DISKUSI TERTUTUP DAN DISKUSI PUBLIK MENGGUGAT HAK WARGA NEGARA
: KASUS LUMPUR LAPINDO DI SIDOARJO
|
PUSHAM
UBAYA, LPPM UNAIR, FISIP UNAIR, KOMNAS HAM
|
UBAYA,
25—26 Mei 2010
|
Oleh:
Daniel S. Stephanus
Memperingati
4 (empat) tahun semburan lumpur Lapindo dan menuntut pemenuhan Hak-Hak
Rakyat Korban dan yang berpotensi menjadi korban serta penanganan yang
komprehensif dan menyeluruh dampak semburan lumpur Lapindo dengan berpihak
pada Rakyat.
|
Latar Belakang
Sudah empat tahun semenjak semburan pertama lumpur panas keluar dari sawah
warga Renokenongo 29 Mei 2006 dini hari. Tak jauh dari titik semburan itu,
Lapindo Brantas Inc. sedang melakukan kegiatan eksplorasi migas.
Tidak ada yang menduga semburan kecil yang diduga kebocoran gas itu
sekarang menjadi sebuah gunung lumpur.
“Lava” lumpur telah menutupi ratusan hektar tanah, selain juga sebagian dibuang
ke Sungai Porong. Ribuan bangunan (rumah, pabrik, toko, sekolah, kantor
pemerintahan, pesantren) tenggelam dalam danau lumpur raksasa. Puluhan ribu
orang terpaksa pergi dari rumah tinggal mereka yang ditelan lumpur. Akan
tetapi, bagaimanapun juga ancaman bahaya belum usai. Semburan utama sampai saat
ini masih aktif, bahkan muncul titik-titik semburan baru di radius dua
kilometer dari semburan utama. Tidak ada yang bisa memastikan kapan semburan
itu akan berhenti. Artinya, belum ada kepastian apakah warga yang tinggal di
sekitar gunung lumpur itu akan tetap bertahan tinggal di situ ataukah juga akan
menyusul warga yang rumahnya sudah tenggelam dalam lumpur?
Berarti sudah empat tahun pula kontroversi tentang penyebab semburan itu.
Secara geologis, kawasan Sidoarjo merupakan kawasan yang cukup kondusif untuk
terjadinya gunung lumpur atau mud volcano
ini, yang kurang adalah pemicunya. Tentang itu, ada dua kubu geolog yang
berdebat ihwal pemicu semburan. Ada yang berpendapat bahwa semburan itu dipicu
oleh gempa bumi di Yogyakarta – Jawa Tengah dua hari sebelumnya (27 Mei 2006).
Gempa bumi itu diduga telah menyebabkan patahan di bawah kawasan Porong, Sidoarjo,
sehingga memicu munculnya semburan lumpur. Pendapat ini jugalah yang selalu
dimunculkan oleh pihak Lapindo Brantas Inc. karena bagaimanapun juga dengan
melimpahkan penyebab semburan pada gempa bumi, maka lepaslah tanggungjawab
Lapindo Brantas Inc. untuk melakukan rehabilitasi atau pemulihan kawasan
terdampak luapan lumpur itu. Di sisi lain, ada geolog yang berpendapat bahwa
semburan itu dipicu oleh kelalaian Lapindo Brantas Inc. dalam melakukan
pengeboran yang tidak sesuai dengan prosedur yang baku. Salah satunya fakta
yang terungkap adalah Lapindo Brantas Inc. berhenti menggunakan selubung
pengaman (casing) pada kedalaman
tertentu dengan alasan menghemat biaya. Padahal casing itu berguna untuk menahan dinding sumur pengeboran agar
tidak longsor dan menyebabkan kebocoran cairan dari lapisan tanah di sekitar
dinding sumur. Dan inilah yang terjadi, menurut para geolog itu. Mata bor
membentur lapisan batu keras, ketika ditarik terjadi loss (cairan masuk ke dalam sumur pengeboran). Lapindo Brantas Inc.
berusaha menutup sumur dengan semen dan berhasil, namun lapisan tanah di
sekitar sumur retak dan merekah karena tidak kuasa menahan tekanan cairan yang
sangat tinggi (kick). Akhirnya,
cairan itu tidak keluar dari sumur yang sudah ditutup, tapi dari tanah di sekitar
sumur Lapindo Brantas Inc. (blow out).
Selama empat tahun pula para warga yang terusir paksa akibat lumpur menata
kehidupan baru di lingkungan barunya. Menjalin jaring-jaring sosial baru.
Memulai aktivitas ekonomi yang berbeda. Berbagai model rehabilitasi komunitas
ditawarkan baik oleh Lapindo Brantas Inc., pemerintah pusat, ataupun mandiri
dari warga sendiri. Meskipun begitu masih cukup banyak permasalahan sosial yang
muncul sebagai konsekuensi dari rusaknya ruang-ruang fisik akibat terendam lumpur.
Sementara itu, masih ada saja warga yang hidup dalam kawasan berbahaya di
sekitar tanggul lumpur, yang setiap waktu bisa saja jebol. Proses rehabilitasi
bagi kelompok warga ini belum terfasilitasi dalam suatu landasan hukum positif
(de jure), meskipun secara de facto mereka hidup dalam kawasan
rawan bencana.
Saat ini nyaris tidak ada lembaga, baik pemerintahan maupun
non-pemerintahan, yang melihat pada aspek sosial-kemanusiaan dari dampak yang
ditimbulkan oleh luapan lumpur panas itu. Tercatat hanya Komisi Nasional Hak
Asasi Manusia (Komnas HAM) yang masih itensif untuk melakukan investigasi
terhadap Kasus Lapindo dengan pembentukan Tim Yustisia. Penyelidikan Komnas HAM
masih dalam proses, belum final. Sementara itu, beberapa intelegensia melakukan
penelitian mandiri tentang Kasus Lapindo ini. Atas dasar itulah, maka dirasa
perlu untuk melakukan serangkaian kegiatan yang bertujuan memberikan masukan ke
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dan juga meluaskan hasil-hasil
temuan itu ke publik. Harapannya, temuan-temuan itu dapat menjadi salah satu
pertimbangan Komnas HAM dalam menyusun rekomendasi tentang Kasus Lapindo ini.
Tujuan
1.
Memberikan telaah akademik atas terjadinya semburan lumpur Lapindo di
Sidoarjo dan dampak yang ditimbulkannya.
2.
Memberikan masukan pada Komnas HAM tentang temuan-temuan ilmiah Kasus
Lapindo.
3.
Menyebarluaskan kepada publik tentang temuan-temuan ilmiah pada akademisi
tentang Kasus Lapindo.
Pelaksanaan
Kolaborasi kerja antara Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Surabaya,
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik dan Komisi Hak Asasi Manusia Lembaga
Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Universitas Airlangga dan didukung
oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia
Jakarta ini berupa serangkaian kegiatan yang diawali dengan diskusi terbatas yang melibatkan para
peneliti dan pendamping lapangan sejak terjadi letusan lumpur pertama kali
sampai sekarang; termasuk melibatkan Joko
Susanto, dosen pada jurusan Hubungan Internasional Universitas Airlangga
Surabaya, yang akan merangkum poin-poin terpenting dan rekomendasi untuk
disebarluaskan, dan I. Basis Susilo, MA,
Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Airlangga Surabaya.
Beberapa individu dan lembaga yang akan terlibat adalah:
1.
Sjafruddin Ngulma Simeulue (Ketua Tim
Investigasi) dan Kabul Supriyadi (Ketua Tim Advokasi), Komisioner pada Komnas
HAM Jakarta, melihat
fakta-fakta lapangan dari perspektif hak asasi manusia dan advokasi.
2.
Dian Noeswantari, peneliti pada Pusat Studi
Hak Asasi Manusia Universitas Surabaya, melihat dari perspektif hak asasi manusia dan kebijakan
publik.
3.
Anton Novenanto, dosen pada Jurusan Sosiologi
Universitas Brawijaya Malang, melihat dari perspektif antropologi politik dan media.
4.
Yayan Sakti Suryandaru, dosen pada Jurusan
Ilmu Komunikasi Universitas Airlangga, melihat dari perspektif komunikasi/media massa.
5.
Rahmat Kriyantono, dosen pada Jurusan Ilmu
Komunikasi Universitas Brawijaya Malang, melihat dari perspektif
manajemen krisis bencana.
6.
Suparto Wijoyo, dosen pada Fakultas Hukum
Universitas Airlangga Surabaya, melihat dari perspektif hukum lingkungan.
7.
Bambang Boediono, Ketua Komisi Hak Asasi
Manusia Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Universitas Airlangga
Surabaya, melihat
fakta-fakta lapangan dari perspektif hak asasi manusia.
8.
Mujtaba Hamdi, pegiat pada Lapis Budaya
Indonesia Sidoarjo, yang terlibat
dalam pendampingan keterbukaan informasi para warga yang terdampak lumpur, yang
akan memberikan informasi-informasi terbaru tentang kondisi warga di Porong.
9.
Yoan N. Simanjuntak, Pusat Studi Hak Asasi
Manusia Universitas Surabaya, melihat dari perspektif HAM dalam pemenuhan hak pengungsi.
10.
Daniel S. Stephanus, pegiat jaringan relawan
Jambore Kebudayaan Simpul Malang, yang terlibat dalam
pendampingan bagi anak-anak pengungsi.
11.
Samitra Abhaya – Kelompok Perempuan Pro
Demokrasi Surabaya, yang melakukan
pendampingan bagi pengungsi perempuan.
12.
Ali Azhar Akbar, Yogyakarta, penulis buku “Konspirasi di Balik Lumpur Lapindo: Dari
Aktor hingga Strategi Kotor”
13.
Catur Nusantara, Wahana
Lingkungan Hidup Indonesia regional Jawa Timur, yang melakukan penelitian
tentang kandungan lumpur Lapindo.
14.
Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat
Institut Sepuluh nopember Surabaya, yang beberapa kali meneliti tentang kondisi fisik bumi akibat bencana
luapan lumpur Lapindo.
15.
Muhammad Mirdasy, Sidoarjo, mantan anggota
Pansus Lumpur, DPRD Jatim, penulis buku “Bernafas dalam Lumpur Lapindo” *
Waktu, Tempat, dan Penyelenggara
Waktu : Selasa dan Rabu, 25—26 Mei 2010
Tempat : Lantai 5 Ruang Perpustakaan Universitas Surabaya,
Surabaya
Penyelenggara : Pusat Studi Hak Asasi Manusia - Universitas
Surabaya (PUSHAM UBAYA)
Bekerja sama dengan Komisi Nasional
Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM), Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat
Universitas Airlangga - Komisi Hak Asasi Manusia (LPPM UNAIR – KOMISI HAM), dan
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga (FISIP UNAIR).
Rincian Kegiatan
Selasa, 25 Mei 2010 – Diskusi Terbatas
08.00 – 08.30 30’ Registrasi dan Rehat pagi
08.30 – 08.45 15’ Pembukaan
08.45 – 09.45 60’ Sesi 1: Paparan dan Diskusi
Topik Teknis
Pengeboran bersama Ali Azhar Akbar dan Catur Nusantara
Topik Hukum
Lingkungan bersama Suparto Wijoyo
Topik Manajemen
Bencana bersama Rahmat Kriyantono dan LPPM ITS
09.45 – 11. 45 120’ Sesi 2: Paparan dan Diskusi
Topik Media dan
Bencana bersama Anton Novenanto dan Yayan Sakti Suryandaru
Topik HAM bersama
Syafruddin Ngulma Simeulue, Bambang Boediono,
dan Yoan Nursari Simanjuntak
11.45 – 12.30 45’ Sesi 3: Paparan dan Diskusi
Topik Advokasi dan
Kebijakan Publik bersama Kabul Supriyadi dan Dian Noeswantari
12.30 – 13.30 60’ Makan siang
13.30 – 15.00 90’ Sesi 4: Paparan dan Diskusi
Topik
Pendampingan dan Pelajaran dari Lapangan bersama Mujtaba Hamdi, Daniel S.
Stephanus, SA-KPPD, dan Muhammad Mirdasy.
15.00 – 15.30 30’ Pembuatan rekomendasi dan Penutupan
Rabu, 26 Mei 2010 – Diskuis Publik, Konferensi
Pers, dan Media Visit.
08.00 – 08.30 30’ Registrasi
08.30 – 08.45 15’ Pembukaan
08.45 – 09.45 60’ Sesi Lingkungan dan
kebijakan publik dalam kasus semburan lumpur
Lapindo bersama: Sjafruddin Ngulma
Simeulue, Ketua Tim Investigasi, Komisioner Komnas HAM Jakarta.
Sunarso, Kepala Badan
Pelaksana, Ali Azhar Akbar, anggota Denver
Justice and Peace Committee,
Yogyakarta dengan moderator: Bambang Boediono, Komisi HAM – LPPM
Unair
09.45 – 10.30 45’ Sesi Hak asasi manusia
bersama:
Kabul Supriyadi,
Ketua Tim Advokasi, Komisioner Komnas HAM Jakarta
Yoan N.
Simanjuntak, Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Surabaya
dengan moderator:
I. Basis Susilo, Fisip Unair
10.30 – 10.45 15’ Rehat pagi
10.45 – 11.45 60’ Sesi Manajemen informasi
dalam kasus semburan lumpur Lapindo
bersama: Anton Novenanto,
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Brawijaya, Malang.
Yayan Sakti Suryandaru,
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga, Surabaya Rahmat
Kriyantono, Institut teknologi Surabaya. dengan moderator: Inge Christanti, Pusham
Ubaya
11.45 – 12.30 60’ Sesi Lesson learned from field bersama:
Daniel S.
Stephanus, pegiat Jaringan Relawan Kemanusiaan dan Perguruan Rakyat
Merdeka, Samitra Abhaya
Kelompok Perempuan Pro Demokrasi Surabaya
dengan moderator:
Dian Noeswantari, Pusham Ubaya
12.30 – 13.30 60’ Makan siang
13.30 – 14.00 30’ Pembacaan Rekomendasi dan
Konferensi Pers
14.00 – 16.00 120’ Kunjungan media ke lokasi
semburan lumpur panas Lapindo dengan
pendamping: Anton
Novenanto
Ringkasan Materi
DISKUSI
TERBATAS PARA PAKAR
PENGEBORAN
SEBAGAI AWAL BENCANA (Anton – LPPM ITS)
Kesalahan standard
operational procedure (SOP) pengeboran, terungkap pada sudang Paripurna
Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) dengan Lapindo Brantas Inc.
(LBI). Tetapi ditutup-tutupi dengan
membeli (1) pendapat pakar, dan (2) politik pencitraan.
Tidak adanya early warning saat terjadi semburan awal dan juga tidak pernah ada
untuk saat ini bagi masyarakat yang masih tinggal di seputar tanggul dan
pengguna Jalan Raya Porong. Baik bila
terjadi tanah turun (subsidence),
semburan gas, ataupun tanggul jebol. Disaster Management yang buruk.
Informasi sejak dari awal bencana disesatkan
dan dibelokkan, seperti (1) sebagai akibat gempa dari Jogja (walau secara
keilmuan tidak mungkin), (2) merupakan peristiwa pertama di dunia (padahal
peristiwa ketiga setelah di Azerbaijan dan Kazakhtan yang telah menyembur
selama 30 tahun dan terus menyembur sampai saat ini), (3) hanya merupakan human error pelaksana (walaupun
kenyataannya adalah perintah dan perencanaan dari korporasi).
Permasalahan ekonomi, politik, dan hokum
terjadi tetapi ditutup oleh pencitraan dan transaksi politik antara pemilik LBI
(Bakrie Group) dengan penguasa (SBY & Bakrie , Partai Demokrat dan Partai
Golkar).
Tidak ada dokumen analisis risiko bencana
Lumpur Lapindo di Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Butuh team independen untuk meneliti
penyebab, penanganan, dan penanggulangan dampak bencana Lumpur Lapindo.
Status
Bencana Lumpur Lapindo (corporate crime):
1.
Korban yang terusir dari tanah
leluhurnya tanpa penggantian yang layak.
2.
Tidak memperoleh informasi tentang
aktivitas dan risiko eksplorasi tersebut.
3.
Memicu keresahan pada masyarakat luas
(pengguna jalan raya porong dan masyarakat seputar tanggul.
4.
Pemerintah tidak tegas dalam penetapan
status bencana lapindo dan menggabaikan dokumen-dokumen ahli dan bahkan
instansi Negara sendiri (BPK).
5.
Rakyat hanya sebagai obyek semata dan
tidak menjadi subyek.
MEDIA BENCANA DAN ASPEK HAK ASASI
MANUSIA, MEDIA FRAMING
Oleh: Yayan Sakti, FISIP UNAIR
Beberapa
media telah terbeli dan menggeser headline
dari Lapindo ke BPLS.
Surabaya
Post dan Media Indonesia, menghilangkan dan bahkan memutarbalikkan fakta
sehingga menjadi corong Lapindo.
Surabaya Post dan Arek TV dimiliki oleh Bakrie Group.
Teknik
Framing:
-
Kepemilikan dan redaksi.
-
Pariwara, propaganda tentang Kahuripan
Nirwana Village sebagai tempat relokasi.
-
Sumber berita hanya sumber berita
“resmi” seperti Pemprov Jatim, Pemda Sidoarjo, dan BPLS.
-
Menggeser isu teknis pada isu-isu
politis karena pengetahuan yang minim dari wartawan dan hanya memberitakan
isu-isu konflik.
Kompas dan Jawa Pos, cukup kritis tetapi masih
mau menerima advertorial propaganda dari Lapindo.
AGENDA
MEDIA
Oleh:
Anton Novenanto (FIS Unibraw)
Mempergunakan etnografi media:
-
Relokasi urat nasi perekonomian
-
Revisi peta terdampak
-
Pemenuhan Hak-Hak Korban.
Catatan:
Peta
adalah pertarungan politik pembuatnya.
Peta Terdampak tidak memasukkan aspek ekonomi, social, dan ekologis.
Hak
sipil politik, status korban Lapindo tidak jelas, karena belum terjawab siapa
yang seharausnya bertanggungjawab. Hak
ekonomi, social, budaya tidak terpenuhi karena tidak jelasnya status sipil dan
politik para korban.
Catatan:
Imanjinasi
Koran (terputus) bukan imajinasi novel dengan kejelasan tokoh dan alur cerita.
PERAN KOMISI NASIONAL HAK ASASI
MANUSIA
Oleh: Bp. Kabul S. (Anggota KOMNAS
HAM)
Tanggung
jawab Negara dan korporasi, tidak serius mengurus Lumpur Lapindo, terutama pada
korbannya.
Upaya-upaya
KOMNAS HAM:
-
Tim pengkajian, temuan dan
rekomendasi.
-
Tim pemantauan, assessment
perlindungan HAM.
-
Tim investasi, dugaan pelanggaran HAM
berat.
-
Tim ad hoc, penyelidikan pelanggaran
HAM berat.
Tim penyelidik kejahatan (pidana) kemanusiaan
berdasar UU26/2000, telah masuk Kejaksaan dan Kepolisian tetapi diabaikan.
Tragedy
Lumpur Lapindo adalah tragedy baru dan KOMNAS HAM tidak memiliki rujukan sama
sekali.
Dugaan
Pelanggaran HAM Berat:
-
Penggusiran sistematis oleh lumpur.
-
Serangan yang meluas dan sistematis.
-
Dugaan tindak pidana oleh Lapindo
berupa kejahatan terhadap kemanusiaan.
-
18 jenis pelanggaran berdasar
UU39/1999.
HAK ATAS KESEHATAN DAN PENDIDIKAN
BERBASIS PRINSIP-PRINSIP PANDUAN PENGUNGSI INTERNAL – UNHCR.
Oleh: Yoan N. Simanjuntak (PUSHAM
Ubaya)
Hak
Atas Kesehatan: MCK dan Sanitasi; pakaian layak pakai; air bersih; makanan yang
layak; fasilitas kesehatan dasar.
Hak
Atas Pendidikan: seluruhnya terabaikan.
Pemerintah
melakukan pembiaran terhadap rakyat korban.
Kejahatan:
By
Ommission, pembiaran secara terus menerus dan berlarut-larut, masal dan
sistematik.
DISKUSI:
·
Konstruksi media mengikuti konstruksi
logika Lapindo, jual beli dan pengambil alihan tanah.
·
Kandungan hidro karbon di Porong
adalah 441ppm sedangkan ambang batas aman adalah 500ppm, sudah mendekati ambang
batas maksimal manusia bisa hidup.
·
Lapindo dijual ke luar negeri tetapi
Block Brantas masih dimilliki oleh Bakrie Group.
·
Case
metric:
-
Element
of crime, harus terpenuhi seluruhnya untuk memenuhi case metric pada kejahatan korporasi
lapindo.
-
Perlu adanya escape close, untuk menyatakan pelanggaran HAM Berat baik
pelanggaran ekonomi, psikologis, dan ekologis (aspek-aspek nok fisik).
-
18 HAM yang telah diindikasi dilanggar
oleh Lapindo Brantras Inc.
-
Keputusan Komnas HAM mengikat secara hukum.
·
Keppres dan Perpres
-
Keppres 13/2006
-
Keppres 5/2007
-
Perpres 14/2007
-
Perpres 48/2008
-
Perpres 40/2009
·
Hasil audit BPK tahun 2007 dan Laporan
BP Migas diabaikan oleh Pemerintah dan DPR-RI.
ASPEK-ASPEK HUKUM
Oleh: Dian N (Pusham Ubaya)
Keppres
dan Perpres tidak berkesinambungan satu dengan yang lain.
-
Tidak menerima masukan dari pendamping
lapangan.
-
Kewajiban Lapindo dihilangkan sedikit
demi sedikit melalui Perpres dan bahkan pada Perpres 40/2009 hilang dan
ditanggung oleh Negara.
Pendampingan
dilarang masuk dan peta terdampak hanya mengakomodasi korban dalam tanggul,
bagaimana dengan yang di luar tanggul tapi terdampak?
Manajemen
bencana yang tidak karuan seperti kebijakan yang tidak jelas, overlapping otoritas, siap siaga bencana
tidak ada, dan lemahnya monitoring oleh
BP Migas.
MODAL MASYARAKAT YANG HILANG
Oleh: Mujtaba (Peneliti Sosial)
1.
Modal natural (sumber daya alam)
2.
Modal keahlian (skil)
3. Social cultural capital
Sedangkan
mekanisme ganti rugi dengan jual bel hanya memperhitungkan tanah dan rumah
saja, yang ujung-ujungnya mengakibatkan:
-
Sengketa atau perebutan warisan.
-
Hilangnya ikatan social.
-
Pola patriarkal bergeser sehingga
perempuan turut bekerja dan anak-anak terabaikan.
Pemulihan
korban:
-
Bukan hanya modal natural saja tetapi
juga skill.
-
Inklusi social dengan menggembalikan
daya tahan hidup.
-
Memulihkan kegiatan-kegiatan social.
TINJAUAN POLITIK
Oleh Ali Azhar Akbar (Peneliti Sosial
Ekonomi Politik – Jogjakarta)
Presiden
mengatasi masalah tragedy Lapindo tanpa dan bahkan menghindari proses
hokum. Salah satu tanda bahwa Presiden
RI tidak percara pada proses hokum dan menyukai negosiasi empat mata.
-
Terbukti dari 2 Keppres dan 3 Perpres
tidak ada sangsi hokum bila kelima peraturan tersebut dilanggar oleh Lapindo.
-
Reduksi permasalahan social menjadi
transaksional (ganti rugi dalam bentuk jual beli)
-
Nuansa politik kental, Rapat Paripurna
DPR RI tanggal 30 September 2009, Sidang Paripurna DPR-RI yang terakhir ada
keputusan tentang Status Lapindo.
-
Mempailitkan Lapindo dan melepas dari
perusahaan induk (Energi Megah Perkasa – Medco – Santos).
-
Reimburse
kerugian penanganan dampak Lapindo pada
Pemerintah.
-
Medco tidak membayar dan saham dijual
ke Lapindo senilai USD100 dengan syarat MEDCO tidak boleh bicara dan terlibat
dalam masalah Lumpur Lapindo.
-
Ditenggarai MEDCO memiliki senjata
rahasia (berdasar hasil audit MEDCO terhadap sumur Banjar Panji), Lapindo tidak
berkutik dihadapan MEDCO.
-
Lapindo telah mengklaim mengeluarkan
dana sebesar IDR6,2Trilyun untuk penanggulangan Lumpur Lapindo.
-
Production
sharing Lapinod dan Pemerintah berlaku untuk 30 tahun
sejak 1990 dan berakhir pada 2020.
Bagaimana dengan penyelesaian Ganti Rugi berupa Pembelian Tanah yang
diangsur untuk masa yang melebihi masa akhir kontrak karya tersebut?
-
Sikap Pemerintah dan Pengadilan yang
tidak menyatakan bersalah Lapindo asal tetap membayar ganti rugi (transaksi
dalam hokum).
-
BP Migas tidak bersuara karan gagal
mengawasi proses pengeboran. Kontrak
pengeboran adalah 35 hari tetapi pecahnya sumur Banjar Panji adalah pada hari
ke 80.
-
Pengusiran sistematis oleh Pemkab
Sidoarjo pada pendamping korban dan lembaga advokasi. WALHI dihadapkan pada masyarakat dengan
kegiatan yang dikoordinasi oleh orang-orang Pemkab Sidoarjo.
-
Perpres tidak menyentuh niali-nilai
dasar Hak Asasi Manusia.
-
Proses ganti rugi dengan jual beli
tanah telah melanggar Undang-Undang Agraria.
-
Tidak adanya manajemen
kebencanaan. Indonesia sebagai pusat
krisis bencana di ASEAN tetapi tidak menangani bencana denagn konprehensif.
Catatan:
Saat
ini ada uji seismic di Jombang, lebih dari 1.000 titik yang tersebar di 21
Kecamatan se Kabupaten Jombang.
HASIL-HASIL DISKUSI:
·
Definisi korban, bukan hanya yang terdampak
langsung tetapi yang saat ini potensial menjadi korban seperti masyarakat yang
ada di sekitar tanggul.
·
Mempercepat penyelesaian ganti rugi.
·
Elemenet
of Crime diperjelas seperi pembunuhan dan pengusiran
secara sistematis.
·
Kebijakan public yang memperjelas
sangsi bila Lapindo lalai atau menunda pembayaran ganti rugi dan penyelesaian
semua kewajiban Lapindo sebelum kontrak karyanya berakhir.
·
Minarak Lapindo Jaya (MLJ) perusahaan
yang dibentuk menangani dampak social Lumpur Lapindo bila wanprestrasi tidak
dapat dituntut karena bukan perusahaan penyebab masalah.
·
Revisi Perpres 40/2009 yang
menghilangkan kewajiban pembayaran gantui rugi pada korban oleh Lapindo dan
pembebanan seluruh dampak luapan lumpur (pengaliran ke sungai porong) yang saat
ini dibebankan ke pemerintah.
DISKUSI
PUBLIK
PEMBUKAAN OLEH REKTOR UNIVERSITAS
SURABAYA
1. Kegiatan yang merupakan pernyataan keberpihakan Perguran Tinggi
pada rakyat yang terpinggirkan.
2. Perilaku keberpihakan Perguruan Tinggi saharusnya adalah pada:
a.
Kebenaran (the truth);
b.
Demokrasi (democracy);
c.
Hak Asasi Manusia
(human rights);
d.
Perdamaian dan
Anti Kekerasan (peace and anti-violence);
e.
Pembangunan yang
berkelanjutan (sustainable development).
Komitmen Universitas Surabaya (UBAYA) untuk selalu berpihak pada
rakyat pinggiran yang terpinggirkan.
Contoh: Keberhasilan system ekonomi yang menjamin kedaulatan konsumen
dan kedaulatan pekerja.
KEBIJAKAN PUBLIK
DAN LINGKUNGAN
Oleh: Ali Ashar
Akbar (Peneliti Ekonomi Sosial Politik – Jogjakarta)
Ketidak pastian kebijakan public dalam kasus Lumpur Lapindo.
Tinjauan terhadap 2 Keppres dan 3 Perpres:
1.
Keppres 13/2006
Dikeluarkan 102 hari setelah kejadian
dan hanya berumur 6 bulan saja. Berisi
penanggulangan luapan lumpur dengan penunjukkan BPLS.
2.
Keppres 5/2007
Hanya berumur 30 hari sebagai tambahan
waktu untuk Keppres sebelumnya.
3.
Perpres 14/2007
212 hari setelah kejadian dan akhirnya
diubah 2 (dua) kali juga. Perpres
seharusnya diterbitkan tidak untuk mengatus tetapi perpres ini diterbitkan
untuk mengatur.
Kejanggalan-kejanggalan:
-
Pihak yang
bermasalah (Lapindo dan Bakrie Group) ikut terlibat dalam penyusunan
Perpres. Dibutktikkan dengan turut
sertanya General Manager Lapindo dan Aburizal Bakrie sebagai team nasional.
-
Diterbitkan untuk
6 bulan plus 30 hari tetapi nyatanya bekerja hanya 45 hari saja.
-
Terjadi tarik
ulur masalah keuangan dan administrasi.
Catatan:
Perpres seharusnya berada pada domain
tata Negara tetapi telah direndahkan dengan hanya masalah hokum perdata,
masalah ganti rugi dengan mekanisme jual beli pula.
4.
Perpres 48/2008
Tidak ada lagi skema jual beli tetapi
hanya mengatur masalah penanggulangan semburan lumpur saja. Biaya penanggulangan masalah social
dibebankan ke APBN.
5.
Perpres 40/2009
Lapindo dibebaskan dari segala bentuk kewajiban
penanggulangan luapan lumpur dan masalah social.
Lembaga Negara yang terlibat aktif hanya Komnas HAM, walau dalam 5
(lima) kali kebijakan public dalam bentuk Keppres dan Perpres tidak dilibatkan
dan tidak memasukkan unsur Hak Asasi Manusia dan tidak ada konsideran dari
Undang-Undang Agraria.
Catatan:
Lapindo Brantas Inc. berkantor di Delaware USA
Minarak Lapindo Jaya didirikan dan berkantor di Malaysia.
·
Undang-Undang
Agraria melarang kepemilikan tanah oleh perusahaan asing, tetapi dalam
kasus Lumpur Lapindo mekanisme jual beli
dilakukan antara rakyat korban dengan Minarak Lapindo Jaya Inc., perusahaan
dari Malaysia.
·
Kepemilikan tanah
di atas 12 Hektar otomatis berubah status dari Hak Milik menjadi Hak Guna
Usaha, Minarak Lapindo Jaya bersikeras pada Hak Milik Permanen.
PERSPEKTIF HAK
ASASI MANUSIA dan KEBIJAKAN PUBLIK
Manajemen Bencana
Berbasis Hak Asasi Manusia
Oleh Dian
Noeswantari (Pushan Ubaya)
Versi Lapindo: 1 riset (Mazzani dkk.) versus Versi Peneliti: 6
riset
Pemerintah memilih percaya pada versi Lapindo ketimbang
riset-riset yang dilakukan secara independen.
Kasus lapindo menyebabkan krisis:
-
Sumber daya alam
dan sumber daya buatan.
-
Ekonomi, social,
politik, dan budaya.
-
Psikologis
Sifat bencana: Bencana
(kejahatan) korporasi yang bersifat akut (berlaurt-larut):
-
Ganti rugi (jual
beli) yang tidak jelas.
-
Penanggulangan
semburan dan lumpur yang hanya tambal sulam.
-
Kebijakan yang
tidak berpihak pada korban.
Penanggulangan krisis:
-
Parsial dan tidak
memberdayakan.
-
Manipulatif, korban
diposisikan sebagai pelaku.
-
Tidak berfokus,
tidak ada system kepercayaan yang dibangun.
-
Informasi
dimanipulasi oleh Pusat.
-
Identifikasi
aspek yang termanifestasi (ekspresi dan penolakan) dan laten (tersembunyi dan
potensial).
-
Tidak ada
mitigasi jangka panjang.
-
Peristiwa
Semburan Lumpur Lapindo merupakan peristiwa ketiga di dunia, setelah
Azerbaijand an Kazakstan) yang telah 50 tahun terjadi dan belum terhenti. Bedanya 2 peristiwa sebelumnya terjadi di
padang gurun, sedangkan Lapindo terjadi di pemukiman.
-
Peristiwa
underground blow up yang ke 17 di dunia, 16 teratasi mengapa Lapindo tidak
teratasi?
Proses Krisis:
-
Pra krisis,
-
Eskalasi krisis,
-
Post krisis.
Pengaruh krisis:
·
Pengaruh politik
Konstelasi politik di Sidoarjo dan
nasional. Transaksional dan penempatan
orang-orang yang pro pada Lapindo.
·
Pengaruh ekonomi
Terganggunya ekonomi Sidoarjo dan Jawa
Timur.
Catatan: Undang-Undang 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana
-
Syarat analisis
dampak risiko.
-
Kebijakan risiko
bencana.
-
Pencegahan,
tanggap darurat, dan rehabilitasi.
Analisis Risiko Bencana (Mitigasi)
-
Ancaman: penyebab
dan pemicu.
-
Penanganan:
antisipasi bencana.
-
Edukasi manajemen
bencana.
PP21/2008 tentang Penyelenggaraan Penanggulan Benana:
-
Risiko Bencana.
-
Pembangunan
berisiko harus ada AMDAL dan Analisis Risiko Bencana.
-
Badan Nasional
dan Daerah untun analisis risiko bencana.
Mitigasi Bencana berbasis HAM:
-
Sistem formal
untuk pemenuhan kebutuhan dasar atau memperbaiki kondisi yang ada.
-
Tanggung jawab
korporasi (CSR) untuk korporasi.
-
Masih bersifat
himbauan ketimbang formal (hokum).
Corporate Social
Responsibility (CSR)
-
Berbagi tanggung
jawab antara Pemerintah dan korporasi.
-
Salah satu syarat
dari Good Corporate Governance (GCG).
-
Mendukung
konstruksi social dalam konteks HAM dan implementasi HAM dalam industrialisasi.
-
Peningkatan
kapasitas penduduk local.
Mitigasi Bencana Berbasis HAM
-
Shared governance.
-
Bahasa protektif.
-
Saling
ketergantungan dan keutuhan.
-
Menjadi prinsip
regulative.
-
HAM bagian dari
institusi social.
-
Instrumen
solidaritas.
AKOMODIR HAM PADA
KORBAN LUMPUR LAPINDO
Oleh: Prof.
Sutandyo Wignjosubroto (Mantan Anggota KOMNAS HAM)
Ihwal Kebijakan:
-
Putusan social
politis untuk suatu solusi.
-
Dimulai dengan assessment dan dilanjutkan dengan kajian
analitik.
Silang Selisih:
-
Penyebab dan
siapa yang harus bertanggung jawab.
-
Siapa pembuat
kebijakan untuk solusi dan demi siapa.
Catatan:
-
Kesalahan atau
kekalahan dalam perang bukan salah prajurit tetapi adalah kesalahan para
perwira dan Sang Panglima (Napoleon Bonaparte).
-
Dalam Kasus
Lumpur Lapindo seharusnya bukan teknisi yang dikejar tetapi yang memerintahkan
dan merencanakan pengeboran tersebut.
-
Pemerintah +
Pengusaha (yang menjadi penguasa pula) VERSUS Rakyat Korban.
-
Keputusan di
Pusat dengan berbasis kepentingan politik dan ekonomi tetapi tidak pernah
mendengar dan mengabaikan korban sama sekali.
Pelanggaran HAM (EKOSOB):
-
Siapa yang harus
digugat?
-
Terjadi ulah
perbuatan dan juga pembiaran.
Yang harus bertanggung jawab adalah penyebab munculnya lumpur
panas yaitu Lapindo Brantas dan Pemerintah yang melakukan pembiaran Tragedi
Lumpur Lapindo terus terjadi dan berlarut-larut.
Catatan dari Diskusi:
-
Perlu adanya
sinergi antara Pemkab Sidoarjo dan Pemkab Pasuruan mengatasi permasalahan
social akibat Lumpur Lapindo.
-
Keppres dan Perpres
cacat sebelum lahir.
-
Pendanaan berasal
dari Lapindo sehingga sering terhambat.
-
Keputusan DPR-RI
(demisioner) menyatakan sebagai “fenomena alam” bukan bencana alam atau human error, kabur dan bias.
-
Pelanggaran
terhadap Undang-Undang Agraria dalam mekanisme ganti rugi berupa jual beli
tanah, sehingga Lapindo Brantas bisa menguasai sekitar 700 hektar tanah di
Porong, Tanggulangin, dan Jabon.
POLITIK MEDIA
Oleh: Yayan
(FISIP Unair)
Terjadi kartel (konspirasi) industry media:
-
Beberapa media
dimiliki oleh pemilik Lapindo.
-
Pengaburan fakta.
-
Menutup
informasi-informasi penting.
-
Sumber informasi
hanya sumber formal semata sehingga tidak ada suara korban.
-
Keterbatasan
pengetahuan dan kemampuan wartawan.
Perlu adanya Analisis Framing:
-
Isu yang ditutupi
dan dibelokkan.
-
Marjinalisasi
korban.
-
Conflict oriented news.
-
Provokasi
jurnalis untuk membuat hot news.
Kampanye lewat iklan dan advertorial untuk membentuk opini public.
Undang-Undang Kebebasan Informasi Publik (1 Mei 2010), masyarakat
dapat meminta informasi mengenai penetapan “Fenomena Alam” oleh DPR-RI.
IMAGINED AGENDAS
Oleh: Anton (FIS
Unibraw)
Etnografi media:
Agenda 1: Relokasi urat nadi ekonomi.
Agenda 2: Revisi peta terdampak yang terakhir dikeluarkan pada
Maret 2007.
Agenda 3: Pemenuhan hak-hak rakyat korban.
Catatan:
-
Diluar peta
terdampak, korban (potensial) tidak berhak mendapat ganti rugi (menjual
tanahnya kepada Lapindo).
-
Penanganan dampak
hanya pada masalah fisik, tanpa mengindahkan masalah psikologis, social, dan
ekologi.
-
Peta adalah
politik, peta ditentukan oleh penguasa politik saat peta tersebut dibuat.
-
Aspek social,
budaya, dan ekologis seharusnya dimasukkan dalam analisis dan peta terdampak.
Marjinalisasi korban, pemiskinan structural korban lumpur lapindo:
-
Kerawanan pangan dan
air bersih.
-
Hilangnya
fasilitas umum dan social.
-
Disartikulasi
warga, tiadanya tempat berkumpul dan aktivitas social rakyat.
Pemenuhan Hak-Hak Rakyat:
-
Kejelasan status
hokum bagi Lapindo Brantas Inc.
-
Kejelasan status
hokum calon korban potensial di luar peta terdampak.
-
Siapa yang
seharusnya bertanggung jawab?
Catatan:
Imajinasi Koran versus
Imajinasi Novel
Terputus vs runut
Berpencar vs sistematis
Parsial vs komprehensif
Sporadis vs terencana dan terstruktur
-
Agenda sistematis
elit politik untuk mereduksi bahkan melupakan kasus lapindo.
-
Media selalu
menggabarkan status politik korban ketimbang kondisi factual korban.
Kesimpulan
HASIL DISKUSI DAN REKOMENDASI
Isu-Isu Utama
1.
Semakin berdampak luas tetapi semakin
tidak jelas penanganan dan arah penyelesaiannya.
2.
Polemik human error dan bencana alam.
Upaya-Upaya Penyesatan
1.
Sindikasi dan kartel media.
2.
Masuk pada penguasaan politik local.
3.
Pengabaian temuan-temuan ahli-hali
independen bahkan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Bencana Buatan Manusia
1.
Kejahatan korporasi tetapi direduksi
menjadi bencana alam semata.
2.
Kejahatan kemanusiaan karena terjadi
pembiaran pada korban dan potensi korban.
Faktor-Faktor Penghantar
1.
Konflik social dan solidaritas.
2.
Perlunya conduit (factor-faktor penghantar).
Isu-Isu Pelanggaran Hak Asasi Manusia
1.
Korban sebagai obyek semata dan
ditempatkan pada bahaya yang lebih besar.
2.
Informasi yang menyesatkan.
Hak Sosial Budaya
1.
Pemulihan masalah social budaya.
2.
Gesekan social dan rusaknya pranata
social.
3.
Analisis social dan budaya untuk
setiap industrialisasi.
Kejahatan Pembiaran
1.
Kebijakan public yang tumpang tindih, overlapping, dan tidak jelas
orientasinya serta tidak strategis secara prioritas.
2.
Penghindaran dari ranah hukum.
Simpulan
1.
Kerusakan ekonomi, social, dan budaya.
2.
Harus diakhirinya pembiaran.
3.
Dibentuk tim ahli independen.
4.
Penanganan analisis social dan budaya.
5.
Memperluas tanggung jawab
penanggulangan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar