Rabu, 10 Juni 2020

MEKANISME DEBT FOR NATURE SWAP DAN PENERAPANNYA DI INDONESIA

ESTHER KRISANTY & DANIEL S. STEPHANUS
PROGRAM STUD AKUNTANSI
UNIVERSITAS MA CHUNG MALANG
2010

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Dalam era globalisasi ini, persaingan telah terjadi di segala aspek kehidupan. Yang paling jelas terlihat adalah persaingan ekonomi antar negara yang semakin sengit dari tahun ke tahun. Setiap negara berusaha untuk menjadi yang teratas dalam hal perekonomian, khususnya dalam dunia bisnis. Salah satu jalan yang ditempuh untuk meningkatkan gairah bisnis di setiap negara adalah dengan merangsang pertumbuhan usaha (baik usaha kecil, menengah, maupun besar) demi memajukan dan memperkokoh posisi keuangan negara tersebut.
Namun, berbagai kendala mulai bermunculan seiring dengan meningkatnya gairah masyarakat untuk berbisnis. Salah satu kendala yang terbesar sekaligus terpenting dalam suatu usaha adalah kurangnya dana yang tersedia bagi pelaku bisnis. Keterbatasan dana tersebut akan menyebabkan usaha yang dijalankan oleh para pelaku bisnis menjadi kurang maksimal dalam perkembangannya dan rapuh terhadap ketidakstabilan keadaan ekonomi di negara tempat berdirinya usaha tersebut. Hal ini tentu saja menyebabkan posisi usaha tersebut sangat rentan terhadap kebangkrutan sehingga tidak mampu menunjang kemajuan perekonomian negara.
Untuk mengatasi hambatan ini, berbagai pihak berusaha untuk mencari jalan keluar yang terbaik. Salah satu cara yang dinilai paling efektif untuk mengatasinya adalah dengan menggunakan utang. Dengan utang, suntikan dana yang dibutuhkan oleh para pelaku bisnis dapat dengan mudah didapat sehingga usaha yang dijalankan dapat berkembang dan risiko kebangkrutan dapat diminimalisasi.
Utang tidak hanya dapat digunakan sebagai alat untuk menyuntik dana tetapi juga memiliki fungsi lainnya. Misalnya saja, utang dapat digunakan sebagai pengungkit (leverage) laba perusahaan. Dengan menggunakan utang, perusahaan kemungkinan akan menjadi lebih berkembang, apalagi pada perusahaan yang memiliki kesulitan dalam mendapatkan modal.
Namun, kemudahan utang dapat menjadi boomerang bagi pihak debitor itu sendiri. Berbagai dampak negatif yang ditimbulkan oleh utang seringkali tidak dipertimbangkan dengan baik. Dampak yang sangat menonjol adalah semakin berkurangnya tingkat likuiditas perusahaan akibat jumlah utang yang tidak diimbangi dengan jumlah aset perusahaan.
Masalah yang ditimbulkan oleh utang, juga diderita oleh beberapa negara dengan jumlah utang yang tinggi. Keadaan ekonomi yang tidak stabil dan kurangnya kemampuan negara dalam mengelola sumber dayanya menyebabkan proses pembayaran utang menjadi terhambat dan jumlah utangnya terus meningkat dari tahun ke tahun.
Pemerintah negara-negara yang terlilit utang harus mencari sumber dana untuk melanjutkan program pembangunan maupun untuk meringankan beban utang negaranya. Terdapat suatu pengertian global bahwa upaya-upaya internasional untuk melestarikan sumber daya alam harus dilanjutkan. Di lain pihak, ada kemungkinan bahwa negara-negara yang memiliki utang dalam jumlah besar akan meningkatkan eksploitasi terhadap sumber daya alamnya sebagai suatu cara untuk meningkatkan pendapatan dan meringankan beban utangnya.
Oleh karena itu, negara-negara maju harus bertanggungjawab untuk membantu negara-negara yang mengalami kesulitan ekonomi, termasuk Indonesia. Salah satu cara yang mungkin dilakukan adalah dengan memanfaatkan dana yang disebut dengan Debt for Nature Swap (DNS), yang selanjutnya akan dibahas dalam artikel ilmiah ini.
Permasalahan
Adapun permasalahan yang dibahas dalam artikel ini adalah :
1. Bagaimana keadaan utang Indonesia pada saat ini?
2. Apa saja strategi pengelolaan utang yang seharusnya diterapkan oleh Indonesia?
3. Apakah Debt for Nature Swap merupakan salah satu cara yang tepat dalam mengatasi utang luar negeri Indonesia?
Tujuan
Tujuan dari artikel ilmiah ini adalah :
1. Untuk mengetahui keadaan utang Indonesia pada saat ini.
2. Untuk mengetahui strategi pengelolaan utang yang seharusnya diterapkan oleh Indonesia.
  1. Untuk mengetahui ketepatan dilaksanakannya Debt for Nature Swap sebagai salah satu cara untuk mengatasi utang luar negeri Indonesia.

LANDASAN TEORI
Pengertian Kewajiban
Berbagai pihak berusaha untuk menafsirkan dan menjelaskan pengertian dari kewajiban. Beberapa diantaranya adalah :
1. Kieso (….) Kerangka Kerja Konseptual yang Mendasari Akuntansi Keuangan :
Kewajiban adalah pengorbanan ekonomi yang mungkin terjadi di depan, yang timbul dari kewajiban berjalan sebuah entitas tertentu, atau kewajiban yang ditimbulkan oleh transaksi atau kejadian masa lalu untuk mentransfer aktiva atau menyediakan jasa kepada entitas-entitas lain di masa depan.”
2. International Financial Reporting Standards (IFRS), concepts number 3 :
Kewajiban adalah pengorbanan manfaat ekonomi di masa yang akan datang yang mungkin terjadi akibat kewajiban suatu badan usaha pada masa kini untuk mentransfer aktiva atau menyediakan jasa pada badan usaha lain di masa yang akan datang sebagai akibat transaksi atau kejadian masa lalu.”
3. Standar Akuntansi Keuangan (SAK) per 1 Juli 2009, PSAK No. 1 paragraf 49(b) :
“Kewajiban merupakan utang perusahaan masa kini yang timbul dari peristiwa masa lalu, penyelesaiannya diharapkan mengakibatkan arus keluar dari sumber daya perusahaan yang mengandung manfaat ekonomi.”
Dengan melihat beberapa definisi di atas, maka kewajiban dapat diartikan sebagai pengorbanan ekonomi yang mungkin tibul si masa kini atau masa mendatang yang merupakan akibat dari transaksi atau kejadian di masa lalu. Disamping itu, suatu kewajiban memiliki tiga karakteristik utama, yaitu :
a. Merupakan kewajiban saat ini yang memerlukan penyelesaian dengan kemungkinan transfer masa depan atau penggunaan kas, barang, atau jasa.
b. Merupakan kewajiban yang tidak dapat dihindari.
c. Transaksi atau kejadian lain yang menciptakan kewajiban itu harus telah terjadi.
Bagi perusahaan, kewajiban memiliki dua keuntungan, yaitu perusahaan dapat memperoleh dana dengan cepat dan bunga yang dibayarkan dapat mengurangi beban pajak. Namun kewajiban juga memiliki kelemahan, yaitu jika rasio utang semakin meningkat tinggi maka semakin tinggi pula risiko perusahaan sehingga lama kelamaan suku bunga akan semakin tinggi.
Jenis-Jenis Kewajiban
Kewajiban Lancar atau Kewajiban Jangka Pendek
Menurut SAK per 1 Juli 2009 (PSAK No. 1 paragraf 44), suatu kewajiban diklasifikasikan sebagai kewajiban jangka pendek jika:
a. diperkirakan akan diselesaikan dalam jangka waktu siklus normal operasi perusahaan.
b. jatuh tempo dalam jangka waktu dua belas bulan dari tanggal neraca.
Sedangkan menurut Kieso (….), kewajiban jangka pendek adalah utang yang dijadwalkan akan jatuh tempo dalam waktu satu tahun setelah tanggal neraca perusahaan atau dalam siklus operasi perusahaan. Jadi, pada intinya kewajiban jangka pendek merupakan utang yang memiliki jangka waktu satu tahun dan harus dilunasi paling lambat 12 bulan setelah tanggal neraca.
Tiga sumber utama dari pendanaan jangka pendek adalah:
1. Kredit dagang antar perusahaan
Merupakan sumber pembiayaan spontan yang timbul dari berbagai transaksi bisnis.
2. Pinjaman dari bank komersial
Pinjaman bank (kredit) akan dikenakan suku bunga yang ditentukan berdasarkan ketentuan yang berlaku.
3. Surat berharga komersial
Sumber pembiayaan ini tidak hanya digunakan untuk membiayai kebutuhan modal kerja tetapi juga untuk membiayai sementara proyek-proyek besar. Beberapa surat berharga komersial, terutama yang dikeluarkan oleh lembaga keuangan, langsung dijual kepada para investor, dan sebagian dijual melaui dealer yang berfungsi sebagai perantara di pasar surat berharga komersial.
Dalam PSAK No.9 Tahun 2007, kewajiban jangka pendek meliputi:
a. Pinjaman bank dan pinjaman lainnya.
b. Bagian kewajiban jangka panjang yang akan jatuh tempo dalam waktu satu tahun sejak tanggal neraca dengan pengecualian bila perusahaan bermaksud membiayai kembali kewajiban tersebut dengan pendanaan jangka panjang dan terdapat jaminan bahwa perusahaan akan mampu melakukannya.
c. Utang usaha dan biaya yang masih harus dibayar.
d. Uang muka penjualan.
e. Utang pembelian aset tetap, pinjaman bank, dan rupa-rupa utang lainnya yang harus diselesaikan dalam waktu satu tahun.
f. Penyisihan kewajiban pajak.
g. Utang dividen.
h. Pendapatan yang ditangguhkan dan uang muka dari pelanggan.
i. Kewajiban kontinjen (contingent liabilities); merupakan kewajiban yang timbul dan tergantung pada peristiwa masa mendatang tetapi kewajiban tersebut benar-benar harus dibayar sebagian atau seluruhnya.
Kewajiban Tidak Lancar atau Kewajiban Jangka Panjang
Menurut per 1 Juli 2009 (PSAK No. 1 paragraf 44), kewajiban jangka panjang adalah semua kewajiban yang tidak memenuhi klasifikasi untuk kewajiban jangka pendek (diperkirakan akan diselesaikan dalam jangka waktu siklus normal operasi perusahaan atau jatuh tempo dalam jangka waktu dua belas bulan dari tanggal neraca). Sedangkan Kieso berpendapat bahwa kewajiban jangka panjang merupakan pengorbanan manfaat ekonomi yang sangat mungkin di masa depan akibat kewajiban sekarang yang tidak dibayarkan dalam satu tahun atau satu siklus operasi perusahaan. Sehingga, dapat disimpulkan bahwa kewajiban jangka panjang adalah kewajiban yang memiliki jangka waktu lebih dari 1 tahun dari tanggal neraca.
Dalam PSAK No. 1 paragraf 47, dijelaskan bahwa kewajiban berbunga jangka panjang tetap diklasifikasikan sebagai kewajiban jangka panjang, walaupun kewajiban tersebut akan jatuh tempo dalam jangka waktu dua belas bulan sejak tanggal neraca, apabila:
1. kesepakatan awal perjanjian pinjaman untuk jangka waktu lebih dari dua belas bulan;
2. perusahaan bermaksud membiayai kembali kewajibannya dengan pendanaan jangka panjang;
3. maksud tersebut pada huruf (b) didukung dengan perjanjian resmi pembiayaan kembali atau penjadwalan kembali pembayaran yang resmi disepakati sebelum laporan keuangan disetujui.
Pembiayaan kewajiban jangka panjang pada umumnya melalui pasar modal dengan menjual surat berharga yang berbentuk utang (obligasi) atau surat berharga kepemilikan (saham). Selain obligasi dan saham, saham preferen juga merupakan salah satu alternatif pembiayaan jangka panjang perusahaan.
Salah satu jenis kewajiban jangka panjang yang paling sering dilaporkan dalam neraca perusahaan adalah obligasi. Menurut Kieso, terdapat 12 jenis obligasi, yaitu:
a. Obligasi berjamin (secured bonds); obligasi yang didukung oleh janji dari beberapa orang penjamin.
b. Obligasi debenture/tanpa jaminan (unsecured bonds); obligasi yang tidak didukung oleh janji dari beberapa penjamin (berisiko).
c. Obligasi berjangka; obligasi yang jatuh tempo pada satu tanggal.
d. Obligasi berseri; obligasi yang jatuh tempo dengan serangkaian pembayaran angsuran.
e. Obligasi yang dapat ditebus; obligasi yang memberikan hak kepada penerbitnya untuk menebus dan menarik obligasi itu sebelum jatuh temponya.
f. Obligasi konvertibel (convertible bonds); obligasi yang dapat dikonversi menjadi sekuritas lain korporasi dalam jangka waktu tertentu setelah penerbitannya.
g. Obligasi yang didukung komoditas; obligasi yang dapat ditebus dalam ukuran komoditas.
h. Obligasi dengan diskonto besar; obligasi yang dijual pada diskonto yang memberikan total pembayaran bunga pada saat jatuh tempo kepada pembelinya.
i. Obligasi terdaftar; obligasi yang diterbitkan atas nama pemilik dan mensyaratkan penyerahan sertifikat serta penerbitan sertifikat baru untuk menyelesaikan penjualan.
j. Obligasi atas unjuk (kupon); obligasi yang tidak tercatat atas nama pemilik dan dapat ditransfer dari satu pemilik ke pemilik lain hanya dengan penyerahan.
k. Obligasi laba; obligasi dimana bunga tidak perlu dibayar kecuali perusahaan penerbitnya meraih laba.
l. Obligasi pendapatan; obligasi dimana bunga dibayar dari sumber pendapatan tertentu.
Keungulan dan Kelemahan Kewajiban
Bagi beberapa pihak, utang dipandang sebagai salah satu solusi terbaik dalam mengatasi kekurangan dana. Adapun keunggulan utang adalah:
1. Cepat
Dengan utang, maka pihak yang membutuhkan dana dapat memperoleh dana tersebut dalam waktu yang lebih cepat daripada jika menggunakan alternatif lain seperti menerbitkan saham.
2. Prosedur sederhana
Prosedur yang harus dilalui untuk mendapatkan utang dapat dikatakan tidak terlalu rumit dan cukup sederhana sehingga para pelaku bisnis yang membutuhkan dana tidak kesulitan dalam memenuhi syarat untuk mendapatkan utang.
3. Tidak membagi kendali
Jika perusahaan memilih alternatif lain seperti menerbitkan saham, maka perusahaan harus kehilangan sebagian kendali terhadap perusahaan karena sebagian kendali tersebut telah dimiliki pihak lain (pihak yang membeli saham perusahaan).
4. Menjadi alat pengurang pajak
Utang merupakan pengurang laba. Semakin tinggi utang maka pada laporan keuangan, laba yang dihasilkan oleh perusahaan akan semakin kecil sehingga pajak yang ditanggung oleh perusahaan juga akan berkurang.
5. Menurunkan biaya keagenan (agency cost) dari ekuitas
Penggunaan utang akan mendisiplinkan manajer untuk tidak sembarangan menggunakan kas dan harta perusahaan untuk kepentingannya sendiri. Pengawasan yang dilakukan oleh kreditur jauh lebih ketat dan efektif daripada pengawasan yang dilakukan oleh para pemegang saham di luar perusahaan dengan informasi yang relatif terbatas.
Kendati demikian, utang juga memiliki kelemahan dan dapat menjadi ancaman bagi kelangsungan hidup perusahaan. Kelemahan-kelemahan tersebut adalah :
1. Mengancam likuiditas perusahaan
Tingginya utang dapat menyebabkan risiko perusahaan semakin tinggi sehingga posisi perusahaan semakin tidak likuid. Hal ini diperburuk oleh jumlah aktiva yang tidak seimbang dengan jumlah utang perusahaan.
2. Kesulitan dalam menarik kreditor dan investor
Utang yang tinggi dapat menyebabkan calon kreditor berpikir dua kali sebelum meminjamkan dana kepada perusahaan karena semakin tinggi utang yang dimiliki perusahaan maka semakin tinggi pula risiko perusahaan tersebut tidak mampu membayar. Pihak investor juga akan kurang tertarik jika mengetahui besarnya jumlah perusahaan, karena jumlah utang yang besar akan mengakibatkan laba perusahaan semakin berkurang dan dividen yang dibagika pun akan semakin kecil jumlahnya.
3. Kewajiban untuk membayar
Jika menggunakan utang, maka perusahaan memiliki kewajiban untuk membayar kepada kreditor sehingga aktivitas perusahaan menjadi terbebani oleh utang.
4. Bunga
Perusahaan juga harus membayar beban bunga pinjaman sehingga pendapatan yang diperoleh perusahaan semakin kecil. Semakin besar jumlah utang yang dimiliki perusahaan, maka kreditor akan memberikan bunga yang lebih besar pula.
Analisis Kewajiban
Untuk mengukur seberapa besar kemampuan perusahaan dalam mengendalikan kewajibannya (baik kewajiban jangka pendek maupun kewajiban jangka panjang) terdapat beberapa cara/rumus (Warren Reeve Fess.2005) , yaitu:
1. Rasio Aktiva Tetap terhadap Kewajiban Jangka Panjang
Merupakan ukuran solvensi yang menunjukkan margin pengaman dari pemegang wesel atau pemegang obligasi. Rasio ini juga menunjukkan kemampuan perusahaan untuk meminjam tambahan dana atas dasar jangka panjang.
2. Rasio Kewajiban terhadap Ekuitas Pemegang Saham
Merupakan ukuran solvensi yang menunjukkan margin pengaman bagi kreditor. Rasio ini juga menunjukkan kemampuan perusahaan untuk bertahan dalam menghadapi kondisi bisnis yang memburuk.
3. Jumlah Kelipatan Beban Bunga yang Dapat Dibayarkan atau Rasio Cakupan Beban Tetap
Merupakan ukuran yang menunjukkan kekuatan keuangan perusahaan secara umum, yang bersangkutan dengan pemegang saham, karyawan, dan kreditor. Semakin tinggi rasio ini, semakin rendah risiko bahwa pembayaran bunga tidak dapat dilakukan jika pendapatan menurun. Namun semakin tinggi rasio ini, semakin besar pula keyakinan bahwa pembayaran bunga dapat dilakukan secara berkesinambungan.

4. Total Utang terhadap Total Aktiva
Semakin rendah angka rasio ini, maka semakin besar peredaman dari kerugian yang dialami kreditor jika terjadi likuidasi terhadap perusahaan.
5. Rasio Cakupan EBITDA
Penghitungan rasio ini dimaksudkan untuk menyempurnakan rasio cakupan beban tetap karena rasio tersebut dinilai memiliki 2 kelemahan, yaitu
a. Bunga bukanlah satu-satunya beban keuangan yang bersifat tetap, perusahaan juga harus mengurangi utangnya sesuai jadwal, dan banyak perusahaan menyewa aktivanya dan akibatnya harus melakukan pembayaran sewa.
b. EBIT (earning before interest and tax) tidaklah mencerminkan seluruh arus kas yang tersedia untuk melayani utang, terutama bagi perusahaan yang memiliki baban depresiasi dan amortisasi yang tinggi.
6. Utang Jangka Panjang terhadap Ekuitas (Long-term Debt to Equity)
Penghitungan ini dilakukan untuk mengetahui seberapa besar perbandingan pendanaan dari kreditor terhadap pendanaan ekuitas perusahaan.
7. Kelipatan Bunga Dihasilkan (Times Interest Earned)
Penghitungan ini dilakukanb untuk mengetahui seberapa besar perbandingan antara laba perusahaan dengan komitmen tetapnya (bunga).
Risiko Kewajiban
Semakin besarnya jumlah utang, banyak pakar ekonomi yang memperingatkan pemerintah akan adanya risiko jebakan utang (debt trap) dimana utang sudah terlalu membebani anggaran negara untuk membayar angsuran pokok utang dan bunga. IMF dan World Bank (2001) mengidentifikasi beberapa risiko yang dihadapi suatu negara terkait dengan jumlah utang yang besar, yaitu:
1. Risiko Bisnis (Business Risk)
Risiko yang dihadapi perusahaan ketika melakukan aktivitas operasi tanpa menggunakan utang. Dalam risiko ini, terdapat ketidakpastian tingkat pengembalian (return) dari jumlah yang diinvestasikan dalam kondisi tidak ada utang. Rumus yang dapat digunakan untuk mengetahui tingkat pengembalian atas ekuitas adalah:
Sedangkan rumus yang dapat digunakan untuk menghitung laba bersih (Net Income) adalah:
2. Risiko Keuangan
Risiko yang dihadapi perusahaan ketika perusahaan tersebut melakukan kegiatan operasi perusahaan dengan menggunakan utang. Risiko ini mempertanyakan apakah dana yang diperoleh dari utang mampu meningkatkan harga saham. Rumus yang digunakan untuk menghitung harga per lembar saham (Earning per Share) adalah:
3. Risiko Pasar (Market Risk)
Risiko pasar merupakan risiko yang berkaitan dengan fluktuasi suku bunga, nilai tukar mata uang, harga komoditas, dan inflasi.
4. Funding Risk
Funding Risk merupakan risiko ketika pemerintah memerlukan dana untuk pembiayaan anggaran atau roll-over utang pada tingkat yang dapat diterima. Risiko ini terkait dengan kemampuan pemerintah untuk melakukan pinjaman baru yang dibutuhkan. Semakin besar jumlah utang yang dimiliki oleh suatu negara, maka semakin besar kesulitan pemerintah dalam mendapatkan pinjaman baru. Risiko lainnya adalah risiko roll-over, yaitu risiko dimana utang akan di roll –over dengan biaya yang sangat tinggi bahkan risiko utang tidak dapat di roll-over sama sekali. Ketidakmampuan perusahaan untuk memperpanjang jatuh tempo utang tersebut dapat menimbulkan krisis utang dan menimbulkan kerugian ekonomi. Pengelolaan risiko ini sangat penting khususnya bagi negara yang sedang berkembang.
5. Risiko Likuiditas (Liquidity Risk)
Risiko ini beehubungan dengan manajemen kas pemerintah. Risiko likuiditas mengarah ke suatu keadaan dimana volume aset lancar (kas) menurun dengan cepat karena timbulnya kewajiban pembayaran yang tidak diantisipasi sebelumnya atau kesulitas dalam memperoleh kas melalui pinjaman jangka pendek. Selain itu, risiko likuiditas juga sangat erat hubungannya dengan jebakan utang (debt trap), karena jika suatu negara mengalami jebakan utang (debt trap) yang tidak segera diselesaikan, maka akan mengarah ke jebakan likuiditas (liquidity trap).
6. Risiko Kredit (Kredit Risk)
Risiko ini berhubungan dengan kinerja yang rendah dari peminjam atas kesepakatan keuangan yang telah dicantumkan dalam kontrak. Risiko kredit merupakan risiko yang relevan khususnya dalam pengelolaan aset lancar. Tingginya risiko kredit akan menimbulkan premi yang tinggi terhadap pemerintah pada saat menjual surat utang atau menutup kontrak derivative sehingga menjadikan biaya peminjaman (cost of borrowing) lebih tinggi di atas rata-rata tarif premi pasar.
7. Risiko Operasional (Operasional Risk)
Risiko ini meliputi berbagai jenis risiko seperti kemungkinan kesalahan dari berbagai tahap pelaksanaan dan pencatatan transaksi, ketidakcukupan atau kegagalan pengendalian intern atau kegagalan sistem, risiko reputasi, risiko hukum, risiko keamanan, dan risiko bencana alam yang mempengaruhi aktivitas pemerintah.
Restrukturisasi Utang
Restrukturisasi utang secara umum dapat diartikan sebagai penataan kembali utang suatu perusahaan yang telah jatuh tempo, sesuai dengan kemampuan keuangan perusahaan tersebut dalam periode waktu yang telah disepakati antara debitor dan kreditur (Hadiwijaya, 2002). Beberapa bentuk restrukturisasi utang adalah :
1. Memasukkan modal baru oleh pemegang saham yang lama atau oleh pemegang saham yang baru melalui penempatan langsung (direct placement) atau melalui bursa saham.
2. Melakukan konversi utang dengan convertible bond.
3. Melakukan konversi utang menjadi modal perseroan (debt for equity conversion).
4. Melakukan penjadwalan kembali pelunasan utang (rescheduling), termasuk pemberian masa tenggang (grace period) yang baru atau pemberian moratorium kepada debitor.
5. Melakukan persyaratan kembali perjanjian utang (reconditioning)
6. Melakukan pengurangan jumlah utang pokok (hair cut)
7. Melakukan pengurangan tingkat suku bunga.
8. Melakukan pengurangan jumlah bunga dan utang pokok yang tertunggak.
9. Memberikan tambahan utang baru.
10. Mengkonversi utang dengan surat utang yang dapat dipindah tangankan, baik surat utang jangka panjang menengah maupun jangka panjang.
11. Melakukan penggabungan (merger) dengan perseroan lain.
12. Melakukan peleburan (consolidation) dengan perseroan lain.
13. Melakukan perjanjian akuisisi saham perseroan (aquisition of stock) oleh pihak lain
14. Menjual aktiva yang tidak produktif atau yang tidak langsung diperlukan untuk kegiatan usaha perseroan.
15. Melakukan hal-hal lain yang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Debt Swapping
Munculnya berbagai masalah yang berkaitan dengan ketidakmampuan debitor untuk melunasi utang-utangnya menimbulkan berbagai alternatif solusi. Alternatif solusi yang ditawarkan diantaranya adalah penjadwalan kembali dan haircut (pemotongan langsung). Yang dimaksud dengan haircut adalah kondisi dimana pihak kreditor memangkas secara langsung jumlah utang pihak debitor guna meringankan beban pihak debitor selaku peminjam dana sehingga dapat melunasi utangnya dengan lebih cepat. Dalam beberapa kasus, pihak kreditor dapat memberikan pembebasan kepada debitor dari kewajiban untuk membayar utangnya atau dengan kata lain utang debitor tersebut telah dihapuskan.
Selain beberapa solusi di atas, terdapat solusi lain yang dikenal dengan istilah debt swap. Dalam mekanisme debt swap, utang dikonversi dengan sumberdaya lain yang telah disepakati antar pihak pemberi (kreditor) dan penerima pinjaman (debitor). Terdapat tiga jenis debt swap yang telah diterapkan di beberapa negara, yaitu:
1. Debt Foreign Equity Swap
Dalam mekanisme Debt Foreign Equity Swap, utang pemerintah diganti dengan ekuitas yang bisa diperjualbelikan di sebuah perusahaan di luar negeri dengan harapan apabila perekonomian membaik, meka nilai ekuitas yang dimiliki kreditor ikut naik dan hal ini akan memberi keuntungan.
2. Debt for Development Swap (DDS)
Merupakan suatu mekanisme pambatalan sebagian utang dengan cara menukarkannya dengan komitmen debitor untuk pembangunan.
3. Debt for Nature Swap (DNS)
Dalam mekanisme Debt for Nature Swap, utang milik pemerintah diganti dengan konservasi sumber daya alam. Pembatalan utang untuk konservasi alam atau debt for nature swap (DNS) didefinisikan sebagai pembatalan utang luar negeri sebagai imbalan atas komitmen pemerintah negara peminjam untuk memobilisasi sumber-sumber keuangan domestik (utang atau kekayaan lain) untuk suatu kegiatan yang telah disepakati bersama.
Kedua jenis Debt Swap tersebut dapat menjadi alat pengurang utang negara sehingga beban utang yang ditanggung oleh negara dapat menjadi lebih ringan dan diharapkan negara tersebut dapat melunasi sisa utangnya dengan cepat. Disamping itu, cara ini juga digunakan untuk menghidari tidak tertagihnya utang suatu negara (kredit macet).
Debt for Nature Swap
Pengertian Debt for Nature Swap
Debt for Nature Swap merupakan sebuah gagasan yang dilontarkan oleh Thomas Lovejoy, President of Science for WWF (World Wildlife Foundation) Amerika Serikat, pada tahun 1984. Gagasan tersebut melahirkan sebuah mekanisme finansial yang dikenal dengan istilah Debt for Nature Swap.
Debt for Nature Swap dapat didefinisikan sebagai suatu mekanisme restrukturisasi utang luar negeri yang bertujuan untuk meringankan beban debitor (baik pemerintah maupun swasta) dengan memanfaatkan sumber daya domestik (NRM/EPIQ Group, 2005). Selain itu, Debt for Nature Swap juga dapat didefinisikan sebagai pembatalan utang luar negeri dengan cara menukarnya dengan suatu komitmen dari negara debitor untuk memobilisasi sumber daya keuangan domestik untuk lingkungan (Tim Debt-for-Nature Swaps Departemen Kehutanan dan Perkebunan, 1998). Jadi, Debt for Nature Swap adalah pengurangan atau pembatalan utang luar negeri suatu negara dengan disertai dengan komitmen yang telah disepakati oleh negara kreditor dan debitor, dimana negara debitor harus menyisihkan sejumlah dana untuk digunakan dalam kegiatan pelestarian alam.
Manfaat Debt for Nature Swap
Manfaat dilakukannya Debt for Nature Swap bagi beberapa pihak adalah:
1. Bagi debitor (pemerintah dan swasta)
a. Utang dikonversi ke dalam mata uang rupiah.
b. Arus kas terbantu karena pembayaran utang dalam jangka waktu yang lebih panjang.
2. Bagi kreditor
a. Mendapatkan kembali utang bermasalah dalam mata uang hard currency (dolar AS).
b. Manfaat pajak dan publisitas dalam masyarakat.
c. Manfaat non keuangan lainnya (contoh: nama baik, goodwill, hubungan masyarakat, dan lain-lainnya) karena mendukung kegiatan pelestarian alam.
3. Bagi pemerintah sebagai penyelenggara negara
a. Membantu restrukturisasi utang.
b. Mengurangi beban devisa teradap neraca pembayaran.
c. Mengurangi ketergantungan pendanaan konservasi dari sumber APBN.
4. Bagi ekosistem dan sekitarnya
a. Tersedianya dana tambahan (additional fund) untuk kegiatan pelestarian alam.
b. Pelestarian alam yang berkelanjutan membawa manfaat yang tidak ternilai harganya bagi kelangsungan ekosistem dan kehidupan manusia.
c. Mendorong investasi dalam kegiatan hutan.
Berikut ini adalah keunggulan mekanisme Debt for Nature Swap dalam restrukturisasi utang komersil pemerintah dan swasta:
Komponen
Keunggulan Transaksi
Keuntungan
Masa Restrukturisasi
Masa pembayaran kembali utang dalam jangka waktu yang lebih panjang
Arus kas dapat dikelola dengan lebih baik
Denominasi mata uang pinjaman
Berubah menjadi mata uang local (local currency)
Tidak menghadapi risiko fluktuasi nilai tukar
Tingkat suku bunga
Tergantung pada negosiasi dan kondisi ketahanan debitor
Mengurangi beban APBN
Syarat Dilakukannya Debt for Nature Swap
Debt for Nature Swap akan berhasil dilakukan jika beberapa syarat berikut terpenuhi:
1. Pihak kreditur (bank, badan kredit ekspor, badan bantuan)
Pihak Kreditur harus bersedia mendonasi atau menjual utang dengan pertimbangan bahwa manfaat pengurangan utang melalui Debt for Nature Swap akan melebihi manfaat dari menunggu pembayaran kembali utang yang macet.
2. Pihak debitor (pemerintah atau sektor swasta)
Pihak debitor perlu menunjukkan ketertarikannya terhadap transaksi Debt for Nature Swap serta bersedia menyediakan mata uang local atau aset bernilai lainnya untuk mendukung kegiatan konservasi dengan mendapat “imbalan” berupa pengurangan utang luar negeri. Debitor akan tertarik untuk mendapatkan diskon setinggi mungkin terhadap beban utangnya. Pemerintah debitor juga tertarik untuk mendapatkan investasi tambahan dalam bidang konservasi. Debitor swasta akan merasa tertarik pada mekanisme Debt for Nature Swap jika syarat-syarat pembayaran utang sebagai kewajiban dari transaksi Debt for Nature Swap ini lebih menguntungkan.
3. Bagi investor konservasi (LSM, institusi riset, institusi akademis, PBB, lembaga-lembaga dana abadi)
Pihak-pihak investor konservasi tertarik dan mengharapkan manfaat nyata dari Debt for Nature Swap seperti investasi tambahan di bidang konservasi, meningkatnya perlindungan terhadap keanekaragaman hayati, dan lain sebagainya.
4. Pihak donor
Terdapat pihak yang menyediakan dana untuk mendukung transaksi Debt for Nature Swap dengan menyediakan mata uang dollar AS sebagai upaya untuk membantu proyek konservasi yang telah diidentifikasi dan sekaligus mempromosikan pertumbuhan ekonomi melalui pengurangan utang.
Jika salah satu dari empat syarat diatas tidak terpenuhi dengan baik akan menimbulkan hambatan-hambatan yang pada akhirnya akan menyebabkan mekanisme Debt for Nature Swap menjadi kurang baik atau kurang lancar.
Jenis Debt for Nature Swap
Ditinjau dari pihak yang terlibat masalah, pendanaan untuk konservasi alam ini dapat dibedakan atas dua jenis, yaitu:
1. Melibatkan tiga pihak (triparties)
Dalam Debt for Nature Swap Triparties, ada tiga pihak yang dilibatkan dalam prosesnya, yaitu investor, kreditor, dan debitor pemerintah, atau dapat pula investor, kreditor, dan debitor swasta.
Contoh skema transaksi Debt for Nature Swap yang melibatkan tiga pihak dalam utang sebesar US$ 20 juta:
Dalam transaksi Debt for Nature Swap yang melibatkan tiga pihak (triparties), terdapat 3 tahapan yang harus dilalui, yaitu:
a. Tahap 1
Pada awalnya, pihak debitor (baik pemerintah maupun swasta) memiliki utang kepada pihak kreditor (baik pemerintah maupun swasta) sebesar $20 juta. Namun proses pembayaran atau pelunasan kredit tersebut bermasalah sehingga pihak debitor tidak dapat melunasi utangnya dengan cepat atau bahkan tidak dapat membayarnya sama sekali, sehingga kredit ini dapat digolongkan sebagai kredit macet. Fasilitator transaksi, yang dalam proses ini adalah badan konservasi alam, yayasan pencinta lingkungan, atau LSM, menggunakan dana hasil kumpulan donasinya untuk membeli surat utang pihak debitor kepada pihak kreditor dengan harga yang lebih rendah dari harga aslinya (dalam contoh ini sebesar $15 juta). Pihak kreditor yang beranggapan bahwa utang debitor tidak dapat tertagih dengan mudah, akan menyetujui pembelian tersebut untuk meringankan risiko tidak tertagihnya utang walaupun harga beli surat utang tersebut lebih rendah dari harga aslinya (selisih nilai asli dengan nilai jual surat utang dapat disebut diskon). Selain itu, pihak kreditor juga dapat memiliki manfaat yang jauh lebih besar dan tidak ternilai harganya dengan membantu melakukan pelestarian alam dan konservasi.
b. Tahap 2
Pihak debitor yang surat utangnya telah dibeli oleh fasilitator transaksi, tetap memiliki kewajiban untuk melunasi utang-utangnya. Namun, jangka waktu utang tersebut akan diperpanjang dan jumlah utangnya akan dikurangi / dipotong sehingga lebih rendah dari jumlah utang semula. Dengan cara ini diharapkan beban pihak debitor lebih ringan sehingga dapat segera melunasi utangnya kepada pihak fasilitator transaksi.
c. Tahap 3
Setelah pihak fasilitator mendapatkan pelunasan kredit dari pihak debitor (dalam contoh ini sebesar $18 juta), maka dana tersebut akan digunakan oleh fasilitator transaksi untuk kegiatan kelestarian alam dan konservasi lingkungan di negara debitor. Hal ini disebabkan karena adanya kerusakan sumber daya alam di negara debitor yang disebabkan karena negara tersebut terlalu mengeksploitasi sumber dayanya untuk meningkatkan pendapatan negara yang sebagian besar digunakan utuk membayar utang (baik utang pemerintah maupun swasta).
2. Melibatkan dua negara (Bilateral)
Dalam Debt for Nature Swap bilateral, terdapat dua pihak yang dilibatkan yaitu kreditor pemerintah (negara kreditor) dan debitor pemerintah (negara debitor). Dalam proses ini suatu kreditur pemerintah membatalkan utang yang dimiliki oleh debitor pemerintahan dengan jalan debitor tersebut menyisihkan sejumlah dana lokal yang disepakati atau dengan mengubah kebijakan demi keuntungan pelestarian.
Contoh skema Debt for Nature Swap terhadap utang bilateral pemerintah dengan utang sebesar US$ 100juta:
Pada awalnya, negara debitor memiliki utang sebesar US$ 100 juta kepada negara kreditor. Namun pembayaran utang tersebut ternyata bermasalah karena negara debitor tidak mampu untuk melunasi utangnya, sehingga kredit tersebut dapat digolongkan sebagai kredit macet. Negara kreditor yang mengetahui ketidakmampuan negara debitor untuk melunasi utangnya, akhirnya membebaskan negara debitor dari utang tersebut (dalam contoh ini sebesar US$ 100 juta). Tetapi pembebasan ini disertai beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh negara debitor. Salah satunya adalah perjanjian dimana negara debitor harus menyisihkan sejumlah dana (dalam contoh ini sebesar US$ 25 juta) yang kemudian digunakan untuk kegiatan pelestarian lingkungan atau konservasi di negara debitor tersebut. Perjanjian ini tentu saja menguntungkan semua pihak karena negara debitor diringankan bebannya dengan adanya pembebasan utang yang kemudian diganti dengan kewajiban untuk melakukan pelestarian lingkungan dan walaupun negara kreditor mengalami kerugian akibat tidak tertagihnya utang, namun kerugian ini seimbang dengan manfaat yang akan dihasilkan dari kegiatan pelestarian alam dan konservasi yang dilakukan oleh negara debitor.
Hambatan dalam Debt for Nature Swap
Meskipun Debt for Nature Swap dapat menghasilkan sejumlah penambahan dana untuk pelestarian lingkungan, tetapi terdapat sejumlah hambatan yang akan membatasi potensi pemanfaatan Debt for Nature Swap. Pemerintah dan berbagai pihak yang terlibat dalam mekanisme Debt for Nature Swap harus memahami beberapa hambatan tersebut dan harus mengupayakan perbaikan dalam mekanisme Debt for Nature Swap di masa depan untuk menghindari dampak yang tidak diharapkan bersama.
Hambatan terbesar dalam mekanisme Debt for Nature Swap adalah suatu negara yang tidak menghadapi permasalahan dalam membayar kewajiban utangnya walaupun negara tersebut memiliki masalah dalam konservasi alam yang parah, tidak memiliki kesempatan untuk melakukan Debt for Nature Swap karena tidak memerlukan pemotongan utang. Selain itu, mengingat Debt for Nature Swap melibatkan pemabayaran oleh negara debitor dengan mata uang lokalnya, terdapat halangan lain untuk mendapatkan Debt for Nature Swap yaitu tidak tersedianya sumber-sumber dana di dalam negeri. Hambatan ini juga terjadi di Indonesia, sekalipu Indonesia memenuhi syarat dari segi negara yang kesulitan utang dan menghadapi masalah konservasi alam. Namun, kendati sumber-sumber fiskal tidak tersedia, Debt for Nature Swap masih mungkin untuk dilakukan apabila ada insentif atau ada pembayaran dalam bentuk lain.
Hambatan lain untuk merealisasikan Debt for Nature Swap adalah rintangan politik di negara debitor, dimana terdapat ketidakstabilan politik sehingga memengaruhi kemampuan pengambilan keputusan oleh pemerintah dan kurangnya keyakinan bahwa pemerintah akan mampu memenuhi komitmennya sebagaimana yang telah disepakati dalam perjanjian Debt for Nature Swap. Sedangkan hambatan yang timbul bagi pihak negara kreditor adalah tidak adanya kemauan politik untuk memotong piutangnya karena takut berdampak besar pada anggaran negara.
Hambatan-hambatan lain yang mungkin timbul dalam penerapan Debt for Nature Swap adalah adanya potensi untuk korupsi, adanya risiko akan devaluasi, potensi meningkatnya inflasi, serta adanya ketidakmampuan dalam penyerapan proyek pelestarian lingkungan.

STUDI KASUS
Pendahuluan
Untuk mencapai tujuan bernegara, yaitu menciptakan masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera, pemerintah melakukan pembangunan di segala bidang. Pembangunan tersebut sesuai dengan rencana pembangunan jangka menengah dan jangka panjang yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Pembangunan ini bertujuan untuk mendorong perekonomian dan mencapai target pertumbuhan yang telah direncanakan tiap tahunnya. Jika perekonomian Indonesia dapat tumbuh sesuai dengan yang direncanakan maka diharapkan akan tercipta lapangan kerja baru yang diperlukan untuk menyerap tenaga kerja sehingga akan mengurangi jumlah pengangguran.
Dalam melaksanakan pembangunan untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi yang telah ditetapkan, pemerintah memiliki berbagai pilihan sumber pembiayaan. Pembiayaan dalam negeri merupakan pilihan utama yang dimiliki pemerintah untuk pembiayaan pembangunan. Namun, sumber penerimaan dalam negeri yang berasal dari penerimaan pajak, migas, serta penerimaan dalam negeri lainnya belum cukup untuk membiayai pembangunan sesuai target pertumbuhan yang diinginkan. Saat ini, pemerintah Indonesia tidak dapat mengandalkan penerimaan dari sektor migas, sehingga pemerintah harus mengupayakan peningkatan penerimaan dari sektor pajak. Tetapi penerimaan pajak tidak terlepas dari kondisi perekonomian. Perekonomian yang tumbuh secara signifikan akan berdampak terhadap pertumbuhan perusahaan-perusahaan sehingga profitabiitas perusahaan akan semakin besar. Para pekerja pula akan mengalami peningkatan pendapatan.
Pada umunya penerimaan pajak tidak cukup untuk membiayai seluruh kegiatan pembangunan yang dirancang untuk mengejar pertumbuhan yang ditargetkan. Hal ini, nampak dari proporsi penerimaan pajak dalam APBN yang sampai saat ini masih berkisar 72% dari total pendapatan negara. Oleh karena itu, pemerintah mengupayakan pembiayaan pembangunan tersebut dari utang dan kebijakan tersebut termasuk salah satu kebijakan ekonomi yang tidak berubah hingga kini.
Namun demikian, akumulasi utang pemrintah Indonesia semakin membengkak dari tahun ke tahun. Meskipun dalam lima tahun terakhir pemerintah telah berhasilk menurunkan rasio utang terhadap produk domestik bruto )PDB) dari 57% menjadi 33%, tetapi secara nominal saldo utang (dalam negeri dan luar negeri) terus membengkak dari Rp 1300 trilyun menjadi Rp1700 trilyun. Hadar (2009) menyataka bahwa kondisi utang pemerintah Indonesia sudah sangat memprihatinkan. Selama tahun 2005-2006, pemerintah harus mengeluarkan dana Rp42,3 trilyun untuk membayar bunga utang yang jatuh tempo. Sedangkan bunga untuk Surat Utang Negara (SUN) valuta asing sebesar US$132,3 juta. Jumlah tersebut belum termasuk cicilan pokok utang luar negeri sebesar labih dari Rp90 trilyun. Dengan kondisi seperti ini, pada tahun 2005 Bank Dunia memasukkan Indonesia ke dalam kelompok negara di Asia Pasifik yang berpendapatan menengah dengan tingkat utang yang sangat tinggi (severely indebted middle income). Tingginya jumlah utang negara telah menjadi sumber ancaman bagi stabilitas ekonomi makro, baik berupa tekanan defisit fiskal, ketimpangan distribusi sosial dalam APBN, maupun tekanan atas cadangan devisa. Karena itu, diperlukan strategi yang lebih komprehensif guna mengurangi utang tersebut.
Profil Utang Indonesia
Jumlah total outstanding utang pemerintah baik pinjaman luar negeri maupun pinjaman dalam negeri selama periode tahun 1999-2009 dapat dilihat dari grafik berikut ini:
Jumlah Saldo Utang Pemerintah Indonesia
periode 1997- 2009
(trilyun rupiah)
(dalam %)
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
Pinj. LN
100%
82%
47%
47%
48%
47%
47%
49%
47%
43%
42%
45%
43%
SBN
0%
18%
53%
53%
52%
53%
53%
51%
53%
57%
58%
55%
57%
Sumber data:  Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang Departemen Keuangan RI
Pinjaman luar negeri pemerintah Indonesia berasal dari lembaga keuangan internasional, yaitu Bank Dunia (World Bank), Asian Development Bank, Islamic Development Bank, kreditor bilateral (seperti Jepang, Jerman, dan Perancis), serta kredit ekspor. Jenis pinjaman yang diperoleh pemerintah berupa pinjaman program dan pinjaman proyek. Pinjaman program diperuntukkan bagi dukungan anggaran dan pencairannya dikaitkan dengan pemenuhan Policy Matrix di bidang kegiatan untuk mencapai Millenium Development Goals (pengentasan kemiskinan, pendidikan, pemberantasan korupsi), pemberdayaan masyarakat, dan infrastruktur. Pinjaman proyek digunakan untuk pembiayaan proyek infrastruktur di berbagai sektor (seperti sektor perhubungan dan energi), dan proyek dalam rangka pengentasan kemiskinan (PNPM).
Pinjaman dalam negeri digunakan untuk membiayai kegiatan dalam rangka pemberdayaan industri dalam negeri dan pembangunan infrastruktur untuk pelayanan umum serta kegiatan investasi yang menghasilkan penerimaan. Pembiayaan dalam negeri yang digunakan pemerintah Indonesia adalah Surat Berharga Negara (SBN) yang terdiri dari Surat Utang Negara (berupa Surat Perbendaharaan Negara dan Obligasi Negara), dan Surat Berharga Syariah Negara.
Jumlah utang pemerintah yang cenderung meningkat akan membebani APBN karena mengakibatkan adanya lonjakan dalam pembayaran cicilan pokok utang dan bunga setiap tahunnya. Bahkan jumlah pembayaran cicilan pokok utang dan bunga telah lebih besar dibandingkan dengan jumlah penambahan utang baru.
Selisih Jumlah Penambahan Utang Baru
dengan Pembayaran Cicilan Pokok Utang dan Bunga
(dalam juta US$)
Keterangan
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
Penambahan Utang Baru
5.511
5.646
5.224
2.602
5.538
3.661
4.009
3.892
Angsuran Pokok Utang
4.245
4.567
4.955
5.222
5.626
5.787
6.322
6.569
Bunga
2.912
2.782
2.656
2.495
1.339
2.280
2.298
2.272
Jumlah
7.157
7.349
7.611
7.717
6.965
8.067
8.620
8.841
Selisih
(1.646)
(1.703)
(2.387)
(5.115)
(1.427)
(4.406)
(4.611)
(4.949)
Sumber Data: Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang Departemen Keuangan RI
Berdasarkan data di atas, maka tidak berlebihan jika dikatakan bahwa Indonesia telah masuk dalam perangkap jebakan utang (debt trap) yang memaksa pemerintah melakukan “gali lubang tutup lubang” setiap tahunnya (Radhi, 2009).
Solusi
Strategi Pengelolaan Utang
Dengan mempertimbangkan jumlah utang pemerintah Indonesia yang besar, jenis utang yang beragam, jangka waktu pelunasan utang yang beragam, serta berbagai risiko yang melekat pada utang, maka pemerintah perlu merancang strategi pengelolaan utang yang sustainable. Pemerintah telah memiliki strategi utang dengan diterbitkannya Keputusan Menteri Keuangan (KMK) Nomor: 447/KMK.06/2005 tentang Strategi Pengelolaan Utang Negara Tahun 2005-2009. Dalam KMK ini disebutkan mengenai dua jenis strategi umum manajemen utang, yaitu pengelolaan portfolio dan risiko, serta pengembangan pasar primer dan pasar sekunder Surat Utang Begara (SUN).
Pengelolaan portfolio dan risiko mencakup pengurangan utang negara dalam mata uang rupiah, meminimalisasi risiko pembiayaan kembali, peningkatan porsi utang negara dengan bunga tetap, penurunan porsi kredit ekspor, dan penerapan prinsip pengelolaan utang negara yang baik. Pengembangan pasar primer mencakup pengembangan metode penerbitan, pengembangan sistem lelang, penyunan jadwal yang teratur, dan penerbitan benchmark issues. Sedangkan pengembangan pasar sekunder mencakup diversifikasi instrument Surat Utang Negara (SUN), dan aktivitas lain untuk meningkatkan lukuiditas pasar SUN.
Namun demikian, Keputusan Menteri Keuangan (KMK) tersebut, masih perlu disempurnakan dan dalam beberapa hal masih perlu ditingkatkan kedudukannya dalam sistem perundang-undangan yang berlaku. Strategi pengelolaan utang agar diarahkan pada pencapaian tujuan dari pengelolaan utang yaitu meminimalkan biaya utang dengan tingkat risiko yang semakin terkendali.
Strategi yang pertama adalah strategi pengelolaan utang pemerintah dalam jangka panjang saat ini lebih difokuskan pada perolehan sumber pembiayaan untuk mendanai program-program pembangunan dan belum banyak memberikan perhatian pada pengelolaan biaya dan risiko (Suminto, 2006). Saat ini, posisi utang pemerintah semakin besar dengan portfolio utang yang semakin beragam. Sejak tahun 2005, Surat Berharga Negara (SBN) menjadi instrument utama pembiayaan defisit anggaran. Komposisi SBN didominasi oleh obligasi (baik domestik maupun internasional) yang tentunya memiliki eksposure yang tinggi terhadap fluktuasi perekonomian global. Oleh karena itu, strategi pengelolaan utang pemerintah harus berfokus pada pengelolaan biaya dan risiko dari berbagai instrument pembiayaan yang dimiliki sehingga dapat meminimalkan risiko yang mungkin terjadi, khususnya risiko pasar dan risiko likuiditas.
Strategi kedua, pengelolaan utang pemerintah terkait dengan penetapan jumlah utang yang aman bagi perekonomian dan batas maksimum bagi pembayaran utang pemerintah dengan menciptakan kerangka hukum yang kuat. Sesuai  ‘IMF  Country Report”  tahun 2005, tingkat utang yang aman adalah tingkat utang yang tidak rentan terhadap krisis, tidak mengancam pertumbuhan ekonomi, dan tidak mengganggu keseimbangan fiskal (fiscal sustainability). Menurut studi yang dilakukan oleh IMF tersebut, tingkat utang yang aman bagi pemerintah Indonesia adalah berkisar 35% s.d.42 % dari GDP.
Jumlah tingkat utang yang aman ini  perlu ditetapkan dalam suatu Undang-undang, sehingga pemerintah yang berkuasa tidak dapat sewenang-wenang menarik pinjaman. Dalam kerangka hukum pengelolaan utang tersebut diatur pula kewenangan memutuskan utang dan batasan-batasannya serta hubungan antar eksekutif dan legislatif (Suminto, 2006; Hadar, 2009). Disamping itu, diperlukan pula  pemberlakuan batas maksimum pembayaran utang pemerintah, khususnya utang luar negeri.
Strategi ketiga adalah pembentukan intregated debt management office (Bank Dunia, 2004). Saat ini, pengelolaan utang pemerintah ditangani secara parsial oleh beberapa institusi yaitu Departemen Keuangan, Bank Indonesia, Kantor Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, dan Bappenas. Menurut Hadar (2009) debt management office seharusnya tidak hanya mengurus rescheduling dan reprofiling utang, namun juga menawarkan pengelolaan utang secara tidak konvensional yang memerlukan negosiasi dan rekayasa finansial, seperti pemotongan utang (hair cut), penghapusan sebagian utang (write-off), konversi utang menjadi ekuitas, konversi utang ke sumber daya alam (debt for nature swap) dan konversi utang ke MDGs (debt for MDGs swap). 
Debt for Nature Swap Sebagai Salah Satu Cara untuk Mengatasi Utang Luar Negeri Indonesia
Indonesia merupakan salah satu negara yang termasuk dalam kategori negara dengan jumlah utang tertinggi di dunia. Beberapa penyebabnya adalah lemahnya perekonomian Indonesia sehingga rentan terhadap berbagai risiko, terutama pada keadaan perekonomian yang kurang stabil seperti saat ini. Selain itu, kurangnya kemampuan dalam mengelola sumber daya alamnya, menjadikan Indonesia yang semula tergolong dalam The East Asia Miracle menjadi terpuruk.
Tingginya utang yang dimiliki, memicu Indonesia untuk semakin meningkatkan potensi sumber daya alamnya untuk menghasilkan pendapatan yang lebih besar sehingga dapat meringankan utang negara. Namun, cara yang ditempuh Indonesia merupakan cara yang salah. Indonesia cenderung melakukan eksploitasi sumber daya alam secara besar-besaran tanpa memperhitungkan dampak yang akan terjadi akibat kerusakan lingkungan. Akibatnya saat ini masalah yang dihadapi Indonesia tidak hanya masalah ketidakmampuan untk membayar utang yang semakin lama semakin tinggi, tetapi juga masalah kerusakan lingkungan. Kedua masalah tersebut menyeret Indonesia ke dalam kemunduran. Jika keadaan ini terus berlangsung, bukan tidak mungkin Indonesia akan menjadi salah satu negara miskin di dunia.
Untuk mengatasi hal tersebut, pemerintah telah melakukan berbagai cara dan menerapkan berbagai kebijakan untuk mengurangi beban utang negara. Misalnya dengan melakukan restrukturisasi utang dengan beberapa kreditor luar negeri. Di sisi lain, jumlah utang Indonesia semakin meningkat tiap tahunnya, sehingga dalam beberapa tahun terakhir ini seolah-olah Indonesia melakukan apa yang disebut dengan “gali lubang, tutup lubang”.
Akan tetapi, dua masalah yang telah disebutkan di atas (ketidakmampuan membayar jumlah utang yang tinggi dan kerusakan lingkungan) menyebabkan Indonesia menjadi negara yang memenuhi syarat untuk melakuan metode Debt for Nature Swap. Debt for Nature Swap merupakan pembatalan utang luar negeri dengan cara menukarkannya dengan suatu komitmen dari negara pengutang (debitor) untuk memobilisasi sumber keuangan domestik untuk kegiatan konservasi. Jika berhasil diterapkan di Indonesia, maka metode ini akan menguntungkan bagi semua pihak.
Bagi pihak debitor, panghapusan utang akan mendukung kegiatan konservasi dan pembangunan yang akan memberi sumbangan terhadap pemulihan ekonomi. Di samping itu, cara ini dapat menghemat devisa yang akan meningkatkan investasi di bidang konservasi dan pembangungan.
Salah satu dampaknya bagi Indonesia adalah turunnya anggaran pengelolaan kawasan konservasi di Indonesia. Debt for Nature Swap akan sangat baik diterapkan di Indonesia karena secara signifikan Debt for Nature Swap akan membantu mobilisasi sumber daya keuangan domestik dalam mendukung kegiatan pelestarian alam.
Krisis ekonomi yang baru-baru ini terjadi, juga telah menimbulkan berbagai tekanan terhadap kelangsungan hidup dan pengelolaan berbagai tempat konservasi alam seperti taman nasional. Hal ini mengakibatkan diperlukannya dana yang cukup besar untuk mengatasi masalah tersebut. Kebutuhan akan dana ini, tentu saja sulit dipenuhi oleh pemerintah mengingat banyaknya keperluan dana untuk mnyediakan subsidi bagi masyarakat dan pembangunan negara. Tetapi dengan adanya Debt for Nature Swap, Indonesia tidak perlu melunasi utangnya melainkan hanya mengalirkan kewajiban pembayaran utang yang dimilikinya menjadi dana untuk pengelolaan konservasi di Indonesia.
Kendati demikian, terdapat beberapa hambatan yang timbul untuk melaksanakan Debt for Nature Swap di Indonesia. Yang pertama, mekanisme pelaksanaan Debt for Nature Swap cukup rumit dan pelaksanaannya masih sulit untuk dinegosiasikan karena keadaan politik dan ekonomi Indonesia yang masih belum stabil. Kedua, terdapat kreditor luar negeri yang enggan untuk melakukan kesepakatan Debt for Nature Swap dengan Indonesia karena tingginya jumlah utang Indonesia. Yang terakhir adalah jika Indonesia akan membuka lahan koservasi maka hal ini kemungkinan besar akan merugikan masyarakat khususnya suku pedalaman karena sebagian besar wilayah Indonesia yang masih alami (belum tersentuh oleh dunia modern) merupakan tempat tinggal dari suku-suku asli dan masyarakat adat di daerah tersebut. Sehingga jika lahan konservasi dibuka, maka keberadaan suku-suku tersebut akan terancam (akan diusir dari wilayah konservasi). Walaupun terdapat beberapa hambatan, tetapi bukan tidak mungkin metode Debt for Nature Swap dapat diterapkan di Indonesia.
Utang yang ditanggung oleh Indonesia tidak hanya berasal dari satu kreditor saja melainkan dari banyak kreditor luar negeri. Karena itu, kendati Indonesia berhasil mengadakan perjanjian tentang Debt for Nature Swap dengan beberapa kreditor, namun hal ini tidak akan berdampak besar terhadap jumlah utang negara (hampir tidak mungkin Indonesia mengadakan perjanjian Debt for Nature Swap dengan seluruh kreditornya meningat mekanisme pelaksanaan dan negosiasinya yang sangat sulit dilakukan). Sehingga, walaupun Debt for Nature Swap bukan merupakan sebuah solusi untuk mengatasi ketidakstabilan perekonomian Indonesia saat ini, namun Debt for Nature Swap merupakan sebuah alternatif pemecahan masalah untuk meringankan beban utang negara yang semakin lama semakin meningkat.
Kesepakatan Debt for Nature Swap antara Indonesia dengan Amerika Serikat
Dalam sebuah program yang bernama Tropical Forest Conservation Act (TFCA), pemerintah Amerika membuka kesempatan bagi negara-negara debitur (negara yang memiliki utang kepada Amerika) untuk mengurangi jumlah utangnya. TFCA merupakan salah satu program Debt for Nature Swap yang diselenggarakan oleh Amerika Serikat. Melalui program ini, negara-negara yang memiliki hutan hujan tropis akan mendapatkan potongan utang maksimal 40% dari harga utangnya. Hal ini tentu saja merupakan peluang emas bagi Indonesia. Apalagi Indonesia merupakan salah satu negara dengan hutan hujan tropis terbesar di dunia.
Pada tanggal 30 Juni 2009, pemerintah Indonesia dan Amerika menandatangani perjanjian TFCA pertama bagi Indonesia. Pada perjanjian tersebut, Amerika akan mengurangi jumlah pembayaran utang Indonesia sebesar US$30 juta selama masa 8 tahun. Sebagai gantinya, pemerintah Indonesia akan menggunakan dana tersebut untuk mendukung restorasi hutan-hutan di daerah Sumatra.
Perjanjian TFCA pertama ini merupakan Debt for Nature Swap terbesar dalam sejarah TFCA dan dapat terwujud berkat kontribusi sebesar US$20 juta dari pemerintah Amerika Serikat dan gabungan donasi sebesar US$ 2 juta dari Conservation International dan Yayasan Keanekaragaman Hayati (KEHATI).
Kemudian, pada tanggal 14 Januari 2010 pemerintah Amerika Serikat dan Indonesia telah mengumumkan dimulainya pembahasan isi kesepakatan kedua mengenai pengalihan utang untuk pelestarian alam (Debt for Nature Swap) di bawah Undang-Undang Perlindungan Hutan Tropis (The Tropical Forest Conservation Act/TFCA) Amerika Serikat untuk pelestarian lingkungan. Departemen Keuangan Amerika Serikat telah menyisihkan US$19 juta untuk mengelola jumlah utang yang layak dialihkan.
Adanya perjanjian ini merupakan kesempatan emas bagi Indonesia. Diharapkan setelah perjanjian ini dilakukan, beban utang Indonesia akan menjadi lebih ringan dan keadaan sumber daya alam Indonesia semakin membaik.

PENUTUP
Simpulan
Utang merupakan sebuah komponen ekonomi yang memiliki dua sisi, yaitu sisi positif dan negatif. Sisi positif utang adalah jika digunakan dengan baik, utang dapat menjadi alat untuk meningkatkan perekonomian negara dan meningkatkan keadaan ekonomi suatu usaha. Misalnya, utang dapat digunakan untuk mendanai pembangunan negara, memperluas usaha, membuka lapangan pekerjaan, dan lain sebagainya.
Namun, sisi negatif dari utang adalah jika tidak digunakan dengan baik, utang dapat menjadi boomerang terhadap pihak debitor itu sendiri. Utang yang semakin tinggi akan menyebabkan likuiditas suatu usaha menurun dan dapat mengancam kedaulatan negara. Hal ini dapat menyebabkan risiko ketidakmampuan dalam melunasi utang sangat tinggi dan pada akhirnya dapat menyebabkan kebangkrutan atau defisit.
Untuk mengatasi dampak negatif dari utang tersebut, terdapat beberapa cara untuk mengatasi ketidakmampuan pihak debitor dalam melunasi utangnya. Misalnya dengan melakukan Debt for Nature Swap, yaitu pembatalan utang luar negeri dengan cara menukarkannya dengan suatu komitmen dari negara pengutang (debitor) untuk memobilisasi sumber keuangan domestik untuk kegiatan konservasi.
Dalam Debt for Nature Swap, negara debitor tidak perlu melunasi utangnya melainkan mengalirkannya untuk membiayai kegiatan pelestarian dan konservasi alam. Dengan melakukan Debt for Nature Swap, Indonesia dapat mengurangi jumlah utang luar negerinya sekaligus dapat memperbaiki keadaan alamnya yang semakin rusak dari tahun ke tahun.
Namun demikian, Debt for Nature Swap bukanlah solusi untuk mengatasi keterpurukan perekonomian Indonesia, namun Debt for Nature Swap merupakan sebuah alternatif solusi yang ditawarkan untuk meringankan beban utang negara yang semakin membengkak tiap tahunnya. Sehingga diharapkan setelah melakukan Debt for Nature Swap, keadaan Indonesia dapat menjadi lebih baik dan memiliki ketahanan dalam menghadapi ketidakstabilan dalam dunia perekonomian, baik dari dalam negeri maupun luar negeri.

Daftar Pustaka
Fess, Warren, & Reeve. (2004). Pengantar Akuntansi. Jakarta: Salemba Empat.
Houston & Brigham. (2006). Fundamentals of Financial Management. Jakarta: Salemba Empat.
Ikatan Akuntan Indonesia. (2009). Standar Akuntansi Keuangan. Jakarta: Salemba Empat.
Kieso, Donald. E, Jerry J. Weygandt, & Terry D. Warfield. (2001). Intermediate Accounting. Jakarta: PT Gelora Aksara Pratama.
Madura, Jeff. (2007). Introduction to Business. Jakarta: Salemba Empat.
Waluyo. (2009). Akuntansi Pajak. Jakarta: Salemba Empat.