Ancaman Krisis Global
Diawali oleh krisis karena kredit perumahan macet (subprime mortgage) di AS. The Fed, Bank Sentral Amerika Serikat berusaha mencegah krisis yang lebih jauh. Untuk mencegah krisis The Fed melakukan pemotongan suku bunga, paket stimulus ekonomi senilai USD 163 Milyar, dan injeksi likuiditas yang mencapai USD 700 Milyar.
Tetapi krisis semakin meluas sampai menyentuh ke system perbankan dan sector keuangan, bahkan seluruh sector ekonomi. Bukan hanya di Amerika Serikat tetapi bahkan ke seluruh dunia. Amerika Serikat mengalami Financial Meltdown, hengkangnya investor, dan aksi rush (walau telah diinjeksi USD 200 milyar dengan fasilitas term action) untuk menyelamatkan investasi Bear Stearns dan akuisisi dengan JP Morgan. Pada dasarnya, institusi financial Amerika Serikat seperti zombie, masih beroperasi tetapi pada dasarnya telah mati.
Investasi pasar modal untuk mencegah anjloknya harga saham, suku bunga dipotong bahkan pada saat hari minggu, injeksi likuiditas pada perbankan, tetapi masih kurang karena outstanding subprime mortgage mecapai USD11 milyar.
Krisis Amerika Serikat menjadi Krisis Global, system financial global terancam mengalami kegagalan. Dampak dari krisis di AS memengaruhi perbankan dan lembaga investasi Negara lain. The Fed menyediakan tambahan likuiditas USD30 Milyar untuk mendukung akuisisi Bear Stearns dan JP Morgan Chase. Hal ini dilakukan untuk mencegah krisis kepercayaan pada lembaga keuangan USA.
Sebagai pembanding, krisis long-term capital management (LTCM) – hedge fund pada tahun 1998 yang diikuti dengan ambruknya beberapa lembaga keuangan di AS menyebabkan The Fed untuk melakukan bailout. Potensi kredit macet Bear Stearns adalah sebesar USD900 Milyar atau 7x (tujuh kali lipat) dari LTCM dan pastinya akan memicu krisis yang lebih besar lagi. Belum lagi deficit transaksi di AS mencapai 8%, rasio utang (PDB) 330%, rasio utang rumah tangga 100%, dan utang kartu kredit sebesar USD790 Milyar. Sejak krisis yang terjadi per Juli 2007, harga saham global telah mengalami penurunan sebesar 10%, kerugian akumulatif sebesar USD5 Trilyun, dan krisis likuiditas pada seluruh system financial.
Bom Waktu Derivatif
Pertumbuhan derivative di pasar modal pada tahun2 terakhir membawa ancaman terjadinya krisis. Catatan dari The Sovereign Society menyatakan bahwa transaksi derivative adalah penyebab resesi pada tahun 2001 dan 2008 ini di Wall street. Juga sebagai penyebab krisis di Asia pada tahun 1997/1998.
Derivatif adalah instrument keuangan untuk mengurangi risiko karena pergerakan harga, tetapi malah menjadi instrument spekulasi bagi investor. Di AS transaksi derivative pada tahun 2007 mencapai USD516 trilyun. Padahal PDB di AS hanya sebesar USD15 Trilyun dan PDB Global hanya mencapai USD50 Trilyun, dan kapitalis pasar modal sedunia hanya USD100 Trilyun.
Hipotek kepemilikan rumah (subprime mortgage) merupakan salah satu instrument derivative. KPR diberikan pada orang2 yang secara financial tidak layak menerima kredit. Hipoteknya oleh Bank dijadikan jaminan sekuritas (mortgage backed securities) yang diperdagangkan di pasar sebagai instrument investasi. Investor tidak tahu kalau yang dijadikan jaminan buruk dan akan macet apsa suatu saat.
Bank Investasi memanfaatkan jasa pemeringkat sekuritas untuk memperoleh kepercayaan masyarakat, walau sampah bisa dapat AAA. Bagaimana mungkin terjadi di AS yang mengedepankan transparansi, akuntabilitas, dan good governance. Jangan2 karena mafia perbankan yang memiliki koneksi kuat dengan The Fed atau Pemerintah AS.
Mengapa subprime mortgage berkembang pesat:
1. Dari sisi konsumen menguntungkan karena mereka yang tidak layak memperoleh kredit dapat memperoleh kredit (KPR).
2. Bagi bank, mendapatkan fee dari penerbitan sekuritas berbasis subprime mortgage dan marjin sebesar selisih suku bunga kredit yang dibebankan oleh KPR.
3. Para dealer dan broker sekuritasnya mendapat keuntungan dari menjual sekuritas berbabasis mortgage ke investor dan komisi penjaminan.
4. Investor dapat mendiversivikasikan mortgage untuk portofolio investasi.
5. Bagi perekonomian akan memperluas pendanaan KPR menciptakan sumber pendanaan baru bagi bank dan lembaga keuangan lainnya serta mendorong integritas modal dan pasar uang.
6. Bagi pemerintah, menciptakan bubble untuk mempertahankan booming ekonomi yang berasal dari bubble yang lain. Contoh bubble dari real estate di AS sengaja diciptakan untuk menutup krisis karena bubble industry dot.com pada tahun 2001 (Allan Greenspan, Mantan Direktur The Fed).
7. Secara politis, likuiditas dan suku bunga rendah adalah tanda ekonomi suatu rezim bagus sehingga dengan sengaja diciptakan kondisi ini.
8. Booming ekonomi menarik dana asing sehingga dapat dipergunakan untuk menutup deficit anggaran Pemerintah AS.
Saat ini subprime mortgage mencapai USD600 Milyar dan tentu saja derivatifnya akan jauh lebih besar. Kondisi ini akan mengancam 6 juta keluarga yang akan kehilangan rumah (mortgage). Krisis keuangan yang terjadi di AS akan mengancam pada ekonomi secara global. Kerugian subprime mortgage yang telah mencapai USD300 Milyar dan akan menyentuh USD1 Trilyun, akankah ditutup oleh The Fed?.
Subprime mortgage
Subprime mortgage 73% diberikan pada kaum kulit hitam dan hispanik sedangkan 17% saja diberikan pada kulit putih. Saat ini 65% penduduk AS merosot kekayaannya dan bahkan sebagian besar terancam kehilangan rumahnya. Hal ini terjadi karena financial rulling class yang tetap dan bahkan bertambah makmur. The Fed malah mengucurkan likuiditas (soft money) untuk menggelembungkan perekonomian. Hal ini akan mengakibatkan kebangkrutan missal.
Paket stimulus berupa kucuran dana sebesar USD168 Milyar (per 13 Februari 2008) hanya menguntungkan sekelompok orang kaya saja. Kondisi ekonomi memburuk tetapi Presiden As, George Bush malah haus perang, bahkan menyatakan bahwa perang bagus bagi perekonomian (wawancara pada Today Show) “karena banyak perlengkapan perang diproduksi, berarti banyak lapangan pekerjaan”. Padahal ongkos perang di Irak diperkirakan pada awalnya “hanya” USD50—60 Milyar, telah membengkak menjadi USD845 Milyar pada saat ini, bahkan Prof Stiglitz memperkirakan biaya perang telah mencapai USD3 Trilyun.
Biaya perang tersebut belum dihitung dengan biaya2 perang dari negara2 lainh dan terutama Irak yang negaranya hancur berantakan. Perang Dunia ke II saja hanya menghabiskan USD5 Trilyun. Belum lagi AS masih harus menanggung biaya perawatan untuk veteran perang dan penggantian alat2 perang. Sebagai catatan, biaya perang di Irak untuk 4 hari saja dapat dipergunakan untuk melakukan riset autis selama 1 tahun atau member beasiswa bagi 43 juta mahasiswa dari masuk kuliah sampai menjadi sarjana di Amerika sana.
Cara Pemerintah AS dan The Fed untuk mengelabui kondisi perekonomian yang ambruk ini adalah dengan kucuran likuiditas, regulasi yang longgar terhadap penyaluran kredit, dan suku bunga rendah. Bahkan saat ini, Utang AS pada luar negeri telah mencapai USD9 Trilyun. Perang Irak dan Afganistan telah menguras asset Amerika Serikat senilai USD16 Milyar perbulan.
Indonesia dalam Mengahadi Krisis Global
Krisis keuangan yang terjadi pada saat ini kurang bisa dimanfaatkan oleh Pemerintah Republik Indonesia, begitu penuturan Joachim Von Amsberg, Kepala Perwakilan Bank Dunia di Indonesia, seperti yang dimuat pada Kompas 26 Maret 2008.
Krisis keuangan global mengakibatkan harga minyak mentah turun sebagai akibat dari turunnya permintaan minyak oleh negara2 maju. Sedangkan harga komoditas meningkat tajam di pasar dunia. Kondisi mengakibatkan inflasi harga kebutuhan pangan (sebesar 10,2%) yang memukul masyarakat miskin. Selain itu kesenjangan ekonomi antar daerah menjadi semakin melebar karena ketidakmerataan kepemilikan SDA.
Kelambanan Pemerintah Indonesia mengantisipasi gejolak krisis global, Pemerintah memang melakukan subsisdi untuk rakyat miskin tetapi tidak menyentuh masyarakat miskin. Peningkatan pendapatan dari komoditas (CPO dan sawit serta hasil tambang) tidak digunakan untuk membiayai sector strategis seperti pertanian dan infra strktur, di lain pihak sector tambang dan migas menurunkan produksinya.
Sepertinya Indonesia belum siap menghadapi krisis global, seperti yang dikemukakan oleh Prof. Steve H. Hank dari Johns Hopkins University – USA. Salah satu indikasinya adalah penetapan inflasi yang tidak realistis. Ekspekstasi inflasi tidak dalam kondisi terkendali (5%). Kenyataannya inflasi terus melaju.
Indonesia diharapkan tidak mengikuti kebijakan The Fed USA dengan memangkas suku bunga. Bank Indonesia seharusnya berfokus pada penguatan nilai rupiah, sedangkan di AS The Fed menurunkan bunga dan menginjeksi likuiditas karena naiknya permintaan pasar.
Peningkatan ekononmi karena naiknya dorongan moneter atau yang lazim disebut bubble economic tidak akan bertahan lama akan berdampak jauh lebih buruk lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar