw
Hill Companies Incorporated
Lindblom, C. K. 1994. The
Implications of Organizational Legitimacy for Corporate
Nugroho, O.C. &
Stephanus, D.S. 2014. Studi Empiris
Pengaruh Manajemen Laba (Earnings Management), Corporate Governance,
Ukuran Perusahaan (Size), Leverage, dan Profitabilitas Terhadap
Pengungkapan Tanggung Jawab Sosial Dan Lingkungan Perusahaan. Proposal Skripsi. Universitas Ma Chung. Malang
Nuraini, E. (2010).
Pengaruh Environmental Performance Dan Environmental Disclosure Terhadap
Economic Performance (Studi Pada Perusahaan Yang Terdaftar Di Bursa Efek
Indonesia). Skripsi Tidak Dipublikasikan. Universitas Diponegoro.
Nurlela, R & Islahuddin.
2008. Pengaruh Corporate Social Responsibility terhadap Nilai Perusahaan
dengan Prosentase Kepemilikan Manajemen sebagai Variabel Moderating: Studi
Empiris pada Perusahaan yang Terdaftar di Bursa Efek Jakarta. Simposium
Nasional Akuntansi XI Pontianak 2008.
O’Donovan. 2002.
Environmental Disclosure in the Annual Report: Extending the Applicability and
Predictive Power of Legitimacy Theory. Accounting, Auditing, and
Accountability Journal, Vol.15, No.3
Oktiviana,
D. & Stephanus, D.S. 2014. Analisis
Pengaruh Penerapan Environment Management Accounting Dan Strategi
Terhadap Inovasi Perusahaan . Proposal
Skripsi. Universitas Ma Chung. Malang
Prior, D, Jordi, S, Josep,
A. 2008. Are socially responsible managers really ethical? Exploring the
relationship between earnings management and corporate social responsibility. Corporate
Governance: An International nurainiReview, Vol.16, no.3, 160-177.
Puspita,
M. E. & Stephanus, D.S. 2014. Pengaruh
Pengungkapan Corporate Social Responsibility, Global Reporting Initiatives Dan
Iso 26000 Terhadap Nilai Perusahaan Sektor Pertambangan. Proposal Skripsi. Universitas Ma Chung.
Malang
Reverte, C. 2008.
Determinants of Corporate Social Responsibility Disclosure Ratings by Spanish
Listed Firms. Journal of Business Ethics (2009) 88:351– 366 DOI
10.1007/s10551-008-9968-9.
Robert, D.
& Stephanus, D.S. 2014. Penerapan Dan Analisis Pengaruh Environmental Management Accounting
(Ema). Proposal Skripsi. Universitas
Ma Chung. Malang
Saidi. 2004. Faktor-faktor
yang Mempengaruhi Struktur Modal pada Perusahaan Manufaktur Go Public di BEJ 1997-2002.
Jurnal Bisnis dan Ekonomi Vol. 11 no.1, hal. 44-58.
Saputra, N. A. & Stephanus, D.S. 2014. Pengaruh Pengungkapan Corporate
Social Resposibility Dan Global Reporting Initiatives Terhadap Nilai
Perusahaan Pada Perusahaan Yang Tercatat Di Indeks Sri-Kehati 2010—2012. Skripsi. Universitas Ma Chung. Malang
Sayekti & Wondabio.
(2007). Pengaruh Corporate Social Responsibility (CSR) Disclosure Terhadap Earnings Response Coefficient. Simposium Nasional Akuntansi X.
Makassar.
Shleifer, A. dan Vishny,
R.W. 1997. A Survey of Corporate Governance. Journal of Finance, Vol 52.
No 2
Suwardjono. 2005. Teori
Akuntansi: Perekayasaan Pelaporan Keuangan. Yogyakarta: Badan Penerbit
Universitas Gadjah Mada.
Tunggal, A, W. 2008. “Corporate
Social Responsibility (CSR)”. Harvarindo.
Untung, H. B. 2008. Corporate
Social Responsibility. Jakarta: Sinar Grafika.
Wibisono, Y. 2007. Membedah
Konsep dan Aplikasi Corporate Social Responsibility. Gresik: Fascho
Publishing
Wineberg, D. 2004.
Corporate Social Responsibility – What Every In House Counsel Should Know. Acc
Docket.
World Bank Ext
Communications For Development Division Devcomm/Sdo. 2003. Corporate Social
Responsibility And Multi Stakeholder Dialogue: Towards Environmental Behavioral
Change. Discussion Paper.
Seri #2: Instrumen-Instrumen Bisnis yang Bekelanjutan
1. Corporate Social
Responsibility (CSR): Undang-Undang
40/2007 Tentang Perseroan Terbatas
Topik mengenai Tanggung
Jawab Sosial Korporat atau yang biasa dikenal dengan Corporate Social
Responsibility (CSR) menjadi topik yang semakin marak dibicarakan dan
menjadi topik yang semakin banyak dibahas di seluruh belahan dunia. Telah
banyak diulas bahasan-bahasan sehubungan dengan CSR baik melalui media cetak,
elektronik, seminar, dan bahkan hingga konferensi. Perkembangan topik CSR di
perguruan tinggi di Indonesia pun telah menunjukkan adanya peningkatan,
walaupun masih berada di tahap awal (Jalal, 2007).
Konsep tanggung jawab
sosial perusahaan (CSR) muncul sebagai akibat adanya kenyataan atas karakter
alami dari setiap perusahaan. Setiap perusahaan secara alamiah selalu ingin
mencari keuntungan semaksimal mungkin tanpa memedulikan kesejahteraan karyawan,
masyarakat, dan lingkungan alam. Perkembangan CSR juga terkait erat dengan
semakin parahnya kerusakan lingkungan yang terjadi di Indonesia maupun di
dunia, mulai dari penggundulan hutan, polusi udara dan air, hingga perubahan
iklim (Utama, 2007).
Konsep tanggung jawab
sosial muncul seiring dengan semakin parahnya lingkungan serta semakin
meningkatnya kesadaran dan kepekaan dari stakeholder perusahaan. Hal ini
menjadikan tanggung jawab sosial menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan
dengan kelangsungan hidup perusahaan di masa yang akan dating (going concern
perusahaan). Tanggung jawab perusahaan memberikan konsep yang berbeda bahwa
perusahaan tersebut secara sukarela (voluntary) menyumbangkan sesuatu
untuk masyarakat, lingkungan, serta kelangsungan hidup yang lebih baik.
Praktik pengungkapan
sukarela dalam wujud pengungkapan tanggung jawab sosial dan lingkungan semakin
meningkat selama beberapa tahun terakhir. Pengungkapan informasi CSR yang
dilakukan perusahaan secara sukarela pun telah banyak diteliti sebelumnya.
Hasil dari penelitian dan studi yang telah dilakukan di berbagai negara juga
dimuat di berbagai jurnal internasional. Studi tersebut tidak saja dilakukan
dengan menggunakan pendekatan positif tetapi juga interpretive dan critical
theory (Deegan, 2002). Isu serta fenomena yang berkaitan dengan tanggung
jawab sosial dan lingkungan perusahaan juga telah ditulis dalam beberapa buku
teori akuntansi di bab tersendiri sejak lama, salah satunya yaitu oleh Mathews
& Perera (1996).
CSR merupakan pernyataan
umum yang di dalamnya menunjukkan kewajiban perusahaan untuk memanfaatkan
sumber daya ekonomi dalam kegiatan usaha untuk menyediakan dan memberikan
kontribusi kepada para pemangku kepentingan internal dan eksternal (Saleh, dkk., 2010). Dalam era globalisasi sekarang
ini serta adanya kecenderungan akan kebutuhan yang meningkat dari stakeholder
pada perusahaan untuk mengadopsi praktek tanggung jawab social dan
lingkungan (CSR), entah disadari atau tidak, akan ikut mendorong keterlibatan
perusahaan dalam praktik CSR. Karena itu, CSR telah muncul sebagai subjek
penting yang harus diberi perhatian oleh perusahaan.
Terdapat berbagai macam
alasan perusahaan dalam melakukan pengungkapan tanggung jawab sosial dan
lingkungannya secara sukarela. Perusahaan melakukan pengungkapan tanggung jawab
sosial dan lingkungannya sebagai bentuk pertanggungjawaban perusahaan kepada stakeholder
atas segala aktivitas CSR yang telah dilaksanakan oleh perusahaan. Darwin
(2006) dalam Novita & Djakman (2008) menyatakan bahwa pengungkapan kinerja
lingkungan, sosial, dan ekonomi di dalam laporan tahunan atau laporan terpisah
adalah wujud untuk mencerminkan tingkat akuntabilitas, responsibilitas, dan
transparansi korporat kepada investor dan stakeholders lainnya.
Lebih jauh, Novita &
Djakman (2008) mengatakan bahwa pengungkapan tersebut bertujuan untuk menjalin
hubungan komunikasi yang baik dan efektif antara perusahaan dengan publik dan stakeholders
lainnya tentang bagaimana perusahaan telah mengintegrasikan corporate
social responsibilty (CSR) dalam setiap aspek kegiatan operasinya. Alasan
lain yang melatarbelakangi perusahaan dalam melakukan pengungkapan tanggung
jawab sosial dan lingkungannya secara sukarela adalah berkaitan dengan
legitimasi perusahaan.
Haniffa & Cooke (2005)
mengatakan bahwa perusahaan juga dapat memperoleh legitimasi dengan memperlihatkan
tanggung jawab sosial melalui pengungkapan CSR dalam media termasuk dalam
laporan tahunan perusahaan. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Kiroyan (2006)
dalam Sayekti & Wondabio (2007) yang menyatakan bahwa dengan menerapkan
CSR, diharapkan perusahaan akan memperoleh legitimasi sosial dan memaksimalkan
kekuatan keuangannya dalam jangka panjang. Hal ini mengindikasikan bahwa
perusahaan yang menerapkan CSR mengharapkan akan direspon positif oleh para
pelaku pasar.
Undang-Undang di Indonesia
mengamanatkan agar perusahaan melaksanakan tanggung jawab sosial dan
lingkungannya. Ada dua undang-undang yang mengatur mengenai hal tersebut.
Undang-undang pertama adalah Pasal 15b Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang
Penanaman Modal. Undang-undang ini menyatakan bahwa setiap investor
berkewajiban melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan. Penjelasan pasal
ini menyatakan bahwa yang dimaksud dengan tanggung jawab sosial perusahaan
adalah tanggung jawab yang melekat pada perusahaan penanaman modal untuk tetap
menciptakan hubungan yang serasi, seimbang, dan sesuai dengan lingkungan,
nilai, norma, dan budaya masyarakat.
Undang-undang kedua yang
mengatur mengenai tanggung jawab sosial dan lingkungan perusahaan adalah
Undang- Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Pasal 74 ayat (1)
Undang- undang ini menyatakan bahwa perseroan yang menjalankan kegiatan
usahanya di bidang dan atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib
melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan. Ayat (2) pasal ini
menyatakan kewajiban tersebut diperhitungkan sebagai biaya perseroan yang
pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran.
Selanjutnya ayat (3) menyebutkan perseroan yang tidak melaksanakan kewajiban
sebagaimana yang dimaksud ayat (1) dikenai sanksi sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang terkait. Kemudian ayat (4) menyatakan ketentuan lebih
lanjut mengenai tanggung jawab sosial dan lingkungan diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
Dengan diberlakukannya
kedua Undang-undang di atas, perusahaan akan lebih terdorong untuk
bertanggungjawab terhadap lingkungan dan sosialnya. Adanya standar yang
dilakukan terhadap praktek pelaporan CSR (Corporate Social Reporting)
akan menjadikan pengungkapan tanggung jawab sosial dan lingkungan sebagai mandatory
disclosure, sehinggap pelaporan CSR akan lebih lengkap dan akurat. Walaupun
Undang-undang tersebut telah mendorong kesadaran perusahaan terhadap tanggung
jawab lingkungan dan sosialnya, namun undang-undang tersebut masih memiliki
kelemahan. Dalam undang-undang tersebut tidak dicantumkan sektor apa saja yang
diwajibkan untuk melaksanakan CSR, sanksi yang dikenakan apabila melanggar,
berapa besar anggaran minimum, serta pelaporan CSR.
2. International
Standard Organization (ISO) 14001 tentang Manajemen Lingkungan
International Organization for
Standardization (ISO)
adalah suatu asosiasi global di luar pemerintahan yang terdiri dari badan-badan
standardisasi nasional yang beranggotakan 140 negara dan berdiri sejak tahun
1947 (www.iso.org, 2013).
Tujuan ISO 14000 (Kuhre,
1995) adalah sebagai berikut.
1. Mendorong upaya dan
melakukan pendekatan untuk pengelolaan lingkungan hidup dan sumberdaya alam dan
kualitas pengelolaannya diseragamkan pada lingkup global.
2. Meningkatkan kemampuan
organisasi untuk mampu memperbaikikualitas dan kinerja lingkungan hidup dan
sumber daya alam.
3. Memberikan kemampuan dan
fasilitas pada kegiatan ekonomi danindustri, sehingga tidak mengalami rintangan
dalam berusaha.
Untuk mencapai tujuan
tersebut dibentuk SAGE (Startegic Advisory Group on the Environment).
Kemudian TC 207 (Komisi Teknis) pada tahun 1993 dibentuk oleh Organisasi
Internasional untuk Standarisasi (ISO). Komisi ini terdiri dari berbagai negara
dan bertugas merumuskan konsep standar internasional di bidang lingkungan.
Adapun pembagian tugasnya adalah sebagai berikut.
1. Sub komisi yang
menangani Environmental Management System (Sistem pengelolaan Lingkungan
dan sumberdaya alam).
2. Sub komisi yang
menangani Environmental Auditing (Odit Lingkungan).
3. Sub komisi yang
menangani Environmental Labelling (Label Lingkungan).
4. Sub komisi yang
menangani Environmental Performance Evaluating (Evaluasi Kinerja
Lingkungan).
5. Sub komisi yang
menangani Life Cycle Analysis (Analisis Daur Hidup)
6. Sub komisi yang
menangani Environemental aspect in Product Standard (Aspek
Lingkungan dalam Baku mutu Produk).
7. Sub komisi yang bertugas
menyusun Term and Definitions (Istilah dan Definisi).
3. International Standard
Organization (ISO) 26000 tentang Corporate Responsibility
International
Organization for Standardization (ISO) adalah suatu asosiasi global di
luar pemerintahan yang terdiri dari badan-badan standardisasi nasional yang
beranggotakan 140 negara dan berdiri sejak tahun 1947. Pada 1 November 2010,
ISO mengeluarkan ISO 26000 yang merupakan suatu standar mengenai panduan
perilaku bertanggung jawab sosial bagi organisasi guna berkontribusi terhadap
pembangunan berkelanjutan (www.iso.org, 2013).
Munculnya ISO 26000 ini diharapkan
dapat memberikan tambahan nilai terhadap aktivitas tanggung jawab sosial yang
berkembang saat ini melalui pengembangan suatu konsensus terhadap pengertian
tanggung jawab sosial dan isunya, menyediakan pedoman tentang penerjemahan
prinsip-prinsip menjadi kegiatan yang efektif dan memilah praktik-praktik
terbaik yang sudah berkembang dan menyebarluaskannya untuk kebaikan komunitas
atau masyarakat internasional. ISO 26000 menerjemahkan tanggung jawab sosial
sebagai tanggung jawab suatu organisasi atas dampak dari keputusan dan
aktivitasnya terhadap masyarakat dan lingkungan melalui perilaku yang
transparan dan etis, serta konsisten dengan pembangunan berkelanjutan dan
kesejahteraan masyarakat, memperhatikan kepentingan dari para stakeholder, sesuai
hukum yang berlaku dan konsisten dengan norma-norma internasional serta
terintegrasi di seluruh aktivitas organisasi (www.iso.org, 2013).
Pedoman ISO 26000 terdiri dari 6 bab
serta memuat 7 prinsip, 2 praktik dasar, 7 subjek inti, 36 isu, dan 6 praktik
integrasi tanggung jawab sosial organisasi. Berbagai isu yang tercakup dalam
tanggung jawab sosial menurut ISO 26000 digambarkan sebagai berikut. Tanggung
Jawab Sosial: (1) Lingkungan; (2) Praktik operasi yang adil; (3) Isu-isu
konsumen; (4) Pembangunan social; (5) Tata kelola organisasi; (6) Hak asasi
manusia; (7) Praktik Ketenagakerjaan
4. Global Reporting Initiative
(GRI)
Pengungkapan tanggung jawab sosial
pada laporan keuangan perusahaan juga memiliki standar yang disebut dengan Global
Reporting Initiatives (GRI). GRI merupakan suatu organisasi nirlaba yang
memelopori kinerja ekonomi, lingkungan dan sosial yang berkelanjutan. Tujuan
utama GRI yaitu membantu para investor, pemerintah, perusahaan dan masyarakat
umum untuk memahami lebih jelas proses peningkatan dan pencapaian perusahaan
(Sudana & Arlindania, 2011). Aspek yang terdapat dalam GRI yaitu aspek
ekonomi (9 item), lingkungan (30 item), tenaga kerja (14 item), hak asasi
manusia (11 item), masyarakat (8 item), dan produk (9 item). Rerangka pelaporan
yang dikembangkan oleh GRI bersifat umum dan telah disetujui oleh berbagai
pemangku kepentingan di seluruh dunia (www.globalreporting.org, 2013).
5. Sustainable and Responsible
Investment Keaneka Ragaman Hayati Indonesia (Indeks
SRI-KEHATI)
Pengungkapan lingkungan di Indonesia
terdapat di Indeks bernama SRI-KEHATI, SRI-KEHATI diluncurkan pada tanggal 8
Juni 2009 yang merupakan hasil kerjasama antara Bursa Efek Indonesia dan Yayasan
Keanekaragaman Hayati Indonesia (KEHATI) yang bergerak dalam bidang
pelesatarian dan pemanfaatan keanekaragaman hayati (www.kehati.or.id, 2014).
Perusahaan yang terdaftar dalam Indeks SRI-KEHATI adalah perusahaan yang telah
dinilai berdasarkan kriteria Indeks SRI-KEHATI. Kriteria Indeks SRI-KEHATI
seperti aset total di atas satu triliun Rupiah pada laporan audit tahunan,
memiliki Price Earnings Ratio positif, dan Free Float Ratio.
Pemilihan Indeks SRI-KEHATI sebagian sampel penelitian dikarenakan indeks
SRI-KEHATI menjadi acuan para investor dan masyarakat untuk mengetahui
perusahaan apa saja yang telah menerapkan 4 konsep Corporate Social
Responsibility dengan menggunakan standar Global Reporting Initiatives.
6. Environmental Management
Accounting (EMA)
EMA didefinisikan sebagai alat
analisis infomasi keuangan dan non-keuangan yang digunakan untuk mendukung
proses manajemen lingkungan hidup yang dilakukan oleh internal perusahaan.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa EMA
merupakan sebuah alat yang dapat menyajikan informasi bagi internal perusahaan
terkait dengan kegiatan pengelolaan kinerja lingkungan yang tepat dan praktis.
Dalam pelaksanaannya, EMA memiliki 5 kegiatan yang utama
Tujuan dan Manfaat Penggunaan EMA
Tujuan EMA menurut Savage (2014) dapat
dirumuskan bahwa setiap pengambil keputusan dapat menggunakan informasi fisik
dan biaya dari EMA untuk membuat keputusan yang akan berdampak pada kinerja
lingkungan dan kunerja keuangan perusahaan. Sedangkan menurut IFAC (2005)
tujuan EMA adalah manajemen internal perusahaan dapat mengambil langkah-langkah
insiatif yang sangat baik menggunakan informasi yang diperoleh dari EMA.
Beberapa fokus lingkungan seperti, produk “hijau”, desain produk yang
menggunakan bahan ramah lingkungan. Selain itu EMA sering digunakan untuk
pelaporan eksternal.
Jadi, EMA lebih dari sekedar alat
pengelolaan lingkungan saja, tetapi EMA bisa menjadi sekumpulan prinsip dan
pendekatan yang menyediakan data penting untuk keberhasilan banyak kegiatan
pengelolaan lingkungan perusahaan. Dan sejak keputusan mengenai kegiatan
lingkungan dipengaruhi isu lingkungan, dengan adanya EMA setiap keputusan
mengenai kegiatan lingkungan dapat diambil secara objektif.
Beberapa manfaat dari penggunaan EMA
1)
Perusahaan
mampu untuk lebih akurat melacak dan mengelola penggunaan aliran energi dan
material, termasuk volume polusi/limbah, jenis, dan nasib
2)
Perusahaan
juga dapat mengidentifikasi, mengestimasi, mengalokasikan, dan
mengelola/mengurangi biaya, terutama biaya yang terkait lingkungan
3)
Perusahaan
dapat hasil informasi yang lebih akurat dan komprehensif untuk pengukuran dan
pelaporan kinerja lingkungan, sehingga citra perusahaan meningkat dengan para
pemangku kepentingan seperti pelanggan, masyarakat setempat, karyawan,
pemerintah, dan penyedia dana investasi.
4)
Manfaat
bagi Pemerintah ketika Perusahaan menerapkan EMA
5)
Semakin
banyak industri yang dapat mengaplikasikan program lingkungan atas dasar hukum
dan peraturan yang sudah diatur oleh pemerintah
6)
Pelaksanaan
EMA oleh industri harus meningkatkan efektivitas kebijakan pemerintah/peraturan
yang berlaku dengan cara perusahaan mengungkapkan biaya lingkungan dan manfaat
yang dihasilkan dari kebijakan-kebijakan/peraturan tersebut.
7)
Pemerintah
dapat menggunakan perusahaan yang sudah menerapkan EMA untuk dijadikan tolok
ukur performa kinerja perusahaan terhadap lingkungan serta penyusunan regulasi
bagi pemerintah.
Framework Environmental Management
Accounting
Rerangka EMA berhubungan dengan dua
komponen utama manajemen lingkungan yaitu: monetary
environmental management accounting (MEMA) dan physical environmental management accounting (PEMA)
7. Audit
Lingkungan Hidup
Audit lingkungan merupakan
instrumen berharga untuk memverifikasi dan membantu penyempurnaan kinerja lingkungan. Audit perlu dilakukan secara berkala, untuk
menentukan apakah sistem yang dilaksanakan sudah sesuai dengan pengaturan yang
direncanakan dan telah dijalankan dan dipelihara secara benar, yang
pelaksanaannya tergantung dari pentingnya masalah lingkungan bagi kegiatan
perusahaan dan hasil audit sebelumnya.
Refleksi
Penjelasan mengenai masing-masing
instrument dengan lebih detail akan dituliskan pada serial artikel-artikel
lebih lanjut. Semoga bermanfaat dan
menjadi informasi serta pengetahuan lebih lanjut mengenai pengelolaan usaha,
bisnis, dan aktivitas ekonomi yang berkelanjutan. Aktivitas ekonomi yang ramah terhadap alam,
memberdayakan masyarakat, yang pada akhirnya akan menghasilkan keuntungan atau
profit yang memadai.
Referensi
Burritt, R. L., Hahn, T., & Schaltegger, S. 2002. Towards A
Comprehensive Framework For Environmental Management Accounting – Links Between
Business Actors And EMA Tools. Australian
Accounting Review, 39-50.
Darwin, A.
2006. Akuntabilitas, Kebutuhan, Pelaporan, Dan Pengungkapan Corporate Social Rwsponsibility Bagi Perusahaan Di Indonesia”. Economics
Business Accounting Review: Corporate
Social Responsibility, 3rd Ed, Pp. 83-95. Departemen Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
Deegan.
2002. Introduction: The Legitimizing Effect Of Social And Environmental Disclosure
– A Theoretical Foundation. Accounting, Auditing & Accountability Journal,
Vol.15, No. 3, Pp. 282-311.
Endiarto, O.T. &
Stephanus, D. S. 2014. Analisis
Pengaruh Kinerja Lingkungan Terhadap Nilai Perusahaan Yang Terdaftar Di Index
Sri Kehati .Proposal Skripsi. Universitas
Ma Chung. Malang
Haniffa, R.
M & Cooke, T. E. 2005. The Impact Of Culture And Governance On Corporate
Social Reporting. Journal Of Accounting And Public Policy 24.
International Federation of Accountants (IFAC). 2005. International
Guidance Document: Environmental Management Accounting. New York: The
International Federation of Accountants.
Jalal. 2007.
Perkembangan Mutakhir Corporate
Social Rwsponsibility di Indonesia.
Jakarta: Lingkar Studi Corporate Social
Responsibility
Johnson, S. 2004. Environmental
Management Accounting.
Keputusan
Menteri Lingkungan Hidup No. 4294 Tahun 1994 Tentang Pedoman Umum Pelaksanaan
Audit Lingkungan.
Kuhre, W. L.
1995. ISO 14001 Certification -
Environmental Management Systems: A Practical Guide for Preparing Effective
Environmental Management Systems.
Mathews, M. R. &
Perera, M. H. 1996. Accounting Theory and Development. Thomas Nelson,
South Melbourne, Australia.
Novita &
Djakman. 2008. Pengaruh Struktur Kepemilikan Terhadap Luas Pengungkapan Tanggung Jawab Sosial (Corporate Social Rwsponsibility Disclosure) Pada Laporan Tahunan
Perusahaan: Studi Empiris Pada Perusahaan Publik Yang Tercatat Di Bursa Efek
Indonesia Tahun 2006. Simposium Nasional Akuntansi XI.
Nugroho, O.C. &
Stephanus, D.S. 2014. Studi Empiris
Pengaruh Manajemen Laba (Earnings Management), Corporate Governance,
Ukuran Perusahaan (Size), Leverage, Dan Profitabilitas Terhadap
Pengungkapan Tanggung Jawab Sosial Dan Lingkungan Perusahaan. Proposal Skripsi. Universitas Ma Chung.
Malang
Oktiviana,
D. & Stephanus, D.S. 2014. Analisis
Pengaruh Penerapan Environment Management Accounting Dan Strategi
Terhadap Inovasi Perusahaan . Proposal
Skripsi. Universitas Ma Chung. Malang
Peraturan
Menteri Lingkungan Hidup Republik Indonesia Nomor 03 Tahun 2013 Tentang Audit
Lingkungan Hidup
Puspita,
M. E. & Stephanus, D.S. 2014. Pengaruh
Pengungkapan Corporate Social Responsibility, Global Reporting Initiatives Dan
Iso 26000 Terhadap Nilai Perusahaan Sektor Pertambangan. Proposal Skripsi. Universitas Ma Chung.
Malang
Robert, D.
& Stephanus, D.S. 2014. Penerapan Dan Analisis Pengaruh Environmental Management Accounting
(Ema). Proposal Skripsi. Universitas
Ma Chung. Malang
Saleh, M, Zulkifli, N,
& Muhamad, R. (2010). Corporate Social Responsibility Disclosure And Its
Relation On Institutional Ownership. Managerial Auditing Journal, Vol.
25, No. 6, Pp. 591-613.
Saputra,
N. A. & Stephanus, D.S. 2014. Pengaruh Pengungkapan Corporate Social
Resposibility Dan Global Reporting Initiatives Terhadap Nilai
Perusahaan Pada Perusahaan Yang Tercatat Di Indeks Sri-Kehati 2010—2012. Skripsi. Universitas Ma Chung. Malang
Sudana, I M. & Arlindania
W. P.A., 2011. “Corporate Governance dan Pengungkapan Corporate
Sosial Responsibility pada Perusahaan Go Public di Bursa Efek
Indonesia”, Jurnal Manajemen Teori dan Terapan, Volume 4 Nomor 1
hal 37-49.
Undang-Undang Nomor 25
Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal.
Undang-Undang Nomor 40
Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas.
Utama, S. 2007. Evaluasi
Infrastruktur Pendukung Pelaporan Tanggung Jawab Sosial Dan Lingkungan Di
Indonesia. Pidato Pengukuhan Profesor Fakultas Ekonomi Ui. Jakarta.
www.oc.its.ac.id/ambilfile.php?idp=1833. Konsep Audit Lingkungan
Seri #3: Corporate
Social Responsibility dan Undang-Undang No. 40/2007 Tentang Perseroan
Terbatas
Pengantar
Corporate
Social Responsibility (CSR)
dapat didefinisikan sebagai sebuah komitmen untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat melalui praktik bisnis secara sukarela dan melalui sumber daya
perusahaan. Dalam hal ini, perusahaan melakukan komitmennya murni secara
sukarela turut meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan bukan dikarenakan
sebuah kewajiban atau keterpaksaan
Sedangkan Sedangkan menurut Friedman
(1970), tanggung jawab sosial perusahaan adalah menjalankan bisnis sesuai
dengan keinginan pemilik perusahaan, biasanya dalam bentuk menghasilkan uang
sebanyak mungkin dengan senantiasa mengindahkan aturan dasar yang digariskan
dalam suatu masyarakat sebagaimana diatur oleh hukum dan perundang-undangan.
Jadi, dapat disimpulkan, Corporate Social Responsibility adalah
konsep yang diterapkan perusahaan dengan tujuan agar menyejahterakan masyarakat
serta menjaga lingkungan sekitar terkait keberadaan perusahaan tersebut.
Kepedulian perusahaan terhadap masyarakat dan lingkungan dapat meningkatkan
citra perusahaan di mata publik.
Hukum dan
Perundang-undangan yang mengatur Corporate
Social Responsibility (CSR)
Secara hukum dan perundang-undangan
ada sedikitnya tiga peraturan yang mewajibkan CSR untuk dilaksanakan. CSR
sendiri dibagi menjadi tiga macam yaitu CSR untuk Perseroan Terbatas (PT), CSR
untuk penanam modal, dan CSR untuk BUMN.
1 Undang-undang yang Mengatur CSR
untuk Perseroan Terbatas (PT)
CSR dalam Perseroan Terbatas (PT)
diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2007 Tentang
Perseroan Terbatas pada Pasal 74 yang menyebutkan bahwa perusahaan wajib menciptakan
hubungan Perseroan yang serasi, seimbang, dan sesuai dengan lingkungan, nilai,
norma, dan budaya masyarakat setempat.
2 Undang-undang yang Mengatur CSR untuk Penanam
Modal
Untuk penanam modal, CSR diatur dalam
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanam Modal pada
Pasal 15 ayat (b) menyebutkan bahwa setiap penanam modal berkewajiban
melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan.
3 Undang-undang yang Mengatur CSR
untuk Badan Usaha Milik Negara (BUMN)
Dalam Keputusan Menteri Badan Usaha
Milik Negara NOMOR KEP-236/MBU/2003 pada pasal 2 menyatakan bahwa BUMN wajib
melaksanakan Program Kemitraan dan Program BL dengan memenuhi
ketentuan-ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini. Sumber dana
pembinaan berasal dari bagian pemerintah atas laba BUMN sebesar antara 1%-5%
dari seluruh laba perusahaan setelah pajak.
2.4.1 Definisi
Tanggung Jawab Sosial Perusahaan
Hackston & Milne (1996) dalam
Sembiring (2005) menyatakan bahwa tanggung jawab sosial perusahaan atau corporate
social responsibility (CSR) merupakan proses pengomunikasian dampak sosial
dan lingkungan dari kegiatan ekonomi perusahaan terhadap kelompok khusus yang
berkepentingan dan terhadap masyarakat secara keseluruhan. Undang-Undang No 40
tahun 2007 pasal 74 ayat (2) mengenai Perseroan Terbatas menyatakan bahwa
tanggung jawab sosial merupakan kewajiban Perseroan yang dianggarkan dan
diperhitungkan sebagai biaya perseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan
memperhatikan kepatuhan dan kewajaran. Untung (2008) mendefinisikan tanggung
jawab sosial perusahaan atau corporate social responsibility (CSR)
adalah komitmen perusahaan atau dunia bisnis untuk berkontribusi dalam
perkembangan ekonomi yang berkelanjutan dengan
memperhatikan tanggung jawab sosial perusahaan dan menitikberatkan pada
keseimbangan terhadap aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan.
Harsanti (2011)
menyatakan tanggung jawab sosial adalah sebuah gagasan yang menjadikan
perusahaan tidak lagi berpijak pada prinsip single bottom line, yaitu
nilai perusahaan hanya direfleksikan pada kondisi keuangannya saja dan
perusahaan hanya memunyai kewajiban ekonomi kepada pemegang saham (shareholder),
tetapi juga kewajiban terhadap pihak-pihak lain yang berkepentingan (stakeholder).
Berdasarkan definisi yang telah diungkapkan, maka dapat disimpulkan tanggung
jawab sosial perusahaan atau corporate social responsibility merupakan
suatu komitmen perusahaan kepada pihak stakeholder ataupun shareholder
untuk bertanggung jawab atas kinerja bisnis perusahaan dalam aspek ekonomi,
sosial, dan lingkungan. Tanggung jawab sosial bukan saja menuntut perusahaan
untuk memperoleh laba yang tinggi namun bagaimana hubungan perusahaan dengan
lingkungan sekitar perusahaan.
2.4.2
Pengungkapan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan
Chariri & Ghozali
(2007) menyatakan bahwa pengungkapan dapat diartikan sebagai pemberian
informasi bagi pihak-pihak yang berkepentingan terhadap informasi tersebut.
Rakhiemah & Agustia (2009) menyatakan bahwa pengungkapan tanggung jawab
sosial perusahaan atau corporate social responsibility (CSR) merupakan
suatu proses penyedia informasi yang dirancang untuk mengemukakan masalah
seputar social accountability, yang secara khas tindakan ini dapat
dipertanggungjawabkan dalam media-media seperti laporan tahunan maupun dalam
bentuk iklan yang berorientasi sosial. Dari beberapa definisi di atas maka
dapat disimpulkan bahwa pengungkapan tanggung jawab sosial merupakan suatu
proses yang dilakukan perusahaan untuk menyediakan informasi mengenai aktivitas
sosial perusahaan, yang dapat memengaruhi persepsi masyarakat dan kinerja
keuangan perusahaan.
Sitepu & Siregar
(2009) menyatakan tujuan dari pengungkapan tanggung jawab sosial adalah
menyediakan informasi yang memungkinkan dilakukan evaluasi perusahaan terhadap
masyarakat. Pengaruh kegiatan ini bersifat negatif jika menimbulkan biaya
sosial pada masyarakat, dan bersifat positif jika menimbulkan manfaat sosial
bagi masyarakat. Utomo (2000) menyatakan bahwa tujuan pengungkapan
dikategorikan menjadi dua yaitu protective disclosure yang merupakan
upaya perlindungan terhadap investor, dan information disclosure yang
bertujuan memberikan informasi yang layak kepada pengguna laporan. Jadi, tujuan
tanggung jawab sosial adalah menyediakan informasi bagi para pengguna laporan
keuangan baik dalam dampak dan manfaat atas aktivitas yang dilakukan perusahaan
kepada masyarakat. Selain itu, pengungkapan tanggung jawab sosial tersebut
dapat menjadi evaluasi kinerja perusahaan dan menerangkan dampak yang timbul
atas kinerja perusahaan.
Di Indonesia, pengungkapan
tanggung jawab sosial dan lingkungan dalam laporan tahunan Perseroan Terbatas
telah diwajibkan melalui pasal 66 ayat 2 Undang-Undang No. 40 Tahun 2007
tentang Perseroan Terbatas. Undang-Undang tersebut mewajibkan setiap laporan
tahunan Perseroan Terbatas memuat sekurang-kurangnya laporan keuangan, laporan
mengenai kegiatan perusahaan, laporan tanggung jawab sosial dan lingkungan,
rincian masalah yang timbul selama tahun buku, laporan mengenai tugas
pengawasan, nama anggota Direksi dan Dewan Komisaris dan gaji beserta tunjangan
anggota Direksi dan Dewan Komisaris.
Praktik pengungkapan
tanggung jawab sosial diatur oleh Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) dalam
Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK 2011) No. 1 Paragraf 12, yang
menyatakan bahwa entitas dapat pula menyajikan, terpisah dari laporan keuangan,
laporan mengenai lingkungan hidup dan laporan nilai tambah khususnya bagi
industri yang faktor-faktor lingkungan hidup memegang peranan penting dan bagi
industri yang menganggap pegawai sebagai kelompok pengguna laporan yang
memegang peranan penting.
Peraturan Bapepam-LK
mengenai Emiten dan Perusahaan Publik terkait Pelaporan Emiten dan Perusahaan
Publik, tertuang dalam peraturan VIII.G.2 yang telah diubah menjadi peraturan
No. X.K.6 (Kewajiban Penyampaian Laporan Tahunan Bagi Emiten dan Perusahaan
Publik) juga menyatakan bahwa laporan tahunan wajib memuat ikhtisar data
keuangan penting, laporan Dewan Komisaris, laporan Direksi, profil perusahaan,
analisis dan pembahasan manajemen, tata kelola perusahaan, tanggung jawab
sosial perusahaan, laporan keuangan tahunan yang telah diaudit, dan surat
pernyataan tanggung jawab Dewan Komisaris dan Direksi atas kebenaran isi
laporan tahunan.
Jadi, dapat dikatakan
bahwa secara keseluruhan pengungkapan laporan tanggung jawab sosial telah
menjadi suatu kewajiban bagi perusahaan publik di Indonesia. Perusahaan
dituntut untuk tidak hanya memikirkan kepentingan pemegang saham atau pemilik,
namun juga mementingkan kepentingan masyarakat sekitar. Perusahaan dalam memperoleh
laba harus memperhatikan kondisi masyarakat dan lingkungan, dan kegiatan yang
dilakukan oleh perusahaan diungkapkan pula pada laporan tahunan perusahaan.
2.4.3
Pengungkapan Lingkungan
Al Tuwaijiri,
Christensen & Hughes (2004) menyatakan pengungkapan lingkungan perusahaan
sebagai kumpulan informasi yang berhubungan dengan aktivitas pengelolaan
lingkungan oleh perusahaan di masa lalu, sekarang, dan yang akan datang.
Suratno, Darsono, & Mutmainah (2006) menyatakan bahwa pengungkapan
lingkungan perusahaan merupakan pengungkapan informasi terkait dengan
lingkungan di dalam laporan tahunan (annual report) perusahaan.
Fatayaningrum (2011) pengungkapan lingkungan merupakan pengungkapan perusahaan
terhadap dampak dari aktivitas perusahaan pada lingkungan fisik atau alam pada
tempat perusahaan beroperasi. Berdasarkan beberapa definisi maka dapat
disimpulkan bahwa pengungkapan lingkungan merupakan kumpulan informasi yang
terdapat pada laporan tahunan perusahaan mengenai aktivitas perusahaan pada
lingkungan sekitar. Pengungkapan tersebut dapat berupa pencegahan polusi akibat
aktivitas perusahaan, pelestarian lingkungan, pemanfaatan dan perlindungan
lingkungan, serta informasi lain yang berhubungan dengan lingkungan hidup.
Pengungkapan
lingkungan merupakan salah satu pengungkapan yang menjadi bagian dari
pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan atau corporate social
responsibility (CSR), yang berfokus pada kepedulian perusahaan terhadap
lingkungan sekitar. Kepedulian perusahaan terhadap permasalahan lingkungan dapat
dilakukan dengan melaksanakan program-program kinerja lingkungan yang kemudian
di ungkapkan dalam laporan, baik pada laporan tahunan maupun laporan terpisah
lainnya yang disebut laporan keberlanjutan (sustainability report).
Terdapat
beberapa alasan perusahaan dalam memperhatikan lingkungan adalah sebagai
berikut (Januarti & Apriyanti, 2005).
1.
Isu lingkungan yang melibatkan kepentingan berbagai kelompok dalam masyarakat
yang dapat mengganggu kualitas hidup mereka.
2.
Dalam era globalisasi, produk-produk yang diperdagangkan harus bersahabat
dengan lingkungan.
3.
Para investor dalam menanamkan modalnya cenderung untuk memilih perusahaan yang
memiliki dan mengembangkan kebijakan dan program lingkungan.
4. Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM) dan pecinta lingkungan semakin vokal dalam mengkritik
perusahaan-perusahaan yang kurang peduli terhapa lingkungan.
Pentingnya
pengungkapan lingkungan juga menimbulkan adanya peraturan khusus seperti yang
tertuang pada pasal 68 huruf (a) Undang-Undang No.32 Tahun 2009 mengenai
Pengelolaan Lingkungan Hidup. Dalam pasal 68 huruf (1) Undang-Undang No. 32
tahun 2009 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup disebutkan bahwa setiap orang
yang melakukan usaha atau kegiatan berkewajiban memberikan informasi yang
terkait dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup secara benar,
akurat dan terbuka, serta tepat waktu. Pengungkapan kinerja lingkungan dan
tanggung jawab sosial perusahaan dapat dilakukan melalui laporan tahunan atau
laporan terpisah yang disebut dengan sustainability report dan media
lainnya seperti website. Sustainability report ini mencakup
kinerja lingkungan, sosial dan ekonomi, dan sering dibuat dengan nama environmental
report, social report, atau environmental and social report tergantung
dari tujuan pengungkapan.
Tabel
1.
Indikator
Pengungkapan Corporate Social Responsibility (CSR)
(Dilanjutkan…)
No.
|
Kategori |
Keterangan |
|||
1 |
Lingkungan |
1 |
Pengendalian polusi
kegiatan operasi; pengeluaran riset dan pengembangan untuk pengurangan polusi
|
||
2 |
2 |
Pernyataan yang
menunjukkan bahwa operasi perusahaan tidak mengakibatkan polusi atau memenuhi
ketentuan hukum dan peraturan polusi |
|||
3 |
3 |
Pernyataan yang
menunjukkan bahwa polusi operasi telah atau akan dikurangi |
|||
4 |
4 |
Pencegahan atau
perbaikkan kerusakan lingkungan akibat pengolahan sumber alam, misalnya
reklamasi daratan atau reboisasi |
|||
5 |
5 |
Konservasi sumber
alam, misalnya mendaur ulang kaca, besi, minyak, air dan kertas. |
|||
6 |
6 |
Penggunaan material
daur ulang |
|||
7 |
7 |
Menerima
penghargaan berkaitan dengan program lingkungan yang dibuat perusahaan |
|||
8 |
8 |
Merancang fasilitas
yang harmonis dengan lingkungan |
|||
9 |
9 |
Kontribusi dalam
seni yang bertujuan untuk memperindang lingkungan |
|||
10 |
10 |
Kontribusi dalam
pemugaran bangunan sejarah |
|||
11 |
11 |
Pengolahan limbah |
|||
12 |
12 |
Memperlajari dampak
lingkungan untuk memonitor dampak lingkungan perusahaan |
|||
13 |
13 |
Perlindungan
lingkungan hidup |
|||
14 |
Energi |
1 |
Menggunakan energi
secara lebih efisien dalam kegiatan operasi |
||
15 |
2 |
Memanfaatkan barang
bekas untuk memproduksi energi |
|||
16 |
3 |
Penghematan energi
sebagai hasil produk daur ulang |
|||
17 |
4 |
Membahas upaya
perusahaan dalam mengurangi konsumen energi |
|||
18 |
5 |
Peningkatan
efisiensi energi dari produk |
|||
19 |
6 |
Riset yang mengarah
pada peningkatan efisiensi dari produk |
|||
20 |
7 |
Kebijakan energi
perusahaan |
|||
21 |
Kesehatan dan
Keselamatan Kerja |
1 |
Mengurangi polusi,
iritasi, atau risiko dalam lingkungan kerja |
||
22 |
2 |
Mempromosikan
keselamatan tenaga kerja dan kesehatan fisik atau mental |
|||
23 |
3 |
Statistik
kecelakaan kerja |
|||
Referensi
Ahmad, N & Sulaiman, M.
(2004). Environmental Disclosure in Malaysian Annual Reports: A
Legitimacy Theory Perspective. International Journal of Commerce & Management. Vol.14, No.1.
Alhusin, S. (2004). Aplikasi
Statistik Praktis dengan SPSS 10 for Windows. Jogjakarta: Graha Ilmu.
Altman, E. I. (2000).
Predicting financial distress of companies: Revisiting the Zscore and Zeta® Models. Journal
of Banking & Finance, 1.
Amal, M. (2011). Pengaruh
Manajemen Laba, Kepemilikan Manajerial, Ukuran Perusahaan, dan
Profitabilitas terhadap Pengungkapan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan
(Studi Empiris pada Perusahaan Manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek
Indonesia Tahun 2008-2009). Skripsi. Universitas Diponegoro, Semarang.
Amran, A & Devi, S.
(2008). The Impact Of Government and Foreign Affiliate Influence on Corporate
Social Reporting (The Case of Malaysia). Accounting, Auditing, and
Accountability Journal, Vol.
23, No. 4, hal 386- 404.
Anggaini, R. R. (2006).
Pengungkapan Informasi Sosial dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pengungkapan
Infromasi Sosial dalam Laporan Keuangan Tahunan (Studi Empiris pada
Perusahaan-Perusahaan yang Terdaftar pada Bursa Efek Jakarta). Simposium
Nasional Akuntansi IX, Padang.
Arif, I. Y. (2006).
Pengaruh Struktur Kepemilikan dan Mekanisme Corporate Governance Terhadap Agency Cost (Studi
pada Perusahaan di BEJ). Jurnal Ilmiah Bidang Manajemen dan
Akuntansi,
Vol.3, No.2, hal. 194 213, September
2006.
Arikunto, S. (2006). Prosedur
Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta.
Barkemeyer, R. (2007).
Legitimacy as a Key Driver and Determinant of CSR in Developing Countries. Paper
for the 2007 Marie Curie Summer School on Earth System Governance, 28 May – 06 June 2007,
Amsterdam.
Barnae, A & Rubin, A.
(2005). “Corporate Social Responsibility as a Conflict Between Shareholders”
Beiner, S, Drobetz, W,
Schmid, F, & Zimmermann, H. (2003). Is Board Size an Independent Corporate
Governance Mechanism? Working Paper. University of Basel.
Belkaoui, A. & Karpik,
P. G. (1989). Determinants of the Corporate Decision to Disclose Social
Information. Acoounting, Auditing and Accountability Journal, Vol. 2, No. 1, hal. 36-51
Bowman, E. H & Haire,
M. (1976). “Social Impact Disclosure and Corporate Annual Reports”. Accounting,
Organizations, and Society, Vol. 1 No. 1, pp. 11-21
Branco, M & Rodrigues,
L. L. (2006). Corporate Social Responsibility and Resource-Based
Perspectives. Journal of Business Ethics 69 (2), pp. 111-132
Brealey, M & Marcus.
2007. Dasar- dasar Manajemen Keuangan Perusahaan. Edisi kelima. Jakarta: Erlangga.
Brigham, E & Houston,
J. F. (2001). Manajemen Keuangan II. Jakarta: Salemba Empat.
Cadbury Committee. (1992). Report
of the Committee on the Financial Aspects of Corporate Governance. London: Gee.
Cahyonowati, N. (2003).
Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pengungkapan Sosial (Social
Disclosure) Dalam Laporn Tahunan Perusahaan. Skripsi S1 Tidak
Dipublikasikan.
Fakultas Ekonomi Universitas Diponegoro.
Chih, H, Shen, C, &
Kang, F. (2008). Corporate Social Responsibility, Investor Protection and Earning
Management: Some International Evidence. Journal of Business Ethics, 79 (April), 179-198.
Chrismawati, D. T. (2007).
Pengaruh Karakteristik Keuangan dan Non Keuangan Perusahaan terhadap Praktik
Environmental Disclosure di Indonesia. Skripsi. Perpustakaan Ekonomi
Referensi. Universitas Diponegoro, Semarang.
Commission of the European
Communities. (2001). Promoting a European Framework for Corporate
Social Responsibility.
Brussels: European Community.
Cowen, S. S, Ferreri, L. B,
Parker, L. D. (1987). The Impact of Corporate Characteristic on Social
Responsibility Disclosure; a Typology and Frequency Based Analysis.
Accounting, Organization and Society, Vol. 12 No. 2.
Creswell, J.W. (2012). Research
Design Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif, dan Mixed. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar
Darwin, A. (2006).
Akuntabilitas, Kebutuhan, Pelaporan, dan Pengungkapan CSR bagi Perusahaan di
Indonesia”. Economics Business Accounting Review: Corporate Social
Responsibility, 3rd
ed, pp. 83-95. Departemen Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas
Indonesia.
Darwin, A. (2008). CSR:
Standards dan Reporting. Makalah disampaikan pada Seminar Nasional CSR
sebagai Kewajiban Asasi Perusahaan; Telaah Pemerintah, Pengusaha, dan
Dewan Standar Akuntansi,
27 November 2010.
Davey, H. B. (1982).
Corporate Social Responsibility Disclosure in New Zealand; An Empirical Investigation.
Unpublished Working Paper. Massey University, Palmerston North, New
Zealand.
Dechow, P. M, Sloan, R. G,
& Sweeney, A. P. (1995). Detecting Earnings Management. Accounting
and Business Research. Vol. 70, No. 2.
Deegan. (2002).
Introduction: The legitimizing effect of social and environmental disclosure – a theoretical
foundation. Accounting, Auditing & Accountability Journal, vol.15, no. 3, pp.
282-311.
Fahrizqi, A. (2010).
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pengungkapan Corporate Social Responsibility dalam Laporan Tahunan
Perusahaan. Skripsi. Jurusan Akuntansi, Universitas Diponegoro ,
Semarang.
Fama, E. F. & Jensen,
M. C. (1983). Separation of Ownership and Control. Journal Of Law and
Economics, Vol.26.
pp.301-325.
Farook, S & Lanis, R.
(2005). Banking On Islam? Determinants of Corporate Social Responsibility
Disclosure. The 6 th International Conference on Islamic and Fnance. Jakarta.
Ferri, M. G & Jones, W.
H. (1979). Determinants of Financial Structure: A New Methodological Approach. The
Journal Of Finance XXXIV, 3, pp. 631-644.
Fitriyani. (2001).
Signifikansi Perbedaan Tingkat Kelengkapan Wajib dan Sukarela pada Laporan
Keuangan Perusahaan Publik yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia. Simposium
Nasional Akuntansi IV. Hlm 133-154.
Forum for Corporate
Governance in Indonesia.
(2001). Peranan Dewan Komisaris
dan Komite Audit dalam Pelaksanaan Corporate Governance (Tata Kelola Perusahaan).
Jilid II.
Edisi Kedua. Jakarta: FCGI. Forum
for Corporate Governance in Indonesia. (2003). Indonesian Company Law. Dipetik November 29,
2013, dari www.fcgi.org.id
Freeman, R.E. (1984). Strategic
Management: A Stakeholder Approach.Pitman. Boston.
Ghozali, I. (2005). Aplikasi
Analisis Multivariate dengan Program SPSS. Semarang: Universitas
Diponegoro
Ghozali & Chairiri.
(2007). Teori Akuntansi. Semarang: Universitas Diponegoro
Ghozali, I. (2009). Aplikasi
Analisis Multivariate dengan Program SPSS. Semarang: Badan Penerbit
Universitas Diponegoro.
Global Reporting
Initiative. (2006). GRI Sustainability Reporting GuideLines G3 Version. Dipetik Desember 6, 2013,
dari https://www.globalreporting.org/
Gray, R, Kouhy, R,
Lavers, S. (1995). Corporate Social and Environmental Reporting: a Review of the
Literature and a Longitudinal Study of UK Disclosure, Accounting,
Auditing & Accountability Journal, vol. 8, no. 2, pp 47-77.
Gray, R, Owen, D. L, &
Adams, C. (1996). Accounting and Accountability: Social
and Environmental
Accounting in a Changing World. Hemel Hempstead: Prentice Hall
Gujarati, D. (2007). Ekonometrika
Dasar. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Hackston, D. & Milne,
M. J. (1996). Some Determinants of Social and Environmental Disclosures
in New Zealand Companies. Accounting, Auditing and Accountability
Journal, Vol.
9, No. 1
Hanafi, M. M & Halim,
A. (2005). Analisis Laporan Keuangan, Edisi Kedua. Yogyakarta: AMP-YKPN.
Haniffa, R. M & Cooke,
T. E. (2005). The Impact of Culture and Governance on Corporate Social Reporting.
Journal of Accounting and Public Policy 24.
Harahap, M. E. (4 Februari
2014). Perkembangan CSR di Indonesia. Dipetik April 29, 2014, dari
http://muchtareffendiharahap.blogspot.com/2014/02/perkembangan-csr-diindonesia
html
Hasibuan, R. (2001).
Pengaruh Karakteristik Perusahaan Terhadap Pengungkapan Sosial. Tesis.
Universitas Diponegoro. Semarang.
Heal, G. (2004). Corporate
Social Responsibility – An Economic and Financial Framework. Working Paper.
Columbia Business School.
Hendriksen, E. (1991). Teori
Akuntansi Diterjemaahkan oleh Nugroho Widjajanto. Jakarta : Gramedia
Herawaty, V. (2008). Peran
Praktek Corporate Governance sebagai Moderating Variable dari Pengaruh Earnings
Management terhadap Nilai Perusahaan. Simposium Nasional
Akuntansi II.
Pontianak.
Jalal. (2007). Perkembangan
Mutakhir CSR di Indonesia. Jakarta: Lingkar Studi CSR
Jensen, M. C &
Meckling, W. H. (1976). Theory of the Firm: Managerial Behavior, Agency Costs and
Ownership Structure. Journal of Financial Economics, Oktober, 1976, V. 3, No. 4,
pp. 305-360.
Kaen, R. F. (2003). Blueprint
for Corporate Governance. American Management Association. New York, USA.
Kiroyan, N. (2006). “Good
Corporate Governance (GCG) dan Corporate Social Responsibility (CSR) adakah kaitan di
antara keduanya?”, Economics Business Accounting Review: Corporate
Social Responsibility,
3rd ed, pp. 45-58. Departemen Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
Komite Nasional Kebijakan
Governance (KNKG). (2004). Pedoman Umum Good Corporate Governance
Indonesia 2004. Jakarta.
Lindblom, C. K. (1994). The
Implications of Organizational Legitimacy for Corporate
Lo, E. W. (2005).
Penjelasan Teori Prospek Terhadap Manajemen Laba. Jurnal Akuntansi dan
Manajemen. Vol. XVI. No. 1. April. STIE YKPN. Yogyakarta.
Maemunah, N. (2009).
Pengaruh Karateristik Perusahaan Terhadap Corporate Social Responsibility
Disclosure pada
Perusahaan Manufaktur. Jurnal Fakultas Ekonomi Jurusan
Akuntansi.
Universitas Gunadarma.
Mahdiyah, F. (2008).
Ananlisis Karakteristik Perusahaan dan Pengungkapan Tanggung Jawab Sosial dalam
Laporan Tahunan Perusahaan. Skripsi Tidak Dipublikasikan. Universitas Diponegoro,
Semarang.
Mathews, M. R. &
Perera, M. H. (1996). Accounting Theory and Development. Thomas Nelson, South
Melbourne, Australia.
Midiastuty, P & Mas’ud,
M. (2003). Analisis Hubungan Mekanisme Corporate Governance dan Indikasi
Manajemen Laba. Seminar Nasional Akuntansi VI. Surabaya.
Mulyadi. (2002). Auditing:
Jilid 1 Edisi Enam. Jakarta: Salemba Empat.
Munawir. (2000). Analisis
Laporan Keuangan. Jogjakarta: Liberty.
Munif, A. Z. (2010).
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Indeks Pengungkapan Corporate Social Responsibility
Di
Indonesia (Studi Empiris Pada
Perusahaan Non Keuangan
Yang Listing Di Bursa Efek Indonesia). Tesis. Universitas Diponegoro.
Nasution, M & Setiawan,
D. (2007). Pengaruh Corporate Governance Terhadap Manajemen Laba di Industi
Perbankan Indonesia. Simposium Nasional Akuntansi X.
Ningsaptiti, R. (2010).
Analisis Pengaruh Ukuran Perusahaan Dan Mekanisme Corporate Governance
Terhadap Manajemen Laba. Skripsi S1. Fakultas Ekonomi Universitas
Diponegoro.
Novita & Djakman.
(2008). Pengaruh Struktur Kepemilikan Terhadap Luas Pengungkapan Tanggung Jawab
Sosial (CSR Disclosure) Pada Laporan Tahunan Perusahaan: Studi
Empiris Pada Perusahaan Publik Yang Tercatat Di Bursa Efek Indonesia
Tahun 2006. Simposium Nasional Akuntansi XI.
Nugroho, B.A. (2005). Strategi
Jitu Memilih Metode Statistik Penelitian dengan SPSS. Yogyakarta: ANDI
Nuraini & Sumarno.
(2007). Analisis Pengaruh Kepemilikan Institusional dan Kualitas Audit Terhadap
Manajemen Laba. Jurnal MAKSI, Vol. 7, No. 1, Januari, hal:1-18.
Nuraini, E. (2010).
Pengaruh Environmental Performance dan Environmental Disclosure Terhadap Economic
Performance (Studi pada Perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek
Indonesia). Skripsi Tidak Dipublikasikan. Universitas Diponegoro.
Nurkhin, A. (2009). Corporate
Governance Dan Profitabilitas; Pengaruhnya terhadap Pengungkapan
Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (Studi Empiris pada Perusahaan yang
tercatat di Bursa Efek Indonesia. Tesis. Universitas Diponegoro, Semarang.
Nurlela, R &
Islahuddin. (2008). Pengaruh Corporate Social Responsibility terhadap Nilai Perusahaan
dengan Prosentase Kepemilikan Manajemen sebagai Variabel
Moderating: Studi Empiris pada Perusahaan yang Terdaftar di Bursa Efek Jakarta. Simposium
Nasional Akuntansi XI Pontianak 2008.
Nur, M & Priantinah, D.
(2012). Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pengungkapan Corporate
Social Responsibility di Indonesia (Studi Empiris pada Perusahaan berkategori
High Profile yang Listing di Bursa Efek Indonesia. Jurnal
Nominal, Volume 1 No 1, pp: 22-34.
O’Donovan. (2002).
Environmental Disclosure in the Annual Report: Extending the Applicability and
Predictive Power of Legitimacy Theory. Accounting, Auditing, and
Accountability Journal,
Vol.15, No.3
Organization for Economic
Coperation and Development. (2004). OECD Principles of Corporate
Governance.
OECD Publication Service.
Prior, D, Jordi, S, Josep,
A. (2008). Are socially responsible managers really ethical? Exploring the
relationship between earnings management and corporate social
responsibility. Corporate Governance: An International Review, Vol.16, no.3, 160-177.
Purnasiwi, J. (2011).
Analisis Pengaruh Size, Profitabilitas dan Leverage Terhadap Pengungkapan CSR
pada Perusahaan yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia. Skripsi S1
Program Reguler 1 yang Tidak Dipublikasikan. Universitas Diponegoro.
Rahmawati, dkk. (2006).
Pengaruh Asimetri Informasi Terhadap Praktik Manajemen Laba
PadaPerusahaan Perbankan Publik Yang Terdaftar di Bursa Efek Jakarta. Simposium
Nasional Akuntansi IX. Padang Republik Indonesia,Undang-Undang Nomor
25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal.
Republik Indonesia,
Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
Restuningdyah, Nurika.
(2010). Mekanisme GCG dan Pengungkapan Tanggung Jawab Sosial terhadap
Koefisien Respon Laba. Jurnal Keuangan dan Perbankan, Vol. 14, No 3 hlm.
377-390
Reverte, C. (2008).
Determinants of Corporate Social Responsibility Disclosure Ratings by Spanish Listed
Firms. Journal of Business Ethics (2009) 88:351–366 DOI
10.1007/s10551-008-9968-9.
Roberts, R.W. (1992). Determinants
Of Corporate Social Responsibility: An Application Of Stakeholder Theory. Accounting,
Organisations and Society, Vol.
17 No. 6.
Rosmasita, H. (2007).
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pengungkapan Sosial (Social Disclosure)
Dalam Laporan Keuangan Tahunan Perusahaan Manufaktur Di Bursa Efek
Jakarta. Skripsi Tidak Dipublikasikan. Universitas Islam Indonesia.
Saidi. (2004).
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Struktur Modal pada Perusahaan Manufaktur Go Public di
BEJ 1997-2002. Jurnal Bisnis dan Ekonomi Vol. 11 no.1, hal. 44-58.
Saleh, M, Zulkifli, N,
& Muhamad, R. (2010). Corporate Social Responsibility Disclosure and Its Relation
on Institutional Ownership. Managerial Auditing Journal, Vol. 25, No. 6, pp.
591-613.
Santoso, S. (2001). SPSS
Versi 10: Mengolah Data Statistik Secara Profesional. Jakarta: PT Elex Media
Komputindo
Santoso, S. (2010). Buku
Latihan SPSS Statistik Parameter. Jakarta: PT Elex Media Komputindo
Sartono, A. (2001). Manajemen
Keuangan Teori dan Aplikasi, Edisi Keempat. Yogyakarta: BPFE.
Sastra, I. (2011).
Faktor-faktor yang Memengaruhi Pemilihan Metode Penilaian Persediaan Sesuai dengan
PSAK 14 (Revisi 2008) Pada Perusahaan Consumer Goods yang terdaftar di Bursa Eek
Indonesia. Skripsi. Universitas Bina Nusantara Jakarta.
Sayekti & Wondabio.
(2007). Pengaruh CSR Disclosure Terhadap Earnings Response Coefficient. Simposium
Nasional Akuntansi X. Makassar.
Scott, W. R. (2003). Financial
Accounting Theory. New Jersey: Prentice Hall Inc
Scott, W. R. (2009). Financial
Accounting Theory. Second Edition. Canada: Pearson Prentice-Hall
Sekaran, U. (2006). Metodologi
Penelitian untuk Bisnis, Edisi 4, Buku 1, Jakarta Salemba Empat.
Sembiring, E. R. (2003).
Kinerja Keuangan, Political Visibility, Ketergantungan pada Hutang dan
Pengungkapan Tanggung Jawab Perusahaan. Simposium Nasional Akuntansi VI,
Sembiring, E. R. (2005).
Karakteristik Perusahaan dan Pengungkapan Tanggung jawab Sosial: Studi Empiris
pada Perusahaan yang Tercatat di Bursa Efek Jakarta. Simposium
Nasional Akuntansi 8, Solo.
Shleifer, A. dan Vishny,
R.W. 1997. A Survey of Corporate Governance. Journal of Finance, Vol 52. No 2
Siregar, S. V. (2010).
Corporate Social Reporting: Empirical Evidence from Indonesia Stock Exchange. International
Journal of Islamic and Middle Eastern Finance and Management III. Social Performance and
Disclosure. Critical Perspectives on Accounting Conference, New York
Subramanyam & Wild.
2010. Analisis Laporan Keuangan Buku 1. Jakarta: PT Salemba Empat.
Sugiyarbini. (13 November
2012). Pengertian Populasi dan Sampel dalam Penelitian. Dipetik April 30, 2014,
dari BLOG’S BIMBINGAN: http://sugithewae.wordpress.com/2012/11/13/pengertian-populasi-dansampel- dalam-penelitian/
Sugiyono. (2010). Metode
Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kulaitatif dan R & D.
Bandung : CV. Alfa Beta
Sulastini, S. (2007).
Pengaruh Karakteristik Perusahaan Terhadap Social Disclosure Perusahaan Manufaktur Yang
Telah Go Public. Skripsi. Fakultas Ekonomi, UNNES, Semarang.
Sulistyanto, S. (2008). Manajemen
Laba, Teori dan Model Empiris. Jakarta: PT Grasindo.
Sun, N, Salama, A,
Hussainey, K, & Habbash, M. (2010). Corporate Environmental Disclosure,
Corporate Governance and Earnings Management, Managerial
Auditing Journal.
Vol 25:7.
Suranta & Machfoedz.
(2003). Analisis Struktur Kepemilikan, Nilai Perusahaan, Investasi dan Ukuran Dewan
Direksi, Simposium Nasional Akuntansi VII, Surabaya, 16-17 Oktober.
Suwardjono. (2005). Teori
Akuntansi: Perekayasaan Pelaporan Keuangan. Yogyakarta: Badan Penerbit
Universitas Gadjah Mada.
Taufan, M. (2012). Pengaruh
Rasio Keuangan terhadap Prediksi Kebangkrutan Perusahaan Industri Makanan
dan Minuman yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia tahun 2007-2010. Skripsi.
Jakarta: Universitas Gunadharma.
Untung, H. B. (2008). Corporate
Social Responsibility. Jakarta: Sinar Grafika.
Utama, S. (2007). Evaluasi
Infrastruktur Pendukung Pelaporan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan di
Indonesia. Pidato Pengukuhan Profesor Fakultas Ekonomi UI. Jakarta.
Veronica, S & Bachtiar,
Y. S. (2005). Corporate Governance, Information Asymmetry, and Earning
Management. Jurnal Akuntansi dan Keuangan Indonesia, Vol.2, No.1, hal. 77-106,
Juli 2005.
Veronica, T. M. &
Sumin, A. (2009). Pengaruh Karakteristik Perusahaan terhadap Pengungapan Tanggung Jawab
Sosial pada Perusahaan Sektor Pertambangan yang Terdaftar di Bursa
Efek Indonesia. Skripsi. Universitas Gunadharma, Jakarta.
Watts, R. L &
Zimmerman, J. L. (1986). Positive Accounting Theory. New York:Prentice
Hall.
Wibisono, Y. (2007). Membedah
Konsep dan Aplikasi Corporate Social Responsibility. Gresik: Fascho Publishing
Widyaningdyah, A. U.
(2001). Analisis Faktor-Faktor Yang Berpengaruh Terhadap Earnings
Management Pada Perusahaan Go Public Di Indonesia. Jurnal Akuntansi &
Keuangan Vol. 3 No.
Wilopo. (2009). Pernyataan
Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) No 1: Penyajian Laporan Keuangan.
Jakarta: Ikatan Akuntan Indonesia.
Wineberg, D. (2004).
Corporate Social Responsibility – What Every In House Counsel Should Know. ACC
Docket.
World Bank EXT
Communications for Development Division DevComm/SDO. (2003). CORPORATE SOCIAL
RESPONSIBILITY AND MULTI STAKEHOLDER
DIALOGUE: Towards Environmental Behavioral Change. Discussion Paper.
Yulita, L. (2011). The
Effect Characteristics Of Company Toward Corporate Social Responsibility
Disclosures In Mining Company Listed At. Jurnal Reformasi Ekonomi, Vol. 4, No. 1.
Zaleha, S. (2005). Pengaruh
Karakteristik Perusahaan terhadap Pengungkapan Sosial dalam Laporan
Tahunan Perusahaan Go Public di Bursa Efek Jakarta
Tahun 2003. Skripsi S1
Akuntansi tidak dipublikasikan. Fakultas Ekonomi Universitas Diponegoro.
Arikunto, S. (2002). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek.
Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Burritt, R. L., Hahn, T., & Schaltegger, S. (2002). Towards A
Comprehensive Framework For Environmental Management Accounting – Links Between
Business Actors And EMA Tools. . Australian Accounting Review, 39-50.
Department of Infrastructur, P. a. (2004, May 28). Guidelines
Environmental Management Plans. Retrieved from www.dipnr.nsw.gov.au
IFAC. (2005). International Guidance Document: Environmental Management
Accounting. New York: The International Federation of Accountants.
Indriantoro, N., & Supomo, B. (2009). Metodologi Penelitian Bisnis:
Untuk Akuntansi dan Manajemen. Yogyakarta: BPFE.
Japanese Ministry of the Environment. (2005, May 28). Environmental
Accounting Guidelines. Tokyo. Retrieved from
http://www.env.go.jp/en/policy/ssee/eag05.pdf
Johnson, S. (2004, June 1). Environmental Management Accounting.
Salim, A. (2006). Teori dan Paradigma Penelitian Sosial.
Yogyakarta: Tiara Wacana.
Savage, D. D. (2014, May 27). Retrieved from Ministry of the Environment
Goverment of Japan: http://www.env.go.jp/en/
Solihin, I. (2009). In Corporate social responsibility: from charity to
sustainability. Penerbit Salemba Empat.
Sugiyono. (2009). Metoda Penelitian Bisnis. Bandung: Alfabeta.
Tomizawa, R. (2014, May 23). Retrieved from Japan Environmental Management
Association for industry: http://www.jemai.or.jp/english/#1
Yin, R. K. (2009). Case Study Research: Design and Methods. London:
Sage Publisher.
Andayani,
(2003), Tanggung Jawab Lingkungan Dan Informasi Biaya Lingkungan Dalam
Pengambilan Keputusan Manajemen, Surabaya : Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi
Indonesia (Stiesia)
Cahyandito,
M.. 2009 . Environmental Management Accounting (EMA) (Akuntansi Manajemen
Lingkungan). Bandung : Universitas padjajaran.
Cahyono.
2002. Peran Akuntan Dan Akuntansi Dalam Environmental Management System (Ems).
Media Akuntansi Edisi 25 (Mei).
Gale, J.P.
& Stokoe. 2001. Environmental cost accounting and business strategy, in
chris madu (Ed.). Handbook of environmentally conscious manufacturing.
Victoria: Kluwer Academic Publishers.
Ghozali. (2005).”Aplikasi
Analisis Multivariate dengan Program SPSS”. Semarang : Badan Penerbitan
Universitas Diponegoro.
Ikhsan.
2008. Akuntansi Lingkungan dan Pengungkapannya. Yogyakarta: Graha Ilmu Harahap
sofyan syafari. Teori akuntansi. 2009. Jakarta. Penerbit : Raja wali pres
Bastian indra.
Ikhsan.
2009. Akuntansi Manajemen Lingkungan . Yogyakarta : Graha Ilmu.
L.
Singgih, Pengukuran Dampak Lingkungan Menggunakan Environmental Management
Accounting (Ema), Surabaya: Jurnal Ilmiah Jurusan Teknik Industri Institut
Teknologi Sepuluh Nopember
Porter, E
Michael. 2008. Competitive Advantage (Keunggulan Bersaing ). Dialih bahasakan
oleh Saputra Lyndon dan Sigit Suryanto. Tangerang : Karisma Publishing Group.
Sahasrakirana Widya, Evaluasi Peran
Akuntansi Lingkungan Untuk Mendukung Keputusan Manajemen Lingkungan Dalam
Mencapai Sustainability Perusahaan (Pt Sahabat Mewah Dan Makmur), Jakarta :
Jurnal Ilmiah Mahasiswa Universitas Bina Nusantara.
Singgih.Moses
L. 2006. Pengukuran dampak lingkungan menggunakan Environmental Management
Accounting (EMA). Surabaya: Institut Teknologi Sepuluh Nopember.
Sugiyono,
Prof. Dr. (2004). Statistik Nonparametiik Untuk Penelitian. Bandung : Penerbit
CV. Alfabeta.
Sugiyono.
2012. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta.
Sundjaja,
Ridwan S. Dan Barlian, Inge. 2002. Manajemen keuangan Dua, Edisi Keempat,
Literata Lintas Media, Jakarta.
Tanzil. J.
2012. Environmental Management Accounting. Diakses pada tanggal 01 april 2013
dari http://www.jtanzilco.com/main/index.php/mission-and-vision/656
environmentalmanagementaccounting
Robert, D. & Stephanus, D.S. 2014.
Penerapan Dan Analisis Pengaruh Environmental
Management Accounting (Ema). Proposal
Skripsi. Universitas Ma Chung. Malang
Oktiviana,
D. & Stephanus, D.S. 2014. Analisis
Pengaruh Penerapan Environment Management Accounting Dan Strategi
Terhadap Inovasi Perusahaan . Proposal
Skripsi. Universitas Ma Chung. Malang
Nugroho, O.C. &
Stephanus, D.S. 2014. Studi Empiris
Pengaruh Manajemen Laba (Earnings
Management), Corporate Governance, Ukuran Perusahaan (Size), Leverage,
Dan Profitabilitas Terhadap Pengungkapan Tanggung Jawab
Sosial Dan Lingkungan Perusahaan. Proposal
Skripsi. Universitas
Ma Chung. Malang
Puspita,
M. E. & Stephanus, D.S. 2014. Pengaruh
Pengungkapan Corporate Social Responsibility, Global Reporting Initiatives Dan
Iso 26000 Terhadap Nilai Perusahaan Sektor Pertambangan. Proposal Skripsi. Universitas Ma Chung.
Malang
Endiarto, O.T. &
Stephanus, D. S. 2014. Analisis
Pengaruh Kinerja Lingkungan
Terhadap Nilai Perusahaan Yang Terdaftar Di Index Sri Kehati .Proposal Skripsi. Universitas Ma Chung. Malang
Saputra, N. A. & Stephanus, D.S. 2014. Pengaruh Pengungkapan Corporate
Social Resposibility Dan Global Reporting Initiatives Terhadap Nilai
Perusahaan Pada Perusahaan Yang Tercatat Di Indeks Sri-Kehati 2010—2012. Skripsi. Universitas Ma Chung. Malang
Seri #4: International Standard Organization (ISO)
14001 tentang Manajemen Lingkungan
Iinternational Standard Organization
(ISO)
International Organization for
Standardization (ISO)
adalah suatu asosiasi global di luar pemerintahan yang terdiri dari badan-badan
standardisasi nasional yang beranggotakan 140 negara dan berdiri sejak tahun
1947.
Tujuan ISO 14000 (Kuhre,
1995) antara lain adalah.
1. Mendorong upaya dan
melakukan pendekatan untuk pengelolaan lingkungan hidup dan sumberdaya alam
dan kualitas pengelolaannya diseragamkan
pada lingkup global.
2. Meningkatkan kemampuan
organisasi untuk mampu memperbaiki kualitas dan kinerja lingkungan hidup
dan sumber daya alam.
3. Memberikan kemampuan dan
fasilitas pada kegiatan ekonomi dan industri, sehingga tidak mengalami
rintangan dalam berusaha.
Untuk mencapai tujuan
tersebut dibentuk SAGE (Startegic Advisory Group
on the Environment). Kemudian TC 207 (Komisi
Teknis) pada tahun 1993
dibentuk oleh Organisasi
Internasional untuk Standarisasi (ISO). Komisi ini terdiri
dari berbagai negara dan
bertugas merumuskan konsep standar internasional di
bidang lingkungan. Adapun
pembagian tugasnya adalah sebagai berikut.
1. Sub komisi yang
menangani Environmental Management System (Sistem pengelolaan
Lingkungan dan sumberdaya alam),
2. Sub komisi yang
menangani Environmental Auditing (Audit Lingkungan),
3. Sub komisi yang
menangani Environmental Labelling (Label Lingkungan),
4. Sub komisi yang
menangani Environmental Performance Evaluating (Evaluasi Kinerja
Lingkungan),
5. Sub komisi yang
menangani Life Cycle Analysis (Analisis Daur Hidup),
6. Sub komisi yang
menangani Environemental aspect in Product Standard (Aspek Lingkungan dalam
Baku mutu Produk),
7. Sub komisi yang bertugas
menyusun Term and Definitions (Istilah dan Definisi)
2.6.2 Seri ISO 14000
ISO seri 14000 terdiri dari
beberapa seri yaitu.
1. ISO seri 14001--14009
tentang Environmental Manajemen Sistem (EMS) atau Sistem Manajemen
Lingkungan.
Dari seluruh seri ISO
14000, ISO 14001 tentang sistem manajemen lingkungan adalah seri yang
paling banyak dikenal karena sertifikasi ISO 14000 sebenarnya adalah
sertifikasi untuk ISO 14001 ini. Ada 3 komponen besar dalam ISO 14001 yaitu
program lingkungan tertulis;
pendidikan dan pelatihan;
dan pengetahuan mengenai peraturan perundang-undangan lokal dan nasional.
2. ISO seri 14010--14019
tentang Environmental Auditing (Audit
Lingkungan)
ISO seri ini merupakan
suatu alat (tools) dalam penerapan system manajemen lingkungan, jadi
tidak memerlukan sertifikasi. Audit lingkungan mirip dengan medical check
up yaitu evaluasi secara rutin mengenai
kondisi suatu perusahaan. Audit lingkungan dapat dilakukan
oleh intern perusahaan (internal audit)
maupun oleh pihak luar
(eksternal audit). Untuk
audit sistem manajemen lingkungan seorang auditor harus memenuhi
kriteria auditor seperti yang ditetapkan dalam ISO 14012.
3. ISO seri 14020--14029
tentang Environmental Labelling (Ekolabel).
ISO seri ini juga
dimaksudkan untuk sertifikasi, tetapi yang disertifikasi adalah
produknya sedangkan EMS yang disertifikasi adalah sistemya. Jadi suatu
perusahaan yang sudah mendapat sertifikat ISO 14001, bila diperlukan
maka dapat juga mengusulkan untuk memperoleh ekolabeling. Yang mana yang
akan didahulukan untuk perolehannya
tergantung dari permintaan pasar.
4. ISO seri 14030--14039
tentang Environmental Performance Evaluation (EPE) atau Evaluasi Kinerja
Lingkungan.
Environmental Performance
Evaluation diukur
dengan mengkuantifikasi
dampak kegiatan terhadap lingkungan. Hal-hal tersebut dapat
diidentifikasi secara dini dengan menginventarisasi
dampak seperti emisi udara,
effluen limbah cair, dan sebagainya. Penetapan baseline dari
hasil inventarisasi, perusahaan kemudian mengidentifikasi indikator
adanya peningkatan kinerja.
5. ISO seri 154040--14049
tentang Life Cycle Assessment (LCA) atau Analisis Daur Hidup Produk.
LCA juga merupakan suatu
alat, jadi standar ini tidak dimaksudkan untuk sertifikasi. Setiap
produk mempunyai siklus hidup yaitu : lahir (fabrikasi), hidup
(dioperasikan) dan mati (dibuang).
6. ISO 14050 tentang Term
and Definition.
Dalam dokumen ini terdapat
definisi-definisi yang digunakan dalam ISO seri 14000. Standar ISO seri 14000
yang telah ditetapkan menjadi standar
internasional adalah ISO 14001, 14004, 14010, 14011, 14012 dan ISO 14040. Indonesia
pada saat ini telah mengadopsi Standar ISO
14001, 14002, 14010, 14011
dan 14012 menjadi Standar Nasional Indonesia (SNI).
Pengertian tentang masing-masing
standar dan istilah yang di dalam ISO
14000 akan sangat membantu
pemahaman tentang konsep ISO seri 14000.
Adapun beberapa pengertian
dasar adalah sebagai berikut.
1. Environmental
Management System.
Bagian dari keseluruhan
sistem manajemen yang termasuk didalamnya
struktur organisasi, aktivitas perencanaan, tanggung jawab, praktek, prosedur-prosedur,
proses dan sumber daya untuk pengembangan,
penerapan, pencapaian, pengkajian dan pemeliharaan kebijaksanaan lingkungan.
2. Continual Improvement.
Proses peningkatan atau
perbaikan sistem pengelolaan lingkungan untuk mencapai /
memperbaiki kinerja lingkungan secara keseluruhan dan sejalan dengan
kebijaksanaan lingkungan dari suatu organisasi.
3. Environment.
Lingkungan sekitar operasi
suatu perusahaan, termasuk udara, air, tanah, sumber daya alam, flora, fauna,
manusia dan hubungannya satu dengan
lainnya.
4. Environmental Aspect.
Elemen dari suatu kegiatan
organisasi, produk atau jasa yang dapat berinteraksi dengan
lingkungan
5. Environmental Impact.
Perubahan terhadap
lingkungan, menguntungkan atau merugikan, secara keseluruhan ataupun
sebagian yang dihasilkan dari kegiatan suatu organisasi, produk dan jasa.
6. EMS Audit.
Proses verifikasi yang
sistimatis dan terdokumentasi yang secara obyektif menentukan dan
mengevaluasi bukti audit untuk menentukan apakah suatu sistem
pengelolaan lingkungan suatu organisasi telah sesuai dengan kriteria EMS
audit dan mengomunikasikan hasil dari proses ini kepada klien.
7. Organisasi.
Perusahaan, korporasi,
firma, usaha, atau institusi atau secara bagian ataupun kombinasi, swasta
ataupun milik publik, yang memiliki fungsi dan administrasi.
8. Kriteria audit EMS.
Kebijaksanaan, hal praktis,
prosedur-prosedur atau persyaratan seperti yang tercantum dalam ISO
14000 dan jika tersedia, erbagai tambahan persyaratan EMS yang
dibandingkan dengan hasil pengumpulan bukti audit oleh auditor tentang
sistem pengelolaan lingkungan (EMS) suatu
organisasi.
9. Environmental
label/declaration.
Klaim yang mengindikasikan
atribut lingkungan dari suatu produk atau jasa yang dapat berupa
pernyataan, symbols, atau grafik pada produk atau label paket,
literatur produk, buletin teknis, iklan, publikasi.
10. Environmental
performance.
Kinerja lingkungan, hasil
pengelolaan suatu manajemen terhadap aspek lingkungan (environmental
aspects) daripada kegiatannya, produk dan jasa.
11. Environmental
performance evaluation.
Proses untuk mengukur,
menganalisis, mengkaji, melaporkan dan mengkomunikasikan kinerja lingkungan
suatu organisasi dibandingkan
dengan kriteria yang disetujui oleh manajemen.
12. Life cycle
assessment.
Prosedur sistimatis untuk
mengumpulkan dan menguji masukan dan keluaran dari bahan dan energi serta
dampak lingkungan yang terkait yang
langsung terikut dalam fungsi sistem produk dan jasa melalui siklus hidup dari produk
dan jasa tersebut.
Referensi
Al Tuwajiri, dan Sulaiman
A. 2003. The Relation Among Environmental Disclosure, Environmental
Performance, dan Economic Performance : A Simultaneous Equation
Approach.
Accounting Environment Journal. USA. 5-10.
Amilia, Luciana Spica dan
Dwi Wijayanto. 2007. Pengaruh Environmental Performance dan
Environmental Disclosure Terhadap Economic Performance. The 1st Accounting
Conference, Faculty of Economics Universitas Indonesia. Depok,
(November).
Azwar, S. 1998. Metodologi
Penelitian. Yogyakarta: Pustaka Belajar.
Brigham, E. F., &
Weston. J. F. 1994. Dasar-Dasar Manajemen Keuangan. Jilid 2. Jakarta: Binarupa Aksara
Brigham, E. F., &
Houston, J. F. 2008. Manajemen Keuangan. Jilid 3. Jakarta: Salemba Empat.
Botosan, C.A. 1997. Disclosure
Level and the Cost of Equity Capital. The Accounting Review. Vol. 72
No. 3: 323-349.
Deegan, Craig dan Michaela
Rankin. 1996. Do a Australian Companies Report Environmental News
Objectively? An Analysis of Environmental isclosures Firms Prosecuted
Successfully by the Environmental Protection Authority. Accounting Auditing and
Accountability Journal: 50-68.
Freedman, M. dan Wasley, C.
1990. “The Association Between Environmental Performance and
Environmental Disclosure in Annual Reports and 10- Ks”. Advances in Public
Interest Accounting.
Vol. 3, pp.183-193.
Gary O‟Donovan, (2002) “Environmental
disclosures in the annual report: Extending the applicability
and predictive power of legitimacy theory”. Accounting, Auditing &
Accountability Journal, Vol. 15 Iss: 3, pp.344-371
Ghozali dan Chariri, 2007. Teori
Akuntansi. Semarang: Badan Penerbit Undip.
Global Reporting Initiative
(GRI). 2010. Pedoman Laporan Berkelanjutan (GRI– G3)2000-2006.Versi Bahasa
Indonesia.
(http://www.globalreporting.org), diakses 19 Mei 2014
Ghozali, I. 2005. Aplikasi
Analisis Multivariate dengan Program SPSS. Edisi ke-3. Semarang: Badan Penerbit
Universitas Diponegoro.
Ghozali, Imam. 2006. Aplikasi
Analisis Multivariate dengan Program SPSS, Cetakan IV. Semarang : Badan Penerbit
Universitas Diponegoro.
Gray, R., Bebbington, J.
dan Walters, D. 1993. Accounting for the Environment. ACCA. Hongkong.
Ja‟far dan Arifah. 2006. “Pengaruh
Dorongan Manajemen Lingkungan, Manajemen Lingkungan Proaktif Dan
Kinerja Lingkungan Terhadap Public Environmental Reporting”. SNA IX Padang. 23-26
Agustus.
Lindrianasari. 2006. “Hubungan
antara Kinerja Lingkungan dan Kualitas pengungkapan Lingkungan
dengan Kinerja Ekonomi Perusahaan di Indonesia”. JAAI Vol. 11, pp.
159-172.
Nazir, M. 2005. Metode
Penelitian. Bogor: Ghalia Indonesia. Primario, Andria. 2007. “Pengaruh
Pengungkapan Sosial Pada Laporan Tahunan Terhadap Harga Saham dan
Volume Penjualan”.
Skripsi Fakultas Konomi Universitas
Jember.
Rahmawati, Ala. 2012. Pengaruh
Kinerja Lingkungan Terhadap Kinerja Keuangan dengan CSR sebagai
Variabel Intervening.
Skripsi S1 Fakultas Ekonomi
Universitas Diponegoro.
Riyadi, Eddie Sius. 2008. “Landasan
Teoritis bagi Tanggung Jawab Sosial Perusahaan: dari Pemegang
Saham ( Shareholder ) ke Pemangku Kepentingan ( Stakeholder )”. Dignitas Volume V, No.
11.
Sugiyono. 2007. Statistika
Untuk Penelitian. Bandung: CV Alfabeta.
Sulastri. 2007. Sebuah
Pengembangan Model Hipotesis Pengaruh Aset Strategis dan Lingkungan terhadap
Pilihan Strategi Diversivikasi. Jurnal Manajemen
& Bisnis Sriwijaya Vol. 4. No 7. Juni 2006
Sudaryanto. 2011. Pengaruh
Kinerja Lingkungan Terhadap Kinerja Keuangan dengan CSR sebagai variable
Intervening. Skripsi
S1 Fakultas Ekonomi Universitas
Diponegoro.
Suratno, Ignatius Bondan,
dkk. 2006. “Pengaruh Environmental Performance terhadap Environmental
Disclosure dan Economic Performance”. Simposium Nasional
Akuntansi 9. Padang
Smith dan Lauren K. Wright,
2007, Manajemen Pemasaran Jasa, Alih Bahasa Agus Widyantoro, Cetakan
Kedua, Jakarta; PT. INDEKS.
Sartono, A. 2008. Manajemen
Keuagan : Teori dan Aplikasi. Yogyakarta: BPFE Yogyakarta.
Tilt, CA 1994, 'The
influence of external pressure groups on corporate social disclosure: Some empirical
evidence',
Accounting, Auditing & Accountability
Journal, vol. 7
Wilmshurst T., & Frost
G., 2000, 'Corporate Environmental Performance. A Test of Legitimacy Theory.', Accounting, Auditing
and Accountability Journal, Vol.
13, No. 1
Robert, D.
& Stephanus, D.S. 2014. Penerapan Dan Analisis Pengaruh Environmental Management Accounting
(Ema). Proposal Skripsi. Universitas
Ma Chung. Malang
Oktiviana,
D. & Stephanus, D.S. 2014. Analisis
Pengaruh Penerapan Environment Management Accounting Dan Strategi
Terhadap Inovasi Perusahaan . Proposal
Skripsi. Universitas Ma Chung. Malang
Nugroho, O.C. &
Stephanus, D.S. 2014. Studi Empiris
Pengaruh Manajemen Laba (Earnings
Management), Corporate Governance, Ukuran Perusahaan (Size), Leverage,
Dan Profitabilitas Terhadap Pengungkapan Tanggung Jawab
Sosial Dan Lingkungan Perusahaan. Proposal
Skripsi. Universitas
Ma Chung. Malang
Puspita,
M. E. & Stephanus, D.S. 2014. Pengaruh
Pengungkapan Corporate Social Responsibility, Global Reporting Initiatives Dan
Iso 26000 Terhadap Nilai Perusahaan Sektor Pertambangan. Proposal Skripsi. Universitas Ma Chung.
Malang
Endiarto, O.T. &
Stephanus, D. S. 2014. Analisis
Pengaruh Kinerja Lingkungan
Terhadap Nilai Perusahaan Yang Terdaftar Di Index Sri Kehati .Proposal Skripsi. Universitas Ma Chung. Malang
Seri #5: International
Standard Organization (ISO) 26000 tentang Corporate Responsibility
International
Organization for Standardization (ISO) adalah suatu asosiasi global di
luar pemerintahan yang terdiri dari badan-badan standardisasi nasional yang
beranggotakan 140 negara dan berdiri sejak tahun 1947. Pada 1 November 2010,
ISO mengeluarkan ISO 26000 yang merupakan suatu standar mengenai panduan
perilaku bertanggung jawab sosial bagi organisasi guna berkontribusi terhadap
pembangunan berkelanjutan (www.iso.org, 2013).
Munculnya ISO 26000 ini diharapkan
dapat memberikan tambahan nilai terhadap aktivitas tanggung jawab sosial yang
berkembang saat ini melalui pengembangan suatu konsensus terhadap pengertian
tanggung jawab sosial dan isunya, menyediakan pedoman tentang penerjemahan
prinsip-prinsip menjadi kegiatan yang efektif dan memilah praktik-praktik
terbaik yang sudah berkembang dan menyebarluaskannya untuk kebaikan komunitas
atau masyarakat internasional. ISO 26000 menerjemahkan tanggung jawab sosial
sebagai tanggung jawab suatu organisasi atas dampak dari keputusan dan
aktivitasnya terhadap masyarakat dan lingkungan melalui perilaku yang
transparan dan etis, serta konsisten dengan pembangunan berkelanjutan dan
kesejahteraan masyarakat, memperhatikan kepentingan dari para stakeholder,
sesuai hukum yang berlaku dan konsisten dengan norma-norma internasional serta
terintegrasi di seluruh aktivitas organisasi (www.iso.org, 2013).
Pedoman ISO 26000 terdiri dari 6 bab
serta memuat 7 prinsip, 2 praktik dasar, 7 subjek inti, 36 isu, dan 6 praktik
integrasi tanggung jawab sosial organisasi. Berbagai isu yang tercakup dalam
tanggung jawab sosial menurut ISO 26000 digambarkan sebagai berikut. Tanggung
Jawab Sosial & Lingkungan
1.
Praktik operasi yang adil
2.
Isu-isu konsumen
3.
Pembangunan sosial
4.
Tata kelola organisasi
5.
Hak asasi manusia
6.
Praktik Ketenagakerjaan
Gambar
2.
Subjek
Fundamental dari Tanggung Jawab Sosial menurut ISO 26000
Sumber: www.iso.org
(2013)
1.
Tata kelola organisasi (organizational governance): sistem pengambilan
dan penerapan keputusan perusahaan dalam rangka pencapaian tujuannya.
2.
Hak asasi manusia (human rights): hak dasar yang berhak dimiliki semua
orang sebagai manusia, yang antara lain mencakup hak sipil, politik, ekonomi,
sosial, dan budaya.
3.
Praktik ketenagakerjaan (labour practices): segala kebijakan dan praktik
yang terkait dengan pekerjaan yang dilakukan di dalam atau atas nama
perusahaan.
4.
Lingkungan (the environment): dampak keputusan dan kegiatan perusahaan
terhadap lingkungan.
5.
Prosedur operasi yang wajar (fair operating procedures): perilaku etis
organisasi saat berhubungan dengan organisasi dan individu lain.
6. Isu konsumen (consumer
issues): tanggung jawab perusahaan penyedia barang/jasa terhadap konsumen
dan pelanggannya.
7. Pelibatan dan
pengembangan masyarakat (community involvement and development):
hubungan organisasi dengan masyarakat di sekitar wilayah operasinya.
Berikut merupakan
item-item penilaian pengungkapan lingkungan berdasarkan ISO 26000.
Tabel
4.
Indikator
Pengungkapan Tanggung Jawab Sosial berdasarkan ISO 26000 No |
Sifat |
Indikator |
|
||||
Core |
Tata kelola
organisasi |
|
|||||
Core |
Hak asasi manusia |
|
|||||
1 |
Issue |
Due diligence |
|
||||
2 |
Issue |
Situasi risiko HAM |
|
||||
3 |
Issue |
Menghindari keterlibatan
|
|
||||
4 |
Issue |
Menyelesaikan
keluhan |
|
||||
5 |
Issue |
Diskriminasi dan
kelompok yang rentan |
|
||||
6 |
Issue |
Hak-hak sipil dan
politik |
|
||||
7 |
Issue |
Hak-hak ekonomi ,
sosial dan budaya |
|
||||
8 |
Issue |
Prinsip-prinsip dan
hak-hak di tempat kerja |
|
||||
Core |
Praktek Buruh |
|
|||||
9 |
Issue |
Hubungan kerja dan
pekerjaan |
|
||||
10 |
Issue |
Kondisi kerja dan
perlindungan sosial |
|
||||
11 |
Issue |
Dialog sosial |
|
||||
12 |
Issue |
Kesehatan dan
keselamatan kerja |
|
||||
13 |
Issue |
Pengembangan dan
pelatihan manusia di tempat kerja |
|
||||
Core |
Lingkungan |
|
|||||
14 |
Issue |
Pencegahan
pencemaran |
|
||||
15 |
Issue |
Pemanfaatan
sumberdaya secara berkelanjutan |
|
||||
16 |
Issue |
Mitigasi dan
adaptasi perubahan iklim |
|
||||
17 |
Issue |
Perlindungan
lingkungan , keanekaragaman hayati dan restorasi habitat alam |
|
||||
Core |
Praktek operasi
yang adil |
|
|||||
18 |
Issue |
Anti- korupsi |
|
||||
19 |
Issue |
Keterlibatan
politik yang bertanggung jawab |
|
||||
20 |
Issue |
Persaingan sehat |
|
||||
21 |
Issue |
Mempromosikan
tanggung jawab sosial dalam rantai nilai |
|
||||
22 |
Issue |
Menghormati hak
milik |
|
||||
Core |
Masalah konsumen |
||||||
23 |
Issue |
Pemasaran yang adil
, faktual dan informasi yang tidak bias dan praktek kontrak yang adil |
|||||
24 |
Issue |
Melindungi
kesehatan dan keselamatan konsumen |
|||||
25 |
Issue |
Konsumsi
Berkelanjutan |
|||||
26 |
Issue |
Layanan konsumen ,
dukungan , dan keluhan dan penyelesaian sengketa |
|||||
27 |
Issue |
Perlindungan data
dan privasi konsumen |
|||||
28 |
Issue |
Akses ke layanan
penting |
|||||
29 |
Issue |
Pendidikan dan
kesadaran |
|||||
Core |
Keterlibatan dan
pengembangan masyarakat |
||||||
30 |
Issue |
Keterlibatan
masyarakat |
|||||
31 |
Issue |
Pendidikan dan kebudayaan
|
|||||
32 |
Issue |
Penciptaan lapangan
kerja dan pengembangan keterampilan |
|||||
33 |
Issue |
Perkembangan
teknologi dan akses |
|||||
34 |
Issue |
Kekayaan dan
penciptaan pendapatan |
|||||
35 |
Issue |
Kesehatan |
|||||
36 |
Issue |
Investasi sosial |
|||||
Berdasarkan konsep ISO 26000, penerapan
sosial responsibility hendaknya terintegrasi di seluruh aktivitas
perusahaan dengan mencakup keseluruhan isu pokok yang terdapat pada ISO 26000.
Dengan demikian, jika suatu perusahaan hanya memperhatikan isu tertentu saja,
misalnya seperti aspek lingkungan, maka dapat dikatakan bahwa perusahaan
tersebut sesungguhnya belum melaksanakan tanggung jawab sosial.
Referensi
Adams,
C.A. & McNicholas, P. 2007. Making a Difference: Sustainability Reporting,
Accountability and Organizational Change. Accounting, Auditing &
Accountability Journal Vol. 20, Iss: 3.
Aupperle,
K.E., Carroll, A.B & Hatfield, J.D. 1985. An Empirical Examination of the
Relationship between Corporate Social Responsibility and Profitability. The
Academy of Management Journal Vol. 28, No. 2.
Branco,
M.C. & Rodrigues L.L. 2008. Faktors Influencing Social Responsibility
Disclosure by Portuguese Companies. Journal of Business Ethies, 83.
Budimanta,
A., Prasetijo, A. & Rudito, B. 2008. Corporate Social Responsibility,
Alternatif Bagi Pembangunan Indonesia. Jakarta: Indonesia Center for
Sustainibility Development.
Carroll,
A.B. 1991. The Pyramid of Corporate Social Responsibility: Toward the Moral
Management of Organizational Stakeholders. Business Horizons.
Chung, K.H
& Pruitt, S.W. 1994. A Simple Approximation of Tobin’s Q, Financial
Management, Vol. 23 No. 3 Autumn.
Darwin, A.
2004. Penerapan Sustainability Reporting di Indonesia. Konvensi Nasional
Akuntansi V, Program Profesi Lanjutan. Yogyakarta.
Deegan, C.
2004. Financial Accounting Theory. Sydney: McGraw-Hill Book Company.
Deegan,
C., Rankin, M. & Tobin, J. 2002. An Examination of Corporate Social and
Environmental Disclosures of BHP from 1983-1997: A Test of Legitimacy Theory. Accounting,
Auditing & Accountability Journal Vol. 15, No.3.
Elkington,
J. 1997.Cannibals with Forks: The Triple Bottom Line of 21st Century
Business. Oxford: Capstone Publishing.
Epstein,
M.J. & Freedman,M. 1994. Social Disclosure and the Individual Investor. Accounting,
Auditing & Accountability Journal Vol. 7, Iss: 4.
Fiakas, D.
2005. Tobin’s Q: Valuing Small Capitalization Companies. Crystal EQuity
Research.
Freedman,
M. 1970. The Social Responsibility of Business Is to Increase its Profits. New
York Times.
Freeman,
R. E. 1984. Strategic Management: A Stakeholder Approach. Boston: Pitman
Publishing.
Ghozali,
I. & Chariri, A. 2007. Teori Akuntansi. Semarang: Badan Penerbit
Universitas Diponegoro.
Ghozali,
I. 2006. Analisis Multivariate dengan Program SPSS. Semarang: Badan
Penerbit Universitas Diponegoro.
Griffin,
R.W. & Ebert, R.J. 2007. Bisnis Edisi Kedelapan Jilid 1. Jakarta:
Erlangga.
Gujarati,
D. 2003. Ekonometrika Dasar. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Hackston,
D. & Milne, M.J. 1996. Some Determinants of Social and Environmental
Disclosures in New Zealand Companies. Accounting, Auditing, &
Accountability Journal Vol. 9, No. 1.
Hadi.
N. 2011 . Corporate Social Responsibility. Yogyakarta : Graha Ilmu.
Hadiwidjaja,
R.D. 2007. Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Dividend Payout Ratio pada
Perusahaan Manufaktur di Indonesia. Tesis. Universitas Sumatera Utara.
Ikatan
Akuntansi Indonesia (IAI). 2004. Standar Akuntansi Keuangan. Jakarta:
Salemba Empat.
Kasali,
R. 2005. Manajemen Public Relations. Jakarta: Grafiti.
Kotler,
P & Lee, N. 2005. Corporate Social Responsibility: Doing the Most Good
for Your Company and Your Cause. New Jersey: John Wiley & Sons, Inc.
Kusumadilaga,
R. 2010. Pengaruh Corporate Social Responsibility Terhadap Nilai
Perusahaan Dengan Profitabilitas Sebagai Variabel Moderating (Studi
Empiris pada Perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia). Skripsi.
Fakultas Ekonomi Universitas Diponegoro, Semarang.
Lindenberg,
E.B & Ross, S.A. 1981. Tobin’s Q Ratio and Industrial Organization. Journal
of Business, 54 (1).
Munawir,
S. 2004. Analisis Laporan Keuangan Edisi Ke-4. Yogyakarta: Liberty.
Murtanto.
2006. Menciptakan Nilai Tambah Melalui Corporate Social Responsibility. Media
Akuntansi, Edisi 53.
Nugroho,
Y. 2007. Dilema Tanggung Jawab Korporasi. Kumpulan Tulisan, www.unisosdem.org.
Diakses pada tanggal 27 Agustus 2013. 77
Nurlela
dan Islahudin. 2008. Pengaruh Corporate Social Responsibility terhadap
Nilai Perusahaan dengan Persentase Kepemilikan Manajemen sebagai Variabel
Moderating. Simposium Nasional Akuntansi XI.
O’Donovan,
G. 2002. Environmental Disclosure in The Annual Report: Extending The
Applicability and Predictive Power of Legitimacy Theory. Accounting,
Auditing and Accountability Journal, Vol. 15 No.3.
Patten,
D.M. 1990. The Market Reaction to Social Responsibility Disclosures: The Case
of the Sullivan Principles Signings, Accounting, Organizations and Society Vol.
15, Iss. 6.
Rahayu,
S. 2010. Pengaruh Kinerja Keuangan Terhadap Nilai Perusahaan Dengan
Pengungkapan Corporate Social Responsibility dan Good Corporate
Governance sebagai Variabel Pemoderasi (Studi Empiris pada Perusahaan
Manufaktur di Bursa Efek Jakarta). Skripsi. Fakultas Ekonomi Universitas
Diponegoro, Semarang.
Reverte,
C. 2009. Determinants of Corporate Social Responsibility Disclosure Ratings by
Spanish Listed Firms. Journal of Business Ethics, 88.
Rustiarini,
N. W. 2010. Pengaruh Corporate Governace pada Hubungan Corporate
Social Responsibility dan Nilai Perusahaan. Simposium Nasional Akuntansi
XIII, Purwokerto.
Santoso,
S. 2009. Panduan Lengkap Menguasai Statistik dengan SPSS 17. Jakarta: PT
Elex Media Komputindo Gramedia.
Santoso,
S. 2010. Statistik Multivariat. Jakarta : PT Gramedia.
Saputra,
N. A.,2014. Pengaruh Pengungkapan Corporate Social Responsibility, Global
Reporting Initiatives terhadap Nilai Perusahaan pada Perusahaan yang
Tercatat di Indeks Sri-Kehati 2010-2012. Skripsi. Fakultas Ekonomi
Universitas Ma Chung, Malang.
Sekaran,
U. 2006. Metodologi Penelitian untuk Bisnis Jilid 1. Edisi 4. Jakarta :
Salemba Empat.
Sugiyono,
2009. Metoda Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif. Bandung: CV.
Alfabeta.
Sutedi,
A. 2011. Hukum Pertambangan. Jakarta: Sinar Grafika
Tobin’s,
J. 1969. A General EQuilibrium Approach to Monetary Theory, Journal of
Money, Credit and Banking.
Undang-Undang
Republik Indonesia No. 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas. 78
Undang-Undang Republik Indonesia No. 25
Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal.
Undang-Undang
Republik Indonesia No.32 Tahun 2009 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Wibisono,
Y. 2007. Membedah Konsep & Aplikasi CSR. Gresik: Fascho Publishing.
Widarjono,
A. 2007. Ekonometrika: Teori dan Aplikasi untuk Ekonomi dan Bisnis. Edisi
Kedua. Yogyakarta: Ekonisia Fakultas Ekonomi Universitas Islam Indonesia.
www.globalreporting.org
. Diakses tanggal 4 Maret 2014.
www.iso.org.
Diakses tanggal 3 Maret 2014.
www.unglobalcompact.org.
Diakses tanggal 10 Maret 2014.
www.wbcsd.org.
Diakses tanggal 3 Maret 2014.
Robert, D.
& Stephanus, D.S. 2014. Penerapan Dan Analisis Pengaruh Environmental Management Accounting
(Ema). Proposal Skripsi. Universitas
Ma Chung. Malang
Oktiviana,
D. & Stephanus, D.S. 2014. Analisis
Pengaruh Penerapan Environment Management Accounting Dan Strategi
Terhadap Inovasi Perusahaan . Proposal
Skripsi. Universitas Ma Chung. Malang
Nugroho, O.C. &
Stephanus, D.S. 2014. Studi Empiris
Pengaruh Manajemen Laba (Earnings
Management), Corporate Governance, Ukuran Perusahaan (Size), Leverage,
Dan Profitabilitas Terhadap Pengungkapan Tanggung Jawab
Sosial Dan Lingkungan Perusahaan. Proposal
Skripsi. Universitas
Ma Chung. Malang
Puspita,
M. E. & Stephanus, D.S. 2014. Pengaruh
Pengungkapan Corporate Social Responsibility, Global Reporting Initiatives Dan
Iso 26000 Terhadap Nilai Perusahaan Sektor Pertambangan. Proposal Skripsi. Universitas Ma Chung.
Malang
Endiarto, O.T. &
Stephanus, D. S. 2014. Analisis
Pengaruh Kinerja Lingkungan
Terhadap Nilai Perusahaan Yang Terdaftar Di Index Sri Kehati .Proposal Skripsi. Universitas Ma Chung. Malang
Seri #6: Global Reporting Initiative (GRI)
Global Reporting
Initiatives (GRI)
Global Reporting
Initiatives (GRI) disusun pertama kali pada tahun 1997 oleh Coalition
on Environment Responsible Economies (CERES) yang bekerjasama dengan Tellus
Institutes (www.globalreporting.org). Global Reporting Initiatives (GRI)
menyediakan sarana internal untuk mengevaluasi konsistensi kebijakan sustainability
perusahaan dan strategi yang digunakan, serta kegiatan aktual lainnya. Pada
tahun 2000, Global Reporting Initiatives (GRI) mengeluarkan The
Sustainability Reporting Guidelines yang telah diadopsi oleh kurang lebih
seratus perusahaan di seluruh dunia (Nuraini, 2010). Purnasiwi (2011)
menyatakan bahwa standar pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan atau Corporate
Sosial Responsibility (CSR) yang berkembang di Indonesia menggunakan
standar yang dikembangkan oleh Global Reporting Initiatives (GRI).
Dengan demikian, perusahaan-perusahaan di Indonesia dalam melakukan
pengungkapan tanggung jawab lingkungan dapat menggunakan standar dari Global
Reporting Initiatives. Standar tersebut dapat menjadi tolok ukur dan acuan
pada penerapan tanggung jawab lingkungan.
Global Reporting
Initiatives merupakan suatu organisasi nirlaba yang memelopori
kinerja ekonomi, lingkungan dan sosial berkelanjutan. Tujuan Global Reporting
Initiatives (GRI) yaitu membantu para investor, pemerintah, perusahaan dan
masyarakat umum untuk memahami lebih jelas mengenai proses peningkatan dalam
pencapaian keberlanjutan (sustainability). Global Reporting
Initiatives menyediakan rerangka pelaporan keberlanjutan untuk semua
perusahaan dengan indikator pengungkapan seperti ekonomi (9 item), lingkungan
(30 item), tenaga kerja (14 item), hak asasi manusia (11 item), masyarakat (8
item) dan produk (9 24 item). Rerangka pelaporan
yang dikembangkan oleh GRI bersifat umum dan telah disetujui oleh berbagai
pemangku kepentingan di seluruh dunia, serta dapat diaplikasikan secara umum
dalam melaporkan kinerja keberlanjutan dari sebuah organisasi (Sudana &
Arlindania, 2011).
Global Reporting
Initiatives merupakan organisasi nirlaba yang dibentuk pada tahun
1997 oleh Coalition for Environmentally Responsible Economies (CERES) dan
Tellus Institute dengan dukungan dari United Nations Environment
Programme (UNEP) (www.globalreporting.org, 2013). Pada tahun 2006, GRI
menerbitkan pedoman GRI report dan versi terbaru pedoman ini diterbitkan
pada tahun 2013 yaitu GRI G4.
Global Reporting
Initiative adalah sebuah kerangka pelaporan untuk membuat sustainability
reports yang terdiri atas prinsip-prinsip pelaporan, panduan pelaporan dan
standar dalam pengungkapan termasuk didalamnya indikator kinerja
(www.globalreporting.org, 2013). Dengan diterbitkannya pedoman GRI diharapkan
dapat membantu investor, pemerintah, perusahaan dan masyarakat umum untuk
memahami lebih jelas mengenai proses peningkatan dalam pencapaian keberlanjutan
(sustainability).
Dalam pedoman Global
Reporting Initiative terdapat tiga jenis pengungkapan yaitu strategi dan
profil, pendekatan manajemen serta indikator kinerja. Pengungkapan strategi dan
profil merupakan pengungkapan yang menentukan konteks keseluruhan dalam
memahami kinerja organisasi, seperti strategi, profil dan tata kelola.
Pengungkapan pendekatan manajemen mencakup bagaimana sebuah organisasi
mengarahkan seperangkat topik dalam menyediakan konteks untuk memahami kinerja
pada wilayah tertentu. Sedangkan pengungkapan indikator kinerja berkaitan
dengan hasil perbandingan informasi mengenai kinerja organisasi dalam hal
ekonomi, lingkungan, dan sosial.
Dalam standar
pengungkapan Global Reporting Initiative Guideliness G3.1 terdapat 6
indikator dengan 79 item pengungkapan seperti berikut ini.
1. Indikator kinerja
ekonomi (9 item)
Indikator kinerja
ekonomi berkaitan dengan dampak organisasi terhadap kondisi perekonomian para
pemegang kepentingan ditingkat sistem ekonomi lokal, nasional, dan global.
Indikator ini menunjukkan aliran dana di antara para pemegang kepentingan dan
dampak ekonomi utama organisasi terhadap masyarakat.
2. Indikator kinerja
lingkungan (30 item)
Indikator kinerja lingkungan
digunakan untuk melihat dampak organisasi terhadap sistem alami hidup dan tidak
hidup, termasuk ekosistem, tanah, air dan udara. Adapun indikator lingkungan
meliputi kinerja yang berhubungan dengan input (misalnya material,
energi, dan air) dan output (misalnya emisi, air limbah, dan limbah)
serta yang berhubungan biodiversity (keanekaragaman hayati), kepatuhan
lingkungan, dan informasi relevan lainnya seperti pengeluaran lingkungan (environmental
expenditure) dan dampaknya terhadap produk dan jasa.
3. Indikator kinerja
tenaga kerja (14 item)
Aspek tenaga kerja
digunakan untuk melihat dari sisi ketenagakerjaannya berdasarkan aspek standar
internasional yang diakui, termasuk United Nations Universal Declaration of
Human Rights and its Protocols, United Nations Convention: International
Covenant on Civil and Political Rights, United Nations Convention:
International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights, ILO Declaration
on Fundamental Principles and Rights at Work of 1998 (in particular the eight
core convention of the ILO) dan The Vienna Declaration and Programme of
Action.
4. Indikator kinerja
hak asasi manusia (9 item)
Aspek hak asasi
manusia digunakan untuk melihat sejauh mana hak asasi manusia diperhitungkan
dalam investasi dan praktek pemilihan supplier/kontraktor. Selain itu,
indikator dalam aspek ini juga meliputi pelatihan mengenai hak asasi manusia
bagi karyawan dan aparat keamanan, sebagaimana juga bagi nondiskriminasi,
kebebasan berserikat, tenaga kerja anak, hak adat, serta kerja paksa, dan kerja
wajib.
5. Indikator kinerja
masyarakat (8 item)
Indikator kinerja
masyarakat digunakan untuk melihat dampak dari organisasi terhadap masyarakat
setempat, dan menjelaskan risiko dari interaksi dengan institusi sosial
lainnya.
6. Indikator kinerja
produk (9 item) Tanggung Jawab Sosial
1.
Lingkungan
2.
Ekonomi
3.
Produk
4.
Tenaga Kerja
5.
Hak asasi manusia
6.
Masyarakat
Indikator kinerja
tanggung jawab produk membahas aspek produk dari organisasi pelapor serta jasa
yang diberikan yang memengaruhi pelanggan, terutama, kesehatan dan keselamatan,
informasi dan pelabelan, pemasaran, dan privasi. Aspek tersebut juga melingkupi
penjelasan mengenai prosedur internal dan usaha yang dilaksanakan bila tidak
memenuhi kepatuhan.
Gambar
1.
Subjek
Fundamental dari Tanggung Jawab Sosial menurut GRI
Sumber: www.globalreporting.org
(2013)
Berikut merupakan
item-item penilaian pengungkapan lingkungan berdasarkan Global Reporting
Initiative Guideliness G3.1.
Tabel 2. Indikator
Pengungkapan Tanggung Jawab Sosial berdasarkan GRI G3.1
Indikator Kinerja
Ekonomi
Aspek: Kinerja
Ekonomi
1.
EC1
Core: Perolehan dan distribusi
nilai ekonomi langsung, meliputi pendapatan, biaya operasi, imbal jasa
karyawan, donasi, dan laba ditahan, dan investasi komunitas lainnya dan
pembayaran kepada penyandang dana serta pemerintah
1.
Tanggung Jawab Sosial
2.
Lingkungan
3.
Ekonomi
4.
Produk
5.
Tenaga Kerja
6.
Hak asasi manusia
7.
Masyarakat
2. EC2
Core: Implikasi finansial dan
risiko lainnya akibat perubahan iklim serta peluangnya bagi aktivitas
organisasi
3. EC3
Core: Jaminan kewajiban organisasi
terhadap program imbalan pasti
4. EC4
Core: Bantuan finansial yang
signifikan dari pemerintah
Aspek: Kehadiran
Pasar
5. EC5
Add
Rentang rasio standar
upah terendah dibandingkan dengan upah minimum setempat pada lokasi operasi
yang signifikan
EC6
Core: Kebijakan, praktek dan
proporsi pengeluaran untuk pemasok lokal pada lokasi operasi yang signikan
7. EC7
Core: Prosedur penerimaan pegawai
lokal dan proporsi manajemen senior lokal yang dipekerjakan pada lokasi operasi
yang signifikan
Aspek: Dampak Ekonomi
Tidak Langsung
8.
EC8
Core: Pembangunan dan dampak dari
investasi infrastruktur serta jasa yang diberikan untuk kepentingan publik
secara komersial, natura atau pro bono
9.
EC9
Add: Pemahaman dan penjelasan
dampak ekonomi tidak langsung yang signifikan, termasuk seberapa luas dampaknya
INDIKATOR KINERJA
LINGKUNGAN
Aspek: Material
10. N1
Core: Penggunaan bahan; diperinci
berdasarkan berat atau volume
11. EN2
Core: Persentase penggunaan bahan
daur ulang
Aspek: Energi
12. EN3
Core: Penggunaan energi langsung
dari sumber daya energi primer
13. EN4
Core: Pemakaian energi tidak
langsung berdasarkan sumber primer
14. EN5
Add: Penghematan energi melalui
konservasi dan peningkatan efisiensi
15. EN6
Add: Inisiatif untuk mendapatkan
produk dan jasa berbasis energi efisien atau energi yang dapat diperbarui,
serta pengurangan persyaratan kebutuhan energi sebagai akibat dari inisiatif
tersebut.
16. EN7
Add: Inisiatif untuk mengurangi
konsumsi energi tidak langsung dan pengurangan yang dicapai
Aspek: Air
17. EN8
Core: Total pengambilan air per
sumber
18. EN9
Add: Sumber air yang terpengaruh
secara signifikan akibat pengambilan air
19.
EN10
Add: Persentase penggunaan dan
total volum air yang digunakan kembali dan didaur ulang
Aspek: Biodiversitas
(Keanekaragaman Hayati)
20. EN11
Core: Lokasi dan ukuran tanah yang
dimiliki, disewa, dikelola oleh organisasi pelapor yang berlokasi di dalam atau
yang berdekatan dengan daerah yang dilindungi atau daerah yang memiliki
keanekaragaman hayati yang tinggi di luar daerah yang diproteksi
21. EN12
Core: Uraian atas berbagai dampak
signifikan yang diakibatkan oleh aktivitas, produk, dan jasa organisasi pelapor
terhadap keanekaragaman hayati daerah yang diproteksi (dilindungi) dan daerah
yang memiliki keanekaragaman hayati bernilai tinggi di luar daerah yang diproteksi
(dilindungi)
22. EN13
Add: Perlindungan dan Pemulihan
Habitat
23. EN14
Add: Strategi, tindakan, dan
rencana mendatang untuk mengelola dampak terhadap keanekaragaman hayati
24. EN15
Add: Jumlah spesies berdasarkan
tingkat risiko kepunahan yang masuk dalam Daftar Merah IUCN (IUCN Red List Species) dan yang masuk
dalam daftar konservasi nasional dengan habitat di daerah-daerah yang terkena
dampak operasi.
Aspek: Emisi, Efluen
dan Limbah
25. EN16
Core: Jumlah emisi gas rumah kaca
yang sifatnya langsung maupun tidak langsung dirinci berdasarkan berat
26.
EN17
Core: Emisi gas rumah kaca tidak
langsung lainnya diperinci berdasarkan berat
27. EN18
Add: Inisiatif untuk mengurangi
emisi gas rumah kaca dan pencapaiannya
28. EN19
Core: Emisi bahan kimia yang
merusak lapisan ozon (ozone-depleting substances/ODS) diperinci berdasarkan
berat
29. EN20
Core: NOx, SOx dan emisi udara
signifikan lainnya yang diperinci berdasarkan jenis dan berat
30. EN21
Core: Jumlah buangan air menurut
kualitas dan tujuan
31. EN22
Core: Jumlah berat limbah menurut
jenis dan metoda pembuangan
32. EN23
Core: Jumlah dan volume tumpahan
yang signifikan
33. EN24
Add: Berat limbah yang diangkut,
diimpor, diekspor, atau diolah yang dianggap berbahaya menurut Lampiran
Konvensi Basel I, II, III dan VIII, dan persentase limbah yang diangkut secara
internasional.
34. EN25
Add: Identitas, ukuran, status
proteksi dan nilai keanekaragaman hayati badan air serta habitat terkait yang
secara signifikan dipengaruhi oleh pembuangan dan limpasan air organisasi
pelapor.
Aspek: Produk dan
Jasa
35. EN26
Core: Inisiatif untuk mengurangi
dampak lingkungan produk dan jasa dan sejauh mana dampak pengurangan tersebut.
36. EN27
Core: Persentase produk terjual
dan bahan kemasannya yang ditarik menurut kategori.
Aspek: Kepatuhan
37. EN28
Core: Nilai Moneter Denda yang
signifikan dan jumlah sanksi nonmoneter atas pelanggaran terhadap hukum dan
regulasi lingkungan.
Aspek:
Pengangkutan/Transportasi
38. EN29
Add: Dampak lingkungan yang
signifikan akibat pemindahan produk dan barang-barang lain serta material yang
digunakan untuk operasi perusahaan, dan tenaga kerja yang memindahkan.
Aspek: Menyeluruh
39. EN30
Add: Jumlah pengeluaran untuk
proteksi dan investasi lingkungan menurut jenis.
INDIKATOR KINERJA
PRAKTEK TENAGA KERJA DAN PEKERJAAN YANG LAYAK
Aspek: Pekerjaan
40. LA1
Core: Jumlah angkatan kerja
menurut jenis pekerjaan, kontrak pekerjaan, dan wilayah.
41. LA2
Core: Jumlah dan tingkat
perputaran karyawan menurut kelompok usia, jenis kelamin, dan wilayah.
42. LA3
Add: Manfaat yang disediakan bagi
karyawan tetap (purna waktu) yang tidak disediakan bagi karyawan tidak tetap
(paruh waktu) menurut kegiatan pokoknya.
(Dilanjutkan…)
Aspek: Tenaga kerja /
Hubungan Manajemen
43. LA4
Core: Persentase karyawan yang
dilindungi perjanjian tawar-menawar kolektif tersebut.
44. LA5
Core: Masa pemberitahuan minimal
tentang perubahan kegiatan penting, termasuk apakah hal itu dijelaskan dalam
perjanjian kolektif tersebut.
Aspek: Kesehatan dan
Keselamatan Jabatan
45. LA6
Add: Persentase jumlah angkatan
kerja yang resmi diwakili dalam panitia Kesehatan dan Keselamatan antara
manajemen dan pekerja yang membantu memantau dan memberi nasihat untuk program
keselamatan dan kesehatan jabatan.
46.
LA7
Core: Tingkat kecelakaan fisik,
penyakit karena jabatan, hari-hari yang hilang, dan ketidakhadiran, dan jumlah
kematian karena pekerjaan menurut wilayah.
47. LA8
Core: Program pendidikan,
pelatihan, penyuluhan/bimbingan, pencegahan, pengendalian risiko setempat untuk
membantu para karyawan, anggota keluarga dan anggota masyarakat, mengenai
penyakit berat/berbahaya.
Aspek: Pelatihan dan
Pendidikan
48. LA9
Add: Masalah kesehatan dan
keselamatan yang tercakup dalam perjanjian resmi dengan serikat karyawan.
49. LA10
Core: Rata-rata jam pelatihan tiap
tahun tiap karyawan menurut kategori/kelompok karyawan.
50. LA11
Add: Program untuk pengaturan
keterampilan dan pembelajaran sepanjang hayat yang menunjang kelangsungan
pekerjaan karyawan dan membantu mereka dalam mengatur akhir karier.
51. LA12
Add: Persentase karyawan yang
menerima peninjauan kinerja dan pengembangan karier secara teratur.
Aspek: Keberagaman
dan Kesempatan Setara
52. LA13
Core: Komposisi badan
pengelola/penguasa dan perincian karyawan tiap kategori/kelompok menurut jenis
kelamin, kelompok usia, keanggotaan kelompok minoritas, dan keanekaragaman
indikator lain.
53. LA14
Core: Perbandingan/rasio gaji
dasar pria terhadap wanita menurut kelompok/kategori karyawan.
(Hak Asasi Manusia)
Aspek: Praktek
Investasi dan Pengadaan
54. HR1
Core: Persentase dan jumlah
perjanjian investasi signifikan yang memuat klausul HAM atau telah menjalani
proses skrining/ filtrasi terkait dengan aspek hak asasi manusia.
55. HR2
Core: Persentase pemasok dan
kontraktor signifikan yang telah menjalani proses skrining/ filtrasi atas aspek
HAM
56. HR3
Add. Jumlah waktu pelatihan bagi
karyawan dalam hal mengenai kebijakan dan serta prosedur terkait dengan aspek
HAM yang relevan dengan kegiatan organisasi, termasuk persentase karyawan yang
telah menjalani pelatihan
Aspek:
Nondiskriminasi
57. HR4
Core: Jumlah kasus diskriminasi
yang terjadi dan tindakan yang diambil/dilakukan.
Aspek: Kebebasan
Berserikat dan Berunding Bersama Berkumpul
58. HR5
Core: Segala kegiatan berserikat
dan berkumpul yang diteridentifikasi dapat menimbulkan risiko yang signifikan
serta tindakan yang diambil untuk mendukung hak-hak tersebut.
Aspek: Pekerja Anak
59. HR6
Core: Kegiatan yang identifikasi
mengandung risiko yang signifikan dapat menimbulkan terjadinya kasus pekerja
anak, dan langkah-langkah yang diambil untuk mendukung upaya penghapusan
pekerja anak.
Aspek: Kerja Paksa
dan Kerja Wajib
60. HR7
Core: Kegiatan yang
teridentifikasi mengandung risiko yang signifikan dapat menimbulkan kasus kerja
paksa atau kerja wajib, dan langkah-langkah yang telah diambil untuk mendukung
upaya penghapusan kerja paksa atau kerja wajib
Aspek:
Praktek/Tindakan Pengamanan
61. HR8
Add: Persentase personel penjaga
keamanan yang terlatih dalam hal kebijakan dan prosedur organisasi terkait
dengan aspek HAM yang relevan dengan kegiatan organisasi.
Aspek: Hak Penduduk
Asli
62. HR9
Add: Jumlah kasus pelanggaran
yang terkait dengan hak penduduk asli dan langkah-langkah yang diambil.
Aspek : Penilaian
63. HR10
Core: Persentase dan jumlah
operasi yang telah menjadi subjek ulasan HAM dan atau penilaian dampak
Aspek: Remediasi
64. HR11
Core: Keluhan yang berkaitan
dengan hak asasi manusia yang diajukan, dibahas dan diselesaikan melalui
mekanisma pengaduan jalur formal
INDIKATOR KINERJA
PADA MASYARAKAT
Aspek: Komunitas
65. S01
Core: Sifat dasar, ruang lingkup,
dan keefektifan setiap program dan praktek yang dilakukan untuk menilai dan
mengelola dampak operasi terhadap masyarakat, baik pada saat memulai, pada saat
beroperasi, dan pada saat mengakhiri.
Aspek: Korupsi
66. S02
Core: Persentase dan jumlah unit
usaha dianalisis untuk risiko yang berkaitan dengan korupsi.
67. S03
Core: Persentase pegawai yang
dilatih dalam kebijakan dan prosedur antikorupsi.
68. S04
Add: Tindakan yang diambil dalam
menanggapi kejadian korupsi.
Aspek: Kebijakan
Publik
69. S05
Core: Kedudukan kebijakan publik
dan partisipasi dalam proses melobi dan pembuatan kebijakan publik.
70. S06
Add: Nilai kontribusi finansial
dan natura kepada partai politik, politisi, dan institusi terkait berdasarkan
negara di mana perusahaan beroperasi.
Aspek: Kelakuan Tidak
Bersaing
71. S07
Add: Jumlah tindakan hukum
terhadap pelanggaran ketentuan antipersaingan, anti-trust, dan praktek monopoli
serta sanksinya.
72. PR2
Add: Jumlah pelanggaran terhadap
peraturan dan etika mengenai dampak kesehatan dan keselamatan suatu produk dan
jasa selama daur hidup, per produk.
Aspek: Pemasangan
Label bagi Produk dan Jasa
73. PR3
Core: Jenis informasi produk dan
jasa yang dipersyaratkan oleh prosedur dan persentase produk dan jasa yang
signifikan yang terkait dengan informasi yang dipersyaratkan tersebut.
74. PR4
Add: Jumlah pelanggaran peraturan
dan voluntary codes mengenai penyediaan informasi produk dan jasa serta
pemberian label, per produk
75. PR5
Add: Praktek yang berkaitan
dengan kepuasan pelanggan termasuk hasil survei yang mengukur kepuasaan
pelanggan.
Aspek: Komunikasi
Pemasaran
76. PR6
Core: Program-program untuk
ketaatan pada hukum, standar dan voluntary codes yang terkait dengan komunikasi
pemasaran, termasuk periklanan, promosi, dan sponsorship.
77. PR7
Add: Jumlah pelanggaran peraturan
dan voluntary codes sukarela mengenai komunikasi pemasaran termasuk periklanan,
promosi, dan sponsorship, menurut produknya.
Aspek: Keleluasaan
Pribadi (privacy) Pelanggan
78. PR8
Add: Jumlah keseluruhan dari
pengaduan yang berdasar mengenai pelanggaran keleluasaan pribadi (privacy)
pelanggan dan hilangnya data pelanggan
Aspek: Kepatuhan
79. PR9
Core: Nilai moneter dari denda
pelanggaran hukum dan peraturan mengenai pengadaan dan penggunaan produk dan
jasa
Sumber:
www.globalreporting.org (2013)
GRI G4 yang
diluncurkan pada tahun 2013 memiliki 6 aspek yang sama namun dengan jumlah item
yang berbeda. Pada GRI G4, terdapat aspek ekonomi (9 item), lingkungan (34
item), tenaga kerja (16 item), hak asasi manusia (12 item), masyarakat (11 item)
dan produk (9 item) (www.globalreporting.org, 2013).
Tabel 3. Indikator Pengungkapan Tanggung Jawab Sosial
berdasarkan GRI G4.
INDIKATOR KINERJA
EKONOMI:
Aspek: Kinerja
Ekonomi
1.
EC1: Nilai ekonomi langsung yang
dihasilkan dan didistribusikan
2.
EC2: Implikasi finansial dan
risiko serta peluang lainnya kepada kegiatan organisasi karena perubahan iklim
3.
EC3: Cakupan kewajiban organisasi
atas program imbalan pasti
4.
EC4: Bantuan finansial yang
diterima dari pemerintah
Aspek: Kehadiran
Pasar
5.
EC5: Rasio upah standar pegawai
pemula (entry level) menurut gender dibandingkan dengan upah minimun regional
di lokasi-lokasi operasional yang signifikan.
6.
EC6: Perbandingan manajemen
senior yang dipekerjakan dari masyarakat lokal di lokasi operasi yang
signifikan
Aspek: Dampak Ekonomi
Tidak Langsung
7.
EC7: Pembangunan dan dampak dari
investasi infrastruktur dan jasa yang diberikan
8.
EC8: Dampak ekonomi tidak
langsung yang signifikan, termasuk besarnya dampak
Aspek :Praktik
Pengadaan
9.
EC9: Perbandingan pembelian dari
pemasok lokal di lokasi operasional yang signifikan
INDIKATOR KINERJA
LINGKUNGAN:
Aspek: Material
10. EN1: Bahan yang digunakan
berdasarkan berat dan volume
11. EN2: Persentase bahan yang
digunakan yang merupakan bahan input daur ulang
Aspek: Energi
12. EN3: Konsumsi energi dalam
organisasi
13. EN4: Konsumsi energi di luar
organisasi
14. EN5: Intensitas energi
15. EN6: Pengurangan konsumsi energi
16. EN7: Pengurangan kebutuhan energi
pada produk dan jasa
Aspek: Air
17. EN8: Total pengambilan air
berdasarkan sumber
18. EN9: Sumber air yang secara
signifikan dipengaruhi oleh pengambilan air
19. EN10: Persentase dan total volume
air yang didaur ulang dan digunakan kembali
Aspek: Biodiversitas
(Keanekaragaman Hayati)
20. EN11: Lokasi-lokasi operasional
yang dimiliki, disewa, dikelola di dalam atau yang berdekatan dengan kawasan
lindung dan kawasan dengan nilai keanekaragaman hayati di luar kawasan lindung.
21. EN12: Uraian dampak signifikan
kegiatan, produk, dan jasa terhadap keanekaragaman hayati di kawasan lindung
dan kawasan dengan nilai keanekaragaman hayati tinggi di luar kawasan lindung.
22. EN13: Habitat yang dilindungi dan
dipulihkan
23. EN14: Jumlah total spesies dalam
IUCN Red Listdan spesies dalam daftar spesies yang dilindungi nasional dengan
habitat di tempat yang dipengaruhi operasional, berdasarkan tingkat risiko
kepunahan.
Aspek: Emisi
24. EN15: Emisi gas rumah kaca yang
sifatnya langsung
25. EN16: Emisi gas rumah kaca yang
sifatnya tidak langsung
26. EN
17: Emisi
gas rumah kaca tidak langsung lainnya
27. EN18: Intensitas emisi gas rumah
kaca
28. EN19: Pengurangan emisi gas rumah
kaca
29. EN20: Emisi bahan perusak ozon
(ozone-depleting substances/ODS)
30. EN21: NOx, SOx dan emisi udara
signifikan lainnya
Aspek: Limbah dan
Sampah
31. EN22: Total air yang dibuang
berdasarkan kualitas dan tujuan
32. EN23: Bobot total limbah
berdasarkan jenis dan metoda pembuangan
33. EN24: Jumlah dan volume total
tumpahan yang signifikan
34. EN25: Bobot limbah yang dianggap
berbahaya menurut ketentuan konvensi BASEL I, II, III dan VIII yang diangkut,
diimpor, diekspor,atau diolah dan persentase limbah yang diangkut untuk
pengiriman internasional.
35. EN26: Identitas, ukuran, status
lindung dan nilai keanekaragaman hayati dari badan air dan habitat yang secara
signifikan terkena dampak dari air buangan dan limpasan dari organisasi.
Aspek: Produk dan
Jasa
36. EN27: Tingkat mitigasi dampak
terhadap lingkungan produk dan jasa
37. EN28: Persentase produk yang
terjual dan kemasannya yang direklamasi menurut kategori
Aspek: Kepatuhan
38. EN29: Nilai Moneter denda yang
signifikan dan jumlah total sanksi nonmoneter karena ketidakpatuhan terhadap
Undang-Undang dan Peraturan Lingkungan
Aspek:
Pengangkutan/Transportasi
39. EN30: Dampak lingkungan yang
signifikan dari pengangkutan produk dan barang-barang lain serta bahan
untukoperasional organisasi dan pengangkutan tenaga kerja
Aspek: Lain-Lain
40. EN31: Total pengeluaran dan
investasi perlindungan lingkungan berdasarkan jenis
Aspek: penilaian
Pemasok atas Lingkungan
41. EN32: Persentase pemasok baru yang
disaring menggunakan kriteria lingkungan
42. EN33: Dampak lingkungan negatif
signifikan aktual dan potensial negatif dalam rantai pasokan dan tindakan yang
diambil.
Aspek: Mekanisma
Pengaduan Masalah Lingkungan
43. EN34: Jumlah pengaduan tentang
dampak lingkungan yang diajukan, ditangani dan diselesaikan melalui mekanisma
pengaduan resmi.
INDIKATOR KINERJA
PRAKTEK TENAGA KERJA DAN PEKERJAAN YANG LAYAK
Aspek: Kepegawaian
44. LA1:Jumlah total dan tingkat
perekrutan karyawan baru dan turnover karyawan menurut kelompok umur, jenis
kelamin, dan wilayah.
45. LA2: Tunjangan yang diberikan
bagi karyawan purnawaktu yang tidak diberikan bagi karyawan sementara atau
paruh waktu, berdasarkan lokasi operasi yang signifikan.
46. LA3: Tingkat kembali bekerja dan
tingkat retensi setelah cuti melahirkan berdasarkan gender
Aspek: Hubungan
Industrial
47. LA4: Jangka waktu minimum
pemberitahuan mengenai perubahan operasional, termasuk apakah hal tersebut
dalam perjanjian bersama.
Aspek: Kesehatan dan
Keselamatan Jabatan
48. LA5: Persentase total tenaga
kerja yang diwakili dalam komite bersama formal manajemen-pekerja yang membantu
mengawasi dan memberikan saran program kesehatan dan keselamatan kerja
49. LA6: Jenis dan tingkat cedera,
penyakit akibat kerja, hari-hari yang hilang, dan ketidakhadiran, dan jumlah
total kematian akibat kerja menurut daerah dan gender.
50. LA7: Pekerja yang sering terkena
atau berisiko tinggi terkena penyakit yang terkait dengan pekerjaan mereka
51. LA8: Topik kesehatan dan
keselamatan yang tercakup dalam perjanjian formal dengan serikat pekerja
Aspek: Pelatihan dan
Pendidikan
52. LA9: Rata-rata jam pelatihan tiap
tahun tiap karyawan menurut kategori/kelompok karyawan.
53. LA10: Program untuk manajemen
keterampilan dan pembelajaran seumur hidup yang mendukung keberlanjutan kerja
karyawan dan membantu mereka mengelola purna bakti
54. LA11: Persentase karyawan yang
menerima peninjauan kinerja dan pengembangan karier secara teratur menurut
gender dan kategori karyawan.
Aspek: Keberagaman
dan Kesetaraan Peluang
55. LA12: Komposisi badan tata kelola
dan pembagian karyawan per kategori karyawan menurut gender, kelompok usia,
keanggotaan kelompok minoritas dan indikator keberagaman lainnya.
Aspek: Kesetaraan
Renumerasi Perempuan dan Laki-Laki
56. LA13: Rasio gaji pokok dan
renumerasi bagi perempuan terhadap laki-laki menurut kategori karyawan,
berdasarkan lokasi operasional yang signifikan.
Aspek: Penilaian
Pemasok atas Praktik Ketenagakerjaan
57. LA14: Persentase Pemasok Baru yang
Disaring menggunakan Kriteria Praktik Tenaga Kerja
58. LA15: Dampak negatif aktual dan
potensial yang signifikan terhadap praktik ketenagakerjaan dalam rantai pasokan
dan tindakan yang diambil
Aspek: Mekanisma
Pengaduan Praktek Kerja
59. LA16: Jumlah pengaduan tentang
Praktik Ketenagakerjaan yang diajukan, ditangani dan diiselesaikan melalui
mekanisma pengaduan resmi.
HAK ASASI MANUSIA
Aspek : Investasi
60. HR1: Persentase dan jumlah perjanjian
investasi signifikan yang memuat klausul HAM atau telah menjalani proses
skrining/ filtrasi terkait dengan aspek hak asasi manusia.
61. HR2: Jumlah waktu pelatihan bagi
karyawan tentang kebijakan atau prosedur Hak Asasi Manusia terkait dengan aspek
Hak Asasi Manusia yang relevan dengan operasi termasuk presentase karyawan yang
dilatih.
Aspek:
Nondiskriminasi
62. HR3: Jumlah kasus diskriminasi
yang terjadi dan tindakan yang diambil/dilakukan.
Aspek: Kebebasan
Berserikat dan Berunding Bersama Berkumpul
63. HR4: Operasi dan pemasok
teridentifikasi yang mungkin melanggar atau berisiko tinggi melanggar hak untuk
melaksanakan kebebasan berserikat dan perjanjian kerja bersama dan tindakan
yang diambil untuk mendukung hal-hal tersebut.
Aspek: Pekerja Anak
64. HR5: Operasi dan pemasok yang
teridentifikasi berisiko tinggi melakukan eksploitasi pekerja anak dan tindakan
yang diambil untuk berkontribusi dalam penghapusan pekerja anak yang efektif.
Aspek: Kerja Paksa
dan Kerja Wajib
65. HR6: Operasi dan pemasok yang
diidentifikasi berisiko tinggi melakukan kerja paksa atau wajib kerja dan
tindakan untuk berkontribusi dalam penghapusan segala bentuk pekerja paksa atau
wajib kerja.
Aspek:
Praktek/Tindakan Pengamanan
66. HR7: Persentase petugas
pengamanan yang dilatih dalam kebijakan atau prosedur hak asasi manusia di
organisasi yang relevan dengan operasi.
Aspek: Hak Penduduk
Asli
67. HR8: Jumlah total insiden
pelanggaran yanng melibatkan hak-hak masyarakat adat dan tindakan yang diambil.
Aspek : Penilaian
68. HR9: Jumlah total dan presentase
operasi yang telah melakukan penilaian dampak Hak Asasi Manusia
Aspek: Penaksiran Hak
Asasi Manusia Pemasok
69. HR10: Persentase pemasok baru yang
disaring dengan menggunakan kriteria hak asasi manusia
70. HR11: Dampak negatif aktual dan
potensial yang signifikan terhadap Hak Asasi Manusia dalam rantai pasokan dan
tindakan yang diambil
Aspek: Mekanisma
Pengaduan Masalah Hak Asasi Manusia
71. HR12: Jumlah pengaduan tentang
dampak terhadap Hak Asasi Manusia yang diajukan, ditangani dan diselesaikan
melalui mekanisma pengaduan resmi
INDIKATOR KINERJA
PADA MASYARAKAT
Aspek: Masyarakat
Lokal
72. S01: Persentase operasi dengan
pelibatan masyarakat lokal, penilaian dampak dan program pengembangan yang
diterapkan
73. S02: Operasi dengan dampak
negatif aktual dan potensial yang signifikan terhadap masyarakat lokal.
Aspek: Anti Korupsi
74.
S03: Jumlah total dan presentase
operasi yang dinilai terhadap risiko terkait dengan korupsi dan risiko
signifikan yang teridentifikasi
75. S04: Komunikasi dan pelatihan
mengenai kebijakan dan prosedur anti korupsi
76/ S05: Insiden korupsi yang
terbukti dan tindakan yang diambil
Aspek: Kebijakan
Publik
76. S06: Nilai total kontribusi
politik berdasarkan negara dan penerima/penerima manfaat
Aspek: Anti
Persaingan
77. S07: Jumlah total tindakan hukum
terkait anti persaingan, anti trust, serta praktik monopoli dan hasilnya
Aspek: Kepatuhan
78. S08: Nilai moneter denda yang
signifikan dan jumlah total sanksi nonmoneter atas ketidakpatuhan terhadap
Undang-Undang dan peraturan
Aspek: Penilaian
Pemasok atas Dampak Pada Masyarakat
79. S09: Persentase pemasok baru yang
disaring dengan menggunakan kriteria dampak terhadap masyarakat
80. S10: Dampak negatif aktual dan
potensial yang signifikan terhadap masyarakat dalam rantai pasokan dan tindakan
yang diambil.
Aspek: Mekanisma
Pengaduan Dampak terhadap Masyarakat
81. S11: Jumlah pengaduan tentang
dampak terhadap masyarakat yang diajukan, ditangani dan diselesaikan melalui
mekanisma pengaduan resmi
INDIKATOR KINERJA
TERHADAP TANGGUNG JAWAB PRODUK
Aspek: Kesehatan dan
Keamanan Pelanggan
82. PR1: Persentase kategori produk
dan jasa yang signifikan yang dampaknya terhadap kesehatan dan keselamatan yang
dinilai untuk peningkatan
83. PR2: Total jumlah insiden
ketidakpatuhan terhadap peraturan dan kode sukarela terkait dampak kesehatan
dan keselamatan dari produk dan jasa sepanjang daur hidup, menurut jenis hasil.
Aspek: Pemasangan
Label bagi Produk dan Jasa
84. PR3: Jenis informasi produk dan
jasa yang dipersyaratkan oleh prosedur organisasi terkait dengan informasi dan
pelabelan produk dan jasa serta persentase kategori produk dan jasa yang
signifikan harus mengikuti persyaratan informasi sejenis.
85. PR4: Jumlah total insiden
ketidakpatuhan terhadap peraturan dan kode sukarela terkait dengan informasi
dan pelabelan produk dan jasa menurut jenis hasil.
86. PR5: Hasil survei untuk mengukur
kepuasan pelanggan
Aspek: Komunikasi
Pemasaran
87. PR6: Penjualan produk yang
dilarang atau disengketakan
88. PR7: Jumlah total insiden
ketidakpatuhan terhadap peraturan dan kode sukarela tentang komunikasi
pemasaran termasuk iklan, promosi dan sponsor menurut jenis hasil.
Aspek: Keleluasaan
Pribadi (privacy) Pelanggan
89. PR8: Jumlah total keluhan yang
terbukti terkait dengan pelanggaran privasi pelanggan dan hilangnya data
pelanggan
Aspek: Kepatuhan
90. PR9: Nilai moneter denda yang
signifikan atas ketidakpatuhan terhadap Undang-Undang dan peraturan terkait
penyediaan dan penggunaan produk dan jasa.
Sumber:
www.globalreporting.org (2013)
Referensi
Robert, D.
& Stephanus, D.S. 2014. Penerapan Dan Analisis Pengaruh Environmental Management Accounting
(Ema). Proposal Skripsi. Universitas
Ma Chung. Malang
Oktiviana,
D. & Stephanus, D.S. 2014. Analisis
Pengaruh Penerapan Environment Management Accounting Dan Strategi
Terhadap Inovasi Perusahaan . Proposal
Skripsi. Universitas Ma Chung. Malang
Nugroho, O.C. &
Stephanus, D.S. 2014. Studi Empiris
Pengaruh Manajemen Laba (Earnings
Management), Corporate Governance, Ukuran Perusahaan (Size), Leverage,
Dan Profitabilitas Terhadap Pengungkapan Tanggung Jawab
Sosial Dan Lingkungan Perusahaan. Proposal
Skripsi. Universitas
Ma Chung. Malang
Puspita,
M. E. & Stephanus, D.S. 2014. Pengaruh
Pengungkapan Corporate Social Responsibility, Global Reporting Initiatives Dan
Iso 26000 Terhadap Nilai Perusahaan Sektor Pertambangan. Proposal Skripsi. Universitas Ma Chung.
Malang
Endiarto, O.T. &
Stephanus, D. S. 2014. Analisis
Pengaruh Kinerja Lingkungan
Terhadap Nilai Perusahaan Yang Terdaftar Di Index Sri Kehati .Proposal Skripsi. Universitas Ma Chung. Malang
Saputra, N. A. & Stephanus, D.S. 2014. Pengaruh Pengungkapan Corporate
Social Resposibility Dan Global Reporting Initiatives Terhadap Nilai
Perusahaan Pada Perusahaan Yang Tercatat Di Indeks Sri-Kehati 2010—2012. Skripsi. Universitas Ma Chung. Malang
Seri #7: Sustainable and Responsible Investment Keaneka
Ragaman Hayati Indonesia (Indeks SRI-KEHATI)
Pengantar
Berikut ini adalah informasi mengenai
Indeks SRI KEHAtI yang dikutip langsung dari Website Yayasan Keanekaragaman Hayati Indonesia http://www.kehati.or.id/id/indeks-sri-kehati.html.
Indeks SRI-KEHATI diberlakukan sejak 8
Juni 2009, Yayasan KEHATI bekerjasama dengan PT Bursa Efek Indonesia (BEI)
meluncurkan indeks SRI KEHATI yang mengacu pada tata cara Sustainable and Responsible Investment (SRI)
dengan nama Indeks SRI KEHATI. Tahun dasar yang digunakan sebagai tahun
awal indeks dengan basis 100 (seratus) adalah pada 30 Desember 2006 dan
dipublikasikan oleh BEI sebagai Indeks SRI KEHATI. Diharapkan dengan peluncuran
indeks SRI KEHATI ini masyarakat mengenal adanya indeks yang menggambarkan
perusahaan-perusahaan yang menguntungkan secara ekonomi dengan tetap
memperhatikan kelestarian lingkungan hidup. Tujuan dibentuknya indeks ini
adalah untuk memberikan informasi secara terbuka kepada masyarakat luas mengenai
ciri dari perusahaan terpilih pada indeks SRI KEHATI yang dianggap memiliki
bermacam bentuk pertimbangan dalam usahanya berkaitan dengan kepedulian pada
lingkungan, tata kelola perusahaan, keterlibatan masyarakat, sumber daya
manusia, hak asasi manusia, dan perilaku bisnis dengan etika bisnis yang
diterima di tingkat international.
Yayasan KEHATI menetapkan 25 (dua
puluh lima) perusahaan terpilih yang dianggap dapat memenuhi kriteria dalam
indeks SRI KEHATI sehingga dapat menjadi pedoman bagi para investor. Keberadaan
perusahaan terpilih akan dievaluasi setiap 2 (dua) periode dalam setahun, yaitu
pada bulan April dan Oktober, dan setelah terpilih nama-nama dari 25 (dua puluh
lima) perusahaan tersebut akan di publikasikan oleh BEI yang dapat dilihat di www.idx.co.id. Mekanisma pemilihan
perusahaan-perusahaan untuk masuk indeks SRI KEHATI dilakukan melalui dua
tahap, yaitu tahap pertama adalah penapisan awal seleksi negatif dan aspek
keuangan kemudian pada tahap kedua adalah dengan aspek fundamental. Penilaian
dilakukan melalui review terhadap
data sekunder, pengisian kuesioner oleh perusahaan-perusahaan yang telah
melalui tahapan seleksi di atas, dan data lain yang relevan. Dari hasil review tersebut, 25 (dua puluh lima
perusahaan) perusahaan dengan nilai tertinggi masuk dalam Indeks SRI KEHATI.
Pada tahap pertama di penapisan awal
ini dilakukan untuk memastikan bahwa perusahaan-perusahaan yang dinilai
memenuhi prasyarat penilaian adalah sebagai berikut:
Seleksi
Negatif bagi perusahaan (1) Pestisida,
(2) Nuklir, (3) Senjata, (4) Tembakau, (5) Alkohol, (6) Pornografi, (7)
Perjudian, (8) Genetically Modified
Organism (GMO).
Aspek
Keuangan yang terdiri dari: (1) Perusahaan memiliki Kapitalisasi Pasar (Market Capitalization) di atas Rp1
triliun berdasarkan laporan keuangan teraudit tahun terakhir; (2) Perusahaan
memiliki Asset di atas Rp1 triliun berdasarkan laporan keuangan teraudit tahun
terakhir; (3) Perusahaan memiliki Free
Float Ratio di atas 10% berdasarkan saham aktif di bursa dengan kepemilikan
public; (4) Perusahaan memiliki Price
Earning Ratio (PER) yang positif dalam 6 (enam) bulan terakhir.
Pada tahap kedua setelah
perusahaan-perusahaan yang lolos penapisan awal akan dinilai kinerjanya yaitu
pada aspek fundamental yang meliputi beberapa bidang, diantaranya :
Aspek
Fundamental terdiri dari: (1) Tata
Kelola Perusahaan; (2) Lingkungan; (3) Keterlibatan Masyarakat; (4) Perilaku
Bisnis; (5) Sumber Daya Manusia; (6) Hak Asasi Manusia
Implikasi
Normatif dan Etis
Implikasi
Praktis dan Bisnis
Implikasi
Konservasi
Referensi
Robert, D.
& Stephanus, D.S. 2014. Penerapan Dan Analisis Pengaruh Environmental Management Accounting
(Ema). Proposal Skripsi. Universitas
Ma Chung. Malang
Oktiviana, D.
& Stephanus, D.S. 2014. Analisis
Pengaruh Penerapan Environment Management Accounting Dan Strategi
Terhadap Inovasi Perusahaan . Proposal
Skripsi. Universitas Ma Chung. Malang
Nugroho,
O.C. & Stephanus, D.S. 2014. Studi
Empiris Pengaruh Manajemen Laba (Earnings
Management), Corporate Governance, Ukuran Perusahaan (Size), Leverage,
Dan Profitabilitas Terhadap Pengungkapan Tanggung Jawab
Sosial Dan Lingkungan Perusahaan. Proposal
Skripsi. Universitas
Ma Chung. Malang
Puspita,
M. E. & Stephanus, D.S. 2014. Pengaruh
Pengungkapan Corporate Social Responsibility, Global Reporting Initiatives Dan
Iso 26000 Terhadap Nilai Perusahaan Sektor Pertambangan. Proposal Skripsi. Universitas Ma Chung.
Malang
Endiarto, O.T. &
Stephanus, D. S. 2014. Analisis
Pengaruh Kinerja Lingkungan Terhadap
Nilai Perusahaan Yang Terdaftar Di Index Sri Kehati .Proposal
Skripsi. Universitas Ma Chung. Malang
Saputra, N. A. & Stephanus, D.S. 2014. Pengaruh Pengungkapan Corporate
Social Resposibility Dan Global Reporting Initiatives Terhadap Nilai
Perusahaan Pada Perusahaan Yang Tercatat Di Indeks Sri-Kehati 2010—2012. Skripsi. Universitas Ma Chung. Malang
SERI #8: ENVIRONMENTAL MANAGEMENT ACCOUNTING
(EMA)
Pengantar
Perusahaan dalam melakukan kegiatan
bisnisnya selalu memiliki tujuan untuk memperoleh nilai semaksimal mungkin.
Dengan menggali dan memaksimalkan sumber daya alam serta masyarakat yang ada,
perusahaan dapat memproduksi barang dan jasa sehingga dapat memperoleh laba
yang maksimal. Namun, seringkali perusahaan tidak memperhatikan dampak negatif
bagi lingkungan dan masyarakat ketika perusahaan melakukan eksplorasi terhadap
sumber daya yang ada.
Oleh karena itu, pemerintah Indonesia
telah menetapkan Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 bab V Pasal 74 tentang Perseroan Terbatas,
bahwa perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan
dengan sumber daya alam wajib melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan
tersebut. Selain diwajibkan, berdasarkan penelitian yang telah dilakukan,
ketika perusahaan melakukan CSR, maka hal itu akan meningkatkan profitabilitas
maupun reputasi perusahaan. Oleh karena itu, prinsip Triple Bottom Line (people and planet before profit) yang
dicetuskan oleh Jhon Elkington pada tahun 1997 banyak dianut oleh perusahaan.
Hal ini dikarenakan ketika perusahaan
menerapkan prinsip Triple Bottom Line ini,
masyarakat lebih mengapresiasi setiap produk yang dihasilkan dengan
mengutamakan kepentingan lingkungan hidup dan masyarakat luas.
Namun dalam pelaksanaannya, CSR
bukanlah sesuatu hal yang bisa dilaksanakan tanpa menggunakan dana perusahaan.
Sebagai bentuk tanggung jawab, perusahaan harus mengalokasikan dana yang akan
digunakan untuk melaksanakan bentuk-bentuk tanggung jawab perusahaan. Dengan
kata lain, perusahaan harus mengalokasikan dana untuk pengeluaran yang
dampaknya akan mengurangi laba perusahaan.
Sayangnya pengalokasian dana dan
setiap rencana yang telah disusun bagian anggaran untuk melakukan kegiatan
sebagai bentuk tanggung jawab perusahaan tidak berjalan maksimal dan sangat
rentan terjadinya kesalahan sasaran. Contohnya pada Oktober 2013, PT Semen
Tonasa sempat dipertanyakan mengenai aliran dana CSR yang dinilai salah
sasaran. Hal ini dapat terjadi dikarenakan tidak adanya sistem dan alat
perencanaan yang baik untuk menyelengarakan CSR perusahaan.
Kendala yang dihadapi perusahaan saat
ini sudah bisa diatasi dengan penggunaan Environmental
Management Accounting (EMA). EMA menurut Jhonson (2004) adalah alat untuk
analisis informasi keuangan dan non-keuangan dalam rangka mendukung proses
pengelolaan lingkungan perusahaan. Namun EMA saat ini belum diterapkan dalam
perencanaan CSR perusahaan yang ada di Indonesia. Berbeda dengan Indonesia,
Jepang adalah salah satu Negara yang sangat menjunjung tinggi kepedulian
terhadap dampak yang terjadi pada lingkungan. Dan penerapan EMA bukanlah hal
asing lagi di negara tersebut, bahkan setiap perusahaan wajib melakukan EMA dan
tiap tahun diadakan Audit Lingkungan atas perusahaan tersebut.
Menurut Purwanto (2007), awalnya
sebuah perusahaan akan menetapkan kebijakan yang berfokus pada hal – hal yang
cenderung berhubungan dengan dampak langsung dari proses bisnis suatu
perusahaan seperti membersihkan polusi yang ada dan mencoba untuk mengurangi
polusi dari sumber titik pembuangan, kemudian strategi manajemen berpindah kearah
modifikasi proses – proses produksi sehingga dapat meminimalkan jumlah polusi
yang dihasilkan.
Saat ini kerusakan alam dan pemanasan
global menjadi perhatian yang serius. Bumi sudah menunjukkan gejala – gejala
yang tidak sehat lagi seperti kondisi cuaca yang tidak normal, bencana alam,
dan lain sebagainya. Banyaknya tuntutan atas peraturan kepada perusahaan untuk
mengurangi dampak yang ditimbulkan terhadap lingkungan mengahruskan sebuah
perusahaan untuk menganut sebuah prinsip eco-efficiency yang artinya
perusahaan harus menghasilkan produk barang maupun jasa yang lebih bermanfaat
sekaligus mengurangi dampak lingkungan, penggunaan sumber daya yang berlebihan,
maupun efisiensi yang dihasilkan dari perbaikan kinerja. Peranan EMA memberikan
sebuah motivasi bagi manajer lingkungan dan bawahannya agar terpacu untuk
mengurangi biaya lingkungan yang ditimbulkan, yang mana akan berpengaruh
terhadap keputusan yang akan menjadi dasar eksistensi perusahaan di masa
mendatang.
Daljono (2004) mengemukakan bahwa
dalam mengelola perusahaan, manajer harus membuat keputusan yaitu
mempertimbangkan secara hati – hati dari berbagai alternatif tindakan dan
memilih tindakan terbaik untuk mencapai tujuan yang telah direncanakan. Alasan
yang mendasari mengapa sebuah organisasi dan akuntan harus peduli permasalahan
lingkungan. Menurut Ikhsan (2009), banyak para stakeholder perusahaan
baik dari sisi internal maupun eksternal menunjukkan peningkatan kepentingannya
terhadap kinerja lingkungan dari sebuah organisasi.
Adanya kebijakan di bidang lingkungan
inilah yang kemudian menjadi awal berkembangnya suatu konsep yang bertujuan
untuk menemukan solusi atas pemenuhan tujuan bisnis dan penyelesaian masalah
lingkungan yang dinamakan eco-efficiency. Eco-efficiency merupakan upaya
peningkatan efisiensi perusahaan dengan memperkecil output limbah melalui
proses produksi atau teknologi bersih lingkungan.
Environment Management Accounting (EMA) dapat digunakan
sebagai tolak ukur dalam membantu pengambilan keputusan manajemen lingkungan
dalam peningkatan sustainable perusahaan. EMA dibutuhkan oleh setiap perusahaan
untuk memberikan informasi kepada perusahaan berkaitan dengan kinerja
lingkungan perusahaan. EMA juga bertujuan untuk meningkatkan jumlah informasi
yang relevan bagi mereka yang memerlukan, sehingga dapat digunakan sebagai
salah satu indikator pengambilan keputusan.
Menurut Ikhsan (2009), keberhasilan
akuntansi lingkungan tidak hanya tergantung pada ketepatan dalam menggolongkan
semua biaya – biaya yang dibuat perusahaan. Akan tetapi kemampuan dan
keakuratan data akuntansi perusahaan dalam menekan dampak lingkungan yang
ditimbulkan dari aktivitas perusahaan. Penerapan akuntansi manajemen lingkungan
memberikan banyak manfaat bagi penggunanya. Salah satu manfaat akuntansi
manajemen lingkungan yaitu adanya inovasi yang dilakukan perusahaan untuk
mengurangi dampak lingkungan. Penerapan akuntansi manajemen lingkungan dapat
membantu manajer lingkungan untuk merencanakan produksi pembersih dan
mengidentifikasi cara – cara baru dan penghematan biaya serta memperbaiki
kinerja lingkungan pada waktu yang bersamaan. Penerapan lainnya adalah
memberikan informasi kepada manajer dalam mengidentifikasi biaya – biaya
lingkungan yang sering disembunyikan dalam akuntansi umum. Penelitian yang
menjadi acuan dari penelitian penulis adalah Ferreira, et al., (2009)
yang menguji pengaruh penerapan EMA dan strategi perusahaan terhadap inovasi
produk dan inovasi proses. Sampel dalam penelitian yang dilakukan Fereira
adalah perusahaan – perusahaan terbesar di Australia. Kategori perusahaan yang
diteliti adalah perusahaan yang bergerak di bidang manufaktur, kesehatan,
konstruksi, dan transportasi. Hasil analisis menunjukkan bahwa terdapat
hubungan positif antara penerapan EMA dan inovasi proses.
Belum banyaknya penelitian akuntansi
yang membahas penerapan EMA menjadi salah satu kendala dalam penelitian ini.
Maka dari itu, penelitian ini cenderung masih tergolong dalam fase awal atau
penelitian yang bersifat explanatory.
Berdasarkan argumen yang telah penulis
sebutkan, penelitian ini menjadi bukti bahwa penerapan EMA dapat memberikan
banyak manfaat bagi perusahaan. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan
pendekatan kuantitatif untuk menguji pengaruh EMA dan strategi sebagai inovasi.
Kemudian dilanjutkan dengan meneliti variabel – variabel lain dalam praktik
penggunaan EMA, apakah berpengaruh terhadap inovasi produk atau inovasi proses.
Melalui aktivitas – aktivitas
lingkungan dan aktivitas pada laporan tahunan menyebabkan pengguna laporan
keuangan (manajemen, investor, kreditor) akan mendapat informasi yang akan
membantu para pengguna informasi tersebut dalam pengambilan keputusan untuk
program perusahaan yang berkaitan dengan pelestarian lingkungan di masa yang
akan datang. Hal ini akan mempengaruhi persepsi positif pada masyarakat dan
pada akhirnya mereka akan memiliki kepercayaan terhadap perusahaan. Kepercayaan
masyarakat yang didapat oleh perusahaan pasti akan meningkatkan penjualan
produk yang dikeluarkan oleh perusahaan. Dengan adanya penerapan EMA pada perusahaan,
maka diharapkan lingkungan sekitar akan terjaga kelestariannya.
Belajar dari
Negara-Negara Maju
The Japan
Environmental Management Association for Industry (JEMAI) adalah salah satu wujud
nyata Jepang dalam memperhatikan dampak yang dihasilkan perusahaan atas
lingkungan hidup. Sejak berdirinya JEMAI pada tahun 1993, Organisasi Pemerintah
ini memiliki 700 perusahaan sebagai anggota termasuk perusahaan asing yang
berdiri di Negara ini. Ryuichi Tomizawa selaku ketua JEMAI mengatakan ada empat
hal yang menjadi perhatian utama organisasi ini, antara lain: (1) penilaian
lingkungan, (2) perkembangan teknologi, (3) survei untuk polusi udara dan air,
kebisingan, getaran, dan zat kimia berbahaya, dan (4) masalah lingkungan
global.
Berbeda dengan JEMAI, Australia juga
memiliki organisasi yang mengatur secara khusus mengenai dampak lingkungan yang
dihasilkan perusahaan. Australian
Environmental Management (AEM) adalah suatu organisasi sumber daya dengan
membawa ide-ide dan teknologi “green
building” bagi perusahaan di Australia. Selain membawa ide-ide dan
teknologi berkaitan dengan lingkungan hidup, AEM juga memperhatikan Efisiensi
Energi, dan Recycling dengan cara
yang profesional.
Jepang dan Australia adalah beberapa
Negara yang sudah menerapkan perhitungan EMA sebagai bukti bahwa Negara
tersebut sudah memperhatikan kelestarian lingkungan hidup. Namun, setiap Negara
dalam menjalankan EMA memiliki pedoman dan peraturan yang berbeda. Perbedaan
ini disebabkan keadaan lingkungan dan geografis yang berbeda. Selain itu
jenis-jenis perusahaan juga memiliki dampak lingkungan yang berbeda. Oleh
karena perbedaan-perbedaan yang ada, International
Federation of Accountants (IFAC) juga telah membuat sebuah pedoman
yang bisa diterapkan secara internasional tentang EMA. Pedoman ini disusun pada
Agustus 2005.
Dalam kesempatan ini, peneliti ingin
menerapkan sistem EMA pada perusahaan yang berdiri di Indonesia. Selama ini
pelaksanaan bentuk tanggung jawab terhadap dampak lingkungan di Indonesia belum
berjalan secara maksimal. Hal ini ditandai dengan banyaknya kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh kegiatan
produksi perusahaan.
Environmental Management Accounting
(EMA)
EMA didefinisikan sebagai alat
analisis infomasi keuangan dan non-keuangan yang digunakan untuk mendukung
proses manajemen lingkungan hidup yang dilakukan oleh internal perusahaan.
Jadi dapat disimpulkan bahwa EMA
merupakan sebuah alat yang dapat menyajikan informasi bagi internal perusahaan
terkait dengan kegiatan pengelolaan kinerja lingkungan yang tepat dan praktis.
Dalam pelaksanaannya, EMA memiliki 5 kegiatan yang utama
product
pricing
budgeting
investment
appraisal
calculating
costs and
savings of
environmental projects, or setting quantified performance targets
2.4 Tujuan
dan Manfaat Penggunaan EMA
2.4.1 Tujuan
Penggunaan EMA
Tujuan EMA menurut Savage (2014) dapat
dirumuskan bahwa setiap pengambil keputusan dapat menggunakan informasi fisik
dan biaya dari EMA untuk membuat keputusan yang akan berdampak pada kinerja
lingkungan dan kunerja keuangan perusahaan. Sedangkan menurut IFAC (2005)
tujuan EMA adalah manajemen internal perusahaan dapat mengambil langkah-langkah
insiatif yang sangat baik menggunakan informasi yang diperoleh dari EMA.
Beberapa fokus lingkungan seperti, produk “hijau”, desain produk yang
menggunakan bahan ramah lingkungan. Selain itu EMA sering digunakan untuk
pelaporan eksternal.
Jadi, EMA lebih dari sekedar alat
pengelolaan lingkungan saja, tetapi EMA bisa menjadi sekumpulan prinsip dan
pendekatan yang menyediakan data penting untuk keberhasilan banyak kegiatan
pengelolaan lingkungan perusahaan. Dan sejak keputusan mengenai kegiatan
lingkungan dipengaruhi isu lingkungan, dengan adanya EMA setiap keputusan
mengenai kegiatan lingkungan dapat diambil secara objektif.
2.4.2 Manfaat
Penggunaan EMA
Beberapa manfaat dari penggunaan EMA
antara lain:
Manfaat dari EMA untuk Perusahaan
adalah sebagai berikut:
Perusahaan mampu untuk lebih akurat
melacak dan mengelola penggunaan aliran energi dan material, termasuk volume
polusi/limbah, jenis, dan nasib
Perusahaan juga dapat
mengidentifikasi, mengestimasi, mengalokasikan, dan mengelola/mengurangi biaya,
terutama biaya yang terkait lingkungan
Perusahaan dapat hasil informasi yang
lebih akurat dan komprehensif untuk pengukuran dan pelaporan kinerja lingkungan,
sehingga citra perusahaan meningkat dengan para pemangku kepentingan seperti
pelanggan, masyarakat setempat, karyawan, pemerintah, dan penyedia dana
investasi.
Manfaat bagi Pemerintah ketika
Perusahaan menerapkan EMA
Semakin banyak industri yang dapat
mengaplikasikan program lingkungan atas dasar hukum dan peraturan yang sudah
diatur oleh pemerintah
Pelaksanaan EMA oleh industri harus
meningkatkan efektivitas kebijakan pemerintah/peraturan yang berlaku dengan
cara perusahaan mengungkapkan biaya lingkungan dan manfaat yang dihasilkan dari
kebijakan-kebijakan/peraturan tersebut.
Pemerintah dapat menggunakan
perusahaan yang sudah menerapkan EMA untuk dijadikan tolok ukur performa
kinerja perusahaan terhadap lingkungan serta penyusunan regulasi bagi pemerintah.
Selain setiap manfaat menurut Savage
(2014), ada pula beberapa kegunaan dan manfaat dari EMA menurut IFAC (2005).
Beberapa kegunaan tersebut ditampilkan dalam tabel sebagai berikut:
Tabel 1. Manfaat EMA Menurut IFAC (2005)
Sumber: International Federation of
Accountants (2005)
2.5 Framework Environmental Management Accounting
Rerangka EMA berhubungan dengan dua
komponen utama manajemen lingkungan yaitu: monetary
environmental management accounting (MEMA) dan physical environmental management accounting (PEMA)
Berikut rerangka EMA yang dibedakan
menjadi MEMA dan PEMA dan perbedaan EMA dengan Environmental Accountin
Tabel 2.
Perbedaan MEMA dengan PEMA
Sumber:
Namun, selain dibedakan menjadi PEMA
dan MEMA saja, EMA masih memiliki rerangka lain yang mencakup dimensi yang
lebih luas. Ada lima dimensi yang membentuk multi-dimensi EMA
internal
versus external
physical
versus monetary classifications
past and
future timeframes
short and
long terms and
ad hoc versus
routine information gathering in the proposed framework for the application of
EMA.
Berikut tabel yang menggambarkan
multi-dimensi EMA:
Tabel 3.
Multi-dimensi EMA
Sumber:
2.6 Environmental Management Plans (EMP)
Environmental
Management Plans
(EMP) adalah alat yang menjelaskan secara terperinci mengenai, apa, siapa,
dimana, dan kapan manajemen lingkungan dan pengukuran akan diterapkan
2.7
Perhitungan EMA berdasarkan Environmental
Accounting Guidelines Japan 2005
Setelah disusun EMP, dengan mengetahui
setiap rencana yang akan dilakukan untuk manajemen lingkungan, langkah
selanjutnya adalah melakukan perhitungan EMA berdasarkan Environmental Accounting Guidelines Japan.
2.7.1
Klasifikasi Biaya Konservasi Lingkungan
Sebelum mempelajari cara perhitungan,
terlebih dahulu setiap biaya yang berhubungan dengan konservasi lingkungan akan
diklasifikasikan. Dalam hal ini, biaya dikategorikan berdasarkan aktivitas
konservasi. Ada enam jenis biaya antara lain:
Business Area
Cost
Biaya ini digunakan untuk aktivitas
pengurangan dampak lingkungan yang mungkin terjadi ketika bisnis dijalankan.
Dalam hal ini, perusahaan memiliki hak untuk mengatur secara langsung dampak
yang terjadi atas lingkungan di area perusahaan. Selanjutnya, biaya akan dibagi
menjadi tiga lagi yaitu:
Pollution
Prevention Cost
Biaya ini dibentuk sebagai wujud usaha
perusahaan mengurangi dampak lingkungan seperti penerapan fasilitas yang
difungsikan sebagai tindakan pencegahan dan pengurangan polusi udara. Berikut
klasifikasi bentuk Pollution Prevention
Cost:
1) Cost for
preventing air pollution (including acid rain)
2) Cost for
preventing water pollution
3) Cost for
preventing ground contamination
4) Cost for
preventing noise pollution
5) Cost for
preventing vibration pollution
6) Cost for
preventing odor pollution
7) Cost for
preventing ground sinkage
8) Cost for
preventing other types of pollution
Global
Environmental Conservation Cost
Biaya konservasi lingkungan global
adalah biaya-biaya yang terkait dengan dampak negatif lingkungan terhadap
lingkungan global, yang dihasilkan dari aktivitas manusia. Biaya ini dibagi
menjadi tiga kategori antara lain:
1) Cost for
preventing global warming and energy conservation
2) Cost for
preventing the ozone depletion
3) Cost for
other global environmental conservation activities
Resourece
Circulation Cost
Biaya ini didefinisikan sebagai biaya
yang dikeluarkan yang digunakan untuk biaya biaya berkelanjutan. Upaya
sirkulasi sumber daya termasuk penertiban pembuangan sampah, pemanfaatan siklus
sumber daya bisa digunakan terlepas dari nilai pasar (daur ulang, daur ulang termal),
dan pembuangan limbah yang tidak disirkulasikan. Biaya ini dibagi lagi menjadi
enam jenis yaitu:
1) Cost for
the efficient utilization of resources
2) Cost for
recycling industrial waste
3) Cost for
recycling municipal waste
4) Cost for
disposal of industrial
5) Cost for
disposal of municipal waste
6) Cost
contributing to resource circulation
Upstream/Downstream
Cost
Biaya upstream merupakan biaya yang digunakan sebagai upaya untuk
mengurangi dampak lingkungan yang dibuat sebelum terjadi input barang dan jasa
ke daerah-daerah bisnis, serta biaya yang terkait dengan upaya-upaya tersebut.
Sedangkan biaya downstream merupakan
biaya yang digunakan sebagai upaya untuk mengurangi dampak lingkungan yang
dibuat setelah barang dan jasa telah dikeuarkan dari bidang bisnis, serta biaya
yang terkait dengan upaya-upaya tersebut. Berikut adalah gambar yang
menjelaskan mengenai biaya upstream/downstream
Gambar 1. Diagram
Alir biaya upstream/downstream
Sumber:
Administration
Cost
Biaya administrasi adalah biaya yang
digunakan untuk kegiatan pengelolaan yang dilakukan oleh perusahaan dan
organisasi lain untuk kegiatan konservasi lingkungan. Jenis biaya ini termasuk
usaha yang secara tidak langsung berkontribusi untuk mengurangi dampak
lingkungan yang dihasilkan melalui kegiatan bisnis, dan biaya yang dilakukan
sebagai upaya terjadinya komunikasi antara masyarakat dengan perusahaan dan
organisasi lain seperti untuk pengungkapan informasi lingkungan. Biaya ini
dibagi menjadi lima yaitu:
Cost for the
implementation and maintenance of an environmental management system
Cost for
disclosure of environmental information associated with business activities and
environmental advertising
Cost for
monitoring environmental impact
Cost for
environmental training of employees
Cost for
environmental improvement activities, such as nature conservation, greening,
beautification, and landscape preservation, at or in the vicinity of the
business site
Research and Development
Cost
Biaya ini merupakan pengeluaran untuk
kegiatan penelitian dan pengembangan yang dialokasikan untuk konservasi
lingkungan. Ada tiga jenis biaya R&D antara lain:
R&D cost
to develop products that contribute to environmental conservation
R&D cost
to curtail environmental impact at the product manufacturing stage
Other R&D
cost associated to the curtailment of environmental impact at the distribution
stage or the marketing stage of products
Social
Activity Cost
Biaya kegiatan sosial adalah biaya
yang berkaitan dengan konservasi lingkungan yang dilakukan untuk kebaikan
berbagai kalangan masyarakat. Hal ini dianggap sebagai upaya konservasi
lingkungan yang terdiri dari kegiatan sosial tanpa hubungan langsung dengan
kegiatan dari perusahaan atau organisasi lainnya. Ada tiga jenis biaya ini
antara lain:
Cost for
environmental improvement activities, including nature conservation, planting
of greenery, beautification and landscape preservation, with the exception of
the business site
Cost related to
donation or financial support of environmental groups
Cost
associated with various social activities, such as the financial support of a
local community’s environmental conservation activities and the disclosure of
information to the local community
Environmental
Remediation Cost
Biaya Perbaikan lingkungan
dialokasikan untuk pemulihan dari kerusakan lingkungan akibat kegiatan usaha.
Biaya ini terdiri dari tiga jenis yaitu:
Cost to
restore the natural environment back to its original state
Cost to cover
degradation suits connected with environmental conservation
Provisions or
insurance fees to cover degradation to the environment
2.7.2 Metoda
Pehitungan Biaya Konservasi Lingkungan
Berikut beberapa metoda yang digunakan
untuk perhitungan biaya konservasi lingkungan
Biaya diklasifikasikan sebagai biaya
langsung
Biaya diklasifikasikan sebagai biaya
langsung selanjutnya digabungkan sebagai biaya konservasi lingkungan.
Biaya Kompleks
Aggregating
the difference
Penggabungan biaya selain dari biaya
observasi lingkungan yang sudah dibebankan sebelumnya
Cost
Allocation
Dalam keadaan di mana jumlah barang
dan jasa yang diperlukan sebagai dasar untuk perbandingan dalam perbedaan
agregasi tidak dapat dipastikan secara jelas, metode agregasi alokasi,
berdasarkan standar yang tetap, dapat digunakan untuk acuan.
Rational Cost
Aggregation
Dalam keadaan dimana perbedaan
agregasi tidak dapat digunakan, alokasi agregasi harus dilakukan sesuai dengan
metode proporsi wajar ditentukan berdasarkan tujuan pengeluaran. Metode yang
wajar harus ditentukan dengan mempertimbangkan isi dari subyek kegiatan
konservasi lingkungan, karakteristik biaya konservasi lingkungan, jenis dampak
lingkungan, dan lain sebagainya.
Allocation
Based in Simple Methods
Ketika perbedaan agregasi maupun
alokasi agregasi berdasarkan metode yang wajar tidak dapat digunakan, alokasi
agregasi harus dilakukan melalui penentuan tingkat alokasi biaya sederhana.
Metode sederhana ditetapkan berdasarkan asumsi korelasi, dan oleh karena itu
konten utama dari standar dan tempat dari asumsi yang dibuat harus dicatat.
Aplikasi dan Implikasi dalam
Bisnis: Tujuan EMA dan Manfaat bagi Industri
Tujuan dari EMA adalah untuk
meningkatkan jumlah informasi relevan yang dibuat bagi mereka yang memerlukan
atau dapat menggunakannya. Keberhasilan EMA tidak hanya tergantung pada
ketepatan dalam menggolongkan semua biaya-biaya yang dibuat perusahaan. Akan
tetapi kemampuan dan keakuratan data akuntansi perusahaan dalam menekan dampak
lingkungan yang ditimbulkan dari aktifitas perusahaan.
Tujuan lain dari pentingnya
pengungkapan akuntansi lingkungan berkaitan dengan kegiatan-kegiatan konservasi
lingkungan oleh perusahaan maupun organisasi lainnya yaitu mencakup kepentingan
organisasi publik dan perusahaan-perusahaan publik yang bersifat lokal.
Pengungkapan ini penting terutama bagi para stakeholders untuk dipahami,
dievaluasi, dan dianalisis sehingga dapat memberi dukungan bagi usaha mereka.
Oleh karena itu, akuntansi lingkungan selanjutnya menjadi bagian dari suatu
sistem sosial perusahaan.
Biaya yang terkait dengan pengelolaan
lingkungan sangat banyak sehingga harus diperhitungkan dengan benar agar tidak
terjadi kesalahan dalam pengambilan keputusan. Biaya yang terkait umumnya
meliputi biaya pengelolaan limbah, biaya material dan energi, biaya pembelian
material dan energi, serta biaya proses.
Berikut ini merupakan hal – hal
mengapa EMA bermanfaat bagi industri.
1. Kemampuan secara akurat meneliti
dan mengatur penggunaan bahan-bahan, termasuk polusi / sisa volume,
jenis-jenis lain dan sebagainya.
2. Kemampuan mengidentifikasi,
mengestimasi, mengalokasikan, mengatur atau mengurangi biaya-biaya, khususnya
biaya yang berhubungan dengan lingkungan.
3. Informasi yang lebih akurat dan
lebih menyeluruh dalam mendukung penetapan dari dan keikutsertaan di dalam
program-program sukarela, penghematan biaya untuk memperbaiki kinerja
lingkungan.
4. Informasi yang menyeluruh untuk
mengukur dan melaporkan kinerja lingkungan, seperti meningkatkan citra
perusahaan pada stakeholder, pelanggan, masyarakat lokal, karyawan,
pemerintah, dan penyedia keuangan.
2.3 Strategi Bisnis
Anthony (1965) mengungkapkan bahwa
penerapan EMA dalam suatu organisasi kemungkinan akan dipengaruhi oleh strategi
bisnis. Sistem pengendalian manajemen (SPM) memastikan bahwa manajer
menggunakan sumber daya yang tersedia efektif dan efisien dalam mencapai tujuan
organisasi.
Miles & Snow (1978) dalam Ferreira
et al., (2009) membagi empat tipologi strategi perusahaan, yaitu prospector,
defender, analyzer dan reaction. Prospector merupakan
strategi yang mengidentifikasi dan mengembangkan produk baru serta memanfaatkan
peluang pasar, sedangkan defender adalah strategi yang cenderung
mempertahankan pasar yang telah dicapai dan produk yang stabil dengan harga
yang murah (low cost leadership).
Gosselin (1997) dalam Ferreira (2009)
menemukan bahwa strategi prospektor dikaitkan dengan penerapan kegiatan
manajemen. Disimpulkan bahwa jenis strategi yang diikuti oleh organisasi
menentukan kebutuhan inovasi berkaitan dengan kegiatan pengelolaan dan
mengamati bahwa organisasi yang mengejar strategi prospektor cenderung
mengadopsi akuntansi inovasi. Tahap awal relatif adopsi dan implementasi EMA
dan fakta bahwa itu adalah fenomena baru yang cukup, mendukung pandangan EMA
sebagai contoh inovasi akuntansi.
Menurut Gosselin (1997) dalam Ferreira
et al., (2009) penggunaan EMA kemungkinan lebih besar dalam organisasi
melakukan strategi prospektor karena dapat membantu mereka dengan tujuan mereka
yang inovatif. Keberhasilan di dalam menghubungkan manajemen biaya stratejik
terhadap akuntansi lingkungan akan bergantung pada setidaknya lima faktor
berikut.
1. Motivasi untuk perlindungan
lingkungan dan atau inisiatif pencegahan polusi
2. Sebuah prosedur sistematis untuk
pengidentifikasian biaya.
3. Dapat dicapai tetapi menuntut
tujuan dan sasaran.
4. Integrasi dari berbagai strategi
perusahaan pada organisasi secara keseluruhan.
5. Sistem pelaporan menyediakan sebuah
pengawasan dan koreksi sistem umpan balik untuk strategi
Sejak tahun 1970, tekanan
undang-undang lingkungan terus meningkat dan secara luas berdampak terhadap
biaya-biaya yang melekat pada regulasi. Pada tahun 1990, perusahaan terus
meningkatkan temuannya dalam beberapa hal yang dapat menciptakan nilai untuk
para pemegang saham dan pelangan mereka dengan cara memenuhi regulasi yang ada.
Isu-isu lingkungan secara langsung maupun tidak, telah masuk dalam performa
ekonomi suatu kegiatan maupun organisasi.
2.4 Biaya Lingkungan
Ketidaktepatan alokasi biaya
lingkungan sebagai biaya tetap menyebabkan biaya lingkungan tersembunyi dalam
biaya umum pada saat diperlukan. Hal ini akan menjadi sulit untuk menelusuri
biaya sebenarnya dari proses, produk atau lini produksi tertentu. Jika biaya
umum dianggap tetap, biaya limbah sesungguhnya merupakan biaya variabel yang
mengikuti volume limbah yang dihasilkan berbanding lurus dengan tingkat
produksi.
Perusahaan dapat menghitung biaya
limbah sebagai biaya pengolahan ditambah biaya pembelian bahan baku. Sehingga
biaya limbah yang dikeluarkan lebih besar daripada biaya yang selama ini
diperhitungkan. Dan dapat meminimalisirkan pemakaian bahan agar tidak terbuang
percuma dan akhirnya menjadi limbah.
Perusahaaan bisa meminimalisirkan dengan
biaya yang diperkecil. Biaya lingkungan dalam perusahaan sangat perlu
diperhatikan untuk meminimalisirkan permasalahan lingkungan yang berakibat juga
terhadap perusahaan. Biaya lingkungan berhubungan dengan kreasi, deteksi,
perbaikan, dan pencegahan degradasi lingkungan. Dengan definisi ini, biaya
lingkungan dapat diklasifikasikan menjadi empat kategori.
1. Biaya pencegahan (prevention
cost)
Biaya - biaya untuk aktivitas yang
dilakukan untuk mencegah diproduksinya limbah atau sampah yang dapat menyebabkan
kerusakan lingkungan. Contoh-contoh aktivitas pencegahan adalah evaluasi dan
pemilihan pemasok, evaluasi dan pemilihan alat untuk mengendalikan polusi,
desain proses dan produk untuk mengurangi atau menghapus limbah, melatih
pegawai, mempelajari dampak lingkungan, pelaksanaan penelitian lingkungan,
pengembangan sistem manajemen lingkungan, daur ulang produk, dan pemerolehan
sertifikasi ISO 14001.
2. Biaya deteksi lingkungan (environmental
detection cost)
Biaya - biaya untuk aktivitas yang
dilakukan untuk menentukan apakah produk, proses dan aktivitas lainnya di
perusahaan telah memenuhi standar lingkungan yang berlaku atau tidak. Standar
lingkungan dan prosedur yang diikuti oleh perusahaan didefinisikan dalam tiga
cara yaitu peratuan pemerintah, standar sukarela (ISO 14001) yang dikembangkan
oleh International Standards Organization, dan kebijakan lingkungan yang
dikembangkan oleh manajemen. Contoh-contoh aktivitas deteksi adalah audit
aktivitas lingkungan, pemeriksaan produk dan proses agar ramah lingkungan,
pengembangan ukuran kinerja lingkngan,pelaksanaan pengujian pencemaran,
verifikasi kinerja lingkungan dari pemasok, dan pengukuran tingkat pencemaran.
3. Biaya kegagalan internal lingkungan
(environmental internal failure cost)
Biaya - biaya untuk aktivitas yang
dilakukan karena diproduksinya limbah dan sampah, tetapi tidak dibuang ke
lingkungan luar. Jadi, biaya kegagalan internal terjadi untuk menghilangkan dan
mengolah limbah dan sampah ketika diproduksi. Aktivitas kegagalan internal
bertujuan untuk memastikan bahwa limbah dan sampah yang diproduksi tidak
dibuang ke lingkungan luar dan untuk mengurangi tingkat limbah yang dibuang
sehingga jumlahnya tidak melewati standar lingkungan. Aktivitas kegagalan
internal misalnya pengoperasian peralatan untuk mengurangi atau menghilangkan
polusi, pengolahan dan pmbuangan lmbah beracun, pemeliharaan peralatan polusi,
lisensi fasilitas untuk memproduksi limbah, dan daur ulang sisa bahan.
4. Biaya kegagalan eksternal
lingkungan (environmental external failure cost)
Biaya untuk aktivitas yang dilakukan
setelah melepas limbah atau sampah ke dalam lingkungan.
5. Biaya kegagalan eksternal yang
direalisasi (realized external failure cost)
Biaya yang dialami dan dibayar oleh
perusahaan. Biaya eksternal yang tidak direalisasikan (unrealized external
failure cost) atau biaya social (societal cost), disebabkan oleh
perusahaan tetapi dialami dan dibayar oleh pihak- pihak di luar perusahaan.
Biaya sosial lebih lanjut dapat diklasifikasikan sebagai biaya yang berasal dari
degradasi lingkungan dan biaya yang berhubungan dengan dampak buruk terhadap
properti atau kesejahteraan masyarakat.
2.4.1 Membebankan Biaya Lingkungan
Produk dan proses merupakan
sumber-sumber biaya lingkungan. Proses yang memproduksi produk dapat menciptakan
residu padat, cair, dan gas yang selanjutnya dilepas ke lingkungan. Residu ini
memiliki potensi mendegradasi lingkungan. Dengan demikian, residu merupakan
penyebab biaya kegagalan lingkungan internal dan eksternal misalnya, investasi
pada peralatan untuk mencegah penyebaran residu ke lingkungan dan pembersihan
residu setelah memasuki lingkungan. Pengemasan juga merupakan sumber biaya
lingkungan.
2.4.2 Biaya Produk Lingkungan
Biaya lingkungan dari proses yang
memproduksi, memasarkan, dan mengirimkan produk serta biaya lingkungan pasca
pembelian yang disebabkan oleh penggunaan dan pembuangan produk merupakan
contoh-contoh biaya produk lingkungan. Pembebanan biaya lingkungan pada produk
dapat menghasilkan informasi manajerial yang bermanfaat. Dengan membebankan
biaya lingkungan secara tepat, maka akan diketahui apakah suatu produk
menguntungkan atau tidak. Jika tidak menguntungkan, produk tersebut dapat
dihentikan guna mencapai perbaikan yang signifikan dalam kinerja lingkungan dan
efisiensi ekonomi.
2.4.3 Target Costing
Target costing merupakan penentuan biaya
yang diharapkan untuk suatu produk berdasarkan harga yang kompetitif sehingga
produk tersebut memperoleh laba sesuai yang diharapkan. Perusahaan mempunyai
dua pilhan untuk menurunkan biaya sampai pada target biaya yaitu.
1. Mengintegrasikan teknologi
manufaktur baru, menggunakan teknik-teknik manajemen biaya yang canggih dan
mencari produktivitas yang lebih tinggi melalui perbaikan organisasi dan
hubungan tenaga kerja, perusahaan akan dapat menurunkan biaya. Pendekatan ini
diimplementasikan dengan menentukan biaya standar (standart costing).
2. Dengan melakukan desain ulang
terhadap produk atau jasa, perusahaan dapat menurunkan biaya sampai mencapai
level target biaya (target costing). Metode ini lebih umum karena
mengakui bahwa keputusan desain mempunyai pengaruh yang besar terhadap total
biaya selama siklus hidup produk. Dengan memberi perhatian yang cermat pada
desain dimungkinkan untuk menurunkan biaya total secara signifikan.
2.5 Inovasi Perusahaan
Beberapa ahli menyatakan bahwa inovasi
merupakan salah satu jaminan untuk perusahaan atau organisasi dalam
meningkatkan daya saingnya. Salah satunya Drucker dalam Raka (2011) yang
mengatakan bahwa inovasi merupakan sebuah kebutuhan dan harus menjadi sebuah
disiplin. Inovasi secara umum merupakan aspek penting dari banyak usaha yang
dapat berperan untuk mendapatkan keunggulan kompetitif (Porter, 1985).
Konsep inovasi memunyai sejarah yang
panjang dan pengertian yang berbeda-beda, terutama didasarkan pada persaingan
antar perusahaan dan strategi yang berbeda yang diterapkan perusahaan itu
sendiri. Schumpeter (1949) dalam Hermana menyebutkan bahwa inovasi terdiri dari
lima unsur sebagai berikut.
1. Memperkenalkan produk baru atau
perubahan kualitatif pada produk yang sudah ada
2. Memperkenalkan proses baru ke
industri
3. Membuka pasar baru
4. Mengembangkan sumber pasokan baru
pada bahan baku atau masukan lainnya
5. Perubahan pada organisasi indutri
Referensi
Arikunto, S. (2002). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek.
Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Burritt, R. L., Hahn, T., & Schaltegger, S. (2002). Towards A
Comprehensive Framework For Environmental Management Accounting – Links Between
Business Actors And EMA Tools. . Australian Accounting Review, 39-50.
Department of Infrastructur, P. a. (2004, May 28). Guidelines
Environmental Management Plans. Retrieved from www.dipnr.nsw.gov.au
IFAC. (2005). International Guidance Document: Environmental Management
Accounting. New York: The International Federation of Accountants.
Indriantoro, N., & Supomo, B. (2009). Metodologi Penelitian Bisnis:
Untuk Akuntansi dan Manajemen. Yogyakarta: BPFE.
Japanese Ministry of the Environment. (2005, May 28). Environmental
Accounting Guidelines. Tokyo. Retrieved from
http://www.env.go.jp/en/policy/ssee/eag05.pdf
Johnson, S. (2004, June 1). Environmental Management Accounting.
Salim, A. (2006). Teori dan Paradigma Penelitian Sosial.
Yogyakarta: Tiara Wacana.
Savage, D. D. (2014, May 27). Retrieved from Ministry of the Environment
Goverment of Japan: http://www.env.go.jp/en/
Solihin, I. (2009). In Corporate social responsibility: from charity to
sustainability. Penerbit Salemba Empat.
Sugiyono. (2009). Metoda Penelitian Bisnis. Bandung: Alfabeta.
Tomizawa, R. (2014, May 23). Retrieved from Japan Environmental Management
Association for industry: http://www.jemai.or.jp/english/#1
Yin, R. K. (2009). Case Study Research: Design and Methods. London:
Sage Publisher.
Andayani,
(2003), Tanggung Jawab Lingkungan Dan Informasi Biaya Lingkungan Dalam
Pengambilan Keputusan Manajemen, Surabaya : Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi
Indonesia (Stiesia)
Cahyandito,
M.. 2009 . Environmental Management Accounting (EMA) (Akuntansi Manajemen
Lingkungan). Bandung : Universitas padjajaran.
Cahyono.
2002. Peran Akuntan Dan Akuntansi Dalam Environmental Management System (Ems).
Media Akuntansi Edisi 25 (Mei).
Gale, J.P.
& Stokoe. 2001. Environmental cost accounting and business strategy, in
chris madu (Ed.). Handbook of environmentally conscious manufacturing.
Victoria: Kluwer Academic Publishers.
Ghozali.
(2005).”Aplikasi Analisis Multivariate dengan Program SPSS”. Semarang :
Badan Penerbitan Universitas Diponegoro.
Ikhsan.
2008. Akuntansi Lingkungan dan Pengungkapannya. Yogyakarta: Graha Ilmu Harahap
sofyan syafari. Teori akuntansi. 2009. Jakarta. Penerbit : Raja wali pres
Bastian indra.
Ikhsan.
2009. Akuntansi Manajemen Lingkungan . Yogyakarta : Graha Ilmu.
L.
Singgih, Pengukuran Dampak Lingkungan Menggunakan Environmental Management
Accounting (Ema), Surabaya: Jurnal Ilmiah Jurusan Teknik Industri Institut
Teknologi Sepuluh Nopember
Porter, E
Michael. 2008. Competitive Advantage (Keunggulan Bersaing ). Dialih bahasakan
oleh Saputra Lyndon dan Sigit Suryanto. Tangerang : Karisma Publishing Group.
Sahasrakirana
Widya, Evaluasi Peran Akuntansi Lingkungan Untuk Mendukung Keputusan Manajemen
Lingkungan Dalam Mencapai Sustainability Perusahaan (Pt Sahabat Mewah Dan
Makmur), Jakarta : Jurnal Ilmiah Mahasiswa Universitas Bina Nusantara.
Singgih.Moses
L. 2006. Pengukuran dampak lingkungan menggunakan Environmental Management
Accounting (EMA). Surabaya: Institut Teknologi Sepuluh Nopember.
Sugiyono,
Prof. Dr. (2004). Statistik Nonparametiik Untuk Penelitian. Bandung : Penerbit
CV. Alfabeta.
Sugiyono.
2012. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta.
Sundjaja,
Ridwan S. Dan Barlian, Inge. 2002. Manajemen keuangan Dua, Edisi Keempat, Literata
Lintas Media, Jakarta.
Tanzil. J. 2012.
Environmental Management Accounting. Diakses pada tanggal 01 april 2013 dari
http://www.jtanzilco.com/main/index.php/mission-and-vision/656
environmentalmanagementaccounting
Robert, D. & Stephanus, D.S. 2014.
Penerapan Dan Analisis Pengaruh Environmental
Management Accounting (Ema). Proposal
Skripsi. Universitas Ma Chung. Malang
Oktiviana,
D. & Stephanus, D.S. 2014. Analisis
Pengaruh Penerapan Environment Management Accounting Dan Strategi
Terhadap Inovasi Perusahaan . Proposal
Skripsi. Universitas Ma Chung. Malang
Nugroho,
O.C. & Stephanus, D.S. 2014. Studi
Empiris Pengaruh Manajemen Laba (Earnings
Management), Corporate Governance, Ukuran Perusahaan (Size), Leverage,
Dan Profitabilitas Terhadap Pengungkapan Tanggung Jawab
Sosial Dan Lingkungan Perusahaan. Proposal
Skripsi. Universitas
Ma Chung. Malang
Puspita,
M. E. & Stephanus, D.S. 2014. Pengaruh
Pengungkapan Corporate Social Responsibility, Global Reporting Initiatives Dan
Iso 26000 Terhadap Nilai Perusahaan Sektor Pertambangan. Proposal Skripsi. Universitas Ma Chung.
Malang
Endiarto, O.T. &
Stephanus, D. S. 2014. Analisis
Pengaruh Kinerja Lingkungan Terhadap
Nilai Perusahaan Yang Terdaftar Di Index Sri Kehati .Proposal
Skripsi. Universitas Ma Chung. Malang
Saputra, N. A. & Stephanus, D.S. 2014. Pengaruh Pengungkapan Corporate
Social Resposibility Dan Global Reporting Initiatives Terhadap Nilai
Perusahaan Pada Perusahaan Yang Tercatat Di Indeks Sri-Kehati 2010—2012. Skripsi. Universitas Ma Chung. Malang
.
SERI
#9: AUDIT LINGKUNGAN
Pengertian Audit Lingkungan
Audit lingkungan merupakan instrumen
berharga untuk memverifikasi dan membantu
penyempurnaan kinerja lingkungan Audit
perlu dilakukan secara berkala, untuk menentukan apakah sistem yang dilaksanakan
sudah sesuai dengan pengaturan yang direncanakan dan telah dijalankan dan
dipelihara secara benar, yang pelaksanaannya tergantung dari pentingnya masalah
lingkungan bagi kegiatan perusahaan dan hasil audit sebelumnya.
Definisi dan
Konsep Audit Lingkungan
BerdasarkanKep.Men.LHNo.42Tahun1994:
Suatualatmanajemenyangmeliputievaluasisecarasistematik,terdokumentasi,periodik,danobyektif,tentangbagaimanasuatukinerjaorganisasi,sistemmanajemen,danperalatanyangdigunakan,dengantujuanmemfasilitasikontrolmanajementerhadapupayapengendaliandampaklingkungandanpengkajianpenataankebijaksaaanusahaataukegiatanterhadapperaturanperundang-undangantentangpengelolaanlingkungan
BerdasarkanUUNo.23tahun1997:
Suatuprosesevaluasiyangdilakukanpenanggungjawabusahadanataukegiatanuntukmenilaitingkatketaatanterhadappersyaratanhukumyangberlakudanataukebijaksanaandanstandaryangditetapkanolehpenanggungjawabusahaataukegiatanyangbersangkutan.
Menurut US EPA:
“Audit lingkungan merupakan suatu
pemeriksaan yang sistematis,
terdokumentasi, periodic dan obyektif
berdasarkan aturan yang tersedia
terhadap fasilitas operasi dan praktek
yang berkaitan dengan pentaatan
kebutuhan lingkungan”.
Menurut SML ISO/SNI 14010:
“Suatu proses verifikasi tersistemasi
dan terdokumentasi untuk memperoleh
dan mengevaluasi bukti secara obyektif
untuk menentukan apakah SML
dari organisasi sesuai dengan kriteria
audit SML yang dibuat organisasi,
dan untuk mengkomunikasikan hasil
proses ini kepada manajemen”.
Fungsi Audit Lingkungan
1.
Upayapeningkatanpenaatansuatuusahaterhadapperaturanperundang-undanganlingkungan.
2.Dokumensuatuusahatentangpelaksanaanstandaroperasi,prosedurpengelolaan,danpemantauanlingkungantermasuktanggapdarurat
3.Jaminanuntukmenghindariperusakanataukecenderungankerusakanlingkungan
4.BuktikeabsahanprakiraandampakdanpenerapanrekomendasiyangtercantumdalamdokumenAmdal
5.Upayaperbaikanpenggunaansumberdaya
6.Upayauntukmeningkatantindakanyangtelahdilaksanakan/yangperludilaksanakanolehsuatuusahauntukmemenuhikepentinganlingkungan
Manfaat Audit Lingkungan:
1.Mengidentifikasiresikolingkungandanpengelolaannya
2.Menjadidasarbagipelaksanaankebijaksanaanpengelolaanlingkungan
3.Menghindarikerugianfinansial
4.Mencegahtekanansanksihukumterhadapsuatuusaha
5.Membuktikanpelaksanaanpengelolaanlingkungan
6.Meningkatkankepedulianpimpinandanstafterhadapkebijakandantanggungjawablingkungan
7.Mengidentifikasikemungkinanpenghematanbiaya
8.Menyediakaninformasiyangmemadaibagikepentinganusaha
9.Menyediakanlaporanauditlingkungan
Sasaran Audit Lingkungan:
1. Pengembangan kebijakan lingkungan
2.Penaatan terhadap regulasi, lisensi, dan standar
3.Review tentang tindakan manajemen dan operasi perusahaan
4.Meninimisasi resiko lingkungan
5.Efisiensi penggunaan energi dan sumberdaya alam
6.Perbaikan kondisi kesehatan dan keselamatan kerja
7.Pengembangan aktivitas pasca-Amdal
8.Penyediaan informasi untuk asuransi, merger, dan disinvesment
9.Pengembangan citra “Hijau” untuk perusahaan
Ruang Lingkup Audit
Lingkungan
1. Membahas sejarah atau rangkaian suatu usaha, rona dan kerusakan lingkungan di tempat usaha tersebut, pengelolaan dan pemantauan yang dilakukan, serta isu lingkungan yang terkait
2.Perubahanronalingkungan
3.Penggunaan input dan sumberdaya alam, proses bahan dasar, bahan jadi, dan limbah, termasuk limbah B3
4.Identifikasi penanganan dan penyimpanan bahan kimia, B3, serta potensi kerusakan yang mungkin timbul
5.Kajian resiko lingkungan
6.Sistem control manajemen, rute pengangkutan bahan dan pembuangan limbah
7.Efektifitas alat pengendalian pencemaran
8. Catatan tentang lisensi pembuangan limbah dan penaatan per-UU
9. Penaatan terhadap hasil dan rekomendasi AMDAL (RPL&RKL)
10. Perencanaan dan prosedur standar operasi keadaan darurat
11. Rencana minimisasi limbah dan pengendalian pencemaran
lingkungan
12. Penggunaan energi, air, dan sumberdaya alam lainnya
13. Program daur ulang
14. Peningktan kemampuan sumberdaya manusia dan kepedulian
lingkungan
JENIS-JENIS AUDIT LINGKUNGAN:
1. Audit Manajemen Lingkungan
2. Audit Penaatan Lingkungan
3. Audit Fasilitas Teknik
4. Audit Amdal
5. Audit Tanggung jawab
6. Audit Pemasaran Lingkungan
7. Audit Hemat Energi
8. Audit Minimisasi Limbah
9. Audit Lingkungan Komprehensif
KUNCI KEBERHASILAN AUDIT LINGKUNGAN
Audit lingkungan dapat disusun dengan baik bila ada :
1.Dukungan pihak pimpinan
2.Partisipasi banyak pihak
3.Kemandirian dan obyektivitas auditor
4.Kesepakatan tentang tata laksana dan lingkup yang diaudit
METODOLOGI AUDIT LINGKUNGAN
1, Daftar isi (Table of Content)
2.Daftar Uji Sederhana (Checklist)
Carain dipilih jika telah memiliki informasi atau data yang cukup banyak. Informasi parameter yang diaudit diberikan dengan data atau deskriptif. Seluruh anggota tim dimintai pendapatnya dan kemudian dibuat daftar (list).Daftar ini kemudian diuji oleh tim auditor
3.Questionare
Questioner Memberikan arahan dan petunjuk kepada auditor dalam mengidi daftar
pertanyaan dan atau cara mengajukan pertanyaanPada metode ini, jawaban
pertanyan sudah tersedia. Contoh bentuk jawabab yang disediakan pada metode
ini:
1.Jawaban pertanyaan langsung menunjukkan perbedaan secara jelas
dalam bentuk: “yes/no/unknown”
2.Jawaban menunjukkan tingkat implementasi:
-No action/not yet been
taken
-Action on progress
-Limited presence
-Adequate presence
-Not appleciable
4.Pedoman (Guideline)
5.Sistem Peringkat (Rating
System)
PeringkatBentuk dasar: daftar pertanyaan dan pemberian nilai
(skor)Contoh:Berdasarkan tingkat nilai implementasi/keberadaan:
-Nilai 5 : telah dilaksanakan semua
-Nilai 1-3 : baru dilaksanakan sebagian
-Nilai 0 : belum dilaksanakan
Perbedaan Audit Lingkungan dengan
AMDAL
Audit Lingkungan |
Amdal |
Dibuat untuk kegiatan pembangunan yang sedang berjalan |
Dibuat untuk rencana kegiatan pembangunan |
Dibuat berkali-kali (periodik) |
Dibuat hanya 1 kali |
Untuk telaah masalah yang sedang dihadapi (terbatas pada masalah
yang dihadapi) |
Untuk perkiraan potensi dampak lingkungan secara total |
Dilaksanakan berdasarkan Kep.No.42/MENLH/1994 dan format teknis
sesuai tujuan audit lingkungan |
Dilaksanakan berdasarkan PP 08/ 2001 dan peraturan
pelaksanaannya |
Sukarela, insentif, dan disentif |
Wajib (Mandatory) |
Rahasia |
Terbuka |
KEUNTUNGAN DAN KERUGIAN AUDIT
Program audit dapat bersifat
menguntungkan dan merugikan.
Pada sisi yang positif, program audit
dapat menghasilkan sejumlah keuntungan yang berarti, termasuk diantaranya :
Menimbulkan pentaatan yang
lebih baik; dengan melakukan audit lingkungan maka manajer perusahaan
akan menjadi lebih taat akan peraturan dan standar yang berlaku.
Menimbulkan lebih sedikit
kejutan; dengan adanya audit lingkungan ini maka segala sesuatu yang ada di
lokasi perusahaan terpantau secara baik sehingga jika ada hal yang
menyimpang atau kurang tepat dapat diketahui sedini mungkin.
Menimbulkan lebih sedikit
denda dan gugatan; dengan adanya program audit maka diharapkan bahwa
perusahaan berjalan/ dioperasikan sesuai dengan peraturan dan standar yang
berlaku sehingga dapat menghindari denda akibat kelalaian
pengoperasian dan gugatan dari pihak yang bersengketa.
Menimbulkan persepsi yang
lebih baik kepada masyarakat dan pembuat peraturan; dengan melakukan
program audit maka masyarakat akan mengetahui keadaan perusahaan tersebut
dan dapat menilainya sehingga dapat
menimbulkan persepsi yang lebih baik, khususnya yang berkaitan dengan kesadaran akan
lingkungan.
Mengakibatkan penghematan
biaya yang potensial; dengan adanya program audit maka dapat diketahui
efisiensi pengoperasian perusahaan mulai dari penyimpanan bahan baku
sampai dengan penyimpanan barang jadi, sehingga jika terjadi ketidakefisienan
dapat segera diketahui dan dicarikan jalan keluarnya, hal ini memungkinkan
dilakukan penghematan.
Meningkatkan pengalihan
informasi; dengan melakukan audit lingkungan maka informasi tentang
kebijakan yang berkaitan dengan peraturan dan standar yang sebelumnya
kemungkin belum diketahui dapat segera diperoleh melalui konsultan pelaksana
audit.
Meningkatkan kesadaran akan
lingkungan; dengan melakukan audit lingkungan maka dapat diketahui secara
tepat apakah proses produksi dan limbah yang dihasilkan akan
menimbulkan pencemaran lingkungan atau tidak, sehingga hal ini dapat
meningktakan kesadaran akan lingkungan bagi pemilik dan karyawan
perusahaan tersebut.
Sedangkan kerugiannya adalah :
Hanya memberi gambaran
pengamatan yang sepintas dari pengoperasian proyek pada waktu tertentu
sehingga tidak dapat menggambarkan atau mewakili pengoperasian yang
sebenarnya secara keseluruhan;
Tidak termasuk dalam sistem
pengelolaan lingkungan Audit lingkungan masih belum merupakan kewajiban bagi
sebuah perusahaan. Audit lingkungan
ini hanya merupakan salah satu piranti pemantauan lingkungan dari sebuah kegiatan.
Belum adanya format yang
seragam dalam melaksanakan audit dan system penulisan laporan sehingga
sulit memperbandingkan antara audit yang satu dengan yang lain;
Karena kurangnya peraturan
dan pedoman yang tersedia, audit lingkungan banyak dilakukan
berdasarkan kriteria yang subyektif dan lebih banyak dipengaruhi oleh pendapat
dari si penyusun berdasarkan pengalamannya;
Hasil dari audit lingkungan
dapat digunakan untuk menuntut perusahaan, jika ada issue yang kritis atau
meresahkan;
Tanggung jawab terhadap
sumber daya untuk menjalankan program; perusahaan yang telah membuat laporan
audit lingkungan wajib melaksanakan
program yang disarankan di dalamnya;
Selama proses audit
kemungkinan terjadi penghentian sementara pengoperasian pabrik;
selama proses audit akan dilakukan peninjauan lapangan dan wawancara yang
melibatkan segenap pegawai dari perusahaan/pabrik
tersebut sehingga akan dapat menyebabkan penghentian proses produksi sementara;
Meningkatkan biaya untuk
pengatur; biaya tersebut adalah untuk menjalankan program yang telah
disarankan di dalam laporan audit lingkungan;
Meningkatkan
tanggung jawab yang salah satunya tidak dapat ditanggapi
oleh rekomendasi audit, termasuk di
dalamnya adalah pembayaran modal
yang berarti.
5.4 AUDIT LIMBAH
efinisi dari audit limbah adalah:
“Analisis rinci secara metodologis
terhadap proses perusahaan yang bertujuan
untuk meminimisasi atau bahkan menghilangkan limbah buangan dari unit proses”.
Aktivitas audit limbah meliputi:
pengamatan (obervasi), pengukuran (measuring), perekaman (recording), dan analisis sampel limbah
(analyzing). Suatu
audit limbah dikatakan baik, jika memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
Mengindentifikasi sumber, kuantitas dan jenis limbah yang
dihasilkan
Mengumpulkan seluruh data dari unit proses, produk, bahan
baku,
penggunaan air dan timbulan limbah
Menitikberatkan pada efisiensi dan inefisiensi proses
Mengidentifikasi luasan limbah, kehilangan dan masalahnya
Mengidentifikasi konstituen limbah
Menyusun target untuk reduksi limbah
Mendukung pembentukan strategi pengelolaan limbah yang
efektif secara
ekonomis
Meningkatkan pemahaman pekerja atas proses produksi dan
penghargaan
atas keuntungan dari proses reduksi
limbah.
Proses audit adalah proses yang
didasarkan pada kejadian pada waktu tertentu (snapshot in time),
sehingga merupakan fungsi waktu. Karenanya audit harus dilakukan setiap ada
perubahan besar, termasuk:
Perubahan biaya bahan baku
Perubahan peraturan
Perubahan biaya pembuangan limbah
Perubahan proses
Pendekatan proses audit limbah ada
enam fase, yaitu:
FASE I : PEMAHAMAN PROSES DALAM PABRIK
Langkah 1: Membuat list unit-unit
proses
Langkah 2: Membuat diagram alir proses
FASE II : PEMBATASAN MASUKAN DALAM
PROSES
Langkah 3 : Menetapkan penggunaan
sumber
Langkah 4 : Menginvestigasi
penyimpanan bahan baku dan kehilangan saat
penanganannya.
Langkah 5 : Merekam penggunaan air
Langkah 6 : Menetapkan level penggunaan
kembali limbah
FASE III : PEMBATASAN KELUARAN DARI
PROSES
Langkah 7 : Mengkuantifikasi keluaran
proses
Langkah 8 : Menghitung aliran air
limbah
Langkah 9 : Mendokumentasi limbah yang
disimpan dan dibuang ke tempat
pembuangan akhir
FASE IV : PENGUASAAN KESETIMBANGAN
MASSA
Langkah 10 : Merangkum informasi
masukan dan keluaran proses
Langkah 11 : Menurunkan kesetimbangan
massa awal untuk unit proses
Langkah 12 : Mengevaluasi
ketidakseimbangan massa
Langkah 13 : Menyempurnakan
kesetimbangan massa
FASE V : PENGIDENTIFIKASIAN ALTERNATIF
REDUKSI LIMBAH
Langkah 14 : Mengkaji cara-cara yang
digunakan dalam mereduksi limbah
Langkah 15 : Menargetkan masalah
aliran limbah
Langkah 16 : Membuat alternatif
reduksi limbah jangka panjang
FASE VI : ANALISIS C/B DAN PELAKSANAAN
RENCANA AKSI
Langkah 17 : Melaksanakan analsis
cost/benefit untuk pengolahan dan
reduksi limbah
Langkah 18: Melaksanakan rencana
implementasi, mengurangi limbah dan
meningkatkan efisiensi produksi.
5.5 AUDIT SISTEM MANAJEMEN LINGKUNGAN
Di dalam ISO 14001, audit SML
didefinisikan sebagai
”suatu proses yang tersistemas,
independen dan terdokumentasi untuk memperoleh dan mengevaluasi bukti
secara obyektif untuk mengevaluasi apakah SML dari organisasi sesuai dengan
kriteria audit SML yang dibuat organisasi”
Audit perlu dilakukan secara berkala,
untuk menentukan apakah sistem yang dilaksanakan sudah sesuai dengan
pengaturan yang direncanakan dan telah dijalankan dan dipelihara secara
benar, yang pelaksanaannya tergantung dari pentingnya masalah lingkungan
bagi kegiatan perusahaan dan hasil audit sebelumnya
Tujuan audit adalah untuk menentukan
apakah SML sesuai dengan pengaturan pengelolaan lingkungan yang sudah
dirncanakan dan apakah SML sudah diterapkan secara benar dan dipelihara
Menurut ISO 14001 : 2004 4.5.5, suatu
organisasi harus membuat dan memelihara program dan prosedur untuk
pelaksanaan audit SML secara berkala, agar dapat:
a. Menentukan apakah SML memenuhi atau
tidak memenuhi
Sesuai
dengan pengaturan yang direncanakan untuk manajemen lingkungan, termasuk
persyaratan yang tertera dalam Standard Internasional ini.
Telah
diterapkan dan dipelihara secara baik.
b. memberikan informasi ttg hasil
audit kpd pihak manajemen.
Langkah awal dari suatu pelaksanaan
audit lingkungan dengan melibatkan seluruh manajemen dan pekerja.
Keterlibatan ini bisa terjadi apabila mereka memahami keuntungan yang dapat
diperoleh dari:
Penurunan timbulan limbah
Penurunan konsumsi bahan baku
Penurunan biaya pengolahan limbah
Penurunan tingkat pertanggungjawaban
Peningkatan hubungan masyarakat
Peningkatan efisiensi proses sehingga meningkatkan
keuntungan perusahaan
Program audit organisasi, termasuk
jadwalnya, harus didasarkan pada pentingnya faktor lingkungan pada
kegiatan terkait dan hasil audit sebelumnya. Agar dapat lebih memberikan gambaran
lengkap, prosedur audit harus meliputi lingkup audit, frekuensi dan metodologi,
maupun tanggung jawab dan persyaratan pelaksanaan audit, dan pelaporan
hasilnya
Program dan Prosedur Audit sebaiknya
mencakup:
• Kegiatan dan lingkup yang
diperhatikan dalam audit
• Frekuensi audit
• Metodologi audit dan
bagaimana audit dilaksanakan
• Tanggung jawab yang
dikaitkan dengan pengelolan dan pelaksanaan audit
• Komunikasi atas hasil audit
• Kewenangan auditor/asesor
untuk melaksanakan audit
Lingkup audit sebaiknya dibatasi
terhadap persyaratan yang ditentukan oleh SML, dan sebaiknya tidak
mencakup kinerja lingkungan itu sendiri Audit SML memberikan potret
dalam suatu waktu tertentu tentang keefektifan SML. Proses didesain sedemikian sehingga
bukti-bukti kuantitatif atau kualitatif menentukan apakah kriteria
audit dipenuhi.
Metode yang dapat dilakukan untuk
mengumpulkan bukti adalah sebagai berikut:
Wawancara dengan personil
Pemeriksaan dokumen
Pengamatan kegiatan
Pengamatan kondisi kerja
Data pengujian
Data pemantauan
Rekaman lainnya
SIMPULAN
Audit lingkungan adalah salah satu
instrumentasi untuk melakukan control terhadap pelaksanaan pengaturan
pengelolaan lingkungan yang sudah direncanakan. Untuk menjaga kualitas lingkungan
dapat pula melakukan audit limbah dan audit sistem.
Pedoman Umum Audit Lingkungan
Keputusan Menter i Negara Lingkungan
Hidup No. 4 2 Tahun 1994 Tentang Pedoman Umum Pelaksanaan Audit Lingkungan
Menimbang :
1. bahwa set iap orang yang
menjalankan suatu bidang usaha atau kegiatan wajib memelihara kelestar ian
kemampuan lingkungan hidup yang serasi dan seimbang untuk menunjang
pembangunanyang berkelanjutan;
2. bahwa audit lingkungan sebagai
suatu perangkat pengelolaan yang dilakukan secara dasar telah diakui
merupakan alat yang efekt if dan sangat bermanfaat bagi suatu usaha atau
kegiatan dalam mengelola lingkungan hidup;
3. bahwa audit lingkungan adalah suatu
proses untuk melaksanakan kajian secara sistemat ik,
terdokumentasi, berkala, dan obyekt if terhadap prosedur dan praktek-praktek dalam
pengelolaan lingkungan hidup;
4. bahwa audit lingkungan dapat
membantu menemukan upaya penyelesaian yang efekt if tentang masalah
lingkungan hidup yang dapat dihadapi suatu usaha atau kegiatan,
sehingga dapat meningkatkan kiner ja usaha atau kegiatan yang bersangkutan
dalam kaitan dengan pelestarian kemapuan lingkungan;
5. bahwa oleh karena itu dipandang per
lu untuk menetapkan suatu pedoman umum tentang pelaksanaan audit
lingkungan dengan suatu keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup;
Mengingat :
1. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982
tentang Ketentuan-ketentauan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran
Negara R.I . Nomor 12 Tahun 1982, Tambahan Lembaran Negara R.I . Nomor
3215) ;
2. Peraturan Pemer intah Nomor 51
Tahun 1993 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Lembaran Negara R.I
. Nomor 84 Tahun 1993, Tambahan Lembaran
Negara R. I . Nomor 3538) ;
3. Keputusan Presiden Republik
Indonesia Nomor 44 Tahun 1993 tentang Kedudukan, Tugas Pokok, Fungsi, dan
Tata Ker ja Menter i Negara serta Organisasi Staf Menter i Negara;
4. Keputusan Presiden Republik
Indonesia Nomor 96/M Tahun 1993 tentang Pembentukan Kabinet
Pembangunan VI ;
MEMUTUSKAN
Menetapkan
KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN
HIDUP TENTANG PEDOMAN UMUM
PELAKSANAAN AUDIT LINGKUNGAN
Per tama
Audit Lingkungan merupak suatu
kegiatan yang diajurkan untuk dilaksanakan oleh dan merupakan tanggung
jawab pihak penanggung jawab usaha atau kegiatan;
Kedua
Audit Lingkungan dapat dilaksanakan
sesuai dengan prinsip-prinsip dasar sebagaimana tercantum pada lampiran
keputusan ini;
Ketiga
1. Penanggung jawab usaha atau
kegiatan dapat member ikan sebagian atau seluruh laporan audit lingkungan
kepada Pemer intah, masyarakat umum atau organisasi lainnya dengan
tujuan;
2. mempublikasi upaya pengelolaan dan
pemantauan lingkungan; untuk itu hasil audit lingkungan dapat dimintakan
keabsahannya dar i instansi yang ditugasi mengendalikan dampak lingkungan;
3. pengembagan sistem pengelolaan dan
pemantauan lingkungan;
4. meningkatkan kiner ja lingkungan
suatu usaha atau kegiatan;
5. tujuan lainnya sebgaimana
ditentukan oleh usaha atau kegiatan yang bersangkutan;
Keempat
Keputusan ini mulai ber laku pada
tanggal, dan apabila terdapat kekeliruan maka keputusan ini akan dit
injau kembali.
Di tetapkan di : Jakar ta
Pada tanggal : 22 Nopember 1994
Menteri Negara Lingkungan Hidup,
ttd.
Sarwono Kusumaatmadja
Lampiran Keputusan Menter i Negara
Lingkungan Hidup
No. 4 2 Tahun 1 9 9 4
PRI NSI P-PRI NSI P DAN PEDOMAN UMUM
PELAKSANAAN AUDI T
LI NGKUNGAN
A. FUNGSI DAN TUJUAN
Pedoman Umum Pelaksanaan Audit
Lingkungan dimaksudkan sebagai acuan untuk melakukan pelaksanaan audit
lingkungan bagi suatu usaha atau kegiatan.
Audit lingkungan yang dimaksud dalam
keputusan ini dilaksanakan secara sukarela oleh penanggung jawab usaha
atau kegiatan dan merupakan alat pengelolaan dan pemantauan lingkungan
yang bersifat internal. Dengan adanya
pedoman ini, maka pengelolaan dan pemantauan lingkungan suatu usaha atau kegiatan
diharapkan dapat dilakukan dengan baik, lebih terarah, efekt if dan efisien.
B. PENDAHULUAN
1. Definisi
Audit Lingkungan adalah suatu atau
manajemen yang meliput i evaluasi secara sistematik, terdokumentasi, per
iodik dan objekt if tentang bagaimana
suatu kiner ja organisasi, sistem manajemen dan peralatan dengan tujuan memfasilitasi
kont rol manajemen terhadap pelaksanaan upaya nengendalian dampak
lingkungan dan pengkaj ian pentaatan
kebijakan usaha atau kegiatan terhadap
peraturan perundang undangan tentang
pengelolaan lingkungan.
Audit Lingkungan suatu usaha atau
kegiatan merupakan perangkat manajemen
yang dilakukan secara internal oleh suatu usaha atau kegiatan sebagai tanggung
jawab pengelolaan dan pemantauan lingkungannya. Audit lingkungan bukan
merupakan pemer iksaan resmi yang
diharuskan oleh suatu peraturan perundang-undangan, melainkan suatu usaha proakt if yang
dilaksanakan secara sadar untuk mengindent
ifikasi permasalahan lingkungan yang akan t imbul sehingga dapat dilakukan upaya-upaya
pencegahannya.
2. Fungsi
Fungsi audit lingkungan adalah sebagai
:
(a) Upaya peningkatan pentaatan suatu
usaha atau kegiatan terhadap peraturan
perundang-undangan lingkungan, misalnya : standar emisi udara, limbah cair ,
penanganan limbah dan standar operasi lainnya;
(b) Dokumen suatu usaha atau kegiatan
tentang pelaksanaan standar operasi,
prosedur pengelolaan dan pemantauan lingkungan termasuk rencana tangggap
darurat , pemantauan dan pelaporan serta rencana perubahan pada proses
dan peraturan;
(c) Jaminan untuk rnenghindari
perusakan atau kecenderungan kerusakan
lingkungan;
(d) Bukt i keabsahan prakiraan dampak
dan penerapan rekomendasi yang
tercantum dalam dokurnen AMDAL, yang berguna dalam penyempurnaan proses AMDAL;
(e) Upaya perbaikan penggunaan
sumberdaya melalui penghematan penggunaan
bagan, minimisasi limbah dan ident ifikasi kemungkinan proses daur
ulang;
( f) Upaya untuk meningkatkan tindakan
yang telah dilaksanakan atau yang
per lu dilaksanakan oleh suatu usaha atau kegiatan untuk memenuhi kepent ingan
lingkungan, misalnya pembangunan yang berkelanjutan, proses daur ulang dan
efisiensi penggunaan
sumberdaya.
3. Manfaat
Audit Lingkungan bermanfaat untuk:
(a) Mengindent ifikasi r isiko
lingkungan;
(b) Menjadi dasar bagi pelaksanaan
kebijaksanaan pengelolaan lingkungan
atau upaya penyempurnaan rencana yang ada;
(c) Menghindar i kerugian finansial
seperti penutupan / pemberhentian suatu usaha atau kegiatan atau
pembatasan oleh pemerintah, atau
publikasi yang merugikan akibat pengelolaan dan pemantauan lingkungan yang
t idak baik;
(d) Mencegah tekanan sanksi hukum
terhadap suatu usaha atau kegiatan
atau terhadap pimpinannya berdasarkan pada peraturan perundang-undangan yang ber
laku;
(e) Membukt ikan pelaksanaan pengelolaan
lingkungan apabila dibutuhkan
dalam proses pengadilan;
(f) Meningkatkan kepedulian pimpinan/
penanggung jawab dan staf suatu
badan usaha atau kegiatan tentang pelaksanaan kegiatannya terhadap
kebijakan dan tanggung jawab lingkungan;
(g) Mengident ifikasi kemungkinan
penghematan biaya melalui upaya konservasi
energi, dan pengurangan, pemakaian ulang dan daur ulang limbah;
(h) Menyediakan laporan audit
lingkungan bagi keper luan usaha atau kegiatan yang bersangkutan, atau bagi
keper luan kelompok pemerhat
i lingkungan, pemer intah, dan media massa;
( i) Menyediakan informasi yang
memadai bagi kepent ingan usaha usaha
atau kegiatan asuransi, lembaga keuangan, dan
pemegang saham.
C. RUANG LINGKUP
Audit Lingkungan per lu disusun
sedemikian rupa, sehingga dapat memberikan informasi mengenai :
1. sejarah atau rangkaian suatu usaha
atau kegiatan, rona dan kerusakan lingkungan di tempat usaha atau
kegiatan tersebut , pengelolaan dan pemantauan yang dilakukan, ser ta isu
lingkungan yang terkait ;
2. perubahan rona lingkungan sejak
usaha atau kegiatan tersebut
didirikan sampai waktu terakhir
pelaksanaan audit ;
3. penggunaan input dan sumberdaya
alam, proses bahan dasar, bahan jadi,
dan limbah termasuk limbah B3;
4. identifikasi penanganan dan
penyimpanan bahan kimia, B3 ser ta potensi kerusakan yang mungkin t
imbul;
5. kaj ian resiko lingkungan;
6. sistem kont rol manajemen, rute
pengangkutan bahan dan pembuangan limbah, termasuk fasilitas untuk
meminimumkan dampak buangan dan kecelakaan;
7. effekt ifitas alat pengendalian
pencemaran seper t i ditunjukkan dalam
laporan inspeksi, perawatan, uj i
emisi, uj i rut in, dll;
8. catatan tentang lisensi pembuangan
limbah dan pentaatan terhadap peraturan
perundang-undangan termasuk standar dan baku mutu lingkungan;
9. pentaatan terhadap hasil dan
rekomendasi AMDAL (Rencana Pengelolaan
Lingkungan dan Rencana Pemantauan Lingkungan) ;
10. perencanaan dan prosedur standar
operasi keadaan darurat ;
11. rencana minimalisasi limbah dan
pengendalian pencemaran lingkungan;
12. penggunaan energi, air dan
sumberdaya alam lainnya;
13. program daur ulang, konsiderasi
product life cycle;
14. peningkatan kemampuan sumberdaya
manusia dan kepedulian lingkungan.
Ruang lingkup audit lingkungan sangat
luwes, tergantung pada kebutuhan atau kegiatan yang bersangkutan.
D. PRINSIP-PRINSIP DASAR
1. Karakter ist ik dasar
Audit Lingkungan mempunyai cir i khas
sebagai berikut:
(a) Metodotogi yang komprehensif;
Audit lingkungan memer lukan tata
laksana dan metodologi yang r
inci. Audit lingkungan harus dilaksanakan dengan metodologi yang komprehensif dan
prosedur yang telah ditentukan, untuk
menjamin pengumpulan data dan
informasi yang dibutuhkan serta dokumentasi
dan penguj ian informasi tersebut .
Metodologi tersebut harus fleksibel
sehingga tim auditor dapat menerapkan
teknik- teknik yang tepat . Audit lingkungan harus berpedoman kepada
penggunaan rencana yang sistemat ik dan
sesuai dengan prosedur pelaksanaan
audit lapangan dan penyusunan
laporan.
(b) Konsep pembukt ian dan pengujian;
Konsep pembukt ian dan penguj ian
terhadap penyimpangan pengelolaan
lingkungan adalah hal yang pokok dalam audit ingkungan. Tim audit harus
mengkonfirmasikan semua data
dan informasi yang diperolehnya
melalui pemer iksaan lapangan secara
langsung.
(c) Pengukuran dan standar yang
sesuai;
Penetapan standardan pengukuran ter t
iadap kiner ja Hngkungan harus
sesuai dengan usaha atau kegiatan dan proses produksi yang diaudit . Audit
lingkungan t idak akan berait i kecuali Ha
kiner ja usaha atau kegiatan dapat
dibandingkandengan standar yang
digunakan
(d) Laporan ter tulis.
Laporan harus mernuat hasH pengamatan
dan fakta- iakta penun ser
ta dokumentasi terhadap proses produksi. Seluruh data dan basil temuan barus disajikan
dengan lekas dan
akurat , serta dilandasi dengan bukt’ yang
sahib dan terdokumentasi.
2. Kunci keberhasilan
(a) Dukungan pihak pimpinan
Pelaksanaan audit lingkungan harus
diawali dengan adanya itikad pimpinan
usaha atau kegiatan. Usaha atau kegiatan dan proses audit dapat menjadi sangat
kompleks dan pelaksanaan audit lingkungan
menjadi t idak efekt if bila t idak ada dukungan yang
kuat dari pimpinan usaha atau
kegiatan. Selain itu tim auditor harus pula diber i keleluasan untuk
mengkaj i hal-hal yang sensit if dan berpotensi menimbulkan dampak
lingkungan.
(b) Keikutser taan semua pihak
Keberhasilan audit lingkungan
ditentukan pula oleh keikutser taan dan kerjasama yang baik dar i semua
pihak dalam usaha atau kegiatan
yang bersangkutan, mengingat kaj ian terhadap kiner ja lingkungan akan meliput i
semua aspek dan pelaksanaan tugas secara luas.
(c) Kemandir ian dan obyekt ifitas
auditor
Tim audit lingkungan harus mandir i
dan t idak ada keterikatan dengan
usaha atau kegiatan yang diaudit . Apabila t idak, maka obyekt ifitas dan
kredibilitas akan diragukan. Pada umumnya, kemandirian auditor
diartikan bahwa tim auditor harus dilaksanakan oleh orang di luar usaha
atau kegiatan yang diaudit.
(d) Kesepakatan tentang tata laksana
dan lingkup audit Harus ada kesepakatan
awal antara pimpinan usaha atau kegiatan dengan tim auditor tentang lingkup
audit lingkungan yang akan
dilaksanakan.
E. PEDOMAN UMUM PELAKSANAAN AUDIT
LINGKUNGAN
1. Tata Laksana
Pelaksanaan audit lingkungan per lu
mengikuti suatu tata laksana audit. Tata laksana audit merupakan suatu
rencana yang harus diikut i oleh auditor untuk dapat mencapai tujuan
audit yang diharapkan. Dengan mengacu
pada tata laksana tersebut maka diharapkan adanya konsistensi dalam
pelaksanaan audit dan pelaporan hasil audit. Tata laksana audit sangat
beragam dan tergantung pada jenis usah dan karakteristik lingkungan.
Berikut ini adalah beberapa tata
laksana audit yang umum dilaksanakan:
(a) Daftar Isian.
Bentuk pelaksanaan audit yang paling
sederhana adalah
mempergunakan daftar isian dar i laporan yang akan dihasilkan sebagai acuan
audit.
(b) Checklist.
Jenis ini merupakan cara yang umum
digunakan yaitu dengan
mempergunakan daftar yang r inci mengenai isi yang akan diaudit .
(c) Daftar pertanyaan.
Daftar pertanyaan ser ingkali
digunakan dalam pelaksanaan
audit, dan daftar per tanyaan tersebut harus dijawab secara lengkap oleh auditor
. Pada umumnya, auditor telah mempersiapkan
format baku untuk melaksanakan audit dan menyusun laporan akhir .
(d) Pedoman. Audit dengan menggunakan
pedoman merupakan jenis tata
laksanana yang paling rinci.
Pedoman ini memuat instruksi-instruksi dan petunjuk
pelaksanaan yang harus dilaksanakan oleh auditor , se ta aspek yang
harus ditelit i.
2. Pelaksanaan.
Tahapan pelaksanaan audit lingkungan
adalah sebagai ber ikut:
1. Pendahuluan
Penerapan audit lingkungan akan
tergantung kepada jenis audit yang
dilaksanakan, jenis usaha atau kegiatan dan pelaksanaan oleh tim auditor .
2. Pra-audit
Kegiatan pra-audit merupakan bagian
yang pent ing dalam prosedur
audit lingkungan. Perencanaan yang baik pada tahap ini akan menentukan
keberhasilan pelaksanaan audit dan t indak lanjut audit tersebut.
Informasi yang diper lukan pada tahap
ini meliputi informasi rinci mengenai
aktifitas di lapangan, status hukum, instruktur organisasi, dan lingkup
usaha atau kegiatan yang akan diaudit.
Aktifitas pra-audit juga meliput i
pemilihan tata laksana audit, penentuan
tim auditor, dan pendanaan
pelaksanaan kegiatan audit
. Pada saat ini, tujuan dan ruang lingkup audit harus telah disepakati.
3. Kegiatan Lapangan
(1) Per temuan pendahuluan
Tahap awal yang harus dilaksanakan
oleh tim audit adalah mengadakan
per temuan dengan pimpinan usaha atau kegiatan untuk mengkaj i tujuan audit,
tata laksana, dan jadual
kegiatan audit .
(2) Pemer ikasaan lapangan
Pemer iksaan di lapangan dilaksanakan
setelah pertemuan pendahuluan.
Tim audit akan mendapatkan gambaran tentang kegiatan usaha atau kegiatan
yang akan menjadi dasar
penetapan areal kegiatan yang memerlukan perhatian secara khusus, Dengan
melaksanakan pemer iksaan lapangan,
tim auditor dapal menemukan hal-hal yang terkait erat dengan
kegiatan audit namun belum ter
ident ifikasi dalam perencanaan.
(3) Pengumpulan data
Data dan informasi yang dikumpulkan
selama audit lingkungan
akan mencakup tata laksana audit, dokumentasi yang diberikan oleh pemilik
usaha atau kegiatan, catatan dan
hasil pengamatan t im auditor , hasil sampling dan pemantauan, foto- foto,
rencana, peta, diagram, ker tas ker
ja dan hal-hal lain yang berkaitan. Informasi tersebut harus terdokumentasi dengan
baik agar mudah ditelusuri kembali.
Tujuan utama pengumpulan data adalah untuk menunjang dan merupakan
dasar bagi penguj ian temuan audit
lingkungan.
(4) Penguj ian;
Pr insip utama audit lingkungan adalah
bahwa informasi yang
disaj ikan oleh t im audiotor telah diuj i dan dikonfirmasikan.
Dokumentasi yang dihasilkan oleh t im
auditor harus menunjang semua
pernyataan, atau telah teruj
i melalui pengamatan langsung oleh t im auditor. Dalam menguj i hasil temuan
audit , tim auditor harus menjamin
bahwa dokumen yang dihasilkan merupakan dokumen yang asli dan sah.
Oleh karena itu tata laksana
audit harus menentukan t ingkat penguj
ian data yang dibutuhkan,
atau harus ditentukan oleh t im auditor.
(5) Evaluasi hasil temuan
Hasil temuan audit harus dievaluasi
sesuai dengan tujuan audit
dan tata laksana yang telah disetujui untuk menjamin bahwa semua isu/masalah
telah dikaji. Dokumentasi
penunjang harus dikaj i secara telit i
sehingga semua hasil temuan
telah ditunjang oleh data dan diuj i secara tepat .
(6) Per temuan akhir
Setelah penelit ian lapangan selesai,
tim auditor harus memaparkan
hasil temuan pendahuluan dalam suatu per temuan akhir secara resmi. Per
temuan ini akan mendiskusikan
berbagai hal yang belum terpecahkan atau informasi yang belum
tersedia. Tim auditor harus mengkaji
hasil per temuan secara gar is besar
dan menentukan waktu penyelesaian
laporan ahkir. Seluruh dokumentasi selama penelit ian harus
dikembalikan kepada penanggung jawab usaha atau kegiatan.
4. Pasca Audit
Tim auditor akan menyusun laporan ter
tulis secara lengkap sebagai
hasil pelaksanaan audit lingkungan. Laporan tersebut juga mencakup pemaparan tentang
rencana t indak lanjut terhadap isu-isu yang telah diidentifikasi.
F. SIFAT KERAHASIAAN
Laporan hasil audit lingkungan
merupakan milik usaha atau kegiatan yang diaudit dan bersifat
rahasia. Namun demikian, dunia usaha atau kegiatan sesuai dengan kebebasannya
dapat menyampaikan laporan audit lingkungan kepada pemer intah,
masyarakat luas atau organisasi lainnya dengan tujuan sebagai ber ikut :
(a) Publikasi terhadap upaya
pengelolaan dan pemantauan lingkungan yang telah dilakukan. Pemer
intah dapat member ikan ver t ifikasi atas hasil audit ;
(b) Ant isipasi kebutuhan penilaian
per ingkat kiner ja usaha atau kegiatan lainnya;
(c) Tujuan lainnya yang ditetapkan
oleh usaha atau kegiatan tersebut.
Kebijakan audit lingkungan dalam hal
ini t idak membatasi hai-hal sebagai ber ikut :
(a) Hak pemer intah untuk melaksanakan
pemer iksanaan secara rut in pada suatu usaha atau kegiatan;
(b) Hak pemer intah untuk melaksanakan
pemer iksaan terhadap suatu kegiatan
yang dicur igai sebagai kelalaian, penghindaran kewaj iban dan pelanggaran terhadap
pentaatan hukum dan peraturan;
c) Hak pemer intah untuk meminta
sesuatu informasi khusus sebagai dasar penentuan per ingkat kiner ja lingkungan
suatu usaha atau kegiatan pelanggaran
terhadap pentaatan hukum dan peraturan:
(d) Tanggung jawab dunia usaha atau
kegiatan untuk menyediakan data hasil
pengelolaan dan pemantauan kepada pemer intah sesuai ketentuan Undang-undang Nomor 4 Tahun
1982, Peraturan Pemer intah Nomor 51 Tahun 1993 dan peraturan pelaksanaan
lainnya
G. PENGAWASAN MUTU HASIL AUDIT
Dalam rangka menjamin bahwa audit
lingkungan akan dilaksanakan secara baik dan profesional, maka usaha atau
kegiatan atau organisasi (non pemer
intah) dianjurkan untuk membuat dan melaksanakan kode et ik ser ta ser t ifikasi auditor
lingkungan.
Auditor lingkungan harus mempunyai
pendidikan yang sesuai dan memiliki pengalaman profesional untuk dapat
melaksanakan tugasnya. Kemampuan
yang harus dimiliki oleh t im auditor adalah meliput i pengetahuan tentang :
- Proses, prosedur dan teknis audit
- Karakter ist ik dan analisis tentang
sistem manajemen
- Peraturan perundang-undangan dan
kebijaksanaan lingkungan
- Sistem dan teknologi pengelolaan
lingkungan, kesehatan dan keselamatan
ker ja
- Fasilitas usaha atau kegiatan yang
akan diaudit
- Potensi dampak lingkungan, kesehatan
dan keselamatan ker ja serta resiko
bahaya
Auditor juga per lu mendapatkan pelat
ihan dan peningkatan kemampuan dalam bidang yang dibutuhkan dalam audit ,
meliput i:
- Kemampuan berkomunikasi
- Kemampuan perencanaan dan
penjadualan ker ja
- Kemampuan untuk menganalisis data
dan hasil temuan
- Kemampuan untuk menulis laporan
audit
Auditor lingkungan harus ter lat ih
secara profesional untuk menjamin ketepatan, konsistensi dan objekt
ifitas dalam pelaksanaan audit . Auditor harus mengikut i kode et ik
auditor yang ada.
Proposal Program Pelat ihan Pengenalan Inst rumen
Ekonomi Untuk Pengendalian Dampak Lingkungan
1. Latar belakang
Sampai saat ini pendekatan dalam
menangani masalah lingkungan di Indonesia hampir seluruhnya ber tumpu
pada inst rumen legal yang di wujudkan dalam bentuk peraturan
perundangan. Kenyataan dibeberapa negara menunjukkan bahwa peraturan perundangan
saja t idaklah cukup untuk memaksa para pelaku perusak lingkungan untuk
memasukkan biaya lingkungan sebagai bagian dan biaya kegiatannya.
Inst rumen ekonomi atau yang lebih
dikenal dengan sistem “ Insensif” akhir-akhir
ini berkembang sebagai alternat if ataupun pelengkap pendekatan untuk mencapai tujuan dalam upaya
pengendalian dampak lingkungan. Pendekatan ini pada dasarnya ber tumpu
pada pr insip menawarkan finansial intensif ataupun disinsent if kepada
para pelaku ekonomi untuk membayar bila merusak lingkungan atau menanam modal
untuk t idak merusak lingkungan. Dengan demikian, make jelaslah
bahwa penerapan inst rumen ini akan sangat membantu dalam penerapan “Polluters Pay Principles” .
Melihat kenyataan ini, maka Bapedal
beker jasama dengan German Foundation For Internat ional Development (DSE)
bernmaksud mengadakan pelat ihan pengenalan inst rumen ekonomi untuk
pengendalian dampak lingkungan.
2. Tujuan
Pelat ihan ini diharapkan dapat
membantu para peser ta untuk mengenal sebagai inst rumen ekonomi untuk
pengendalian dampak lingkungan. Selain
mengenal berbagai inst rumen tersebut , para peser ta juga diharapkan akan memahami persyaratan
penggunaan inst rumen ekonomi kelemahan dan keuntungan ser ta
pengadminist rasian penggunaan inst rumen ekonomi.
PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP REPUBLIK INDONESIA NOMOR 03
TAHUN 2013 TENTANG AUDIT LINGKUNGAN
HIDUP
Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 52
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, perlu
menetapkan Peraturan
Menteri Lingkungan Hidup tentang Audit Lingkungan Hidup; Mengingat : Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2009 Nomor 140 Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5059);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP TENTANG AUDIT
LINGKUNGAN HIDUP.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
1. Audit Lingkungan Hidup adalah evaluasi yang dilakukan untuk menilai ketaatan penanggung jawab
Usaha dan/atau Kegiatan terhadap persyaratan hukum dan
kebijakan yang
ditetapkan oleh pemerintah.
2. Usaha dan/atau Kegiatan adalah segala bentuk aktivitas yang dapat menimbulkan perubahan terhadap
rona lingkungan hidup serta menyebabkan dampak
terhadap lingkungan hidup.
3. Auditor Lingkungan Hidup adalah seseorang yang memiliki
Kompetensi untuk melaksanakan Audit Lingkungan Hidup.
4. Lembaga Penyedia Jasa Audit Lingkungan Hidup adalah badan hukum yang bergerak dalam bidang jasa
Audit Lingkungan Hidup.
5. Kegiatan Berisiko Tinggi adalah Usaha dan/atau Kegiatan yang jika terjadi kecelakaan dan/atau
keadaan darurat menimbulkan dampak yang besar dan luas
terhadap kesehatan manusia dan lingkungan hidup.
6. Dokumen Lingkungan Hidup adalah dokumen yang memuat pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup yang
terdiri atas analisis mengenai dampak lingkungan hidup
(Amdal), upaya pengelolaan lingkungan hidup dan upaya
pemantauan lingkungan hidup (UKL-UPL), surat
pernyataan kesanggupan pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup (SPPL), dokumen
pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup (DPPL), studi
evaluasi mengenai dampak lingkungan hidup (SEMDAL),
studi evaluasi lingkungan hidup (SEL), penyajian
informasi
lingkungan (PIL), penyajian evaluasi lingkungan (PEL), dokumen pengelolaan lingkungan hidup (DPL),
rencana pengelolaan lingkungan dan rencana
pemantauan lingkungan (RKL-RPL), dokumen evaluasi
lingkungan hidup (DELH), dokumen pengelolaan lingkungan
hidup (DPLH),
dan Audit Lingkungan Hidup.
7. Instansi Lingkungan Hidup Kabupaten/Kota adalah instansi yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup kabupaten/kota.
8. Instansi Lingkungan Hidup Provinsi adalah instansi yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di
bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup provinsi.
9. Kompetensi adalah kemampuan personil untuk mengerjakan suatu tugas dan pekerjaan yang
dilandasi oleh pengetahuan, keterampilan, dan sikap kerja
yang dapat dipertanggungjawabkan.
10. Kriteria Kompetensi adalah suatu rumusan mengenai lingkup kemampuan personil yang dilandasi
oleh pengetahuan, keterampilan dan didukung
sikap kerja serta penerapannya di tempat kerja yang mengacu
pada unjuk kerja yang dipersyaratkan.
11. Lembaga Pelatihan Kompetensi Auditor Lingkungan Hidup, yang selanjutnya disebut LPK Auditor
Lingkungan Hidup adalah lembaga yang memiliki sarana dan
prasarana bagi
pelatihan dalam Audit Lingkungan Hidup dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh Menteri
Lingkungan Hidup.
12. Penilaian Kompetensi adalah kegiatan untuk mengevaluasi tingkat pengetahuan, keterampilan personil,
dan sikap kerja yang memenuhi kriteria Kompetensi
yang telah ditetapkan.
13. Sertifikat Kompetensi adalah tanda pengakuan Kompetensi seseorang yang memenuhi standar Kompetensi
tertentu setelah melalui uji Kompetensi.
14. Pengakuan Penyetaraan adalah pengakuan terhadap kurikulum pelatihan Kompetensi Auditor
Lingkungan Hidup atau Sertifikat Kompetensi Auditor
Lingkungan Hidup yang berasal
dari luar negeri.
15. Lembaga Sertifikasi Kompetensi Auditor Lingkungan Hidup, yang selanjutnya disebut LSK Auditor
Lingkungan Hidup adalah lembaga pelaksana Penilaian
Kompetensi dan
pelaksana sertifikasi Kompetensi dalam Audit Lingkungan Hidup.
16. Registrasi Kompetensi adalah rangkaian kegiatan pendaftaran dan dokumentasi terhadap
Lembaga Penyedia Jasa Audit Lingkungan Hidup dan LPK Audit
Lingkungan
Hidup yang telah memenuhi persyaratan tertentu.
17. Akreditasi adalah penilaian kelayakan lembaga pendidikan dan pelatihan dalam menyelenggarakan
program pendidikan dan pelatihan tertentu yang
ditetapkan dalam
Surat Keputusan dan Sertifikat Akreditasi oleh instansi pembina.
18. Sistem Manajemen Mutu adalah suatu sistem yang dilaksanakan untuk menjaga kualitas dari
suatu pelaksanaan kegiatan yang meliputi
perencanaan, seleksi dan penugasan tenaga pelaksana, penerapan
prosedur operasional standar, dokumentasi, evaluasi,
dan pelaporan.
19. Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup adalah Pegawai Negeri Sipil yang diberi tugas, tanggungjawab,
wewenang, dan hak secara penuh oleh pejabat yang berwenang
untuk
melaksanakan kegiatan pengawasan lingkungan hidup sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
20. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup.
Pasal 2
Peraturan Menteri ini bertujuan memberikan pedoman untuk pelaksanaan:
a. sertifikasi Kompetensi Auditor Lingkungan Hidup; dan
b. Audit Lingkungan Hidup.
Pasal 3
Peraturan Menteri ini mengatur mengenai:
a. Kompetensi Auditor Lingkungan Hidup;
b. tata laksana Audit Lingkungan Hidup;
c. pembinaan dan pengawasan; dan
d. pembiayaan.
Pasal 4
Audit Lingkungan Hidup terdiri atas:
a. Audit Lingkungan Hidup yang bersifat sukarela; dan
b. Audit Lingkungan Hidup yang diwajibkan.
Pasal 5
(1) Audit Lingkungan Hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dilakukan oleh tim Audit Lingkungan
Hidup.
(2) Tim Audit Lingkungan Hidup sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) terdiri atas:
a. 1 (satu) orang auditor utama, sebagai ketua tim;
b. paling sedikit 1 (satu) orang Auditor Lingkungan Hidup, sebagai anggota tim; dan
c. ahli yang membidangi Usaha dan/atau Kegiatan yang bersangkutan, sebagai anggota tim.
Pasal 6
Dalam melaksanakan Audit Lingkungan Hidup, tim Audit Lingkungan Hidup wajib menggunakan
metodologi:
a. standar nasional indonesia; dan/atau
b. standar/pedoman lain,
berdasarkan tujuan pelaksanaan Audit Lingkungan Hidup.
BAB II
KOMPETENSI AUDITOR LINGKUNGAN HIDUP
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 7
(1) Auditor Lingkungan Hidup meliputi:
a. Auditor Lingkungan Hidup perorangan; atau
b. Auditor Lingkungan Hidup yang tergabung dalam lembaga penyedia jasa Audit Lingkungan
Hidup.
(2) Kualifikasi Auditor Lingkungan Hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
a. auditor utama; dan
b. auditor.
(3) Kriteria Kompetensi untuk auditor utama sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf a meliputi kemampuan:
a. memahami prinsip, metodologi, dan tata laksana Audit Lingkungan Hidup;
b. melakukan Audit Lingkungan Hidup yang meliputi tahapan perencanaan, pelaksanaan,
pengambilan kesimpulan, dan pelaporan;
c. merumuskan rekomendasi langkah perbaikan sebagai tindak lanjut Audit Lingkungan Hidup;
d. menunjuk dan mengoordinasikan kegiatan auditor di bawah tanggungjawabnya sebagai auditor
utama;
e. merumuskan kesimpulan Audit Lingkungan Hidup;
f. mengoordinasikan penyusunan dan penyampaian laporan hasil Audit Lingkungan Hidup; dan
g. memenuhi kriteria lain yang ditetapkan oleh LSK Auditor Lingkungan Hidup.
(4) Kriteria Kompetensi untuk auditor sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b meliputi kemampuan:
a. memahami prinsip, metodologi, dan tata laksana Audit Lingkungan Hidup;
b. melakukan Audit Lingkungan Hidup yang meliputi tahapan perencanaan, pelaksanaan,
pengambilan kesimpulan, dan pelaporan;
c. merumuskan rekomendasi langkah perbaikan sebagai tindak lanjut Audit Lingkungan Hidup; dan
d. memenuhi kriteria lain yang ditetapkan oleh LSK Auditor Lingkungan Hidup.
Bagian Kedua
Sertifikasi Kompetensi dan Lembaga Sertifikasi Kompetensi
Auditor Lingkungan Hidup
Pasal 8
(1) Auditor Lingkungan Hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 wajib memiliki Sertifikat
Kompetensi Auditor Lingkungan Hidup.
(2) Untuk memperoleh Sertifikat Kompetensi Auditor Lingkungan Hidup sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 7 ayat (1), Auditor Lingkungan Hidup wajib:
a. memenuhi kriteria Kompetensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (3) dan ayat (4);
b. mengikuti dan lulus pelatihan Audit Lingkungan Hidup; dan
c. mengikuti uji Kompetensi yang diselenggarakan oleh LSK Auditor Lingkungan Hidup.
(3) Uji Kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c terdiri atas:
a. penilaian portofolio; dan
b. uji tertulis dan/atau wawancara.
(4) Penilaian portofolio sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a dilakukan terhadap:
a. latar belakang pendidikan;
b. pelatihan di bidang Audit Lingkungan Hidup;
c. pengalaman kerja di bidang lingkungan hidup; dan
d. pengalaman melakukan Audit Lingkungan Hidup.
(5) Uji tertulis dan/atau wawancara sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b dilakukan terhadap
penguasaan kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal
7.
6
Pasal 9
(1) Sertifikat Kompetensi Auditor Lingkungan Hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1)
diterbitkan oleh LSK Auditor Lingkungan Hidup yang
ditunjuk oleh Menteri.
(2) Sertifikat Kompetensi Auditor Lingkungan Hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku
selama 3 (tiga) tahun dan dapat diperpanjang.
Pasal 10
(1) LSK Auditor Lingkungan Hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 wajib memiliki:
a. Sistem Manajemen Mutu;
b. penguji atau penilai yang memiliki pengalaman paling sedikit 5 (lima) tahun di bidang Audit
Lingkungan Hidup dan/atau 5 (lima) kali melakukan
Audit Lingkungan Hidup sebagai auditor utama;
c. sistem informasi publik yang terkait dengan pelaksanaan sertifikasi Kompetensi; dan
d. mekanisme penanganan pengaduan dari pengguna jasa dan publik.
(2) LSK Auditor Lingkungan Hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib melaporkan pelaksanaan
sertifikasi Kompetensi kepada Menteri.
Bagian Ketiga
Lembaga Pelatihan Kompetensi Auditor Lingkungan Hidup
Pasal 11
(1) Pelatihan Audit Lingkungan Hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) huruf b dilaksanakan
oleh LPK Auditor Lingkungan Hidup.
(2) Setiap LPK Auditor Lingkungan Hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib melakukan
Registrasi Kompetensi.
(3) LPK Auditor Lingkungan Hidup mengajukan permohonan registrasi secara tertulis kepada Menteri.
(4) LPK Auditor Lingkungan Hidup yang teregistrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
memenuhi persyaratan, memiliki:
a. identitas LPK Auditor Lingkungan Hidup;
b. akte pendirian badan hukum;
c. dokumen Sistem Manajemen Mutu;
d. dokumen sertifikat pengelola lembaga pendidikan dan pelatihan;
e. dokumen mengenai pengajar yang kompeten, termasuk pengajar di bidang metodologi dan teknik
Audit
Lingkungan Hidup yang berSertifikat Kompetensi dengan kualifikasi auditor utama dan/atau
berpengalaman paling sedikit 3 (tiga) kali melakukan Audit Lingkungan Hidup;
f. dokumen mengenai program pelatihan Kompetensi Auditor Lingkungan Hidup yang menggunakan kurikulum baku yang ditetapkan oleh
Menteri;
g. dokumen mengenai sarana dan prasarana pelatihan; dan
h. dokumen mengenai sistem informasi publik mengenai pelatihan Kompetensi Auditor Lingkungan
Hidup.
(5) Tata cara registrasi LPK Auditor Lingkungan Hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan sesuai dengan Peraturan Menteri mengenai tata cara
Registrasi Kompetensi.
Pasal 12
(1) Dalam hal LPK Auditor Lingkungan Hidup menggunakan kurikulum di luar kurikulum baku
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (4) huruf f, penggunaannya wajib memperoleh penetapan
pengakuan penyetaraan dari Menteri.
(2) Menteri dapat mendelegasikan penetapan pengakuan penyetaraan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) kepada Pejabat Eselon I yang bertanggungjawab di
bidang standardisasi.
Bagian Keempat
Lembaga Penyedia Jasa Audit Lingkungan Hidup
Pasal 13
(1) Setiap lembaga penyedia jasa Audit Lingkungan Hidup wajib melakukan Registrasi Kompetensi.
(2) Lembaga penyedia jasa Audit Lingkungan Hidup mengajukan permohonan registrasi secara
tertulis kepada Menteri.
(3) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib dilengkapi dengan persyaratan:
a. identitas pemohon;
b. akte pendirian badan hukum;
c. dokumen Sistem Manajemen Mutu; dan
d. dokumen mengenai tenaga tetap dengan kualifikasi auditor utama.
(4) Menteri melakukan penilaian terhadap permohonan registrasi sesuai dengan peraturan mengenai
tata laksana registrasi.
Pasal 14
(1) Menteri menyediakan informasi publik mengenai:
a. tujuan Registrasi Kompetensi lembaga penyedia jasa Audit Lingkungan Hidup dan LPK Auditor
Lingkungan Hidup;
b. tata laksana registrasi, penerbitan surat tanda registrasi, dan pemeliharaan registrasi;
c. persyaratan dan prosedur mengikuti Registrasi Kompetensi;
d. daftar registrasi lembaga penyedia jasa Audit Lingkungan Hidup yang meliputi:
1. nomor dan tanggal registrasi;
2. identitas lembaga penyedia jasa;
3. penanggung jawab teknis pelaksanaan Audit Lingkungan Hidup; dan
4. daftar Auditor Lingkungan Hidup yang memiliki Sertifikat Kompetensi dan ditugaskan untuk
melakukan Audit Lingkungan Hidup;
e. daftar registrasi LPK Auditor Lingkungan Hidup yang meliputi:
1. nomor dan tanggal registrasi;
2. identitas LPK Auditor Lingkungan Hidup;
3. penanggung jawab pelatihan Kompetensi Auditor
Lingkungan Hidup; dan 4.
daftar pengajar tetap dan tidak tetap; dan
f. daftar pemegang registrasi yang dalam status dibekukan atau dicabut.
(2) LPK Auditor Lingkungan Hidup menyediakan informasi publik mengenai:
a. tujuan pelatihan Kompetensi Auditor Lingkungan Hidup dan kurikulum yang digunakan;
b. daftar pengajar tetap dan tidak tetap;
c. persyaratan dan prosedur mengikuti pelatihan Kompetensi Auditor Lingkungan Hidup;
d. jadwal dan tempat pelaksanaan pelatihan Kompetensi yang disediakan untuk publik; dan
e. daftar pemegang surat tanda tamat pelatihan Kompetensi Auditor Lingkungan Hidup.
(3) LSK Auditor Lingkungan Hidup menyediakan informasi publik mengenai:
a. tujuan sertifikasi Kompetensi Auditor Lingkungan Hidup;
b. sistem Penilaian Kompetensi, penerbitan Sertifikat Kompetensi, dan pemeliharaan sertifikat;
c. persyaratan dan prosedur sertifikasi Kompetensi Auditor Lingkungan Hidup bagi pemohon;
d. jadwal dan tempat pelaksanaan Penilaian Kompetensi yang disediakan untuk pemohon; dan
e. daftar pemegang Sertifikat Kompetensi Auditor Lingkungan Hidup, termasuk masa berlaku
sertifikat dan daftar sertifikat yang dalam status
dibekukan atau dicabut.
(4) Kementerian Lingkungan Hidup, LPK Auditor Lingkungan Hidup, dan LSK Auditor Lingkungan Hidup
wajib melakukan pemutakhiran informasi publik sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (3).
BAB III
TATA LAKSANA AUDIT LINGKUNGAN HIDUP
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 15
Tata laksana Audit Lingkungan Hidup yang diatur dalam Peraturan Menteri ini hanya untuk Audit
Lingkungan Hidup yang diwajibkan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 ayat (1) huruf b.
Pasal 16
(1) Audit Lingkungan Hidup dilakukan terhadap Usaha dan/atau Kegiatan yang memiliki dokumen
lingkungan hidup.
(2) Audit Lingkungan Hidup dapat dilakukan terhadap lebih dari 1 (satu) Usaha dan/atau Kegiatan yang
berlokasi dalam 1 (satu) kawasan.
Pasal 17
Audit Lingkungan Hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 merupakan audit yang diwajibkan oleh
Menteri kepada:
a. Usaha dan/atau Kegiatan tertentu yang berisiko tinggi terhadap lingkungan hidup; dan/atau
b. Usaha dan/atau Kegiatan yang menunjukkan ketidaktaatan terhadap peraturan
perundang-undangan di bidang
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
Pasal 18
(1) Usaha dan/atau Kegiatan tertentu yang berisiko tinggi terhadap lingkungan hidup sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 17 huruf a tercantum dalam Lampiran I
yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
(2) Menteri dapat menetapkan jenis Usaha dan/atau Kegiatan yang berisiko tinggi di luar Lampiran I
Peraturan Menteri ini, berdasarkan usulan dari:
a. Komisi Penilai Amdal, untuk Usaha dan/atau Kegiatan yang masih dalam tahap perencanaan;
dan/atau
b. Kementerian dan/atau lembaga pemerintah nonkementerian terkait, untuk Usaha
dan/atau
Kegiatan yang sudah beroperasi.
(3) Usulan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) didasarkan pada hasil analisis risiko lingkungan hidup
sesuai peraturan perundang-undangan.
Pasal 19
Usaha dan/atau Kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 huruf b ditetapkan berdasarkan kriteria:
a. adanya dugaan pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan di bidang perlindungan
dan pengelolaan lingkungan hidup;
b. pelanggaran tersebut telah terjadi paling sedikit 3 (tiga) kali dan berpotensi tetap terjadi lagi di
masa datang; dan
c. belum diketahui sumber dan/atau penyebab ketidaktaatannya.
Pasal 20
Pelaksanaan Audit Lingkungan Hidup tidak membebaskan penanggung jawab Usaha dan/atau Kegiatan
dari sanksi hukum sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
Bagian Kedua
Dokumen Audit Lingkungan Hidup
Pasal 21
(1) Dokumen Audit Lingkungan Hidup terdiri atas:
a. rencana Audit Lingkungan Hidup; dan
b. laporan hasil Audit Lingkungan Hidup.
(2) Rencana Audit Lingkungan Hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a paling sedikit
berisi:
a. identitas pemberi perintah audit dan pihak yang diaudit;
b. tujuan audit;
c. lingkup audit;
d. kriteria audit;
e. identitas dan identifikasi Kompetensi tim audit;
f. pernyataan ketidakberpihakan dan kemandirian tim audit;
g. proses dan metode kerja audit;
h. tata waktu audit keseluruhan;
i. lokasi dan jadwal audit lapangan;
j. wakil dari pihak yang diaudit;
k. kerangka protokol audit;
l. pengumpulan bukti audit; dan
m. kerangka sistematika laporan.
(3) Laporan hasil Audit Lingkungan Hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b paling
sedikit berisi:
a. informasi yang meliputi tujuan, lingkup, kriteria, dan proses pelaksanaan audit;
b. temuan audit;
c. kesimpulan audit;
d. rekomendasi audit dan tindak lanjut; dan
e. data dan informasi pendukung yang relevan.
Bagian Ketiga
Penilaian Audit Lingkungan Hidup
Pasal 22
(1) Menteri melakukan penilaian pelaksanaan Audit Lingkungan Hidup.
(2) Penilaian pelaksanaan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilakukan terhadap:
a. usulan jenis Usaha dan/atau Kegiatan berisiko tinggi di luar Lampiran I Peraturan Menteri ini;
b. usulan dilakukannya Audit Lingkungan Hidup yang diwajibkan untuk Usaha dan/atau Kegiatan
yang menunjukan ketidaktaatan;
c. rencana Audit Lingkungan Hidup; dan
d. laporan hasil Audit Lingkungan Hidup yang diwajibkan untuk Usaha dan/atau Kegiatan yang
menunjukan ketidaktaatan.
(3) untuk melaksanakan penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Menteri membentuk tim
evaluasi.
Pasal 23
Tim evaluasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (3) terdiri atas:
a. ketua yang secara ex-officio dijabat oleh Pejabat Eselon I yang bertanggungjawab di bidang kajian
dampak lingkungan hidup.
b. sekretaris yang secara ex-officio dijabat oleh pejabat setingkat eselon II yang bertanggungjawab
di bidang Audit Lingkungan Hidup.
c. anggota yang terdiri atas unsur:
1. instansi lingkungan hidup Pusat;
2. instansi yang membidangi Usaha dan/atau Kegiatan;
3. ahli di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup khususnya yang berkaitan dengan
pelaksanaan hasil Audit Lingkungan Hidup;
4. ahli di bidang Usaha dan/atau Kegiatan yang berkaitan dengan pelaksanaan hasil Audit Lingkungan
Hidup;
5. Instansi Lingkungan Hidup Provinsi; dan/atau
6. Instansi Lingkungan Hidup Kabupaten/Kota.
Bagian Keempat
Audit Lingkungan yang Diwajibkan Untuk Usaha dan/atau Kegiatan
Tertentu yang Berisiko Tinggi
Terhadap Lingkungan Hidup
Pasal 24
(1) Audit Lingkungan Hidup untuk Usaha dan/atau Kegiatan tertentu yang berisiko tinggi terhadap
lingkungan hidup dilakukan secara berkala sesuai periode
Audit Lingkungan Hidup yang telah ditentukan sebagaimana
tercantum dalam Lampiran I Peraturan Menteri ini.
(2) Dalam melaksanakan Audit Lingkungan Hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
penanggung jawab Usaha dan/atau Kegiatan menunjuk tim Audit Lingkungan Hidup paling lambat 30 (tiga
puluh) hari kerja sebelum berakhirnya periode Audit
Lingkungan Hidup
yang telah ditentukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Tim Audit Lingkungan Hidup melalui penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan menyampaikan
rencana Audit Lingkungan Hidup sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 21
ayat (2) kepada tim evaluasi paling lama 10 (sepuluh) hari kerja sejak tim Audit Lingkungan Hidup
ditunjuk.
Pasal 25
(1) Tim evaluasi melakukan penilaian terhadap rencana Audit Lingkungan Hidup.
(2) Penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan kriteria yang ditetapkan oleh
tim evaluasi.
(3) Dalam hal terjadi perbaikan terhadap rencana Audit Lingkungan Hidup, tim Audit Lingkungan
Hidup menyampaikan perbaikan atas rencana Audit
Lingkungan Hidup kepada tim evaluasi.
(4) Penilaian rencana Audit Lingkungan Hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling
lama 10 (sepuluh) hari kerja sejak rencana Audit
Lingkungan Hidup diterima.
(5) Terhadap rencana audit lingkungan yang telah memenuhi kriteria penilaian sebagaimana dimaksud
pada ayat (2), ketua tim evaluasi menerbitkan persetujuan
rencana Audit Lingkungan Hidup.
Pasal 26
(1) Tim Audit Lingkungan Hidup melaksanakan Audit Lingkungan Hidup yang diwajibkan secara
berkala berdasarkan rencana Audit Lingkungan Hidup
yang telah disetujui sebagaimana dimaksud dalam Pasal
25 ayat (5).
(2) Audit Lingkungan Hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling lama 14 (empat
belas) hari kerja sejak diterbitkannya surat persetujuan
rencana Audit Lingkungan Hidup bagi Usaha dan/atau
Kegiatan bersangkutan.
(3) Berdasarkan pelaksanaan Audit Lingkungan Hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tim
Audit Lingkungan Hidup menyusun laporan hasil
Audit Lingkungan Hidup.
Pasal 27
(1) Tim Audit Lingkungan Hidup melalui penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan menyerahkan laporan
hasil Audit Lingkungan Hidup sebagaimana dimaksud
dalam pasal 26 ayat (3) secara tertulis kepada
Menteri.
(2) Tim Audit Lingkungan Hidup bertanggungjawab terhadap laporan hasil Audit Lingkungan Hidup
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Menteri mengumumkan laporan hasil Audit Lingkungan Hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
melalui multimedia.
(4) Pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat informasi mengenai:
a. nama Usaha dan/atau Kegiatan;
b. jenis Usaha dan/atau Kegiatan;
c. lokasi Usaha dan/atau Kegiatan;
d. penanggung jawab Usaha dan/atau Kegiatan;
e. tim Audit Lingkungan Hidup beserta nomor Sertifikat Kompetensinya bagi Auditor Lingkungan Hidup dan/atau lembaga penyedia jasa Audit
Lingkungan Hidup beserta nomor registrasinya;
f. ruang lingkup Audit Lingkungan Hidup;
g. risiko dan/atau dampak lingkungan dari Usaha dan/atau Kegiatan;
h. rekomendasi Audit Lingkungan Hidup; dan
i. alamat dan/atau lokasi dokumen laporan hasil Audit Lingkungan Hidup yang dapat diakses
masyarakat.
(5) Pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan sesuai format sebagaimana
tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
Pasal 28
Tata laksana Audit Lingkungan Hidup untuk Usaha dan/atau Kegiatan tertentu yang berisiko tinggi
terhadap lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21
sampai dengan
Pasal 27 tercantum dalam bagan alir Lampiran III yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Peraturan Menteri ini.
Bagian Kelima
Audit Lingkungan Hidup yang diwajibkan untuk Usaha dan/atau
Kegiatan yang Menunjukan Ketidaktaatan
Pasal 29
(1) Menteri memerintahkan kepada penanggung jawab Usaha dan/atau Kegiatan untuk melakukan Audit
Lingkungan Hidup yang diwajibkan karena menunjukkan ketidaktaatan berdasarkan:
a. hasil pengawasan oleh Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup;
b. usulan dari menteri atau kepala lembaga pemerintah nonkementerian yang membidangi Usaha
dan/atau Kegiatan; dan/atau
c. usulan dari gubernur atau bupati/walikota.
(2) Usulan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan huruf c didasarkan atas hasil pengawasan
oleh:
a. kementerian dan/atau lembaga pemerintah nonkementerian yang membidangi Usaha
dan/atau
Kegiatan;
b. instansi lingkungan hidup provinsi, untuk usulan dari gubernur; dan/atau
c. instansi lingkungan hidup kabupaten/kota, untuk usulan dari bupati/walikota.
(3) Usulan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan kepada Menteri dengan menggunakan format
surat usulan sebagaimana dimaksud dalam Lampiran IV yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
Pasal 30
(1) Berdasarkan usulan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1) huruf b atau huruf c, tim
evaluasi melakukan evaluasi paling lama 30 (tiga puluh) hari
kerja, terhitung sejak usulan diterima.
(2) Tim evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyampaikan hasil evaluasi dalam bentuk
rekomendasi tertulis kepada Menteri paling lambat 10
(sepuluh) hari
kerja, setelah selesai melaksanakan evaluasi.
(3) Rekomendasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat berupa:
a. kelayakan untuk dikeluarkannya perintah Audit Lingkungan Hidup yang diwajibkan,
dilengkapi dengan rancangan lingkup Audit Lingkungan
Hidupnya; atau
b. ketidaklayakan untuk dikeluarkan perintah Audit Lingkungan Hidup yang diwajibkan,
dilengkapi dengan alasan ketidaklayakan tersebut.
Pasal 31
(1) Berdasarkan rekomendasi tim evaluasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (3), Menteri
dapat menyetujui atau menolak usulan perintah
Audit Lingkungan Hidup yang diwajibkan.
(2) Apabila Menteri menyetujui usulan perintah Audit Lingkungan Hidup yang diwajibkan, Menteri mengeluarkan surat perintah pelaksanaan
Audit Lingkungan Hidup kepada penanggung jawab
Usaha dan/atau Kegiatan yang bersangkutan.
(3) Apabila Menteri menolak usulan perintah Audit Lingkungan Hidup yang diwajibkan, Menteri
memberikan alasan penolakan tersebut dan
memberitahukannya kepada:
a. menteri yang membidangi Usaha dan/atau Kegiatan atau kepala lembaga pemerintah nonkementerian
yang membidangi Usaha dan/atau Kegiatan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1) huruf b;
atau
b. gubernur atau bupati/walikota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1) huruf c.
Pasal 32
(1) Penanggung jawab Usaha dan/atau Kegiatan setelah menerima surat perintah pelaksanaan Audit
Lingkungan Hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31
ayat (2),
harus menunjuk Auditor Lingkungan Hidup dengan persetujuan Menteri, paling lama 30 (tiga
puluh) hari kerja sejak dikeluarkannya surat perintah
pelaksanaan Audit Lingkungan Hidup.
(2) Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) terlampaui, Menteri dapat menunjuk Auditor
Lingkungan Hidup untuk melaksanakan Audit Lingkungan Hidup yang diwajibkan.
(3) Tim Audit Lingkungan Hidup menyampaikan rencana Audit Lingkungan Hidup sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 21 ayat (2) kepada tim evaluasi
paling lama 10
(sepuluh) hari kerja sejak tim Audit Lingkungan Hidup ditunjuk.
Pasal 33
(1) Tim evaluasi melakukan penilaian terhadap rencana Audit Lingkungan Hidup.
(2) Penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan kriteria yang ditetapkan oleh
tim evaluasi.
(3) Dalam melakukan penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tim evaluasi dapat menetapkan
kebutuhan dilakukan penyaksian oleh tim evaluasi
dalam pelaksanaan Audit Lingkungan Hidup.
(4) Dalam hal terjadi perbaikan terhadap rencana audit lingkungan, tim Audit Lingkungan Hidup
menyampaikan perbaikan atas rencana Audit Lingkungan
Hidup kepada tim evaluasi.
(5) Penilaian rencana Audit Lingkungan Hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling
lama 10 (sepuluh) hari kerja sejak rencana Audit
Lingkungan Hidup diterima.
(6) Terhadap rencana audit lingkungan yang telah memenuhi kriteria penilaian sebagaimana dimaksud
pada ayat (2), ketua tim evaluasi menerbitkan persetujuan
rencana Audit Lingkungan Hidup.
Pasal 34
(1) Tim Audit Lingkungan Hidup melakukan Audit Lingkungan Hidup berdasarkan rencana Audit
Lingkungan Hidup yang telah disetujui sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 33 ayat (6).
(2) Audit Lingkungan Hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling lama 14 (empat
belas) hari kerja sejak diterbitkannya surat persetujuan
rencana Audit Lingkungan Hidup bagi Usaha dan/atau
Kegiatan bersangkutan.
(3) Dalam hal terdapat penyaksi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 33 ayat (3), penyaksi tidak terlibat dalam
pekerjaan Audit Lingkungan Hidup yang dilakukan oleh
tim Audit Lingkungan Hidup.
(4) Berdasarkan pelaksanaan Audit Lingkungan Hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tim
Audit Lingkungan Hidup menyusun laporan hasil
Audit Lingkungan Hidup.
Pasal 35
(1) Tim Audit Lingkungan Hidup menyerahkan laporan hasil Audit Lingkungan Hidup sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 33 ayat (4) secara tertulis kepada
tim evaluasi.
(2) Tim evaluasi melakukan penilaian terhadap laporan hasil Audit Lingkungan Hidup sebagaimana dimaksud
pada ayat (1).
(3) Penilaian atas laporan hasil Audit Lingkungan Hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dilakukan paling lama 10 (sepuluh) hari kerja sejak
diterimanya laporan hasil Audit Lingkungan Hidup.
(4) Penilaian laporan hasil Audit Lingkungan Hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berupa:
a. diterima; atau
b. ditolak.
(5) Ketua tim evaluasi menyampaikan penilaian laporan hasil Audit Lingkungan Hidup kepada Menteri.
Pasal 36
(1) Terhadap laporan hasil Audit Lingkungan Hidup yang diterima sebagaimana dimaksud dalam Pasal
35 ayat (4) huruf a, Menteri:
a. menerima dan mengesahkan laporan hasil Audit Lingkungan Hidup; dan
b. menetapkan tindak lanjut terhadap hasil Audit Lingkungan Hidup.
(2) Pengesahan dan penetapan tindak lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan dalam
bentuk keputusan Menteri.
(3) Pengesahan laporan hasil Audit Lingkungan Hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
berisi pernyataan:
a. taat; atau
b. tidak taat.
(4) Tindak lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
b berupa:
a. perbaikan kinerja pengelolaan dan pemanatuan lingkungan hidup Usaha dan/atau Kegiatan;
b. perubahan izin lingkungan;
c. pertimbangan dalam penerbitan perpanjangan izin perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup; dan/atau d.
penegakan hukum.
Pasal 37
(1) Terhadap laporan hasil Audit Lingkungan Hidup yang ditolak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35
ayat (4) huruf b, Menteri menetapkan pelaksanaan
Audit Lingkungan Hidup kembali terhadap
penanggung jawab Usaha dan/atau Kegiatan dengan tim Audit
Lingkungan Hidup yang berbeda.
(2) Kriteria penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. laporan hasil Audit Lingkungan Hidup tidak disusun sesuai metodologi Audit Lingkungan Hidup
dan kaidah penulisan laporan Audit Lingkungan Hidup
yang benar;
b. tim Audit Lingkungan Hidup melakukan kesalahan dalam menetapkan ketaatan dan/atau
ketidaktaatan terhadap suatu temuan Audit Lingkungan
Hidup; dan/atau
c. ditemukan bukti bahwa tim Audit Lingkungan Hidup melaporkan hasil Audit Lingkungan Hidup
yang tidak sesuai dengan fakta dan/atau tidak
melakukan jaminan mutu dan kendali mutu atas laporan
hasil Audit Lingkungan Hidup yang dilaporkannya.
Pasal 38
Menteri mengumumkan pengesahan dan penetapan tindak lanjut hasil Audit Lingkungan Hidup
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 melalui multimedia.
Pasal 39
Tata laksana Audit Lingkungan Hidup bagi Usaha dan/atau Kegiatan yang menunjukkan ketidaktaatan
terhadap peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 29 sampai dengan Pasal 38 tercantum dalam
bagan alir Lampiran V yang merupakan bagian tidak terpisahkan
dari Peraturan Menteri ini.
BAB IV
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
Bagian Kesatu
Pembinaan
Pasal 40
(1) Menteri melakukan pembinaan terhadap:
a. pelaksanaan Audit Lingkungan Hidup kepada instansi yang membidangi Usaha dan/atau Kegiatan,
gubernur, dan/atau bupati/walikota;
b. LPK Auditor Lingkungan Hidup dan LSK Auditor Lingkungan Hidup.
(2) Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan dalam bentuk peningkatan
kapasitas di bidang Audit Lingkungan Hidup dan/atau pelatihan
Auditor Lingkungan Hidup.
(3) Dalam melaksanakan pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, Menteri dapat
bekerjasama dengan gubernur dan/atau bupati/walikota.
Pasal 41
(1) Menteri, gubernur, dan/atau bupati/walikota melakukan pembinaan kepada:
a. penanggung jawab Usaha dan/atau Kegiatan;
b. lembaga penyedia jasa Auditor Lingkungan Hidup.
(2) Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan dalam bentuk pemberian informasi
di bidang Audit Lingkungan Hidup.
(3) Menteri dapat bekerjasama dengan pemerintah daerah provinsi dan/atau pemerintah daerah
kabupaten/kota dalam melakukan pembinaan terhadap LPK
Auditor Lingkungan Hidup.
(4) Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat
(3) meliputi antara lain:
a. penyediaan informasi yang relevan dan mutakhir kepada lembaga penyedia jasa Audit
Lingkungan Hidup, LSK Auditor Lingkungan Hidup, LPK
Auditor Lingkungan Hidup dan pengajar;
b. penyediaan panduan teknis yang memuat tatacara dan penjelasan teknis Audit Lingkungan
Hidup; dan/atau
c. bimbingan teknis kepada auditor utama, auditor, dan pengajar.
Pasal 42
(1) Instansi yang membidangi Usaha dan/atau Kegiatan melakukan pembinaan teknis pelaksanaan
pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup terhadap
Usaha dan/atau Kegiatan yang melakukan Audit
Lingkungan Hidup.
(2) Pembinaan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan izin Usaha dan/atau Kegiatan
yang diterbitkannya.
(3) Pembinaan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam bentuk penetapan norma,
standar, prosedur dan/atau kriteria pelaksanaan
pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup.
Bagian Kedua
Pengawasan
Pasal 43
(1) Menteri melakukan pengawasan terhadap LPK Auditor Lingkungan Hidup dan LSK Auditor Lingkungan
Hidup.
(2) Dalam melaksanakan pengawasan terhadap LPK auditor sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri
dapat bekerjasama dengan gubernur dan/atau bupati/walikota.
(3) Menteri, gubernur, atau bupati/walikota melakukan pengawasan terhadap lembaga penyedia jasa
Audit Lingkungan Hidup.
(4) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) dilakukan secara berkala dan/atau
sewaktuwaktu terhadap lembaga penyedia jasa Audit Lingkungan
Hidup, LPK Auditor Lingkungan Hidup, dan LSK Auditor Lingkungan Hidup.
Pasal 44
(1) Berdasarkan hasil pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43, Menteri berwenang
membekukan Registrasi Kompetensi terhadap:
a. LPK Auditor Lingkungan Hidup, yang tidak dapat menjaga pemenuhan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11; atau
b. lembaga penyedia jasa Audit Lingkungan Hidup, yang tidak dapat menjaga pemenuhan
persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13.
(2) Menteri berwenang mencabut Registrasi Kompetensi lembaga penyedia jasa Audit Lingkungan
Hidup dan/atau LPK Auditor Lingkungan Hidup apabila:
a. lembaga penyedia jasa Audit Lingkungan Hidup melakukan penjiplakan dan/atau pemalsuan
data hasil Audit Lingkungan Hidup; atau
b. setelah dibekukan dalam waktu paling lama 6 (enam) bulan lembaga penyedia jasa Audit
Lingkungan Hidup dan/atau LPK Auditor Lingkungan Hidup tetap
tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf a atau huruf b.
(3) Pada kondisi pembekuan atau pencabutan Registrasi Kompetensi, LPK Auditor Lingkungan Hidup
dilarang melaksanakan pelatihan Kompetensi Auditor
Lingkungan Hidup.
(4) Pada kondisi pembekuan atau pencabutan Registrasi Kompetensi, lembaga penyedia jasa Audit
Lingkungan Hidup dilarang melaksanakan Audit
Lingkungan Hidup.
(5) Menteri menginformasikan kepada publik mengenai pembekuan dan pencabutan Registrasi
Kompetensi lembaga penyedia jasa Audit Lingkungan
Hidup dan LPK Auditor Lingkungan Hidup.
Pasal 45
(1) LSK Auditor Lingkungan Hidup melakukan pengawasan terhadap Auditor Lingkungan Hidup yang
telah memiliki Sertifikat Kompetensi.
(2) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan berdasarkan kriteria
pemeliharaan Sertifikat Kompetensi
dan mekanisme pengawasan yang ditetapkan oleh
LSK Auditor Lingkungan Hidup setelah mendapat persetujuan
Menteri.
Pasal 46
(1) Berdasarkan hasil pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45, LSK Auditor Lingkungan
Hidup berwenang:
a. membekukan Sertifikat Kompetensi Auditor Lingkungan Hidup apabila pemegang
sertifikat tidak memenuhi kriteria pemeliharaan Sertifikat Kompetensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal
45 ayat (2); dan
b. mencabut Sertifikat Kompetensi Auditor Lingkungan Hidup apabila pemegang sertifikat melakukan penjiplakan dan/atau pemalsuan data dalam pelaksanaan Audit Lingkungan Hidup.
(2) Pada kondisi pembekuan atau pencabutan Sertifikat Kompetensi, Auditor Lingkungan Hidup
dilarang melakukan Audit Lingkungan Hidup.
(3) Tata laksana pembekuan atau pencabutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
dilakukan sesuai dengan tata laksana pembekuan dan
pencabutan Sertifikat Kompetensi Auditor Lingkungan
Hidup yang ditetapkan oleh LSK Auditor Lingkungan
Hidup setelah mendapat persetujuan Menteri.
(4) LSK Auditor Lingkungan Hidup menginformasikan kepada publik mengenai pembekuan atau
pencabutan Sertifikat Kompetensi Auditor Lingkungan
Hidup dan melaporkan kepada Menteri paling lama 1
(satu) bulan terhitung sejak pembekuan atau pencabutan
Sertifikat Kompetensi Auditor Lingkungan Hidup.
Pasal 47
(1) Menteri, gubernur, dan/atau bupati/walikota melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan tindak
lanjut hasil Audit Lingkungan Hidup sebagaimana dimaksud
dalam
Pasal 38.
(2) Pelaksanaan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berkoordinasi dengan
instansi yang membidangi Usaha dan/atau Kegiatan.
BAB VII
PEMBIAYAAN
Pasal 48
(1) Biaya pelaksanaan pelatihan Kompetensi dan sertifikasi Kompetensi dibebankan kepada peserta.
(2) Standar biaya sertifikasi Kompetensi ditetapkan oleh LSK Auditor Lingkungan Hidup setelah mendapat pertimbangan dari Menteri.
(3) Biaya Registrasi Kompetensi dibebankan kepada pemohon.
(4) Biaya Registrasi Kompetensi ditetapkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Pasal 49
(1) Biaya pelaksanaan Audit Lingkungan Hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20, Pasal 22, dan
Pasal 26 dibebankan kepada penanggung jawab Usaha
dan/atau Kegiatan.
(2) Biaya pelaksanaan evaluasi terhadap usulan Audit Lingkungan Hidup yang diwajibkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 dibebankan pada
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
(3) Biaya pelaksanaan penilaian rencana Audit Lingkungan Hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25
dan Pasal
33 dibebankan kepada penanggung jawab Usaha dan/atau Kegiatan.
(4) Biaya penerbitan surat persetujuan rencana Audit Lingkungan Hidup, penilaian, dan penyaksian
audit, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat
(5), Pasal 26 ayat (2), Pasal 33 ayat (6), Pasal 34 (2),
Pasal 36 ayat (2), dan Pasal 42 ayat (2) dibebankan pada
Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
(5) Biaya pengumuman dan publikasi oleh Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat 3
dan Pasal 38 dibebankan kepada penanggung jawab Usaha
dan/atau Kegiatan.
(6) Biaya pengumuman ringkasan laporan hasil evaluasi atas hasil Audit Lingkungan Hidup yang
diwajibkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat
(1) dibebankan kepada penanggung jawab Usaha
dan/atau Kegiatan.
(7) Biaya pembinaan kepada penanggung jawab Usaha dan/atau Kegiatan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 41 dibebankan pada:
a. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah kabupaten/kota, untuk pembinaan yang
dilakukan
bupati/walikota;
b. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah provinsi, untuk pembinaan yang dilakukan gubernur;
atau
c. APBN untuk pembinaan yang dilakukan Menteri.
(8) Biaya pembinaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 dibebankan pada anggaran instansi yang
membidangi Usaha dan/atau Kegiatan.
(9) Biaya pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 dibebankan pada:
a. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah kabupaten/kota, untuk pengawasan yang
dilakukan
bupati/walikota;
b. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah provinsi, untuk pengawasan yang dilakukan gubernur;
atau
c. APBN untuk pengawasan yang dilakukan Menteri.
Pasal 50
(1) Biaya pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40, Pasal 41, Pasal
43, dan Pasal 47 yang dilaksanakan oleh Menteri
dibebankan pada APBN Kementerian Lingkungan Hidup.
(2) Biaya pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41, Pasal 43, dan
Pasal 47 yang dilaksanakan oleh gubernur atau
bupati/walikota dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah.
(3) Biaya pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 dibebankan pada LSK Auditor Lingkungan
Hidup.
BAB VIII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 51
Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, terhadap Usaha dan/atau Kegiatan yang sedang dilakukan
Audit Lingkungan Hidup yang diwajibkan, hasil Audit
Lingkungan Hidup dievaluasi sesuai dengan mekanisme Audit
Lingkungan Hidup yang diwajibkan karena ketidaktaatan
terhadap peraturan perundang-undangan di bidang perlindungan
dan pengelolaan lingkungan hidup.
BAB IX
PENUTUP
Pasal 52
Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku:
a. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor: KEP-42/MENLH/XI/1994 tentang Pedoman Umum Pelaksanaan Audit Lingkungan;
b. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 30 Tahun 2001 tentang Pedoman Pelaksanaan
Audit Lingkungan Hidup Yang Diwajibkan; dan
c. Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 17 Tahun 2010 tentang Audit Lingkungan Hidup, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 53
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan
penempatannya dalam Berita Negara
Republik Indonesia.
Referensi
Keputusan
Menteri Lingkungan Hidup No. 4294 Tahun 1994 Tentang Pedoman Umum Pelaksanaan
Audit Lingkungan.
Peraturan
Menteri Lingkungan Hidup Republik Indonesia Nomor 03 Tahun 2013 Tentang Audit
Lingkungan Hidup
www.oc.its.ac.id/ambilfile.php?idp=1833. Konsep Audit Lingkungan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar