MENGAPA RANCANGAN UNDANG-UNDANG PENGEMBANGAN & PENGUATAN SEKTOR KEUANGAN (RUU-PPSK) DITOLAK...???
Daniel Sugama Stephanus
Mukadimah
Rancangan Undang-Undang PPSK yang disebut juga dengan Omnibus Law Sektor Keuangan menuai
banyak kecaman dan penolakan dari para pelaku koperasi. Mengapa? Karena pada
RUU-PPSK pengawasan pada Koperasi Simpan Pinjam (KSP) akan dialihkan dari Dinas
Koperasi Provinsi & Kabupaten/Kota pada Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Sehingga, KSP akan diperlakukan sama dengan Bank. Padahal secara prinsip dan
filosofis sangat jauh berbeda. Bank ditujukan untuk melayani masyarakat secara
luas yang disebut nasabah, sedangkan
KSP (baca: koperasi) hanya ditujukan untuk melayani anggotanya saja. Bahkan, koperasi yang melakukan praktik dengan
melayani di luar anggotanya disebut dengan shadow
banking, praktik perbakan yang ilegal.
Untuk mengetahui lebih jauh mengapa penolakan para pelaku,
khususnya para aktivis & pengelola Koperasi terjadi, mari kita pelajari
lebih dalam tentang RUU-PPSK dan kontroversinya.
Ruang Lingkup
RUU-PPSK
RUU PPSK yang disahkan oleh Rapat Paripurna DPR-RI pada
tanggal 20 Oktober 2022, menggabungkan 15 Undang-Undang Sektor Keuangan. Ruang
lingkup atau cakupannya meliputi:
1.
Kelembagaan,
2.
Perbankan,
3.
Pasar Modal,
4.
Pasar Uang,
5.
Pasar Valuta Asing,
6.
Perasurasian,
7.
Asuransi Usaha Bersama,
8.
Program Penjaminan Polis,
9.
Usaha Jasa Pembiayaan,
10.
Usaha Modal Ventura,
11.
Dana Pensiun,
12.
Usaha Simpan Pinjam oleh Koperasi,
13.
Lembaga Keuangan Mikro,
14.
Konglomerasi Keuangan,
15.
Inovasi Teknologi Sektor Keuangan,
16.
Keuangan Berkelanjutan,
17.
Inklusi Keuangan & Perlindungan Konsumen,
18.
Akses Pembiayaan bagi Usaha Mikro, Kecil &
Menengah,
19.
Sumber Daya Manusia,
20.
Stabilitas Sistem Keuangan,
Catatan-Catatan
Penting:
1.
Menteri Keuangan bisa menentukan saat Rapat
Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KKSK).
Mekanime Musyawarah dan bila buntu dapat dilajutkan dengan voting, tetapi hasilnya bisa dianulir
oleh Menteri Keuangan (Pasal 9 RUU-PPSK).
2.
Kewenangan Bank Indonesia untuk membeli SBN di
pasar perdana (Pasal 11 UU 9/2016).
3.
Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) menjamin Simpanan
Nasabah Perbankan & Polis Asuransi.
4.
Pembentukan Badan Supervisi OJK & LPS.
5.
Perluasan kewenangan BPR, BPR menjadi Bank
Perekonomian Rakyat.
6.
Penerbitan Rupiah Digital.
7.
Memperkuat wewenang Bank Indonesia.
8.
Memperkuat tugas OJK untuk mengawasi seluruh
lembaga keuangan.
9.
Memperkuat LPS sebagai otoritas resolusi
perbankan & polis asuransi.
10.
Memperkuat industri keuangan dengan fungsi
pengaturan & pengawasan pada seluruh lembaga keuangan.
a.
Perbankan, asuransi, dana pensiun & lembaga
pembiayaan.
b.
OJK mengatur & mengawasi Koperasi Simpan
Pinjam.
c.
Pengawasan Pasar Kripto, Pasar Karbon &
Pembiayaan Berkelanjutan.
d.
Komisioner Pengawas IKMB: Asuransi & Dana
Pensiun.
e.
Komisioner Khusus: Lembaga Pembiayaan, Modal
Ventura, Koperasi & Lembaga Jasa Keuangan lainnya.
RUU-PPSK &
Koperasi
Perhatian pada Pasal 191, 192 & 298 tentang Pengawasan
Koperasi oleh OJK. Termasuk di dalamnya adalah Pemberian Ijin & Pencabutan
Ijin operasional Koperasi. Padahal Prinsip & Regulasi Koperasi berbeda
dengan perbankan & OJK.
Sebagai catatan:
1.
Koperasi tidak hanya mengedepankan profit tetapi
juga benefit. Kemanfaatan untuk Anggotanya. Sedangkan Perbankan hanya
mengedepankan profit dan minim benefit untuk nasabahnya. Benefit & profit
sebesar-besarnya untuk pemodalnya.
2.
Pemilik Koperasi adalah Anggota, sedangkan
pemilik Bank adalah pemodal atau investor. Anggota Koperasi adalah pengguna
produk & layanan sekaligus pengendali aktivitas operasional Koperasi.
Sedangkan pemilik Bank atau investor hanya segelintir orang dengan risiko yang
telah dimitigasi oleh OJK.
3.
Koperasi memiliki prinsip, nilai & jati diri
yang bersifat sosialistik & solidaritas. Berbeda dengan Bank & OJK yang
bersifat kapitalistik & industri.
4.
Koperasi mengedepankan prinsip gotong royong
& solidaritas antar Anggota & sesama Koperasi. Bank & OJK lebih
mengedepankan kehati-hatian (prudence)
dan Bankable.
5.
Koperasi berazaskan kekeluargaan & gotong
royong sebagai prinsip & indikator Pengawasan. Sedangkan Bank & OJK
berazaskan mitigasi risiko & kehati-hatian.
Bila Koperasi di bawah OJK, maka yang terjasi adalah:
1.
Modal materiil & modal finansiil akan lebih
besar ketimbang modal sosial.
2.
Roh konstitusional & filosofi gotong royong
akan hilang.
3.
Potensi bertentangan dengan UUD 1945, karena:
a.
Hilangnya kedaulatan rakyat.
b.
Hilangnya demokrasi ekonomi.
c.
Tercerabutnya azas kekeluragaan & gotong
royong.
Koperasi tidak sama dengan Bank. Karena Koperasi adalah
milik Anggota yang bersolidaritas & bergotong royong untuk mencapai
kesejahteraan bersama. Sejahtera bukan
sekadar makmur secara ekonomi, sejahtera saat:
1.
Pengetahuan & ketrampilan melalui pendidikan
meningkat.
2.
Kohesi sosial semakin merekat.
3.
Kesehatan & spiritual semakin baik.
4.
Kebutuhan Anggota terpenuhi.
Koperasi adalah:
1.
Pengorganisasian sosial & pemberdayaan
Anggota.
2.
Konsolidasi Dana Sosial & Dana Pendidikan.
3.
Pendampingan dan pemberdayaan (usaha) Anggota.
4.
Koperasi bersifat swakendali (self control) & swakelola (self regulation).
5.
Kopeasi adalah kumpulan orang bukan kumpulan
modal.
Jadi, sebaiknya
Koperasi tetap dibawa pembinaan & pengawasan Kementerian Koperasi &
UMKM tetapi dengan berbagai perbaikan.
Karena Koperasi adalah antitesis dari kapitalisme pada industri
perbankan.
RUU-PPSK adalah RUU yang cacat akademis karena akan
mengerdilkan koperasi. Protokol mitigasi
risiko sektor keuangan dan mitigasi krisis ekonomi tidaklah tepat sasaran
karerna cacat metodologi & epistimologi, karana:
1.
Tidak melibatkan partisipasi masyarakat,
khususnya pada pelaku Gerakan Koperasi.
2.
Tidak ada sarana bagi wakil Penggerak Koperasi.
3.
Naskah Akademik miskin referensi untuk
justifikasi teoretis & empiris.
4.
RUU-PPSK disusun secara top down.
5.
Gerakan Koperasi dijadikan korban (baca: tumbal)
untuk melindungi pemodal (perbankan & asuransi).
6.
RUU-PPSK Tidak didasarkan pada proses substantif
penting untuk memperkuat ekonomi konstitusi.
7.
Terjadinya inequality
policy. Sebagai contoh LPS tidak hanya menalangi kerugian nasanah Bank
& pemegang polis asuransi yang kapitalistik tetapi tidak melindungi Anggota
Koperasi yang bersifat sosialistik
8.
Mengabaikan Koperasi yang adalah lembaga ekonomi demokratis yang juga adalah
Sokoguru ekonomi nasional.
9.
Memperkuat aksi polisional terhadap Koperasi
dengan memperluas peran OJK.
10.
Kooptasi terhadap Koperasi melalui OJK dengan
mengabaikan prinsip ekonomi & demokrasi.
11.
Diskriminasi terhadap koperasi sebagai lembaga
ekonomi yang demoktatis karena Koperasi adalah Badan Hukum Ficta Persona yang dimarginalisasi.
Sehingga, dengan
berbagai paparan di atas RUU-PPKS harus ditolak. Khususnya untuk Pasal-Pasai yang menyankut
Koperasi seperti Pasal 44, 191, 192 & 298.
Usulan Menteri
Koperasi & UMKM
1.
UMKM yang dilayani oleh Bank hanya 19,8 Juta
dari kurang lebih 65 Juta UMKM dan mayoritas dilayani oleh Koperasi, sebanyak
kurang lebih 30 juta pelaku.
2.
Bank & Koperasi berbeda, baik secara prinsip
maupun nilainya, sehingga bila ada OJK sifatnya khusus untuk Koperasi, Otoritas
Jasa Koperasi.
3.
Harus ada Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) untuk
Anggota Koperasi sehingga terjadi kesetaraan & keadilan kebijakan serta
menjamin fleksibilitas & aspek prudensial.
4.
Kepailitan tidak ditetapkan oleh OJK karan
Koperasi bersifat swakelola (self
regulated) & otonomi karena akan menganggu stabilitas &
keberlangsungan koperasi.
Sehingga, setelah RUU-PPKS
dicabut dilakukan pembenahan dan revisi besar, khususnya terkait dengan
Koperasi. Harus mengedepankan azas
keadilan dan partisipatif bagi pelaku & penggerak Koperasi.
Kabupaten Malang, Gerimis
di hari Selasa malam.
22 November 2022:
18.15
Tidak ada komentar:
Posting Komentar