Legenda Rakyat Ngantang akan Kelud dan Kali Konto
Mingu siang, hari minggu pertama di bulan Maret 2014, di tepi jalan tepat di gapura masuk Desa Banjarejo Kecamatan Ngantang Kabupaten Malang, duduk menunggu kawan yang akan datang dari Kota Malang, Pak Ta'ib (70) yang duduk disebelahku, membuka pembicaraan dengan menanyakan tempat pondokan kami dan dari mana kami berasal. Beliau mengawali kisah dengan semakin ramainya kawasan Selorejo semenjak Kelud meletus, bukan saja hilir mudik relawan dan TNI tetapi juga wisatawan bencana yang berdatangan dari berbagai kota. Pembicaraan berkembang pada legenda-legenda di seputaran Selorejo, bukan hanya Kelud tetapi juga Kali Konto dan Kali Brantas.
Pak Ta'ib yang asli Desa Banjarejo menuturkan, Gunung Kelud muncul akibat marahnya Maesa Suro karena akal licik Putri Kediri. Maesa Suro yang jatuh hati pada Putri Kediri, tanpa basa-basi di sampaikan lamaran untuk mempersunting Sang Putri nan cantik jelita dari Keraton Kediri. Sang Putri yang enggan menerima lamaran kemudian menyusun akal bulus, bukan hanya menolak lamaran tetapi sekaligus bisa membinasakan Maesa Suro yang terkenal sakti mandraguna. Disyarakatkannya, lamaran akan diterima bila Maesa Suro sanggup membuat sebuah Sumur Kencana yang luas dan dalam, di lokasi sekarang Gunung Kelud berada. Tanpa basa basi, Maesa Suro menyanggupinya dan langsung cancut tali wondo mengeruk sumur sedalam dan seluas yang bisa dia lakukan. Tanpa sepengatahuannya, Sang Putri Kediri memerintahkan rakyatnya untuk menimbun Maesa Suro yang sedang bekerja menggali Sumur Kencana. Sembari menahan gempuran timbunan tanah dan batu, Maesa Suro melampiaskan kemarahannya dengan menyemburkan api dari mulutnya. Api yang membinasakan rakyat yang menimbunnya dengan batu, pasir, dan tanah, Melihat gelagat yang membahayakan, Sang Putri lari ke arah timur dan berlindung dai balik Gunung Gampeng di sisi timur gunungan timbunan batu. Selamatlah Sang Putri dari muntahan api panas Maesa Suro, yang sampai saat ini masih dipercaya oleh rakyat Ngantang, lahar panas tidak akan mengallir ke arah timur (Ngantang) karena terhalang Gunung Gampeng, tempat Sang Putri Kediri bersembunyi. Maesa Suro yang menahan rasa dendam bila marah akan terus menghajar daerah selatan, tempat asal Sang Putri Kediri, arah Kota dan Kabupaten Blitar dan Kediri. Itulah kepercayaan yang dipegang oleh rakyat Ngantang sampai saat ini, bialpun Gunung Kelud meletus sebagai pengejahwantahan kemaharan Maesa Suro, Ngantang tidak akan mungkin terkena lahar, paling-paling hanya limpahan abu saja.
Cerita pun berlanjut tentang Kali Konto yang membela Ngantang, Kali Konto dan Kali Brantas bersumber dari tempat yang sama, demikian penuturan Pak Ta'ib, bersumber dari Batu. Kali Konto itu lelaki dan Kali Brantas itu perempuan, kata beliau. Kedua kali ini berlomba untuk mencapai laut. Kali Brantas yang bersifat perempuan ini, berjalan pelan, melalui tempat-tempat yang ladai dan datar, jalan-jalan yang lempeng tutur Pak Ta'ib. Konsekuensinya, Kali Brantas harus berjalan atau mengalir lebih jauh untuk mencapai laut, tetapi karena sifat sabarnya, ditambah dengan kelembutan yang dimilikinya, banyak kemudian yang menemaninya berjalan beriring bersama. Sehingga, saat mencapai laut, Kali Brantas yang berhulu kecil mencapai laut sebagai sungai yang besar. Perjanalan jauh melewati banyak kota dan kabupaten, banyaknya teman pengiring sejalan, menjadi Kali Brantas sungai yang lebar, debit air tinggi, tetapi arusnya tenang.
Berbeda dengan Kali Konto yang sifatnya laki-laki yang maskulin dan serampangan. Kali Konto yang berhulu di Batu tidak pernah mencapai laut, jalurnyapun semau-maunya, deras dan liar. Kali Konto yang dapat kita lihat bila kita menempuh perjalan dari Batu ke Kediri atau Jombang lewat Ngantang, kita akan melihat sendiri liarnya sungai yang sering kali berpindah alur dan merontokkan tebing-tebingnya. Sama seperti lelaki yang bila ada maunya, liar dan ganas serta mampu menerjang apapun layaknya liar dan ganasnya aliran Kali Konto. Tetaoi apa lacur, karena sering mengumbar emosi dan hasrat berlebihan, Kali Konto tidak pernah sampai ke laut, tidak pernah sampai ke tujuannya, ujar Pak Ta'ib.
Pembicaraanpun terhenti kala kawan-kawan dari Kota Malang memasuki gerbang Desa Banjarejo. Siang yang menyenangkan, mendengar cerita dan legenda di seputar Ngantang, khususnya Selorejo. Bukan sekedar legenda pengantar tidur tetapi sarat dengan makna, tentang kearifan lokal, tentang kehidupan. Bukan sekedar petuah atau sekedar kata-kata, tetapi sarat dengan filsafat, tentang jalan kehidupan. Di siang bolong nan bising, satu lagi pembelajaran tentang hidup dibeberakan dihadapanku, sangat gamblang, lugas, tetapi penuh makna. Terima kasih Pak Ta'ib, satu lagi guru kehidupan yang berada dimana-mana yang kutemukan di pinggiran jalan, depan warung samping gapura Desa Banjarejo.
Benarlah sebuah pepatah... Semua orang adalah guru, semua tempat adalah kelas, dan alam raya ini adalah sekolah......
Tidak ada komentar:
Posting Komentar