Kamis, 25 Januari 2018

DISKUSI KOTA: PEMBANGUNAN KOTA BERBASIS MODAL SOSIAL & ASET LOKAL



DISKUSI KOTA: PEMBANGUNAN KOTA BERBASIS MODAL SOSIAL & ASET LOKAL
Hotel Pelangi, 05 Oktober 2017

Komunitas Uklam Tahes (Nona Cindy)
A Day to Walk atau Uklam Tahes merupakan Komunitas Walking Tour yang berdiri sejak 2013.  Ditujukan untuk mengenali kota dari masa ke masa dan menyikapi kondisi kekinian untuk menyiapkan masa depan.  Menikamti Kota dan berinteraksi dengan masyarakat.
Mengenang masa lalu
Taman Makam Pahlawan Hamid Rusdi, beliau adalah pencetus Boso Walikan sebagai bahasa sandi perjuangan.
Bermain dolanan lawa untuk mereduksi pengaruh buruk gawai.
Dokumentasi cagar budaya yang satu persatu hilang.
Tour Bioskop seperti Kelud, Garuda, Gadang, Merdeka yang satu persatu telah beralih fungsi.
2017: Dokumentasi dan menggelorakan Kayu Tangan dengan heritage trail.  Contoh Kampung Talun dan Nandur Dulur.
UUNN: Uklam-uklam ambek nokat-nokat.
Membangkitkan memori masa lalu dengan bertanya untuk menyusun program atau acara untuk menggelorakan kawasan tersebut.
Pendampingan fotografi partisipatoris.
Pendampingan pengorganisasian kegiatan oleh warga sendiri.
Dummy Malang Walking Tour.  Pendekatan ngepop dan kekinian.
Merawat sejarah (fisik) Kota Malang dan Bahasa Malangan.

Rujak Center for Urban Studies (Marco Kusumawijaya)
Membangun Perkotaan dengan pendekatan kolaboratif
Perencanaan Kota harus berbasis pengetahuan.  Sebagaimana konsep Social City yang dikemukakan oleh John Freidman.
Basis penelitian atau kajian tentang Social City
Menuju kawasan-kawasan baru yang mengalami urbanisasi. Berbasis konsep Blue Economy.  Ekses dari suatu proses produksi menjadi bahan baku bagi proses produksi selanjutanya.  Contoh: Metabolisme sirkuler.
Tidak ada negeri yang baik atau buruk, tetapi tergantung dari pemangku kebijakan.  Melawan ekspansi modal yang merusak ekosistem produksi lokal dan mata rantai modal sosial.  Membangun wilayah berbasis aset dan modal lokal, pembangunan lestari.
1.       Kota/wilayah sebagai hubungan yang ekologis
Kabupaten dan Kota adalah satu kesatuan ekologis dari hulu ke hilir.  Contoh: batas wilayah kabupaten berbasis hulu-hilir aliran air.  Kota dulu mengambil air dari sungai tetapi sekarang mengambil air dari sumber  karena sungai menjadi pembuangan air kotor.
2.       Menentang pembangunan berbasis ekspor dan masuk ke pasar global.
Mengundang kapital untuk mengeksploitasi kawasan.
3.       Konsep pembanghunan dari dalam (kearifan lokal)
Aset atau Modal Sosial
1.        Aset Manusia
Kualitas intelektual dan kualitas diri.
2.       Masyarakat sispil yang terorganisir dan mampu bekerja bersama-sama.
3.       Pusaka (heritage)
Aset fisik, tidak terwariskan malah diperjualbelikan.
Seharusnya diwariskan dan tidak diperjualbelikan sebagaimana konsep Buya Hamka yang bebasis pada Hukum Islam.  Nilai, kearifan, dan keberadaban.
4.       Aset kretif & intelektuil
Mengembangkan cara-cara baru untuk menyelesaikan masalah.
5.       Aset alamiah
Kawasan suaka alam.
6.       Aset lingkungan
Kualitas lingkungan secara fisik seperti udara, air, dan energi bersig\h.
7.       Infrastruktur
Sistem transportasi, sistem air, dan lain sebagainya.
Festival Masa Depan
1.       Visioning berupa profiling fisik berdasar gambar.
2.       Metani berupa pemetaan potensi masing-masing kawasan.
3.       Perencanaan yang partisipatif berbasis potensi aset dan modal sosial.
Tidak menentang investasi tetapi investasi harus berbasis potensi kawasan.  Contoh: pembangunan Kota Solo di jaman jokowi.


Rabu, 24 Januari 2018

BEDAH BUKU: INDONESIA TIDAK HADIR DI BUMI MANUSIA (MAX LANE)



BEDAH BUKU: INDONESIA TIDAK HADIR DI BUMI MANUSIA (MAX LANE)
Kafe Pustaka, November 2017

Tetralogi adalah sejarah perjalanan Indonesia.
Indonesia bukan gabungan budaya-budaya Nusantara tetapi adalah “mkahluk baru’ di Bumi Manusia.

Minke adalah proses menjadi Indonesia
1.       Kaum Priyayi
Melalui Sarekat Priyayi.  Terdidik tetapi tunduk pada belanda.  Hanya makan gaji saja.
2.       Kaum Pedagang
Melalui Sarekat Dagang.  Menjadi Sang Pemula.  Tetapi tidak dapat menyelesaikan dengan tutas karena kepemimpinan. Walau bebas tetapi kalah dengan hukuman Belanda.  Ditandai dengan munculnya Tirto Adisuryo dan Nyai Ontosoroh.
3.       Kelas Pekerja
Pekerja Rel Kereta Api.  Meruju pada revolusi Eropa. Ditandai dengan munculnya Mas Marco, Siti Sundari, Haji Misbach. 

Catatan Tambahan
Pram sangat mengidolakan Kartini dan perempuan-perempuan pejuang.
Pram sangat terinspirasi oleh Renaisance (Enlightment).  Sangat humanis, mengandalkan budi pekerti dan ilmu pengetahuan.
Pram setelah pulang dari Pulau Buru mengalami writers broke.  Tidak mampu melakukan otokritik terhadap kegagalan sosialisme ala Indonesia.  Beliau menyerahkannya pada generasi muda selanjutnya.
Arok Dedes dan Arus Balik adalah prequel dari Tetralogi.  Menceritakan tentang awal mula dan dinamika kebangkitan Nusantara.
Pram membahasakan Indonesia sebagai Indonesia yang tak sudah dan Indonesia yang tak menjelang (unfinished nation).
Pram mengutuk keras kejahatan kemanusiaan bernama “KORUPSI”, tertuang dalam Novel “Korupsi”.
Pram mengutuk feodalisme, tertuang dalam Novel “Mangir”.
Pram sangat mengutuk kolonialisme, tertuang dalam Novel “Cerita Dari Blora”.
Pram melawan kejahatan kemanusian, pengerdilan akal budi, dan merendahkan ilmu pengetahuan.

Catatan dari Arok Dedes
Arok dalah Sudra, tetapi mampu menguasai kitab-kitab Brahman dan Ilmu-Ilmu Kstaria.  Sehingga, mampu memimpin perlawanan kaum Sudra melawan penguasa baik Ksatria maupun Brahmana.
Figur pemimpin Indonesia yang diimpikan oleh Pram.  Orang biasa yang berilmu tinggi dan melawan kekuasaan.

Catatan dari Diskusi
Indonesia dilahirkan dan dibangun oleh SASTRA dan ORGANISASI.  Tetapi, pelajaran sastra dihilangkan dari pendidikan menengah.  Mengerdilkan daya pikir dan semangat literasi.  Indonesia hanya berputar-putar dan jalan di tempat.

KIAT-KIAT PUBLIKASI ILMIAH INTERNASIONAL



KIAT-KIAT PUBLIKASI ILMIAH INTERNASIONAL
(Dr. Leny – MRCPP Universitas Ma Chung)

Pengantar
Publikasi Internasional Universitas Ma Chung menurun tetapi dua tahun terkahir naik.  Dapat diliahat pada Indeks Scopus. Indeks Scopus merupakan indeks berdasar artikel terpublikasi dan sitasi.  Scopus merupakan database abstrak yang terdiri dari 5.000an penerbit jurnal (termasuk Elsevier).  Akses ke Scopus (www.scopus.com) harus berlangganan.

Program
1.       Bagaimana mencari jurnal internasional dan bagaimana memublikasikannya?
2.       Bagaimana Bahasa Inggris ilmiah?
3.       Bagaimana alur pikir dalam Bahasa Inggri?
4.       Bagaimana mempublikasikan, sedangkan sebagian besar artikel ditolak?
1)      Mengapa artikel kita penting (cover letter)?
2)      Bagaimana menghindari plagiasi?
3)      Bagaimana refensi pendukung yang baik?
5.       Bagaimana menghadapi penolakan dan mengirim ulang?
6.       Bagaimana rekomendasi metode dan sistem pendampingan?

Tips Memilih Jurnal Internasional
Proceeding adalah kumpulan makalah dari suatu seminar atau konferensi.
Artikel adalah peer reviewd paper with blind review method.  Dilakukan oleh para pakar di bidang keilmuan masing-masing.
Jurnal:
1.       Jurnal Lokal (institusi).
2.       Jurnal Nasional (ISSN).
1)      Memiliki terbitan online.
2)      Minimal diisi oleh 2 institusi yang berbeda setiap kali terbut.
3.       Jurnal Nasional Terakreditasi.
Akreditasi dilakukan oleh DIKTI dan masuk Indeks Directory Open Access Journal (DOAJ).
4.       Jurnal Internasional (ISSN)
Jurnal yang ditulis dalam bahasa internasional PBB.  Minimal diisi dari 4 negara dalam setiap terbitan.  Masuk indeks DOAJ, CAB, Copernicus.
5.       Jurnal Internasional Bereputasi Tinggi.
Terindeks SCOPUS, SCIMAGO, Web of Science dan memiliki impact factor tinggi.

Cara Mengecek Jurnal Bereputasi:
1.       PAK.Ristekdikti.go.id/portal/
2.       SCIMAGO atau Web of Science (Thomson Center).
3.       Cek Editorial Board.
4.       Riwayat jurnal. Summited à  Reviewed à Accepted
5.       Menggunakan email resmi dan bukan Gmail atau Email publik lainnya.

Tips Mempersiapkan Manuskrip Artikel
1.       Mengapa karya kita harus diterbitkan?
Originalitas, fenomena dan gap, target pembaca jurnal kita.
2.       Adakah yang menantang dari artikel kita?
3.       Apakah topik kita yang sedang hangat pada saat ini?
4.       Adakah solusi yang ditawarkan?

Panduan Umum
1.       Outline (why, what, and how).
2.       Jurnal yang tepat (ruang lingkup, relevansi, dan reputasi).
3.       Perhatian panduan jurnal.
4.       Cek bahasa Inggris dan alur pikir dalam bahasa inggris.
5.       Grafik yang jelas, tepat, dan informatif.
6.       Judul yang menarik.
7.       Table of content atau graphical abstract (abstrak dan gambar yang menunjukkan hasil riset).
8.       Baca manuskrip berungkali.
9.       Supporting information yang lengkap.
0.   Cover letter yang jelas dan kuat.

Scopus Preview
1.       Sources – Nama Jurnal
Impact factor di Web of Science & SCIMAGO.
2.       Keterangan waktu (kedaluwarsa atau masih terindeks).
3.       Search berdasarkan keilmuan (daftar jurnal).
1.       Tittle & Abstract
2.       Data proccess journal & acceptance rate.
Hindari jurnal abal-abal dan predator yang bisa dicek di www.bealist.weebly.com

Manuskrip yang Baik
1.       Pesan yang jelas, berguna, dan menarik.
2.       Pemikiran yang logis.
3.       Format (25—30 halaman).
4.       Content.
5.       Tata letak (tabel, gambar, referensi, dan lain sebagainya).
6.       Unit ukur.
7.       Sitasi dan referensi (20—40 sitasi).
8.       Jumlah halaman dan huruf.
9.       Letters: kurang lebih 3.000 kata.

PENGURANGAN RISIKO BENCANA BERBASIS KOMUNITAS (COMMUNITY BASED DISASTER RISK REDUCTION) - DISARIKAN DARI PRAKTIK BAIK (LESSON LEARN) FORUM PENGURANGAN RISIKO BENCANA



PENGURANGAN RISIKO BENCANA BERBASIS KOMUNITAS (COMMUNITY BASED DISASTER RISK REDUCTION) - DISARIKAN DARI PRAKTIK BAIK (LESSON LEARN) FORUM PENGURANGAN RISIKO BENCANA

Pengelolaan Risiko Bencana Berbasis Komunitas (Eko Teguh Paripurno)
Prolog
Letak geografis dan stutkur geloogis menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara yang subur.  Sangat berpotensi tetapi juga rawan bencana (gempa bumi, banjir, tanah longsor, badai, tsunami, erupsi gunung berapi, dan kebakaran hutan dan lahan) bahkan beberapa bencana berulang terjadi setiap tahunnya.  Pada akhir-akhir ini, peristiwa bencana terjadi silih berganti, setelah kekeringan diikuti oleh kebakaran lahan dan setelahnya dilanjuti oleh banjir dan tanah longsor.  Akibatnya, komunitas/masyarakat menganggap bencana adalah hal lumrah yang harus terjadi.  Padahal, bencana adalah fenomena alamiah yang merupakan bagian dari siklus hidup bumi.
Keragaman dan dinamika sosial, budaya, etnis, agama, kepercayaan, kondisi ekonomi, dan politik juga merupakan kekayaan bangsa Indonesia.  Namun, kemajemukan yang adalah potensi juga merupakan pemicu terjadinya bencana.  Bencana berupa konflik, baik konflik horisontal maupun vertikal.  Bencana yang akan menimbulkan kerusakan dan kerugian baik jiwa, material, bahkan akan memicu pengungsian yang akan berakibat pada terganggunya kehidupan sosial ekonomi masyarakat secara luas.
Sampai hari ini, manusia belum mampu secara tuntas meniadakan risiko bencana.  Tetapi kemampuan untuk mengenali, memahami, dan menyikapi munculnya fenomena yang berpotensi dan berisiko menjadikan besaran risiko yang akan terjadi berbeda satu komunitas dengan komunitas lainnya.  Semakin kenal dan faham akan risiko dan potensi bencana,  sebuah komunitas akan semakin mampu menghadapi dan menyikapi datangnya bencana.  Pengenalan dan pemahaman yang baik akan bencana akan memperkecil risiko bencana. Kesiapsiagaan dan sikap tanggap akan memunculkan perilaku tangguh bencana. 
Peristiwa bencana akibat gemba bumi dan tsunami Aceh dan Sumatera Utara, gempa bumi di Yogyakarta dan Jawa Tengah, juga di Alor dan Palu menjadi pembelajaran yang menunjukkan pada kita tentang ketidakmampuan dan ketidaksiapan kita menghadapi peritsiwa bencana dan belum fahamnya kita akan fenomena alam.  Akibatnya, sikap dan perilaku kita tidak tepat.  Pembelajaran yang menjadikan kita dan komunitas kita untuk belajar dan faham tentang bencana untuk memperkecil risiko yang harus dihadapi serta meminimalkan dampak dan korban yang harus diderita.
Bencana seringkali dianggap sebagai suatu peristiwa yag harus terjadi dan diterima sebagai sebuah takdir.  Saat terjadi bencana, hampir seluruh pihak yang terlibat (aktor) mencurahkan seluruh perhatiannya, tenaga dan pikirannya pada tindakan tanggap daurat (emergency response).  Selanjutnya, para pemangki kepentingan (aktor) disibukkan dengan aktivitas rehabilitasi dan rekonstruksi.  Tindakan yang tidak salah dan memang harus dilakukan.  Tanggap darurat dilakukan karena adanya korban yang harus ditangani dan ditolong.  Rehabilitasi dan rekosntruksi dilakukan karena adanya kerusakan infrastruktur yang menganggu kehidupan keseharian komunitas.  Siklus yang rutin harus dilakukan saat dan setelah bencana terjadi.  Tetapi, bagaimana dengan sebelum terjadi peristiwa bencana? Apa yang harus dilakukan oleh individu dan komunitas?
Seputar Bencana
Bencana (disaster) merupakan fenomena yang terjadi karena pemicu (trigger), ancaman (hazard), dan kerentanan (vulnerability) bekerja bersama-sama secara sistematis yang menyebabkab risiko (risk) pada komunitas.  Bencana adalah gangguan serius terhadap fungsi suatu masyarakat yang menyebabkan kerugian baik kehidupan, materi, ekonomi, dan lingkungan.  Sedangkan pemicu merupakan faktor-faktor luar yang menjadikan potensi atau ancaman menjadi kenyataan.  Ancaman adalah kejadian-kejadian, gelaja alam, atau perbuatan manusia yang berpotensi menimbulkan kematian, luka-luka, kerusakan harta benda, gangguan sosial ekonomi, dan kerusakan lingkungan.  Kerentanan adalah kondisi-kondisi yang ditentukan oleh faktor-faktor dan proses-proses fisik, sosial ekonomi, dan lingkungan hidup yang meningkatkan kerawanan suatu masyarakat terhadap dampak dari ancaman bencana.  Risiko merupakan suatu peluang timbulnya akibat buruk, kemungkinan kerugian baik berupa kematian, luka-luka, kerusakan dan kehilangan harta benda, gangguan kegiatan mata pencarian dan ekonomi, dan kerusakan lingkungan yang ditimbulka oleh interaksi antara ancaman bencana dan kerentanan masyarakat.
Bencana terjadi bila komunitas tidak memiliki kemampuan atau kapasitas menghadapi ancaman yang mungkin datang, atau disebut kondisi rentan.  Ancaman menjadi bencana bila komunitas rentan, bila masyarakat tidak memiliki kapasitas menghadapi bahaya atau sumber ancaman.  Bencana terjadi apabila sistem sosial yang ada di komunitas dan masyarakat, utamanya yang lebih tinggi strukturnya, tidak memililki kapasitas mengelola ancaman bencana dan kerentanan masyarakat.  Ancaman, pemicu, dan kerentanan hadir secara bersama-sama, baik serial mapun pararel, akan menyebabkan bencana menjadi membesar atau yang disebut dengan bencana kompleks.
Demikian pula dengan konflik.  Konflik antar komunitas maupun unit sosial terjadi apabila secara langsung maupun tidak langsung ada upaya perebutan aset atau akses kehidupan dan penghidupan.  Pengambil alihan aset maupun gangguan terhadap akses kehidupan dan penghidupan dapat pula dipicu oleh permasalahan lingkungan.  Aktivitas komunitas maupun unit sosial dapat menimbulkan kerusakan lingkungan yang akan menjadi ancaman bagi komunitas atau unit sosial lain bila aset dan akses kehidupan dan penghidupan terganggu.
Bencana dalam kehidupan keseharian akan menyebabkan:
(1)    berubahnya pola dan perilaku kehidupan komunitas;
(2)    kerugian harta benda bahan jiwa manusia;
(3)    merusak struktur sosial komunitas;
(4)    memunculkan lonjakan kebutuhan pribadi dan komunitas. 
Oeh karena itu, bencana cenderung terjadi pada komunitas yang rentan dan akan membuat komunitas menjadi semakin rentan.  Kerentanan komunitas diawali oleh kondisi lingkungan fisik, sosial, dan ekonomi yang tidak aman.  Kondisi tidak aman terjadi oleh tekanan dinamis internal maupun eksternal.  Tekanan dinamis terjadi karena terdapat akar permasalahan.  Akar masalah internal umumnya adalah komunitas tidak memiliki akses sumberdaya, struktur, dan kekuasaan.  Akar masalah eksternal berupa sistem politik dan ekonomi yang tidak tepat.  Oleh karenanya, pengelolaan bencana perlu dilakukan secara menyeluruh dengan meningkatkan kapasitas dan menengani akar masalah dengan tepat untuk mereduksi risiko bencana secara total.
Pengurangan risiko total adalah penerapan prinsip kehati-hatian pada setiap tahapan manajemen risiko bencana (disaster risk management),  Manajemen risiko bencana merupakan kegiatan yang meliputi aspek perencanaan dan penanggulangan bencana pada saat sebelum, saat terjadi, dan sesudah bencana.  Manajemen risiko bencana merupakan suatu rerangka kerja konseptual yang berfokus pada pengurangan ancaman dan potensi kerugian dan bukan pada pengelolaan bencana dan konsekuensinya.  Manajemen risiko bencana bertujuan untuk mengembangkan suatu budaya aman dan membentuk komunitas yang tangguh bencana.
Prinsip kehati-hatian dimulai dengan mencermati setiap bagian kegiatan yang berpotensi menjadi ancaman terhadap keberadaan aset penghidupan dan jiwa manusia.  Ancaman tersebut perlahan-lahanmaupun tiba-tiba akan berpotensi menjadi bencana yang akan menyebabkan hilangnya jiwa dan harta benda serta rusaknya lingkungan.  Kejadian bencana di luar kemampuan adaptasi masyarakat dengan sumberdaya yang dimilikinya.  Maka, perlu dipahami potensi risiko yang akan muncul seperti kemungkinan besaran kerugian dan keusakan yang akan ditimbulkan serta korban jiwa yang akan jatuh.  Risiko bisa dihitung secara matematis, berupa probabilitas dari dampak atau konsekuensi bahaya bencana.  Jika potensi risiko lebih besar dari kemampuan dan sumberdaya komunitas (kondisi rentan), maka kehati-hatian perlu ditingkatkan.  Upaya untuk mengurangi kerentanan (konsekuensi fisik, perilaku, sosial, dan ekonomi), adalah upaya untuk pencegahan dan penanggulan bencana.  Perilaku menebang hutan, menambang pasir dan batu, atau membakar hutan merupakan upaya mengurangi kerentanan untuk pencegahan bencana.
Siklus penggulangan bencana harus dipahami dan digambarkan secara utuh.  Upaya pencegahan (prevention) berfokus utama pada timbulnya dampak atau korban bencana.  Untuk mencegah banjir, komunitas didorong untuk menanam pohon dan membuat sumur resapan.  Untuk mencegah kekeriangan, komunitas didorong untuk tidak menebang hutan dan menanam pohon.  Untuk mencegah kebocoran limbah, perusahaan-perusahaan diharuskan membuat Instalasi Pengelolaan Akhir Limbah dan save procedure.  Walaupun tindakan pencegahan telah dilakukan, kemungkinan terjadinya bencana tetap ada, untuk memperkecil risikonya perlu dilakukan tindakan mitigasi (mitigation).  Mitigasi adalah upaya untuk memperkecil risiko dan dampak akibat bencana.  Mitigasi dapat dilakukan dengan:
(1)    mitigasi struktural, berupa pembangunan infrastruktur untuk meminimalisasi dampak; dan
(2)    mitigasi non struktural, berupa peraturan, pengelolaan tata ruang, dan pelatihan.
Usaha-usaha pencegahan dan mitigasi harus didukung dengan upaya kesiapsiagaan (preparedness).  Kesiapsiagaan merupakan upaya untuk mengantisipasi bencana melalui pengorganisasian langkah-langkah yang tepat, efektif, dan terencana.  Kesiapsiagaan yang dilakukan dapat berupa:
(1)    penyiapan sarana komunikasi;
(2)    pos komando;
(3)    lokasi evakuasi;
(4)    sistem peringatan dini (early warning system). 
Peringatan dini merupakan perangkat yang akan menginformasikan ke masyarakat jika ancaman bencana datang.  Seperti perinngatan dini datangnya banjir atau tsunami.  Peringatan dini haruslah:
(1)    mengjangkau seluruh masyarakat (accessible);
(2)    segera (immediate);
(3)    tegas dan tidak membinggungkan (coherent);
(4)    resmi (official).
Bilapun bencana terjadi, maka tindakan tanggap darurat (response) berupa upaya untuk menganggulangi dampak atau korban bencana, utamanya untuk penyelamatan nyawa dan harta benda dapat dilakukan dengan baik dan tersisematis.  Secara bersamaan (sinergis) dapat dilakukan mobilisasi bantuan dasar (relief) untuk memenuhi kebutuhan dasar (pangan, sandang, tempat tinggal sementara, kesehatan, sanitasi, dan air bersih).
Supaya dampak tidak berkepanjangan, maka proses pemulihan (recovery) kondisi lingkungan dan masyarakat yang terkenan dampak bencana dengan memulihkan sarana dan prasarana harus dilakukan.  Upaya yang dilakukan bukan sekadar memperbaiki prasarana dan pelayanan dasar seperti perbaikan jalan, listrik, air bersih, pasar, puskesmas dan fasilitas umum serta fasilitas sosial lainnya saja tetapi juga fungsi-fungsi ekologis.  Upaya-upaya pemulihan dalam jangka pendek terdiri dari usaha rehabilitasi (rehabilitation) berupa usaha-usaha untuk membantu masyarakat memperbaiki rumah, fasilitas umum, dan fasilitas sosial tetapi juga menghidupkan kembali roda perekonomian dan fungsi ekologis lainnya.  Selanjutanya, dilakukan usaha rekonstruksi (reconstruction) berupa upaya-upaya jangka menengah dan jangka panjang berupa perbaikan fisik, sosial, dan ekonomi untuk mengembalikan kehidupan masyarakat menjadi normal kembali dan bahkan lebih baik lagi.
Dilihat dari waktu terjadinya, ancaman bencana dapat datang dengan tiba-tiba dan tidak terduga.  Tetapi ancaman juga ada yang datang secara perlahan dan berangsur-angsur dan bahkan musiman (periodik).  Ancaman yang datang dengan tiba-tiba seperti gempa bumi dan banjir bandang akan menimbulkan bencana yang tiba-tiba.  Demikian pula ancaman yang datang berangsur-angsur seperti banjir kiriman serta ancaman musiman seperti banjir pasang akan menyebabkan bencana yang musiman.  Status ancaman sangat tergantung pada kapasitas individu dan komunitas serta sistem peringatan dini yang ada.  Artinya, ancaman yang tiba-tiba bagi suatu komunitas bisa jadi bukan merupakan ancaman yang tiba-tiba bagi komunitas lain, komunitas yang telah tangguh bencana.
Setiap individu, komunitas, dan unit sosial harus meningkatkan kapasitas dan membangun sistem peringatan dini untuk merespon bencana, baik jangka pendek maupun jangka panjang.  Respon yang bersifat jangka pendek disebut dengan mekanisme penyesuaian.  Sedangkan respon yang bersifat jangka panjang disebut dengan mekanisme adaptasi.  Mekanisme untuk menghadapi perubahan dalam jangka pendek bertujuan untuk mengakses kebutuhan hidup dasar seperti keamanan, sandang, pangan, papan.  Sedangkan mekanisme adaptasi bertujuan untuk mengakses sumber-sumber kehidupan.
Bencana akan mereduksi kapasitas komunitas dalam menguasai maupun mengakses aset penghidupan.  Di beberapa peristiwa bencana, seluruh kapasitas dan aset kehidupan hilang sama sekali.  Reduksi kapasitas memungkinkan bencana akan cenderung hadir berulang di kawasan dan komunitas tertentu.  Di sisi lain, kapasitas komunitas dalam mengelola risiko bencana sangat tergantung pada aset kehidupan yang dimilikinya.
Menurut Konsep Penghidupan Berkelajutan (sustainable livelihood) ada lima aset penghidupan yang dimiliki oleh setiap indvidud dan unit sosial yang lebih tinggi untuk pengembangan kehidupan:
(1)    modal kapital, modal yang dimiliki manusia seperti ketrampilan, kemampuan bekerja, dan kesehatan. 
(2)    modal sosial, kekayaan sosial yang dimiliki komunitas seperti jaringan dan keterikatan hubungan berdasar kepercayaan;
(3)    modal alam & lingkungan, merupakan persediaan sumberdaya alam seperti tanah, air, kualitas udara, dan perlindungan terhadap erosi;
(4)    modal fisik  & buatan, adalah infrastruktur dasar dan produksi barang-barang dasar seperti transportasi, bangunan tempat tinggal yang aman, sanitasi dan persediaan air yang memadai, akses terhadap komunikasi;
(5)    modal finansial, adalah sumber-sumber keuangan yang digunakan oleh komunitas untuk mencapai tujuan-tujuan kehidupannya seperti persediaan uang dan barang.
Seputar Partisipasi Komunitas
Komunitas merupakan sekelompok orang dengan hubungan yang harmonis, memiliki satu keselarasan minat dan aspirasi, serta terikat dengan nilai-nilai dan tujuan-tujuan yang sama.  Komunitas bersifat homogen, walau anggotanya berlatar belakang sosial yang beragam.  Gender, kelas, kasta, kekayaan, usia, etnis, agama, bahasa, dan berbagai aspek lain yang membedakan anggota komunitas nan beragam tetapi saling melengkapi.  Kepercayaan, minat, dan nilai juga bisa berbeda tetapi tujuan dan nilai bersama yang menyatukannya.
Dalam Manajemen Risiko Bencana Berbasis Masyarakat (community based disaster risk management), komunitas adalah sebuah kelompok masyarakat yang memiliki kesamaan tertentu seperti tinggal di lingkungan yang sama, terpapar risiko yang serupa, dan terkena dampak bencana yang sama.  Komunitas juga memiliki maalah, kekhawatiran, dan harapan yang sama terhadap risiko bencana.  Tetapi, walau tinggal di daerah yang sama dan menghadapi risiko bencana yang sama, kerentanan yang dihadapi dan kapasitas yang dimiliki anggota komunitas berbeda-beda.  Ada anggota komunitas yang lebih mampu dan tangguh tetapi adapula yang lebih rentan.
Partisipasi komunitas merupakan suatu proses untuk memberikan wewenang yang lebih luas kepada komunitas untuk bersama-sama memecahkan berbagai persoalan.  Pemberian wewenang ini dilakukan berdasar tingkat keikutsertaan (level of involment) anggota komunitas.  Partisipasi komunitas bertujuan untuk mencari jawaban atas masalah dengan lebih baik.  Memberi peran komuitas untuk memberi kontribusi pada kegiatan sehingga berjalan lebih efektif, efisien, dan lestari. 
Pastisipasi komunitas dilakukan mulai dari tahapan-tahapan:
pembuatan konsep  à konstruksi  à  operasional & pemeliharaan  à  pengawasan & evaluasi. 
Tingkat partisipasi komunitas dalam kegiatan penanggulangan bencanan terdiri dari mekanisme interaksi dari: (1) penolakan; (2) berbagi informasi; (3) konsultasi tanpa komentar; (4) konsensus & pengambilan kesepakatan bersama; (5) kolaborasi; (6) berbagi penguatan & risiko; (7) pemberdayaan & kemitraan.  Lebih lanjut, tingkat partisipasi masyarakat diperkuat dari kecenderungan partisipasi yang bermakna “untuk komunitas” menjadi “bersama komunitas” dan akhirnya “oleh komunitas”.
Ada berbagai pemangku kepentingan (stakeholders) dan aktor dalam proses pengelolaan risiko bencana berbasis komunitas.  Dapat dikelompokkan menjadi:
(1)    penerima manfaat, yaitu komunitas yang menerima manfaat baik langsung maupun tidak langsung;
(2)    intermediari, yaitu kelompok komunitas, lembaga atau individu yang dapat memberikan pertimbangan atau fasilitasi manajemen kebencaan seperti konsultasn, pakar, LSM, dan profesional di bidang kebencanaan;
(3)    (3) pembuat kebijakan, lembaga atau institusi yang berwenang membuat landasan dan keputusan hukum seperti lembaga pemerintahan dan badan kebencanaan (BNPB dan BPBD).
Penentuan dan pemilihan pemangku kepentingan dilakukan dengan metode Analisis Pemangku Kepentingan (Stakeholders Analysis) dengan tahapan-tahapan:
(1)    identifikasi pemangku kepentingan;
(2)     penilaian ketertarikan pemangku kepentingan terhadap penanggulangan bencana;
(3)     penilaian tingkat pengaruh dan kepentingan setiap pemangku kepentingan;
(4)    perumusan rencana strategi partisipasi pemangku kepentingan dalam penanggulangan bencana pada setiap fase kegiatan. 
Semua proses dilakukan dengan cara mempromosikan kegiatan pembelajaran dan peningkatan potensi komunitas untuk berpartisipasi secara aktif.  Turut serta menyediakan kesempatan untuk ikut bagian dan kewenangan dalam proses pengambilan keputusan.  Juga menyediakan alokasi sumberdaya dalam kegiatan penanggulangan bencana.
Peran komunitas dalam proses pembangunan sangatlah penting.  Hal ini dikarenakan tidak seorangpun dapat memahami kesempatan dan hambatan di tingkat lokal selain komunitas itu sendiri.  Demikian pula dengan urusan dan masalah lokal yang hanya komunitas setempat yang peduli dengan keberlanjutan hidup dan kesejahteraannya.  Oleh karena itu, komunitas setempat harus dilibatkan dalam identifikasi dan pemecahan masalah yang berkaitan dengan kerentanan terhadap bencana.  Dengan pemberian Informasi yang harus disampaikan dengan cara dan bahasa yang dapat dipahami oleh komunitas.  Banyak program manajemen kebencanaan yang bersifat instruksi (top down) yang tidak mampu memenuhi kebutuhan komunitas rentan karena mengabaikan potensi, sumberdaya, dan kapasitas lokal.  Bahkan malah meningkatkan ketergantungan sekaligus kerentanan.
Sebagai hasilnya, para praktisi manajemen risiko kebencanaan telah menghasilkan kesepakatan umum untuk program-program yang menekankan pada reduksi risiko bencana berbasis komunitas.  Artinya, komunitas rentan yang akan dilibatkan dalam perencanaan dan pelaksanaan tindakan-tindakan pengelolaan risiko bencana bersama dengan entitas lokal, provinsi, dan nasional.
Tujuan manajemen risiko bencana oleh komuntas adalah mengurangi kerentanan dan memperkuat kapasitas komunitas untuk mengelola risiko bencana yang dihadapi.  Keterlibatan langsung komunitas dalam pelaksanaan tindakan-tindakan reduksi merupakan suatu keharusan.  Keikutsertaan dan keterlibatan komunitas artinya komunitas bertanggung jawab untuk semua tahapan program, mulai dari perencaan, pelaksanaan, sampai evaluasi.  Partisipasi komunitas adalah upaya penganggulangan bencana oleh komunitas secara mandiri.
Pengalaman dalam pelaksanaan penanggulangan bencana berbasis pemberdayaan dan kemandirian komunitas haruslah merujuk pada:
(1)    upaya reduksi risiko bencana bersama komunitas di kawasan rawan bencana hingga komunitas mampu mengelola risiko bencana secara mandiri;
(2)    menghindari munculnya kerentanan baru dan ketergantungan komunitas pada pihak luar;
(3)    penanggulangan risiko bencana merupakan bagian dari proses pembangunan dan pengelolaan sumberdaya dalam untuk keberlanjutan hidup komunitas;
(4)    pendekatan multi sektor, multi disiplin, dan multi budaya.
Lebih lanjut, manajemen risiko bencana memperhatikan:
(1)    fokus perhatian pada komunitas setempat;
(2)    bertujuan untuk mereduksi bencana.  Strategi utamanya adalah dengan meningkatkan kapasitas dan sumberdaya komunitas untuk mengurangi kerentanan guna mencegah dampak bencana yang besar di kemudian hari;
(3)    pengakuan adanya hubungan antara pengelolan risiko bencana dan proses pembangunan.  Pendekatan untuk menangani penyebab mendasar bencana seperti kemiskinan, diskriminasi, marginalisasi, penyelenggaraan negara yang lemah, pengelolaan politik dan ekonomi yang buruk, dan kualitas hidup dan lingkungan;
(4)    komunitas adalah sumberdaya kunci dalam manajemen risiko bencana.  Komunitas adalah aktor utama dan penerima manfaat utama;
(5)    Penerapan pendekatan multi sektor dan multi disiplin akan menyatukan banyak kepentingan manajemen risiko bencana untuk memperluas basis sumberdaya;
(6)    Merupakan rerangka kerja yang berkembang dinamis.  Pembagaian pengalaman, metodologi, dan alat-alat oleh komunitas akan memperkaya praktik;
(7)    Pengakuan terhadap berbagai komunitas yang memiliki persepsi yang berbeda tentang risiko.  Terutama antara lelaki dan perempuan yang memiliki pemahaman dan pengalaman yang berbeda mengenai risiko bencana akan memperkaya praktik reduksi risiko bencana;
(8)    Berbagai anggota komunitas dan individu dalam komunitas memiliki kerentanan dan kapasitas yang berbeda.  Individu, keluarga, dan kelompok yang berbeda dalam komunitas ditentukan oleh usia, jender, kelas, sumber penghidupan, etnisitas, bahasa, agama, dan lokasi fisik.
Seputar Proses Manajemen Reduksi Bencana
Manajemen Risiko Berbasis Komunitas merupakan proses untuk mendorong komunitas di kawasan rawan bencana untuk mampu secara mandiri mengatasi ancaman yang ada dilingkungannya dan kerentanan yang ada di dirinya.  Oleh karena itu, komunitas yang menghadapi risiko bencana harus terlibat secara aktif dalam melakukan identifikasi, analisis, tindakan, pemantauan, dan evaluasi risiko bencana untuk mengurangi kerentanan dan meningkatkan kapasitas.  Komunitas berperan sebagai pusat pengambilan keputusan dan pelaksanaan aktiviats-aktivitas manajemen risiko bencana.
Berdasar pengalaman kerja komunitas, terdapat beberapa proses penanggulangan risiko bencana berbasis komunitas, sebagaimana berikut ini.
1.       Analisis Situasi dan Kondisi
Analisis situasi dan kondisi dilakukan untuk prediki kebutuhan penanggulangan bencana guna memperoleh kesesuaian antara kebutuhan dan ketersediaan sumberdaya.  Analisis dimulai dengan menyusun profil masyarakat tentang pemahaman risiko bencana dengan metoda partisipatif.  Profil berupa (1) informasi historis kebencanaan; (2) cici-ciri geoklimat; (3) fisik & tata ruang; (4) tatanan sosio politik & budaya; (5) kegiatan ekonomi; (6) kelompok rentan.
2.       Pemahaman Konteks
Mobiliasasi pemahaman konteks ditujukan untuk kemungkinan penanganan masalah melalui intervensi yang tepat dan perumusan kegiatan bersama.  Kegiatan berbagi pengalaman dan pelatihan bersama (1) manajemen bencana & kedaruratan; (2) penanganan penderita gawat darurat; (3) pengamatan & pemantauan bahaya; (4) advokasi kebijakan; (5) penguatan ekonomi.
3.       Pengajian Risiko Partisipatif
Pengajian menyeluruh mengenai keterpaparan komunitas terhadap bahaya dan analisis mengenai kerentanan serta kapasitas komunitas sebagai dasar aktivitas dan program reduksi risiko bencana.  Penjajakan risiko bencana merupakan proses partisipatif dalam menentukan sifat, cakupan, dan besaran dampak negatif risiko bencana terhadap komunitas dalam suatu periode waktu yang dapat diramalkan.  Enjajakan risiko bencana komunitas juga untuk memfasilitasi proses penentuan dampak negatif yang akan terjadi baik kerusakan dan kerugian aset penghidupan.  Pengajian tingkat bersama risiko meliputi (1) persepsi masyarakat terhadap risiko bencana; (2) pemetaan karakter bahaya; (3) pemetaan kerentanan; (4) pemetaan kapasitas dalam penanganan kerentanan; (5) identifikasi risiko; (6) evaluasi dan penilaian risiko; (7) pemetaan potensi dan mobilisasi sumberdaya; (8) analisis dan pelaporan bersama komunitas.
4.       Perencanaan Program dan Formulasi Rencana
Tindakan perencanaan progrm dan dormulasi rencana dilakukan berdasar hasil analisis risiko.  Perencanaan ini meliputi (1) formulasi tujuan untuk peningkatan kapasitas danpengurangan kerentanan guna meningkatkan kemampuan mencegah, memitigasi, dan menyiapkan diri; (2) manfaat dan hasil pengurangan risiko; (3) perencanaan kegiatan bersama; (4) identifikasi dan mencari dukungan sumberdaya dan finansial; (45) memformulasikan rencana kegiatan.
5.       Pelaksanaan dan Pemantauan Program
Tindakan untuk menjalankan kesepakatan perencaaan yang telah diformulasikan.  Merupakan serangkaian kegiatan yang terdiri dari (1) pengorganisasian pelaksanaan kegiatan; (2) mobilisasi sumberdaya; (3) pelaksanaan kegiatan yang telah direncanakan; (4) pemantauan kegiatan; (5) memperbaiki rencana reduksi bencana melalui hasil pemantauan kegiatan.
6.       Penilaian dan Umpan Balik
Menilai hasil kegiatan disesuaikan dengan hasil yang diharapkan dipergunakan untuk menilai efektivitas program.  Selanjutnya, menggunakan hasil evaluasi melakukan pemberdayaan di komunitas lain (diseminasi).
7.       Penyebarluasan dan Pengintergrasian
Mendokumentasikan proses pembelajaran dan menyebarluaskan praktik baik (lesson learn)ke komunitas lain dan masyarakat luas untuk kampanye reduksi risiko bencana.  Penyebarluasan dilakukan juga untuk menarik berbagai kalangan dan sektor lain untuk mengintegrasikan upaya reduksi risiko bencana untuk kehidupan masyarakat yang lebih baik.
8.       Pelembagaan dan Kolsultatif
Usaha reduksi risiko bencana berbasis komunitas harus pula mendorong upaya pembentukan organisasi rakyat dalam penanggulangan risiko bencana berkelanjutan, tersebar luas, dan dan terintegrasi.  Dibangun pula mekanisme konsultatif dengan aktor dan pemangku kepentingan lain untuk memperluas usaha reduksi risiko bencana.  Pelembagaan dilakukan untuk memastikan bahwa usaha reduksi risiko bencana berkelanjutan dan berkesinambungan.

Parameter atau Indikator Penanggulangan Risiko Bencana Berbasis Komunitas (PRBBK)
Parameter dari PRB sebagai komunitas atau masyarakat yang tangguh adalah sebagai berikut:
1.       Komuitas memiliki kemampuan mengaji dan memahami ancaman, kapasitas, kerentanan, dan risiko bencana secara partisipatif berbasis pengetahuan lokal dan keilmuan.
2.       Komunitas memiliki RAK-PRBBK yang disusun secara partisipatif dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan serta menjadi bagian dari rencana pembangunan desa yang dirumuskan dalam Musrengbang.  Diwujudkan dalam Rencana Pembangunan Daerah dan RAD PRBBK.
3.       Komunitas memiliki kemampuan mobiliasi sumberdaya internal da tatanan sosial di atasnya untuk melaksanakan RAK PRBBK serta kemampuan mobilisasi sumberdaya eksternal untuk melengkapinya.
4.       Komunitas memiliki Organisasi Rakyat untuk PRBBK sebagai representasi dari kelompok-kelompok warga untuk kepentingan PRBBK atau merevitaliasi kelembagaan lokal untuk keperluan PRBBK.
5.       Komunitas memiliki sistem pembelajaran OR-PRBBK dan komunitas dalam pemahaman dan pengelolaan ancaman, pengurngan kerentanan, dan peningkatan kapasitas.
6.       Komunitas memiliki sistem gladi sesuai dengan jenis bahaya dan tingkat risiko bencana yang telah diidentifikasi oleh OR-PRBBK dan masyarakat sendiri.  Gladi disesuaikan dengan standar kebuuhan masyarakat dan eksplorasi kapasitas masyarakat untuk memberdayakan diri dalam mereduksi risiko dan mengatasi bencana.
7.       Komunitas memiliki pemahaman reduksi risiko bencana dan penghidupan yang berkelanjutan melalui pengelolaan sumberdaya, aset penghidupan, jaring pengaman sosial, kelestarian lingkungan, teknologi tepat guna, dan perilaku sehari-hari.
8.       Komunitas memilik Sistem Informasi Dini (SID), Sistem Deteksi Dini (SDD), dan Sistem Peringatan Dini (SPD) berbasis komunitas dan dapat menjangkau seluruh komunitas di kawasan rawan bencana berbasis kearifan lokal yang terpadu dengan teknologi tepat guna dan tepat sasaran serta dikelola oleh komunitas.
9.       Komunitas memiliki Tim Siaga Bencana (TSB) yang mandiri, tangguh dan terampil dengan fasilitas yang memadai serta memiliki mekanisme koordinasi dan pengambilan keputusan yang baik.
10.   Komunitas memiliki Rencana Siaga (Rensi) dan Rencana Kontijensi (Renkon) untuk setiap jenis ancaman dan tingkat risiko bencana secara paritisipatif berdasar hasil belajar masyarakat dan masukan para pakar dengan memanfaatkan sumberdaya lokal.
11.   Komunitas memiliki Kelompok Kerja PRBBK yang terdiri dari para pemangku kepentingan ditingkat Kabupaten/Kota yang memiliki mandat dalam upaya manajemen ancaman, pengurangan kerentanan, dan peningkatan kapasitas PRBBK dan mendorong praktik PRBBK.
12.   Komunitas memiliki jaringan kemitraan dan kesepakatan pembagian peran dan tanggung jawab para pemangku kepentingan dalam peningkatan kapasitas, pembangian tanggung jawab, dan pengambilan keputusan untuk pengelolaan sumberdaya & sumberdana, pengetahuan, ketrampilan, informasi secara formal maupun informal.
13.   Komunitas memiliki pemaduan dan koordinasi dalam manajemen kedaruratan, rehabilitasi, maupun konstruksi, khususnya membantu komunitas untuk mendapatkan perangkat kesiapsiagaan dan penanganan kedaruratan yang terencana, efektif, dan efisien serta mengjangkau seluruh komunitas yang meliputi bantuan sosial, psikologi, kesehatan, dan penyelamatan fasilitas publik berdasarkan pada kemampuan lokal, kerelawanan, dan gotong royong.
14.   Komunitas bersama pemangku kepentingan memiliki visi tentang kesiapsiagaan bencana dan komitmen terhadap prioritas pelaksanaan PRBBK yang efektif dan akuntabel serta praktik berkehidupan dan pengorganisasian reduksi risiko bencana.
15.   Komunitas memiliki rerangka kelembagaan dan sitem hukum serta kebijakan yang mendukung pelaksanaan PRBBK sebagai bagian dari proses pembangunan.
16.   Komunitas memiliki peta risiko bencana partisipatif dan didukung oleh pengetahuan ilmiah.
17.   Komunitas memiliki sistem reduksi kerentanan seperti: (1) lumbung bencana; (2) penganekaragaman dan pengembangan mata pencarian; (3) model rumah tahan bencana; (4) tempat ibadah tahan bencana; (5) prasarana lain yang tahan bencana.
Prinsip-Prinsip PRBBK
 Prinsip-Prinsip pelaksanaan kegiatan PRBBK adalah sebagai berikut:
1.       Komunitas atau masyarakat berisiko dan terkena bencana adalah pelaku aktif dalam pembagunan kehidupan.
2.       Melakukan upaya-upaya reduksi risiko bencana bersama komunitas di kawasan bencana hingga komunits mampu mengelola risiko bencana secara mandiri.
3.       Menghindari munculnya kerentanan baru dan ketergantungan komunitas di kawasan bencana pada pihak luar.
4.       Reduksi risiko bencana merupakan bagian dari proses pembangunan dan pengelolaan sumberdaya alam berkelanjutan untuk kehidupan dan penghidupan komunitas di kawasan bencana.
5.       Pendekatan multi sektor, multi disiplin, dan multi budaya.
6.       Pendekatan yang holistik dan menyeluruh dari seluruh kegiatan manajemen risiko bencana dan integratif dalam menautkan program dengan kebutuhan lainnya.
7.       Partisipasi sejak mulai dari perencanaan hingga akhir program baik seluruh strata sosial, kelompok, maupun gednder.
8.       Pemberdayaan, bukan kembali “normal”  karena bisa mereduksi risiko bencana.
9.       Tidak merusak sistem yang telah ada, termasuk kepercayaan, tradisi, dan adat istiadat komunitas.
10.   Melakukan kemitraan lokal dan intervensi dari seluruh pemangku kepentingan.
11.   Membuka diri untuk memfasilitasi lembaga dan komunitas lain.
12.   Mengutamakan peran dan partisipasi masyarakat lokal dalam penanggulan bencana dan reduksi risiko bencana.
13.   Menekankan program edukasi dan pemberdayaan masyarakat.
14.   Transparansi, kepercayaan, dan non profit.
15.   Kemampuan masyarakat digunakan dan dibangun melalui partisipasi.
16.   Pengajian keruasakan, kebutuham, dan kemampuan dilakukan bersama masyarakat dengan mempertimbangkan kesetaraan gender, budaya, dan usia.
17.   Bantuan baik material maupun aspek kelembagaan dilakukan untuk mengatasi akar masalah.
18.   Penanggulangan bencana adalah tanggung jawab semua orang, sedangkan lembaga kebencaan berperan sebagai sistem pendukung.
19.   Sasaran program adalah mengurangi kerentanan jangka panjang dengan meningkatkan kemampuan dan kapasitas masyarakat dalam menghadapi bencana.
Rekomendasi Kegiatan PRBBK
Untuk membangun masyarakat yang tangguh bencana melalui PRBBK, dilakukan melalui kegiatan-kegiatan sebagai berikut:
1.       Memfasilitasi penguatan kemampuan dan kapasitas komunitas dengan memahami dan mengaji ancaman, kapasitas, kerentanan, dan risiko serta partisipasi yang didukung oleh pengetahuan lokal dan keilmuan ilmiah.
2.       Memfasilitasi penyusunan RAK PRBBK yang disusun secara partisipatif dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan dan masuk sebagai bagian dari rencana pembangunan melalui Musrengbang yang nantinya diwujudkan dalam Rencana Pembangunan Daerah dan RAD PRB
3.       Memfasilitasi peningkatan mobilisasi sumberdaya internal komunitas dan tatanan sosial di atasnya untuk melaksanakan RAK PRBBK dan kemampuan mobilisasi dan pengelolaan sumberdaya eksternal untuk melengkapinya.
4.       Memfasilitasi pembertukan Organisasi Komunitas (OK PRBBK) yang merupakan representasi  dari kelompok-kelompok warga yang dibangun untuk PRBBK atau merevitalisasi kelembagaan lokal yang ada untuk PRBBK.
5.       Memfasilitasi penyusunan sistem pembelajaran bari OK PRBBK dan komunitas dalam memahami pengelolaan ancaman, reduksi kerentanan, dan peningkatan kapasitas.
6.       Memfasilitasi pembentukan sistem gladi sesuai dengan jenis dan tingkat risiko bencana yang  telah diidentifikasi oleh OK PRBBK dan komuunitas sesuai dengan standar kebutuhan penduduk dan eksplorasi kemampuan untuk memberdayakan diri sendiri dalam menghadapi bencana.
7.       Memfasilitasi peningkatan pemahaman reduksi risiko dan penghidupan berkelanjutan serta pengelolaan sumberdaya, pengelolaan aset, jaring pengaman sosial, kelestarian lingkungan, teknologi tepat guna, dan perilaku sehari-hari.
8.       Memfasilitasi ketersediaan Sistem Informasi Dini (SID), Sistem Deteksi Dini (SDD), dan Sistem Peringatan Dini (SPD) berbasis komunitas yang terpercaya, menjangkau seluruh komunitas dengan teknologi tepat guna dan tepat sasaran serta dikelola secara mandiri oleh komunitas.
9.       Memfasilitasi terbentuknya Tim Siaga Bencana (TSB) yang mandiri, tangguh, dan terampil dengan jumlah serta fasilitas yang memadai  serta memiliki mekanisme koordinasi dan pengambilan keputusan yang baik.
10.   Memfasilitasi terwujudnya Rencana Siaga (Rensi) dan Rencana Kontijensi (Renkon) di komunitas untuk setiap jenis ancaman dan tingkat risiko utama secara partisipatif berdasarkan hasil penelitian pakar dan masyarakat dalam memanfaatkan sumberdaya lokal.
11.   Memfasiliatsi terwujudnya Kelompok Kerja PRBBK yang terdiri dari pada pemangku kepentingan di tingkat Kabupaten/Kota yang memiliki mandat upaya penanganan ancaman, pengurangan kerentanan, dan peningkatan kapasitas PRBBK serta mendorong praktik PRBBK.
12.   Memfasilitasi terbangunnya kemitraan dan kesepakatan dalam pembagian peran dan tanggung jawab pada pemangku kepentingan dalam peningkatan kapasitas, pembagian tanggung jawab, pengambilan keputusan, pengelolaan sumber dana, pengetahuan & ketrampilan, dan informasi formal & informal dalam pengelolaan PRBBK.
13.   Memfasilitasi pemanduan dan koordinasi dalam manajemen kedaruratan, rehabilitasi, dan rekonsntruksi khususnya untuk membantu komunitas mendapatkan perangkat kesiapsiagaan dan penanganan darurat yang terencana, efektif, dan efisien serta mampu menjangkau seluruh komunitas baik bantuan sosial, psikologi, kesehatan, dan penyelamatan fasilitas berdasarkan kemampuan lokal, kerelawanan, dan gotong royong.
14.   Memfasilitasi terwujudnya visi bersama antara komunitas dan seluruh pemangku kepentingan tentang kesiapsaiagaan bencana dan prioritas pelaksanaan PRBBK yang efektif dan akuntabel serta praktik berkehidupan dan pengorganisasian reduksi risiko bencana.
15.   Memfasilitasi terwujudnya rerangka kelembagaan dan sistem hukum serta kebijakan yang mendukung pelaksanaan PRBBK sebagai bagian dari proses pembangunan.
16.   Memfasilitasi tersusunnya peta risiko bencana berbasis partisipasi masyarakat yang didukung oleh pengetahuan ilmiah.
17.   Memfasilitasi terwujudnya sistem pengirangan kerentanan komunitas seperti lumbung bencana, penganekaragaman pendapatan, sistem penghidupan berkelanjutan, model rumah tahan bencana, tempat ibadah tahan bencana, dan prasaranan umum lainnya yang tahan bencana.

Upaya Kabupaten Bantul Dalam Program Pengurangan Risiko Bencana dan Tsunami
Gambaran keadaan Alam dan Pemerintahan
Luas wilayah Kabupaten Bantul 508.85 Km2 dengan topografi sebagai dataran rendah 40% dan perbukitan 60%.  Bagian barat adalah daerah landaidan perbukitan yang membujur dari utara ke selatan seluas 89,86 Km2 atau 17,73% dari luas seluruh wilayah.  Bagian tengah adalah daerah datar dan landai sebagai daerah pertanian yang subur seluas 210.94 Km2 tau 41,62% dari luas wilayah.  Bagian timur adalah daerah landai, miring, dan terjal yang keadaannya lebih baik dari bagian barat seluas 206,05 Km2 atau 40,65% dari luas wilayah.  Bagian selatan merupakan bagian dari bagian tengah dengan keadaan alam berpasir, sedikit lagun, dan terbentang di pantai selatan (Kecamatan Srandakan, Sanden, dan Ketek).
Kabupaten Bantul dilalui oleh 6 sungai yang mengalir sepanjang tahun dengan panjang 114 Km2 (Sungai Oya 35,75 Km, Opak 19 Km, Code 7 Km, Winongo 18,75 Km, Bedog 9,5 Km, Progo 24 Km).  Terdiri dari 17 Kecamatan, 75 Desa, dan 933 Dusun.
Profil Kebencanaan Kabupaten Bantul
Kabupaten Bantul merupakan wilayah rawan bencana, seperti gempa bumi, tsunami, gelombang pasang, badai tropis, puting beliung, banjir, tanah longsor, dan kekeringan.
1.       Tanah longsor: Piyungan, Pleret, Imogiri, dan Dlingo. 
2.       Kekeringan: Piyungan, Pleret, Imogiri, Dlingo, Bambanglipuro.
3.       Banjir: Kretek, Srandakan, Sanden, Bambanglipuro.
4.       Angin Puting Beliung: Bantul, Pleret, Pitungan, Sewon.
5.       Gempa Bumi: Seluruh Bantul.
6.       Gelombang Pasang & Badai Tropis: Kretek, Srandakan, Sanden.
7.       Tsunai: Kretek, Srandakan, Sanden.
Perubahan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD)
RPJMD Kabupaten Bantul tahun 2006—2010 direvisi dengan mengadopsi pokok-pokok pikiran reduksi risiko bencana.  Dalam perubahan RPJMD tersebut memuat kawasan-kawasan rawan bencana.  Terdapat pula penambahan misi: “mempercepat pemulihan kondisi sosial. Budaya, dan ekonomi melalui pembangunan ekonomi lokal berwawasan lingkungan yang tangguh paska gempa bumi 27 Mei 2006 serta mewujudkan ketahanan Pemerintah Daerah dan Masyarakat dalam menghadapi risiko bencana”.
Tanggap Bencana merupakan suatu proses perencanaan dan pembangunan di Kabupaten Bantul berbasis pada Pengurangan Risiko Bencana (PRB).  Maka dilakukan beberapa kegiatan PRB dengan tujuan:
1.       Meningkatkan ketahanan dan stabilitas harga pangan berbasis potensi sumberdaya lokal.
2.       Meningkatkan peran serta masyarakat dan swasta dalam mempercepat pembangunan dunia usaha, UMKM, dan Koperasi.
3.       Meningkatkan kapasitas pemerintah dalam penyelenggaraan pengurangan risiko dan penanggulangan bencana.
4.       Berkurangnya kerentanan dan meningkatkan kapasitas masyarakat dalam menghadapi bencana.
5.       Meningkatknya kerukunan masyarakat dan solidaritas sosial berbasis nilai-nilai budaya dan kearifan lokal.
6.       Meningkatnya kemitraan dengan berbagai pemangku kepentingan pembangunan.
7.       Terwujudnya keserasian pemanfaatan dan pengendalian ruang dalam suatu sistem wilayah pembangunan yang berkelanjutan.
8.       Terwujudnya pengelolaan lingkungan yang lestari.
Tindakan Awal Kabupaten Bantul:
Belajar dari Pengalaman (Tsunami Aceh, Desember 2004; Isu Badai Tropis di Pantai Selatan Yogyakarta, 2005; Gempa Bumi di Bantul, 2006; Tsunami di Pangandaran, 2006)  à  Masyarakat dan Pemkab Bantul serta Pemprov DIY tanggap dan melakukan tindakan-tindakan semampunya untuk mengembangkan peralatan peringatan dini  (sirine dan pengeras suara) + Masyarakat memperkuat tradisi lokal + Komunitas SAR menguatkan jaringan komunikasi.
Pembangunan Sistam Peringatan Dini Tsunami di Kabupaten Bantul
1.       Dipasangnya alat pengeras suara dan sirine.
2.       Dibangunnya jalur evakuasi.
3.       Penataan ulang lahan pantai.
4.       Kampanye penyadaran masyarakat.
5.       Gladi tsunami.
Kerjasama Pemkab Bantul dengan GTZ-IS GITEWS
1.       Kajian kondisi kesiapan daerah.
2.       Penyamaan pemahaman antara anggota Pokja.
3.       Kajian rerangka hukum untuk daerah percontohan di Jawa.
4.       Konsep rantai peringatan di daerah.
5.       Pengembangan teknologi peralatan komunikasi penerimaan dan penyebaran peringatan dini di daerah.
6.       Peta bahaya tsunami.
7.       Rencana evakuasi.
8.       Komunitas fasilitator.
9.       Kampanye peningkatan kesadaran.
10.   Jaring komunikasi – penguatan jaring komunikasi antar komunitas SAR dan lembaga lainnya.
Langkah-Langkah PRB yang sudah dilakukan:
1.       Memasang sirine (EWS) di sepanjang pesisir selatan.
2.       Pembuatan peta bahaya.
3.       Sosialisasi di tingkat komunitas.
4.       Sosialisasi di sekoiah.
5.       Memfasilitasi masyarakat menyusun SOP Desa, RT, dan Keluarga.
6.       Membentuk kelompok-kelompok PRB di masyarakat.
7.       Membuat peta jalur evakuasi bersama masyarakat.
8.       Memasang rambu-rambu petunjuk arah evakuasi.
9.       Menwujudkan RUPUSDALOPS.
10.   Membangun jaring komunikasi.
11.   Tsumani drill.
12.   Piket 24/7
13.   SOP PUSDALOPS
Lebih baik berbuat daripada tidak sama sekali dan jangan sekali-kali (1) melanggar prosedur; (2) merusak lingkungan; (3) mengingkari janji; (4) tidak meratapi yang telah tiada tetapi melihat yang selagi hidup; (5) Sang Maha Kuasa berbuat sekehendakNya apabila manusia sudah berpaling dariNya.  Selamatkan manusia dari musibah...!?!

Forum Pengurangan Risiko Bencana Gajihan, Kecamatan Wedi, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah
Latar Belakang
Idonesia adalah negeri bencana, karena 81% wilayahnya rawan bencana (gempa bumi, tanah longsor, angin puting beliung, banjir, kekeringan, dan lain sebagainya.  Masyarakat harus menumbuhkan kesadaran tentang pentingnya kesiapsiagaan bencana.  Gempa bumi Jogja pada 27 Mei 2006 mengakibatkan 90% rumah di Dukuh Gajihan rusak berat, selain mengakibatkan kepanikan warga.  Kecamatan Wedi merupakan daerah rawan bencana dengan tingkat keparahan dan korban setara dengan Ring III.  Kurangnya kesiapsiagaan terhadap gempa berpotensi menimbulkan berbagai masalah seperti konflik, lambatnya penanganan korban, dan lambannya evakuasi, dan berbagai permasalahan lainnya.
Berdirinya Forum PRB
FPRB berdiri pada 25 November 2007.  Visi: Menjadi organisasi sosial kemasyarakatan dalam bidang peredaman risiko bencana dan penganggulangan bencana.  Misi: Memberikan pelayanan sosial dalam memberikan pemahaman kebencanaan, pertolongan, dan penyelamatan korban bencana.  Tujuan FPRB adalah meningkatkan pemahaman masyarakat tentang kesiapsiagaan memghadapi bencana sehingga dapat mengurangi dampak negatif yang timbul akibat bencana.
Struktur Organisasi FPRB
Ketua + Sekretaris + Bendahara dibantu oleh Pokja PP + Pojka Kesehatan + Pokja Sosial + Pokja PU + Pokja Keamanan.
 Kegiatan yang Telah Dilakukan
1.       Pembuatan peta jalur evakuasi.
2.       Simulasi evakuasi bagi Murid SD.
3.       Kampanye DRR.
Kesiapsiagaan Masyarakat
1.       Penyusunan SOP – PRB.
2.       Pengorganisasian dan perencanaan emergency response.
3.       Pemutakhiran data risiko masyarakat rentan dan golongan darah.
4.       Mendorong tersedianya ambulans dusun.
5.       Membangun sistem peringatan dini (early warning system) dengan kentongan.
Upaya FPRB Membangun Hubungan dan Pembelajaran
1.       Berkolaborasi dengan kegiatan Desa Pandes sebagai Desa Siaga.
2.       Sosialisasi hidup sehat, aman, dan sejahtera melalui Posyandu, Polindes, dan Puskesmas.
3.       Sosialisasi DRR setiap bulan di pertemuan PKK.
Rencana dalam Proses
1.       Pembuatan radio komunitas.
2.       Pengolaan sampah organik.
3.       Pengolaan pupuk organik.
4.       Mitigasi bencana puting beliung.
5.       Persewaan tenda.
6.       Persewaan genset.
7.       Penyediaan hewan kurban, aqiqah, pupuk organik, pestisida hayati, dan susu kambing.
Manfaat Program
1.       Warg semakin memahami berbagai macam bencana di Indonesia.
2.       Tumbuhnya kesadaran mitigasi bencana di daerahnya.
3.       Terbangunnya kesadaran pengurangan risiko bencana di setiap keluarga.
4.       Terciptanya pola pikir kemandirian masyarakat dalam mengurangi dampak bencana.
Tantangan
1.       Masyarakat belum sepenuhnya menyadari akan pentingnya pengurangan risiko bencana berbasis masyarakat.
2.       Kurangnya motivator DRR di masing-masing wilayah.
3.       Penganggulangan bencana dipahami sebagai tanggung jawab pemerintah.
4.       Program pembangunan pemerintah tidak disinergikan dengan program DRR di wilayahnya.

Forum Pengurangan Risiko Bencana Desa Ngargomulyo Lereng Merapi
Latar Belakang
Wilayah Desa Ngargomulyo merupakan wilayah rawan bencana, masuk KRB – 3 atau kawasan paling rawan.  Siklus ancaman Gunung Merapi terjadi secara periodik (2—7 tahun).  Jarak sumber acnaman dengan desa hanya 7 kilometer.  Sedangkan pemahaman masyarakat terhadap risiko bencana masih rendah.
Mengapa Perlu Forum PRB
1.       Kondisi wilayah desa yang sering terancam oleh letusan Gunung Merapi.
2.       Pengetahuan dan ketrampilan masyarakat tentang risiko bencana masih rendah.
3.       Perlunya kelembagaan di tingkat desa yang bertanggung jawab dalam penanggulangan bencan.
4.       Penanganan saat terjadi bencana kurang terpadu dan kurang  terkoordinasi.
Visi, Misi, dan Tujuan PRB
 Forum PRB berdiri sejak Februari 2008.  Visi: Terwujudnya masyarakat Desa Ngargomulyo sadar, siap, dan tanggap akan ancaman letusan Gunung Merapi maupun bencana lainnya.  Misi: (1) meningatkan pengetahuan dan kapasitas anggota forum, masyarakat Desa Ngargomulyo dalam pengurangan risiko bencana; (2) mewujudkan masyarakat Desa Ngargomulyo yang siap siaga dan peduli terhadap ancaman letusan Gunung Merapi; (3) menjadikan Forum PRB sebagai saranan komunikasi dan penangan maupun pengurangan risiko bencana dari Gunung Merapi maupun bencana lain di Desa Ngargomulyo.  Tujuan: Adanya masyarakat Desa Ngargomulyo yang sadar, siap, dan tanggap an ancaman letusan Gunung Merapi dan bencana-bencana lainnya.
Kepengurusan Forum PRB Desa Ngargomulyo
Ketua Umum (Kades Ngargomulyo) + Ketua Pelaksana Harian + Sekretaris + Bendahara dibantu oleh Regu Deteksi Dini dan Pengumpulan Data + Regu Dapur Umum + Regu Tandu + Regu Evakuasi.
Pihak-Pihak yang Terlibat di Forum PRB
Pemerintah Desa Ngargomulyo + Linmas Desa + Tokoh masyarakat dan agama + Bidan Desa + Karang Taruna +PKK + Guru dan Murid Sekolah Dasar.
Koordinasi, Integrasi, dan Sinkronisasi Forum PRB dan Pemerintah Desa
1.       Pertemuan rutin setiap 1 bulan sekali.
2.       Peningkatan masyarakat dan Pemerintah Desa tentang PRB yang diintegrasikan dengan pertemuan-pertemuan RT, RW, dan Dusun.
3.       Pelatihan simulasi evakuasi dan pengenalan PRB bagi anak-anak sekolah
4.       Pelatihan simulasi evakuasi bersama Kesbanglinmas.
5.       Pelatihan PPGD/P3K.
6.       Pelatihan manajemen organisasi.
7.       Pelatihan manajemen keuangan dan pennggalian dana (fund raising).
8.       Pelatihan kewirausahaan
Mitigasi oleh Masyarakat
1.       Konservasi hutan untuk menahan laju awan panas, menyimpan air, mengurangi erosi.
2.       Mengadakan sistem peringatan dini seperti tanda bahaya merapi, alat komunikasi elektronik dan tradisional.
3.       Perbaikan jalur evakuasi secara swadaya maupun bersama pihak lain.
Kesiapsiagaan
1.       Perngorganisasian masyarakat tanggap Merapi melalui kelembagaan sosial di tingkat RT, RW, dan Dusun.
2.       Membuat media kampanye DRR seperti leaflet, panflet, media belajar untuk anak.
3.       Simulasi evakuasi dan P3K.
4.       Melakukan pemutakhiran data penduduk secara rutin.
5.       Membuat peta risiko bencana dan jalur evakuasi.
6.       Menyusun standar prosedur penanganan bencana.
Membangun Sistem Peringatan Dini
1.       Merancang standar prosedur operasi peringatan dini.
2.       Menyepakati tanda-tanda bahaya Merapi berdasarkan pengetahuan lokal dan teknologi.
3.       Mengadakan sarana komunikasi untuk peringatan terjadinya bencana seperti menara siar, pengeras suara, dan handy talky.
Mengembangkan Jaringan
1.       Kerjasama dengan Kesbanglinmas.
2.       Kerjasama dengan Palang Merah Indonesia.
3.       Kerjasama dengan Forum Merapi.
4.       Kerjasama dengan Dinas Pertanian.
5.       Kerjasama dengan Plan Internasional.
PRB Sebagai Bagian dari Pembangunan Desa Margomulyo
1.       Integrasi, sinkronisasi, dan sinergi upaya PRB dalam kegiatan pembangunan Desa.
2.       Disahkannya Peraturan Desa berkaitan dengan pengurangan risiko bencana dalam Perdes Tata Kelola Lingkungan.
3.       Mengalokasikan Dana Desa untuk pengurangan risiko bencana.
Praktik-Praktik Terbaik
1.       Adanya peningkatan pengetahuan dan ketrampilan masyarakat tentang PRB dengan menggabungkan kearifan lokal dengan teknologi yang ada.
2.       Dukungan dari pemerintah Desa sampai Kabupaten terhadap Program PRB.
3.       Forum PRB menjadi bagian dari kelembagaan tingkat desa dalam upaya PRB.
4.       Kerjasama dengan berbagai pemangku kepentingan dalam upaya PRB.
Rencana Ke Depan
1.       PRB menjadi bagian penting dalam kegiatan perencanaan pembangunan melalui Musrengbangdes dan pengalokasian Dana melalui ADD.
2.       Pengembangan Desa menjadi Desa Ekowisata sebagai upaya penggalangan dana untuk kegiatan PRB.
3.       Upaya pengembangan jaringan yang lebih luas.
4.       Penyusunan Protap Kebencanaan menjadi bagian penting untuk kesiapsiagaan.

Forum Pengurangan Risiko Bencana Pucung, Desa Wukirsari, Kecamatan Imogiri, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta
Gambaran Umum Desa Wukirsari
Desa Wukirsari, Kecamatan Imogiri memiliki luas 1.538,5505 ha yang berbatasan dengan Kecamatan Pleret dan Jetis di sebelah utara, Desa Girirejo Kecamatan Kecamatan Dlingo di sebelah barat dan Timur.  Kondisi geografis Desa Wukirsaridi ketinggian 50—300 MDPL dengan curah hujn 55 mm/tahun, sedangkan topografi adalah pegunungan dengan suhu rata-rata 27 derajat celcius.  Jarak desa dengan Ibukota Kecamatan kurang lebih 3 Km, sedangkan ke Ibukota Kabupaten Bantul berjarak 10 Km, sedangkan dengan Ibukota Provinsi berjarak kurang lebih 17 Km.  Peruntukan lahan di Desa Wukirsari: untuk sawah dan ladang 815,7415 ha, pemukiman 514,4775 ha, kuburan 10,001 ha, dan lain-lain 266,556 ha.  Jumlah penduduk 14.806 yang terdiri dari 7.288 laki-laki dan 7.518 perempuan dengan 3.509 kepala keluarga.  Penganut agama terbesar adalah Islam sejumlah 98%.
Latar Belakang
Refleksi dari Gempa Bumi Jogja 27 Mei 2006.  Masyarakat tidak siap menghadapi bencana sehingga banyak jatuh korban dan kebingungan dalam mencari bantuan.  Akibanya, penanganan tanggap darurat lambat, koordinasi kurang baik selama masa bencana.  Setelah bencana terjadi permasalah sosial seperti kesenjangan sosial dan ketidakstabilan ekonomi.
Potensi Ancaman Bencana
Selain Gempa Bumi (berada di dekat cincin gempa), Desa Wukirsari juga sering dilanda banjir di Daerah Aliran Sungai, kekeringan di setiap kemarau, longsor di perbukitan, angin puting beliung, dan kesenjangan sumberdaya manusia.
Aksi yang Dilakukan
1.       Pembentukan Forum
Dibentuk pada Oktober 2007 dengan anggota 35 orang (26 laki-laki dan 9 perempuan).  Target atau sasaran adalah 4 Dukuh: (1) Dengkeng: 288 KK; (2) Karang Talun: 412 KK; (3) Karang Asem: 324 KK; (4) Jatirejo:  464 KK.
2.       Pendataan Risiko, Ancaman, Kerentanan, dan Kekuatan
(1)    Mapping atau pemetaan risiko bencana; (2) Transect atau penelusuran kawasan; (3) Trend atau bagan kecenderungan; (4) Diagram Venn; (5) Sketsa usaha; (6) kegiatan rutin atau aktivitas harian masyarakat; (7) peringkat pilihan; (8) peta mobilitas; (9) matriks langsung; (10) diagram alir.
3.       Menyusun Peta Risiko Bencana
4.       Transek
5.       Sosialisasi, Koordinasi, dan Evaluasi
6.       Peningkatan Kapasitas SDM
Pelatihan-pelatihan: (1) teknis operasional; (2) manajemen organisasi; (3) manajemen keuangan; (4) ekonomi rumah tangga dan wirausaha kecil.  Konsultasi teknis dengan: (1) water plan UGM; (2) PUPUK Caritas Swiss; (3) Saker PKPAM DIY; (4) Cipta Karya Bantul; (5) PT WIKA.
Upaya Mitigasi Bencana
Inisiatif masyarakat yang didukung oleh para pemangku kepentingan.
1.       Longsor: reboisasi, penbangketan, dan terasiring.
2.       Banjir: kawat bronjong, pembersihan aluran air dan selokan.
3.       Gempa Bumi: kontruksi bangunan tahan gempa, jalur evakuasi, pelatihan sistem evakuasi dan P3K.
Prioritas Aksi
Setelah diadakan pemetaan dan evaluasi koordinasi, diputuskan bahwa yang paling awal harus diatasi adalah ancaman kekeringan.  Wukirsari memiliki sumber air dan telah dibangun jaringan air bersih oleh pemerintah pada tahun 2003.  Tetapi, karena pengelolaan yang kurang baik dan gempa tahun 2006, sumber air tidak terawat dan kerusakan yang parah.  Sehingga, diputuskan untuk revitalisasi sumber air.
Mitigasi Kekeringan
Mengapa kekeringan dijadikan prioritas utama? Karena (1) kekeringan melanda setiap tahun; (2) ada sumber air dengan debit  yang memadai; (3) ada alat berupa pompa dan perlengkapan distribusi dengan teknologi yang cukup canggih; (4) adanya dukungan dari warga, pemerintah, maupun swasta.  Langkah-langkah mitigasi yang dilakukan adalah sebagai berikut:
1.       Sumberdaya
(1)    Sumber mata air dengan debit 20 liter perdetik;
(2)    Tersedianya genset, pompa booster & resevoir;
(3)    Adanya sistem transmisi dan distribusi;
(4)    Adanya bak booster dengan kapasitas 20 meter kubik;
(5)    Adanya bak reservoir induk dengan kapasitas 100 meter kubik;
(6)    Adanya  20 hidran umum dengan kapasitas 3 meter kubik;
(7)    Jaringan perpipaan untuk sebagian Dukuh Dengkeng, Karang Talun, Karang Asem, dan Jatirejo, serta Nogosari sepanjang 12.800 meter;
(8)    Jaringan pemakai atau pemanfaat sebanyakn 611 KK dengan masing-masing water meter.
2.       Dasar Pengelolaan
(1)    Surat dari Dinas Pemukiman dan Prasarana Wilayah Dirjen Sumber Daya Air – Proyek PPAB DIY Nomer 3.91.PAB/180.A tanggal 27 Juli 2004 tentang Penyerahan Pengelolaan Fasilitas Sumur dan Jaringan Sumber Air Bersih Pedesaan Wukirsari.
(2)    Surat Keputusan Desa Wukirsari Nomor 1/KPTS/2008 jo Perdes Nomor 06/Perdes/Wks/2008 tentang Penunjukkan Pengelola Air Bersih Wilayah Pucung Desa Wukirsari.
(3)    Surat Penyerahan Pengelolaan Sipas Karang Talun Nomor 530/TAM/DIY.12.08 tanggal 27 Desember 2007.
3.       Langkah-Langkah yang Dilakukan
(1)    Inventarisasi aset berupa sistem pompa, bak reservoir, pemipaan, dan aksesoris.
(2)    Identifikasi kerusakan.
(3)    Uji coba.
(4)    Perencanaan pengelolaan atau manajemen.
(5)    Legal formal.
(6)    Perencanaan dan pelaksanaan perbaikan.
(7)    Penggalangan jaringan.
(8)    Sosialisasi.
4.       Pengelolaan
(1)    Pengeloaan air bersih di Pucung adalah dengan sistem pompa ke bak reservoir kemudian didistribusikan dengan gaya gravitasi.
(2)    Masyarakat berkontribusi dalam membayar biaya pasang baru, iuran bulanan, dan pemakaian.
(3)    Masyarakat ikut merawat dan mengawasi aset dan peralatan.
5.       Upaya Perbaikan Secara Swadaya
(1)    Pembenahan jaringan sambung ke Karang Talun, Jatirejo, Dengkeng, dan Karang Asem.
(2)    Penggabungan pompa listrik dan genset.
(3)    Pembuatan data base pelanggan yang mutakhir.
(4)    Perancangan sistem administrasi yang akuntabel.
(5)    Penggalangan bantuan dari pemangku kepentingan.
(6)    Pemeriksaan instalasi sambung rumah tangga dan fasilitas umum.
(7)    Penambahan jaringan di Karang Talun.
(8)    Penurunan tarif perkubik.
(9)    Penentuan biaya beban.
(10)Perbaikan mesin genset.
(11)Perbaikan jaringan induk dan sekunder.
(12)Pengadaan alat komunikasi antar pengelola.
6.       Perbaikan oleh Pemangku Kepentingan
(1)    Penambahan sistem penyediaan air bersih sederhana oleh Disperindagkop DIY.
(2)    Perluasan jaringan oleh CWS Indonesia.
(3)    Perbaikan genset dan saluran induk oleh PPAB DIY.
(4)    Perluasan jaringan oleh Sakter PKPAM DIY.
(5)    Perbaikan jaringan oleh CORDAID/Bina Swadaya.
(6)    Pemetaan jaringan dan gambar teknis pengembangan oleh Water Plan UGM.
(7)    Bimbingan teknis oleh Caritas Swiss.
(8)    Perluasan jaringan oleh Cipta Karya Kabupaten Bantul.
Peran FPRB dalam Meningkatkan Kapasitas Masyarakat
Pemahaman untuk masyarakat tentang PRB atau Sistem DRR dengan bahasa yang mudah dan dikenal masyarakat.  Sosialisasi dan pelatihan evakuasi bagi anak sekolah.
1.       Advokasi Pemerintah Desa
PRB menjadi bagian dari pembangunan desa yang ditetapkan melalui Perdes Nomor 06/PD/WKS/2009 tentang Penanggulangan Bencana.  Ditetapkan pada tanggal 30 Maret 2009.
2.       Aksi-Aksi yang Lain
(1)    Sosialisasi PRB tingkat RT se-Desa Wukirsari bersama CBO-CWS Indonesia.
(2)    Kontributor perencanaan dan ujicoba Tools PASTI atau alat pengukur kesiapsiagaan masyarakat terhadap bencana bersama HFI-Unesco-MDMC-ISDR.
(3)    Monitoring dan evaluasi TAGANA bersama dengan Dirjen Litbang Depsos RI.
(4)    Dropping air bersih bersama TAGANA, Dinsos, dan Cipta Karya DIY.
(5)    Perumusan CSP Desa Wukirsari bersama IRF-Rekompak.
(6)    Perencanaan, penyusunan, dan pengesahan Perdes PB Desa Wukirsari.
(7)    Studi banding SKS dan YPK Nagro Aceh Darussalam.
(8)    Studi banding Lembaga Alam Tropika Indonesia (LATIN) Bogor.
(9)    Kontribusi penyusunan Modul Pembinaan Air Minum Non PDAM oleh Dirjen BPPSPAM DepPU RI.
(10)Peserta studi banding GTZ tentang pengelolaan dan penanggulangan bencana tsunami di Kabupaten Bantul, Kebumen, dan Cilacap.
Membangun Kerjasama dan Pembelajaran
Bekerjasama dengan para pemangku kepentingan baik Pemerintah Daerah Kabupaten Bantul, Pemerintah Provinsi DIY, Kementerian RI, Perguruan Tinggi, Lembaga Lokal, Lembaga Internasional, dan Badan di bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Manfaat FPRB
1.       Meningkatnya kemampuan mengelola keuangan PAB dan analisis arus kas.
2.       Adanya pendelegasian tugas dan wewenang.
3.       Anak-anak faham dan siapsiaga.
4.       Meingkatnya pengetahuan dan ketrampilan.
5.       Tersedianya tenaga-tenaga kader.
6.       Adanya keberlanjutan di tingkat CBO Desa wukirsari.
7.       Meningatknya Kahlian teknis fasilitasi peserta.
8.       Meningkatnya kemampuan penggalangan dana dan membangun jaringan.
9.       Meningkatnya pengetahuan tentang kalkulasi usaha, peternakan, dan tambahan penghasilan.
10.   Meningkatnya pengetahuan pengenalan alat-alat standar, sistem operasi, cara perawatan, penanganan darurat, teknik alternatif untuk Pengelolaan Air Bersih.
11.   Mengingkatnya kemampuan menghitung dan mengukur teknis pengembangan jaringan air bersih dan kekuatan pipa.
Tantangan FPRB
1.        Konsep yang berbeda-beda dari beberapa narasumber terkadang menjadikan peserta binggung.
2.       Kurang menjangkau secara luas karena peserta pelatihan hanya perwakilan.
3.       Belum bisa mempraktekkan secara maksimal hasil pelatihan.
4.       Pelatihan untuk anak-anak dilakukan secara masal sehingga kurang konsentrasi.
5.       Waktu pelaksanaan pelatihan P3K dan evaluasi terlalu banyak teori dan kurang praktek.
6.       Pelibatan sumberdaya manusia yang tepat dan memiliki waktu.
7.       Peserta condong ke arah masalah komunitas (kekeringan) saja.
Rencana Ke Depan FPRB
1.       Melakukan sosialisasi melalui Radio Komunitas, media poster, dan dari rumah ke rumah.
2.       Simulasi evakuasi.
3.       Sistem peringatan dini dan koordinasi dengan Kesbanglinmas.
4.       Melakukan usaha bersama untuk penggalangan dana.
5.       Dokumentasi kegiatan dan pengelolaan administrasi.
6.       Melakukan study untuk manajemen forum yang bergerak di wilayah dengan ancaman gempa bumi dan kekeringan.
7.       Menyusun dan memaksimalkan kesiapsiagaan bencana (SOP FPRB).
8.       Adanya pelatihan bagi anak-anak, menyiapkan fasilitator anak-anak, dan teman sebaya unntuk mendorong anak-anak melakukan sosialisasi di keluarga dan teman.
9.       Mulok PAUD, mengaitkan lingkungan bersih dan pola hidup sehat sebagai PRB.
10.   Mengefektifikan peserta pelatihan untuk melakukan sosialisasi PRB.
11.   Mengintegrasikan PRB dengan program desa.
12.   Menumbuhkan sektor agribisnis.
13.   PRB menambah pengetahuan dan peralatan, pelatihan teknis, memperluas jaringan, dan mendapat alternatif energi alternatif.

Warta Disaster Risk Reduction CORDAID – Bina Swadaya
Partisipasi Masyarakat Mewujudkan Ketahanan Bencana
Usai bencana gempa bumi yang disusul dengan tsunami Aceh 2005, silih berganti kita disadarkan oleh berbagai bencana alam.  Seperti Gempa Nias, Jogjakarta, Papua, Tasikmalaya, dan Padang yang meninggalkan dampak kerusakan yang parah dan bahkan kematian yang sangat besar.  Oleh karena itu, selian kegiatan tanggap darurat, rehabilitasi, dan rekonstruksi, upaya Pengurangan Risiko Bencana (PRB) menjadi hal penting yang harus dilakukan untuk meminimalisir dampak bencana.
Partisipasi untuk Meningkatkan Keberdayaan Masyarakat
Peristiwa gempa bumi yang melanda Yogyakarta dan Jawa Tengah pada bulan mei 2006 telah membuka kesadaran Bina Swadaya, bahwa selama ini pendampingan masyarakat berfokus pada peningkatan kualitas hidup dan peningkatan pendapatan telah mengabaikan faktor risiko bencana.  Kemandirian kelompok masyarakat secara sosial dan ekonomi yang telah dicapai menjadi luluh lantak karena masyarakat tidak siap menghadapi dampak bencana.
Bina Swadaya dan Cordaid bekerja bersama masyarakat melaksanakan program Pengurangan Risiko bencana Berbasis masyarakat (Community Managed Disaster Rsik Redusction) di Dusun Pucung Kabupaten Bantul Yogyakarta, Dusun Gajihan Kabupaten Klaten Jawa Tengah, dan Desa Ngargomulyo Kabupaten Magelang Jawa Tengah.  Ancaman bencana yang dihadapi Dusun Pucung adalah kekeringan dan gempa bumi, Dusun Gajihan adalah gempa bumi, dan Desa Ngargomulyo adalah erupsi Gunung Merapi.
Pengurangan Risiko Bencana Berbasis Masyarakat (PRBBM) dimaknai sebagai suatu proses pemberdayaan komunitas melalui pengalaman menghadapi dan mengatasi bencana yang bertumpu pada kegiatan partisipatif.  Kegiatan partisipatif yang dimaksud adalah melakukan kajian, membuat perencanaan, mengorganisir masyarakat untuk memberuk Forum PRB yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan untuk menanggulangi bencana sebelum, saat, dan sesudah terjadi bencana.
Sasaran Progam PRB adalah perubahan pola pikir dan ketahanan masyarakat terhadap bencana. Fokus utama partisipasi masayrakat adalah menumbuhkan, membangkitkan jiwa atau semangat masyarakat bahwa mereka memiliki kemampuan atau kapasitas dalam menanggulangi dan mengurangi risiko bencana.
Kapasitas tersebut ditunjukkan dengan melakukan identifikasi dan analis risiko bencana hingga menghasilkan suatu rencana aksi masyarakat.  Berdasarkan rencana aksi tersebut, masyarakat melaksanakan kegiatan pendidikan kebencanaan dan pembelajaran sosial yang berkesinambungan, mitigasi bencana, kesiapsiagaan, membangun sistem peringatan dini, belajar, dan bekerjasama dengan berbagai pemangku kepentingan untuk mencari solusi pemecahan masalah. Selanjutnya, melakukan advokasi kepada pemerintah untuk mendorong perubahan institusi lokal dan kebijakan publik yang memengaruhi kehidupan mereka.  Serta mengintegrasikan kegiatan peningkatan mata pencarian (livelihood) yang tidak hanya memberi manfaat ekonomi tetapi juga menjaga kelestarian lingkungan.
Forum PRB Sebagai Agen Perubahan
Berangkat dari keterbatasan yang dimiliki masyarakat terdampak bencana, maka pendampingan pemberdayaan tidak menyeret masyarakat dalam ketergantungan yang akan melestarikan keterpurukan.  Strategi yang paling relevan adlah membentuk wahana dairi – oleh – untuk masyarakat, wahana yang memberi kesempatan untuk saling membantu dan berkembang tanpa menutup kemungkinan keterlibatan pihak luar.   Dalam program PRB, wahana tersebut adalah Forum PRB.  FPRB merupakan agen utama penggerak kegiatan PRB di setiap dusun dan desa.  Penggurus dan anggota FPRB adalah individu-individu yang memiliki kepedulian dan memilii berbagai peran di desanya.  Baik tokoh masyarakat, tokoh agaman, tokoh pemuda, pendidik, petugas lapangan, bidan, anggota PKK, pedagang, pengrajin, aparat pemerintah desa, dan berbagai peran lainnya.
Saat ini FPRB bersama masyarakat dan para pemangku kepentingan mulai menampakkan perubahan dengan capaian-capaian signifikan.  Pemahaman masyarakat terhadap PRB di lokasi dampingan nampak meningkat.  Capaian ini dicapai dengan proses sosialisasi dan pelatihan yang terus menerus hingga akhirnya masyarakat mulai dapat melihat potensi dan kapasitas yang dimililiknya dan siap mengurangi risiko bencana.  Anggota FPRB dan pendamping juga mendorong partisipasi masyarakat dalam kegiatan FPRB baik dalam bentuk tenaga maupun dana untuk menciptakan rasa memiliki.  Selanjutnya, diharapkan masyarakat dapat mengembangkan program PRB sebagai inisiatif sendiri dan swadaya.
Sebagai contoh, FPRB Dusun Pucung Kabupaten Bantul telah dapay mengupayakan perbaikan dan pembangunan jaringan air bersih secara mandiri.  Dengan bantuan dari Cordaid, FPRB berinisiatif melakukan pengerasan jalan antar dusun untuk jalur evakuasi.  FPRB telah juga dapat mengajak dinsa-dinas di Kabupaten Bantul dan Provinsi DIY serta lembaga-lembaga lain dan masyarakat untuk berpartisipasi dalam bentuk pengetahuan, materi, dan tenaga.  Demikian pula dalam pembangunan infrastruktur, pendanaan dari Pemerintah dan Lembaga sedangkan pengerjaan oleh masyarakat sendiri, termasuk perawatan yang dilakukan secara mandiri.
Sementara itu, FPRB Desa Ngargomulyo Kabupaten Magelang secara teratur melakukan koordinasi dengan Pemerintah Desa untuk menyampaikan perkembangan terbaru PRB dan kegiatan FPRB.  Sebagai hasilnya, Pemerintah Desa telah menjadikan FPRB sebagai mitra kerja dalam perencanaan pembangunan desa yang berbasis PRB serta sinergitas dengan berbgai lembaga desa untuk menggelorakan isu PRB.
Ketika terjadi gempa bumi pada Mei 2006, banyak warga Dusun Gajihan Kabupaten Klaten yang tidak tahu mengenai jalur evakuasi, titik kumpul, dan tempat pengungsian.  Para pengungsi memanfaatkan lapangan olahraga untuk tempat pengungsian, tetapi tanpa fasilitas yang memadai.  Sebagai akibatnya, banyak pengungsi yang menderita sakit.  Belajar dari pengalaman tersebut, FPRB bersama Pemerintah Desa merancang jalur evakuasi dan memasang rambu jalur evakuasi di semblian lokasi.  Jalur dan rambu evakuasi bukan hanya mengarahkan warga ke pos pengungsian tetapi juga ke pos pengobatan terdekat.  Terdapat tiga pos pengobatan yang ditentukan sebagai pos pertolongan pertama.  Lokasi pengungsian disiapkan di lapangan olah raga dan dekat dengan sumber-sumber air.  Bermodalkan dana stimulan, FPRB membeli tenda untuk pengungsian dan alat komunikasi.  Masyarakat telah faham tentang kesiapsiagaan bencana dan berkomitmen untuk merawat fasilitas yang ada secara swadaya dan gotong royong.
Kemandirian
Dengan terlibat aktif di FPRB, masyarakat semakin menyadari ancaman bencana di daerahnya.  Di sisi lain, tumbuh kesadaran untuk menemukan jawaban mengatasi ancaman tersebut berdasarkan kemampuan dan potensi yang dimiliki.  Jawaban tersebut kemudian diwujudkan secara nyata, sehingga tumbuh kekuatan dan kemandirian dalam menghadapi bencana.  Proses menuju kemandirian juga dalam hal manajemen.  FPRB telah memiliki kemampuan otonom untuk mengembangkan diri dan mengelola kegiatan baik di tingkat dusun maupun desa.  Kemandirian ekonomi juga mulai diperoleh dengan berbagai kegiatan produktif untuk memenuhi kebutuhan dasar, cadangan, dan mekanisme bertahan hidup di masa krisis.  
Perjalanan Pembuatan Perdes Pengurangan Risiko Bencana: Ayat-Ayat Penangulangan Bencana
Mengacu pada Rerangka Aksi Hyogo, Indonesia sebagai bagian dari masyarakat dunia telah berkomitmen untuk melaksanakan pengurangan risiko bencana.  Tindakan nyata itu diwujudkan dengan mengesahkan Undang-Undang Nomor 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana.  Undang-Undang yang menjadi landasan dan sistem hukum nasional dalam penanggulangan bencana di Indonesia dan untuk penyusunan dan penetapan peraturan di bawahnya.
Hal ini memberi inspirasi bagi FPRB dalam mendorong pembuatan kebijakan publik di tingkat desa.  FPRB melakukan lobi dan advokasi agar Pemerintah Desa merancang dan mengesahkan Peraturan Desa (Perdes) tentang PRB yang memunyai dampak bagi masyarakat luas. Perdes adalah peraturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh Kepala Desa (Kades) bersama dengan Bapan Permusyawaratan Desa (BPD).  Masyarakat berhak dan bahkan wajib untuk memberikan masukan lisan maupun tertulis saat penyiapan atau perancangan Perdes.  Oleh karena itu, isi Perdes ditentukan oleh keinginan dan partisipasi masyarakat.  Perdes ditetapkan berdasarkan musyarawarah.
Secara umum, pembuatan Perdes harus memenuhi 3 syarat, filosofis, sosiologis, dan hukum.  Syarat filosofis berkaitan dengan norma yang ada di masyarakat.  Syarat sosiologis berkaitan dengan kebutuhan masyarakat.  Syarat hukum berkiatan dengan peraturan di atasnya.  Berikut jalan cerita penyusunan Perdes di Desa Wukirsari, Kecamatan Imogiri, Kabupaten Bantul, provinsi DIY dan Desa Margomulyo, Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang, Provinsi Jawa Tengah.
Berawal dari kekeringan
FPRB Pucung – Wukirsari, khususnya Divisi Kekeringan sejak awal menyadari kebutuhan adanya Peraturan Desa terkait dengan pengadaan  air bersih.  FPRB menita dukungan Pemerintah Desa dan ditanggapi baik dengan mengeluarkan Surat Keputusan yang menyatakan bahwa kegiatan Divisi Kekeringan FPRB dilakukan dengan sepengatahuan desa dan untuk membantu Pemerintah Desa dalam mengatasi kekeringan.
Di sisi lain, dalam menjalankan fungsi dan perannya yang lebih luas, FPRB membutuhkan legalitas dari Pemerintah  Desa sebagai payung hukum untukmelaksanakan kegiatan yang telah direncanakan.  Bentuk legalitas yang diperlukan adalah Peraturan Desa (Perdes) tentang Penanggulangan Bencana.
Untuk mencapai disahkannya Perdes tersebut, harus melewati bebrapa tahapan proses. Tahap pertama, diseminasi pemahama mengenai Pengurangan Risiko Bencana (PRB).  Tahap kedua, penyusunan draft Perdes.  Tahap ketiga, pembahasan draft untuk menjadi rancangan Perdes.  Tahap keempat, pembahasan serta pengesahan rancangan Perdes menjadi Perdes. Keseluruhan proses memakan waktu lima bulan.
Selama dua bulan pertama dipergunakan untuk proses diseminasi baik kepada Pemerintah Desa maupun masyarakat.  Diseminasi dilakukan baik secara formal maupun informal.  Secara informasl dilakukan dengan curah pendapat dan diskusi dengan masyarakat, tokoh masyarakat, dan Pemerintah Desa di forum-forum informal.  Meskipun informal, tetapi tidak semudah yang dibayangkan.  Diperlukan usaha-usaha yang terus menerus, tak kenal lelah, dan kesabaran tingkat tinggi.  Apalagi tidak mudah untuk mencari waktu dan topik yang sesuai untuk membicarakan isu PRB.  Begitu pula dengan pada pertemuan-pertemuan formal.  Pembahasan pembuatan Perdes terhambat dan dikesampingkan karena ada hal-hal lain yang dianggap lebih penting.
Setalah proses diseminasi, Pengurus FPRB telah mendapat banyak informasi yang mendukung perancangan Perdes.  Seperti informasi tentang keinginan masyarakat dan Pemerintah Desa, wujud nyatanya, tanggung jawab dan kewenangan masing-masing pihak, dan berbagai hal lain.  Berbagai informasi tersebut dijadikan dasar penyusunan naskah akademik dan konsep Perdes PB.  Selanjutnya, pendamping menawarkan dan  mendiskusikan naskah dan konsep dengan Pengurus FPRB, kemudian diajukan ke Pemerintah Desa dan BPD untuk dikaji.  Tujuan kajian untuk memastikan terpenuhinya kebutuhan semua pihak.  Sehingga, dalam pelaksanaannya dapat memberikan manfaat pada masyarakat luas.
FPRB, Pemerintah Desa, BPD secara terpisah mengaji konsep Perdes, kemudian mendiskusikannya secara pleno.  Hasil diskusi pleno menjadi acuan pembuatan draft awal Perdes.  Diperlukan waktu dua minggu untuk membuat draft.  Selanjutnya, draft dikaji kembali oleh masing-masing pihak terkait, lalu diplenokan untuk memperoleh kesepakatan tentang rancangan Perdes.  Raperdes kemudian diberikan kepada semua pihak yang terlibat untuk dipelajari, dipahami, dan dikoreksi secara menyeluruh.  Raperdes yang terdiri dari 13 bab, 73 Pasal, dan 92 Ayat dan setiap kalimat dan kata dibahas secara detail oleh seluruh pihak terkait.  Proses yang membutuhkan waktu dua bulan.
Tiba saatnya pembahasan Raperdes secara pleno.  Pembahasan dilakukan pada hari Senin, 30 Maret 2009 di Kantor Desa Wukirsari dan dihadiri oleh 17 orang anggota BPD, 6 orang Pemerintah Desa, 2 orang dari FPRB dan 2 orang pendamping dari Bina Swadaya.  Ketua BPD memimpin pembahasan, satu persatu Bab, Pasal, dan Ayat dibahas sehingga disepakati adanya beberapa perubahan.  Setelah hasil revisi dibacakan ulang oleh notulis, Kepala Desa menyatakan bahwa Raperdes dapat disahkan dan dipergunakan sebagai acuan dalam kegiatan PRB dan koordinasinya.  Ketua BPD mendukung dan menyetujui Raperdes untuk disahkan dan diberlakukan.  Perarutan Desa Wukirsari Nomor 06/PD/WKS/2009 tentang Penanggulangan Bencana disahkan dan ditandatangi pada pukul 15.40.
Dengan disahkan dan terbitnya Perdes Wukirsari tentang Penganggulangan Bencana, FPRB Pucung telah berperan dengan optimal serta dapat melaksanakan kegiatannya dengan lebih peraya diri.  Disampin itu, kerja FPRB dengan Pemerintah Desa Wukirsari dapat terkoordinir dengan lebih baik untuk pengurangan risiko bencana demi kepentingan masyarakat.
Mengelolah Lingkungan Mencegah Ancaman Bencana
Ketika Bapak Yatin menjabat sebagai Kepala Desa pada tahun 2007, beliau membentuk tim yang tujuannya untuk menggali gagasan dan masukan dari masyarakat untuk pembangunan desa ke depan.  Tim tersebut terdiri dari tokoh masyarakat, tokoh agama, BPD, unsur pemerintah, dan masyarakat.  Dari tim tersebut  diperoleh berbagai gagasan dan persoalan desa mulai dari tingkat RT, RW, Dusun, hingga Desa.
Salah satu gagasan yang muncul dari masyarkat adalah masalah kelestarian alam dan lingkungan yang tidak terjaga dan mengancam kehidupan masyarakat karena akan berpotensi menjadi bencana.  Masyarakat sangat menyadari penanggulangan bencana erat kaitannya dengan keberadaan dan kelestarian sumberdaya alam dan lingkungan hidup seperti hutan, air, bebatuan, pasir, dan berbagai elemen alam lainnya.  Berbagai gagasan dan masalah yang lain dibahas dan didiskusikan untuk disusun skala prioritas untuk selanjutnya disusunkan Peraturan Desa, diawali dengan Raperdes tentunya.
Raperdes yang telah disusun disampaikan dan dikonsultasikan dengan Pemerintah Kabutapen Magelang untuk dikaji lebih lanjut dan mendapatkan persetujuan.  Berdasarkan hasil kajian dari Pemerintah Kabupaten Magelang, salah satu Raperdes yang dapat dilanjutkan adalah Raperdes Tata Kelola Lingkungan.  Raperdes tersebut kemudian disosialisasikan ke FPRB dan masyarakat untuk dipertajam hingga Raperdes sarat dengan muatan PRB.
Selanjutnya, Raperdes yang telah direvisi dikirimkan kembali ke Pemerintah Kabupaten Magelang untuk dikaji kelayakan yuridisnya baik secara hukum, lingkungan hidup, pertambangan, dan sumberdaya alamnya.  Setelah dikaji, Raperdes tersebut dikembalikan ke Desa untuk disosialisasikan dan setelahnya dilakukan pengesahan oleh Kepala Desa.
Walaupun telah disosialisasikan beruangkali, tetap saja ada kontroversi dan ketidaksetujuan dari beberapa pihak.  Proses dan dinamika yang biasa, karena kekurangan pahaman yang akan dijelaskan lebih lanjut dalam Petunjuk Pelaksanaan (Juklak) dan Petunjuk Teknis (Juknis).  Tujuan Perdes adalah untuk mengelola lingkungan hidup dan kelestarian alam demi kesejahteraan masyarakat yang lestari dan mengurangi risiko bencana harus terus disosialisasikan dan digelorakan.




REFERENSI
Forum Pengurangan Risiko Bencana Desa Ngargomulyo. 2009. Pembelajaran Baik (Lesson Learn).
Forum Pengurangan Risiko Bencana Dukuh Gajihan, Kecamatan Wedi, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah. 2009. Pembelajaran Baik (Lesson Learn).
Forum Pengurangan Risiko Bencana Pucung, Desa Wukirsari, Kecamatan Imogiri, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. 2009. Refleksi Mengenai Berbagai Kesuksesan, Tantangan, Pembelajaran, dan Kesempatan dalam Program PRBOM.
Kesbangpollinmas Kabupaten Bantul. 2009.  Upaya Kabupaten Bantul Dalam Program Pengurangan Risiko Bencana Gempa dan Tsunami.
Masyarakat Peduli Bencana Indonesia. 2008. Pedoman PRBBK, SCDRR, dan CBDRMNU. 
Paripurno, E.T. 2006.  Pengelolaan Risiko Bencana oleh Komunitas. PSMB UPN Veteran Yogyakarta.  
Paripurno, E.T. 2008.  Laporan Baseline Study Pengelolaan Risiko Bencana Berbasis Komunitas (PRBBK) pada 4 Kabupaten.
Paripurno, E.T. 2009. Community Based Disaster Risk Management (CBDRM) untuk Semua.
Warta DRR Cordaid – Bina Swadaya. Edisi 02/3 – 2009.