Rabu, 19 April 2023

ANCAMAN KRISIS PANGAN GLOBAL

 Pada Majalah National Geographic edisi Juni 2009 di paparkan dakta dan fakta bahwa sejak tahun 2000, jumlah konsumsi lebih besar ketimbang hasil produksi pertanian.  Bukan saja diakibatkan oleh pertumbuhan jumlah penduduk, tetapi tanaman biji dipergunakan untuk pakan ternak secara besar-besaran di China dan untuk bahan bakar dalam bentuk etanol di Amerika Serikat.  Sejak tahun 2005 sampai tahun 2008, harga gandum naik 3 kali lipat, sedangkan harga beras naik 5 kali lipat.  Akibatnya, keluarga miskin menghabiskan 70% pendapatannya hanya untuk bahan pangan saja.  Produksi pertanian hanya naik hanya 2% pertahun.  Terlalu rendah untuk mengimbangi laju pertumbuhan penduduk.  Belum lagi terjadi permasalahan perubahan iklim.  Consultative Group on Intenational Agriculture Research (CGIAR) menyatakan telah berusaha untuk menggandakan produksi pangan pada tahun 2030.

 

Theori Malthus

Thomas Robert Malthus pada tahun 1798 menerbitkan sebuah tulisan yang berjudul Esaay on The Principle of Population yang menyatakan bahwa populasi penduduk naik sesuai deret ukur dengan besaran 2 kali lipat dalam 25 tahun.  Sedangkan produksi pertanian naik sesuai dengan deret hitung.  Sehingga, pertumbuhan populasi lebih besar ketimbang pertumbuhan pertanian.  Sehingga, perlu dilakukan pengendalian terhadap populasi.

Pengendalian populasi dapat dilakukan dengan beberapa cara menurut Malthus (1798).

1.       Secara Sukarela

Dilakukan dengan cara pengaturan kelahiran, berpantang senggama, dan menunda pernikahan.

2.       Secara Paksa

Akan terjadi karena bencana perang, penyakit, dan kelaparan.

Bantuan bahan pangan hanya diberikan untuk yang termiskin saja dan tidak pada semua orang supaya tidak banyak anak lahir dalam kesengsaraan.

Pada tahun 1980—2000 terjadi deforestasi besar-besaran untuk lahan pertanian karena naikna permintaan baik untuk bahan pangan, pakan ternak, dan biofuel.  Di Brazil pada tahun 1990—2005 telah menghancurkan kurang lebih 10% Hutan Amazon untuk lahan pertanian.  Di China, dibutuhkan kurang lebih 200 juta ekor babi untuk konsumsi daging, sedangkan babi diberi pakan kedelai, sehingga kebutuhan kedelai naik.  Konsumsi biji-bijian di dunia pada tahun 1960an sebesar 815 juta metrik ton, sedangkan pada tahun 2008 naik menjadi 2,16 miliar metrik ton pertahun.  Bukan hanya untuk bahan pangan tetapi seperti di Amerika Serikat dipergunakan untuk pakan sapi dan produksi biofuel, sedangkan di China untuk pakan babi.

 

Revolusi Hijau 

Pada tahun 1970 produksi pangan di India naik menjadi 3 kali lipat.  Tokoh yang berhasil melakukan “keajaiban” tersebut adalah Norman Borlang dari Amerika Serikat.  Brolang memperkenalkan metoda pertanian produksi tinggi, khususnya untuk daerah-daerah miskin.  Pertanian dengan mempergunakan varietas gandum pendek dengan batang besar sehingga menghasilkan bulir-bulir gandum yang besar.  Tetapi, konsekuensinya asupan pupuk dan air yang dibutuhkan juga tinggi pula.  Serta tentu saja pemakaian pestisida besar-besaran untukmencegah hama dan gulma.  Syarat lain yang harus dipenuhi adalah lahan luas dan monokultur.  Untuk ide dan hasil yang diperoleh, Borlang mendapat Hadiah Nobel pada tahun 1970.  Revolusi Hijau dianggap solusi.  Termasuk dibawa masuk ke Indonesia oleh Soeharto, Presiden yang berkuasa kala itu.

Pada tahun 1990, Revolusi Hijau mulai menuai dampak buruknya.  Beberapa dampak yang muncul adalah sebagai berikut.

1.       Irigasi berlebihan mengakibatkan jumlah air turun.

2.       Pestisida dan pupuk buatan merusak tanah.

3.       Gejala keracunan dan kanker menyebar.  Pestisida mencemari tanah dan air, bahkantelah masuk ke darah manusia dan Air Susu Ibu (ASI) sesuai hasil penelitian di Punjab – India.

4.       Biaya pertanian semakin tinggi karena konsumsi pupuk dan pestisida yang tinggi tersebut.

Tetapi, bila berhenti akan mengakibatkan kelaparan.  Sebuah dilema yang tidak mudah diatasi, sampai kemudian muncullah ide untuk melakukan Revolusi Hijau Kedua.

 

Revolusi Hijau Kedua

Revolusi produksi peningkatan produki pertanian untuk pangan yang kedua ini diinisiasi oleh Robert Fradey dari Monsanto Corporation.  Fradey melakukan revolusi hijau tidak dengan ekstensifikasi tetapi dengan melakukan pemulian tanaman, melakukan rekayasa genetik (GMO) untuk varietas-varietas unggul.  Varietas yang membutuhkan sedikit pupuk, bisa tumbuh di lahan kering, dan tahan hama.  Maka, era pupuk dan pestisida berakhir digantikan dengan era GMO.

Sebagai catatan, revolusi hijau besar-besaran terjadi di Amerika (utara dan selatan), Australia, dan Asia tidak pernah masuk ke Afrika sampai tahun 2000an.  Pada tahun 2005, Malawi baru memulai revolusi hijau dengan hasil dari defisit 44% menjadi surplus 18%.  Pada Oktober 2007, World Bank yang anti terhadap investasi publik di bidang pertanian dan selalu menyarankan pasar bebas untuk bahan pangan baru mengucurkan dana untuk subsidi pertanian di Afrika.

Pada tahun 2008, penelitian terhadap penilaian internasional atas pengetahuan, sains, dan teknologi pertanian untuk pengembangan menyimpulkan bahwa perkembangan iptek selama 30 tahun terakhir gagal memperbaiki akses pangan di banyak negara miskin.  Penelitian yang diprakarsai oleh FAO sejak tahun 2003 dan melibatkan 400 pakar pertanian menganjurkan perubahan paradigma pertanian ke arah yang lebih baik, berkelanjutan, dan ramah lingkungan serta berpihak pada petani dan bukan pada pelaku agribisnis.

 

Kritik Terhadap Revolusi Hijau

Akibat buruk dari Revolusi Hijau baik yang pertama maupun yang kedua menuai perlawanan dari beberapa pakar pangan.  Michael Pollan, seorang profesof dari University of Michigan melakukan kritik karena akibat buruk Revolusi Hijau yang pertama.  Warisan berupa tanah gersang dan kekeringan harus sesegara mungkin diatasi, karena akan mengakibatkan permasalahan lingkungan dan juga kelaparan dalam jangka panjang.  Produksi pupuk dan pestisida buatan mengakibatkan ketergantungan pada bahan bakar fosil, jelas-jelas memunculkan dampak perusakan hutan untuk tambang dan juga polusi udara hebat di seputar kawasan pabrik.  Sebagai contoh adalah Kabupaten Gresik untuk kasus di Indonesia.  Strategi monokultur perlu dirubah karena rakus terhadap pupuk, pestisida, dan air. 

Vandana Shiva, seorang pakar agroekologi dari India menyatakan bahwa strategi monokultur pertanian adalah strategi monokultur pikiran juga.  Seakan-akan bahan pangan hanya gandum dan jagung saja, padahal di India ada 250 bahan pangan.  Seperti juga di Indonesia saat bahan pangan pokok dipaksakan hanya beras, bahan pangan lokal yang berbasis pada kearifal lokal dan kekayaan alam lokal menjadi terpinggirkan san satu persatu hilang.  Bukan saja pada bahan pangan di luar besar, tetapi varietas lokal padipun hilang tergusur oleh padi varietas unggul hasil GMO.  Padahal, Petanian skala kecil dan heterogen dapat memberikan hasil yang lebih banyak dan beragam serta tidak memerlukan pupuk dan pestisida buatan yang banyak sehingga menghemat juga penggunaan bahan bakar fosil.  Penggunaan kompos dan pupuk kandang malah akan menaikkan jumlah zat organik di tanah, menyimpan karbon dalam jumlah tinggi, dan menjaga kelembaban tanah.

Hasil penelitian dari Soils, Food, and Healthy Community pada tahun 2000 menemukan bahwa pertanian monokultur mengakibatkan malnutrisi bagi anak-anak petani kecil.  Boyd Zimba dan Zacharia Nkhonya, Koordinator dari Proyek Penyelia Keamanan Pangan menyetakan bahwa subsidi pupuk tidak menyentuh seluruh petani dan tidak akan bertahan lama.  Selain itu, tanaman kacang-kacangan jangka panjang menghasilkan nutrisi yang jauh lebih baik.

Revolusi hijau baru masuk ke Afrika pada tahun 2000an dan didukung oleh lembaga-lembaga internasional.  Menjadi ancaman baru di Afrika seperti sebelumnya telah terjadi di Amerika Selatan dan Asia pada era 1970an sampai 1990an.  Strategi ekstensifikasi yang di Eropa dan Amerika Utara sudah dihentikan sejak tahun 1960an.  Karena terbukti gagal untuk mengatasi krisis pangan dalam jangka panjang dan malah memuculkan krisi baru.  Krisis ekologi yang membutuhkan rehabilitasi lebih lama dan lebih mahal.

 

Krisis Pangan, Krisis Ekologi, dan Perubahan Iklim

Permasalahan riil yang harus dihadapi dan harus segera disikapi oleh para pemangku kepentingan untuk mengatasi krisis pangan global yang jelas-jelas nampak terlihat. Pada tahun 2050 diperkirakan jumlah penduduk Bumi sebanyak 9 Milyar, tentu saja semuanya butuh makan.  Krisis pangan yang dibarengi dengan krisis ekologi akan menjadi ancaman nyata.  Belum lagi dampak perubahan iklim yang semakin terasa. Sejak tahun 2003, bencana gelombang panas, perubahan musim hujan, naiknya iar laut, dan berbagai bencana alam akibat perubahan iklim semakin sering terjadi.     

Ancaman nyata dari perubahan iklim seperti mencairnya gletser di Himalaya karena pemanfataan besar-besaran oleh China dan India, banyak ahli memperkirakan akan nyata pada tahun 2035.  Sedangkan di Afrika akan terjadi penurunan besar-besaran produksi pangan pada tahun 2030, diperkirakan sebesar 30% karena daya dukung lingkungan yang menurun, sedangkan petumbuhan populasinya sebesar 2,5 jiwa perdetik.

Teori Malthus akan berlaku kembali.  Menghujat Malthus berarti belum membaca dengan benar tulisannya.  Paradigma Malthus yang menempatkan jumlah penduduk atau populasi manusia harus seimbang dengan daya dukung sumber daya alam untuk memproduksi bahan pangan harus dikedepankan.  Bila pertumbuhan populasi jauh di atas daya dukung alam untuk memproduksi bahan pangan, niscaya akan terjadi krisis pangan.  Bila krisis pangan terjadi maka ancaman terjadinya perang karena perebutan lahan dan bahan pangan niscaya terjadi.  Bila krisis pangan terjadi dan perang berkecamuk maka wabah penyakit akan datang melanda.  Sebuah pemikiran yang rasional yang menjadi awal berpikir.  Baru kemudian Malthus mengemukakan idenya untuk mengendalikan pertumbuhan penduduk, supa ya kiris yang ditakutkannya tidakl terjadi.

 

Refleksi

Pemikirian Malthus untuk mengendalikan pertumbuhan penduduk dengan berpantang senggama, menunda usia pernikahan, dan mengatur kelahiran adalah reaksi dari ketakutannya akan munculnya krisis pangan secara global karena ledakan populasi yang tidak sejalan dengan kenaikan produksi pertanian sebagai bahan pangan.  Munculnya revolusi industri yang telah mentransformasi industri, pertanian, ekonomi menjadikan sumber daya alam dan bahan pangan bukan sebagai kebutuhan untuk hidup tetapi bergeser menjadi alat kapitallisasi untuk menumpuk kekayaan.

Revolusi Hijau yang digadang-gadang dapat mengatasi krisis pangan hanya berlaku untuk jangka pendek, selain itu ternyata mengakibatkan krisis baru yaitu krisis ekologis dalam jangka panjang.  Kembali, revolusi hijaupun menjadi alat kapitalisasi pasar dengan menciptakan ketergantungan pada pupuk, pestisida, dan tentu saja bibit.  Sistem monokultur bukan hanya menghilangkan bahan pangan lain dan hilangnya varietas lokal tetapi ternyata menjadi monokultur pikiran.  Ancaman lain yang sama membahayakannya dengan krisis pangan dan krisis ekologis.

Dalam Bahasa China, penduduk terdiri dari penggabungan dua kata, kata orang dan mulut.  Sehingga, dalam filosofi Tiongkok, penduduk merupakan keseimbangan antara jumlah penduduk dan ketersedian jumlah bahan pangan.  Jumlah populasi terus bertambah, ketersediaan pangan juga harus terus bertumbuh, bila tidak, krisis akan terjadi.  Masalahnya, jumlah penduduk Bumi terus bertambah, Bumi semakin terbagi untuk industri, pemukiman, dan lahan tanam pangan, tetapi luas Bumi tidaklah bertambah.

Tidak ada komentar: