Selasa, 28 Februari 2023

DATA, FAKTA DAN ANALISIS TRAGEDI BANJIR LUMPUR LAPINDO DI SIDOARJO - JAWA TIMUR

 

Daniel S. Stephanus

Balai Rakyat Korban Lumpur Lapindo

Pokja Masyarakat Sadar Bencana

Rakyat Berdaya dan Siaga (RABERDASI)

 


Daftar Isi

 

 

Pengantar

 

1.    Lapindo Brantas Inc.

 

2.    Kronologi

       Pembebasan Tanah

       Ledakan Bawah Tanah

       Pengungsi Gelombang I

 

3.    Pelanggaran Hukum

       Pertanggungjawaban Hukum dan Politik

       Pertanggungjawaban Perdata

       Pertanggungjawaban Pidana

       Pertanggungjawaban Politik

       Kejahatan Korporasi

 

4.    Dampak dan Kerusakan Lingkungan

       Kerusakan Linkungan

       Kelaut:  Menyelesaikan Masalah dengan Bencana

 

5.    Dampak Ekonomi, Sosial dan Budaya

       Ekonomi, Sosial dan Budaya

       Perempuan dan Anak

                Hak Perempuan

                Hak Anak

       Transportasi dan Ekonomi Jawa Timur

       Fasilitas Umum dan Fasilitas Negara

 

6.    Penanggulangan Teknis

       Peran TNI

       Snubbing Unit

       Relief Well

       Penanggulan

 

7.    Ledakan Pipa Gas 22 November 2006

       Korban Ledakan

       Pengungsi Gelombang II

       Kesengajaan Menenggelamkan Kawasan Pemukiman Oleh Warga Sendiri

       Penanggulan Setengah hati

 

8.    Ganti Rugi

       Relokasi Sementara

       Relokasi Permanen (Rekomendasi Pemerintah)

       Ganti Rugi Rumah dan Tanah (Cash and Carry)

 

9.    Tuntutan Rakyat

 

10.  Rekomendasi-Rekomendasi

       Penanganan Teknis

       Penanganan Masalah Sosial

 

 

 

 

11.  Lampiran Data dan Fakta 

      Data Korban Per 02 Februari 2007

 Data Pengungsi

 Data Perawatan Korban

 Lahan/Tanaman/Ternak

 Bangunan

 Infrastruktur

      Catatan Kecil

        Kejanggalan-Kejanggalan

        Pengamanan Seperti Daerah Konflik

        Keganjilan-Keganjilan di Seputar Kasus Banjir Lumpur Lapindo

        Sekilas Data dan Fakta per 09 Oktober 2006

        Catatan-Catatan

      Kronologoi Penanganan Banjir Lumpur Lapindi di Porong

 

 

 


Pengantar

Tragedi banjir lumpur lapindo saat ini (per 02 Februari 2007) telah menenggelamkan 9 desa dari 3 kecamatan di kabupaten sidoarjo (Renokenongo, Siring, Jatirejo Kec. Porong; Kedungbendo, Ketapang, Kalitengah Kec. Tanggulangin; dan Pejarakan, Besuki, Kedungcangkring Kec Jabon).  Desa yang hilang tenggelam di bawah lumpur adalah desa Renokenongo, Jatirejo, Siring, Kedungbendo dan Ketapang (timur), sedangkan desa-desa lain masih dapat terlihat atau hanya tenggelam persawahannya.  

Tragedi banjir lumpur lapindo telah mengakibatkan 7.716 kepala keluarga atau 28.617 jiwa mengungsi (terusir) dari rumah mereka.  Pengungsian terdiri dari 2 gelombang, gelombang pertama terjadi akibat banjir lumpur pertama sebanyak 3.285 KK atau 12.607 jiwa (pos pengungsian Pasar Baru Porong, Balai Desa Renokenongo dan Balai Desa Kedungbendo) yang sempat teratasi baik secara teknis (banjir lumpur dapat dikendalikan) maupun secara sosial (rakyat mendapat dana kontrak untuk relokasi sementara).  Pengungsian gelombang kedua terjadi karena pecahnya pipa gas BP Migas dibawah tanggul jalan tol km38 yang mengakibatkan tanggul jebol dan lumpur meluap ke arah utara yang sampai saat ini belum tertanggulangi, pengungsi berjumlah 4.431 KK atau 16.010 jiwa.  Jumlah pengungsi gelombang kedua lebih banyak karena luasan luapan lumpur yang tinggi sebagai akibat dari penanganan luapan yang setengah hati (ketiadaan dana sebagai alasan).  Saat ini masih ada 3.793 KK atau 13.926 jiwa yang masih mengungsi baik di Pasar Baru Porong, Dinsos Sidoarjo, Balai Desa Kalitengah dan sepanjang tanggul Kali Porong (Balai Desa Ketapang sudah di relokasi sementara).  

Kerusakan bukan hanya pada fisik bangunan, jalan dan infrastruktur semata tetapi juga terjadi kerusakan pada perekonomian, sosial – budaya, pendidikan, hukum dan pranata-pranata sosial lainnya.  Kerusakan juga terjadi secara personal pada para pengungsi selain ketidak pastian tempat tinggal, mata pencarian, pendidikan bagi anak, kesehatan dan dampak psiko sosial karena harus berpindah-pindah tempat tinggal yang mengakibatkan stress.  Ditingkahi lagi dengan ketidakpastian pengurusan ganti rugi (banyak aturan yang sengaja menghambat proses ganti rugi seperti kepemilikan sertifikat).  Belum lagi masalah pendidikan anak yang harus berpindah karena sekolah lama telah tenggelam dan berpindah mengikuti perpindahan (mengungsi) orang tua mereka.  Bukan hanya masalah biaya pindah sekolah tetapi juga masalah penyesuaian dengan sekolah dan juga lingkungan rumah yang baru.

Penangangan yang lebih menitik beratkan pada permasalahan penghentian semburan (snubbing unit, relief well 1 dan 2) yang terbukti gagal, juga pembuangan ke kali porong (spill way pejarakan) juga tidak mengurangi banjiur lumpur walau tanggul telah dibuat dengan cukup baik tetapi tidak cukup untuk menghentikan banjir lumpur, telah memakan biaya yang tidak sedikit.  Sedangkan penanganan dampak sosial relatif mendapat porsi yang tidak terlalu besar kecuali makan-minum seadanya di pengungsian dan uang kontrak untuk relokasi sementara tanpa ada kepastian masa depan seperti apa, sama dengan tidak pastinya kapan semburan lumpur lapindo akan berhenti.  Bahkan proses gnati rugipun menajdi sedemikian rumit dan penuh dengan aturan padahal waktu pembebasan tanah untuk pengeboran amatlah mudah dan tanpa syarat macam-macam.

Sejak awal Pemerintah (Daerah dan Pusat) nampkanya sudah mengalah terhadap swasta (Lapindo Brantas Inc.)  Hal ini terlihat dari proses pembebasan tanah yang diperantarai oleh Ibu Lurah Renokeonongo, aktifitas eksplorasi oleh LBI tanpa AMDAL yang tidak pernah mendapat peringatan apapun dari Pemkab Sidoarjo, Pemerintah Pusat (Presiden dan para Menteri) yang terkesan tidak dapat bertindak tegas untuk menekan LBI bahkan muncul dukungan dari Wapres dan Ketua MA pada pemilik LBI (Menko Kesra) untuk terhindar dari jerat hukum dan tuntutan langsung dari masyarakat.

Sampai kapan rakyat Porong khususnya dan Sidoarjo pada umumnya hidup dalam ketidakpastian dan tanpa ada solusi atau putusan yang cepat dan tepat serta berpihak pada rakyat tanpa menjadikan Banjir Lumpur Lapindo menajdi bencana alam.  Biarlah tetap sang penyebab menjadi pihak yang bertanggung jawab, bukan pemerintah.

 


1.    Lapindo Brantas Inc.

PT. Lapindo Brantas adalah salah satu dari berbagai anak perusahaan PT. Energi Mega Persada Tbk. PT. Lapindo Brantas didirikan untuk mengeksploitasi sumur-sumur yang ada di blok Brantas, dalam hal ini, PT Lapindo Brantas/EMP ibaratnya hanya sebagai operator, sedangkan saham blok tersebut dimiliki bersama oleh PT. Energi Mega Persada Tbk, PT. Medko Energi Tbk, dan Santos LTD – Australia merupakan perusahaan yang juga memiliki berbagai kilang minyak dan gas terbesar seantero Nusantara.  PT Lapindo Brantas/EMP bukan warga baru di Sidoarjo, Jawa Timur. Perusahaan ini nongol di Sidoarjo satu dasawarsa lalu setelah ditunjuk oleh BP Migas.

Sekarang siapa saja yang berada dalam Top managemen yang mengeksplorasi blok Brantas. Pada Skema kepemilikan saham eksplorasi dan eksploitasi blok Brantas, PT. Energi Mega Persada Tbk yang dimiliki keluarga Bakrie menguasai saham 50% sedangkan PT. Medko Energi Tbk yang dimiliki keluarga Panigoro menguasai 32% dan Santos Brantas Indonesia Tbk yang dimiliki pemodal asing dengan komposisi saham 18%.

Diantara ketiga pemegang saham, PT. Energi Mega Persada tampak dominan karena disamping saham terbesar, juga menempatkan PT Lapindo Brantas/EMP sebagai anak perusahaan untuk menguasai dan bekerja sebagai operator di sumur Banjar Panji I ini.

Adapun jajaran top managemen di tubuh PT. Energi Mega Persada Tbk yang listing di pasar modal sejak 6 Januari 2006, meliputi Presiden Direktur : Chris Newton, Rennier A.R.Latief (Dirut utama PT Lapindo / Direktur Eksekutif PT. Energi Mega Persada); direktur operasional Lapindo Faiz Shahab, dan General Manager Lapindo Brantas/EMP Imam Agustino. Top Manager  adalah Erwin Hidayat yang menjabat Vice Presiden Capital Market     

 

2.    Kronologi

2.1  Pembebasan Tanah

Tidak ada sosialisasi dan transparansi mengenai rencana eksplorasi Gas oleh PT Lapindo Brantas Inc. Sosialisasi pembebasan tanah dilakukan oleh aparat desa (Bu Kades Renokenongo) dengan peruntukkan sebagai gudang peralatan berat.  Negosiasi pembebasan tanah dilakukan oleh warga pemilik dengan aparat desa (renokenongo) sedangkan PT Lapindo sebagai pembeli tidak pernah menampakkan diri.  Bahkan pembayaran oleh aparat desa dengan kwitansi tanpa tanda pengenal pembeli (Lapindo).

2.2  Ledakan dari Bawah Tanah

Jumat, 26 Mei 2006, Pukul 03.00 WIB, warga Desa Renokenongo mendengar suara sirine yang sangat keras dari lokasi pengeboran PT. Lapindo Brantas/EMP, entah apa yang terjadi, masyarakat di sekitar desa tidak tahu menahu mengapa dan apa maksud bunyi sirine itu. Tidak ada komunikasi atau pengumuman apapun sebelumnya dari PT. Lapindo Brantas/EMP.

 Senin, 29 Mei 2006, lumpur panas di area pemboran eksplorasi gas Banjar Panji I di Desa Siring, Kec. Porong pertama kali menyembur pada pukul 05.30 WIB. Material ganas itu keluar melalui titik-titik baru pada celah batuan atau tanah yang diperkirakan terletak lebih kurang 50 meter dari titik bor yang sedang dieksplorasi oleh PT. Lapindo Brantas/EMP Inc. Lumpur ini menyembur hingga ketinggian 150 meter diakibatkan oleh kesalahan dan kelalaian PT. Lapindo Brantas/EMP Inc.

Selasa, 30  Mei 2006, Lokasi pemboran eksplorasi di sumur Banjar Panji I kemudian di amankan, bahkan sehari setelah itu malah terjadi peningkatan semburan lumpur. Material ganas itu dengan cepat menyebar dan merendam persawahan penduduk yang terletak di sekitar lokasi Desa Siring.

Kamis, 1 Juni  2006, disusul lagi oleh dua titik semburan baru, terjadi pada pukul 19.30 WIB, satu titik semburan terletak di wilayah pemukiman penduduk dan satu titik lagi  terletak di wilayah persawahan. Tiga titik lokasi semburan lumpur yang yang ada di Desa Siring dan Renokenongo ini memiliki orientasi arah timur laut – barat daya. Saat itu memang tidak ada korban jiwa, namun lumpur sudah mulai menyebar dan menggenangi beberapa rumah penduduk di wilayah tersebut

Pada minggu pertama, pihak PT. Lapindo/EMP berkelit bahwa tiga titik semburan lumpur ganas itu diakibatkan oleh faktor alam atau dipengaruhi oleh gempa yang terjadi di Yogyakarta 27 Mei 2006. Spekulasi PT. Lapindo/EMP ternyata mendapat kecaman dari berbagai pihak, karena diperoleh keterangan bahwa, sebelum terjadi semburan lumpur, posisi drilling pada kedalaman 9297 feet atau setara dengan 3000 meter, mengalami mud logging hilang tiba-tiba (lost circulation), dan sempat terjadi kick atau muncul gas dibawah permukaan secara mendadak dan periodik, akhirnya terhenti (stuck).

Situasi ini terjadi sebelum gempa Yogyakarta, 27 Mei 2006, sehingga ada perkiraan baru bahwa terjadinya semburan karena underground blow out atau semburan gas dibawah permukaan yang memicu meningkatnya tekanan shale1 (over presurre shale) dari formasi kalibeng naik melalui rekahan-rekahan, volume semburan lumpur telah melebihi volume mud yang lose dilubang pemboran, sehingga yang yang tersembur keluar adalah shale dan air formasi; dari sinilah diketahui bahwa pada kedalaman 9000 kaki, PT. Lapindo Brantas/EMP tidak melakukan pemasangan casing 9 5/8 inchi yang merupakan rambu keselamatan dalam setiap pengeboran.

Selain lalai, jauh sebelumnya para ahli Geologi menemukan lapisan SLUMP – indikasi shale bergerak yang labil di wilayah operasi PT. Lapindo Brantas. Bila lapisan itu ditembus secara vertikal, sudah diprediksi adanya resiko ledakan lumpur panas. Oleh Karenanya mereka menyarankan untuk melakukan pengeboran miring, supaya  terhindar dari lapisan SLUMP yang terkandung dalam struktur geologi Blok Brantas. Lagi-lagi pendapat para ahli ini diabaikan oleh PT. Lapindo Brantas.

Di samping itu, PT. Lapindo tidak mengantisipasi adanya zona patahan yang ada dalam kawasan eksplorasinya. Patahan itu kini meretakkan struktur geologi sehinga mengakibatkan semburan lumpur. Zona patahan-lemah itu berupa garis membentang sepanjang Porong (Sidoarjo) hingga Purwodadi (Pasuruan). Posisi patahan miring terhadap utara mata angin dengan sudut N30E (30 derajat dari utara ke timur). Teori yang dikembangkan komunitas geologi diantaranya dugaan bahwa lumpur berasal dari deposit minyak dalam bentuk kubah dengan ujung kubah paling dekat dengan permukaan. Struktur ini disebut diapir.

Pengeborann Lapindo kemungkinan memicu retakan di zona lemah di atas kubah dan menimbulkan blow out jebakan lumpur dan gas di dalam kubah. Dengan tekanan tinggi,lumpur dan gas akan mencari lokasi yang paling lemah dalam retakan perut bumi2. Sejak awal beroperasi, PT. Lapindo Brantas/EMP tidak melakukan sosialisasi ke warga. Bahkan saat membebaskan tanah warga, PT.Lapindo Brantas/EMP malah membohongi warga dengan alasan tanah warga yang akan dibeli akan dipergunakan untuk usaha pakan ternak.  Bahkan, ketika luapan lumpur panas terjadi  Lapindo Brantas/EMP tidak pernah menjelaskan pada warga tentang apa yang sebenarnya terjadi di sumur pengeboran biak secara teknis, peruntukan, dan skenario tim penanggulangannya.

2.3  Pengungsi Gelombang I

Pengungsi dari gelombang pertama berada di pos pengungsian (Pasar baru Porong, Balai Desa Renokenongo dan Balai Desa Kedungbendo) yang mengungsi sejak awal juni sampai dengan akhir agustus 2006 dan pengungsian sementara di over pass jalan porong Besuki karena luberan air lumpur yang mengenangi Desa Besuki.  Jumlah pengungsi yang pernah tinggal di pos pengungsian adalah 2605 KK atau 9936 jiwa di pos pengungsian Pasar Baru Porong, Balai Desa Renokenongo 188KK atau 725 jiwa, Balai Desa Kedungbendo 125 KK atau 463 jiwa dan di Over Pass Tol Besuki 223 KK atau 949 Jiwa, sehingga total pengungsi adalah 3285 KK atau 12607 jiwa. Para pengungsi telah mendapatkan kompensai untuk relokasi sementara sehingga pada awal September pos-pos pengungsi yang ada telah bersih dari pengungsi.  Bahkan sebagian besar pengungsi (khusunyanya dari desa Renokenongo dan Kedungbendo) mengungsi ke Perumtas I Tanggulangin.

Pada paska peristiwa ledakan pipa gas 22 november 2006 yang akhirnya juga menenggelamkan lebih banyak desa dan khususnya Perumtas I, pengunsi dari gelombang pertama tidak lagi dianggap sebagai korban (pengungsi) dan harus mencari kontrakan secara swadana dan bahkan uang jatah hidup tertunggak sampai 3 bulan.  Pengungsi yang sudah berat hidupnya, semakin berat karena terabaikan hak-haknya yang sama sekali tidak mendapat perhatian dari Pemerintah baik daerah maupun pusat.

 

3.    Pelanggaran-Pelanggaran Hukum

1.    Diijinkannya eksplorasi Migas di dekat pemukiman dan fasilitas umum yang melanggar pasal 41 dan 42 UU 23/1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, dan pasal 94 UU 7/2004 tentang Sumber Daya Air.

2.    Pembebasan tanah tidak transparan peruntukkaannya dan warga pemilik tanah tidak pernah bertemu dengan pembeli.

3.    Tidak adanya dokumen AMDAL.

 

3.1 Pertanggung jawaban Hukum dan Politik

Jakarta, 14/08. Seperti diberitakan sebelumnya bahwa saat ini Polda Jawa Timur telah memeriksa 7 tersangka untuk kasus Lumpur Panas Lapindo Brantas/EMP Inc. Dan akan kembali mengembangkan pemeriksaan untuk 2 orang lagi Vice President DSS (Driling Share Service ) PT. Energi Mega Persada, perusahan induk Lapindo Brantas Inc, dan Dirut PT Medici Citra Nusa dengan dugaan :

(1) Kelalaian yang menimbulkan bahaya banjir lumpur (pasal187 dan 188 KUHP serta pasal 41 dan 42 UUPLH)

(2) Kelalaian, karena seharusnya memberikan perintah menghentikan operasi pengeboran, ternayata masih terus dibiarkan.

(3) Patut mengetahui perbedaan antara kontrak kerja ayng diberikan Lapindo Brantas/EMP pada perusahaannya dengan driling program.

Dari ketiga dugaan ini tampak terlihat bahwa sebanyak 9 orang akan dijadikan tersangka dalam kasus lumpur panas ini terutama dari sisi hukum pidana yang diterapkan oleh Polda Jawa Timur, dimana ketentuan pidana dalam KUHP kita masih menerapkan bahwa “barang siapa yang melakukan tindakan kejahatan” maka pertanggung jawaban pidananya dikenakan hanya kepada orang sebagai recht person (pasal 59 KUHP dan pasal 1 KUHAP)

3.2 Pertanggunjawaban Perdata

Dilihat dari logikan operasional, bahwa Sumur Banjar Panji-1 berada di Blok Brantas yang merupakan konsesi milik PT. Lapindo Brantas/EMP atas dasar Production Sharing Contract (PSC) dengan BP-Migas. Pekerjaan Driling merupakan tanggung jawab department Driling di LAPINDO, namun pekerjaan ini di-subkontrakkan kepada pihak lain yaitu PT. Medici Citra Nusantara (MCN).

Seperti yang juga kita ketahui bahwa pemilik saham sektor migas di blok brantas adalah sebanyak 50% dipegang oleh PT. EMP dan sisanya terbagi menjadi milik Santos LTD, PT. Medco Energi Tbk dan Lapindo Brantas/EMP Inc. Artinya terdapat empat pihak yang terkait langsung dengan operasi pengeboran pipa diseluruh wilayah Blok Brantas. Dimana penanganan lumpur yakni PT Energi Mega Persada Tbk, PT Medco Energi Tbk, dan Santos LTD sesuai Pasal 6 ayat 2 poin c UU 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi.

3.3 Pertanggungjawaban Pidana

Namun melihat begitu besarnya kerugian (sosial, ekonomi dan lingkungan) yang diderita sebagai akibat kelalaian kebocoran pipa gas dan menimbulkan lumpur panas ini, tidak pantas rasanya penganganan kasus tersebut hanya dibebankan secara hukum hanya kepada 9 orang seperti tersebut diatas.

Secara teoritis (Tumbuan, 1988:3) selain orang, badan hukum hanya dapat melakukan apa yang secara eksplisit atau implisit dijinkan oleh hukum maupun anggaran dasarnya. Karena banyak penelitian menyebutkan (M. Hamdan, 2000: 63) bahwa pelanggaran hukum yang bisa dikenakan kepada Korporasi adalah: pelanggaran hukum administrasi, pencemaran lingkuangan, finasial, peburuha, manufaktur dan persaingan dagang. Dua ketentuan pertama diatas menjadi wajib dikenakan kepada para pemilik ijin Blok Brantas sebagai subyek dalam hukum pidana, mengingat dampak negatif yang sangat luas terhadap setiap bagian kehidupan masyarakat.

3.4 Pertanggungjawaban Politik

Sekjen Pro Demokrasi dalam Harian Terbit. Com (28/07/2006) menyatakan bahwa Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat (Menko Kesra) Aburizal Bakrie dipandang perlu segera dinonaktifkan dari Kabinet Indonesia Bersatu. Hl itu dimaksud guna menghindari konflik kepentingan dalam menuntaskan kasus semburan lumpur panas di Sidoarjo, Jatim. Sebab, PT Lapindo Brantas/EMP merupakan milik PT Energi Mega Persada yang merupakan milik Aburizal Bakrie.

Dalam hal ini penting juga untuk meminya Kepolisian RI membongkar jaringan KKN yang diduga keras melibatkan par petinggi negara. Diantara dengan menanyakan proses perizinan dan perpanjangan kontrak kepada SBY selaku Mentaben ketika izin diperpanjang  dan Menteri ESDM Purnomo Yusgiantoro yang ketika menjabat sebagai Dirjen Migas. Termasuk kepada Aburizal sebagai pemilik PT. Lapindo Brantas/EMP.

Untuk pertanggungjawaban BP Migas didalam melakukan pengawasan, sebenarnya terdapat pada BAB VIII Pasal 41, UU 22/2001 tentang Migas : (1) Tanggung jawab kegiatan pengawasan atas pekerjaan dan pelaksanaan kegiatan usaha minyak dan gas bumi terhadap ditaatinya ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku  berada pada departemen yang bidang tugas dan kewenangannya meliputi kegiatan usaha minyak dan gas bumi dan departemen lain yang terkait.

(2) Pengawasan atas pelaksanaan Usaha Hulu berdasarkan Kontrak Kerja sama dilaksanakan oleh Badan Pelaksanaan.

Pasal 42 menyebutkan : Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (1) meliputi:

            a, b,...

            c. Penerapan kaidah keteknian yang baik;...

             f. Keselamatan dan kesehatan kerja ...dst.

m. Kegiatan-kegiatan lain di bidang usaha minyak dan gas bumi ...dst...

Namun pasal 44 butir

(3) menyebutkan: bahwa BP Migas bukan sebagai pengendali operasi KKKS namun BP Migas menyetujui Rencana Kerja dan Budget (Perencanaan dan anggaran) yang akan dipakai sebagai sarana “cost recovery” (hal ini diperjelas dalam PP 35/2004 pasal 56). Masih dalam PP tersebut, pasal 86 sampai pasal 90 dapat diartikan bahwa sebenarnya pembinaan dan pengawasan terhadap “penerapan kaidah keteknikan yang baik serta keselamatan dan kesehatan kerja” terdapat pada tugas dan wewenang pembinaan dan pengawasan antara Menteri ESDM mengenai tugasnya ( sebagai pembina dan pengawas) didalam kegiatan hulu minyak dan gas bumi.

3.5 Kejahatan Korporasi

Definisi kejahatan dalam tulisan ini adalah tindak pidana yang artinya perilaku yang melanggar ketentuan pidana yang berlaku ketika perilaku itu dilakukan, baik perilaku tersebut berupa melakukan perbuatan tertentu yang dilarang oleh ketentuan pidana maupun tidak melakukan perbuatan tertentu ang diwajibkan oleh ketentuan pidana. Sementara pengertian korporasi adalah subyek hukum selain perseorangan dan atau kelompok orang, lebih dalam lagi artinya korporasi adalah sebuah badan hukum. Dimana kita membedakan perseorangan/kelompok orang dapat melakukan apa saja yang tidak dilarang oleh hukum, sementara korporasi sebagai sebagai badan hukum hanya dapat melakukan apa yang secara eksplisit atau implisit diizinkan oleh hukum atau anggaran dasarnya. Jadi kejahatan korporasi adalah segala perbuatan tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi yang menurut hukum dilarang atau tidak melakukan perbuatan tertentu seperti yang diatur dalam keentuan pidana. Bahkan UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, pasal 45 dan 46 menyebut dengan tegas bahwa pelaku tindak pidana (pencemaran dan perusakan lingkungan hidup) tidak hanya dikenakan terhadap orang secara pribadi tetapi juga termasuk badan hukum.

 

4.    Dampak dan Kerusakan Lingkungan

Kerusakan Lingkungan

Lumpur yang menyembur dari perut bumi itu tidak hanya panas tapi juga ganas, setiap harinya lumpur panas itu bertambah sekitar 150 ribu meter kubik, hingga hari ke 90 lupur itu mengendap dipermukaan bumi porong sudah lebih dari 7 juta meter kubik dan menggenangi lebih dari 300 hektar lahan masyarakat.

Berdasrkan hasil uji laboratorium ITS, jumlah zat padat terlarut dan jumlah zat padat tersuspensi dalam lumpur sangat tinggi. Artinya, padatan terlarut dan tersuspensi hanya mungkin bisa diendapkan, tapi dalam jangka waktu lama karena harus memanfaatkan terik matahari dan angin.

Dalam analisa lingkungan yang dibuat Bapedal Jawa Timur, Dinas Lingkungan Hidup dan Pertambangan Sidoarjo dan Lapindo Brantas/EMP sendiri, disebutkanlumpur yang menggenagi 5 desa di Sidoarjo ini mengandung konsentrasi fenol5 melebihi baku mutu

Kerusakan lingkungan hidup yang terjadi secara masive di Kecamatan Porong dan sekitarnya, telah mengarah mehgarah pada tindakan pengrusakan dan pemusnahan ekosistem secara terbuka, bahkan akan berpengaruh pada wilayah-wilayah di sekitarnya, jika penanganannya sama sekali tidak memperhatikan geo-ecology wilayah setempat.

Lumpur yang menyembur di Porong ini, selain panas juga mengandung bahan beracun berbahaya (B3) yang melebihi ambang batas, kandungan fenol dalam lumpur tersebut – sebagaimana disebutkan dalam PP No 85/99 tentang perubahan atas PP No 18/1999 tentang pengolahan limbah B3 – termasuk dalam daftar zat limbah pencemar yang bersifat kronis. Bahkan jika diakumulasi hingga hari ke 90, insiden lumpur Lapindo diperkirakan akan memuntahkan lebih dari 40 ton fenol, 8 ton besi (Fe), 1,4 juta ton padatan tersuspensi, 50 ribu ton senyawa klorida.

Berdasarkan temuan itu, Kepala Bidang Pengawasan dan Pengendalian Bapedal Provinsi Jatim Warno Harisasono, lumpur dikategorikan bahan berbahaya dan beracun kendati tingkat toksisitasnya rendah.

Bukan itu saja, Pemerintah kabupaten Sidoarjo melalui dinas terkait, secara resmi telah mengirimkan sampel lumpur sebanyak dua tong ke Laboratorium Kimia Tanah, Fakultas Pertanian Unibraw, Malang, dengan maksud apakah lahan yang digenangi lumpur panas masih layak bagi kepentingan pertanian dan pemukiman. Hasilnya, bila digunakan untuk bercocok tanam ternyata membutuhkan biaya mahal.   

Guru Besar Kesuburan Tanah Unibraw Prof. Dr. Ir Syakhfani membuat analisis dalam dua perspektif, hara makro dan hara mikro. Bila mengacu pada hara makro yang cukup tinggi, mencakup kandungan Sulfur 50 ppm, Kalium 1 ml/100 gram, Kalsium 10 ml/10 gram, Magnesium 2 ml/100 gram, bisa disimpulkan bahwa kendati unsur hara makro terlalu tinggi bagi kebutuhan tanaman, namun tidak ada masalah. Persoalannya, bila didekati dalam perspektif unsur hara mikro, kandungannya ternyata juga sama ekstrimnya. Karakter unsur hara mikro itu berlebihan bisa berdampak meracuni tanaman. Hasil analisa hara mikro juga sangat tinggi, bahkan ekstrim tinggi. Kandungan garam Natrium 1 ml/100 gr, Alumunium 0,2 ml/100 gr, Besi 700 ppm dan Khlor 0,1 NHCl. Oleh karenanya, bisa disimpulkan bahwa tanah dengan campuran lumpur dari semburan geologi itu tak bisa dimanfaatkan untuk tujuan bercocok tanam.

Sebagai contoh, kandungan Khlor yang mencapai 10 ppm saja sudah tinggi, apalagi dalam lumpur Lapindo mencapai 10 ribu ppm. Begitu juga tingginya kadar Natrium akan membuat butiran tanah pecah, dan sulit dibentuk menjadi gumpalan yang menyebabkan tersumbatnya aliran udara dan air ke tanah. Akibatnya tanaman akan mati keracunan alumunium.

4.2 Ke Laut: Menyelesaikan Masalah dengan Bencana

Pembuangan lumpur ke laut memiliki resiko kerugian sosial, ekonomi, dan lingkungan yang jauh lebih besar dibandingkan dengan specific treatment  yang dilakukan didarat. Artinya, solusi ini justru hanya akan menambah masalah baru baik dilihat dari skala luasan daerah terkena dampak (akan semaki luas) maupun dari sisi waktu penyelesaian (akan semakin lama). Mengapa bisa demikian?

Pertama, perlu diketahui lumpur panas Lapindo Brantas/EMP ini tidak hanya terkontaminasi oleh bahan pencemar seperti fenol, clhor, dsb, tapi lebih dari itu, terdapat material padatan tersuspensi (MPT) yang merupakan partikel dengan ukuran yang sangat halus dan tersusun dalam jumlah yang cukup besar, yang selanjutnya kita sebut sebagai lumpur panas tersebut. Setiap harinya semburan lumpur panas itu keluar dari perut bumi sekurang-kurangnya 1,8 m3 /det atau satu buah tangki berukuran 5000 liter tiap 2-3 detik. Tentu ini angka yang cukup fantastis.

Kedua, sekurang-kurangnya ada 2 faktor kunci yang mempengaruhi proses pengendapan lumpur secara sempurna (dalam hal ini pemisahan antara lumpur dan air), yaitu velocity (kecepatan aliran) dan diameter ukuran butir. Dalam hal ini, semakin besar diameter ukuran butir maka akan semakin cepat mengalami pengendapan, dan begitu pula sebaliknya, semakin kecil diameter ukuran butir maka akan semakin sulit mengalami pengendapan, dan tentunya hal ini terkait erat dengan kecepatan lairan sebagai media atau pembawa pertikel-partikel tersebut. Sehingga, dalam kasus ini pemisahan lumpur panas Sidoarjo terhadap air sebelum dibuang ke laut adalah sesuatu yang tidak mungkin dilakukan dalam skala besar. ini artinya lumpur panas tersebut akan ikut mengalir ke perairan laut.

Ketiga, jika dilihat dalam konteks dinamika oseanografi-nya perairan Indonesia umumnya memiliki 2 musim utama, yaitu musim barat dan musim timur dan ditambah dengan musim pancaroba (peralihan) diantara perubahan atau pergantian musim tersebut. Dinamika oseanografi perairan Indonesia yang cukup kompleks tersebut akan membuat scoping (pembatasn daerah yang terkena dampak) sangat sulit dilakukan, dan dipastikan tidak hanya berdampak buruk terhadap perairan disekitar Sidoarjo saja, tapi akan terus meluas di daerah lain sesuai dengan musim yang sedang berlangsung.

Dan keempat, bahwa setidaknya ada 6 parameter kunci, yang sangat mempengaruhi kualitas dan kuantitas sumberdaya perairan, masing-masing: bau, kecerahan, kekeruhan, Muatan padatan tersuspensi (TSS, total suspended solid), Suhu, lapisan minyak atau bahan pencemar lainnya (bisa logam berat, dsb). Dengan skenario seperti dijelaskan sebelumnya, dimana lumpur panas Lapindo Brantas /EMP dibuang kelaut, maka dipastikan akan mempengaruhi keenam parameter tersebut, dan tidak akan dapat dihindari. Pertikel sedimen yang tersusun dalam jumlah besar akan menyebabkan meningkatnya padatan tersuspensi di perairan laut (TSS), akibatnya tingkat kekeruhan perairan menjadi tinggi dan tingkat kecerahan menjadi sangat rendah dalam waktu bersamaan pulau akan mengakibatkan bau dan perubahan suhu yang cukup signifikan. Akhirnya, sinar matahari yang memegang peran penting dalam proses fotosintesis perairan (erat kaitannya dengan tingkat kesuburan perairan) akan sangat sulit menembus hingga dasar perairan. Sehingga produktivitas perairan dipastikan menurun, dan dilain sisi mengkonsumsi produk-produk perikanan di sekitar kawasan ini akan berdampak buruk bagi kesehatan manusia.   

 

5. Dampak Ekonomi, Sosial dan Budaya

5.1 Ekonomi, Sosial dan Budaya

Sungguh tak pernah dibayangkan sebelumnya, semburan lumpur ganas bersuhu 60 derajat Celcius itu menyembur tanpa pandang bulu, lumpur panas itu tanpa mengenal ideologi apapun, kaya maupun miskin, kyai maupun pendeta, tua maupun muda bahkan anak-anak yang ikut kehilangan masa depannya. Lumpur ganas ini meluas sebegitu cepat menggenangi sawah, perkebunan, tambak, permukiman, sekolah, rumah ibadah, pabrik, dan industri manufaktur lainnya.Yang paling dirugikan dari semburan lumpur panas PT. Lapindo Brantas/EMP ini adalah ribuan kelas bawah terdiri dari petani, buruh, pedagang kecil, serta mayarakat berpenghasilan rendah yang tinggal dan bekerja di sekitar wilayah tersebut, mereka pun terpaksa harus hijrah.

Pihak Lapindo Brantas/EMP pun tak lepas tangan begitu saja, bahkan melakukan langkah cepat walaupun tanpa mitigasi yang cerdas, posko mewah sebagai penyanggah hidup sementara bagi korban lumpur panas, mereka berjanji akan menanggung semua kerugian yang dialami oleh masyarakat sekitar melalui pemberian dana yang sesuai bagi masyarakat korban untuk hidup tapi dengan embel-embel MOU dimana dalam point MOU itu tertera bahwa masyarakat tidak boleh melakukan gugatan pada PT Lapindo Brantas/EMP baik pidana maupun perdata.

Hingga hari ke 249 (02 Februari 2007) sudah 18.696 rumah tergenang lumpur. Saluran irigasi yang rusak mencapai 5,675 kilometer dan jaringan air minum mencapai 2,4 kilometer. Lahan tanaman padi yang terendam sudah mencapai 376,2 hektar dan lahan tebu 92,31 hektar. Aktivitas warga disekitar tidak hanya terganggu, tetapi lumpuh bahkan lenyap akibat PT Lapindo Brantas/EMP. Saat ini, bangunan 23 sekolah juga tenggelam oleh lumpur sehingga mereka harus belajar di pengungsian atau pindah sekolah mengikuti perpindahan keluarga. Sedangkan yang masih sekolah dari pos pengungsian atau tetap bertahan di sekolah lama yang direlokasi harus mencari jalan akses lain yang notabene harus meyediakan biaya tambahan. Ada pula terpaksa putus sekolah karena tidak tidak mampu pindah ke sekolah lain. Secara psikis, diindikasi anak usia sekolah mengalami trauma tersendiri karena mengalami ketidakpastian terkait penanganan bencana.

Belum lagi terhentinya aktivitas 29 pabrik yang tenggelam meiliki lebih dari 2.000 pekerja. Para pekerja pabrik terpaksa libur hingga waktu yang belum ditentukan. Sebagian bahkan terkena PHK karena pabrik tutup atau pindah. Ratusan perajin kulit (tas dan koper), khusunya di desa kedungbendo dan renokenongo berhenti bekerja karena peralatan produksinya tenggelam ditambah dengan enggannya masyarakat konsumen datang ke pasar tas dan koper di tanggulangin.  Bukan hanya pengrajin, showroom produkpun menjadi sepi.  Kemacetan di ruas jalan raya porong mengakibatkan jalur distribusi dari arah timur (pasuruan dan seterusnya serta dari malang terhambat masuk ke surabaya).  Mengganggu distribusi ekspor yang harus lewat surabaya.

Lebih parah lagi, Tol Surabaya-Gempol berkali-kali mengalami penutupan. Kalaupun dibuka mobil-mobil yang lewat tampak merayap. Akibat penutupan tol, berdasarkan pengakuan pemilik armada kontainer, mereka mesti mengeluarkan Rp 1 juta per kontainer. Jumlah truk yang melintas Surabaya-Gempol rata-rata 1000 truk per hari. Nah, hitung sendiri kerugian yang diderita PT Jasa Marga dan para pengusaha yang menggunakan jalan tol Surabaya-Gempol.  Pada akhirnya karena ledakan pipa gas BP Migas pada 22 November 2006, jalan tol benar-benar putus karena tenggelam oleh lumpur bahkan jembatan tol yang ada di atas jalan raya Porong pun dibongkar karena bergeser dan retak sehingga mengakibatkan bahaya bagi pengguna jalan yang lewat di bawahnya karena dikawatirkan roboh sewaktu-waktu.

Ternyata seluruh biaya kerugian akibat lumpur panas, tidak semuanya ditanggung si biang keladi Lapindo Brantas/EMP. Berdasarkan analisis biaya yang ditanggung oleh PT Lapindo terdiri dari biaya akibat langsung dan tidak langsuang dari pencemaran lingkungan hidup. Rincian biayanya sebagai berikut; pertama upaya menghidari pencemaran, kedua biaya menjaga dan ketiga mengurangi tingkat pencemaran, serta keempat biaya sumber daya untuk penelitian pengelolahan dan pemantauan pencemaran. Semuanya ini belum dikelurkan oleh PT Lapindo Brantas/EMP.

Ekonomi dan sosio budaya yang ambles:

1.    29 pabrik tutup sehingga kurang lebih 18.000 buruh menganggur.

2.    Kurang lebih 500 ha sawah tenggelam sehingga ratusan petani menganggur dan ribuan ton beras tidak dapat diproduksi.

3.    Hampir 20.000 rumah tenggelam sehingga muncul masalah perumahan dan terjadi perpindahan penduduk antar daerah yang cukup tinggi dan berpencarnya sekelompok masyarakat dan dipastikan ada budaya-budaya lokal yang terhilang.

4.    Lebih dari 25 sekolahan tenggelam sehingga ribuan anak usai sekolah mengalami masalah sekolah (penyesuaian untuk yang pindah sekolah baru, tingginya biaya transportasi dan biaya pindah serta penyesuaian dengan tempat baru)

5.    Ratusan perajin kulit (tas dan koper), khusunya di desa kedungbendo dan renokenongo berhenti bekerja karena peralatan produksinya tenggelam ditambah dengan enggannya masyarakat konsumen datang ke pasar tas dan koper di tanggulangin.  Bukan hanya pengrajin, showroom produkpun menjadi sepi.

6.    Pasar Baru Porong sebagai pusat pengungsian sehingga aktifitas ekonomi rakyat terganggu.

7.    4 Balai Desa tenggelam dan 3 Balai Desa jadi pusat pengungsian sehingga aktifitas birokrasi dan pemerintahan desa terganggu.

8.    Pembuangan air dan lumpur ke kali porong sehingga air dan lumpur mengalir ke laut yang akan mengancam kelangsungan hidup 7.000 hektar tambak, hutan bakau dan nelayan di selat jawa pada umumnya.

9.    Pengungsian mengakibatkan tidak terjaminya kesehatan dan gisi bukan hanya pengungsi dewasa tetapi juga lansia dan anak-anak.

5.2 Perempuan dan Anak

5.2.1 Hak Perempuan

Terjadi beberapa pelanggaran terhadap hak perempuan.

1.    Hak memperoleh kesehatan reproduksi

Kesehatan reproduksi seperti pembalut harus disediakan sendiri dalam kondisi ketiadaan penghasilan dan juga pemeriksaaan kesehatan reporduksi dan keluarga berencana tidak tertangani dengan baik dipengungsian.  Bahkan proses pemeriksaan kandungan dan proses kelahiran dibiayai sendiri dulu baru kemudian proses ganti rugi dimintakan ke LBI.

2.    Pengabaian oleh suami

Beberapa perempuan merupakan korban dari poligami.  Beberapa kasus terjadi, sang suami meninggalkan istri yang mengungsi untuk pindah ke tempat istri yang lain yang tidak pernah muncul selama di pengungsian dan muncul-muncul saat proses pencairan dana untuk relokasi sementara dan jatah hidup untuk mengambil uangnya dan kemudian balik lagi ke istri yang lain.

5.2.2. Hak Anak

Tidak semua Hak Anak dilanggar tetapi ada beberapa Hak Anak yang tidak terpenuhi di lokasi pengungsian baik saat di pos pengungsian maupun saat di relokasi sementara.

Pelanggaran terhadap Konvensi Hak Anak:

1.    Hak untuk mendapatkan standar hidup yang layak.

Tidak terpenuhi karena hidup di pengungsian dengan tempat tidur, fasilitas kamar mandi darurat dan makan minum seadanya jatah dari dapur umum.

2.    Hak untuk mendapatkan standar kesehatan yang paling tinggi.

Tidak terpenuhi karean hidup dilingkungan yang tidak sehat dan kurangnya asupan gisi dan makanan tambahan, kecuali kalau udah sakit dan dibawah ke pos kesehatan.

3.    Hak untuk mendapatkan perlindungan khusus jika mengalami konflik hukum.

Tidak terlindungi karean konflik hukum (ganti rugi) tidak mempertimbangkan dan menghitung kerugian material dan imaterial anak kecuali ganti rugi tanah dan bangunan yang dimiliki oleh orang tuanya.

4.    Hak untuk mendapatkan perlindungan khusus jika mengalami eksploitasi sebagai anggota kelompok minoritas atau masyarakat adat.

Tidak mendapat perlindungan sebagai anak korban (pengungsi) banjir lumpur lapindo, karena mendapatkan fasilitas sama dengan orang tuanya tanpa memperhatikan kebutuhan anak lainnya seperti makanan tambahan bergisi dan pendidikan layak serta aktifitas bermain.

5.    Hak untuk hidup dengan orang tua.

Banyak anak yang terpaksa hidup terpisah dengan orangtuanya karena harus dititipkan pada saudara atau orang lain demi pertimbangan keamanan, kesehatan dan kedekatan dengan tempat sokolah baru.

6.    Hak untuk tetap berhubungan dengan orang tua bila dipisahkan dengan salah satu orang tua.

Komunikasi terhambat oleh masalah peralatan komunikasi dan biaya komunikasi bila telah terpisah dari ortang tua (khususnya yang terpisah keluar kota).

7.    Hak untuk mendapatkan pelatihan ketrampilan.

Tidak ada aktifitas pelatihan ketrampilan dan pendampingan anak, karena pendamping yang ditunjuk oleh Satlak (P3A) tdiak melaksanakan aktifitas secara ajeg kecuali menyediakan perpustakaan tanpa pendamping.  Sedangkan lembaga lain (relawan) yang akan melakukan pendampingan ditolak atau yang bisa masuk dibatasi waktu dan harus diserahkan pada posko Pramuka atau Tagana yang tidak berpengalaman menangani anak.

8.    Hak untuk berekreasi.

Tidak ada aktifitas rekreasi karena orang tua yang mengungsi dan ditempat pengungsi tidak disediakan sarana dan prasaran rekreasi.

9.    Hak untuk bermain.

Bermain bebas (karena luasnya lokasi pengungsian) tetapi aktifitas permainan cenderung tidak terarah dan seadanya.

10.  Hak untuk berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan seni dan budaya.

Ketiadaan pendamping, sarana-prasarana dan biaya untuk anak maka aktifitas seni dan budaya relatif tidak terpenuhi bahkan terabaikan.

11.  Hak untuk mendapatkan perlindungan khusus dalam situasi yang genting.

Bila terjadi siatusi genting seperti luapan lumpur panas dan terjadinya konflik horisontal tidak mendapat perlindungan khusus karena diperlakukan sebagai pengungsi dewasa.

12.  Hak untuk mendapatkan perlindungan khusus sebagai pengungsi.

Tidak mendapatkan perlindungan khusus baik untuk makanan, saranan tidur, pendidikan, kreatifitas dasn seni budaya karna secarea nominal diberlakukan sama dengan pengungsi dewasa pada umumnya.

13.  Hak untuk mendapatkan pendidikan dasar secara cuma-cuma.  

Pendidikan berantakan karena harus pindah lokasi sekolah sehingga terhalang jarak, sedangkan pindah sekolah bermasalah dengan rumah yang tidak menetap dan biaya pindah sekolah yang tidak dilimiliki orang tuanya.  Banyak terjadi kasus putus sekolah atau paling tidak inferior (rendah diri) disekolahnya.

5.3  Transportasi dan Ekonomi Jawa Timur

Kemacetan di ruas jalan raya porong mengakibatkan jalur distribusi dari arah timur (pasuruan dan seterusnya serta dari malang terhambat masuk ke surabaya).  Mengganggu distribusi ekspor yang harus lewat surabaya. Terganggunya transpostasi otomatis mengganggu gerak roda perekonomian di Jawa Timur yang berpusat di Suarabaya.  Kota-kota di belahan timur Jawa Timur (tapal kuda) dan belahan selatan (malang raya) terpengaruh karena terhambat secara teknis transpostasi baik orang maupun barang.  Dampak yang paling dirasakan adalah oleh perusahaan-perusahaan yang berorientasi ekspor di seputaran Pasuruan.   

5.4  Fasilitas Umum dan Fasilitas Negara

Fasilitas Negara yang ikut rusak karena banjir lumpur lapindo ini terdiri dari:

1.    Hilangnya Jalan Tol Porong – Surabaya, bukan hanya putus karena luapan lumpur bahkan jembatan layang di atas jalan raya porong harus dibongkar demi keamanan pengguna jalan.

2.    Putusnya pipa gas dari BP Migas yang menggalirkan Gas Alam dari Madura ke perusahaan-perusahaa Sidoarjo, Surabaya dan Gresik.

3.    Putusnya pipa PDAM yang menggalirkan air bersih dari Pandaan ke Sidoarjo dan Surabaya.

4.    Pindahnya Instalasi Gardu Listrik Negara di Porong serta terancam robohnya menara jaringan SUTET dari Paiton ke Surabaya.

5.    Beberapa kantor Balai Desa, Koramil dan Sekolah Negeri.

6.    Infrastruktur seperti jaringan irigasi, jaringan air bersih, instalasi listrik rumah, instalasi telefon, jalan di pemukiman.   

 

6      Pananggulangan Teknis

6.1 Peran TNI

Penanggulangan seluruhnya pada saat awal semburan (sebelum terbentuknya Timnas) dilakukan oleh TNI, bukan hanya keamanan seputar tanggul dan fasilitas penghentian semburan lumpur tetapi juga penanggulan (perencanaan dan pelaksanaan), transportasi pengungsi dan sekolah anak pengungsi serta dapur umum di pasar baru porong yang dilaksanakan oleh Yon Zipur 5 kepanjen Malang.  Setelah terbentuknya Timnas, maka tugas TNI hanya sebatas penanggulan saja, sedangkan keamanan fasilitas penghentian dilakukan oleh pengelolah serta dapur umum diserahkan pada katering dan dibantu oleh Pramuka.  Setelah Timnas terbentuk pengerjaan tanggul dilakukan oleh TNI dengan menggirimkan Yon Zipur 10 Pasuruan sebagai pengganti Yon Zipur 5 malang.  Sedanhgkan kesatuan-kesatuan yang lain (selain Brimob) telah ditarik dari lokasi dan seputar lokasi banjir lumpur di kecamatan porong kabupaten sidoarjo.

6.2 Snubbing Unit

Skenario pertama penhentian semburan lumpur.  Secara teknis dilakukan pengeboran lanjutan di pusat semburan untuk menemukan pusat semburan dan delanjutnya dilakukan penutupan dengan material tertentu.  Snubbing Unit berada disisi utara sumur lumpur dan berjalan antara bulan juli dan agustus tetapi mengalami kegagalan karena semburan lumpur bukannya berhenti malah membesar dan menenggelamkan areal snubbing unit.

 

6.3  Relief Well

Skenario kedua setelah snubbing unit gagal.  Dilakukan dengan melakukan pengeboran miring di sepanjang sumur di atas sumber semburan lumpur untuk kemudian menyuntikkan material penutup sumur lumpur.  Relief well 1didirikan di desa siring untuk menutup dari arah selatan – barat, sedangkan relief well 2 didirikan di desar renokenongo untuk menutup dari arah utara – timur sumur.  Usaha dengan 2 relief well juga gagal ditambah dengan tenggelamnya relief well 2 sebagai akibat dari jebolnya tanggul karena ledakan pipa gas pada 22 november 2006. Ada rencana untuk mendirikan relief well 3 tetapi dengan metode berbeda yang didirikan di desa siring dekat dengan relief well 1.   Penutupan saluran sumur lumpur bukan dengan material semen berat tetapi dengan bola-bola semen dengan ukuran dan berat tertentu.

6.4  Penanggulan

Untuk mencegah semakin luasnya banjir lumpur dilakukan penanggulan.  Kesalahan penanggulan sudah dilakukan sejak dari awal terjadi banjir lumpur.  Pada awal-awal terjadi luapan lumpur penanggulan diseputar sumur lumpur hanya setinggi tanggul sawah saja, sehingga saat semburan lumpur membesar dan menenggelamkan sawah di desa Renokenongo dan Siring tidak dapat ditanggulangi dan bahkan masuk ke Jalan Tol.  Konflik horisontal mulai terjadi khususnya masyarakat desa kedungbendo dan renokenongo mengenai arah dan tinggi tanggul serta usaha masyarakat menjebol tanggul di Jalan Tol agar lumpur tertapi di jalan tol dan tidak menenggelamkan desa. Tanggul di utara berdiri dan lumpur mengalir ke arah selatan sehingga menenggelamkan persawahan di desa jatirejo, penanggulan di pemukiman dilakukan tetapi karena besarnya debit lumpur dan kuatnya tanggul disisi utara yang juga berusaha menyelamatkan jalan tol maka desa jatirejo tenggelam.  Tanggul di tol jebol, akhirnyapun desa renokenongo dan kedungbendo tenggelam, khusunya dusun balongnongi desa renokenongo yang paling dekat dengan sumur lumpur tenggelam sudah. 

Penanggulan dilaksanakan dengan lebih baik, tinggi dan kuat untuk mengelilingi sumur lumpur dan aliran diarahkan ke sebelah timur.  Terjadi konflik horisontal lagi, antara masyarakat di kawasan barat dan selatan sumur (siring, besuki, mindi, pejarakan, kedungcangkring dan besuki) dengan masyarakat di kawasan utara dan timur sumur (renokenongo, glagah arum, permisan, sentul) sehigga pada malam detik-detik 17 agustus pecah konflik horisontal terbesar bahkan pihak TNI harus melepaskan tembakan peringatan untuk memisahkan warga yang siap bertempur.  Akhirnyapun tanggul di desa Besuki jebol dan menenggelamkan desa-desa di sebelah selatan sumur walau cuman air lumpur saja.

Penanggulan dilakukan semakin berlapis, bukan hanya dilingkar sumur lumpur (4 tingkat) dengan ketinggian mencapai 15 meter, disebelah utara jalan tol, sepanjang desa renokenongo. Di Besuki dan Pejarakan (bahkan dibangun spill way untuk membuang lumpur ke sungai, karena pipanisasi untuk membuang lumpur ke laut gagal total dan membuang biaya yang besar sekali) dan tanggul di sepanjang siring, jatirejo, mindi sampai pejarakan untuk menyelamatkan jalan raya dan rel KA.  Sehingga dapat dikatakan penanggulan terdiri dari cincin 1 di seputar sumur lumpur, cincin 2 untuk menampung lumpur di penampungan (pond) serta cincin 3 untuk menjaga jalan tol, jalan raya, rel KA dan pemukiman di sebelah selatan dan utara sumur.  Sampai terjadi ledakan pipa gas BP Migas pada tanggal 22 november 2006, akibat dari penurunan tanah yang mematahkan pipa gas.

 

7      Ledakan Pipa Gas 22 November 2006

7.1  Korban Ledakan

Ledakan pipa gas pada rabu malam pukul 22.00 memang hanya mengakibatkan kobaran tiang api selama 1 menit saja tetapi akibat selanjutanya begitu mengerikan.  Akibat dari ledakan itu adalah 13 orang petugas yang pada malam itu berjaga hilang nyawa terendam lumpur panas tetapi telah diketemukan jasadnya, 2 orang belum diketemukan dan yang terparah adalah berapa nyawa pekerja harian lepas yang tiap malam bekerja di atas tanggul.  Tidak ada laporan yang menjelaskan ada atau tidak adanya korban dari para pekerja lepas tersebut.   

 

7.2  Pengungsi Gelombang II

Ledakan pipa gas ini mengakibatkan tanggul di sisi utara sumur jebol dan akibatknya menenggelamkan lebih banyak desa ketimbang banjir yang pertama, hal ini karena lumpur yang sudah tertampung di tempat penampungan memiliki volume dan tekanan yang besar, belum lagi ditambah dengan tingginya curah hujan di kecamatan porong dan diatas sumur lumpur dan penampungan. Akibatnya banjir lumpur menenggelamkan Desa Renokenongo dan Kedungbendo secara keseluruhan, Ketapang (timur), Kalitengah (selatan sungai) dan mengancam desa Gempolsari, Glagah Arum dan Sentul di Kecamatan Tanggulangin. Curah hujan tinggi dan tidak mengalirnya air dan lumpur dengan baik ke kali porong, air lumpur telah meluap dan menenggelamkan (kembali) desa Besuki, Kedungcangkring dan Pejarakan Kecamatan Jabon.

Jumlah pengungsi di Pasar Baru Porong sebanyak 4060 KK atau 14452 jiwa, di Dinsos Sidoarjo 25 KK atau 79 jiwa, di balai desa Ketapang 93 KK atau 347 jiwa, di Balai Desa Kalitengah 21 KK atau 96 jiwa sedangkan di tanggul Kali Porong sebanyak 232 KK atau 1036 jiwa, sehingga total pengungsi gelombang kedua adalah sebanyak 4431 KK atau 16010 jiwa.  Jumlah pengungsi ini belum ditambah dengan pengungsi dari desa Renokenongo dan Kedungbendo yang berada di Perumtas I dan mengungsi kembali karena rumah kontrakan mereka tenggelam dan sekali lagi menjadi pengungsi tanpa fasilitas pengungsi.

Sehingga bila dijumlahkan maka total jumlah pengungsi yang mengungsi karena terjangan banjir lumpur lapindo adalah gelombang pertama sebanyak 3285 KK atau 12607 jiwa sedangkan pengungsi gelombang kedua sebanyak 4431 Kk dan 16010Jiwa sehingga total pengungsi akibat banjir lumpur lapindo adalah sebanyak 7716 KK atau 28617 jiwa. Ribuan KK yang terbaikan hak-haknya dan puluhan ribu rakyat yang hilang hak-hak dasarnya belum lagi anak-anak yang kehilangan masa kecilnya yang mungkin akan berakibat hilangnya satu generasi di porong, tanggulangin dan jabon.

7.3  Kesengajaan Menenggelamkan Kawasan Pemukiman oleh Warga Sendiri

Pemerintah bukannya tutup mata dan telinga terhadap penderitaan rakyat, walau terasa kurang serius saja menanganinya.  Permintaan ganti rugi, agas rakyat segera dapat hidup dengan layak dan tenang sudah juga dikabulkan dengan 1juta untuk tanah pemukiman, 1,5juta untuk bangunan rumah dan 120rb untuk tanah sawah telah disepakati walau entah kapan akan terealisasi.  Belum lagi usaha untuk mempersulit dengan LBI meminta tanda kepemilikan yang saha berupa sertifikat tanah (padahal rakyat jarang memiliki karena percaya pada letter c, pethok d dan bothekan di desa), anehnya lagi saat pembebasan tanah tidak ada permintaan sertifikat, cukup dengan bukti dari desa pembelian berjalan lancar.

Akibat lebih lanjut dari janji surga ini mulai terasa. Pada beberapa tempat (Perumtas sisi utara dan desa Kedungbendo sisi barat) dengan sengaja menolak penanggulan karena mereka ingin desanya tenggelam dan memperoleh ganti rugi, bahkan dengan gembira ria mereka mengungsi.  Walau pada akhirnya terjadi penyesalan karena banyaknya persayaratan adminsitrasi yang belum dimiliki, KTP hanya Kipem, sertifikat yang masih di Bank karena rumahnya KPR dan banyak masalah yang muncul di pengungsian, yang seenak apapun jauh lebih enak di rumah sendiri.  Yang terparah adalah saat rumah belum tenggelam sudah mengevakuasi isi rumah dan keluarga tetapi juga perlengkapan rumah seperti kusen, pintu dan daun jendela bahkan genting.

7.4  Kondisi Pengungsi Gelombang II

Pos pengungsian Pasar Baru Porong kembali beroperasi kembali karena terjadinya gelombang pengungsian akibat pecahanya pipa gas. Jumlah pengungsi dan asal desa yang semakin banyak mengakibatkan pengaturan pengungsian dan pembagian tempat menjadi lebih kompleks ketimbang pengungsian pertama.  Belum lagi tata laksana pengungsian tidak lagi ditangani oleh TNI (Yon Zipur V) tetapi langsung oleh Satlak, terlihat ketidak siapan Satlak dan Pemda Sidoarjo menangani pengungsi.  Bukan hanya masalah fasilitas yang seringkali bermasalah seperti pengriman air bersih yang terlambat dan terlebih lagi masalah makanan.  Selain lebih sedikit ketimbang pengungsian pertama, penanganan oleh katering yang dibantu oleh pramuka menuai masalah dengan beberapa kali makanan yang dibagikan ke pengungsi sudah basi dan bahkan berbelatung.

Masalah penanganan kesehatan juga tidak selengkap pengungsian yang pertama, karena terkonsentrasi di satu titik belum lagi tidak  ada bantuan bailk dari TNI maupun Partai dan lembaga relawan (yang memang dibatasi kalau tidak boleh dikatakan dilarang).  Pendampingan anak tidak ada (tidak diijinkannya lembaga luar masuk ke pos pengungsi pasar baru porong) sehingga masalah psikologi dan pendidikan anak-anak benar-benar terbengkalai.  Belum lagi untuks sana transportasi pendidikan anak-anak harus membayar walau kecil (seribu perhari) tetapi sudah tidak gratis lagi.

Propaganda pemerintah daerah sidoarjo dan satlak yang menyatakan bahwa pengungsi tertangani dengan baik menuai masalah.  Bukan hanya tidak ada lembaga eksternal (LSM, Partai atau lembaga lain) yang turut membantu menangani pengungsi atau sekedar mengirim bantuan menjadi sedikit (kecuali saat hari raya korban) tetapi saat muncul masalah di pengungsian menjadi berita besar yang mempermalukan satlak dan pemkab sidoarjo.  Sampai saat ini bantuan masuk ke pengungsian hanya diijinkan dalam bentuk barang dan akan lebih diterima lagi kalau melibatkan seremonial yang layak masuk koran dan televisi.  Sedangkan bantuan dalam bentuk tenaga pendamping baik untuk pengungsi secara umum apalagi untuk anak tidak mendapat ijin, walau pendampingan untuk anak-anak sama sekali tidak ada.  Rupanya satlak dan pemkab sidoarjo menganggap pengungsi tidak ada bedanya antara orang dewasa, anak dan bayi ataupun lelaki dan perempuan, pengungsi hanyalah pengungsi yang dihitung berdasar kepala tanpa ada pembedaan sama sekali sehingga perlakuan dan penangganan dapat dilakukan secara seragam.  Atau memang diberlakukan isolasi dengan tujuan-tujuan tertentu.

7.5  Penanggulan Setengah Hati

Akibat dari ledakan pipa gas, luasan banjir lumpur semakin melauas terutama ke arah utara dan tinmur sumur.  Untuk mencegah perluasan banjir lumpur dilakukan penanggulan, tetapi entah kenapa penanggulan terasa dilakukan setengah hati dan sekenanya saja.  Ternyata masalahnya adalah ketiadaan dana baik untuk pembelian sirtu, operasional transportasi sirtu dan aktifitas penanggulan (alat-alat berat).  Penanggulan dilakukan dengan mengambil tanah sawah di deakt tanggul seperti yang ada di dusun sengon desa renokenongo dan desa gempolsari yang akibatnya saat debit lumpur membesar tanggul jebol.  Bahkan di desa kali tengah dan gempol sari warga melakukan patungan untuk membeli solar dan membayar operator alat-alat berat guna menanggul desa mereka, walau saat ini telah jebol.

Penanggulan di dalam perumtas (yang rencananya untuk menyelamatkan separuh perumtas, khususnya sebelah utara dan desa-desa di sebelahnya gagal) dilakukan dengan setengah hati dengan besar tanggul yang tidak seberapa dan mutu sirtu yang jelek.  Juga demikian untuk desa ketapang, hanya separuh jalan penanggulan dihentikan tanpa ada penjelasan.  Akibatknya desa-desa di sebelah utara tenggelam oleh air lumpur dan terancam oleh banjir lumpur, seperti desa gempolsari, kalitengah, glagah arum dan sentul.

Pada akhirnya usaha penutupan tanggul yang jebol akibat ledakan pipa gas dapat djuga dilakukan, walau dengan mutu tanggul yang tidak sebaik penanggulan pertama.  Untuk sementara lumpur dapat dikendalikan dan diusahakan untuk menggalir ke arah spill way, walau air lumpur tetap saja menerjang ke arah utara.  Sedangkan spill way mengalami pendangkalan dan air lumpur meluap ke pemukiman-pemukiman penduduk di sekitar spill way. 

 

8      Ganti Rugi

Wacana ganti rugi telah bergulir beberapa kali dan beberapa kali pula dilakukan penyesuaian baik penyesuaian yang dilakukan oleh rakyat pengungsi maupun oleh Timnas dan Pemkab Sidoarjo sebagai perpanjangan tangan dari Pemerintah dan LBI.  Pada awalnya rakyat bersikeras tidak akan menjual tanahnya, sedangkan Timnas memaksakan adanya relokasi permanen, gagal total dan tidak ada kesepakatan.  Selanjutnya rakyat bersikeras menjual tanah mereka pada LBI karena melihat tidak ada kemungkinan untuk kembali ke tanah leluhur mereka, Timnas tetap menginginkan reloaksi permanen.  Tekanan rakyat membesar bahkan sampai menduduki Pendopo Pemkab Sidoarjo sampai disepakati adanya ganti rugi dengan rincian tanah perumahan 1 juta, bangunan rumah 1,5 juta dan tanah sawah 120 rb permeter persegi.  Tidak berhenti sampai disitu, LBI dengan bantuan Timnas memberlakukan ganti rugi harus dilakukan dengan mekanisme jual beli biasa yang artinya rakyat harus menyiapkan tanda bukti kepemilikan berupa sertifikat (tidak menerima letter c dan pethok d), dengan batas waktu pembayaran 2 tahun ke depan.

8.1 Relokasi Sementara

Relokasi sementara (uang kontrak untuk 2 tahun sebesar 5 juta ditambah dengan 500 ribu untuk biaya pindahan) diberikan pada pengungsi untuk mencari rumah (kontrakan) baru yang jauhd ari lokasi bencana sembar menunggu penyelesaian ganti rugi baik dengan sistem relokasi permanen maupun jual beli.  Pemberian uang kontrak diberikan per kepala keluarga berdasarkan Kartu Susunan Keluarga. 

Kebijakan yang terasa bijaksana tetapi rentan menimbulkan masalah baru.  Perpindahan penduduk apalagi secara besar-besaran bukan hanya meningkatkan nilai kontrak rumah (walau masih dapat dijangkau dengan uang relokasi), tetapi yang paling berbahaya adalah permasalahan ekonomi, sosial, dan budaya.  Masyarakat pengungsi yang berlatar belakang pedasaan dipaksa untuk mencari rumah kontrakan yang relatif ada diperumahan, masalah gegar budaya terjadi.  Tuntutan hidup ala perumahan sudah merasuki pada pengungsi seperti kepemilikan handphone untuk orang tua dan paly station untuk anak-anak menjadi masalah baru.  Belum lagi permasalahan jaunya dari tempat mencari pekerjaan (sawah dan tambak) menjadikan kepemilikan sepeda motor sesuatu yang bersifat wajib.  Permasalahan jauhnya anak dari tempat sekolah juga menjadi masalah baru yang harus dipecahkan oleh orang tua.  Banyak permasalahan-permasalahan kecil lain yang timbul seperti hilangnya budaya silahturohmi melalui tahlilan dan seni terbangan menjadi semakin pudar.

Belum lagi lokasi relokasi sementara (Perumtas I yang banyak dihuni oleh pengungsi dari dari Desa Kedungbendo dan Renokenongo) diterjang banjir lumpur, terjadi perpindahan lagi dan tentu akan muncul masalah seperti ketiadaan dana dan semakin jauhnya dari tempat kerja dan tempat sekolah bagi anak.  Belum lagi ketidakpastian ganti rugi dan pengurusan adminstrasi dan birokrasi sertifikat menjadi permalahan baru yang harus tetap dipikirkan siang dan malam oleh para pengungsi si tempat relokasi sementara mereka.  Bukan tempat atau relokasi sementara yang dibutuhkan oleh pengungsi tetapi kepastian tempat tinggal, bekerja, beraktifitas sebagai manusia pribadi dan keluarga tanpa dibayang-bayangi banjir lumpur dan ketidakpastian ganti rugi yang mereka peroleh, entah dalam bentuk apapun yang penting pasti.

8.2 Relokasi Permanen (Rekomendasi Pemerintah)

Relokasi permanen atau bedhol desa merupakan wacana yang ditawarkan oleh Timnas beserta aparat Pemkab Sidoarjo.  Sebuah wacana yang mulai dari awal keluar sampai saat ini masih ditolak mentah-mentah oleh rakyat pengungsi.  Bukan karena yang ditawarkan tidak bagus tetapi konsep yang ditawarkan oleh Timnas jauh dari budaya lokal masyarakat.  Pemaksaan konsep perumahan perkotaan yang individualistis sebagai pengganti budaya pedesaan yang menekankan kebersamaan.  Sepertinya Timnas sama sekali tidak memahami budaya dan kearifan lokal yang masih dipegang teguh oleh rakyat pengungsi.

Pemukiman di desa yang mengutamakan kebersamaan tidak diindahkan oleh Timnas dalam mengonsep areal relokasi permanen (400 ha yang telah dipersiapkan untuk mengganti 4 desa yang sudah tenggelam.  Kota baru atau kota mandiri yang dibagi dalam 4 cluster untuk 4 desa yang ada, dengan ditambah fasilitas umum yang memedai, pusat industri dan sawah yang sepertinya ideal ditolak mentah-mentah oleh rakyat pengungsi.  Penolakan ini dikarenakan:

(1)  Timnas mengganti rumah model pedesaan yang terbuka (keempat sisi rumah terbuka) dengan model perumahan yang saling berhimpitan satu deegan yang lain).  Rakyat enggan punya rumah dengan jendela hanya di depan, sedangkan kamar tidak ada jendela langsung ke halaman.

(2)  Halaman rumah yang luas untuak menanam buah-buahan dan kebutuhan hidup lain digantikan dengan secuil tanah untuk taman.

(3)  Rumah yang disediakan hanya 3 tipe (120, 70 dan 45) sebagai pengganti rumah yang tenggelam.  Sedangkan penilaian rumah yang tenggelam lumpur hanya dinilai dengan kelas A, B dan C berdasar mutu bangunan tanpa mempertimbangkan luas tanah.

(4)  Pembangunan dilakukan oleh pemborong yang ditunjuk oleh Timnas sehingga rakyat pengungsi meragukan mutu dan kwalitas bangunan.

Rakyat pengungsi akan menerima konsep relokasi sementara bila:

(1)   Penggantian luas tanah sesuai dengan luas tanah yang sebelumnya dimiliki oleh rakyat.  Sehingga kebutuhan untuk halaman sebagai tempat menanam tumbuhan buah, obat dan sayur tetap dapat dilakukan.  Setiap ruangan rumah dan kamar dapat memiliki jendela yang langsung menghadap ke halaman masing-masing (sirkulasi udara dan sinar matahari langsung)

(2)   Bangunan dibangun sendiri dengan konsep ganti rugi bangunan sebesar 1,5 juta permeter persegi.  Sehingga mutu dan kwalitas bangunan serta bentuk dan luas bangunan dapat disesuaikan dengan keinginan dan kebutuhan pemilik rumah.

Kondisi ketidakpastian saat ini membuat rakyat telah mau menerima konsep ganti rugi dengan relokasi permanen tetapi dengan pergantian tanah yang adil (sama luasnya), pelaksanaan pembangunan dilakukan sendiri sesuai mutu, bentuk dan luas yang dibutuhkan dan kejelasan jumlah ganti rugi bangunan.  Selain itu fasilitas umum yang memadai seperti sekolah, tempat ibadah, rumah sakit, akses jalan, pusat industri dan perdagangan serta areal persawahan tetap harus ada.  Rakyat tidak meminta lebih, hanya memperoleh kembali seperti dulu yang dimiliki, tidak lebih tidak juga kurang.

8.3 Ganti Rugi Rumah dan Tanah (Cash and Carry)

Ganti rugi dengan menerima uang melalu proses jual beli merupakan hal terakhir yang dipikirkan oleh rakyat juga oleh Pemkab dan Timnas.  Tetapi karena ketidakpastian yang dirasakan oleh rakyat perihal ganti rugi dan kejelasan mengenai masa depan diri dan keluarganya, jalan pintas diambil, ganti rugi dalam bentuk uang dan selanjutnya rakyat mengatur sendiri hidupnya.  Sebenarnya rakyat enggan menjual tanah leluhurnya (kecuali beberapa pendatang yang menikah dengan masyarakat asli bersikeras menjual, karena kemudian kepemilikan akan jatuh pada mereka) tetapi karena ketidakpastian masa depan dan ketidak mungkinan untuak kembali ke tanah leluhur mereka, maka ganti rugi dengan sistem jual beli menjadi kesepakatan akhir.

Ganti rugi sebesar 1 juta permeter persegi untuk tanah pemukiman, 1,5 juta permeter persegi untuk bangunan dan 120 ribu permeter persegi untuk tanah sawah, sebenarnya tidaklah cukup untuk mengganti tercerabutnya rakyat dari tanah leluhurnya.  Contoh yang kecil saja, kemana mereka akan “nyekar” makam orang tua dan leluhur setelah ini.  Belum lagi muncul permasalahan karena pembagian tanah waris, banyak keluarga telah terpecah karena bersitegang hak waris tanah keluarga.  Ditingkahi oleh ronrongan pendatang (lelaki) yang menikah dengan wanita lokal untuk menerima ganti rugi, karena setelah pindah maka hak kepemilikan akan jatuh pada tangan mereka.  Diperparah lagi oleh para pendatang yang membeli tanah (kavlingan) dan perumahan yang ngotot untuk meminta ganti rugi dengan harapan akan memperoleh tempat yang lebih baik dari yang dimilikinya saat ini.

Permasalahan tidak berhenti sampai disitu saja.  LBI sebagai calon tunggal pembeli tanah karena kerusakan yang disebabkannya mensyaratkan bukti kepemilikan sah untuk proses ganti rugi seperti proses jual beli tanah biasa.  Bisa dimaklumi karena setelah ini LBI akan punya tanah yang sebegitu luas tanpa bisa dimanfaatkan dan kemungkinan akan ambles dan berubah menjadi danau lumpur.   Kalau pada saat pembebasan tanah yang dipergunakan untuk pengeboran LBI mau menerima pembelian tanah dengan bukti kepemilikan letter C dan pethok D saja (karena tidak luas dan murah) saat ini LBI harus membeli tanah yang begitu luas dengan dana yang sebegitu besar.  Bukan masalah kepemilikan yang sah sebenarnya yang dipermasalahkan tetapi lebih sebagai usaha untuk mengulur penyelesaian masalah dan kalau bisa lepas dari tanggung jawab untuk mengganti rugi tanah yang sebegitu luas.

 

9.  Tuntutan Rakyat

Sebenarnya tidak banyak dan tidak sulit yang dituntut oleh rakyat pengungsi korban lumpur lapindo saat ini, hanya kembali hidup normal dan layak serta bermartabat seperti sedia kala.  Entah relokasi permanen ataupun jual beli rakyat akan menerima dengan lapang dada (walau tetap saja telah dirugikan) asal adil dan sesuai dengan kebutuhan dan keinginan mereka, keinginan yang sederhana.  Tuntutan yang telah terjabarkan pada bagian ganti rugi di atas. 

Hidup normal dalam rumah sendiri, tenang dalam bekerja, rumah tangga yang normal tanpa dibayang-bayangi kedatangan lumpur, anak bersekolah dengan baik, kehidupan bermasyarakat dan aktifitas sosial yang normal, cuman itu tidak lebih dan tidak kurang. Apakah terlalu sulit? Sepertinya tidak, tetapi entah mengapa sulit sekali diwujudkan oleh LBI, Satlak, Pemkab Sidoarjo dan Timnas.

 

 

10.  Rekomendasi Untuk DPR (Pansus RUU Penanggulangan Bencana), Pemerintah Pusat dan Bappenas

Berdasar pemaparan data dan fakta serta hasila analisis sosial di atas maka kami merekomendasikan:

10.1 Penanganan Teknis

(1)   Tetap dapat dilakasanakan seperti sediakala tetapi tetap dilaksanakan dengan serius tanpa ada alasan ketidaaan dana untuk operasional teknis.

(2)   Pengawasan yang ketat oleh pemerintah dalam pelaksanaan kerja karena terkait dengan keamanan rakyat di desa-desa yang terancam air dan lumpur serta fasilitas umum khususnya jalan raya, rel KA dan gardu instalasi listrik milik PLN.

(3)   Melakukan audit terhadap kemungkinan kecurangan dan korupsi pada pelaksanaan kerja teknis yang menjadi lahan basah baik pada tingkatan pemborong, Pemkab, Satlak maupun Timnas.

10.2 Penanganan Masalah Sosial

(1)    Segera diberikan uang kontrak untuk relokasi sementara bagi masyarakat pengungsi yang terkena dampak langsung maupun tidak langsung banjir lumpur lapindo.

(2)    Segera merealisasikan ganti rugi baik dalam bentuk relokasi permanen maupun dalambentuk cash and carry tanpa harus mensyaratkan bukti kepemilikan berupa sertifikat, letter C, pethik D dan bothekan desa sudah lebih dari cukup sebagai bukti.

(3)    Melakukan audit pada pelaksana kerja penanganan masalah sosial seperti pengelolah Posko Terpadu, Dapur Umum, Pemkab, Satlak dan Timnas terkait dengan penanganan masalah sosial.

(4)    Tidak menjadikan kasus lapindo (sebagai salah satu contoh kasus kejahatan korporasi dan kegagalan teknologi) sebagai kasus bencana alam, karena akan melepaskan korporasi dan pribadi yang melakukan dari tanggung jawab secara finansial dan sosial kepada masyrakat.

(5)    Memasukkan kejahatan korporasi dan kegagalan teknologi yang merugikan masyarakat secara luas ke dalam Undang-Undang Bencana tetapi dengan aturan khusus (tanggung jawan sosial dan finansial ada pada korporasi dan pribadi yang melakukan dan pemerintah sebagai pengawas).

(6)    Menjadikan penanganan masalah sosial kasus kejahatan korporasi dan kegagalan teknologi sebagai penanganan bencana sehingga banyak pihak (lembaga relawan dan kemanusiaan) dapat terlibat aktif membantu meringankan beban pengungsi dan pemerintah daerah dan pusat menanganinya.

(7)    Akses informasi bagi masyarakat luas mengenai bahaya kejahatan korporasi dan kegagalan teknologi sebagai bencana nasional sehingga masayarakat dapat berperan aktif membantu meringankan permasalahan sosial yang muncul dan berdaya serta bersiaga menhadapi bencana yang sama tanpa harus menjadikan bencana kejahatan korporasi dan kegagalan teknologi sebagai bencana alam.

 


11.  Lampiran Data, Fakta dan Kejanggalan-Kejanggalan

11.1 Data Korban Per 02 Februari 2007

Pengungsi per 02 Februari 2007

Pasar Porong Baru (PPB)

Renokenongo

1057

3692

PERUMTAS

1612

5506

Kedungbendo

849

3515

Perum TCPP

10

36

Kali Tengah

12

45

BPSI Dinsos Sidoarjo

Renokenongo

25

79

Tanggul Kali Porong

Besuki

10

60

Pejarakan

78

400

Kedungcangkring

144

576

Balai Desa Kali Tengah

Kali Tengah

21

96

Jumlah

3793

13926


TOTAL PENGUNGSI

Pos Pengungsi

Desa Asal

Jumlah KK

Jumlah Jiwa

Pengungsi sebelum ledakan pipa gas

Pasar Porong Baru (PPB)

Jatirejo + Siring + Renokenongo + Kedungbendo

2605

9936

Balai Desa Renokenongo

Renokenongo

188

725

Balai Desa Kedungbendo

Kedungbendo

125

463

Jalan Tol

Besuki + Ginonjo

223

949

Tempat lain

 

144

534

Jumlah

3285

12607

Pengungsi Pasca Ledakan Pipa Gas (221106

Pasar Porong Baru (PPB)

Renokenongo

1057

3692

PERUMTAS

2132

7164

Kedungbendo

849

3515

Perum TCPP

10

36

Kali Tengah

12

45

BPSI Dinsos Sidoarjo

Renokenongo

25

79

Balai Desa Ketapang

Ketapang

93

347

Tanggul Kali Porong

Besuki

10

60

Pejarakan

78

400

Kedungcangkring

144

576

Balai Desa Kali Tengah

Kali Tengah

21

96

 

4431

16010

TOTAL PENGUNGSI

7716

28617

 

 




Data Perawatan Korban

No.

Rumah Sakit

Rawat Jalan

Rawat Inap

Inap

Keterangan

1

Puskesmas Porong

3929 orang

360 orang

6 orang

Aktif

2

Pos Kesehatan Pasar Porong

18897 orang

1304 orang

0

Aktif

3

RS Bhayangkara Porong

1419 orang

340 orang

0

Aktif

4

Ambulan RSU Dr Sutomo

5125 orang

12 orang

0 orang

Aktif

5

RSUD Sidoarjo

248 orang

256 orang

12 orang

Aktif

6

RS Delta Surya

1 orang

5 orang

0

Aktif

7

RS Siti Hajar

0 orang

11 orang

0

Aktif

8

Pos Kesehatan ketapang

211 orang

0

0

Aktif

8

Polindes Jatirejo

415 orang

0

0

Tidak aktif

9

Polindes Siring

226 orang

0

0

Tidak aktif

10

Polindes Renokenongo

32 orang

0

0

Tidak aktif

11

Pos Kesehatan Jatirejo

824 orang

0

0

Tidak aktif

12

Pos Kesehatan Renokenongo

3.821 orang

0

0

Tidak aktif

13

Pos Kesehatan Kedungbendo

3.605 orang

0

0

Tidak aktif

14

Pos Kesehatan Mobile

324 orang

0

0

Tidak aktif

15

Pos Kesehatan PKS

1.702 orang

0

0

Tidak aktif

16

Pos Kesehatan PAN

344 orang

0

0

Tidak aktif

17

Pos Kesehatan Marinir

416 orang

0

0

Tidak aktif

18

Pos Kesehatan Jalan Tol

170 orang

0

0

Tidak aktif

 

Jumlah

41.428 orang

1387 orang

18 orang

 

 

Lahan/Tanaman/Ternak

Desa

Sawah

Tebu

Hortikultura & Palawija

Unggas

Kambing

Sapi

Tambak

Lainnya

Renokenongo

77,35 ha

9,08 ha

0

295 ekor

4 ekor

0

Lahan tambak nihil tapi bila Lumpur dialirkan ke saluran tambak maka sekitar 7.000 ha terancam

0

Jatirejo

29,6 ha

5,63 ha

0

1.049 ekor

11 ekor

2 ekor

Kijang 7 ekor

Siring

22.25 ha

0

0

261 ekor

15 ekor

0

0

Kedungbendo

3,5 ha

0

0

0

0

0

0

Sentul

25 ha

0

0

0

0

0

0

Besuki

82 ha

3 ha

0

0

0

0

0

Glagah Arum

58 ha

9 ha

0

0

0

0

0

Kedungcangkring

27 ha

19,9 ha

0

0

0

0

0

Pajarakan

36 ha

17,6 ha

0

0

0

0

0

Mindi

17,6 ha

22,1 ha

0

0

0

0

0

Ketapang

0

0 ha

4 ha

0

0

0

0

Total

376,2ha

92,31 ha

 

1.605 ekor

30 ekor

2 ekor

Kijang 7 ekor

 




BANGUNAN

Bangunan

Lokasi

Jumlah

Perumahan

Siring

395

Jatirejo

858

Kedungbendo

7066

Renokenongo

1007

Besuki

170

PERUMTAS I

6.100

Ketapang

1.100

Jumlah

18.696

Sekolah

 

23 unit

Kantor

Koramil dan Kelurahan Jatirejo

2

Pabrik

 

24 unit

Rumah Ibadah

 

15 unit

 

INFRASTRUKTUR

Penerangan jalan

Ds Siring dan Renokenongo

20 titik

Saluran irigasi sekunder

Juwet

2.200 m

Saluran irigasi tersier

 

3.475 m

Bangunan bagi/sadap/pintu

 

6 unit

Bangunan ukur

 

5 unit

Boks tersier/kuarter

 

4 unit

Saluran drainase kampung

 

4.800 m

Pengendali banjir afvour

Jatianom

2.750 m

Afvour

Ketapang

1.000 m

Anak afvour

Ketapang

1.500 m

Saluran pembuangan (afvour desa)

Renokenongo

1.400 m

Siring

1.200 m

Jatirejo

2.000 m

Kedungbendo

3.000 m

Mindi Hilir

150 m

Dam pengendali

 

2 unit

Jalan aspal

 

26.800 m

Jalan tanah

 

300 m

Jalan lingkungan

 

4.800 m

Jalan tol

 

300 m

Utilitas PDAM untuk masyarakat

Jatirejo

92 unit

Siring

68 unit

PDAM untuk pabrik

Siring

1 unit

Jaringan pipa

 

850 m

Jaringan distribusi

Siring

50

Jatirejo

47

PLN LV panel

PT Gunungmas

2 unit

GCB pembatas (20 Kv)

PT Caturputra

1 unit

Hydrant umum (tandon air beton)

 

5 unit

Jaringan air minum (HIPPAM)

 

1.624 m

Sambungan Rumah (SR)

 

199 SR

Sumur Bor (air baku)

Kedungbendo

1 Unit

 


11.2 Catatan Kecil

1) Kejanggalan-Kejanggalan

1.    Pembebasan tanah di”makelari” oleh Lurah Renokenongo tanpa pernah munculnya pembeli.

2.    Sosialisasi peruntukkan tanah untuk gudang bukan untuk pengeboran gas.

3.    Operasi eksplorasi tanpa disertai AMDAL.

4.    Sejak terjadi letusan pertama tidak ada sosialisai yang transparan dan selalu dikatakan tidak berbahaya.

5.    Penanganan teknis oleh Tentara dan bukan oleh pelaksana profesional pertambangan.

6.    Belum ada pembicaraan ganti rugi yang transparan. Hanya wacana dan cenderung memaksakan relokasi, tanpa ditunjukkan lokasi relokasi.

7.    Sosialiasi dampak lumpur yang selalu dikatakan tidak berbahaya dan dapat dimanfaatkan untuk banyak hal.

8.    Penanganan dampak sosial yang digembar-gemborkan memadai padahal jauh panggang dari api.

9.    Pembuangan lumpur ke sungai langsung tanpa ada pengolahan sama sekali dan sering macet pula.

10.  Setelah relokasi sementara, pengungsi ring 1 (kedungbendo, renokenongo, jatirejo dan siring) terabaikan dan bahkan semakin tidak jelas penyelesaian ganti untung rumah, tanah dan sumber penghidupan.

2).  Pengamanan Seperti Daerah Konflik

Jumlah aparat yang dilibatkan:

1.    Polisi

2.000 personel (Polwitabes Surabaya, Polres Sidoarjo dan Polda Jatim)

1.500 Personel berada di sekitar sumur (daerah jalan tol) dengan batas waktu yang belum ditentukan sampai kapan berakhir.

500 personel di sepanjang jalan raya MalangSurabaya dan jalur2 alternatif yang ada.

2.    TNI AD

500 personel Yon Zipur V Malang sebagai petugas koordinator penanggulangan luapan lumpur (berkoordinasi denganm Satlak dan Timnas)

500 personel yang dibantu oleh Koramil Porong, Tanggulangin, dan Jabon sebagai petugas kemanan.

2.000 peronel atas nama TMMD (Tentara Manunggal Membangun Desa) yang bertugas membantu pelaksanaan kerja lapangan.

Titik2 pengamanan yang dijaga ketat oleh aparat keamanan (20 titik)

1.    Delapan desa (8 titik) yang tenggelam tergenang lumpur, dengan masing2 3 (tiga) regu keamanan.

2.    Pos2 kemanan sepanjang tol Surabaya – Gempol 6 (enam) titik.

3.    Gardu PLN di Jalan Raya Porong (1 titik).

4.    Pintu masukl Desa Siring, karena seringh terjadi unjuk rasa warga (1 titik).

5.    Diekitar relief well (Jatirejo dan Renokenongo) (2 titik).

6.    Dibawah Tol Siring (1 titik)

7.    Pinggir tanggul kali porong tempat pembuangan air lumpur (1 titik).

8.    Pengawasan pada alat2 berat dan juga dilakukan patrol bermotor diseputaran tanggul lumpur.

 


3)  Keganjilan-Keganjilan Diseputar Kasus Banjir Lumpur Lapindo

1.    Awal Mula Negosiasi Pembebasan Tanah

Tidak ada sosialisasi dan transparansi mengenai rencana eksplorasi Gas oleh PT Lapindo Brantas Inc. Sosialisasi pembebasan tanah dilakukan oleh aparat desa (Bu Kades Renokenongo) dengan peruntukkan sebagai gudang peralatan berat.

Negosiasi pembebasan tanah dilakukan oleh warga pemilik dengan aparat desa (renokenongo) sedangkan PT Lapindo sebagai pembeli tidak pernah menampakkan diri.  Bahkan pembayaran oleh aparat desa dengan kwitansi tanpa tanda pengenal pembeli (Lapindo).

Pendirian eksplorasi gas lapindo menyalahi Undang-Undang Lingkungan (didirikan dekat dengan perkampungan dan fasilitas umum) dan tidak ada AMDAL.

2.    Awal Mula Bencana

Sejak letusan pertama tidak ada tanda bahaya yang memperingatkan masyarakat sekitar sumur. 

Sosialisasi dilakukan Lapindo yang menyesatkan karena menyampaikan tidak akan ada bahaya dari luapan lumpur yang terjadi.

3.    Keamanan dan Penanggulangan Bencana

Keamanan langsung ditangan TNI, walau bukan daerah konflik dan bukan fasilitas penting negara tetapi penjagaan oleh TNI relatif ketat. 

Lapindo sangat siap dan segera dapat bertindak dengan cepat dalam menangani dampak2 sosial yang terjadi akibat luapan lumpur.

Penanggulangan luapan lumpur dilakukan oleh 18 kontraktor dibawah koordinasi Yon Zipur V Malang dan bukan oleh kontraktor atau lembaga profesional.

Proses penanggulan dan berbagai tindakan penanggulangan tanpa proses sosialisasi apalagi negosiasi dengan warga korban dan pemilik lahan.

4.    Sosialisasi dan Informasi

Selalu digembar gemborkan (melalui media massa dan juga oleh para pakar) mengenai lumpur yang tidak berbahaya dan bahkan dapat menyuburkan tanah.

Tidak tersampaikannya dengan lengkap dan cukup (disensor atau ditunda) berita2 dan informasi2 penting yang ada di lapangan.

Pernyataan2 pejabat setempat dan bahkan pusat yang berpihak pada Lapindo bukan pada masyarakat korban.

Maslah kerugian fasilitas umum lebih dominan dibahas ketimbanga kerugian masyarakat secara langsung dan kerusakan lingkungan.

5.    Penanganan Pengungsi

Diserahkan pada Satla Kab. Sidoarjo dengan operator lapangan TNI.

Sulitnya organsisasi2 relawan dan kemanusiaan ikut bekerja membantu menangani pengungsi.  Koordinasi dan pengawasan oleh Posko Terpadu yang ketat dan birokratif.

Penanganan pengungsi tanpa skala prioritas dan ketepatan sasaran.  Contoh, pemberian makanan berupa nasi bungkus (yang tidak matang) + air minum dengan hitung kepala tanpa membagi dalam klasifikasi usia sehingga bayipun diperlakukan sama dengan orang dewasa.

Pengawasan yang ketat oleh Satlak maupun TNI terhadap aktifitas berbagai organisasi dan media massa yang terkait dengan pengungsi.

6.    Ganti Rugi

Jaminan hidup yang terlambat diberikan bahkan dengan pengurusan yang relatif sulit.

Uang kontrak rumah untuk relokasi sementara dibebani klausul2 yang meringankan Lapindo dan Satlak. Contoh Klausul Kontrak:

1)    Kerusakan rumah (yang tenggelam) selama relokasi ditanggung oleh pemilik.

Padahal penanggulangan disekitar pemukiman penduduk terus dilakukan, khususnya untuk menyelamatkan Rel KA dan Jalan Tol.

2)    Tidak boleh menuntut Lapindo dalam bentuk apapun baik pidana maupun perdata.

Saat ini telah berhasil direvisi berkat perjuangan saudara2 masyarakat RT 20 Dusun Balongnongo Desa Renokenongo.

Belum ada pembicaraan mengenai ganti rugi (nilai maupun klasifikasi) telah disosialisasikan mengenai rencana relokasi (sabtu 07 oktober 2006 di Pendopo Kab. Sidoarjo) yang secara ekonomi, sosial dan budaya sulit diterima oleh masyarakat.

7.    Kerja Timnas Penanggulangan Luapan Lumpur

Lebih berkonsenrtasi untuk sosialisasi membuang lumpur ke laut.  Lembaga advokasi lingkungan (Walhi salah satunya) ditolak dan diharamkan oleh warga korban secara sistematis.

Lebih mementingkan menyelamatkan Fasilitas Umum (Rel KA dan Jalan Tol) ketimbang memikirkan masalah pengungsi.

4) Seklilas data dan Fakta (per 09 Oktober 2006)

1. Mud Volcano (lumpur panas lapindo)

Merupakan hasil sedimentasi yang naik ke atas (permukaan bumi) dari kedalaman 3000 – 4000 meter di bawah tanah.

Di seluruh dunia kurang lebih telah terjadi sebanyak 700 kasus dengan 300 kasus terjadi di Azerbaijan, merupakan tanda2 adanya kandungan minyak bumi yang tinggi.  Kasus terbesar (Azerbaijan) mencapai luasan dengan diameter 10km dan membentuk gunung baru.

Kasus Porong menjadi luar biasa karena terjadi di daerah pemukiman dan industri.

Luapan lumpur akan berhenti dengan sendirinya saat tekanan udara yang ada di perut bumi dengan yang ada di permukaan bumi sama, dan tidak bisa dihentikan secara teknis.

Saat ini setiap harinya mengeluarkan material (lumpur dan air) sebanyak 126.000m3 perhari.

2.  Korban 

1) Perusahaan dan UKM yang tutup

27 perusahaan tutup, 40 UKM tutup, 1.700 buruh menganggur, 241ha sawah produktif hancur, 1.810 rumah penduduk tenggelam dengan kerugian material diperkirakan sebesar Rp3trilyun, dan masih akan bertambah.

2) Dampak lingkungan

*  Topografi

Perubahan wilayah dari wilayah persawahan dan pemukiman akan menjadi danau lumpur.

*  Penurunan tanah

Telah turun sedalam 1 meter dan terus menurun dengan percepatan 1,5cm perhari.

*  Luapan lumpur

Material (lumpur dan air) yang dikeluarkan sebesar 126.000m3 perhari, dan tinggi semburan mencapai 15m dari atas permukaan tanah.

* Rencana pembuangan lumpur ke laut melalui sungai porong

Menyebar lumpur ke selat madura dengan akibat air bertambah beruh dan adanya sedimentasi sehingga merusak ekosistem pesisir dan laut di selat madura.

5) Catatan:

1.    Pengeboran yang dilakukan Lapindo Brantas Inc. Pelanggaran terhadap Undang-Undang Lingkungan

2.    UU No. 22 tahun 2001 menyatakan bahwa tanggung jawab pengeboran ada pada BP Migas.

 

11.3 Kronologi Penanganan Banjir Lumpur Lapindo di Porong

29 mei 2006

Lumpur panas keluar pertama kali dari area sumur banjar panji 1 (BJP-1) Desa Renokenongo – Porong

5 Juni 2006

Luapan lumpur mulai mengenangi 10 hektar sawah disekitar sumur dan mengalir menjur jalan tol yang terletak 200 meter dari pusat sumur.

8 juni 2006

Warga desa jatirejo, siring dan renokenongo mulai mengungsi dan kekurangan makanan-minuman.

9 Juni 2006

Menteri Lingkungan Hidup meminta pertanggung jawaban PT Lapindo

18 Juni 2006

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral menyatakan bahwa PT Lapindo yang harus bertanggung jawab.

21 Juni 2006

Menko Kesra (pemilik Lapindo) menyatakan bahwa PT Lapindo akan bertanggung jawab.

28 Juli 2006

Batas waktu penghentian sembutan lumpur (skenario 1) dari BP Migas tidak terpenuhi.

31 Juli 2006

Polisi menetapkan Imam P. Agustino, Presdir PT Medici Yeni Nawawi, Vice Drilling Share Service PT Energi Mega Persada Nurohmad Sawulo dan 9 pengawas pengeboran sebagai tersangka (yang sampai saat ini tidak ada kelanjutan pemeriksaan dan penyidikan).

6 Agustus 2006

Warga desa Siring dan Jatirejo mulai dievakuasi habis.

22 Agustus 2006

Menteri Lingkungan Hidup menyetujui pembuangan lumpur ke laut melalui sungai porong.

25 agustus 2006

Terjadi ledakan di pusat semburan lumpur dan dinyatakan 2 petugas tewas (?)

6 September 2006

Kelurahan Jatirejo lenyap tenggelam.

29 September 2006

Rel KA di lintasan tanggulangin – porong melengkung sepanjang 15 meter akibat penurunan tanah.

2 Oktober 2006

Tim dari IPB menyatakan ada penurunan tanah hingga 94 cm.

11 Oktober 2006

Sejumlah jembatan di sekitar sumur lumpur mulai retak dan miring.

15 Oktober 2006

Spillway mulai mengalirkan lumpur ke kali porong

30 Oktober 2006

Aliran lumpur tidak terkendali dan lumpur dari spillway meluber ke pemukiman penduduk di desa pejarakan dan kedungcangkring.

22 November 2006

Terjadi ledakan gas akibat dari patahnya pipa gas BP migas, 13 orang dinyatakan meninggal dan 2 orang tidak ditemukan (?)

25 Desember 2006

Jembatan tol porong mulai dibongkar karena telah retak dan miring.