Senin sampai Kamis, 20--23 Oktober 2003, aku atau tepatnya kami, aku dan temanku, mbak cecil, melakukan perjalanan kecil dari Malang menuju Lampung dan Jakarta. Kami melakukan perjalanan dalam rangkaian Pelatihan untuk Kelompok Pekerja Rumahan di Lampung dan sekalian maping, dan juga maping di Jakarta, khususnya di Tanah Abang.
Padahal tubuh dan pikiran kami lelah karena sehari sebelumnya kami (HWPRI dan MWPRI) masih harus melakukan Bakti Sosial berupa Pasar Murah dan Pengobatan Gratis dalam rangka ulang tahun HWPRI ke 13. Persiapan seminggu serasa kurang walau acara berjalan dengan sukses dan lancar, walau masih banyak kekurangan di sana-sini, walau sudah mendapat tenaga tambahan relawan dari Universitas Ma Chung.
Keberangkatan pada Senin pagi buta menambah beban pegal-pegal di tubuh dan kelelahan yang semakin memuncak. Belum lagi harus transit di Jakarta yang mengharuskan kami berpindah terminal, sungguh pengalaman yang tidak mengenakkan, untung pesawat tidak mengalami penundaan alias delay. pukul 9 pagi kami menginjakkan kaki di tanah sumatera dan setelah menempuh perjalanan darat 1 jam, sampailah kami di rumah seorang kawan, Sony namanya.
Sony-lah yang mengundang kami untuk menjadi fasilitator pada pelatihan untuk pemimpin kelompok pekerja rumahan di Kabupaten Pesawaran, arah Teluk Betung dari Bandar Lampung. Hanya beristirahat sejenak, sekedar menghilangkan haus dan dahaga, Sony mengajak kami ke lokasi pelatihan dan bertemu dengan seorang pemimpin kelompok yang sudah kami kenal sebelumnya, mbak Daryuti yang pernah mengikuti pelatihan di Malang. Dari Bandar Lampung kami menempuh waktu 1 jam dan sampailah di lokasi pelatihan, Desa Sidodadi, Kecamatan Hanura, Kabupaten Pesawaran, Provinsi Lampung. Kabupaten baru yang notabene berisi anak keturunan transmigran gelombang pertama. Di lokasi kami tidak serasa di Sumatera tetapi di Banyumas - Jawa Tengah, karena hampir seisi desa orang tua dan kakeknya berasal dari daeah Banyumas dan sekitarnya, dan masih tetap berbahasa jawa layaknya nenek moyang di tanah Jawa.
Sepulang dari lokasi kami berkesempatan menyaksikan kawasan wisata dalam kota yang menyajikan hutan kota dengan segerombolan monyet, daerah lindung yang sebenarnya masuk kawasan perumahan elit dan berdampingan dengan beberapa hotel bagus. Pemerintah setempat sadar untuk menjaga kelestarian alam dan budaya walau pembangunan kawasan tetaplah bergulir, berbeda dengan kota kami di Malang - Jawa Timur, Pemerintahnya buta karena uang dan kekuasaan, kawasan yang bisa menjadi cagar alam, cagar budaya, dan resapan air berupa hutan kota (APP) dan seputar stadion (Gajayana) telah berubah menjadi mall megah nan congkak. Hancurlah lingkungan Kota Malang, hancur pula daerah resapan air, hancur pula keaslian kota Malang dan berganti menjadi gaya hidup hedonis konsumtif. Kegoblokan dan kerakusan yang mengakibatkan kehancuran.
Malam menjjelang kami berkesempatan melihat geliat kota Bandar Lampung yang lain, kehidupan trans seksual dan homo seksualitas yang di Lampung seperti bukan sesuatu yang tabu. Ohya, kawanku, kawan Sony adalah seorang Gay yang tidak munafik dengan berpura2 menjadi pria normal, tetapi dia berani tampil apa adanya. Jangan salah dan jangan remehkan dia, kawanku ini punya banyak aktivitas sosial dan seabreg prestasi dalam melakukan pendampingan dan pengembangan komunitas. Bukan hanya untuk kalangan Gay dan trakseksual, tetapi pada mereka semua yang tertindas dan di marjinalkan. Dampingan kawanku ini menyebar di seluruh Lampung bahkan sampai ke pulau2 kecil di lepas pantai Lampung. Prestasi yang layak dibanggakan dan dijadikan tauladan. Padahal banyak orang yang merasa normal dan suci tetapi tidak punya hati seperti kawanku ini, hati yang melayani bagi mereka yang tertidas dan termarjinalkan.
Malam berganti dan pagi menjelang, pelatihan pun dilaksanakan, 2 hari serasa waktu yang teramat singkat, bukan hanya bagi kami yang masih banyak keinginan dan ilmu yang ingin kami bagikan, tetapi juga bagi peserta yang seperti haus menimba ilmu dan pengetahuan yang kami sampaikan. Tetapi semua harus kami selesaikan walau jauh dari kata tuntas, kawanku Sony dan rekan2nya berjanji akan terus mendampingi dan membuat rakyat miskin, khususnya perempuan menjadi berdaya dan mandiri.
Sebagai catatan, bukan PR panjang yang masih harus dikerjakan, tetapi mengenai cuaca saja. Di pedesaaan yang rindang sekalipun, hawa panas tidak tertahankan, apalagi bagi aku yang tidak tahan terhadap panas dan selalu berkeringat. Keringatku menetes seperti orang mandi saat melakukan pelatihan dan saat menjadi fasilitator, siksaan tersendiri sekaligus pengalaman tersendiri. Tersiksa tapi bahagia dan bangga, serasa tidak sia2 karena antusiasme dan tanggapan positif para peserta. Semoga benih kecil yang kutanam ini akan tumbuh, berkembang, dan berbuah lebat di masa2 yang akan datang.
Catatan mengenai Lampung, khususnya Pesawaran, desa yang makmur, subur, dan mengahasilkan begitu banyak buah, mulai dari durian, apukat, petai, pisang, coklat, melinjo dan lain2nya, rupanya belum terurus denga baik dan bijaksana. Bila panen melimpah, hasil panenan terbuang dengan percuma, bila satu buah berhenti panen, buah lain akan menyusul menuai panen, terus berputar terus menerus. Kondisi ini mengakibatkan kebutuhan untuk mengelolah dan mengembangak hasil panen yang terbuangpun tiada, padahal kalau dikelolah dengan baik akan banyak produk olahan yang dihasilkan dan akan mendatangkan pendapatan yang jauh lebih tinggi lagi. Sayang tiada orang yang mampu mengajarkan ilmu tersebut, sedangkan kaum cerdik pandai dari perguruan tinggi di Lampung lebih asyik menjadi pendukung industri besar perkebunan kelapa sawit dan karet, tentu saja karena menghasilkan begitu banyak uang ketimbang bekerja bersama rakyat. Orang2 pandai yang hanya mau mencetak uang ketimbang menjadikan rakyat berdaya. Pandai tapi rakus dan mata duitan.
Dua (2) hari yang mengesankan, dua hari yang terasa kurang sama, amat sangat kurang bahkan. Suatu hari nanti aku khan kembali di sana untuk berbagi dan menanam benih kemandirian dan semangat perjuangan untuk hidup lebih baik dan berdaya tanpa harus bergantung pada orang lain, apalagi berharap pada Pemerintah yang sepertinya buta dan tuli terhadap suara2 rakyat yang membutuhkan.
Rabu sore perjalan kami lanjutkan ke Jakarta, Kawan kami yang lain, Titin dan mas Zain suaminya, telah menunggu kami dan siap mengantar kami untuk berkeliling di kawasan pekerja rumahan di Tanah Abang. Memasuki kawasan Tanah Abang, tepatnya di Desa Kebon Melati, trenyuh hati rasanya, bagaiaman kehidupan berjalan di dalam gang2 sempit, kotor, dan kumuh, ciri khan kawasan miskin kota. Tetapi semangat untuk hidup, berjuang, dan berorganisasi tetap menyala terang dihati para rakyat miskin kota, pekerjaan sebagai pekerjaan rumahan dalam bentuk apapun tetap dilakukan oleh ibu2 dengan setia, anak2 putus sekolah mengamen tetapi terorganisir dengan adanya sanggar, anak2 kecil tetap bersekolah, walau Taman Kanak2 yang dibangun bersama mbak Titin dalam waktu dekat akan dibongkar karena alasan normalisasi sungai.
Begitu berat beban hidup di Jakarta, tetapi mengapa tetap saja banyak orang ingin ke Jakarta untuk sekedar menumpang hidup. Belum lagi ketimpangan sosial yang begitu mengangga lebar menjadikan Jakarta seperti etalase indah dengan barang rombeng di dalamnya. Seperti wajah Indonesia pada umumnya, penuh rias make up tetapi bopeng di dasarnya.
Perjuangan belum selesai, jauh bahkan dari kata selesai, kembali ke Malang, semangat perjuangan semakin berkobar dan menyala. Ternyata Indonesia bermasalah dari pusat di Jakarta sana sampai ke seluruh pelosok desa bahkan hutan yang terlebat sekalipun.
Tetaplah berkobar semangat berjuang hai jiwaku, tetaplah menyala terang api suluh jiwa untuk berjuang meneguhkan kembali kedaulatan rakyat. berjuang sampai Indonesia benar2 MERDEKA ..........
Tidak ada komentar:
Posting Komentar