Jumat, 20 Januari 2023

MATERIALITAS DAN RISIKO AUDIT

 ALBERTINA WIDIANA S. & DANIEL SUGAMA STEPHANUS

MAKALAH PENGAUDITAN          

PROGRAM STUDI AKUNTANSI - FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS MA CHUNG – KABUPATEN MALANG

2014

 

ABSTRAK

Laporan keuangan merupakan informasi keadaan dan kinerja perusahaan selama perioda tertentu. Laporan keuangan tidak terlepas dari kesalahan, baik sengaja maupun tidak. Sehingga, audior sebagai pihak independen bertugas memberikan opini dan memeriksa laporan keuangan tersebut. Kecurangan dalam laporan keuangan bisa terjadi karena pihak yang tidak bertanggungjawab demi memperoleh keuntungan yang besar dan membuat laporan keuangan menjadi bersifat material. Tingkat materialitas adalah seberapa besar salah saji yang diterima auditor sehingga tidak berpengaruh terhadap penggunaan laporan keuangan. Besarnya tingkat materialitas tiap auditor berbeda. Auditor menggunakan dua acuan ketika menentukan tingkat materialitas. Pertama, auditor akan menerapkan materialitas dan perencanaan audit. Kedua, ketika evaluasi bukti audit dalam pelaksanaan audit. Laporan keuangan mengandung salah saji material bila laporan keuangan berisi kekeliruan serta kecurangan oleh individu atau sekelompok orang yang membuat laporan keuangan tidak wajar dalam semua hal yang material. Risiko audit terdiri atas tiga, yaitu risiko inheren, risiko pengendalian, dan risiko deteksi.

Kata-kata kunci: laporan keuangan, opini audit, materialitas, salah saji, risiko audit, risiko inheren, risiko pengendalian, risiko deteksi

 

1.      PENDAHULUAN

Akuntan publik atau auditor bertugas memberikan jasa audit terhadap laporan keuangan perusahaan. Dalam melaksanakan tugasnya, akuntan publik memiliki kode etik yang mengatur perilaku para akuntan untuk dapat menjalankan tugasnya dengan baik dan benar. Auditor melakukan audit laporan keuangan perusahaan guna memeriksa dan memberikan pendapat atas kewajaran laporan keuangan tersebut. Laporan keuangan yang telah diaudit dapat memberikan kepercayaan bagi para pihak berkepentingan, seperti pihak manajemen perusahaan, kreditor, dan investor sehingga membantu pihak tersebut dalam mengambil keputusan.

Pihak pengguna laporan audit seperti pihak manajemen perusahaan, kreditor, investor dan pihak lainnya berharap laporan keuangan perusahaan yang telah diaudit bebas dari salah saji material. Laporan keuangan yang bebas daari salah saji material dapat meningkatkan kepercayaan pengguna akan kewajaran laporan yang dibuat oleh manajemen perusahaan. Materialitas menunjukkan seberapa besar salah saji yang diterima auditor sehingga pengguna laporan keuangan tidak terpengaruh oleh salah saji tersebut. Dalam menentukan tingkat materialitas, auditor mempertimbangkan keadaan yang berhubungan dengan satuan usaha dan informasi yang dibutuhkan oleh pengguna yang mengandalkan laporan keuangan.

Auditor menerapkan materialitas pada dua keadaaan. Pertama, ketika menerapkan materialitas dan perencanaan audit. Kedua, ketika evaluasi bukti audit


dalam pelaksaan audit. Ketika tahap perencanaan, auditor membuat perkiraan materialitas antara jumlah dalam laporan keuaangan yang dipandang material oleh auditor dengan jumlah pekerjaan audit yang dibutuhkan untuk menyatakan kewajaran laporan keuangan.

Laporan keuangan dikatakan mengandung salah saji material bila laporan keuangan berisi kekeliruan serta kecurangan secara individu atau kelompok yang membuat laporan keuangan menjadi tidak wajar untuk semua hal yang material. Salah saji terjadi karena penerapan prinsip akuntansi yang keliru, menyimpang dari fakta dengan menghilangkan informasi yang diperlukan. Kekeliruan berarti penghilangan yang tidak sengaja atas jumlah dalam laporan keuangan.

Walaupun auditor melakukan audit terhadap laporan keuangan, namun auditor tidak dapat bahwa laporan keuangan auditan akurat. Hal ini karena auditor tidak memeriksa setiap transaksi yang terjadi dalam tahun yang diaudit serta tidak dapat menentukan apakah semua transaksi yang terjadi telah dicatat, diringkas, digolongkan, dan dikompilasi secara semestinya dalam laporan keuangan. Sehingga menurut Mulyadi (2002) dalam audit laporan keuangan, auditor memberikan keyakinan (assurance) sebagai berikut:

Auditor dapat memberikan keyakinan bahwa jumlah-jumlah yang disajikan dalam laporan keuangan beserta pengungkapannya telah dicatat, diringkas, digolongkan, dan dikompilasi.

Auditor dapat memberikan keyakinan bahwa ia telah mengumpulkan bukti audit kompeten yang cukup sebagai dasar memadai untuk memberikan pendapat atas laporan keuangan.

Auditor dapat memberikan keyakinan dalam bentuk pendapat atau memberikan informasi dalam hal terdapat perkecualian bahwa laporan keuangan sebagai keseluruhan disajikan secara wajar dan tidak terdapat salah saji material karena kekeliruan dan ketidakberesan

Oleh karena itu, ada dua hal yang mendasari keyakinan (assurance) yang diberikan auditor yaitu materialitas dan risiko audit. Materialitas menyatakan seberapa besar salah saji. Sedangkan risiko audit menyatakan tingkat risiko kegagalan auditor untuk mengubah pendapatnya atas laporan keuangan yang sebenarnya berisi salah saji material.

 

2.      LANDASAN TEORI

2.1       Pengertian  Audit

Menurut Arens dan Loebbecke (2008) auditing adalah suatu proses pengumpulan dan pengevaluasian bahan bukti tentang informasi yang dapat diukur mengenai suatu entitas ekonomi yang dilakukan seorang yang kompeten dan independen untuk menentukan dan melaporkan kesesuaian informasi dengan kriteria-kriteria yang telah ditetapkan.

Sedangkan menurut Agoes (2004) auditing adalah suatu pemeriksaan secara kritis dan sistematis oleh pihak independen terhadap laporan keuangan yang telah disusun manajemen dengan tujuan untuk memberikan pendapat tentang kewajaran laporan keuangan tersebut.

Mulyadi (2002) mendefinisikan auditing sebagai suatu proses sistematik untuk memperoleh dan mengevaluasi bukti secara objektif mengenai pernyataan-pernyataan tentang kegiatan dan kejadian ekonomi untuk menentapkan tingkat kesesuaian antara pernyataan-pernyataan tersebut dengan kriteria yang telah ditetapkan, serta penyampaian hasil-hasilnya kepada pihak yang berkepentingan.

Dari pendapat-pendapat di atas, dapat disimpulkan audit adalah proses yang dilakukan oleh pihak independen dan kompeten guna memeriksa laporan keuangan perusahaan dengan memperoleh dan mengevaluasi bukti-bukti untuk menyatakan kewajaran atas laporan keuangan.

 

2.2       Manfaat Audit

Menurut Sunarto (2003), manfaat ekonomis audit laporan keuangan antara lain:

1.         Akses ke pasar modal

Undang-Undang Pasar Modal mewajibkan perusahaan go public untuk diaudit laporan keuangannya agar bisa mendaftar dan menjual sahamnya di pasar modal.

2.         Biaya modal menjadi lebih murah

Perusahaan kecil seringkali mengaudit laporan keuangannya untuk mendapatkan kredit dari bank atau untuk mendapatkan persyaratan pinjaman yang lebih menguntungkan.

3.         Mencegah terjadinya ketidakefisienan dan kecurangan

Penelitian telah membuktikan bahwa apabila karyawan mengetahui bahwa perusahaan akan diaudit oleh auditor independen, mereka cenderung lebih berhati-hati agar dapat memperkecil terjadinya kesalahan dalam pelaksanaan fungsi akuntansi dan memperkecil kemungkinan terjadinya penyalahgunaan aktiva perusahaan.

4.         Perbaikan, pengendalian, dan operasional

Observasi yang dilakukan selama auditor melaksanakan audit, auditor independen dapat memberikan saran untuk perbaikan pengendalian dan mencapai efisiensi operasi yang lebih besar dalam organisasi kliennya.

Menurut Agoes (2004), laporan keuangan merupakan tanggung jawab manajemen dan perlu diaudit oleh Kantor Akuntan Publik yang merupakan pihak ketiga yang independen, karena:

1.         Jika tidak diaudit, ada kemungkinan laporan keuangan tersebut mengandung kesalahan baik yang disengaja maupun tidak disengaja. Sehingga, laporan keuangan yang belum diaudit kurang dipercaya kewajarannya oleh pihak-pihak yang berkepentingan.

2.         Jika laporan keuangan telah diaudit dan mendapat opini wajar tanpa pengecualian (Unqualified Opinion), berarti pengguna laporan keuangan dapat merasa yakin bahwa laporan keuangan tersebut bebas dari salah saji material dan telah disajikan sesuai dengan standar akuntansi yang berlaku umum di Indonesia.

3.         Sejak tahun 2001, perusahaan yang total asetnya Rp 25 milyar ke atas harus memasukkan laporan keuangan yang telah diaudit ke Departemen Perdagangan dan Perindustrian.

4.         Perusahaan yang sudah go public harus memasukkan laporan keuangan yang telah diaudit ke Bapepam paling lambat 90 hari setelah tahun buku.

5.         SPT yang didukung oleh laporan keuangan yang telah diaudit lebih dipercaya oleh pihak pajak dibandingan dengan laporan keuangan yang belum diaudit.

2.3       Jenis-Jenis Audit

Menurut Mulyadi (2002) audit terdiri dari tiga golongan, yaitu:

1.         Audit laporan keuangan, adalah audit yang dilakukan oleh auditor eksternal terhadap laporan keuangan kliennya guna memberikan pendapat apakah laporan keuangan tersebut telah disajikan sesuai dengan kriteria-kriteria yang ditetapkan. Hasil audit tersebut lalu dibagikan kepada pihak luar perusahaan seperti kreditor, pemegang saham, dan kantor pelayanan pajak.

2.         Audit kepatuhan, adalah audit yang bertujuan untuk menentukan apakah yang diperiksa telah sesuai dengan kondisi, peraturaan, dan undang-undang tertentu. Krtiteria-kriteria yang ditetapkan dalan audit kepatuhan berasal dari sumber-sumber yang berbeda. Audit kepatuhan biasanya disebut fungsi audit internal.

3.         Audit operasional, merupakan penelaahan secara sistematik aktivitas operasi organisasi dalam hubungannya dengan tujuan tertentu. Dalam audit operasional, auditor diharapkan melakukan pengamatan yang objektif dan analisis yang komprehensif terhadap operasional-operasional tertentu.

Sedangkan menurut Agoes (2004), berdasarkan luasnya pemeriksaan, audit bisa dibedakan menjadi:

1.         Pemeriksaan umum (General Audit)

Suatu pemeriksaan umum atas laporan keuangan yang dilakukan oleh Kantor Akuntan Publik independen dengan tujuan untuk memberikan pendapat mengenai kewajaran laporan keuangan secara keseluruhan. Pemeriksaan yang dilakukan harus sesuai dengan Standar Profesional Akuntan Publik dan Kode Etik Akuntan Indonesia, Aturan Etika Kantor Akuntan Publik yang telah disahkan oleh Ikatan Akuntan Indonesia serta Standar Pengendalian Mutu.

2.         Pemeriksaan khusus (Special Audit)

Suatu pemeriksaan terbatas (sesuai dengan permintaan auditan) yang dilakukan oleh Kantor Akuntan Publik yang independen, dan pada akhirnya pemeriksaannya, auditor tidak perlu memberikan pendapat terhadap kewajaran laporan keuangan secara keseluruhan. Pendapat yang diberikan terbatas pada masalah tertentu yang diperiksa, karena prosedur audit yang dilakukan juga terbatas.

2.4       Standar Audit

Standar audit merupakan pedoman auditor dalam menjalankan tanggung jawab profesionalnya. Standar-standar ini meliputi pertimbangan mengenai kualitas professional mereka, seperti keahlian dan independensi, persyaratan pelaporan dan bahan bukti.

Standar Audit menurut Standar Profesional Akuntan Publik per 1 Januari 2001 terdiri atas lima standar, yaitu:

Pernyataan Standar Auditing (PSA) yang dilengkapi dengan Interpretasi Pernyataan Standar Auditing (IPSA)

Pernyataan Standar Atestasi (PSAT) yang dilengkapi dengan Interpretasi Pernyataan Standar Atestasi (IPSAT)

Pernyataan Standar Jasa Akuntansi dan Review (PSAR) yang dilengkapi dengan Interpretasi Pernyataan Standar Jasa Akuntansi dan Review (IPSAR)

Pernyataan Standar Jasa Konsultasi (PSJK) yang dilengkapi dengan Interpretasi Pernyataan Standar Jasa Konsultasi (IPSJK)

Pernyataan Standar Pengendalian Mutu (PSPM) yang dilengkapi dengan Interpretasi Pernyataan Standar Pengendalian Mutu (IPSPM)

Selain kelima standar di atas, standar audit masih dilengkapi juga dengan Kode Etik Profesi Akuntan Publik yang merupakan aturan yang wajib dipenuhi oleh akuntan publik.

Menurut Standar Profesional Akuntan Publik yang disahkan oleh Institut Akuntan Publik Indonesia (2011), standar audit terdiri dari sepuluh standar yang dibagi dalam tiga kelompok besar, yaitu:

Standar Umum

Audit harus dilaksanakan oleh seseorang atau lebih yang memiliki keahlian dan pelatihan teknis yang cukup sebagai auditor.

Dalam semua hal yang berhubungan dengan perikatan, independensi dalam sikap mental harus dipertahankan oleh auditor.

Dalam pelaksanaan audit dan penyusunan laporannnya, auditor wajib menggunakan kemahiran profesionalnya dengan cermat dan seksama.

Standar Pekerjaan Lapangan

Pekerjaan harus direncanakan sebaik-baiknya dan jika digunakan asisten, harus disupervisi sebagaimana mestinya.

Pemahaman memadai atas pengendalian intern harus diperoleh untuk merencanakan audit dan menentukan sifat, saat, dan lingkup pengujian yang akan dilakukan.

Bukti audit kompeten yang cukup bagus harus diperoleh melalui inspeksi pengamatan, permintaan keterangan, dan konfirmasi sebagai dasar memadai untuk menyatakan pendapat atas laporan keuangan yang diaudit.

Standar Pelaporan

Laporan auditor harus menyatakan apakah laporan keuangan telah disusun sesuai dengan standar akuntansi yang berlaku umum di Indonesia.

Laporan auditor harus menunjukkan atau menyatakan, jika ada ketidakkonsistenan penerapan prinsip akuntansi dalam penyusunan laporan keuangan perioda berjalan dibandingkan dengan penerapan prinsip akuntansi tersebut dalam perioda sebelumnya.

Pengungkapan informatif dalam laporan keuangan harus dipandang memadai, kecuali dinyatakan lain dalam laporan auditor.

Laporan auditor harus memuat suatu pernyataan pendapat mengenai laporaan keuangan secara keseluruhan atau suatu asersi bahwa pernyataan demikian tidak dapat diberikan. Jika pendapat secara  keseluruhan tidak dapat diberikan, maka alasannya harus dinyatakan. Dalam hal nama auditor dikaitkan dengan laporan keuangan, maka laporan auditor harus memuat petunjuk yang jelas mengenai sifat pekerjaan audit yang dilaksanakan, jika ada, dan tingkat tanggung jawab yang dipikul oleh auditor.

2.5       Tahap-tahap Audit Laporan Keuangan

Menurut Agoes dan Estralita (2006), tahap-tahap audit laporan keuangan dimulai dari menerima penugasan sampai dengan menyerahkan laporan audit kepada klien, terdiri dari:

1.         Merencanakan dan merancang pendekatan audit

a.         Mengidentifikas alasan klien untuk diperiksa, dengan mengetahui maksud penggunaan laporan audit dan pihak-pihak pengguna laporan keuangan.

b.         Melakukan kunjungan ke tempat klien guna mengetahui:

1).        Latar belakang usaha klien

2).        Memahami struktur pengendalian klien

3.)        Memahami sistem administrasi pembukuan

4.)        Mengukur voluma bukti transaksi atau dokumen untuk menentukan biaya, waktu, dan luas pemeriksaan

c.         Mengajukan proposal audit ke klien.

d.         Melakukan penelaahan kembali untuk klien lama, apakah ada perubahan yang signifikan.

e.         Mendapatkan informasi tentang kewajiban hukum klien.

f.          Menentukan materialitas dan risiko audit yang dapat diterima risiko bawaan.

g.         Mengembangkan rencana dan program audit menyeluruh yang terdiri dari:

1.)        Menyiapkan staf yang tergabung dalam tim audit

2.)        Menyusun program audit termasuk tujuan audit dan prosedurnya

3.)        Menentukan rencana dan jadwal kerja

2.         Pengujian atas pengendalian dan transaksi

a.         Pengujian substantif atas transaksi adalah prosedur yang dirancang untuk menguji kekeliruan atau kecurangan dalam bentuk uang yang mempengaruhi penyajian saldo-saldo laporan keuangan yang wajar.

b.         Pengujian pengendalian adalah prosedur yang dirancang untuk memverifikasi apakah sistem pengendalian dilaksanakan sesuai dengan yang ditetapkan.

3.         Pelaksanaan prosedur analitis dan pengujian terinci atas saldo

a.         Prosedur analitis terdiri dari perhitungan rasio oleh auditor untuk dibandingkan dengan rasio periode sebelumnya dan data lain yang berhubungan.

b.         Pengujian terinci atas saldo berfokus pada saldo buku akhir buku besar baik untuk pos neraca dan laba rugi, tetapi penekanan utama terletak pada saldo neraca.

4.         Penyelesaian audit

a.         Menelaah kewajiban kontijensi atau bersyarat

b.         Menelaah peristiwa kemudian

c.         Mendapatkan bahan bukti akhir

d.         Mengisi daftar periksa audit

e.         Menyiapkan surat manajemen

f.          Menerbitkan laporan audit

g.         Mengkomunikasikan hasil audit dengan komite audit dan manajemen. 

2.6       Jenis Opini Auditor

Laporan auditor adalah alat yang digunakan auditor untuk mengkomunikasikan hasil laporan keuaangan yang telah diaudit kepada pihak berkepentingan. Di dalam laporan auditor terdapat opini audit yang berisi pendapat auditor terhadap laporan keuangan yang diaudit. Menurut Standar Profesional Akuntan Publik (PSA 29 SA Seksi 508), ada lima jenis pendapat akuntan, yaitu:

2.6.1    Pendapat Wajar Tanpa Pengecualian (Unqualified Opinion)

Pendapat wajar tanpa pengecualian menyatakan bahwa laporan keuangan menyajikan secara wajar, dalam hal semua hal yang material, posisi keuangan, hasil usaha, perusahaan ekuitas, dan arus kas suatu entitas sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum. Menurut Arens (2008), laporan audit standar wajar tanpa pengecualian digunakan apabila kondisi berikut terpenuhi:

Semua laporan keuangan-neraca, laporan laba rugi, saldo laba dan laporan arus kas sudah tercakup di dalam laporan keuangan.

Ketiga standar umum telah dipatuhi dalam semuaa hal yang berkaitan dengan penugasan.

Bukti audit yang cukup memadai telah dikumpulkan dan auditor tersebut telah melaksanakan penugasan audit dengan cara yang memungkinkannya untuk menyimpulkan bahwa ketiga standar pekerjaan lapangan telah terpenuhi.

Laporan keuangan disajikan sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum. Hal ini juga berarti bahwa pengungkapan yang memadai telah disertakan dalam catatan kaki dan bagian-bagian lain dari laporan keuangan.

Tidak terdapat situasi yang membuat auditor merasa perlu menambahkan paragraph penjelasan atau modifikasi kata-kata dalam laporan audit.

Pendapat Wajar  Tanpa Pengecualian dengan Bahasa Penjelasan yang Ditambahkan dalam Laporan Audit Bentuk Baku (Unqualified Opinion With Explanatory Language)

Pendapat ini diberikan jika terdapat keadaan tertentu yang mengharuskan auditor menambahkan suatu paragraf penjelasan dalam laporan audit, meskipun tidak mempengaruhi pendapat wajar tanpa pengecualian yang dinyatakan oleh auditor. Keadaan tersebut meliputi:

Pendapat wajar sebagian didasarkan atas laporan auditor independen lain.

Untuk mencegah agar laporan keuangan tidak menyesatkan karena keadaan-keadaan yang luar biasa, laporan keuangan disajikan menyimpang dari suatu prinsip akuntansi yang dikeluarkan oleh Ikatan Akuntansi Indonesia.

Jika terdapat kondisi dan peristiwa yang semula menyebabkan auditor yakin tentang adanya kesangsian mengenai kelangsungan hidup entitas, namun setelah mempertimbangkan rencana manajemen, audtor berkesimpulan bahwa rencana manajemen tersebut dapat secara efektif dilaksanakan dan pengungkapan mengenai hal itu telah memadai.

Jika diantara dua perioda akuntansi terdapat suatu perubahan material dalam penggunaan prinsip akuntansi atau dalam penerapan suatu metoda.

Keadaan tertentu yang berhubungan dengan laporan audit atas laporan keuangan komparatif.

Data keuangan kuartalan tertentu yang diharuskan oleh Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam) namun tidak disajikan atau tidak di- review.

Informasi lain dalam suatu dokumen yang berisi laporan keuangan auditan secara material tidak konsisten dengan informasi yang disajikan dalam laporan keuangan. Selain itu, auditor dapat menambahkan paragraph penjelasan untuk menekankan suatu hal tentang laporan keuangan.

Informasi tambahan yang diharuskan oleh Ikatan Akuntan Indonesia-Dewan Standar Akuntansi Keuangan telah dihilangkan, yang penyajiannya menyimpang jauh dari panduan yang dikeluarkan oleh dewan tersebut, dan auditor tidak dapat melengkapi prosedur audit yang berkaitan dengan informasi tersebut, atau auditor tidak dapat menghilangkan keraguan-keraguan yang besar apakah infromasi tambahan tersebut sesuai dengan panduan yang dikeluarkan oleh dewan tersebut.

Pendapat Wajar Dengan Pengecualian (Qualified Opinion)

Laporan pendapat wajar dengan pengecualian dapat diterbitkan akibat pembatasan ruang lingkup audit atau kelalaian untuk mematuhi prinsip akuntansi yang berlaku umum. Menurut Arens (2008) pendapat ini dinyatakan bila:

Auditor menyimpulkan bahwa laporan keuangan secara keseluruhan telah disajikan secara wajar.

Auditor merasa yakin bahwa kondisi yang dilaporkan tersebut bersifat sangat material.

Auditor tidak mampu mengumpulkan semua bukti audit yang disyaratkan oleh standar auditing yang berlaku umum.

Menurut SPA 29 SA Seksi 508 pendapat wajar dengan pengecualian dapat diterbitkan bila:

Ketiadaan bukti kompeten yang cukup atau adanya pembatasan terhadap lingkup audit yang mengakibatkan auditor berkesimpulan bahwa ia tidak menyatakan pendapat wajar tanpa pengecualian dan ia berkesimpulan tidak menyatakan tidak memberikan pendapat.

Auditor yakin, atas dasar auditnya bahwa laporan keuangan berisi penyimpangan dari prinsip akuntansi yang berlaku umum di Indonesia yang berdampak material dan ia berkesimpulan untuk tidak menyatakan pendapat yang tidak wajar.

Jika auditor menyatakan pendapat wajar dengan pengecualian, ia menjelaskan semua alasan yang menguatkan dalam satu atau lebih paragraph terpisah yang dicantumkan sebelum paragraph pendapat. Ia juga harus mencantumkan bahasa pengecualian yang sesuai dan menunjuk ke paragraf penjelasan di dalam paragraf pendapat. Pendapat wajar dengan pengecualian harus berisi kata kecuali atau pengecualian dalam suatu frasa seperti kecuali untuk atau dengan pengecualian untuk frasa tergantung atas atau dengan penjelasan berikut ini memiliki makna yang tidak jelas atau tidak cukup kuat oleh karena itu pemakaiannya harus dihindari. Karena catatan atas laporan keuangan merupakan bagian laporan keuangan auditan, kata seperti yang disajikan secara wajar dalam semua hal yang material, jika dibaca sehubungan dengan catatan 1  mempunyai kemungkinan untuk disalah tafsirka dan oleh karena itu pemakaiannya dihindari.

Pendapat Tidak Wajar (Adverse Opinion)

Menurut Arens (2008), pendapat tidak wajar menyatakan bahwa laporan keuangan secara keseluruhan mengandung salah saji yang material atau menyesatkan, sehingga tidak menyajikan secara wajar posisi keuangan atau hasil operasi dan arus kas yang sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum (GAAP). Laporan pendapat tidak wajar hanya dapat diterbitkan apabila auditor memiliki pengetahuan, setelah melakukan investigasi yang mendalam, bahwa tidak ada kesesuaian dengan GAAP/PSAK.

Pernyataan Tidak Memberikan Pendapat (Disclaimer Opinion)

Menurut Arens (2008), pernyataan tidak memberikan pendapat diterbitkan apabila auditor tidak dapat meyakinkan dirinya sendiri bahwa laporan keuangan secaara kesleuruhan telah disajikan secara wajar. Kebutuhan untuk menolak memberikan pendapat akan timbul apabila terdapat pembatasan ruang lingkup audit atau terdapat hubungan yang tidak independen menurut kode etik perilaku profesional antara auditor dengan kliennya. Auditor juga memiliki pilihan untuk menolak memberikan pendapat pada masalah kelangsungan hidup perusahaan (going concern).

Mulyadi (2002) menyebutkan pernyataan tidak memberikan pendapat diberikan oleh auditor jika auditor tidak melaksanakan audit yang berlingkup memadai untuk memungkinkan auditor memberikan pendapat atas laporan keuangan. Pernyataan tidak memberikan pendapat juga dapat diberikan oleha auditor jika ia dalam kondisi tidak independen dalam hubungannya dengan klien.

2.7       Materialitas

2.7.1 Pengertian Materialitas

Menurut Standar Profesional Akuntan Publik (SPAP) SA Seksi 312,  materialitas  merupakan  besarnya  informasi  akuntansi  yang apabila terjadi penghilangan atau salah saji, dilihat dari keadaaan yang melingkupinya,  dapat  mengubah atau  mempengaruhi  pertimbangan orang yang meletakkan kepercayaan terhadap informasi tersebut.

Dalam  Kerangka  Dasar  Penyusunan  dan  Penyajian  Laporan Keuangan  (KDPPLK) paragraf  30,  materialitas  dianggap  sebagai ambang batas atau titik pemisah daripada suatu karakteristik kualitatif pokok  yang  dimiliki  informasi  agar  dianggap  berguna.  Informasi dianggap  material  apabila  kelalaian  untuk  mencantumkan  atau mencatat  informasi  tersebut dapat  mempengaruhi  keputusan  yang diambil oleh pemakai laporan keuangan.

Materialitas  dalam  konsep  audit  adalah  untuk  mengukur lingkup  audit.  Materialitas  audit  menggambarkan  jumlah  maksimum kemungkinan  terdapat  kekeliruan  dalam  laporan  keuangan  dimana laporan keuangan tersebut masih dapat menunjukkan posisi keuangan perusahaan dan hasil operasi perusahaan berdasarkan prinsip akuntansi umum.  Dua  alasan  mengapa  materialitas  penting dalam  audit,  yaitu:  (a)  sebagian  pemakai  informasi  akuntansi  tidak dapat  memahami  informasi  akuntansi  dengan  mudah,  maka pengungkapan  data  penting  harus  dipisahkan  dari  data  yang  tidak penting,  karena  pengungkapan  data  penting  yang  bersamaan  dengan data tidak penting cenderung menyesatkan pemakai laporan keuangan, (b)  proses  pemeriksaan  akuntansi  dimaksudkan  untuk  mendapatkan tingkat jaminan yang layak mengenai kewajaran penyajian laporan keuangan pada suatu waktu tertentu (Febryanti, 2012).

Dalam  perencanaan  audit,  auditor  harus  menentukan pertimbangan  awal  tingkat  materialitas.  Pertimbangan  awal  tingkat materialitas  adalah  jumlah  maksimum  salah  saji  dalam  laporan keuangan  yang  menurut  pendapat  auditor  tidak  mempengaruhi pengambilan  keputusan  dari  pemakai (Hendro  dan Aida, 2006).

Tujuan  penetapan  materialitas adalah  membantu auditor  merencanakan  pengumpulan  bahan  bukti  yang  cukup.  Jika auditor  menetapkan  jumlah  yang  rendah  maka  lebih  banyak  bahan bukti  yang  harus  dikumpulkan  dari  pada  jumlah  yang  tinggi.  Begitu juga  sebaliknya.  Seringkali  audior  mengubah  jumlah  materialitas dalam pertimbangan awal ini selama audit. Jika ini dilakukan, jumlah yang  baru tadi disebut  pertimbangan  yang  direvisi  mengenai materialitas.  Sebab-sebabnya antara lain perubahan faktor-faktor yang digunakan untuk  menetapkannya,  atau  auditor  berpendapat  jumlah dalam penetapan awal tersebut terlalu kecil atau besar.

Istilah kekeliruan berarti salah saji atau penghilangan yang tidak disengaja jumlah atau pengungkapan dalam laporan keuangan. Kekeliruan tersebut mencakup (SA seksi 312):

Kesalahan dalam pengumpulan atau pengolahan data yang menjadi sumber penyusunan laporan keuangan.

Estimasi akuntansi yang tidak masuk akal yang timbul dari kecerobohan atau salah taksir fakta.

Kekeliruan dalam penerapan prinsip akuntansi berkaitan dengan jumlah, klasifikasi, cara penyajian, atau pengungkapan.

Auditor tidak dapat memberikan jaminan bagi klien atau pengguna laporan keuangan lain bahwa laporan keuangan auditan akurat. Hal ini karena auditor bersangkutan tidak memeriksa setiap transaksi yang terjadi dalam tahun yang diaudit serta tidak dapat menentukan apakah semua transaksi yang terjadi telah dicatat, diringkas, digolongkan, dan dikompilasi secara semestinya dalam laporan keuangan. Sehingga menurut Mulyadi (2002) dalam audit laporan keuangan, auditor memberikan keyakinan (assurance) sebagai berikut:

Auditor dapat memberikan keyakinan bahwa jumlah-jumlah yang disajikan dalam laporan keuangan beserta pengungkapannya telah dicatat, diringkas, digolongkan, dan dikompilasi.

Auditor dapat memberikan keyakinan bahwa ia telah mengumpulkan bukti audit kompeten yang cukup sebagai dasar memadai untuk memberikan pendapat atas laporan keuangan.

Auditor dapat memberikan keyakinan dalam bentuk pendapat atau memberikan informasi dalam hal terdapat perkecualian bahwa laporan keuangan sebagai keseluruhan disajikan secara wajar dan tidak terdapat salah saji material karena kekeliruan dan ketidakberesan.

2.7.2 Tahap-tahap Penerapan Materialitas

Dalam melakukan penentuan tingkat materialitas diperlukan langkah yang sistematis agar proses yang dilakukan dapat efektif dan effisien. Aren, et al (2008) menggambarkan langkah – langkah yang dilakukan oleh auditor dalam menentuan tingkat materialitas pada proses audit laporan keuangan, antara lain:

Menetapkan pertimbangan materialitas awal

Mengalokasikan pertimbangan materialitas awal ke setiap bagian pengauditan

Mengestimasikan salah saji total di setiap bagian pengauditan

Mengestimasikan salah saji gabungan

Membandingkan  estimasi  salah  saji  gabungan  dengan  materialitas  dalam  penilaian awal atau penilaian yang direvisi

Langkah 1 dan 2 merupakan langkah untuk merencanakan luas pengujian, langkah 3 sampai langkah 5 merupakan langkah untuk mengevaluasi hasil-hasil.

2.7.3    Tingkat Materialitas

Menurut Arrens & Loebbecke (2003) digunakan tiga tingkatan materialitas dalam mempertimbangkan jenis laporan yang harus dibuat. Tiga tingkatan tersebut adalah sebagai berikut: Jumlahnya Tidak Material

Jika terdapat salah saji dalam laporan keuangan, tetapi cenderung tidak mempengaruhi keputusan pemakai laporan, salah saji tersebut dianggap tidak material. Dalam hal ini pendapat wajar tanpa pengecualian dapat diberikan.

Jumlahnya Material Tetapi Tidak Mengganggu Laporan Keuangan Secara Keseluruhan

Tingkat materialitas kedua terjadi jika salah saji di dalam laporan keuangan dapat mempengaruhi keputusan pemakai, tetapi keseluruhan laporan keuangan tersebut tersaji dengan benar, sehingga tetap berguna. Untuk memastikan materialitas jika terdapat kondisi yang menghendaki adanya penyuimpangan dari laporan wajar tanpa pengecualian, auditor harus mengevaluasi segala pengaruhnya terhadap laporan keuangan,

Jumlah Sangat Material atau Pengaruhnya Sangat Meluas Sehingga Kewajaran Laporan Keuangan Secara Keseluruhan Diragukan

Tingkat materialitas tertinggi terjadi jika para pemakai dapat membuat keputusan yang salah jika mereka mengandalkan laporan keuangan secara keseluruhan. Dalam kondisi kesalahan sangat material, auditor harus memberikan pernyataan tidak memberi pendapat atau pendapat tidak wajar, tergantung pada kondisi yang ada. Dalam menentukan materialitas suatu pengecualian, harus dipertimbangkan sejauh mana pegecualian itu mempengaruhi bagian-bagian lain laporan keuangan. Ini disebut kemeluasan (pervasiveness). Semakin meluas pengaruh suatu salah saji, kemungkinan untuk menerbitkan pendapat tidak wajar akan lebih besar daripada pendapat wajar dengan pengecualian. Selain itu, tanpa mempedulikan berapa jumlah materialitasnya, pernyataan untuk tidak memberikan pendapat harus diberikan apabila auditor tidak independen.

2.7.4    Faktor yang Memengaruhi Pertimbangan Awal  Materialitas

Menurut Mulyadi (2002) Dalam perencanaan audit, auditor harus menetapkan materialitas pada dua tingkat berikut ini:

Tingkat laporan keuangan, karena pendapat auditor atas kewajaran mencakup laporan keuangan sebagai keseluruhan

Auditor menerapkan materialitas dalam perencanaan audit dan pada saat mengevaluasi bukti audit dalam pelaksaaan audit. Pada saat merencanakan audit, auditor perlu membuat estimasi materialitas karena terdapat hubungan yang terbalik antara jumlah dalam laporan keuangan yang dipandang material oleh auditor dengan jumlah pekerjaan audit yang diperlukan untuk menyatakan kewajaran laporan keuangan.

Oleh karena itu auditor haru mempertimbangkan dengan baik penaksiran materialitas pada tahap perencaan audit. Jika auditor menentukan jumlah rupiah materialitas terlalu rendah, auditor akan mengkonsumsi waktu dan usaha yang sebenarnya tidak diperlukan. Sebaliknya, jika jumlah rupiah materialitas terlalu tinggi, auditor akan mengabaikan salah saji yang signifikan sehingga ia memberikan pendapat wajar tanpa pengecualian untuk laporan keuangan yang berisi salah saji material.

Laporan keuangan mengandung salah saji material jika laporan tersebut berisi kekeliruan atau ketidakberesan berdampak secara individual atau secara gabungan, sehingga mencegah penyajian secara wajar laporan keuangan tesebut sesuai dengan prinsip akuntansi yang berterima umum. Dalam keadaan ini, salah saji dapat terjadi sebagai akibat penerapan secara keliru prinsip akuntansi berterima umum, penympangan dari fakta, atau penghilang informasi yang diperlukan.

Dalam perencanaan audit, auditor harus menyadari bahwa terdapat lebih dari satu tingkat materialitas yang berkaitan dengan laporan keuangan. Kenyataannya, setiap laporan keuangan dapat memiliki lebih dari satu tingkat materialitas. Untuk laporan laba-rugi, materialitas dapat dihubungkan dengan total pendapatan, laba bersih usaha, laba bersih sebelum pajak, atau laba bershi setelah pakal. Untuk neraca, materialitas dapat didasarkan pada total aktiva, aktiva lancar, modal kerja, atau modal saham.

Berikut ini diberikan contoh beberapa panduan kuantitatif yang digunakan dalam praktik:

Laporan keuangan dipandang mengandung salah saji material jika terdapat salah saji 5% sampai 10% dari laba sebelum pajak.

Laporan keuangan dipandang mengandung salah saji material jika terdapat salah saji ½% sampai 1% dari total aktiva.

Laporan keuangan dipandang mengandung salah saji material jika terdapat salah saji 1% dari pasiva

Laporan keuangan dipandang mengandung salah saji material jika terdapat salah saji ½% sampai 1% dari pendapatan bruto

Tingkat saldo akun, karena auditor memverifikasi saldo akun dalam mencapai kesimpulan yang menyeluruh atas kewajaran laporan keuangan.

Materialitas pada tingkat saldo akun adalah salah saji minimum yang mungkin terdapat dalam saldo akun yang dipandang sebagai salah saji material. Konsep materialitas berkatian dengan salah saji yang dapat mempengaruhi keputusan pemakai informasi keuangan. Saldo suatu akun yang tercatat umumnya mencerminkan batas atas lebih saji (overstatement) dalam akun tersebut. Oleh karena itu, akun dengan saldo yang jauh lebih kecil dibandingkan dengan materialitas seringkali disebut sebagai tidak material mengenai risiko lebih saji. Namun, tidak ada batas jumlah kurang saji dalam suatu akun dengan saldo tercatat yang sangat kecil. Oleh karena itu, harus disadari oleh auditor, bahwa akun yang kelugatannya bersaldo tidak material, dapat berisi kurang saji (understatement) yang melampaui materialitasnya.

Dalam mempertimbangkan materialitas pada tingkat saldo akun, auditor harus mempertimbakan hubungan antara materialitas tersebut dengan materialitas laporan keuangan. Pertimbangan ini mengarahkan auditor untuk merencanakan audit guna mendeteksi salah saji yang kemungkinan tidak material secara individual, namun, jika digabungkan dengan salah saji dalam saldo akun yang lain, dapat material terhadap laporan keuangan secara keseluruhan.

Alokasi Materialitas Laporan Keuangan ke Akun

Bila pertimbangan awal auditor tentang materialitas laporan keuangan dikuantifikasikan, penaksiran awal tentang materialitas untuk setiap akun dapat diperoleh dengan mengalokasikan materialitas laporan keuangan ke akun secara individual. Dalam melakukan alokasi, auditor harus mempertimbangkan kemungkinan terjadinya salah saji dalam akun tertentu dengan biaya yang harus dikeluarkan untuk memverifikasi akun tersebut.

2.8  Risiko

2.8.1 Pengertian Risiko Audit

Dalam perencanaan audit, auditor harus mempertimbangkan risiko audit. Menurut SA Seksi 312, risiko audit adalah risiko yang terjadi dalam hal auditor, tanpa disadari,tidak memodifikasi pendapatnya sebagaimana mestinya, atas suatu laporan keuangan yang mengandung salah saji material. Semakin pasti auditor dalam menyatakan pendapatnya, semakin rendah risiko audit yang auditor bersedia untuk menanggungnya. Auditor merumuskan suatu pendapat atas laporan keuangan sebagai keseluruhan atas dasar bukti yang diperoleh dari verifikasi asersi yang berkaitan dengan saldo akun secara individual atau golongan transaksi. Tujuannya adalah untuk membatasi risiko audit pada tingkat saldo akun sedemikian rupa sehingga pada akhir proses audit, risiko audit dalam menyatakan pendapat atas laporan keuangan sebagai keseluruhan akan berada pada tingkat yang rendah.

Risiko Audit Pada Tingkat laporan Keuangan dan Pada Tingkat Saldo Akun

Kenyataan bahwa auditor tidak dapat memberikan jaminan tentang ketepatan informasi yang disajikan oleh klien dalam laporan keuangan mengharuskan auditor mempertimbangkan baik materialitas maupun risiko audit. Tanpa disadari, tidak memodifikasi pendapatnya sebagaimana mestinya, atau suatu laporan keuangan yang mengandung salah saji material. Risiko audit dibagi menjadi dua bagian :

2.8.2 Risiko Audit Keseluruhan (Overall Audit Risk)

Risiko audit keseluruhan yang berkaitan dengan laporan keuangan sebagai keseluruhan. Pada tahap perencanaan auditnya, auditor pertama kali harus menentukan risiko audit keseluruhan yang direncanakan, yang merupakan besarnya risiko yang dapat ditanggung oleh auditor dalam menyatakan bahwa laporan keuangan disajikan secara wajar, padahal kenyataannya, laporan keuangan tersebut berisi salah saji material.

Risiko Audit Individual

Risiko audit individual berkaitan dengan setiap saldo akun individual yang dicantumkan dalam laporan keuangan. Karena audit mencakup pemeriksaan terhadap akun-akun secara individual, risiko audit keseluruhan harus dialokasikan kepada akun-akun yang berkaitan. Risiko audit individual perlu ditentukan untuk setiap akun karena akun tertentu seringkali sangat penting karena besar saldonya atau frekuensi transaksi perubahan.

2.8.3    Unsur Risiko Audit

1) Risiko Bawaan

Risiko bawaan adalah kerentanan suatu saldo akun atau golongan transaksi terhadap suatu salah saji material, dengan asumsi bahwa tidak terdapat kebijakan dan prosedur struktur pengendalian intern yang terkait. Risiko salah saji demikian adalah lebih besar pada saldo akun atau golongan transaksi tertentu dibandingkan dengan yang lain. Akun yang terdiri dari jumlah yang besar dari estimasi akuntansi cenderung mengandung risiko yang lebih besar dibandingkan dengan akun yang bersifat rutin dan berisi data berupa fakta. Faktor eksternal juga berpengaruh terhadap risiko bawaan. Misalnya, perkembangan teknologi dapat menyebabkan suatu produk menjadi usang, sehingga berakibat pada sediaan dilaporkan lebih besar. Selain itu, terhadap faktor-faktor tersebut yang khusus menyangkut saldo akun atau golongan transaksi tertentu, faktor-faktor yang berhubungan dengan beberapa atau seluruh saldo akun atau golongan transaksi mungkin berpengaruh terhadap risiko bawaan yang berhubungan dengan saldo akun atau golongan transaksi tertentu. Faktor yang lain, misalnya kekurangan modal kerja untuk melanjutkan usaha atau menurunnya aktivitas industri dengan banyaknya kegagalan usaha. Faktor-faktor yang harus ditelaah dalam menetapkan risiko bawaan (Arens, et al, 2010):

Sifat bidang usaha klien

Integritas manajemen

Motivasi klien

Hasil audit sebelumnya

Penugasan istimewa transaksi tidak rutin

Pertimbangan yang diperlukan untuk mencatat saldo

Kerentanan terhadap kecurangan

Unsur-unsur populasi

2) Risiko Pengendalian

Risiko pengendalian adalah risiko di mana terjadi salah saji material dalam suatu asersi yang tidak dapat dicegah atau dideteksi secara tepat waktu oleh struktur pengendalian internal entitas. Risiko ini merupakan fungsi efektifitas desain dan operasi pengendalian internaal guna mencapai tujuan entitas yang relevan dengan penyusunan laporan keuangan entitas. Beberapa risiko pengendalian akan selalu ada akibat keterbatasan bawaan dalam setiap pengendalian internal.

3) Risiko Deteksi

Risiko deteksi adalah risiko sebagai akibat auditor tidak dapat mandeteksi salah saji material yang terdapat dalam suatu asersi. Risiko deteksi merupakan fungsi efektifitas prosedur audit dan penerapannya oleh auditor. Risiko ini muncul sebagian karena ketidakpastian yang ada ketika auditor tidak memeriksa 100% saldo akun atau golongan transaksi, dan sebagian lagi karena ketidakpastian yang lain, walaupun saldo akun atau golongan transaksi telah diperiksa 100%.

2.8.4 Penggunaan Informasi Risiko Audit

Taksiran risiko audit pada tahap perencanaan audit dapat digunakan oleh auditor untuk menetapkan jumlah bukti audit yang akan diperiksa untuk membuktikan kewajaran penyajian saldo akun tertentu. Beberapa auditor lebih menyukai pertimbangan kualitatif dalam menaksir berbagai macam risiko yang membentuk risiko audit. Di samping itu, penggunaan pendekatan kuantitatif memaksa auditor untuk memikirkan dengan mendalam berbagai pertimbangan auditnya.

2.8.5 Hubungan Antar Unsur Risiko

Risiko bawaan dan risiko pengendalian berbeda dengan risiko deteksi. Kedua risiko yang disebut terdahulu ada, terlepas dari dilakukan atau tidaknya audit atas laporan keuangan, sedangkan risiko deteksi berhubungan dengan prosedur audit dan dapat diubah oleh keputusan auditor itu sendiri. Risiko deteksi mempunyai hubungan yang terbalik dengan risiko bawaan dan risiko pengendalian. Semakin kecil risiko bawaan dan risiko pengendalian yang diyakini oleh auditor, semakin besar risiko deteksi yang dapat diterima. Sebaliknya, semakin besar adanya risiko bawaan dan risiko pengendalian yang diyakini auditor, semakin kecil tingkat risiko deteksi yang dapat diterima.

2.9 Bukti Audit

2.9.1 Pengertian Bukti Audit

Ikatan Akuntan Indonesia (2001) menyatakan bahwa bukti audit kompeten yang cukup harus diperoleh melalui inspeksi, pengamatan, pengajuan pertanyaan, dan konfirmasi sebagai dasar yang memadai untuk menyatakan pendapat atas laporan keuangan auditan.

Munawir (1999) menyatakan bahwa bukti audit adalah segala informasi yang mendukung data yang disajikan dalam laporan keuangan, terdiri dari data akuntansi dan data informasi pendukung lainnya yang dapat digunakan auditor sebagai dasar untuk menyatakan pendapatnya tentang kewajaran laporan keuangan.

Sedangkan Arens dan Loebbecke (2003) mengungkapkan bahwa bukti audit merupakan informasi yang digunakan auditor untuk menentukan apakah informasi kuantitatif yang sedang diaudit disajikan sesuai dengan kriteria yang ditetapkan.

Berdasarkan pendapat-pendapat di atas, bukti audit sangat mempengaruhi pengerjaan audit laporan keuangan. Seorang auditor harus memiliki ketelitian dalam melakukan proses audit sehingga dapat menyimpulkan pendapat tentang kewajaran laporan keuangan dari bukti-bukti audit untuk dipaparkan kepada pihak-pihak yang berkepentingan.

2.9.2 Jenis Bukti Audit

Menurut Mulyadi (2002), tipe bukti audit dapat digolongkan menjadi 2, yaitu:

Tipe data akuntansi

Pengendalian internal

Semakin kuat pengendalian internal, semakin sedikit bukti audit harus dikumpulkan sebagai dasar pernyataan pendapat auditor, dan sebaliknya.

Catatan akuntansi

Keandalan catatan akuntansi sebagai bukti audit tergantung pada pengendalian internal yang diterapkan dalam penyelenggaraan catatan akuntansi tersebut.

Tipe informasi penguat

Bukti fisik,

Merupakan bukti audit yang diperoleh dengan cara inspeksi atau perhitungan aset berwujud. Tipe bukti ini umumnya dikumpulkan auditor untuk memeriksa sediaan dan kas. Bukti dokumenter dibuat dari kertas bertuliskan huruf atau angka atau simbol lain. Bukti dokumenter dibagi menjadi 3 golongan:

1). Bukti dokumenter yang dibuat pihak luar yang bebas yang dikirimkan secara langsung pada auditor.

2). Bukti dokumenter yang dibuat pihak luar yang bebas yang disimpan dalam arsip klien.

3.) Bukti dokumenter yang dibuat dan disimpan dalam organisasi klien.

Perhitungan sebagai bukti

Footing, yaitu pembuktian ketelitiaan penjumlahan vertikal.

Cross-footing, yaitu pembuktian ketelitiaan penjumlahan horizontal.

Pembuktian ketelitian perhitungan biaya dperesiasi dengan menggunakan tarif depresiasi yang digunakan oleh klien.

Pembuktian ketelitian penentuan taksiran kerugian piutang usaha, laba per saham yang beredar, taksiran pajak perseroan dan lain-lain.

Bukti lisan adalah jawaban lisan yang diperoleh dari permintaan keterangan.

Perbandingan dan rasio dikumpulkan auditor saat awal proses audit guna membantu penentuan obyek audit yang memerlukan penyelidikan yang mendalam dan diperiksa kembali pada akhir proses audit untuk menguatkan kesimpulan yang dibuat atas dasar bukti-bukti lain.

Bukti dari spesialis.

Beberapa contoh tipe masalah yang kemungkinan menurut pertimbangan auditor memerlukan pekerjaan spesialis meliputi, namun tidak terbatas pada hal-hal berikut:

1). Penilaian (misalnya karya seni, obat-obatan khusus).

2). Penentuan karakteristik fisik yang berhubungan dengan kualitas yang tersedia atau kondisi (misalnya, cadangan mineral atau tumpukan bahan baku di gudang).

3). Penentuan nilai yang diperoleh dengan menggunakan teknik atau metoda khusus, misalnya beberapa perhitungan actuarial.

4. Penafsiran persyaratan teknis, peraturan atau persetujuan (misalnya, pengaruh potensial suatu kontrak atau dokumen hukum lainnya, atau hak atas properti).

2.9.3 Sifat Bukti Audit

Menurut Konrath  (2004), tipe bukti audit antara lain:

Physical evidence

Physical evidence terdiri dari segala sesuatu yang bisa dihitung, dipelihara, diobservasi dan berguna untuk mendukung tujuan eksistensi atau keberadaan.

Evidence obtain through confirmation

Confirmation evidence adalah bukti yang diperoleh mengenai eksistensi, kepemilikan atau penilaian langsung dari pihak ketiga di luar klien.

Documentary evidence

Documentary evidence terdiri atas catatan akuntansi dan seluruh dokumen pendukung transaksi. Bukti ini berkaitan dengan asersi manajemen mengenai completeness dan eksistensi dan berkaitan dengan audit trill yang memungkinkan auditor untuk mentrasir dan melakukan vouching atas transaksi-transaksi dan kejadian-kejadian dari dokumen ke buku besar dan sebaliknya.

Mathematical evidence

Mathematical evidence merupakan perhitungan, perhitungan kembali dan rekonsiliasi yang dilakukan auditor.

Analytical evidence

Analytical evidence adalah bukti yang diperoleh melalui penelaahan analitis terhadap informasi keuangan klien. Penelaahan analitis ini harus dilakukan pada waktu membuat perencanaan audit, sebelum melakukan substantive test dan pada akhir pekerjaan lapangan. Prosedur analitis bisa dilakukan dalam bentuk:

Trend (Horizontal) Analysis, yaitu membandingkan angka-angka laporan keuangan tahun berjalan dengan tahun-tahun sebelumnya dan menyelidiki kenaikan/ penurunan signifikan baik dalam jumlah rupiah maupun presentase.

Common size (Vertical) Analysis

Ratio Analysis, misalnya menghitung rasio likuiditas, rasio profitabilitas, rasio leverage, dan rasio manajemen aset.

Heasay (oral) Evidence

Merupakan bukti dalam bentuk jawaban lisan dari klien atas pertanyaan-pertanyaan auditor.

Sedangkan menurut Arens, Elder, dan Beasley (2008) bukti audit disebut kompeten jika bukti tersebut dapat dipercaya atau layak dipercaya. Bukti audit yang kompeten berkaitan dengan prosedur audit yang dipilih auditor. Tujuh karakteristik bukti audit yang kompeten, antara lain:

Relevansi

Independensi penyedia data/informasi

Keefektifan struktur pengendalian internal

Pengetahuan auditor yang diperoleh sendiri oleh auditor

Kualifikasi orang yang menyediakan informasi

Tingkat obyektifitas bukti audit

Tepat waktu

2.10     Hubungan antara Materialistas, Risiko, dan Bukti Audit

Hubungan antara materialitas, bukti audit, dan resiko audit adalah sebagai berikut:

Jika  menginginkan  resiko  audit  konstan  sedangkan  tingkat  materialitas dikurangi, maka bukti audit harus ditambah/diperbanyak.

Jika mempertahankan tingkat materialitas konstan dan mengurangi jumlah bukti audit, maka resiko audit akan meningkat.

Jika  menginginkan  resiko  audit  berkurang  (rendah),  maka  ada  beberapa alternatif, diantaranya;

Menaikkan tingkat materialitas dan mempertahankan jumlah bukti audit,

Menambah  jumlah  bukti  audit  dan  mempertahankan  tingkat materialitas, atau

Meningkatkan  jumlah  bukti  audit  dan  tingkat  materialitas  secara bersama-sama.

2.11     Fraud

Setiap entitas usaha apapun jenis, bentuk, skala dan kegiatan usahanya tidak terlepas dari tindak kecurangan (fraud). Tindakan kecurangan ini akan memberikan kerugian bagi pihak yang menjadi korban dan membawa keuntungan tersendiri bagi pihak yang melakukannya. Menurut Association of Certified Fraud Examines (ACFE) dalam Vanasco (1998) dan Halim (2003), kecurangan merupakan segala sesuatu yang dapat digunakan untuk mendapatkan keuntungan dengan menutupi kebenaran, tipu daya, kelicikan atau mengelabuhi dan cara yang tidak jujur lainnya. AICPA dan IAI tidak membedakan apakah kecurangan merupakan kesalahan yang mengakibatkan salah saji material atau tidak, tetapi yang perlu diperhatikan adalah faktor yang mendasari terjadinya kecurangan, yaitu tindakan yang mendasari salah saji material (misstatement) apabila disengaja. 

1)      Fraud Triangle    

Penelitian tentang kecurangan dilakukan pertama kali oleh Donald Cressey tahun 1950 yang meneliti mengapa kecurangan terjadi. Dari penelitian tersebut, ditemukan faktor-faktor yang memicu terjadinya kecurangan yang disebut dengan “Fraud Triangle”. Penelitian tersebut dilakukan oleh Cressey dengan mewawancarai pelaku kecurangan yang menjadi tahanan atas tindakan penggelapan. Hasil penelitiaan tersebut menyimpulkan ada tiga faktor penting yang memicu kecurangan, yaitu: pressure, rationalization (personal ethics), knowledge and opportunity.

(1)   Opportunity (Kesempatan/ Peluang)

Cressey (1950) berpendaapat bahwa ada dua komponen dari peluang, yaitu:

General information, merupakan pengetahuan bahwa kedudukan yang mengandung kepercayaan, dapat dilanggar tanpa konsekuensi. Pengetahuan ini diperoleh pelaku dari apa yang didengar atau dilihat, seperti pelaku melihat pengalaman orang lain melakukan fraud dan tidak ketahuan atau tidak diberi sanksi.

Technical skill (Keahlian/ Keterampilan), merupakan keahlian atau keterampilan yang dimiliki pelaku dan dibutuhkan untuk melaksanakan kejahatan.

Selain itu, faktor penyebab munculnya kesempatan adalah lemahnya pengendalian internal yang ada dalam perusahaan. Hal ini dapat memicu seseorang yang sebelumnya tidak memiliki motif untuk melakukan fraud untuk tergoda melakukan fraud.

(2)   Pressure (Tekanan)

Tekanan berarti sesuatu yang terjadi dalam kehidupan pribadi pelaku yang memberikan motivasi untuk melakukan fraud. Biasanya motivasi tersebut timbul dari adanya masalah keuangan, ataupun faktor lainnya. Oleh karena itu, tekanan dapat terbagi menjadi dua jenis yaitu financial pressure dan non financial pressure (social pressure).

Financial Pressure

Masalah keuangan yang dialami pelaku dapat membuatnya termotivasi untuk mencuri uang atau aset lainnya. Faktor-faktor dari tekanan keuangan antara lain: keserakahan, gaya hidup mewah, utang yang menumpuk, masalah kesehatan, kerugian keuangan yang tidak terduga.

Social Pressure

Tekanan yang berasalal dari faktor non-keuangan antara lain:

Kebiasaan berjudi, minum-minuman keras dapat menciptakan keinginan keuangan yang besar untuk mendukung kebiasaan-kebiasaan tersebut.

Tekanan dari pekerjaan, misalnya seseorang merasa tertekan bila kinerjanya tidak diakui dan dinilai tidak adil oleh atasan, merasa gaji terlalu rendah, merasa tertekan karena ingin mendapatkan promosi jabatan, dan sebagainya.

(3)   Rationalization (Justifikasi melakukan kecurangan)

Rasionalisasi merupakan komponen kecurangan yang paling krusial. Rasionalisasi menjadi elemen yang penting dalam terjadinya fraud, dimana pelaku mencari pembenaran atas tindakannya, misalnya “tidak akan ada orang lain yang terluka, saya berhak mendapatkan sesuatu yang lebih, dan sebagainya”

2)      Unsur-Unsur Fraud

Kecurangan dianggap terjadi bila memenuhi unsur-unsur berikut:

Harus terdapat salah saji (misrepresentation)

Dari suatu masa lampau atau sekarang

Fakta bersifat material

Dilakukan secara sengaja atau tanpa perhitungan

Harus ada korban

Harus ada yang dirugikan

Tindakan illegal

Klasifikasi Fraud

Berdasarkan Pernyataan Standar Akunting (PSA) No.70 (Paragraf 4 dan 5), ada dua tipe salah saji tentang kecurangan dalam audit atas laporan keuangan, yaitu:

Salah saji yang timbul dari kecurangan dalam laporan keuangan, yaitu salah saji atau penghilangan secara sengaja jumlah atau pengungkapan dalam laporan keuangan guna mengelabuhi pengguna laporan keuangan. Kecurangan dalam laporan keuangan menyangkut beberapa tindakan, yaitu:

Manipulasi, pemalsuan, atau perubahan catatan akuntansi atau dokumen pendukung yang menjadi sumber data untuk menyajikan laporan keuangan.

Represntasi yang salah atau penghilangan peristiwa, transaksi, atau informasi yang signifikan dari laporan keuangan.

Penerapan prinsip akuntansi yang salah secara sengaja berkaitan dengan jumlah, klasifikasi, cara penyajian, atau pengungkapan.

Salah saji yang timbul dari perlakuan tidak semestinta terhadap aset (disebut dengan penyalahgunaan atau penggelapan), merupakan tindak kecurangan yang berkaitan dengan pencurian aset perusahaan sehingga laporan keuangan tidak disajikan sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum.

Sedangkan menurut ACFE dalam bagan Uniform Occupational Fraud Classification System, fraud dapat terbagi menjadi tiga jenis, yaitu:

Penyimpangan atas aset

Meliputi penyalahgunaan atau pencurian aset perusahaan atau pihak lain. Jenis fraud ini paling mudah dideteksi karena sifatnya tangible atau dapat diukur/ dihitung.

Penyataan palsu atau salah pernyataan

Merupakan tindakan yang dilakukan pejabat perusahaan atau instansi pemerintah untuk menutupi kondisi keuangan perusahaan dengan merekayasa keuangan dalam penyajian laporan keuangan guna memperoleh keuntungan. Misalnya dengan melakukan cookie jar reserves, income smoothing, earning management.

Korupsi

Kecurangan jenis ini sulit dideteksi karena pihak yang bekerja sama menikmati keuntungan secara bersama, atau kedua belah pihak sama-sama diuntungkan. Contohnya adalah penyalahgunaan wewenang/ konflik kepentingan, penyuapan, pemerasan secara ekonomi.

Gejala Adanya Fraud

Fraud yang dilakuakn manajemen biasanya lebih susah ditemukan dibandingkan dengan yang dilakukan oleh karyawan. Oleh karena itu, gejala fraud dapat dideteksi dengan cara:

Gejala kecurangan pada manajemen:

Ketidakcocokan di antara manajemen puncak perusahaan

Rendahnya moral dan motivasi karyawan

Kurangnya staf departemen akuntansi pada suatu perusahaan

Tingkat komplain yang tinggi terhadap perusahaan dari pihak konsumen, pemasok, atau badan otoritas

Kekurangan kas secara tidak teratur dan tidak terantisipasi

Penjualan/ laba menurun sementara utang dan piutang dagang meningkat

Perusahaan mengambil kredit sampai batas maksimal dalam jangka waktu yang lama

Terdapat kelebihan persediaan yang signifikan

Gejala kecurangan pada karyawan:

Pembuatan ayat jurnal penyesuaian tanpa otorisasi manajemen atau tapa perincian/ penjelasan pendukung

Pengeluaran tanpa dokumen pendukung

Pencatatan yang salah/ tidak akurat pada buku jurnal/ besar

Penghancuran, penghilangan, pengrusakan dokumen pendukung pembayaran

Kekuarangan barang yang diterima

Adanya faktur ganda

Penggantian mutu barang

Kenaikan harga barang yang dibeli (dibuat lebih mahal)

 

3.      GAMBARAN UMUM KANTOR AKUNTAN PUBLIK

 

 

 

Profil Kantor Akuntan Publik

Nama KAP       :Kantor Akuntan Publik dan Konsultan Manajemen          “Made, Thomas, dan Dewi”

Alamat            : Jalan Dorowati No.8 Malang, Jawa Timur

No. Telp           : (0341) 326913

Nama Pendiri  : Prof. Dr. Made Sudarma, SE.,Ak.,MM.,CPA

Tanggal Berdiri           : 28 November 1990

Jumlah Karyawan        : 40 orang karyawan tetap

   9 orang karyawan sebagai auditor senior

  18 orang karyawan sebagai auditor junior

Kantor Akuntan Publik Made Sudarma, Thomas, dan Dewi didirikan pada tanggal 28 November1990 berdasarkan akta No. 544 di hadapan notaris Pramu Haryono, SH. di Malang. Sejak didirikan hingga saat ini, KAP MTD memberikan jasa assurance dan non assurance kepada pihak berkepentingan dalam kaitannya dengan pengembangan bisnis, independensi, dan kesenjangan asimetri informasi. Beberapa jasa yang diberikan adalah jasa atestasi (general audit, special audit, review, dll) , jasa perpajakan, jasa penyusunan sistem dan kebijakan akuntansi, dan beberapa jasa lainnya. Visi KAP MTD adalah menjadi KAP yang terbaik dalam menyediakan jasa akuntan publik dan memberikan kontribusi kepada publik dan dunia. Misi yang dilakukan adalah dengan memberikan jasa assurance dan non assurance dengan kompetensi, profesionalisme, knowledge, integritas, dan komitemen sebagai akuntan.

Gambaran Umum Auditor

Nama Auditor                         : Kurniasari Novi Hardanti, SE., MSA.,

Jabatan                                    : Auditor Junior

Lama Bekerja                          : 1 tahun

Alamat                                                : Jalan Anggur No. 10 Malang

Riwayat Pendidikan                : S1 Akuntansi Universitas Brawijaya Malang

                                                 S2 Akuntansi Universitas Brawijaya Malang

Riwayat Pekerjaan      : Ketika menempuh S1 di Universitas Brawijaya, juga menjadi asisten dosen di Universitas Brawijaya Malang selama 2 tahun. Kemudian melanjutkan studi S2 di Universitas Brawijaya dan bekerja di KAP MTD Malang.

Alasan menjadi auditor          : Sejak awal kuliah S1 Akuntansi di Universitas Brawijaya telah menyukai audit dan ingin terjun langsung dalam melakukan praktik audit dengan menjadi auditor.

Alasan bekerja di KAP MTD    : Prof Made Sudarma yang merupakan pendiri KAP MTD merupakan salah satu dosen akuntansi di Universitas Brawijaya Malang, dan atas rekomendasi Beliau, narasumber memutuskan untuk bekerja di KAP MTD.

Suka/ duka menjadi auditor   : Menjadi auditor merupakan impian narasumber sejak awal, sehingga dalam melaksanakan pekerjaan pun selalu dengan rasa senang dan tidak menjadi beban. Duka kadang dirasakan ketika pekerjaan mendekati deadline, sehingga harus bekerja dengan lebih keras.

 

4.      HASIL WAWANCARA

4.1       Tahapan Wawancara

Tahapan yang dilakukan sebelum melakukan wawancara dengan auditor di Kantor Akuntan Publik adalah:

Perencanaan

Pada tahap ini, penulis menentukan kantor akuntan publik mana yang akan dikunjungi. Penulis bersama beberapa teman yang lain terlebih dahulu mencari KAP yang ada di Malang. Setelah menghubungi beberapa kantor yang auditornya  bersedia untuk diwawancarai, akhirnya pilihan jatuh pada KAP MTD. Selain itu, general manager KAP MTD, yaitu Pak Audita juga merupakan salah satu dosen luar biasa yang mengajar di Program Studi Akuntansi Universitas Ma Chung, sehingga diharapkan dengan terjalinnya relasi maka akan memudahkan dalam proses wawancara.

Persiapan

Tahap persiapan dilakukan dengan membuat surat pengantar dari universitas untuk melakukan wawancara. Kemudian menentukan waktu untuk wawancara.

Pelaksanaan

Wawancara dilakukan pada hari Jumat, 3 Oktober 2014 pukul 15.00. Narasumber yang diwawacara adalah Ibu Kurniasari selaku auditor junior di KAP MTD. Proses wawancara dilakukans selama kurang lebih 60 menit, dengan mengajukan 5 pertanyaan utama.

4.2       Pembahasan

Hasil wawancara dengan narasumber antara lain:

Audit dilakukan dengan beberapa tahap. Pertama, melakukan penilaian terhadap risiko audit. Dalam hal ini adalah dengan melakukan pendekatan dengan klien dan menggali informasi sebanyak mungkin tentang track record perusahaan, bagaimana operasi dan aktivitas perusahaan di masa lampau. Selain itu, auditor juga dapat meminta pendapat dan informasi tentang klien dari auditor yang melakukan audit tahun-tahun sebelumnya. Dengan menilai risiko audit, auditor dapat memutuskan untuk menerima atau menolak permintaan klien untuk melakukan audit. Kedua, melakukan perencanaan audit. Dalam hal ini, auditor menyusun rencana kerjaa, menyusun tim audit, menetapkan jadwal audit, dsb. Ketiga, melakukan pengujian. Pengujian terdiri dari pengujian terhadap sistem pengendalian internal, substantif (tiap-tiap akun), dsb. Keempat adalah menentukan tingkat materialitas. Bila hasl pengujian terhadap sistem pengendalian baik, maka untuk nilai substantif material bisa turun. Tahap terakhir adalah membuat laporan audit dan management letter. Management letter berisi saran untuk manajemen perusahaan, misalnya ditemukan oleh auditor ada indikasi ketidaktepatan isi laporan keuangan, atau ada proses kerja perusahaan yang tidak tepat. Dengan management letter ini, perusahaan diharapkan dapat memperbaiki sistem di perusahaan atau laporan keuangan perusahaan.

Materialitas adalah salah saji akibat adanya kesalahan pada pencatatan atau kesalahan pada penerapan standar akuntansi yang berlaku. Materialitas sangat penting karena akan berpengaruh pada opini yang diberikan auditor kepada laporan keuangan perusahaan. Opini audit merupakan tanggung jawab auditor. Sedangkan tanggung jawab perusahaan adalah laporan keuangan. Opini audit merupakan alat ukur yang menunjukkan seberapa baik perusahaan dan manajemen dalam menjalankan perusahaannya. Hal ini karena laporan keuangan yang telah diaudit dapat memberikan kepercayaan akan laporan keuangan perusahaan dan dapat digunakan oleh semua pihak yang berkepentingan.

Faktor-faktor untuk menentukan materialitas adalah dengan membandingkan akun yang satu dengan akun yang lain. Selain itu, juga melihat tingkat kepentingan dari akun terebut. Misalnya pada akun kas, kas merupakan aset yang sangat likuid dan mudah terjadi penyimpangan, sehingga tingkat materialitasnya lebih kecil bila dibandingkan dengan akun lain. Selain itu, dalam menentukan maaterialitas, auditor juga perlu melihat jenis perusahaan yang diaudit. Hal ini karena tingkat materialitas untuk satu perusahaan dengan perusahaan akan berbeda, karena masing-masing akun dalam perusahaan tersebut memiliki tingkat penyimpangan yang berbeda.

Risiko audit merupakan sesuatu yang tidak dapat dicegah dan terdapat dalam perusahaan sebagai auditee. Risiko audit merupakan risiko yang terjadi akibat ketidaksengajaan auditor yang tidak memberikan pendapat secara tepat terhadap laporan keuangan perusahaan yang mengandung salah saji material. Risiko audit dapat terjadi akibat kurangnya bukti yang pasti, laporan keuangan yang disajikan belum tentu disajikan secara wajar, sistem pengendalian internal perusahaan klien yang belum pasti ada.

Risiko audit terdiri dari 3 jenis yaitu risiko bawaan, risiko kendali, dan risiko deteksi. Risiko bawaan merupakan risiko yang tidak dapat diantisipasi oleh auditor. Risiko bawaan merupakan risiko yang disebabkan oleh kesalahan-kesalahan material di masa yang terus tertanam hingga saat ini. Oleh karena itu, auditor harus bisa memastikan apakah laporan keuangan klien telah disajikan secara wajar karena dengan adanya kepastian bahwa laporan keuangan klien telah disajikan secara wajar, maka auditor akan dapat meminimalisasi risiko audit. Auditor juga harus menemukan bukti yang pasti dan mengetahui bagaimana sistem pengendalian internal perusahaan dan pelaksanaannya, sehingga risiko audit dapat diminimalisasi.

Cara untuk mengendalikan risiko audit adalah dengan audit investigasi. Caranya adalah dengan melihat pengalaman perusahaan di masa lalu, bagaimana operasi dan aktivitasnya. Biasanya untuk menyikapi risiko juga dilengkapi dengan adjustment dari auditor.

Materialitas dan risiko audit saling berhubungan. Hal ini karena materialitas merupakan ukuraan besaran dan tinggi rendahnya salah saji material, sedangkan risiko audit merupakan ukuran ketidakpastian dari salah saji material. Risiko audit juga dapat menjadi penentu dari tingkat materialitas. Kemudian, ada tiga kemungkinan hubungan antara materialitas dan risiko audit, yaitu:

Bila auditor memberikan risiko audit yang konstan dan mengurangi tingkat materialitas, auditor harus mengumpulkan bukti audit yang diperlukan.

Bila auditor memberikan tingkat materialitas yang konstan, risiko audit yang diberikan akan meningkat, sehingga bukti audit yang dikumpulkan auditor berkurang.

Bila auditor memberikan tingkat risiko audit yang rendah, tingkat materialitas yang diberikan harus meningkat, dan jumlah bukti audit yang dikumpulkan harus bertambah.

Human error merupakan kesalahan yang dilakukan manusia atau salah saji yang jumlahnya tidak materiil. Biasanya human error disebabkan karena kesalahan dalam memasukkan data, kesalahan pencatatan, kesalahan dalam pengklasifikasian akun, atau misalnya kurangnya pemahaman dalam mengaudit karena kurangnya pelatihan dari pihak internal perusahaan, Kesalahan-kesalahan dalam human error ini dapat ditolerensi auditor pada batasan-batasan tertentu. Sedangkan untuk fraud adalah kesalahan yang di dalamnya terdapat unsur kesengajaan dengan berbagai alasan tertentu. Klien dengan sengaja demi keuntungan pribadi melakukan penggelapan dana atau memanipulasi berbagai bentuk aset dan kewajiban serta dengan penghilangan bukti-bukti yang ada.

Tanggung jawab dari auditor adalah dalam memberikan opini audit pada laporan keuanga. Standar dan peraturan yang berlaku dalam proses audit dibandingkan dengan laporan keuangan perusahaan, dan selajutnya diungkapkan dalam opini audit. Karena tanggung jawab auditor adalah opini audit, maka dalam menyusun opini audit, auditor harus hati-hati dan tidak boleh sembarangan. Selain itu, setelah laporan audit dan management letter dibuat oleh kantor akuntan publik dan diberikan kepada klien, selanjutnya adalah kebebasan klien untuk menindaklanjuti hasil yang tertera dalam laporan audit tersebut, apakah akan memperbaiki atau membiarkan sesuai dengan hasil audit dan saran dari auditor.

Beberapa pengalaman narasumber selama melakukan audit dan menemukan kasus fraud . Pertama adalah kasus yang dilakukan oleh karyawan suatu bank. Karyawan tersebut tidak menyetorkan uang nasabah secara keseluruhan. Misalnya, nasabah menyetor uang 10 juta, karyawan tersebut membuat dua slip setoran yang satu berisi setoran 8 juta, dan yang satunya 10 juta untuk nasabah. Uang yang disetorkan adalah 8 juta, sedangkan sisa 2 juta diambil karyawannya. Karyawan tersebut juga bekerja sama dengan pihak akuntansi di bank tersebut. Tindakan tersebut ternyata telah dilakukan sejak tahun 2007, dan baru diketahui manajemen pada pertengahan tahun 2013. Hal ini karena karyawan dan pihak akuntansi membuat dua laporan keuangan yang berbeda. Yang asli disimpan, dan yang palsu ditunjukan ketika proses audit. Kemudian, manajemen meminta bantuan auditor untuk menyelidiki, dan kerugian yang dialami bank adalah sekitar 3 milyar. Kedua adalah kasus pada yayasan suatu koperasi. Dalam kasus ini, ketua yayasan koperasi mengambil uang untuk kepentingan pribadi. Kasus ini terungkap ketika dilakukan audit dan pengecekan terhadap sisi kredit berupa bunga yang diberikan dan pendapatan dari bunga ternyata hasilnya tidak sebanding.


5.      PENUTUP

Beberapa kesimpulan yang dapat diambil antara lain sebagai berikut:

Laporan keuangan dikatakan mengalami salah saji material bila laporan dalam laporan tersebut terdapat salah saji yang memberikan dampak signifikan baik secara individual maupun kelompok. Salah saji dapat terjadi karena kekeliruan atau kecurangan. Hal ini akan menyebabkan laporan keuangan tidak disajikan secara wajar dalam semua hal sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum di Indonesia.

Auditor dalam melakukan audit terhadap laporan keuangan tidak dapat memberikan jaminan bahwa laporan keuangan auditan adalah akurat. Sehingga, audit hanya memberikan beberapa keyakinan (assurance) sebagai berikut (Mulyadi, 2002):

Auditor bisa memberikan keyakinan bahwa jumlah-jumlah yang tertera dalam lapora keuangan dan pengungkapannya telah dicatat, diringkas, digolongkan, dan dikompilasi.

Auditor bisa memberikan keyakinan bahwa ia telah mengumpulkan bukti audit yang kompeten sebagai dasar untuk memberikan opini atas laporan keuangan auditan.

Auditor bisa memberikan keyakinan dalam bentuk pendapat (atau informasi dalam hal terdapat perkecualian) bahwa laporan keuangan telah disajikan secara wajar secara keseluruhan dan tidak ada salah saji material akibat kekeliruan dan ketidakberesan.

Selain itu, auditor juga akan menyadari adanya risiko-risiko audit, sehingga auditor akan menangani dengan pantas. Beberapa risiko audit susah diukur dan pelu penanganan secara hati-hati dan seksama. Risiko-risiko audit tersebut antara lain (SA Seksi 312, 2001):

Risiko pengendalian

Risiko pengendalian merupakan suatu risiko di mana salah saji material dapat terjadi dalam suatu asersi tidak dapat dicegah atau dideteksi secara tepat waktu oleh pengendalian internal entitas. Risiko ini merupakan fungsi efektifitas desain dan operasi pengendalian internal entitas.

Risiko bawaan

Risiko bawaan adalah kerentanan suatu saldo akun atau golongan transaksi terhadap suatu salah saji material, dengana asumsi tidak ada pengendalian yang terkait. Risiko salah saji demikian adalah lebih besar pada saldo akun atau golongan transaksi tertentu dibandingkan dengan yang lain.

Risiko deteksi

Risiko deteksi adalah risiko bahwa auditor tidak dapat mendeteksi salah saji material yang ada dalam suatu asersi. Risiko deteksi merupakan fungsi efektifitas prosedur audit dan penerapannya oleh auditor.

 

DAFTAR PUSTAKA

Agoes, Sukrisno. 2004. Auditing. Edisi ketiga, Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta.

Agoes, Sukrisno dan Estralita Trisnawati. 2006. Praktikum Audit. Jakarta.

Salemba Empat,

Alvin A. Arens, Randal J. Elder, Mark S. Beasley. 2008. Auditing dan Pelayanan Verifikasi: Pendekatan Terpadu, alih bahasa oleh Tim Dejakarta, edisi keduabelas. Jakarta. Indeks.

Arens, A.A. 2008. Auditing Pendekatan Terpadu. Jakarta. Salemba Empat.

Arens, A. Loebbecke, J.K. 2003. Auditing Pendekatan Terpadu buku satu. Edisi

Indonesia. Terjemahan Jusuf, AmirA. Jakarta. Salemba Empat.

Dewan Standar Profesional Akuntan Publik Ikatan Akuntan Indonesia. 2001. Standar Profesional Akuntan Publik Per 1 Januari 2001. Jakarta. Salemba Empat.

Mulyadi. 2002. Auditing. Buku Dua, Edisi Ke Enam. Jakarta. Salemba Empat.

Sunarto. 2003. Auditing, Panduan. Yogyakarta.

Materialitas dan risiko audit

http://www.scribd.com/doc/119479977/Tugas-Makalah-Materialitas-dan-Resiko-Audit

Munawir. 1999. Materialitas dalam Pelaksanaan Audit

http://www.russellbedford.co.id/downloads/resources/f6f45_PSA%20No.%2025%20Materialitas%20dlm%20Pelaksanaan%20Audit%20_SA%20Seksi%20312_.pdf (diakses 19 September 2014)

Konrath, L.L. 2004. Materialitas, Bukti, dan Risiko Audit

http://s3.amazonaws.com/academia.edu.documents/34250164/Unpublished_Work__Materialitas__Bukti_Audit____Resiko_Auditlibre.pdf?AWSAccessKeyId=AKIAJ56TQJRTWSMTNPEA&Expires=1410623039&Signature=%2BehlgsYNgOxea%2BrLGHbQxE4iQy8%3D (diakses 19 September 2014)

Hendro  dan Aida. 2006. Materialitas dan Risiko Audit.

http://www.mdp.ac.id/materi/2012-2013-1/AD301/122218/AD301-122218-882-7.pdf (diakses 19 September 2014)

Febryanti. 2012. Materialitas, Bukti dan Risiko Audit.

http://thesis.binus.ac.id/doc/Bab2Doc/2011-2-00446-AK%20Bab2001.doc (diakses 19 September 2014)

 

LAMPIRAN

Dokumentasi Hasil Kunjungan ke KAP MTD

 

 

Daftar Pertanyaan Wawancara

Gambaran umum kantor akuntan publik

Gambaran umum narasumber

Apa saja tahap-tahap dalam melakukan audit?

Apa itu materialitas? Bagaimana cara menentukan materialitas?

Apa itu risiko audit?

Apa itu human error dan fraud? Apa beda dari keduanya?

Adakah pengalaman-pengalaman menarik selama melakukan audit?