ANALISIS KRITIS
MENGGUNAKAN TRIPPLE BOTTOM LINE (TBL)
Agency Problem
Rakyat (Principal)
Mandat Profit
&
Pajak
Kesejahteraan Produk
(barang & jasa)
&
Pelayanan Publik
Pemerintah
(Agent) Swasta (Investor)
Perijinan dan Pengawasan
Pajak
dan Retribusi
Teori
Keagenan (Agency Theory) menjelaskan adanya konflik kepentingan yang
terjadi antara pirncipaldengan Agent.Principal adalah pemilik sumberdaya sedangkan agent adalah penerima kuasa (mandat) untuk mengelola sumberdaya. Contoh: antara
pemegang saham dengan manajemen di sektor swasta dan rakyat dan pemerintah di
sektor publik (Jensen &
Meckling, 1976).
Problem: Benturan Kepentingan (conlict of interest)
1.
Moral
Hazard àSelf Interest àberperilaku menguntungkan diri
sendiri.
2.
Adverse
SelectionàAssymetric Informationà menguasai informasi
dan penguasan sumberdaya sepihak.
Stakeholders Theory, Legitimacy Theory & Tripple Bottom Line
Stakeholders Theory
Freeman, dkk., (2004) menyatakan bahwa stakeholders theoryadalah kumpulan kebijakan dan praktik yang
berhubungan dengan stakeholders, nilai-nilai, pemenuhan ketentuan hukum,
penghargaan pada masyarakat
dan lingkungan, serta komitmen aktivitas ekonomi dan dunia usaha untuk berkontribusi dalam
pembangunan secara berkelanjutan yang berdasar pada Nilai (value).
Deegan
(2004) menyatakan bahwa semua stakeholdermemunyai hak memperoleh
informasi mengenai aktivitas agent yang dapat memengaruhi pengambilan
keputusan.Para stakeholderjuga dapat memilih untuk tidak menggunakan informasi
tersebut dan tidak dapat memainkan peran secara langsung.
Legitimacy Theory
Dowling
& Pfeffer (1975) menyatakan bahwa legitimasi adalah sebuah kondisi atau status yang ada ketika
sistem nilai entitas kongruen dengan sistem nilai masyarakat yang lebih luas di
tempat entitas tersebut berada.
O’Donovan
(2002) menyatakan bahwa
legitimasi merupakan gagasan agar sebuah organisasi dapat terus beroperasi
dengan sukses, maka organisasi tersebut harus bertindak sesuai aturan yang
diterima secara luas oleh masyarakat.
Tripple Bottom Line
Elkington (1997) melalui bukunya yang berjudul “Cannibals with Forks, the Triple Bottom
Line of Twentieth Century Business”, mengembangkan konsep Triple Bottom
Line:(1) economic prosperity, (2) environmental quality, and (3)
social justice.
“People
and Planet before profit”
TBL mengedepankan going
concern ketimbang sustainable
development.
Sustainable
Development, terus berkembang dan terus membangun (kapitalisasi dan
ekstensifikasi).
Going Concern, menjaga
kelangsungan hidup entitas untuk jangka panjang (keseimbangan antara kinerja
sosial, lingkungan, dan keuangan perusahaan).
Kinerja Perusahaan
Komprehensif (3P)
Kinerja Sosial (Corporate Social Responsibility)
Masyarakat adalah stakeholder penting
yang harus diperhatikan dalam pembangunan ekonomi dan aktivitas bisnis.
Dukungan dari masyarakat sekitar sangat diperlukan bagi keberadaan,
kelangsungan hidup, dan perkembangan pembangunan ekonomi dan aktivitas bisnis
sehingga dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya kepada masyarakat
sekitar dan secara luas. pembangunan ekonomi dan aktivitas bisnis berpotensi
memberikan dampak bagi masyarakat sekitar, sehingga perlu untuk melakukan
berbagai kegiatan yang menyentuh kebutuhan masyarakat. Secara ringkas, jika
pembangunan ekonomi dan aktivitas bisnis ingin tetap bertahan dalam waktu yang
lama harus menyertakan tanggung jawab yang bersifat sosial.
Kinerja Lingkungan
(Corporate Environmental Responsibility)
pembangunan ekonomi dan aktivitas bisnis
harus memperhatikan tanggung jawab terhadap lingkungan. Karena keuntungan
merupakan inti dari pembangunan ekonomi dan aktivitas bisnis, kerapkali tidak
terlalu memperhatikan hal yang berhubungan dengan lingkungan, karena tidak ada
keuntungan langsung. Dengan melestarikan lingkungan, pembangunan ekonomi dan
aktivitas bisnis akan memperoleh keuntungan yang lebih, terutama dari sisi
kenyamanan dan ketersediaan sumber daya yang menjamin kelangsungan hidup.
Kinerja Keuangan (Corporate Financial Reponsibility)
Fokus utama dari seluruh kegiatan
pembangunan ekonomi dan aktivitas bisnis adalah mengejar profit. Profit
sendiri adalah tambahan pendapatan yang dapat digunakan untuk menjamin
kelangsungan hidup perusahaan. Aktivitas yang dapat ditempuh untuk mendongkrak profit
antara lain dengan meningkatkan produktivitas dan melakukan efisiensi
biaya. Sehingga, seringkali pembangunan
ekonomi dan aktivitas bisnis mengabaikan kinerja sosial dan kinerja
lingkungannya. Pengabaian yang akan
berdampak negatif pada pembangunan ekonomi dan aktivitas bisnis itu sendiri
dalam jangka panjang.
BELAJAR DARI
BEBERAPA KASUS TERKINI
MENGENANG KENANGAN JATIGEDE
No.
|
5W + 2H
|
|
1.
|
What
|
Bendungan Jatigede: Penenggelaman Desa
Bendungan kedua terbesar di Indonesia.
|
2.
|
Who
|
1. Negara
(Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat); Wijaya Karya (Wika), dan Sinohydro
(PMA)
2. Rakyat
Jatigede yang dirugikan.
3. Masyarakat
umum (yang awam) senang dengan adanya Bendungan Jatigede, bukan semata
sebagai pengatur irigasi dan penanggulangan banjir tetapi juga sebagai tempat
pariwisata serta tidak tahu menahu tentang permasalahan ganti rugi dan
masalah-masalah sosial rakkyat Jatigede.
|
3.
|
Where
|
Kecamatan Jatigede, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat.
|
4.
|
When
|
Dirintis sejak tahun 1963, awal dibangun tahun 2007 dan
selesai dibangun tahun 2015.
Penggenangan (baca: penenggelaman) sejak 31 Agustus 2015.
|
5.
|
Why
|
Pembangunan Bendungan untuk kepentingan irigasi
pertanian dan penanggulangan banjir.
Ganti rugi berbeda-beda dan tidak cukup untuk membangun
rumah lagi.
Tete Yosef (warga): Bukan menolak malah mendukung
program pemerintah tetapi meminta hak rakyat diperhatikan.
Masalah yang tersisa:
1. Ganti
rugi sebesar Rp741Milyar untuk 11.000KK.
2. Relokasi
warga: Masalah pendidikan, sosial, budaya, dan politik.
3. 28
situs bersejarah hilang.
4. Kerusakan
lingkungan seperti hilangnya 1.300 hektar hutan produksi (Perhutani).
5. Debit
Sungai Cimanuk sudah berkurang 60% dan sedimentasi berat.
|
6.
|
How
|
Penenggelaman kawasan Jatigede.
Ganti rugi berdasarkan Kartu Keluarga. Perkepala
keluarga dan pecahan kepala keluarga.
Relokasi menjadi tanggung jawab Pemprov yang belum
terselaikan dengan baik.
|
7.
|
How Much
|
28 desa, 10.924 kepala keluarga, kurang lebih 45.000
jiwa.
4.514 Kepala Keluarga mendapat ganti rugi
Rp122.500.000,- (pendataan 1984—1986) dan 6.410 (Pecahan KK) Kepala Keluarga
mendapat ganti rugi Rp29.000.000,- (pendataan 1994—2009)
4.986 Hektar kawasan waduk + 14.000 hektar kawasan
kendali untuk mengairi 90.000 hektar lahan pertanian (Majalengka, Indramayu,
Cirebon, dan Sumedang) serta air baku untuk 100.000 Kepala Keluarga di
Sumedang plus pembangkit listrik dengan kapasitas 110MW.
|
REKLAMASI TELUK JAKARTA (RAYUAN PULAU PALSU)
No.
|
5W + 2H
|
||
Aktor
|
Pro
|
Kontra
|
|
1.
|
What
|
Reklamasi Teluk Jakarta
|
|
2.
|
Who
|
Pemerintah: Pemprov DKI dan Presiden
Pemodal:
|
Pemerintah: Kementerian Lingkungan Hidup
Rakyat: Nelayan (Marunda, Mauara Angke, dan lain-lain)
|
3.
|
Where
|
Kawasan Jakarta Utara (Teluk Jakarta dan Kepulauan
Seribu)
|
Kawasan Jakarta Utara (Marunda, Muara Angke, Kepulauan
Seribu)
|
4.
|
When – Why – How – How Much
|
Diawali Sejak tahun 1980an dengan proyek Pengurukan dan
Pengurukan Lahan. Rencana Reklamasi
besar-besaran direncanakan oleh Presiden Soeharto, seluas 2.700 hektar di Panai Utara Jakarta.
1. 1981:
PT Harapan Indah mereklamasi Kawasan Pluit dan membangun Pantai Mutiara. PT Pembangunan Jaya mengguruk Kawasan Ancol
dan membangun Taman Impian Jaya Ancol.
2. 1995:
Kawasan Bakau diuruk menjadi Pantai Indah Kapuk dan Kawasan Berikat Marunda.Terbit
Perppres 52/1995 tentang Reklamasi Pantai Utara Jakarta. Diikuti dengan Perda DKI 8/1995.3 Pulau
direklamasi seluas 200 hektar, diuruk dengan tanah kerukan sungai di Jakarta
dan sisa hasil tambang dari Pulau Bangka.
Reklamasi hanya di laut dengan kedalaman 5 meter dan tinggi pulau 3—4
meter di atas permukaan laut (dpl).
3. 1996:
Terbit SK Gubernur DKI 1090/1996 tentang Organisasi dan Tata Kerja Badan
Pengendali Reklamasi Pantai Utara Jakarta.
4. 1997:
Kepmenneg Perencanaan Pembangunan Negara/Ketua Bappenas Kep.920/KET/10/1997
tentang Pedoman Penataan Ruang Kawasan Pantai Utara Jakarta.
5. 1998:
SK Gubernur KDKI Jakarta 220/1998 tentang Organisasi dan Tata Kerja Badan
Pelaksana Reklamasi Pantai Utara Jakarta.
6. 1999:
Perda DKI Jakarta 6/1999 tentang Tata Ruang Wilayah DKI Jakarta.
7. 2000:
SK Gubernur KDKI 138/2000 tentan Tata Cara Penyelenggaraan Reklamasi Pantau
Utara Jakarta.
8. 2007:
Pemprov menyatakan rencana reklamasi Teluk Jakarta jalan terus. Enam pengembang yang mendapatkan hak
reklamasi menggugat Menteri KLH ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Mereka beralasan persyaratan untuk ijin
reklamasi dan AMDAL Regional serta berbagai ijin lainnya lengkap.
9. 2008:
Perpres 54/2008 tentang Penataan Ruang Kawasan Jabodetabekpanjur.
10. 2011:
Putusan MA 12/PK/TUN/2011 yang menyatakan bahwa Reklamasi di Pantai Utara
Jakarta Legal. Tetapi dengan syarat
Pemprov DKI harus membuat AMDAL baru untuk memperbarui AMDAL 2003 dan Kajian
Lingkungan Hidup Strategis dengan Pemda seputar Teluk Jakarta.
11. 2012:
Perda DKI 1/2012 tentang Renncana Tata Ruang Wilayah DKI Jakarta 2030. Peraturan Gubernur KDI 121/2012 tentang
Penataan Ruang Kawasan Reklamasi Pantai Utara Jakarta. Terbit Perpres
122/2012 tentang Reklamasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil termasuk
menetujui praktik penggeringan wilayah pesisir dan pulau kecil di teluk
Jakarta.
12. 2013:
SK Gubernur KDKI 2238/2013 yang terbit pada Desember 2014 bersamaan dengan
pemberian ijin Reklamasi Pulau G kepada PT Muara Wisesa Samudra.
13. 2015:
Pemprov DKI bergeming dan mempersiapkan reklamasi untuk Pulau O. P, dan Q
yang akan terintegrasi dengan Pulau N sebagai satu kesatuan Port of Jakarta.
|
1. 1995:
Kementerian Lingkungan Hidup menyatakan Reklamasi Teluk Jakarta tidak layak
dan merusak lingkungan.
2. 2003:
KLH menyatakan Pemprov DKI tidak mampu memenuhi kaidah penataan ruang dan
ketersediaan teknologi pengendali dampak lingkungan. Dinyatakan dalam SK Menteri KLH 14/2003
tentang Ketidaklayakan Rencana Reklamasi dan Revitalisasi Pantai Utara
Jakarta.
3. 2007:
PTUN memenangkan gugatan kepada Menteri KLH dan kemudian diajukan banding ke
Makahma Agung (MA) dan tetap dimenangkan oleh perusahaan penggugat.
4. 2009
(28/07): Menteri KLH mengajukan Kasasi ke MA dan menang karena Reklamasi
menyalahi AMDAL.
5. 2015:
Rencana Moratorium reklamasi karena aktivitas reklamasi hanya diperuntukkan
bagi pembangunan Pelabuhan, Bandar Udara, dan Listrik. Reklamasi tidak diperuntukkan bagi hunian,
hotel, apartemen, mal, dan lain sebagainya.
|
5.
|
Why
|
Fungsi Reklamasi:
1. Menambah
ruang untuk pembangunan Jakarta dan mendatangkan keuntungan ekonomi.
2. Menahan
pasang naik di pantai utara jakarta.
3. Pulau
reklamasi untuk hunian dan bisnis sebagai pengembangan wilayah utara Jakarta.
4. Pajak
dan retribusi reklamasi untuk pengambangan Jakarta Utara dan penataan wilayah
kumuh.
5. Bendungan
atau tanggul raksaksa untuk menahan naiknya permukaan air laut dan
memperlancar arus laut.
6. Pemecah
gelombang dan mencegah abrasi.
7. Sumber
air bersih kawasan Jakarta Utara.
8. Kanal
untuk alur pelayaran dan kawasan tangkap nelayan.
|
Masalah karena Reklamasi:
1. Reklamasi
Pluit menganggu PLTU Muara Karang.
2. Tenggelamnya
beberapa pulau di Kepulauan Seribu karena Reklamasi Ancol.
3. Perppres
52/1995 dan Perda DKI 8/1995 bertentangan dengan Rencana Tata Ruang (RUTR)
Jakarta 1985—2005 yang tidak ada rencana untuk melakukan reklamasi.
4. Menganggu
kehidupan terumbu karang, bentos, dan magrove dan ekosistem laut.
5. Semakin
memperbesar banjir di Jakarta karena muara sungai semakin panjang dan memicu
pendangkalan sungai di Jakarta.
6. Beberapa
pulau di kawasan Untung Jawa akan tenggelam karena diambil pasirnya untuk
reklamasi.
7. Tempat
penimbunan limbah baru (tabah kerukan sungai dan sisa hasil tambang).
8. Menganggu
kabel laut.
9. Menganggu
kehidupan nelayan. 125.000 jiwa nelayan (Muara Angke dan Marunda) terancam
kehilangan mata pencarian.
10. Berubahnya
bentang alam (geomorfologi) dan aliran air (hidrologi) di Jakarta Utara akan
rusak karena perubahan pola arus laut dan pasang-surut.
|
6.
|
How
|
1. Pengeringan
kawasan bakau.
2. Pengurukan
laut dengan tanah kerukan sungai dan sisa tambang.
3. Penataan
(baca: penggusuran) kawasan kumuh.
|
1. Wacana
Reklamasi dengan membantuk 17 pulau baru sudah ada sejak Orde Baru, tetapi
baru 10 tahun terakhir mengalami kontroversi dan perlawanan.
2. Advokasi
oleh Kementerian Lingkungan Hidup.
3. Advokasi
oleh Civil Society.
|
7.
|
How Much
|
|
|
Sumber: Megapolitan.kompas.com,
Jalan Panajng Reklamasi di Teluk Jakarta
WAJAH GENERASI 13
No.
|
5W + 2H
|
Silent Heroes
|
Toba Pulp Lestari
|
1.
|
What
|
1. Penyerobotan
lahan (hutan kemenyan) oleh Korporasi (TBL) untuk tanaman Ekaliptus (bahan
kertas).
2. Hutan
yang telah dikeolah dalam rentang waktu tertentu menjadi Hutan Adat.
|
1. Konflik
Hutan Industri (Ekaliptus) dan Hutan Adat (Kemenyan) tidak ada, karena Hutan
Adat masuk ke Kawasan Hutan Industri.
2. Hutan
Adat adalah Hutan Negara yang dikonsesi ke Swasta
|
2.
|
Who
|
1. Narasumber:
Rusmedi Lumbangaol (Opung Putra).
2. Masyarakat
Adat Desa Sipitu Huta
3. Kurang
lebih 700 KK atau 4.000 Jiwa.
4. Suryati
Simanjuntak (Sekreatris Eksekutif SKPPM).
|
1. Korporasi:
Toba Pulp Lestari.
2. Akademisi
(Prof. Dr. Relingena Purba, SH., MS.): Klaim Hukum terhadap kepemilikan hutan
tidak jelas, HGU Korporasi jelas.
Tidak boleh main hakim sendiri, harus ada pembuktian secara historis.
3. Jurnalis:
Penanaman simbolis kemenyan.
4. Anggota
Dewan: AMDAL baik.
5. Petani
Kemenyan: Produktivitas turun bukan karena Ekaliptus tetapi karena minat
bertani yang turun dan peremajaan tidak terjadi.
6. Kepala
Desa Sipituhuta: TPL tidak merambah Hutan Kemenyan di Tombak Sitanggi, Sektor
Tele karena Hutan Register (Hutan Negara).
7. Korporasi
(Ridwan Ritonga - Humas TPL): Hutan Ekaliptus tidak menganggu Kemenya. Klaim rakyat terhadap hutan adat tidak
berdasar. LSM (lokal dan internasional) menganggu produksi. TPL baik dan peduli karena melakukan
Hangijonisasi dan pemberdayaan petani kemenyan.
8. Tokoh
Lingkungan: Sponsor untuk Taman Eden dan
kawasan Geopark Kaldera Toba.
|
3.
|
Where
|
Hutan Adat (Hutan Kemenyan) Sipitu Huta, Kabupaten
Samosir, Sumatera Utara.
|
Hutan Industri (Hutan Tanaman Industri – Ekaliptus)
|
4.
|
When
|
Hutan rakyat telah ada selama 13 Generasi (300 tahun
lebih).
Konflik sejak Juni 2009.
1992 masuk Perusahaan Indorayon Utama dan kemudian
berganti menjadi Toba Pulp Lestari.
|
Sebelum menjadi TPL adalah Inti Rayon Utama yang sudah
menguasai Hak Pengolahan Hutan (HPH) sejak 1992.
|
5.
|
Why
|
1. Kemenyan
adalah kearifan lokal (ritual dan sesaji sebelum panen).
2. Ekonomi
rakyat (sumber kehidupan).
3. TPL
datang terjadi penebangan pohon kemenyan sehingga melawan.
4. Hutan
kemenyan dikepung oleh pohon ekaliptus sehingga menurunkan produkstivitas
kemenyan (ekaliptus butuh pupuk tapi pupuk merusak kemenyan).
5. Rakyat
melawan dan dikriminalisasi, termasuk Tokoh Adat (Sipitua) dan Tokoh Agama
(Pendeta).
|
1. Hutan
Industri (kawasan pemanfaatan).
2. Ekaliptus
tidak merusak pohon kemenyan dan bisa hidup berdampingan.
|
6.
|
How
|
Kampanye:
1. Pengorganisasian
oleh KSPPM
2. Aksi
dan advokasi melawan korporasi langsung.
3. Aksi
dan advokasi melalui DPRD setempat.
4. Aksi
dan advokasi ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
5. Kriminalisasi
Tokoh Adat dan Tokoh Agama.
|
Kampanye:
1. Akademisi,
Jurnalis, Tokoh Masyarakat, dan Anggota Dewan.
2. Budidaya
kemenyan dan penanaman simbolis oleh Media Massa dan Tokoh Masyarakat.
3. Mendukung
Taman Eden dan Geopark Kaldera Toba
4. LSM
adalah Provokator.
|
7.
|
How Much
|
Dulu: Panen 2—3 bulan sekali, kurang lebih 2kg/pohon
Sekarang: kurang dari 1 ons/pohon
|
Hanginjonisasi di Tapanuli Utara untuk membuktikan bila
Kemenyan bisa hidup berdampingan dengan Ekaliptus.
Menanam 1.500 pohon di areal 5 hektar dengan
produktivitas 2 ons/pohon pertahun.
|
Kasus Semen Indonesia di Kendeng
Kawasan Pegunungan Kendeng yang kaya akan kapur menjadi daya tarik
investasi perusahaan-perusahaan semen di Indonesia, mulai perusahaan yang
berstatus Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sampai perusahaan swasta. Pada tahun 2009, PT Semen Gresik Tbk yang
akan membangun pabrik semen di Desa Kedumulo Kecamatan Sukolilo Kabupaten Pati
berhasil dibatalkan oleh sedulur-sedulur yang tergabung di JMPPK dengan Omah
Kendeng-nya. Tetapi beberapa saat
kemudian, di akhir tahun 2010 masuk PT Indocement Tunggal Prakasa Tbk melalui
perusahaan anaknya PT Sahabat Mulia Sakti (SMS), perusahaan semen swasta
berusaha masuk dan membangun pabrik semen yang sedang berlangsung dan mendapat
perlawanan sampai hari ini (Effendi, 2013).
Dengan alasan potensi bahan baku semen yang melimpah di Pegunungan
Kendeng, perusahaan semen berlomba-lomba untuk membangun pabrik semen di
Kendeng. Dengan potensi pemanfaatan
bahan baku untuk produksi selama 55 tahun dengan kapasitas produksi 3,84 juta
ton untuk 5 tahun pertama dan menjadi 7,68 juta ton untuk 50 tahun
selanjutnya. Sumberdaya yang listrik
yang dipergunakan sebesar 120 Megawatt pertahun dengan bahan bakar batubara dan
bahan bakar material alternatif lainnya.
Diperkirakan tenaga kerja yang dibutuhkan sebanyak 1.650 orang selama
masa konstruksi dan 800 orang tenaga kerja saat operasioal. Investasi yang dibutuhkan sebesar Rp4 Trilyun
sampai dengan Rp5 Trilyun. Lokasi pabrik
akan menempati 11 desa di 2 kecamatan, yaitu Kecamatan Kayen dan Kecamatan
Tambakromo memerlukan luas kawasan pabrik seluas 180 hektar. Luasan kawasan bahan baku untuk batu kapur
dibutuhkan luasan seluas 2.025 hektar dan untuk tanah liat seluas 663 hektar
yang meliputi tanah Negara, kas desa, perhutani, dan tanah rakyat yang berada
di 5 Kabupaten, yaitu Kabupaten Pati, Rembang, Kudus, Grobogan, dan Blora
(Fitri, 2013).
Studi Kelayakan
pembangunan yang dilakukan PT SMS dapat dirangkum sebagai berikut (Poppy
Ismalina).
1. Kebutuhan
tenaga kerja pembangunan pabrik semen selama masa kontruksi 1.650 orang dan
pada saat operasi sebanyak 800 orang tenaga kerja. Tenaga kerja yang dibutuhkan meliputi: (1)
tenaga kerja internal perusahaan, dan (2) tenaga kerja eksternal untuk
keperluan jasa angkutan semen, jasa kontruksi, dan lain-lainnya.
2.
Kebutuhan lahan untuk pabrik semen (1) Sawah seluas kurang lebih 639 hektar, (2) Tegalan seluas
kurang lebih 794 hektar sehingga dibutuhkan total 1.433 hektar lahan.
3. Kebutuhan bahan
baku untuk produksi sebesar 2,5 juta ton semen/tahun atau 8.000 ton semen/hari
adalah: (1) batu kapur sebanyak kurangl
lebih 11.700 ton/hari; (2) tanah liat sebanyak
kurang lebih 2.600 ton/hari; (3) PB dan PS sebanyak kurang lebih 120
ton/hari; dan (4) Gipsum sebanyak kurang lebih 320 ton/hari.
4. Kebutuhan
Energi (1) Listrik sebesar sekitar 105 Kwh/ton semen; dan (2) Batubara untuk
pembangkit tenaga listrik sebesar sekitar 1.200 ton/hari.
5. Kapasitas Produksi yang dihasilkan pada tahun pertama sampai
keempat sebesar 8.000 ton/hari. Sedangkan mulai tahun kelima sampai tahun
kelima belas akan bertambah dua kali lipat menjadi 16.000 ton/hari.
6.
Biaya investasi yang
dibuthkan sekitar Rp4,5trilyun.
PT SMS berbekal
berbagai Surat Rekomendasi dan Perijinan seperti (1) Izin lokasi pendirian
pabrik No. 591/021 tahun 2011 dan IUP terbaru No. 591/608/2014, (2) ijin
kegiatan penambangan batu kapur dengan IUP No. 545/002/2011 dan yang terbaru No
545/002/2014 serta, (3) penambangan tanah liat dengan IUP No. 545/001/2011 dan
IUP terbaru No. 545/001/2014, yang dikeluarkan oleh kantor Pelayanan Terpadu
Kabupaten Pati melakukan aktivitas pembangunan parbik semen. Padahal, di lokasi pabrik semen banyak
ditemukan mulut gua dan sumber air yang menjadi sumber kehidupan masyarakat di
kelima kabutapen tersebut. Bahkan,
keberdaan gua yang banyak dihuni oleh kelelawar bermanfaat sebagai pengendali
hama pertanian masyarakat setempat.
Bahkan, Gua Wareh, Gua Lowo, dan Gua Pancur telah berkembang menjadi
tempat pariwisata (Fitri, 2013).
Menurut hasil
survey dan penelitian dari Yayasan Acintyacunyata (1997) dan Semarang Caver Association
(SCA), Acintyacunyata Speleogical Club (ASC), dan JMPPK Pati (2012) menyatakan
bahwa Pegunungan Kendeng adalah kawasan Karst.
Tetapi, Menteri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) melalaui Surat
Keputusan Nomer 0398 K/40/MEM/2005 tentang penetapan Kawasan Karst Sukolilo,
dan Nomer 2641 K/40/MEM/2014 tentang penetapan Kawasan Bentang Alam Karst
Sukolilo, menetapkan kawasan Pegunungan Kendeng tidak masuk menjadi Kawasan
Karst Sukolilo, sekalipun posisi kawasan ini tidak terpisah dari kawasan yang tetapkan
sebagai kawasan karst tersebut (Fitri, 2013).
Analisis Triple Bottom Line
Studi kelayakan pabrik semen PT
SMS hanya memuat perhitungan ekonomi dan
produksi (pendapatan dari produksi dikurangi biaya produksi yang akan
menghasilkan laba). Analisis mengenai
dampak-dampak negatif diserahkan pada Studi AMDAL. Pada studi kelayakan tidak secara rinci
menjelaskan biaya-biaya apa saja yang dibutuhkan dalam pembangunan pabrik semen
PT SMS tersebut. Di sisi lain, keuntungan produksi tidak memiliki dampak pada
peningkatan kesejahteraan masyarakat setempat. Studi kelayakan tidak pula
memberikan nilai ekonomi dari dampak-dampak terhadap lingkungan, ekonomi,
sosial dan budaya dari rencana pembangunan pabrk semen tersebut. Studi AMDAL yang dilakukan hanya sebatas
formalitas dan tidak memiliki kekuatan penegakan hukum. Seringkali tidak
memasukkan seluruh dampak-dampak lingkungan yang mungkin muncul.
Analisis Aspek Sosial (People)
1.
Terjadi perpindahan tempat
tinggal karena rumah dan tanahnya sudah terbeli.
2.
Hilangnya mata pencaharian
karena lahan pertanian dan peternakan yang terbeli.
3.
Pengangguran dalam jumlah
besar karena hanya sebagian kecil tenaga kerja yang terserap di pabrik semen
(karena alasan pendidikan dan ketrampilan).
4.
Hilangnya semangat
kekeluargaan dan kebersamaan karena terpencar.
5.
Rusaknya tatanan sosial dan
budaya.
6.
Terjadi gegar budaya karena
berubah dari masyarakat agraris menjadi masyarakat industry, dari petani yang
bekerja untuk dirinya sendiri menjadi buruh yang bekerja untuk orang lain.
7.
Muncul konflik horizontal
antara kelompok pendukung dan kelompok penolak pembangunan pabrik semen.
Analisis Aspek Lingkungan (Planet)
1.
Perubahan fungsi
lahan-lahan pertanian menajdi kawasan tambang.
2.
Perubahan fungsi sumber
mata air dan tingginya pencemaran akibat termanfaatkan untuk kebutuhan pabrik
semen.
3.
Perubahan ekosistem pada
lingkungan sekitar karena pertambangan.
4.
Hilangnya sumber mata air
karena daerah resapan dan daerah penyimpanan habis tergerus ditambang untuk
bahan baku semen.
5.
Terjadinya Polusi udara,
suara, dan zat-zat limbah berbahaya lainnya.
6.
Tergerusnya Karst sebagai
tangkapan dan penyimpanan air.
7. Perubahan suhu udara menjadi lebih panas.
Analisis Aspek Ekonomi (Profit)
Analisis ekonomi melalui studi
kelayakan hanya mengedepankan aspek ekonomi tanpa memasukan eksternalitis atau
dampak negative dari pendirian pabrik semen.
Dampak-dampak negatif yang akan timbul, seperti dampak lingkungan dan sosial
budaya dalam Studi Kelayakan Ekonomi tidak muncul sama sekali. Sehingga, dampak
negative dan eksternalitis dari pembangunan pabrik semen harus memunculkan
nilai rupiah untuk dapat dijadikan dasar pertimbangan ekonomis.
Pembangunan pabrik semen di Pegunungan Kendeng hanya mementingkan satu
aspek, yaitu aspek profit dan bukan
saja tidak mengindahkan tetapi benar-benar menisbihkan aspek people apalagi planet. Pembangunan pabrik
semen mengancam kelestarian alam dan menghancurkan lingkungan yang akan
menghilangkan potensi pertanian di Kecamatan Kayen dan Tambakromo. Pertanian yang mampu menghasilkan 2 kali
panen padi dan 1 kali panen palawija setiap tahun, bahkan untuk daerah yang
lebih ke utara mampu menghasilkan 3 kali panen padi akan terancam mati karena
pasokan air dari Pegunungan Kendeng yang menyusut, hilangnya predator alami
hama pertanian karena kelelawar tidak ada lagi, dan pencemaran akibat aktivitas
pabrik semen. Belum lagi peternakan
sapi, kambing, dan ternak-ternak lain juga akan kesulitan untuk hidup dan
berkembang biak. Pada akhirnya, cita-cita akan Ketahanan Pangan apalagi
Kedaulatan Pangan bukan hanya terancam gagal tetapi malah dimatikan sendiri
oleh penguasa birokrasi dan peguasa modal.
Kawasan hutan yang terancam oleh keberadaan pabrik semen ada yang masuk
lahan Perhutani yang dimanfaatkan sebabagi kawasan Hutan Produksi Tetap (HP)
dan Hutan Produksi Terbatas (HPT) juga yang dikelola oleh Lembaga Masyarakat
Desa Hutan (LMDH) untuk pertanian tumpang sari dan palawija. Kawasan Perhutani yang dikelola oleh LMDH
seluas 2.756 hektar yang sebagian besar akan masuk lahan tambang PT SMS. Bila diasumsikan setiap kepala keluarga
mengelola 0,5 hektar (asumsi JMPPK) maka petani pengelola sebanyak 5.512 orang
dan 65%-nya berada di kawasan tambang maka ada 3.582 kepala keluarga akan
kehilangan kehidupannya (Fitri, 2013).
Walaupun pabrik semen menjanjikan pekerjaan untuk 1.650 orang dimasa
kontruksi dan 800 orang saat produksi tentu tidak sebanding dengan 3.000 sampai
5.000 orang yang kehilangan pekerjaan sebagai petani. Belum lagi, budaya sebagai petani yang
bekerja untuk diri sendiri dan berubah menjadi buruh bukanlah perkara muda dan
pasti akan terjadi gegar budaya.
Demikian juga budaya agraris yang akan hilang dan digantikan dengan budaya
industry yang pasti akan mengakibatkan gegar budaya.
Permasalahan lain yang ditimbul dari aspek manusia (people), bukan hanya ancaman terhadap kehidupan social berupa
konflik horizontal. Adanya kelompok yang
menolak dan kelompok yang menerima pembangunan pabrik semen menjadi masalah
baru yang menganggu keharmonisan dan kegotongroyongan masyarakat di Kawasan
Kendeng. Kelompok yang mendukung
pembangunan parbik semen adalah kelompok yang menerima keuntungan dari masa
pembangunan dan operasional pabrik, khususnya aparat desa dan kuasa birokrasi
lainnya. Sedangkan penolak pembangunan pabrik adalah petani yang terancam
kehidupannya. Masuknya pihak luar
seperti aparat pemerintahan kabupaten, aparat kemanan, dan bahkan preman malah
memperkeruh keadaan. Tentu saja,
kampanye hitam dan bahkan intimidasi pada para penentang pembangunan pabrik
semen sudah menjadi modus operandi lazim (Fitri, 2013). Keberadaan pembangunan
pabrik semen bukan menyejahterakan rakyat malah menyengsarakan rakyat
Pegunungan Kendeng. Pihak yang
diuntungkan bukanlah rakyat setempat tetapi malah dari luar kawasan Pegunungan
Kendeng, sedangkan rakyat setempat bukan saja dirugikan tetapi akan terancam
kehidupannya bukan saja untuk saat ini tetapi sampai 55 tahun mendatang dan
bahkan akan mungkin menjadi semakin hancur setelah masa itu karena Pegunungan
Kendeng telah benar-benar hancur dan pabrik semen berhenti beroperasi.
Kasus Reklamasi Teluk Benoa
Kronologi
26 Desember 2012, Gubernur Bali mengeluarkan ijin
pemanfaatan kawasan Teluk Benoa untuk PT Tirta Wahana Bali Internasional (TWBI)
dengan SK Gubernur Nomor 2138/02-C/HK/2012 tentang Rencana Pemanfaatan dan
Pengembangan Kawasan Perairan Teluk Benoa Kabupaten Badung seluas 828
hektar. Ijin prinsip untuk pengelolaan
kawasan diterbitkan tanpa ada kajian terlebih dahulu.
16 Agustus 2013, Gubernur Bali mencabut SK sebelumnya dan
mengganti dengan SK Gubernur Nomor 1727/01-B/HK/2013 tentang ijin Studi
Kelayakan Rencana Pemanfaatan, Pengembanga, dan Pengeloaan Wilayah Perariran
Teluk Benoa. Sekedar revisi atas SK
sebelumnya.
Polemik yang terjadi adalah sebagai berikut:
(1)
Keluarnya ijin dengan SK Gubernur yang
diam-diam, tanpa kajian, dan cenderung manipulative.
(2)
SK Gubernur bertentangan dengan Perpres Nomor
45/2011 tentang Tata Ruang Kawasan Kawasan Perkotaan Sarbatiga. Perpres menyatakan bahwa Teluk Benoa adalah
kawasan konservasi.
(3)
SK Gubernur bertentangan dengan Perpres Nomor
122/2012 tentang Reklamasi di Wliayah-Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau
Kecil. Perpres melarang reklamasi di
kawasan konservasi.
Pada akhir masa jabatan Presiden, SBY mengeluarkan Perpres
Nomor 51/2014 tentang Perubahan atas Perpres 45/2011 tentang Rencana Tata Ruang
Kawasan Perkotaan Sarbatiga. Perpres
baru ini mengubah status kawasan Teluk Benoa menjadi bukan kawasan
konservasi. Perpres yang jelas-jelas
dikeluarkan secara mendadak untuk mengakomodir kepentingan PT TWBI selaku
investor reklamasi Teluk Benoa.
Selanjutnya, terbit Surat Ijin dari Menteri Kelautan dan
Perikanan dengan SK Nomor 445/men-KP/VIII/2014 tentang Reklamasi di Kawasan
Teluk Benoa seluas 700 hektar. Terbitnya
Perpres 51/2014 menjadikan perijinan bagi PT TWBI lancer dan tanpa hambatan.
Kejanggalan-Kejanggalan dai terbitnya Perpres, SK Menteri,
dan SK Gubernur tentang Reklamasi Teluk Benoa adalah sebagai berikut:
(1)
Dinyatakan terjadi pendangkalan dan sedimentasi
di Teluk Benoa. Mengapa mengatasinya
bukan dengan pengerukan (normalisasi) tetapi malah pengurukan (reklamasi)?
(2)
Material uruk untuk reklamasi diperkirakan
sebanyak 40 juta meter kubik. Apakah
tidak akan menjadikan Teluk Benoa bukan saja dangkal permanen tetapi menjadi
daratan?
(3)
Minimnya pelibatan masyarakat dalam kajian oleh
investor maupun pemerintah. Padahal
Teluk Benoa berada di 3 kecamatan di 2 Kota/Kabupaten. Kecamatan Denpasar Selatan di Kota Denpasar
dan Kecamatan Kuta dan Kuta Selatan di Kabupaten Badung. Terdiri dari 12 Desa.
Sumber: www.forbali13.org
Masalah Dan Kerentanan
Dirangkum menjadi 13 alasan menolak Reklamasi Teluk Benoa.
- Reklamasi merusak fungsi konservasi
Teluk Benoa adalah tampungan atau
muara dari 5 sungai dan merupakan kawasan suci (Ampuhan Agung), selain itu
merupakan pembentuk Kepulauan Bali. Teluk Benoa memiliki ekosistem lengkap berupa
kawasan mangrove, padang lamun, dan terumbu karang, serta kawasan penyangga
terumbu karang yang lebih luas lagi.
Teluk Benoa merupakan kawasan hayati Segitiga Emas Bali (Bali – Nusa
Penida – Candi Dasa).
- Fungsi reservoir menurun
Reklamasi akan menganggu fungsi 5
sungai yang bermuara di Teluk Benoa (Badung, Mati, Tuban, Bualu, dan Sana)
sebagai pengendali banjir di Tanjung Benoa sampai kawasan Bandara akan
terganggu bahkan akan kehilangan fungsinya.
- Pulau-Pulau baru menyebabkan kerentanan bencana
Reklamasi akan menghilangkan
fungsi liquitaksi, fungsi penahanan
getaran gempa pada permukaan tanah.
Akibat lebih jauhnya adalah meningkatnya kerencatanan terjadinya tsunami
bila terjadi gempa baik di laut maupun di darat.
- Rusaknya terumbu karang
Polip atau rongga terumbu karang
akan tertutup material padat sehingga akan mematikan terumbu karang
tersebut. Kawasan terumbu karang yanfg
rusak akan mengakibatkan rusaknya keanekaragaman hayati di kawasan Segitiga
Emas Bali (Bali – Nusa Penida – Candi Dasa).
Material uruk yang didatangkan dari Nusa Dua (Badung), Candi Dasa
(Karangasem), dan Sekotong (Lombok) akan merusak kawasan dan lingkungan
setempat. Jadi, reklamasi bukan hanya
merusakan ekosistem dan lingkungan Teluk Benoa, tetapi juga tempat asal material
uruk didatangkan.
- Rusaknya ekosistem mangrove
Reklamasi akan mengakibatkan
perubahan kondisi dan salinitas air, akibatnya akan menganggu dan merusak
vegetasi asli Teluk Benoa. Akibat lebih
jauh dari rusaknya vegetasi Teluk Benoa adalah rusaknya ekosistem dan
keanekaragaman hayati Teluk Benoa.
- Ancaman abrasi pantai
Bukan hanya Benoa saja tetapi
abrasi pantai akan mengancam Nusa Dua, Sanur, Gianyar, Klungkung, dan
Karangasem.
- Material reklamasi akan didatangkan dari Nusa Dua (Badung), Candi Dasa (Karangasem), dan Sekotong (Lombok)
Reklamasi akan mengakibatkan
kerusakan bukan hanya di Teluk Benoa tetapi juga daerah asal material
uruk. Sebanyak 40 juta meter kubik bukan
jumlah yang sedikit dan pasti akan merusak bukan hanya lingkungan dan ekosistem
setempat tetapi juga social budaya serta tentu saja social ekonomi.
- Reklamasi adalah modus kuasa modal untuk mendapatkan tanah berbiaya murah
Reklamasi menghasilkan tanah
berbiaya murah karena harga tanah di sekitar Teluk Benoa telah mencapai harga
1,5—2 Milyar/are. Sedangkan biaya
reklamasi diperkirakan hanya sebesar 1 Milyar/are. Besar keuntungan pemodal bila luasan
reklamasi seluas 700 hektar. Reklamasi
bukan hanya menghancurkan lingkungan dan alam tetapi juga mengancam ratusan
nelayan tradisional yang mengantungkan hidup dari Teluk Benoa.
- Kebijakan pemerintah yang pro modal
Reklamasi membuka borok mudahnya
keluar ijin untuk para pemodal. Bukan
hanya SK Gubernur atau SK Menteri, bahkan Perpres-pun bisa “dibeli” oleh
kekuatan uang para pemodal. Kelindan
para Birokrat dan Politisi sebagai dengan kuasa modal yang ekspansif dan
destruktif.
- Pulau-pulau baru hasil reklamasi untuk mendukung industry pariwisata
Reklamasi akan berimbas pada
munculnya ratusan hotel dan ribuan kamar baru.
BaIi selatan sudah dinyatakan terlalu banyak kamar dan sudah
diberlakukan moratorium pembangunan hotel dan penambahan kamar baru, mengapa
akan dibangun ratusan hotel baru dan ribuan kamar baru di Bali Selatan? Dampak lebih jauh adalah semakin melabatnya
ketimpangan antara kawasan Bali Selatan dan Bali Utara. Selain itu, masifnya fasilitas hotel juga
akan mengakibatkan kelangkaan daya dukung alam seperti air, permasalahan energy
listrik, dan tentu saja sampah.
- Janji manis investor yang membuai mimpi
Reklamasi Teluk Benoa dapat menjadi
mimpi indah yang berubah menjadi mimpi buruk seperi pengembangan kawasan
pariwisata lain di Pulau Bali. Bagaimana
kelanjutan reklamasi Pulau Serangan yang terbengkalai? Bagaimana dengan proyek
Garuda Wisnu Kencana (GWK) yang macet? Bagaimana dengan Pecatu Graha dan BNR
yang terhenti?
- Mudahnya merubah status kawasan konservasi menjadi kawasan pemanfaatan
Reklamasi menunjukkan lemahnya
komitmen resim saat itu terhadap pelestarian alam. Bahkan untuk komitmen yang digagasnya, Coral
Triangle Initiative, bisa dengan mudah diabaikan dengan menerbitkan Perpres
51/2014 yang mengubah kawasan konservasi Teluk Benoa menjadi kawasan
pemanfataan. Selain itu, nampak jelas
abainya rezim pada menjaga fungsi kawasan hidup yang sehat bagi masyarakat
local.
- Kebangkrutan pariwisata Bali
Reklamasi mengabaikan pariwisata
Bali yang berbasis pada alam, budaya, dan spiritualitas bahkan dirusak dan
“diperkosa” dengan pola-pola industrialisasi yang ekspansif, masif dan
destruktif. Ciri khas semangat kapitalistik
dan imperialistic.
Sumber: www.walhibali.org
Hasil Pertemuan antara ForBali13 dengan Komisi II Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (DPD), Kementerian Terkait, dan PT TWBI
Pertemuan yang dihadiri oleh Forbali13 yang juga diikuti
oleh Bendesa Pekraman dan Sekses Tanjung Benoa, PT TWBI yang dihadiri oleh
Direksi (AA Ngurah M.) dan Komisaris (Nyoman Sebudi) serta konsutan (Prof.
Dietrich dari IPB). Sedangkand dari DPD
hadir Senator Kadek Lola Arimbawa dan Gde Pasek Suardika serta dari Kementerian
Kelautan dan Perikanan yang diwakili oleh Dirjen KP3K (Sudirman Saad) dan
Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup yang diwakili oleh Deputi Tata
Kelola Lingkungan Hidup.
- Disoroti oleh para Senator adalah mudahnya AMDAL dikeluarkan oleh KKLH dan presentasi dari KKP yang mirip dengan presentasi dari PT TWBI.
- Terminologi revitalisasi yang dipergunakan oleh investor tetapi dengan aktivitas yang jelas-jelas reklamasi, sehingga muncul penolakan dari warga Bali yang diwakili oleh ForBali13.
- Masterplan reklamasi yang mirip dengan Venesia di Italia tetapi bukan Bali yang nuansa kearifan lokalnya kental.
- Keberpihakan akademisi sebagai konsultan dan KKP dan KKLH yang terang-terangan bekerja untuk kepentingan investor.
- Alasan investor, KKP, dan KKLH tentang pendangkalan dan sedimentasi di Teluk Benoa tetapi malah dilakukan pendangkalan permanen melalui reklamasi adalah alasan yang sangat tidak masuk akal.
- Teluk Benoa sebagai penampungan 5 sungai dan pengendali banjir akan terganggu dan akan mengakibatkan banjir di kawasan Tanjung Benoa.
- Hilangngya fungsi spawning (pemijahan), nursery (pemeliharaan), dan feeding (makan) di kawasan mangrove akan berdampak pada keanekaragaman hayati serta ikan tangkapan dari nelayan local.
- Reklamasi yang bertujuan untuk pengembangan pariwisata yang jelas-jelas untuk mencari keuntungan mengapa dipresentasikan dan disosialisasikan dengan terminology revitalisasi yang bersifat konservasi. Terjadi proses kebohongan public secara masif yang dilakukan oleh investor, pemerintah local, bahkan kementerian dan presiden melalui SK dan Perpres.
- Hilangnya daerah tangkapan ratusan nelayan tradisional yang akan menghancurkanperekonomian dan kehidupan nelayan local.
Kasus Sumber Air Gemulo di Kota batu
Air adalah pusat kehidupan, tanpa air tidak ada satupun makluk
hidup dapat bertahan hidup. Sumber mata
air (Umbul, Bahasa Jawa Timuran) merupakan sumber keluarnya air. Dusun Canggar
merupakan salah satu Dusun yang ada di Desa Bulukerto Kecamatan Bumiaji Kota
Batu. Selama berpuluh tahun rakyat Dusun
Canggar mengantungkan hidup pada air yang berasal dari Umbul Gemulo, baik untuk
kebutuhan sehari-hari maupun untuk menngairi tanah pertanian mereka. Keberlangsungan hidup rakyat canggar terancam
dengan rencana pembangunan Hotel (Rayja) di atas Umbul Gemulo. Rencana pembangunan yang muncul sejak tahun
2010 di atas Umbul Gemulo dan mengambil air dari dari sumber tersebut
jelas-jelas akan menurunkan debit sumber yang pastinya akan menurunkan debit
air yang mengalir ke desa-desa di bawahnya, khususnya Dusun Cangar yang
mengantungkan hidup dari Umbul Gemulo.
Menyikapi ancaman dari Hotel Rayja, rakyat Dusun Cangar bereaksi,
ANJIR dilakukan. Anjir adalah rembuk
warga khan Dusun Cangar untuk menyelesaikan permasalahan bersama, khususnya
permasalahan yang menyangkut harkat hidup rakyat Cangar. Pada Anjir kali ini disepakati akan dilakukan
perlawanan terhadap Hotel Rayja guna menyelematkan Umbul Gemulo dan kehidupan
rakyat Dusun Cangar. Pada forum yang
sangar demokratis ini, karena setiap orang memiliki hak suara, disepakati untuk
seluruh rakyat Dusun Cangar untuk bersatu padu melawan Hotel Rayja.
Pada proses selanjutnya, banyak aksi baik demonstrasi maupun
advokasi juga mediasi pada seluruh pemangku kepentingan. Tetapi semua mengalami kebuntuan, akhirnya ditempuh
jalur hokum untuk menuntaskan aksi penyelematan Umbu Gemulo. Karena proses hokum yang berjalan lambat,
aksi masa terus dilakukan karena pihak Hotel juga bersikeras untuk melanjutkan
pembangunan karena merasa dapat dukungan dari Pihak Pemerintah Kota yang silau
akan Peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Sampai-sampai hanya karena memindahkan pembatas jalan (batu dan bamboo)
4 (empat) orang rakyat Dusun Cangar dikriminalisasi. Tetapi dengan persatuan rakyat, saat
penahanan 200am (dua ratusan) rakyat Dusun Cangar minta diproses dan ditahan
bersama, polisi memberikan penangguhan penahanan.
Proses hokum terus berlangsung, keempat warga sudah dibebaskan,
bahkan tuntutan untuk menghentikan pembangunan Hotel Rayja juga sudah
dimenangkan rakyat Dusun Cangar. Untuk
sementara Umbul Gemulo terbebas dari ancaman pemodal rakus dan birokrat
serakah. Tetapi, pemodal tidak tinggal
diam dan melakukan Banding. Rakyat Dusun
Gemulo tetap siap sedia menghadang laju pembangunan hotel yang akan merusak
Umbul Gemulo.
Perjuangan rakyat Dusun Cangar dimotori oleh anak-anak muda yang
sadar akan arti kelestarian Umbul Gemulo.
Perjuangan yang juga di dukung oleh Tokoh Masyarakat (Tomas) dan Tokoh
Agama (Toga) setempat, menjadikan perjuangan semakin kuat. Perjuangan rakyat
Dusun Cangar juga mendapat pendampingan dari Wahana Lingkungan Hidup (Walhi)
Jawa Timur dan Omah Munir serta dari Pusat Hak Asasi (PusHAM) Surabaya. Sebagai ujung tombak tokoh muda ada Mas Aris
Kentung sedangkan dari tokoh masyarakat digawangi oleh Haji Rudy.
Sebagai penanda perjuangan, setiap Bulan Suro (penanggalan Jawa)
dilaksanakan Festival Mata Air yang berisi aktivitas Ruwatan Sumber,
Arak-Arakan Bersih Desa, Wayangan, dan berbagai Pesta Rakyat dan Pesta Seni
lainnya. Festival yang dimulai sejak tahun
2012 dan telah dilaksanakan 4 kali sampai tahun 2015 ini. Selain Festival Mata Air dan Ruwatan Sumber,
saat ini Dusun Cangar juga menerima banyak kawan mahasiswa yang ingin belajar
tentang perjuangan rakyat ataupun Anjir sebagai fenomena antropologis yang
berbeda pada kondisi saat ini. Selain
itu juga menerima mahasiswa untuk live
in, belajar berkehidupan bersama, khususunya untuk menyikapi ancaman dari
pemodal rakus dan birokrat serakah yang mengancam peri kehidupan rakyat.
Mempertahankan sudah, menjaga sudah, merawat juga sudah
dilakukan. Pada saat ini, rakyat Dusun
Cangar ingin bergerak lebih jauh lagi dengan melakukan reclaiming, pengambil alihan kawasan Umbul menjadi Kawasan
Perlindungan Setempat atau Kawasan Suaka Mata Air, sehingga kawasan umbul akan
terbebas dari ancaman pemodal dan birokrat rakus nan serakah yang akan merubah
kawasan tersebut menjadi kawasan kelola atau kawasan produksi. Entah siapa yang
bisa membantu.
Pembangunan dan aktivitasekonomi bukan tidak bisa dikelola dengan arif dan
bijaksana. Konsep triple bottom line menawarkan
metoda dan cara pembangunan yang arif dan bijaksana yang berorientasi jangka panjang (going concern).
Walau
telah diterapkan diberbagai negara di Eropa, Amerika, Australia, dan sebagian Negara-negara maju di
Asia belum menjadi prioritas untuk diajarkan apalagi diterapkan di
Indonesia.Bahkan, masih cenderung menjadi arus pinggiran yang sering kali
diremehkan dan ditertawakan oleh pemangku kepentingan, khususnya dari kalangan
pengambil kebijakan seperti Pemerintah Pusat dan Daerah, para pelaku usaha baik
investor maupun industrialis, bahkan oleh kalangan akademisi sendiri.
Pemangku
kepentingan di Indonesia pada umumnya masih menjadikan keuntungan, walau
bersifat jangka pendek, menjadi tujuan utama dan bahkan satu-satunya tujuan
pembangunan dan aktivitas ekonomi. Apa yang kita pikirkan? Apa
yang bisa kita lakukan?
Karena
diam berarti setuju…!!!
Malang,
20 Mei 2016
Salam
Hirau Hidup Hijau
Tidak ada komentar:
Posting Komentar