Jumat, 29 Juli 2016

THE IMPLEMENTATION SERVICE LEARNING CHALLENGES AND SOLUTION



Pengantar
Sebagai pembuka adalah sambutan Rektor Universitas Kristen Petra (UKP), Hanny Tumbeleka, Ph.D. yang menjelaskan bahwa Service Learning (SL) telah diterapkan di UKP sejak tahun 2006.  SL adalah mengajar atau mengabdi pada masyarakat sembari belajar dari masyarakat.  Pada tahun 2010 telah dilakukan institusionalisasi, SL menjadi syarat untuk kelulusan (yudisium).  Selain itu juga membangun jejaring kerja (networking) dengan Universitas Kristen dan Katolik se Indonesia.  Pertemuan dan lokakarya kali ini dilaksanakan untuk berbagi (sharing) untuk melengkapi satu dengan yang lain.  Dengan motto “light the world, glory to the Lord”.

Sharing International Service Learning
Sesi berbagi kali ini dimoderatori oleh Herry C. Palit dari UKP dengan para penyaji Wijayanto dari Unika Soegijapranata Semarang, Paulus Bawole dari Universitas Kristen Duta Wacana Jogjakarta, Yohanes B, Cahyono dari Universitas Kristen Petra Surabaya, dan dari Universitas Katolik Sanata Darma Jogjakarta.
Paparan pertama yang disampaikan oleh Wijayayanto (Unika Soegijapranata) bertajuk “Fluorising Environmental Action Through SL Approch: The Case of Carbon Foot Print Solidarity”.  Merupakan proyek SL yang dalam proses institusionalisasi (akan menjadi Kuliah Kerja Nyata) dengan tujuan untuk mengadaptasi masalah perubahan iklim (climate change) dengan menggunakan carbon calculator sebagai bagian dari solidaritas aksi lingkungan (environmental action solidarity).  Aksi solidaritas yang bertujuan untuk: (1) internalizing water literacy to junior high school students through participatory film making; (2) communal sanitation facility at kricak kidul, sleman, jogja.  Carbon footprint solidarity, sosialisasi efek gas rumah kaca.  Premise: potential transforms in climate change.  SL is teaching, learning, and reflectingmethod by experiential educatin.  Integrasi modul pembelajaran dengan live in untuk (1) memperkaya pemeblajaran; (2) tanggung jawab pembelajaran; (3) penguatan komitmen pembelajaran; (4) penguatan komunitas.  Lokasi live in: di komunitas dan dibandingkan dengan di rumah sendiri, metoda belajar dan membandingkan.  Belajar dan refleksi untuk (1) transformasi gaya hidup dan (2) pemberdayaan komunitas.  Komponen kunci dalam SL: (1) student voice, terlibat aktif untuk mendisain, mengimplementasi, dan mengevaluasi pembelajaran dan pelayanan.  Menumbuhkan minat jangka panjang, sebagai contoh: air jerang emisi karbonnya rendah ketimbang air kemasan (produksi, pembotolan, dan transportasi).  Setiap aktivitas (makan dan minum) dihitung emisi karbonnya dengan carbon calcualtor; (2) Refleksi, menulis aktivitas dan merefleksikannya untuk penyadaran terhadap gaya hidup masing-masing mahasiswa.  Desain aktivitasnya adalah sebagai berikut:
Modul oleh Dosen
Riset dan Lokakarya
Desain dan Modul Diseminasi
·    Mencari sumber referensi
·    Modifikasi modul
·    Solusi Komunitas

·    Modul awal
·    Live in (partisipatory)
·    Refleksi
·    Lokakarya (lokal dan nasional)

·         Publikasi
·         Disain Modul akhir
  
Modul yang telah disusun: Carbon calculator & carbon footprint, carbon solidarity, observasi partisipatoris, refleksi dan praktik, komparasi dan pembelajaran.  Student voice: riset lapang partisipatoris, carbon footprint analysis, laporan perbandingan dan kontras, modul turunan sesuai dengan temuan lokal.  Pembelajarannya adalah untuk (1) memperkaya pembelajaran melalui pengakuan; (2) mengembangkan kalkulator karbon; (3) meningkatkan solidaritas partisipan; (4)catatan:  tidak melupakan kebutuhan dasar komunitas.  Sebagai catatan, alat analisis (instrumen) dikembangkan melalui diskusi guna perkembangan pengetahuan dan solidaritas serta pengembangan instrumen yang lebih efektif.  Metoda perkuliahan kelas dan live in.
Pemaparan kedua dilakukan oleh Paulus Bawole dari Universitas Kristen Duta Wacana Jogjakarta dengan judul “Improvement Low-Income Settlement Through ISL Program”.  Program SL yang berusaha melakukan mitigasi masalah urban poor.  Mitigasi yang dilakukan adalah (1) kampung improvement program; (2) housing development; (3) develop self housing; (4) sweat equity strategy: Habitat for Humanity.
                                                                Supervising
                                                                Coaching
Lectures                                                                               Student                                                Learning & Services
                                                Communities
Metoda yang dipergunakan adalah action research dan grounded research.  Aktivitas datang ke komunitas untuk (1) belajar dan tidak menggurui komunitas; (2) menyusun strategi untuk pelayanan berdasar fakta, local wisdom, dan keilmuan.  Pembelajaran dengan Live Ine, belajar tentang kehidupan dan daya juang komunitas.  Tidak mungkin belajar hanya dengan survey, harus tinggal dan hidup bersama.  Tidak melakukan assessment tetapi belajar tentang daya hidup.  Membangun empati dan mengakomodasi potensi dan kreativitas komunitas.  Proses Pembelajaran: (1) Persiapan: melakukan pemilihan komunitas dengan menggali informasi, data, dan fakta; mencari informasi kondisi yang sama di tempat yang berbeda; studi komparasi. (2) Coaching:  teori dan pengetahuan, pemilihan target area, lokakarya untuk penyamaan pemahaan antar perguruan tinggi peserta, dan focus group discusion antara universitas dan komunitas.  (3) Pelaksanaan: detail survey dan observasi selama live in kurang lebih 3 minggu untuk belajar dari komunitas.  Fokus dari SL adalah pemberdayaan komunitas.  Lokakarya dan diskusi mingguan, formulasi strategi, dan lokakarya akhir bersama Pemerintah Daerah sebagai  ajang diseminasi dan publikasi dengan stakeholders. (4) Tindak Lanjut (Implementasi) dilakukan oleh Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat. Tindak lanjut dapat berupa action research ataupun grounded research.  Implementasi aksi dalam bentuk Pengabdian Masyarakat. (5) Pengabdian Masyrakat oleh mahasiswa untuk membangun pendekatan dan metoda pelaksanaan pemberdayaan.  Program berkelanjutan dan berkesinambungan yang dilaksanakan oleh Universitas.  Simpulan, SL adalah salah satu strategi pemberdayaan masyarakat oleh masyarakat akademik.  Pemberdayaan dengan mengembangkan dan membangun potensi komunitas.  Pelibatan komunitas untuk membangun komunitasnya adalah kunci keberhasilan pemberdayaan masyarakat.  Membuka pikiran dan hati mahasiswa untuk melayani komunitas (marjinal).  Live in adalah metoda yang paling efektif untuk memahami masalah dan potensi komunitas serta kearifan lokal untuk memberdayakan dan membangun komunitas.  Survey tidak menghasilkan apa-apa dan tidak efektif untuk pemberdayaan dan pembangunan komunitas.
Paparan ketiga disampaikan oleh Yohanes B. Cahyono dari Universitas Kristen Petra.  Paparan dengan judul Community Outreach Program (COP): The Embryonic Stage of Peace Building Construction in the Society.  SL merupakan program Kuliah Kerja Nyata (KKN) Internasional, program gabungan mahasiswa lokal dengan mahasiswa luar negeri.  Program dengan metoda Live In selama 1 bulan penuh.  Tujuan program ini adalah sebagai berikut: (1) penyadaran pada mahasiswa tentang kebutuhan komunitas. (2) mencari solusi pemecahan masalah bersama-sama komunitas. (3) Memberikan pengalaman hidup bersama pada mahasiswa dan mahasiswa asing. (4) Berperan aktif membangun perdamaian dunia.  Tahapan-tahapan yang dilakukan adalah: Persiapan, dilakukan selama 9 bulan sebelum pelaksanaan.  Penetapan lokasi dan administrasi.  Perumusan luaran (output) seperti proyek fisik dan proyek non fisik serta pemahaman lintas budaya.  Dampak yang akan dirasakan oleh mahasiswa adalah pemahaman budaya lokal, kepemimpinan, empati dan kepedulian, pembelajaran yan kreatif dan inovatif, dan menghargai perbedaan.  Dampak bagi masyarakat adalah partisipasi dalam pembangunan diri sendiri, pengalaman hidup dengan orang lain yang berbeda latar belakang sosial dan budaya, serta menghargai perbedaan.  Dampak bagi Pemerintah Daerah adalah membantu meringankan kerja, perhatian pada komunitas meningkat, dan menghargai perbedaan.  Bagi Perguruan Tinggi akan memperoleh akreditasi karena melaksanakan program internasional, kesadaran intelektual untuk belajar dan berbagi ilmu, refleksi dadn perbaikan diri, serta membangun jaringan.  Tantangan yang harus dihadapi adalah (1) Terjadinya gegar budaya (culture shock).  Diatasi dengan penjelasan tentang komunitas serta sosialisasi tentang mahasiswa pada komunitas. (2) Kemampuan menguasai material.  Perbedaan kemampuan antar kelompok yang diatasi dengan pendampingan yang intensif.  (3) Kemauan dan kemampuan berkomunikasi antar mahasiswa dan antara mahasiswa dengan komunitas.  Mahasiswa didorong untuk berkomunikasi serta saling menguatkan antar anggota kelompok. (4) Potensi konflik antar mahasiswa.  Diatasi dengan fasilitasi dan penyadaran dengan prinsip-prinsip perbedaan yang harus dihormati. (5) Kegagalan mendapatkan donatur.  Kurang diminati walau dengan CSR sekalipun.  Diatasi dengan pendekatan pada korporasi dan Pemerintah Daerah setempat.  Sebagai contoh, Kabupaten Kediri mengucurkan dana sebesar 420 juta untuk COP.  SL menjadi jembatan antara intelektual, komunitas, dan para pemangku kepentingan lainnya.  SL membangun jaringan dengan korporasi (CSR) dan Pemerintah Setempat.  SL membangun jaringan dan persaudaraan dengan komunitas. SL melakukan pendampingan secara intensif pada komunitas.
Pemaparan selanjutanya  dilakukan oleh perwakilan dari Universitas Katolik Sanata Darma Yogyakarta.  Pemaparan dengan Judul Service Learning Program (SLP) Sadar.  SLP perupakan porgam reguler dan wajib,dengan bentuk-bentuk program  Kuliah Kerja Nyata (KKN) Reguler maupun Tematik dan ada pula yang berbentuk Community Outreach Program (COP) dan Service Learning Program (SLP) sendiri.  Sadar melaksanakan SL sebagai bagian dari Jaringan Universitas Jesuit sedunia.  Selain itu visi dari Sadar adalah “Cerdas dan Humanis”.  Rerangka Kerja SL di Sadar:
  
Sebagai contoh, Program KKN Tematik Turisma yang dilakukan oleh mahasiswa Prodi Bahasa Inggris dengan membangun Desa Wisata di Gunung Kidul dengan memberikan pelatihan komunikasi dan Bahasa Inggris.  Bersama dengan Prodi Budaya dan Sastra yang melakukan dokumentasi kearifan lokal dan cerita rakyat.  Program ISL dengan membangun pusat keiwrausahaan dan pendampingan pada UMKM Batik di Kabupaten Bantul.  Membangun usaha dengan membangun competence (profesionalitas), conscience (kesadaran), dan compassion (empati).  Aktivitas ISL dilaksanakan dengan live in selama 2 minggu untuk implementasi program dengan masa persiapan 2 minggu guna pencarian data, fakta, dan informasi untuk menemukan solusi.  Selanjutnya 2 minggu setelah live in untuk refleksi dan rencana tindak lanjut, dokumentasi, publikasi, dan diseminasi.  Partisipan selain mahasiswa lokal juga mahasiswa dari Fujen University Taiwan, Sogang University Korea, Ateneo De Manila Filipina, Sophia University Jepang, dan Elisabeth School of Music Jepang.  Biaya mandiri oleh mahasiswa dan disubsidi oleh universitas untuk membiayai dosen, pendamping, dan administrasi.  Karena mahal harus ada nilai (value) yang didapat.  Refleksi harus dilakukan untuk menemukan makna dan nilai-nilai hakiki dari kehidupan.  Tantangan yang harus dihadapi adalah budaya hedonis dan instan mahasiswa, pemikiran yang dangkal dan pragmatis tanpa hidup yang bermakna, culture shock dan komunikasi, pendanaan yang sulit.  Universitas harus mampu membangun kesadaran orangtua dan mahasiswa.

Sesi Diskusi
Setelah pemaparan dilanjutkan dengan sesi diskusi, khususnya untuk menyusun rencana tindak lanjut dari Lokakarya Sl kali ini.  Diskusi diawali oleh Universitas Kristen Duta Wacana yang sekali lagi menegaskan, bahwa SL bukan datang sebagai pahlawan ataupun sinterklas tetapi untuk belajar bersama dengan komunitas dan bergerak bersama untuk membangun komunitas.  SL bukan bersifat jangka pendek apalagi hit and run, SL merupakan pendampingan komunitas jangka panjang dan dilakukan oleh Universitas melalui Lembaga Peneliltian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM).  SL bukan membantu dana tetapi untuk membangun komunitas dari aset yang dimiliki oleh komunitas, memperkuat komunitas.  SL bersifat multi disiplin, karena pembangunan dan penguatan komunitas bersifat jangka panjang, komprehensif, dan universal.  SL harus dilembagakan dan menjadi program wajib Universitas dalam bentuk Kuliah Kerja Nyata (KKN) dan Program Pengabdian Mahasiswa (PPM).
Sedangkan dari Universitas Katolik Sanata Darma menegaskan bahwa COP dan ISL harus dilembagakan dan dinaungkan ke KKN serta bersifat wajib bagi mahasiswa.  KKN Reguler dilaksanakan dengan metoda live in selama 1 bulan yang di kelola oleh LPPM dan bekerjasama dengan Pemerintah Daerah.  KKN Tematik dilaksanakan oleh Fakultas dan bekerjasama dengan komunitas, sedangkan LPPM hanya memfasilitasi saja.  COP dan ISL dikelola oleh Universitas melalui LPPM dan Biro Hubungan (Kerjasama) Internasional karena melibatkan Universitas dan Institusi Internasional.  Pendekatan KKN, COP, dan ISL adalah multidisiplin untuk memberikan solusi yang komprehensif pada masalah komunitas.  Membangun jaringan mahasiswa dengan mahasiswa, universitas dengan Pemda, Universitas dengan institusi internasional, dan mahasiswa dengan komunitas.  Sebagai bahan refleksi adalah penanaman nilai dan pendewasaan mahasiswa serta melakukan publikasi guna menyebarkan kabar baik.
Dari Universitas Katolik Soegijapranata menegaskan bahwa SL merupakan bagian dari pembelajaran.  Seharusnya dilakukan oleh setiap dosen, tidak harus dalam bentuk KKN tetapi terlembagakan dalam Univesitas.  SL hadir tidak untuk menggurui komunitas dengan teori tetapi mengadaptasi teori dengan kondisi terkini dan kontekstual.  Pengabdian masyarakat seharusnya merupakan gabungan dari ide + kebutuhan komunitas + jaringan.  Pengabdian masyarakat tidak dilakukan sendiri oleh dosen si pemilik ide tetapi mendorong jaringan untuk menjalankan ide-ide tersebut dan memberi sedikit solusi bagi kebutuhan komunitas.
Perwakilan dari Universitas Kristen Petra menggaris bawahi belum terintegrasinya SL dalam kurikulum.  Karena Kurikulum Universitas yang masih bersifat mono disiplin, sehingga SL sangat mungkin dilakukan dalam bentuk KKN (baik lokal maupun internasional).  KKN harus dilembagakan dan bersifat wajib dan bukan bersifat pilihan seperti saat ini.  SL merupakan implementasi ilmu yang bersifat multi disiplin walau tidak menutup kemungkinan dilakukan dengan perspektif mono disiplin.

The Impelentation of ISL: Challenges and Prospects by Betty Cernol, Ph.D. (Vice President for Program United Board for Christian Higher Education in Asia – UBCHEA, Hong Kong)
The Academic of SL: Articulates the Christian dimension of higher educaton.  Gives life to the mission “to serve others”.  Provides a way to unite the Thre Pronges mission of higher education (teaching, research, and public service or community outreach).
The Assumptions: (1) Pedagogy grounded: learning by doing. (2) Teaching strategy: builds on experienal learning theories. (3) Shaped byd educationg reform principles: encourage students to take responsibility for their own learning. (4) Inspired by thebelief: academe has a fundamental responsibility to prepare students for lives of active citizenship.  (5) Education for live.
Features of SL: (1) Teaching methodology. (2) Utilize community involvement component. (3) Gain a deeper understanding of diciplinary course objectives for students. (4) Gain deeper understanding of civic life and participation. (5) Use of stuctured reflection.  Students more responsible to their own life and others life.  Reflection build the changing of the student thinking and lives.
Experiental Learning Cycle: Conceptualize, experiment, reflect, revise
Contextualizing the concepts and theories to the local situations.  Building a new theory according to the local context.
Integrating SL into Curriculum: (1) Preparation: observation, program, and outcome. (2) Engagement or sevice: networking and time schedule. (3) Reflection: the most important, value for student. (4) Public dissemination or celebration: educate the stake holders and student awarded for their work.
Approaches of SL: (1) Designed to introduce student to the theories and pinciples of SL. (2) Departemental program integrated into courses required for graduations (practicum, internship, national service and training, etc.). (3) Methodology in the teaching courses. (4) Utilized in the conduct of special programs such as educational tours, field trips, student exchange, etc.
Applications of SL: (1) As part of course. (2) as especially designed course (adopt SL to the entire course). (3) As a departemental programs (internship, practicum, etc.). (4) As a departemental program incollaboration with agencies (community service).
Modes of Delivery: (1) Teacher initated (integrate course with SL). (2) Staff mediated (community empowerment center). (3) Agency driven (networkng with the other agency such as Non Govermental Organization (NGO), etc.
Commitments: (1) ho can faculty members integrate SL into their subjects? (2) How can service be sustained at the community? (3) How can the college or university promote SL?  Syetemic approach SL.
Intitualizing SL:
 
1.       Budgetary Support
2.       Seminars or Workshop
3.       Study Visits
4.       Faculty Incentives
5.       Staff Assistance
6.       Provisions of Facilities
7.       International Linkages
8.       Curriculum Development
9.       Policy Reviewa
10.   Assesment
11.   Etc.

A – Faculty Commitment
B – Agency Problems
C – Intitutional Commitment
1.       Integration SL approach in subject tought
2.       Development modules and curriculum.
3.       Etc.
1.       Needs assesment or analysis.
2.       Palcement procedures or requirements.
3.       Supervision of learners.
4.       Formal agreement – MoU.
1.       Designation of SL officer for University.
2.       Budget allocation.
3.       Provision of office and support staff.
4.       Incentives for SL faculty.
5.       Set up mechanism for the integration of SL in the academic diciplines.


Where is the Leaning of SL: (1) SL as a meaning making learning activities. Independent but integrated learning and critical thinking. (2) SL as a communal learning subjects.  Community of learnes, formation of networks, and dissemination and publication.
Learning Gaps:
Social transformation oriented approach.
Bringing SL to a higher Level:  (1) Organize SL arround community issues or pressing problems such as those related.  Environment (water, forest, farms, coastal, resources, pollutional).  Healt (maternal and child health, epidemic). Interreligious understanding.  Basic education.  SL not an individual basic education but comprehensive basic education. (2) Compare lessons learned across communities to highlight simmilarities and respect differences. (3) Disseminate results, recognie achievements, and publish outcome to a wider audiences. (4) Address issues of reciprocity. (5) Evaluate SL programs and learning outcomes to include ethical considerations. (6) Establish mechanism for intitutionalization.  Ensure program sustainability.
Discussion: (1) Serving others concept.  For all communities, also the companies and corporation, example: water waste management and internship to companies.  Event extrem poverty of marginalize communities need the service more. (2) Value of citizenship: social transformation as final target.



Diskusi Kelompok dan Simpulan
(1)    Pemahaman tentang SL: Learning or teaching method, bukan sekedar Kuliah Kerja Nyata.  Tujuannya adalah transformasi sosial. Pendekatan dua arah, mahasiswa – dosen – komunitas.
(2)    Institusionalisasi SL: Integrasi kurikulum, jaringan institusi dan komunitas, need assesment, dan insentif bagi dosen.  Bukan institusionalisasi secara struktur saja yang dibangun tetapi juga secara kultur (pembiasaan, metoda, nilai, dan tujuan).
(3)    LPPM sebagai lembaga koordinasi dan fasilitasi serta administrasi.
(4)    SL berdasar pada experiencial learning (David Koff).  Refleksi merupakan alat internalisasi secara emosional dan spiritual.



Disarikan dari:
Workshop on Service Learning in Indonesia
Organized by Petra Christian University and United Board for Christian Higher Education in Asia (UBCHEA)
Santika Hotel Surabaya, 17 November 2011

Kamis, 21 Juli 2016

Perang Melawan Kemiskinan: Harmonisasi Hati dan Pikiran



Pengantar

Pengantar diawali berdasar sambutan Rekor Universitas Brawijaya yang menyampaikan tujuan dari semiloka kali ini adalah untuk meneguhkan komitmen pemerintah, perguruan tinggi, pengusaha, dan masyarakat sipil untuk berpihak pada keluarga miskin, khususnya untuk rumah tangga sangat miskin (RTSM).  Dikatakan pula, pendefinisian dan pengukuran keluarga miskin harus tepat untuk menentukan pendekatan yang tepat dalampengentasan kemiskinan.  Sambutan selanjutnya disampaikan oleh Sekretaris Daerah (Sekda) Jatim atas nama Gubernur Jatim.  Disampaikan bahwa Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Jawa Timur berpihak pada si miskin (pro poor).  Pembangunan berbasis peran serta masyarakat atau keterlibatan subyek menjadi prioritas (partisipative based development).  Selain itu, pembangunan di Jatim berbasis pada sumber daya manusia (human resources based development).  Pada saat tahun 2011 ini di Jawa Timur jumlah keluarga miskin sejumlah 3.079.822 dan yang sangat miskin berjumlah 439.004 yang perlu campur tangan pemerintah serta fokus bantuan yang tepat sasaran.  Identifikasi berdasar nama (by name), berdasar alamat (by address), berdasar foto (by picture), dan berdasar karakter (by chareacter) menjadi dasar penentuan keluarga miskin dan sangat miskin.  Keluarga miskin seharusnya dikelola oleh Pemerintah Daerah baik Kota maupun Kabupaten, sedangkan keluarga sangat miskin dikelola oleh Pemerintah Provinsi.  Program kerja yang mulai dijalankan sejak November 2010.  Pada bulan Maret 2011 terjadi penurunan keluarga miskin dari 15% menjadi 14,32% di Jawa Timur.  Rumah Tangga Sangat Miskin (RTSM) akan memperoleh bantuan langsung (direct cash transfer) sedangkan Rumah Tangga Miskin (RTM) akan mendapat bantuan akses permodalan dengan bunga ringan dari Bank Jatim.  Sampai saat ini masih butuh pendampingan, sehingga keterlibatan perguruan tinggi dan masyarakat sipil masih sangat diperlukan.

Kajian dari Tim Perumus
Selanjutnya, disajikan kajian dari tim perumus yang terdiri dari (1) Prof. Hotman Siahaan (Universitas Airlangga); (2) Prof. Murjito (Universitas Gajah Mada); (3) Prof. Sumarno (Universitas Brawijaya); dan (4) Win Himawan (Biro Pusat Statitistik Pusat).
Sajian kajian pertama disampaikan oleh Win Himawan (Deputi Statistik Sosial BPS Pusat) yang menyajikan bahwa pada tahun 2011 kondisi riil Rumah Tangga Miskin di Indonesia adalah 12,5% atau 30,02 juta jiwa. Disparitas tertinggi ada di Indonesia Timur.  Padahal target dari Millenium Development Goals adalah sebesar 11,5%.  Data untuk Rumah Tangga Miskn di Jawa Timur pada tahun 2005 sebesar 7,4 juta jiwa (19,9% jumlah penduduk), sedangkan pada tahun 2011 turun menjadi 5,35 juta jiwa (14,2% jumlah penduduk).  Disparitas di Jawa Timur ada di wilayah tapal kuda, sedangkan Kota Malang, Kota Batu, dan Kota Madiun disparitas rendah.  Kemiskinan adalah tidak terpenuhinya hak-hak dasar seeorang.  Pemenuhan Hak Dasar seperti (1) pangan; (2) kesehatan; (3) perumahan; (4) pendidikan; dan (5) air bersih.  Sedangkan keamanan dan beberapa hak lainnya belum dimasukkan dalam menghitung pemenuhan hak dasar.  Pengukuran kemiskinan ada yang berdasar data kemiskinan makro (basic need approach) dan data kemiskinan mikro.  Sedagkan garis kemiskinan ada yang bersifar absolut dan relatif (chronic or hardcore, relative, and transient).  Garis kemiskinan meupakan ukuran berdasar pengeluaran rata-rata rumah tangga untuk menbayar kebutuhan dasar.  Garis kemiskinan relatif bila pengeluaran untuk kebutuhan dasar lebih dari 70% pendapatan (cost > 70% pendaptan).   Metoda untuk mengukur kemiskinan yang dipergunakan oleh BPS berbeda dengan yang dipergunakan oleh Bank Dunia.  Data sama tetapi metoda berbeda.  Bank Dunia menggunakan Daya Beli (purchasing power parity) berdasar Dollar Amerika Serikat (USD).  Garis kemiskinan yang ditetapkan oleh Bank Dunia pada tahun 2006 PPP sebesar 6,481/USD, sedangkan BPS sebesar 5,071/USD.  Pada tahun 2005, di Indonesia Rumah Tangga Miskin (hampir miskin, miskin, dan sangat miskin) yang mendapat Bantuan Langsung Tunai (BLT) sejumlah 19,1 juta.. pada tahun 2008 turun menjadi 17,5 juta rumah tangga.  Pada tahun 2011, Rumah Tangga Miskin di sektor informal mendapat bantuan Perlindungan Sosial.  Sejak tahun 2009—2010 telah terentas kurang lebih 2,5 juta RTS tetapi yang jatuh miskin sebanyak kurang lebih 1 juta RTS sehingga yang benar-benar terentas sebanyak 1,5 juta RTM.  20% pengentasan kemiskinan di Indonesia disumbang oleh Jawa Timur.
Paparan kedua disampaikan oleh Prof. Hotman Siahaan, Akademisi dari Universitas Airlangga dengan paparan mengenai “Implementasi Program Jalin Kesra”.  Beliau mengawali pemaparan dengan menyatakan bahwa kemiskinan bukan masalah ketidakmampuan ekonomi tetapi kegagalan untuk memenuhi kebutuhan dasarnya.  Program Jalin Kesra, bukan berdasar apa yang tidak dimilik oleh si miskin, tetai berdasar apa yang dimiliki oleh si miskin.  Orang Miskin di dorong untuk mengatasi masalah kemiskinannya, sedangkan pemerintah berlaku sebagai fasilitator saja (partisipatory approach).  Selain itu, adalah beberapa permasalahan yang dihadapai masyarakat.  Pertama, permasalahan Budaya Jawa yang selalu memposisikan diri pada kondisi cukup dan menerima apa adanya (nrimo ing pandum). Kedua, permasalahan birokratis terkait anggaran antar satuan kerja pemerintah daerah. Ketiga, permasalahan paradigma si miskin untuk mengatasi kemiskinan seperti pengajuan bantun berupa kambing di hampir seluruh kelompok masyarakat baik ladang, gunung, maupun pantai.  Keempat, permasalahan keenganan akademisi untuk terlibat dalam permasalahan pengentasan kemiskinan, terbukti tidak adanya pusat kajian kemiskinan di perguruan tinggi negeri maupun swasta di Jawa Timur.  Kajian akademis dan filosofis mutlak diperlukan untuk mengatasi masalah kemiskinan.  Tidak ada kurikulum dan mata kuliah tentang kemiskinan di Fakultas Ekonomi dan Bisnis dan bukan hanya di Fakultas Ilmu Sosial Saja.  Munculnya ilmu-limu baru tentang penanggulangan kemiskinan dengan konteks Indonesia dan perdaerah.  Jalin Kesra, membongkar masalah kemiskinan struktural dengan mempertemukan birokrat dengan orang miskin.  Akademisi bertugas untuk membongkar kemiskinan struktural.
Paparan ketiga disampaikan oleh Prof. Gatot Murjito, seorang akademisi dari Universitas Gajah Mada.  Paparan yang berjudul “Sinergi Pemberdayaan Masyarakat (Sibermas) Menuju Pusat Pertumbuhan Ekonomi Baru”.  Sinergi antara Perguruan Tinggi (Akademisi) dengan Pemerintah Daerah (Birokrasi) dan dengan masyarakat (Community) menjadi singeri ABC yang berdaya.  Merubah paradigma masyarakat (miskin) dari sebagai obyek (program kerja perguruan tinggi dan pemerintah daerah) menjadi subyek, dari top down menjadi partisipatory harus dilakukan.  Dibutuhkan (1) keterlibatan intensif masyarakat; (2) profil yang akurat dan komunikatif; (3) spesifikasi potensi dan kerentanan; (4) sinergi dari berbagai pihak untuk pemberdayaan; (5) langkah strategis kawasan sebagai pusat pertumbuhan ekonomi.  Pembangunan harus berbasis kearifan lokal dan sinergi dari para pemangku kepentingan (stakeholders).  Tujuan pembangunan harus berbasis identifikasi kondisi, potensi, situasi, dan permasalahan sumberdaya baik manusia maupun alam.  Pembangunan harus mampu melakukan pembentukan kawasan sebagai pusat pertumbuhan ekonomi.  Metoda Partisipatory Rural Appraisal (PRA) dengan peran serta korporasi melalui Corporate Social Responsibility (CSR) dengan dukungan pemerintah daerah dan perguruan tinggi.
Pemaparan keempat disampaikan oleh Prof. Soemarno, Akadem isi dari Universitas Brawijaya dengan judul “Strategi Penanggulangan Kemiskinan”.  Pemaparan yang menjelaskan mengenai pengentasan kemiskinan berbasis ilmu pengetahuan dan teknologi.  Penanggulangan kemiskinan dengan pendekatan yang beragam tetapi komprehensif.  Penanganan bersifat lokal dan kedaerahan (spesifik lokasi).  Dengan mengedepankan (1) pertumbuhan ekonomi; (2) layanan sosial; (3) pengeluaran pemerintah yang bermanfaat bagi si miskin.  Dengan tujuan peningkatan produktifitas.  Akademisi berperan dengan melakukan kajian-kajian, sebagai contoh di Universitas Brawiajaya telah dibuka Program Pascasarja Magister Kajian Pengelolaan Kemiskinan sejak pada tahun 2012/2013.  Kajian tentang penanggulangan kemiskinan dengan pendekatan sosiologis, ekologis, dan ekonomi untuk pemberdayaan masyarakat.  Pendidikan berbasis knowledge based poverty allevation.

Perspektik Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan Jawa Timur
Pada kesempatan kali ini dipaparkan kebijakan-kebijakan yang telah diambil dan akan dilakukan oleh Pemerintah Jawa Timur untuk mengatasi kemiskinan di Jawa Timur.  Tampil sebagai penyaji adalah Menteri Koordinator Perekonomian yang diwakili oleh Asisten Ahli, Gubernus Jawa Timur Soekarwo, dan Rektor Universitas Brawijaya.
Pemaparan pertama dilakukan oleh Soekarwo, Gubernur Jawa Timur.  Pemaparan dengan judul “People Centered Poverty Reduction” memaparkan tentang pola kebijakan Pemprov Jatim dalam mengatasi kemiskinan.  Pola yang berbebentuk matriks ini tergambar sebagai berikut:
Can
Option
Psycological Depriciation
Sociological Depreciation
Income or Consumption Approach
Basic Human Need Approach
Human Poverty Approach
Social Exclusion Approach
Partisipatory Approach
Bascih Human Rights Approach
Intervensions






Govermance Approach
Sustainable Livelihood Approach



Human Capital Approach
Production Function Approach
Inclusive
Lawfullness
Accountability
·   Education
·   Health
·   Nutrition
·   Water
·   Sanitation
· Land
· Labour
· Capital
· Technology










Human Capital
Economic Capital
Social Capital
Political Approach
Cultural Approach
Coersive Capital
Environment Capital
  
Membangun ekonomi dengan memperkuat produksi dan pasar dalam negeri dengan memperkuat industri kecil (IKM dan UKM).  Melakukan bantuan ekonomi produktif untuk orang miskin.  Membangun masyarakat sosial yang kuat.  Bertujuan untuk membangun harga diri orang miskin.  Sebagai catatan, uang diam di Jawa Timur sebesar 59 Trilyun yang tidak bisa dicairkan karena masalah regulasi.
Pemaparan kedua disampaikan oleh Prof. Yogi Sugito, Rektor Universitas Brawijaya dengan judul “Program Pasca Sarjana Studi Kajian Penanggulangan Kemiskinan”.  kerjasama strategis antara Pemprov Jatim dan Pemda Sejatim dengan perguruan tinggi sangatlah penting.  Perguruan tinggi melaksanakan Tri Dharma (1) Proses Belajar dan Mengajar untuk meluluskan sarjana yang terdidik; (2) Riset untuk pengembangan Ipteks untuk pembangunan; (3) Pengabdian Masyarakat untuk memberdayakan dan membangun masyarakat.  Universitas Brawijaya selalu menjadi pelopor  penanggulangan kemiskinan.  Sebagai contoh, Sumbangan Pembiayaan Pendidikan (SPP) bersifat proporsional sesuai dengan kemampuan orangtua mahasiswa, SPP dari 0 rupiah sampai 3 juta persemester ter, alokasi beasiswa sebesar 20 Milyar pertahun.  Universitas Brawjaya merupaka Koordinator dari ASEAN Entrepreneursial University.  Universtas yang mencetak sarjana yang mampu menciptakan lapangan kerja bagi dirinya sendiri dan orang lain.  Hasil dari penelitian dosen dan mahasiswa diarahkan untuk mampu menciptakan usaha-usaha baru.  Praktik Kerja Lapangan dan Kuliah Kerja Nyata diarahkan untuk membantu masyarakat memperkuat usahanya seperti akses modal, inovasi produksi, dan akses pasar.  Masalah kemiskinan terjadi karena (1) daya dukung wilayah (tandus); (2) kepadatan jumlah penduduk; (3) pendapatan rendah karena faktor pendidikan yang kurang; dan (4) budaya konsumtif.  Universitas Brawijaya memelopori dengan Program Studi dan Pusat Studi Penanggulangan Kemiskinan setingkat Pascasarjana.  Universitas Brawijaya merupakan universitas terbesar di Indonesia (1) penerimaan mahasiswa baru terbanyak (16.000 Maba); (2) program studi terbanyak; (3) bidang ilmu yang diampu (fakultas) terbanyak.
Pemaparan ketiga dilakukan oleh Ir. W. Budi Santoso, Staf ahli Menko Ekonomi dengan judul paparan “Mendorong Pertumbuhan Ekonomi yang Pro Poor”.  Sebagai latar belakang adalah pembukaan UUD45 paragraf keempat.  Gross Domestic Production (GDP) Indonesia  hanya 7% dengan Purchasing Power Parity (PPP) sebesar 4.000USD/kapita/tahun dengan tingkat unemployment sebesar 2%.  Profil kemiskinan pada tahun 2011 adalah 12,4% atau 30,02 juta penduduk dengan jumlah orang miskin terbanyak ada di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur.  Sedangkan untuk DKI Jakarta jumlah penggangguran lebih sedikit ketimbang orang miskin.  Banyak penduduk Jakarta yang menganggur tetapi tidak miskin karena bekerja di sektor informal dengan pendapat yang relatif tinggi.  Penduduk miskin banyak tersebar di pedesaan dan bekerja di sektor pertanian.  Stategi pembangunan nasional harus (1) pro pembangunan; (2) pro pertumbuhan; (3) pro poor.  Pada saat ini kurang lebih ada 50 program penanggulan kemiskinan di berbagai kementerian.  Masih perlu koordinsi yang efektif dan efisien.  PP No. 15/2011 menampilan klastering penaggulangan kemiskinan yang terbagi dalam 3 klaster.  Juga ada 6 program pro rakyat yang atara lain adalah (1) peningkatan kehidupan nelayan; (2) peningkatan kehidupan masyarakat; (3) air murah; (4) transportasi murah.  Tingkat PDP paling tinggi ada di Kalimantan Timur dan Riau sedangkan yang paling rendah di Papua Barat, 30 provinsi lain rata-rata.  Indonesia memiiliki akumulasi Sumberdaya Alam terbesar di Dunia.  Ekspor hanya didominasi barang mentah dan barang setengah jadi.  Master Plan Percepatan dan Perluasan Ekonomi Indonesia (MP3EI) diberlakukan untuk (1) meningkatkan daya saing; (2) konektivitas antar wilayah atau koridor ekonomi (Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Papua, dan Maluku).  Tager GDP pada tahun 2015 adalah 25.000USD/tahun dan pada tahun 2045 sebesar 45.000/tahun.   


Disarikan dari:
Semiloka Penanggulangan Kemiskinan Pemprov Jawa Timur dan Universitas Brawijaya
Universitas Brawiajaya, 06 Oktober 2011