Jumat, 05 Agustus 2016

CATATAN PINGGIR DISKUSI PARADIGMA EKOLOGIS



20.05.2016, LPM DIANNS @Kampus FIA UB

Dipaparkan oleh Rere, Direktur Eksekutif WALHI Jawa Timur, Pasca Revolusi Industri, terjadi perbuahan metabolisma manusia.  Dari metabolisma memenuhi kebutuhan menjadi metabolisma memenuhi keinginan. Tekno metabolisma, menjadikan manusia berproduksi sebanyak mungkin dengan konsekuensi eksploitasi alam dan merubahnya menjadi Sumber Daya Alam (material yang dikomersialisasikan).  Akibatnya, menghancurkan ekologi, merobohkan infra struktur kehidupan dan peradaban.
Sebagai contoh kecil, bagaimana dengan  emisi di lingkungan Kampus UB?  Bagaimana dengan RTH Kota Malang yang hanya 2,8% padahal Undang-Undang mengharuskan 30% dari luas wilayah? Bagaimana dengan persoaalan mata air seperti di Gemulo, Batu?  Masalah relasi dan paradigma terhadap alam.

Contoh kasus Sumber Air Gemulo dipaparkan oleh Aris Kenthung Koordinator Nawakalam Kota Batu.  Sumber Air Gemulo menghidupi kurang lebih 9.000 jiwa untuk kebutuhan sehari-hari dan untuk pertanian.  Akan didirikan Hotel (Hotel Rayja) dengan kapasitas 112 kamar, dengan kebutuhan air kurang lebih 100 meter kubik perdektik.  Ijin belum lengkap (by pass) tetapi bisa memulai pembangunan karena mndapat dukungan dan ijin dari Pemkot batu.  Akhirnya mendapat perlawanan warga, walau warga harus menghdapai intimidasi dari ratusan preman berseragam, dan bahkan kriminalisasi.  Guagatan warga dilawan dengan gugatan perdata oleh perusahaan dengan tuntutan sebesar 30 milyar.  Setelah 8 bulan beracara di Pengadilan Negeri setiap Senin setiap minggunya.  Gugatan dimenangkan warga, di lakukan banding ke Pengadilan Tinggi oleh pemodal dan tetap dimenangkan oleh masyarakat.  Kriminalisasi dengan tuduhan pencurian (3 batu dan 30cm bambu), proses pemeriksaan selama 3 tahun dan belum selesai hingga saat ini.
Kekompakan warga menjadi kunci.  Saat BAP pencurian, 750 warga datang ke Polsek Bumiaji dan mnita di BAP semua dengan mengaku melakukan pencurian bersama.  Putusan terakhir dari  Mahkamah Agung, tidak terbukti melakukan pencurian dan tindakan kriminal lain tetapi Rayja tetap boleh melanjutkan investasi dengan catatan harus memulai proses perijinan dari awal dan lengkap.
Gemulo adalah satu-satunya sumber mata iar untuk kehidupan rakyat.  Sampai saat ini telah 6 tahun berjuang.  Kebutuhan air di Kota Batu semakin meningkat. Bahkan, PDAM Kota Batu telah mengurangi jatah air untuk Kota malang sebesar 30% (kurang lebih 100 liter perdetik).  Kebutuhan air di Kota Batu meningkat karena eksploitasi kawasan wisata artifisial.  Saat ini, Kota Batu memiliki 56 Mata air yang dimanfaatkan oleh PDAM, 2 Mata air untuk Kota batu dan 54 mata air untukKota Malang.  Sebagai catatan, Jatim Park Group membutuhkan air sebanyak 50 liter perdetik dari Sumber Dami.  Pemkot Batu memfasilitasi korporasi (Jatim Park Group) dengan mengorbankan rakyat Batu dan Malang.

Lestari dari IMPALA UB menyampikan bahwa IMPALA UB telah melakukan pemetaan pohon di UB.  Emisi karbondioksida dai UB sebesar 42 juta sedangkan oksigen sebesar 4 juta, sehingga UB kekurangan 38 Juta oksigen.  Hal ini dikarenakan UB kekurangan pohon untuk memproduksi oksigen.  Solusi lain selain menanam pohon adalah dengan mengurangi jumlah kendaraan bermotor di UB dan membangun parkiran terpusat.

Ditegaskan kembali oleh Rere (WALHI JATIM), Di Malang Raya ada banyak perlawanan terhadap Pemkot dan Pemkab terkait dengan RTH.  Perlawanan yang berujung pada kriminalisasi.  Padahal peraturan daerah di Malang Raya terkait lingkungan dan RTH bertentangan dengan Undang-undang yang di atasnya.  Advokasi lingkungan mengharuskan penguasaan peraturan dan perundangan yang memadai. 
Sistuasi Ekologis di Jawa Timur (data WALHI Jawa Timur): Krisis Hutan, Air, Tanah, dan Energi.
1.       Hutan: tersisa 1.357.206,3 hektar  (881.889,5 hektar hutan produksi; 700.000 hektar rusak; 312.636,5 hutan lindung) dengan tingkat deforestasi 30% pertahun.
2.       Air dan sungai: DAS Brantas hutan menciut karena berubah menjadi hunian dan perladangan.  Di Kabupaten Malang ada 873 mata air, 111 mata air di Kota Batu tetap hanya 58 yang masih hidup.  Kota Malang tidak memiliki mata air dan menjelang krisis air.  Limbah di Sungai Surabaya sebanyak 33,5 ton yang berasal dari 86% limbah industri dan 8% limbah domestik. Bengawan Solo di eksplotasi oleh Exxon dengan menyedot 800 liter perdetik dan hanya mengalirkan 70 liter perdetik ke Kabupaten Bojonegoro yang dilalui pipa airnya.
3.       Energi: Geotermal memang lebih hijau ketimbang PLTA dan PLTU tetapi tetap rakus air dan memaksa pembukaan tutupan hutan untuk tapak instalasinya.  Di Jawa Timur, Gunung Arjino, Lemongan, dan Raung telah di survei dan terancam untuk dieksploitasi.  Dengan teknologi yang ada saat ini peningkatan kebutuhan energi berbanding terbalk dengan kebutuhan air.  Setiap pusat energi masih membutuhkan air dalam jumlah yang sangat besar.  Semakin besar instalasi energi dibangun, semakin besar air yang dibutuhkan untuk menciptakan energi tersebut.
4.       Pangan: kerentanan yang harus dihadapi (1) petani tak bertanah; (2) pupuk dan pestisida; (3) benih rekayasa genetik (GMO) dan paten; (4) harga fluktuatif; dan (5) impor sebagai jalan keluar.  Jeratan korporasi yang menciptakan ketergantungan (benih, pupuk, dan pestisida) juga mengatur harga produk pertanian.  Hilangnya benih lokal dan tergantikan dengan benih hasil rekayasa genetik.
5.       Migas dan tambang: Blok Migas di seluruh Jawa Timur telah terkapling dan mayoritas dikuasai oleh asing.  Demikian pula dengan yang ada di lepas pantai utara Pulau Madura.  Bahkan, pipa migas dari lepas pantai utara Pulau Madura langsung menuju ke luar negeri (China dan Jepang).  Indonesia mengekspor bahan mentah bahkan energi dan mengimpor bahan pangan dan barang jadi, ironi.  Selain itu, ada makelar yang mendapat keuntungan dengan menjadi perantara ekspor impor tersebut.
Pengurangan Risiko Bencana Ekologis yang bisa dilakukan (1) Menurunkan laju daya rusak ekologis. (2) Menjaga kearifan lokal. (3) Mendorong prakarsa rakyat. (4) Menguatkan hak veto rakyat.

Diskusi:
1.       Tata kelola negara disusun untuk kepentingan pemodal.  Produk hukum yang pro modal mengakibatkan ketimpangan pembangunan.  Bahkan tata kelola lembaga pendidikan tinggi seperti UB sudah profit oriented.  Sebagai contoh, mendapatkan konsesi Hutan Pendidikan seluas 514 hektar di Karang Ploso oleh Kementerian KLH, 50 hektar dikelolakan pada Nestle dengan pemasukan kurang lebih 1milyar pertahun.  Bahkan mencanangkan diri sebagai greeen campus tetapi pembangunan gedung terus menerus dan menghilangkan RTH.

2.       Hukum pengelolaan sumber daya alam sering kali menimbulkan konflik sumber daya alam.  Sebagai contoh, MIFE di Merauke untuk pembukaan sawah dan kebun sawit. Sarjana Hukum Agraria malah menjadi agen perusakan lingkkungan.  Hukum adat selalu dikalahkan dengan hukum positif.  Hukum pertambanan nasional mengikuti perda yang merupakan produk politik yang berorientasi profit jangka pendek.
3.       Diseminasi dan belajar bersama rakyat untuk meningkatkan prakarsa rakyat dan memperkuat hak veto rakyat menjadi kerja-kerja kongkrit saat ini. 

29.05.2016, Taman Dwakarsa Porong: 10 tahun Tragedi Lapindo
Paradigma penanganan korban Lapindo yang ada selama ini hanya mengurusi masalah fisik dan kerugian ekonomi saja.  Sedangkan masalah sosial dan budaya terabaikan.

Disampaikan oleh Nino seorang akademisi dari Universitas Brawijaya, Korban lumpur Lapindo masih anonim baik nama maupun jumlah.  Korban hanya sebatas data luasan tanah dan bangunan.  Tidak ada rilis resmi dari Pemerintah tentang jumlah korban manusia.  Pemenuhan Hak-Hak Dasar warga negara nyaris tidak ada. Demikian pula dengan Hak Politik.  Korban secara politis anonim karena berpindah domisili dan tak terurus administrasi kependudukannya sehingga Hak Suara hilang.  Sebagai contoh, warga Desa Gedang yang termasuk dalam 45 RT terdampak, telah mendapatkan ganti rugi tetapi belum meninggalkan rumahnya.  Pengukuran kehilangan hanya sekedar luasan tanah dan rumah.  Kehilangan sosial dan budaya tidak dihitung dan diabaikan.

Dipaparkan oleh Catur Dewan Nasional WALHI tentang kualitas lingkungan dan status kesehatan di Porong sebagai dampak dari lumpur Lapindo.  Hasil penelitian pada tahun 2013 terdapat kandungan Cabmium (id) 0,3 mg/lt (ambang batas aman 0,05 mg/lt) dan timbal (pb) 7,5 mg/lt (ambang batas aman 0,05 mg/lt).  Kandungan tersebut bukan hanya di tanah dan air tetap juga ditemukan di dalam tubuh ikan Sungai Porong.  Hasil penelitian pada tahun 2014 menemukan kandungan Besi (Fe) v29,4 mg/lt (batas aman 0,05 mg/lt), Cadmium (id) yang tinggi, Kobaldt setinggi 17 mg/lt (batas aman 0,05 mg/lt).  Catatan dari Puskesmas Porong, penderita ISPA pada tahun 2005 adalah 23.000 jiwa dan pada tahun 2009 meningkat menjadi 52.000 jiwa.  Medical check up pada tahun 2010 dilakukan pada 20 orang dan diketemukan 70% mengalami gangguan darah, urine, dan ginjal.  Pada medical check up tahun 2016 dari 20 orang yang diperiksa, 50% mengalami gangguan darah dan urine, 20% menggalami gagguan torax, dan laju endapan darah menurun karena darah mengental.  Juga mengalami kenaikan jumlah sel darah putih yang mengakibatkan risiko infeksi dan batu ginjal.  Juga urine mengandung darah merah.    
Kualitas lingkungan buruk karena terkontaminasi logam berat.  Timbal (pb) mengakibatkan kelainan jantung, Kabmium (cb) mengakibatkan kelainan pada paru-paru dan ginjal. Agenda pemulihan korban kesehatan belum ada dari pemerintah.  Masih perlu usaha advokasi dan mitigasi.

Diskusi:
Sigit, Ketua RT 11 Kelurahan Gedang menyampaikan bahwa warga Rtnya sudah mendapatkan pelunasan ganti rugi.  Pada akhir Juli 2016 diminta untuk meninggalkan rumah oleh BPLS.  Sedangkan rumah tempat tinggal masih layak ditempati dan jauh dari semburan walau masuk peta terdampak, sesuai hasil survey dari ITS.  BPLS hanya menangani jual beli aset, sedangkan relokasi tidak dikoordinasi, sehingga saat mencari lahan baru banyak yang tertipu dan bermasalah.  Selain itu, stigma sebagai korban lumpur lapindo melekat.  Aktivitas sosial dan budaya menjadi hancur karena tercerai beria.  Sebagai catatan, pada bulan Mei 2016 ada 19 orang meninggal mendadak di Keluarahan Gedang.  Selain itu, penyakit ISPA pada anak meningkat.  Juga ganti rugi fasum dan fasos masih belum selesai.

mBak Har dari Siring menyampaikan bahwa hak dasar sebagai warga negara sudah hilang sejak tahun 2009.  Tanah fasum dan fasos sudah dibahas di Kecamatan oleh forum Lurah, tetapi banyak yang hilang.  Penderita kanker dan ISPA meningkat.  Bahkan ada rencana penghapusan nama desa dari peta.

Abdul Jalal dari Penatar Sewu dan anggota Koalisi Lumpur Menggugat (KLM) menyatakan bahwa, desanya belum masuk peta dan tidak mendapatkan ganti rugi.  Tetapi, pertainan di desanya rusak karena air irigasi bercampur dengan air lumpur.  Demikian pula dengan kesehatan, masyarakat di sebelah timur tanggul mulai mengalami gangguan kesehatan.  Karena telah beradaptasi dengan bau asap lapindo yang berbahaya menjadikan kesehatan turun.  Sedangkan bila pindah, bukan hanya tidak ada ganti rugi juga akan mengakibatkan tercerabut dari akaar budaya dan tanah kelahirannya.  Ancaman gegar sosial dan budaya.

Maksum dari Glagah Arum (KLM) menyampaikan bahwa Kartu Sakti yang telah dibagikan sebagai jaminan kesehatan tidak tepat sasaran.  Pelayanan kesehatan untuk pemegang Kartu Sakti di Puskesmas tidak optimal.  Kali Alo bahkan sudah tercemar dengan air lumpu Lapindo, sehingga di sisi timur tanggul sudah terdampak.

Rochim dari Desa Besuki menyampaikan bahwa penanganan masalah ekonomi, sosial, dan budaya tidak sepenuhnya diperhatikan dan tidak optimal dilaksanakan.  Hanya jual beli aset saja yang diurus oleh BPLS.  Stigma sebagai korban Lapindo dan orang kaya baru melekat.  Pemerintah daerah, baik Bupati terdahulu maupun Bupati yang sekarang lebih berpihak pada Lapindo ketimbang pada rakyat.  Perlu rencana advokasi dan gerakan yang matang untuk memastikan jaminan kesehatan dan layanan publik bagi korban Lapindo.

Rencana Tindak Lanjut Advoksi:
1.       Kerja-kerja advokasi rakyat untuk pemetaan masalah ekonomi, sosial, budaya, dan kesehatan.
2.       Desain advokasi: Lingkungan, Kesehatan, Ekonomi, Sosial, dan budaya.
3.       Advokasi dampak kesehatan dari lumpur Lapindo untuk mendorong jaminan dan perlindugan kesehatan korban Lapindo.  Advokasi ditujukan ke Kementerian Sosial.
4.       Advoksai penghilangan nama Desa akan berdampak pada Dana Desa.
5.       Pemantauan kondisi ekonomi, sosial, dan budaya korban Lapindo di tempat yang baru.

Tidak ada komentar: