Rabu, 15 Desember 2010

MENGGUGAT HAK WARGA NEGARA PADA KASUS LUMPUR LAPINDO DI SIDOARJO

MENGGUGAT HAK WARGA NEGARA PADA KASUS LUMPUR LAPINDO DI SIDOARJO

Pada Diskusi Publik di PUSHAM UBAYA, 25--26 Mei 2010

Oleh:

Daniel S. Stephanus, SE, MM, MSA, Ak.

Latar Belakang

Sudah empat tahun semenjak semburan pertama lumpur panas keluar dari sawah warga Renokenongo 29 Mei 2006 dini hari. Tak jauh dari titik semburan itu, Lapindo Brantas Inc. sedang melakukan kegiatan eksplorasi migas.

Tidak ada yang menduga semburan kecil yang diduga kebocoran gas itu sekarang menjadi sebuah gunung lumpur. “Lava” lumpur telah menutupi ratusan hektar tanah, selain juga sebagian dibuang ke Sungai Porong. Ribuan bangunan (rumah, pabrik, toko, sekolah, kantor pemerintahan, pesantren) tenggelam dalam danau lumpur raksasa. Puluhan ribu orang terpaksa pergi dari rumah tinggal mereka yang ditelan lumpur. Akan tetapi, bagaimanapun juga ancaman bahaya belum usai. Semburan utama sampai saat ini masih aktif, bahkan muncul titik-titik semburan baru di radius dua kilometer dari semburan utama. Tidak ada yang bisa memastikan kapan semburan itu akan berhenti. Artinya, belum ada kepastian apakah warga yang tinggal di sekitar gunung lumpur itu akan tetap bertahan tinggal di situ ataukah juga akan menyusul warga yang rumahnya sudah tenggelam dalam lumpur?

Berarti sudah empat tahun pula kontroversi tentang penyebab semburan itu. Secara geologis, kawasan Sidoarjo merupakan kawasan yang cukup kondusif untuk terjadinya gunung lumpur atau mud volcano ini, yang kurang adalah pemicunya. Tentang itu, ada dua kubu geolog yang berdebat ihwal pemicu semburan. Ada yang berpendapat bahwa semburan itu dipicu oleh gempa bumi di Yogyakarta – Jawa Tengah dua hari sebelumnya (27 Mei 2006). Gempa bumi itu diduga telah menyebabkan patahan di bawah kawasan Porong, Sidoarjo, sehingga memicu munculnya semburan lumpur. Pendapat ini jugalah yang selalu dimunculkan oleh pihak Lapindo Brantas Inc. karena bagaimanapun juga dengan melimpahkan penyebab semburan pada gempa bumi, maka lepaslah tanggungjawab Lapindo Brantas Inc. untuk melakukan rehabilitasi atau pemulihan kawasan terdampak luapan lumpur itu. Di sisi lain, ada geolog yang berpendapat bahwa semburan itu dipicu oleh kelalaian Lapindo Brantas Inc. dalam melakukan pengeboran yang tidak sesuai dengan prosedur yang baku. Salah satunya fakta yang terungkap adalah Lapindo Brantas Inc. berhenti menggunakan selubung pengaman (casing) pada kedalaman tertentu dengan alasan menghemat biaya. Padahal casing itu berguna untuk menahan dinding sumur pengeboran agar tidak longsor dan menyebabkan kebocoran cairan dari lapisan tanah di sekitar dinding sumur. Dan inilah yang terjadi, menurut para geolog itu. Mata bor membentur lapisan batu keras, ketika ditarik terjadi loss (cairan masuk ke dalam sumur pengeboran). Lapindo Brantas Inc. berusaha menutup sumur dengan semen dan berhasil, namun lapisan tanah di sekitar sumur retak dan merekah karena tidak kuasa menahan tekanan cairan yang sangat tinggi (kick). Akhirnya, cairan itu tidak keluar dari sumur yang sudah ditutup, tapi dari tanah di sekitar sumur Lapindo Brantas Inc. (blow out).

Selama empat tahun pula para warga yang terusir paksa akibat lumpur menata kehidupan baru di lingkungan barunya. Menjalin jaring-jaring sosial baru. Memulai aktivitas ekonomi yang berbeda. Berbagai model rehabilitasi komunitas ditawarkan baik oleh Lapindo Brantas Inc., pemerintah pusat, ataupun mandiri dari warga sendiri. Meskipun begitu masih cukup banyak permasalahan sosial yang muncul sebagai konsekuensi dari rusaknya ruang-ruang fisik akibat terendam lumpur. Sementara itu, masih ada saja warga yang hidup dalam kawasan berbahaya di sekitar tanggul lumpur, yang setiap waktu bisa saja jebol. Proses rehabilitasi bagi kelompok warga ini belum terfasilitasi dalam suatu landasan hukum positif (de jure), meskipun secara de facto mereka hidup dalam kawasan rawan bencana.

Saat ini nyaris tidak ada lembaga, baik pemerintahan maupun non-pemerintahan, yang melihat pada aspek sosial-kemanusiaan dari dampak yang ditimbulkan oleh luapan lumpur panas itu. Tercatat hanya Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) yang masih itensif untuk melakukan investigasi terhadap Kasus Lapindo dengan pembentukan Tim Yustisia. Penyelidikan Komnas HAM masih dalam proses, belum final. Sementara itu, beberapa intelegensia melakukan penelitian mandiri tentang Kasus Lapindo ini. Atas dasar itulah, maka dirasa perlu untuk melakukan serangkaian kegiatan yang bertujuan memberikan masukan ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dan juga meluaskan hasil-hasil temuan itu ke publik. Harapannya, temuan-temuan itu dapat menjadi salah satu pertimbangan Komnas HAM dalam menyusun rekomendasi tentang Kasus Lapindo ini.

Tujuan

1. Memberikan telaah akademik atas terjadinya semburan lumpur Lapindo di Sidoarjo dan dampak yang ditimbulkannya.

2. Memberikan masukan pada Komnas HAM tentang temuan-temuan ilmiah Kasus Lapindo.

3. Menyebarluaskan kepada publik tentang temuan-temuan ilmiah pada akademisi tentang Kasus Lapindo.

Pelaksanaan

Kolaborasi kerja antara Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Surabaya, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik dan Komisi Hak Asasi Manusia Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Universitas Airlangga dan didukung oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Jakarta ini berupa serangkaian kegiatan yang diawali dengan diskusi terbatas yang melibatkan para peneliti dan pendamping lapangan sejak terjadi letusan lumpur pertama kali sampai sekarang; termasuk melibatkan Joko Susanto, dosen pada jurusan Hubungan Internasional Universitas Airlangga Surabaya, yang akan merangkum poin-poin terpenting dan rekomendasi untuk disebarluaskan, dan I. Basis Susilo, MA, Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Airlangga Surabaya.

Beberapa individu dan lembaga yang akan terlibat adalah:

1. Sjafruddin Ngulma Simeulue (Ketua Tim Investigasi) dan Kabul Supriyadi (Ketua Tim Advokasi), Komisioner pada Komnas HAM Jakarta, melihat fakta-fakta lapangan dari perspektif hak asasi manusia dan advokasi.

2. Dian Noeswantari, peneliti pada Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Surabaya, melihat dari perspektif hak asasi manusia dan kebijakan publik.

3. Anton Novenanto, dosen pada Jurusan Sosiologi Universitas Brawijaya Malang, melihat dari perspektif antropologi politik dan media.

4. Yayan Sakti Suryandaru, dosen pada Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Airlangga, melihat dari perspektif komunikasi/media massa.

5. Rahmat Kriyantono, dosen pada Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Brawijaya Malang, melihat dari perspektif manajemen krisis bencana.

6. Suparto Wijoyo, dosen pada Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya, melihat dari perspektif hukum lingkungan.

7. Bambang Boediono, Ketua Komisi Hak Asasi Manusia Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Universitas Airlangga Surabaya, melihat fakta-fakta lapangan dari perspektif hak asasi manusia.

8. Mujtaba Hamdi, pegiat pada Lapis Budaya Indonesia Sidoarjo, yang terlibat dalam pendampingan keterbukaan informasi para warga yang terdampak lumpur, yang akan memberikan informasi-informasi terbaru tentang kondisi warga di Porong.

9. Yoan N. Simanjuntak, Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Surabaya, melihat dari perspektif HAM dalam pemenuhan hak pengungsi.

10. Daniel S. Stephanus, pegiat jaringan relawan Jambore Kebudayaan Simpul Malang, yang terlibat dalam pendampingan bagi anak-anak pengungsi.

11. Samitra Abhaya – Kelompok Perempuan Pro Demokrasi Surabaya, yang melakukan pendampingan bagi pengungsi perempuan.

12. Ali Azhar Akbar, Yogyakarta, penulis buku “Konspirasi di Balik Lumpur Lapindo: Dari Aktor hingga Strategi Kotor”

13. Catur Nusantara, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia regional Jawa Timur, yang melakukan penelitian tentang kandungan lumpur Lapindo.

14. Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Institut Sepuluh nopember Surabaya, yang beberapa kali meneliti tentang kondisi fisik bumi akibat bencana luapan lumpur Lapindo.

15. Muhammad Mirdasy, Sidoarjo, mantan anggota Pansus Lumpur, DPRD Jatim, penulis buku “Bernafas dalam Lumpur Lapindo” *

Waktu, Tempat, dan Penyelenggara

Waktu : Selasa dan Rabu, 25—26 Mei 2010

Tempat : Lantai 5 Ruang Perpustakaan Universitas Surabaya, Surabaya

Penyelenggara : Pusat Studi Hak Asasi Manusia - Universitas Surabaya (PUSHAM UBAYA)

Bekerja sama dengan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM), Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Universitas Airlangga - Komisi Hak Asasi Manusia (LPPM UNAIR – KOMISI HAM), dan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga (FISIP UNAIR).

Rincian Kegiatan

Selasa, 25 Mei 2010 – Diskusi Terbatas

08.00 – 08.30 30’ Registrasi dan Rehat pagi

08.30 – 08.45 15’ Pembukaan

08.45 – 09.45 60’ Sesi 1: Paparan dan Diskusi

Topik Teknis Pengeboran bersama Ali Azhar Akbar dan Catur Nusantara

Topik Hukum Lingkungan bersama Suparto Wijoyo

Topik Manajemen Bencana bersama Rahmat Kriyantono dan LPPM ITS

09.45 – 11. 45 120’ Sesi 2: Paparan dan Diskusi

Topik Media dan Bencana bersama Anton Novenanto dan Yayan Sakti Suryandaru

Topik HAM bersama Syafruddin Ngulma Simeulue, Bambang Boediono, dan Yoan Nursari Simanjuntak

11.45 – 12.30 45’ Sesi 3: Paparan dan Diskusi

Topik Advokasi dan Kebijakan Publik bersama Kabul Supriyadi dan Dian Noeswantari

12.30 – 13.30 60’ Makan siang

13.30 – 15.00 90’ Sesi 4: Paparan dan Diskusi

Topik Pendampingan dan Pelajaran dari Lapangan bersama Mujtaba Hamdi, Daniel S. Stephanus, SA-KPPD, dan Muhammad Mirdasy.

15.00 – 15.30 30’ Pembuatan rekomendasi dan Penutupan

Rabu, 26 Mei 2010 – Diskuis Publik, Konferensi Pers, dan Media Visit.

08.00 – 08.30 30’ Registrasi

08.30 – 08.45 15’ Pembukaan

08.45 – 09.45 60’ Sesi Lingkungan dan kebijakan publik dalam kasus semburan lumpur

Lapindo bersama: Sjafruddin Ngulma Simeulue, Ketua Tim Investigasi, Komisioner Komnas HAM Jakarta. Sunarso, Kepala Badan Pelaksana, Ali Azhar Akbar, anggota Denver Justice and Peace Committee, Yogyakarta dengan moderator: Bambang Boediono, Komisi HAM – LPPM Unair

09.45 – 10.30 45’ Sesi Hak asasi manusia bersama:

Kabul Supriyadi, Ketua Tim Advokasi, Komisioner Komnas HAM Jakarta

Yoan N. Simanjuntak, Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Surabaya

dengan moderator: I. Basis Susilo, Fisip Unair

10.30 – 10.45 15’ Rehat pagi

10.45 – 11.45 60’ Sesi Manajemen informasi dalam kasus semburan lumpur Lapindo

bersama: Anton Novenanto, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Brawijaya, Malang. Yayan Sakti Suryandaru, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga, Surabaya Rahmat Kriyantono, Institut teknologi Surabaya. dengan moderator: Inge Christanti, Pusham Ubaya

11.45 – 12.30 60’ Sesi Lesson learned from field bersama:

Daniel S. Stephanus, pegiat Jaringan Relawan Kemanusiaan dan Perguruan Rakyat Merdeka, Samitra Abhaya Kelompok Perempuan Pro Demokrasi Surabaya

dengan moderator: Dian Noeswantari, Pusham Ubaya

12.30 – 13.30 60’ Makan siang

13.30 – 14.00 30’ Pembacaan Rekomendasi dan Konferensi Pers

14.00 – 16.00 120’ Kunjungan media ke lokasi semburan lumpur panas Lapindo dengan

pendamping: Anton Novenanto

Ringkasan Materi

DISKUSI TERBATAS PARA PAKAR

PENGEBORAN SEBAGAI AWAL BENCANA (Anton – LPPM ITS)

Kesalahan standard operational procedure (SOP) pengeboran, terungkap pada sudang Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) dengan Lapindo Brantas Inc. (LBI). Tetapi ditutup-tutupi dengan membeli (1) pendapat pakar, dan (2) politik pencitraan.

Tidak adanya early warning saat terjadi semburan awal dan juga tidak pernah ada untuk saat ini bagi masyarakat yang masih tinggal di seputar tanggul dan pengguna Jalan Raya Porong. Baik bila terjadi tanah turun (subsidence), semburan gas, ataupun tanggul jebol. Disaster Management yang buruk.

Informasi sejak dari awal bencana disesatkan dan dibelokkan, seperti (1) sebagai akibat gempa dari Jogja (walau secara keilmuan tidak mungkin), (2) merupakan peristiwa pertama di dunia (padahal peristiwa ketiga setelah di Azerbaijan dan Kazakhtan yang telah menyembur selama 30 tahun dan terus menyembur sampai saat ini), (3) hanya merupakan human error pelaksana (walaupun kenyataannya adalah perintah dan perencanaan dari korporasi).

Permasalahan ekonomi, politik, dan hokum terjadi tetapi ditutup oleh pencitraan dan transaksi politik antara pemilik LBI (Bakrie Group) dengan penguasa (SBY & Bakrie , Partai Demokrat dan Partai Golkar).

Tidak ada dokumen analisis risiko bencana Lumpur Lapindo di Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Butuh team independen untuk meneliti penyebab, penanganan, dan penanggulangan dampak bencana Lumpur Lapindo.

Status Bencana Lumpur Lapindo (corporate crime):

1. Korban yang terusir dari tanah leluhurnya tanpa penggantian yang layak.

2. Tidak memperoleh informasi tentang aktivitas dan risiko eksplorasi tersebut.

3. Memicu keresahan pada masyarakat luas (pengguna jalan raya porong dan masyarakat seputar tanggul.

4. Pemerintah tidak tegas dalam penetapan status bencana lapindo dan menggabaikan dokumen-dokumen ahli dan bahkan instansi Negara sendiri (BPK).

5. Rakyat hanya sebagai obyek semata dan tidak menjadi subyek.

MEDIA BENCANA DAN ASPEK HAK ASASI MANUSIA, MEDIA FRAMING

Oleh: Yayan Sakti, FISIP UNAIR

Beberapa media telah terbeli dan menggeser headline dari Lapindo ke BPLS.

Surabaya Post dan Media Indonesia, menghilangkan dan bahkan memutarbalikkan fakta sehingga menjadi corong Lapindo. Surabaya Post dan Arek TV dimiliki oleh Bakrie Group.

Teknik Framing:

- Kepemilikan dan redaksi.

- Pariwara, propaganda tentang Kahuripan Nirwana Village sebagai tempat relokasi.

- Sumber berita hanya sumber berita “resmi” seperti Pemprov Jatim, Pemda Sidoarjo, dan BPLS.

- Menggeser isu teknis pada isu-isu politis karena pengetahuan yang minim dari wartawan dan hanya memberitakan isu-isu konflik.

Kompas dan Jawa Pos, cukup kritis tetapi masih mau menerima advertorial propaganda dari Lapindo.


AGENDA MEDIA

Oleh: Anton Novenanto (FIS Unibraw)

Mempergunakan etnografi media:

- Relokasi urat nasi perekonomian

- Revisi peta terdampak

- Pemenuhan Hak-Hak Korban.

Catatan:

Peta adalah pertarungan politik pembuatnya. Peta Terdampak tidak memasukkan aspek ekonomi, social, dan ekologis.

Hak sipil politik, status korban Lapindo tidak jelas, karena belum terjawab siapa yang seharausnya bertanggungjawab. Hak ekonomi, social, budaya tidak terpenuhi karena tidak jelasnya status sipil dan politik para korban.

Catatan:

Imanjinasi Koran (terputus) bukan imajinasi novel dengan kejelasan tokoh dan alur cerita.

PERAN KOMISI NASIONAL HAK ASASI MANUSIA

Oleh: Bp. Kabul S. (Anggota KOMNAS HAM)

Tanggung jawab Negara dan korporasi, tidak serius mengurus Lumpur Lapindo, terutama pada korbannya.

Upaya-upaya KOMNAS HAM:

- Tim pengkajian, temuan dan rekomendasi.

- Tim pemantauan, assessment perlindungan HAM.

- Tim investasi, dugaan pelanggaran HAM berat.

- Tim ad hoc, penyelidikan pelanggaran HAM berat.

Tim penyelidik kejahatan (pidana) kemanusiaan berdasar UU26/2000, telah masuk Kejaksaan dan Kepolisian tetapi diabaikan.

Tragedy Lumpur Lapindo adalah tragedy baru dan KOMNAS HAM tidak memiliki rujukan sama sekali.

Dugaan Pelanggaran HAM Berat:

- Penggusiran sistematis oleh lumpur.

- Serangan yang meluas dan sistematis.

- Dugaan tindak pidana oleh Lapindo berupa kejahatan terhadap kemanusiaan.

- 18 jenis pelanggaran berdasar UU39/1999.


HAK ATAS KESEHATAN DAN PENDIDIKAN BERBASIS PRINSIP-PRINSIP PANDUAN PENGUNGSI INTERNAL – UNHCR.

Oleh: Yoan N. Simanjuntak (PUSHAM Ubaya)

Hak Atas Kesehatan: MCK dan Sanitasi; pakaian layak pakai; air bersih; makanan yang layak; fasilitas kesehatan dasar.

Hak Atas Pendidikan: seluruhnya terabaikan.

Pemerintah melakukan pembiaran terhadap rakyat korban.

Kejahatan:

By Ommission, pembiaran secara terus menerus dan berlarut-larut, masal dan sistematik.

DISKUSI:

· Konstruksi media mengikuti konstruksi logika Lapindo, jual beli dan pengambil alihan tanah.

· Kandungan hidro karbon di Porong adalah 441ppm sedangkan ambang batas aman adalah 500ppm, sudah mendekati ambang batas maksimal manusia bisa hidup.

· Lapindo dijual ke luar negeri tetapi Block Brantas masih dimilliki oleh Bakrie Group.

· Case metric:

- Element of crime, harus terpenuhi seluruhnya untuk memenuhi case metric pada kejahatan korporasi lapindo.

- Perlu adanya escape close, untuk menyatakan pelanggaran HAM Berat baik pelanggaran ekonomi, psikologis, dan ekologis (aspek-aspek nok fisik).

- 18 HAM yang telah diindikasi dilanggar oleh Lapindo Brantras Inc.

- Keputusan Komnas HAM mengikat secara hukum.

· Keppres dan Perpres

- Keppres 13/2006

- Keppres 5/2007

- Perpres 14/2007

- Perpres 48/2008

- Perpres 40/2009

· Hasil audit BPK tahun 2007 dan Laporan BP Migas diabaikan oleh Pemerintah dan DPR-RI.

ASPEK-ASPEK HUKUM

Oleh: Dian N (Pusham Ubaya)

Keppres dan Perpres tidak berkesinambungan satu dengan yang lain.

- Tidak menerima masukan dari pendamping lapangan.

- Kewajiban Lapindo dihilangkan sedikit demi sedikit melalui Perpres dan bahkan pada Perpres 40/2009 hilang dan ditanggung oleh Negara.

Pendampingan dilarang masuk dan peta terdampak hanya mengakomodasi korban dalam tanggul, bagaimana dengan yang di luar tanggul tapi terdampak?

Manajemen bencana yang tidak karuan seperti kebijakan yang tidak jelas, overlapping otoritas, siap siaga bencana tidak ada, dan lemahnya monitoring oleh BP Migas.

MODAL MASYARAKAT YANG HILANG

Oleh: Mujtaba (Peneliti Sosial)

1. Modal natural (sumber daya alam)

2. Modal keahlian (skil)

3. Social cultural capital

Sedangkan mekanisme ganti rugi dengan jual bel hanya memperhitungkan tanah dan rumah saja, yang ujung-ujungnya mengakibatkan:

- Sengketa atau perebutan warisan.

- Hilangnya ikatan social.

- Pola patriarkal bergeser sehingga perempuan turut bekerja dan anak-anak terabaikan.

Pemulihan korban:

- Bukan hanya modal natural saja tetapi juga skill.

- Inklusi social dengan menggembalikan daya tahan hidup.

- Memulihkan kegiatan-kegiatan social.

TINJAUAN POLITIK

Oleh Ali Azhar Akbar (Peneliti Sosial Ekonomi Politik – Jogjakarta)

Presiden mengatasi masalah tragedy Lapindo tanpa dan bahkan menghindari proses hokum. Salah satu tanda bahwa Presiden RI tidak percara pada proses hokum dan menyukai negosiasi empat mata.

- Terbukti dari 2 Keppres dan 3 Perpres tidak ada sangsi hokum bila kelima peraturan tersebut dilanggar oleh Lapindo.

- Reduksi permasalahan social menjadi transaksional (ganti rugi dalam bentuk jual beli)

- Nuansa politik kental, Rapat Paripurna DPR RI tanggal 30 September 2009, Sidang Paripurna DPR-RI yang terakhir ada keputusan tentang Status Lapindo.

- Mempailitkan Lapindo dan melepas dari perusahaan induk (Energi Megah Perkasa – Medco – Santos).

- Reimburse kerugian penanganan dampak Lapindo pada Pemerintah.

- Medco tidak membayar dan saham dijual ke Lapindo senilai USD100 dengan syarat MEDCO tidak boleh bicara dan terlibat dalam masalah Lumpur Lapindo.

- Ditenggarai MEDCO memiliki senjata rahasia (berdasar hasil audit MEDCO terhadap sumur Banjar Panji), Lapindo tidak berkutik dihadapan MEDCO.

- Lapindo telah mengklaim mengeluarkan dana sebesar IDR6,2Trilyun untuk penanggulangan Lumpur Lapindo.

- Production sharing Lapinod dan Pemerintah berlaku untuk 30 tahun sejak 1990 dan berakhir pada 2020. Bagaimana dengan penyelesaian Ganti Rugi berupa Pembelian Tanah yang diangsur untuk masa yang melebihi masa akhir kontrak karya tersebut?

- Sikap Pemerintah dan Pengadilan yang tidak menyatakan bersalah Lapindo asal tetap membayar ganti rugi (transaksi dalam hokum).

- BP Migas tidak bersuara karan gagal mengawasi proses pengeboran. Kontrak pengeboran adalah 35 hari tetapi pecahnya sumur Banjar Panji adalah pada hari ke 80.

- Pengusiran sistematis oleh Pemkab Sidoarjo pada pendamping korban dan lembaga advokasi. WALHI dihadapkan pada masyarakat dengan kegiatan yang dikoordinasi oleh orang-orang Pemkab Sidoarjo.

- Perpres tidak menyentuh niali-nilai dasar Hak Asasi Manusia.

- Proses ganti rugi dengan jual beli tanah telah melanggar Undang-Undang Agraria.

- Tidak adanya manajemen kebencanaan. Indonesia sebagai pusat krisis bencana di ASEAN tetapi tidak menangani bencana denagn konprehensif.

Catatan:

Saat ini ada uji seismic di Jombang, lebih dari 1.000 titik yang tersebar di 21 Kecamatan se Kabupaten Jombang.

HASIL-HASIL DISKUSI:

· Definisi korban, bukan hanya yang terdampak langsung tetapi yang saat ini potensial menjadi korban seperti masyarakat yang ada di sekitar tanggul.

· Mempercepat penyelesaian ganti rugi.

· Elemenet of Crime diperjelas seperi pembunuhan dan pengusiran secara sistematis.

· Kebijakan public yang memperjelas sangsi bila Lapindo lalai atau menunda pembayaran ganti rugi dan penyelesaian semua kewajiban Lapindo sebelum kontrak karyanya berakhir.

· Minarak Lapindo Jaya (MLJ) perusahaan yang dibentuk menangani dampak social Lumpur Lapindo bila wanprestrasi tidak dapat dituntut karena bukan perusahaan penyebab masalah.

· Revisi Perpres 40/2009 yang menghilangkan kewajiban pembayaran gantui rugi pada korban oleh Lapindo dan pembebanan seluruh dampak luapan lumpur (pengaliran ke sungai porong) yang saat ini dibebankan ke pemerintah.

DISKUSI PUBLIK

PEMBUKAAN OLEH REKTOR UNIVERSITAS SURABAYA

1. Kegiatan yang merupakan pernyataan keberpihakan Perguran Tinggi pada rakyat yang terpinggirkan.

2. Perilaku keberpihakan Perguruan Tinggi saharusnya adalah pada:

a. Kebenaran (the truth);

b. Demokrasi (democracy);

c. Hak Asasi Manusia (human rights);

d. Perdamaian dan Anti Kekerasan (peace and anti-violence);

e. Pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development).

Komitmen Universitas Surabaya (UBAYA) untuk selalu berpihak pada rakyat pinggiran yang terpinggirkan. Contoh: Keberhasilan system ekonomi yang menjamin kedaulatan konsumen dan kedaulatan pekerja.

KEBIJAKAN PUBLIK DAN LINGKUNGAN

Oleh: Ali Ashar Akbar (Peneliti Ekonomi Sosial Politik – Jogjakarta)

Ketidak pastian kebijakan public dalam kasus Lumpur Lapindo.

Tinjauan terhadap 2 Keppres dan 3 Perpres:

1. Keppres 13/2006

Dikeluarkan 102 hari setelah kejadian dan hanya berumur 6 bulan saja. Berisi penanggulangan luapan lumpur dengan penunjukkan BPLS.

2. Keppres 5/2007

Hanya berumur 30 hari sebagai tambahan waktu untuk Keppres sebelumnya.

3. Perpres 14/2007

212 hari setelah kejadian dan akhirnya diubah 2 (dua) kali juga. Perpres seharusnya diterbitkan tidak untuk mengatus tetapi perpres ini diterbitkan untuk mengatur.

Kejanggalan-kejanggalan:

- Pihak yang bermasalah (Lapindo dan Bakrie Group) ikut terlibat dalam penyusunan Perpres. Dibutktikkan dengan turut sertanya General Manager Lapindo dan Aburizal Bakrie sebagai team nasional.

- Diterbitkan untuk 6 bulan plus 30 hari tetapi nyatanya bekerja hanya 45 hari saja.

- Terjadi tarik ulur masalah keuangan dan administrasi.

Catatan:

Perpres seharusnya berada pada domain tata Negara tetapi telah direndahkan dengan hanya masalah hokum perdata, masalah ganti rugi dengan mekanisme jual beli pula.

4. Perpres 48/2008

Tidak ada lagi skema jual beli tetapi hanya mengatur masalah penanggulangan semburan lumpur saja. Biaya penanggulangan masalah social dibebankan ke APBN.

5. Perpres 40/2009

Lapindo dibebaskan dari segala bentuk kewajiban penanggulangan luapan lumpur dan masalah social.

Lembaga Negara yang terlibat aktif hanya Komnas HAM, walau dalam 5 (lima) kali kebijakan public dalam bentuk Keppres dan Perpres tidak dilibatkan dan tidak memasukkan unsur Hak Asasi Manusia dan tidak ada konsideran dari Undang-Undang Agraria.

Catatan:

Lapindo Brantas Inc. berkantor di Delaware USA

Minarak Lapindo Jaya didirikan dan berkantor di Malaysia.

· Undang-Undang Agraria melarang kepemilikan tanah oleh perusahaan asing, tetapi dalam kasus Lumpur Lapindo mekanisme jual beli dilakukan antara rakyat korban dengan Minarak Lapindo Jaya Inc., perusahaan dari Malaysia.

· Kepemilikan tanah di atas 12 Hektar otomatis berubah status dari Hak Milik menjadi Hak Guna Usaha, Minarak Lapindo Jaya bersikeras pada Hak Milik Permanen.

PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA dan KEBIJAKAN PUBLIK

Manajemen Bencana Berbasis Hak Asasi Manusia

Oleh Dian Noeswantari (Pushan Ubaya)

Versi Lapindo: 1 riset (Mazzani dkk.) versus Versi Peneliti: 6 riset

Pemerintah memilih percaya pada versi Lapindo ketimbang riset-riset yang dilakukan secara independen.

Kasus lapindo menyebabkan krisis:

- Sumber daya alam dan sumber daya buatan.

- Ekonomi, social, politik, dan budaya.

- Psikologis

Sifat bencana: Bencana (kejahatan) korporasi yang bersifat akut (berlaurt-larut):

- Ganti rugi (jual beli) yang tidak jelas.

- Penanggulangan semburan dan lumpur yang hanya tambal sulam.

- Kebijakan yang tidak berpihak pada korban.

Penanggulangan krisis:

- Parsial dan tidak memberdayakan.

- Manipulatif, korban diposisikan sebagai pelaku.

- Tidak berfokus, tidak ada system kepercayaan yang dibangun.

- Informasi dimanipulasi oleh Pusat.

- Identifikasi aspek yang termanifestasi (ekspresi dan penolakan) dan laten (tersembunyi dan potensial).

- Tidak ada mitigasi jangka panjang.

- Peristiwa Semburan Lumpur Lapindo merupakan peristiwa ketiga di dunia, setelah Azerbaijand an Kazakstan) yang telah 50 tahun terjadi dan belum terhenti. Bedanya 2 peristiwa sebelumnya terjadi di padang gurun, sedangkan Lapindo terjadi di pemukiman.

- Peristiwa underground blow up yang ke 17 di dunia, 16 teratasi mengapa Lapindo tidak teratasi?

Proses Krisis:

- Pra krisis,

- Eskalasi krisis,

- Post krisis.

Pengaruh krisis:

· Pengaruh politik

Konstelasi politik di Sidoarjo dan nasional. Transaksional dan penempatan orang-orang yang pro pada Lapindo.

· Pengaruh ekonomi

Terganggunya ekonomi Sidoarjo dan Jawa Timur.

Catatan: Undang-Undang 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana

- Syarat analisis dampak risiko.

- Kebijakan risiko bencana.

- Pencegahan, tanggap darurat, dan rehabilitasi.

Analisis Risiko Bencana (Mitigasi)

- Ancaman: penyebab dan pemicu.

- Penanganan: antisipasi bencana.

- Edukasi manajemen bencana.

PP21/2008 tentang Penyelenggaraan Penanggulan Benana:

- Risiko Bencana.

- Pembangunan berisiko harus ada AMDAL dan Analisis Risiko Bencana.

- Badan Nasional dan Daerah untun analisis risiko bencana.

Mitigasi Bencana berbasis HAM:

- Sistem formal untuk pemenuhan kebutuhan dasar atau memperbaiki kondisi yang ada.

- Tanggung jawab korporasi (CSR) untuk korporasi.

- Masih bersifat himbauan ketimbang formal (hokum).

Corporate Social Responsibility (CSR)

- Berbagi tanggung jawab antara Pemerintah dan korporasi.

- Salah satu syarat dari Good Corporate Governance (GCG).

- Mendukung konstruksi social dalam konteks HAM dan implementasi HAM dalam industrialisasi.

- Peningkatan kapasitas penduduk local.

Mitigasi Bencana Berbasis HAM

- Shared governance.

- Bahasa protektif.

- Saling ketergantungan dan keutuhan.

- Menjadi prinsip regulative.

- HAM bagian dari institusi social.

- Instrumen solidaritas.

AKOMODIR HAM PADA KORBAN LUMPUR LAPINDO

Oleh: Prof. Sutandyo Wignjosubroto (Mantan Anggota KOMNAS HAM)

Ihwal Kebijakan:

- Putusan social politis untuk suatu solusi.

- Dimulai dengan assessment dan dilanjutkan dengan kajian analitik.

Silang Selisih:

- Penyebab dan siapa yang harus bertanggung jawab.

- Siapa pembuat kebijakan untuk solusi dan demi siapa.

Catatan:

- Kesalahan atau kekalahan dalam perang bukan salah prajurit tetapi adalah kesalahan para perwira dan Sang Panglima (Napoleon Bonaparte).

- Dalam Kasus Lumpur Lapindo seharusnya bukan teknisi yang dikejar tetapi yang memerintahkan dan merencanakan pengeboran tersebut.

- Pemerintah + Pengusaha (yang menjadi penguasa pula) VERSUS Rakyat Korban.

- Keputusan di Pusat dengan berbasis kepentingan politik dan ekonomi tetapi tidak pernah mendengar dan mengabaikan korban sama sekali.

Pelanggaran HAM (EKOSOB):

- Siapa yang harus digugat?

- Terjadi ulah perbuatan dan juga pembiaran.

Yang harus bertanggung jawab adalah penyebab munculnya lumpur panas yaitu Lapindo Brantas dan Pemerintah yang melakukan pembiaran Tragedi Lumpur Lapindo terus terjadi dan berlarut-larut.

Catatan dari Diskusi:

- Perlu adanya sinergi antara Pemkab Sidoarjo dan Pemkab Pasuruan mengatasi permasalahan social akibat Lumpur Lapindo.

- Keppres dan Perpres cacat sebelum lahir.

- Pendanaan berasal dari Lapindo sehingga sering terhambat.

- Keputusan DPR-RI (demisioner) menyatakan sebagai “fenomena alam” bukan bencana alam atau human error, kabur dan bias.

- Pelanggaran terhadap Undang-Undang Agraria dalam mekanisme ganti rugi berupa jual beli tanah, sehingga Lapindo Brantas bisa menguasai sekitar 700 hektar tanah di Porong, Tanggulangin, dan Jabon.

POLITIK MEDIA

Oleh: Yayan (FISIP Unair)

Terjadi kartel (konspirasi) industry media:

- Beberapa media dimiliki oleh pemilik Lapindo.

- Pengaburan fakta.

- Menutup informasi-informasi penting.

- Sumber informasi hanya sumber formal semata sehingga tidak ada suara korban.

- Keterbatasan pengetahuan dan kemampuan wartawan.

Perlu adanya Analisis Framing:

- Isu yang ditutupi dan dibelokkan.

- Marjinalisasi korban.

- Conflict oriented news.

- Provokasi jurnalis untuk membuat hot news.

Kampanye lewat iklan dan advertorial untuk membentuk opini public.

Undang-Undang Kebebasan Informasi Publik (1 Mei 2010), masyarakat dapat meminta informasi mengenai penetapan “Fenomena Alam” oleh DPR-RI.


IMAGINED AGENDAS

Oleh: Anton (FIS Unibraw)

Etnografi media:

Agenda 1: Relokasi urat nadi ekonomi.

Agenda 2: Revisi peta terdampak yang terakhir dikeluarkan pada Maret 2007.

Agenda 3: Pemenuhan hak-hak rakyat korban.

Catatan:

- Diluar peta terdampak, korban (potensial) tidak berhak mendapat ganti rugi (menjual tanahnya kepada Lapindo).

- Penanganan dampak hanya pada masalah fisik, tanpa mengindahkan masalah psikologis, social, dan ekologi.

- Peta adalah politik, peta ditentukan oleh penguasa politik saat peta tersebut dibuat.

- Aspek social, budaya, dan ekologis seharusnya dimasukkan dalam analisis dan peta terdampak.

Marjinalisasi korban, pemiskinan structural korban lumpur lapindo:

- Kerawanan pangan dan air bersih.

- Hilangnya fasilitas umum dan social.

- Disartikulasi warga, tiadanya tempat berkumpul dan aktivitas social rakyat.

Pemenuhan Hak-Hak Rakyat:

- Kejelasan status hokum bagi Lapindo Brantas Inc.

- Kejelasan status hokum calon korban potensial di luar peta terdampak.

- Siapa yang seharusnya bertanggung jawab?

Catatan:

Imajinasi Koran versus Imajinasi Novel

Terputus vs runut

Berpencar vs sistematis

Parsial vs komprehensif

Sporadis vs terencana dan terstruktur

- Agenda sistematis elit politik untuk mereduksi bahkan melupakan kasus lapindo.

- Media selalu menggabarkan status politik korban ketimbang kondisi factual korban.

Kesimpulan

HASIL DISKUSI DAN REKOMENDASI

Isu-Isu Utama

1. Semakin berdampak luas tetapi semakin tidak jelas penanganan dan arah penyelesaiannya.

2. Polemik human error dan bencana alam.

Upaya-Upaya Penyesatan

1. Sindikasi dan kartel media.

2. Masuk pada penguasaan politik local.

3. Pengabaian temuan-temuan ahli-hali independen bahkan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

Bencana Buatan Manusia

1. Kejahatan korporasi tetapi direduksi menjadi bencana alam semata.

2. Kejahatan kemanusiaan karena terjadi pembiaran pada korban dan potensi korban.

Faktor-Faktor Penghantar

1. Konflik social dan solidaritas.

2. Perlunya conduit (factor-faktor penghantar).

Isu-Isu Pelanggaran Hak Asasi Manusia

1. Korban sebagai obyek semata dan ditempatkan pada bahaya yang lebih besar.

2. Informasi yang menyesatkan.

Hak Sosial Budaya

1. Pemulihan masalah social budaya.

2. Gesekan social dan rusaknya pranata social.

3. Analisis social dan budaya untuk setiap industrialisasi.

Kejahatan Pembiaran

1. Kebijakan public yang tumpang tindih, overlapping, dan tidak jelas orientasinya serta tidak strategis secara prioritas.

2. Penghindaran dari ranah hukum.

Simpulan

1. Kerusakan ekonomi, social, dan budaya.

2. Harus diakhirinya pembiaran.

3. Dibentuk tim ahli independen.

4. Penanganan analisis social dan budaya.

5. Memperluas tanggung jawab penanggulangan.

1 komentar: