KESIA SISKA AMELIA & DANIEL SUGAMA STEPHANUS
PERKULIAHA METODOLOGI PENELITIAN
PROGRAM STUDI AKUNTANSI - FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS MA CHUNG – KABUPATEN MALANG 2014
1.
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Seiring berjalannya waktu, perkembangan zaman tidak dapat dihindari. Persaingan menjadi semakin ketat dan hanya mereka yang siap dan memunyai bekal serta sikap profesionalisma yang memadai saja yang dapat tumbuh dan
bertahan. Kemampuan dan keahlian khusus yang dimiliki oleh suatu profesi adalah suatu keharusan agar profesi tersebut mampu bersaing di dunia usaha
sekarang ini. Namun, selain kemampuan dan keahlian khusus, suatu profesi juga
harus memiliki etika yang
merupakan aturan-aturan
khusus yang harus ditaati
oleh
pihak yang menjalankan
profesi
tersebut.
Etika suatu profesi menjadi topik pembicaraan yang sangat penting dalam
masyarakat sekarang ini. Terjadinya pelanggaran etika profesi tersebut
menyadarkan masyarakat untuk mengutamakan perilaku etis, dimana selama ini
perilaku etis sering diabaikan. Etika menjadi kebutuhan penting bagi semua
profesi yang ada agar tidak melakukan
tindakan yang menyimpang hukum.
Semua profesi dituntut untuk berperilaku etis yaitu bertindak sesuai dengan moral dan
nilai-nilai yang berlaku.
Tiap-tiap pelaku profesi memuyai tanggung jawab etika profesi masin-masing. Dalam hal etika profesi, sebuah profesi memiliki komitmen moral yang
tinggi, yang biasanya dituangkan dalam bentuk aturan khusus yang menjadi
pegangan bagi setiap orang yang mengembang profesi yang bersangkutan. Aturan ini merupakan aturan main dalam menjalankan atau mengemban profesi tersebut
yang biasanya disebut sebagai kode etik yang harus dipenuhi dan ditaati oleh
setiap profesi. Setiap profesi yang memberikan pelayanan kepada masyarakat harus memiliki kode etik yang merupakan seperangkat prinsip-prinsip
dan mengatur tentang perilaku
profesionalisma
(Murtanto & Marini 2003).
Begitu pula dengan keberadaan maupun peran profesi akuntan di masa
sekarang dan akan datang, serta perkembangan bisnis yang menuntut
profesionalisma dari seorang akuntan karena profesi akuntan merupakan salah
satu profesi yang melekat pada masyarakat bisnis. Di Indonesia sedang berkembang issue seiring dengan terjadinya beberapa pelanggaran etika yang
terjadi, baik yang dilakukan oleh akuntan publik, akuntan internal, maupun akuntan
pemerintah.
Untuk kasus akuntan publik, beberapa pelanggaran etika ini dapat ditelusuri dari laporan Dewan Kehormatan IAI dalam laporan pertanggungjawaban pengurus IAI periode 1990-1994 yang menyebutkan adanya 21 kasus yang melibatkan 53 KAP. Dari hasil penelitian
BPKP terhadap 82 KAP dapat diketahui bahwa selama tahun 1994 sampai dengan 1997 terdapat 91,81% KAP tidak
memenuhi Standar Profesional Akuntan Publik, 82,39% tidak menerapkan sistem
Pengendalian Mutu, 9,33% tidak mematuhi kode etik, dan 5,26% tidak mematuhi
peraturan perundang-undangan. Data terakhir (Media Akuntansi, 2002) ada 10
KAP
yang melakukan pelanggaran saat mengaudit bank-bank yang dilikuidasi tahun
1998.
Pelanggaran etika oleh akuntan publik misalnya dapat berupa pemberian opini wajar tanpa pengecualian untuk laporan keuangan yang tidak memenuhi
kualifikasi tertentu menurut norma pemeriksaan akuntan atau Standar Profesional
Akuntan Publik (SPAP). Pelanggaran etika oleh akuntan internal dapat berupa
perekayasaan data akuntansi untuk menunjukkan kinerja keuangan perusahaan
agar tampak lebih baik dari yang sebenarnya. Sedangkan pelanggaran etika yang
dilakukan oleh akuntan pemerintah misalnya dapat berupa pelaksanaan tugas pemeriksaan yang tidak semestinya karena didapatkannya insentif tambahan
dalam jumlah tertentu dari pihak yang laporan
keuangannya diperiksa.
Berbagai pelanggaran terjadi baik di Amerika maupun di Indonesia. Contoh
kasus nyata adalah PT Telkom dimana laporan keuangan PT Telkom yang diaudit oleh KAP Edy Pianto ditolak oleh SEC (United States Securities and Exchange
Comission) untuk kinerja 2002; kemudian kasus pelanggaran yang menimpa
perbankan di Indonesia
pada tahun 2002 yaitu banyak bank yang
dinyatakan sehat tanpa syarat oleh akuntan publik atas audit laporan keuangan berdasar Standar
Akuntansi Perbankan Indonesia ternyata sebagian besar bank itu kondisinya tidak
sehat; dan kasus rekayasa laporan keuangan oleh akuntan intern yang dilakukan
oleh
sejumlah perusahaan go
public (kasus Enron, Tyco, Xerox Corp, Walt
Disney).
Runtuhnya perusahaan raksasa Enron Corporation yang merupakan salah satu perusahaan terkemuka di Amerika Serikat telah melibatkan
KAP Arthur Andersen sebagai akuntan publik yang mengaudit laporan keuangan perusahaan tersebut. Lima tahun terakhir perusahaan tersebut telah diduga melebihkan neraca dan laporan keuangan. Skandal Enron memunculkan banyak pertanyaan seputar peranan Arthur Andersen.
Sebab auditor bertaraf internasional ini telah memainkan dua posisi strategis di perusahaan tersebut, sebagai auditor dan konsultan bisnis Enron. Hal inilah yang kemudian menjadi
perdebatan di kalangan
auditor (jasa akuntan publik) mengenai industri accounting
dan potensi benturan kepentingan yang dihadapi perusahaan tersebut dalam peranannya di masyarakat (Media Akuntansi, 2002).
Arthur Andersen
secara nyata telah melakukan pelanggaran pada prinsip
kepentingan publik, dimana sebagai Kantor Akuntan Publik yang menerima
kepercayaan masyarakat yang sangat tinggi justru melakukan kebohongan publik dengan membiarkan laporan keuangan Enron terbit. Padahal dalam kenyataannya
Enron diduga melebih-lebihkan neraca dan laporan keuangan. Selain itu Arthur
Andersen juga melanggar prinsip integritas dan obyektivitas dimana selain mengaudit laporan keuangan Enron, mereka juga berperan sebagai konsultan
bisnis. Arthur Andersen
juga mendiskreditkan profesi akuntan publik dengan menjalankan dua posisi tersebut, dan hal tersebut jelas melanggar prinsip perilaku
profesional.
Deretan kasus tersebut adalah merupakan gambaran beragam tindakan
penyelewengan dan kecurangan audit. Kejadian itu telah mendorong tuntutan masyarakat terhadap independensi auditor. Dengan adanya berbagai pelanggaran tersebut maka jelas bahwa Kode Etik Akuntan selama ini kurang dipatuhi. Hal tersebut akhirnya berdampak pada menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap
profesi akuntan. Agar kepercayaan masyarakat khususnya pengguna jasa akuntan
meningkat, maka seharusnya etika yang mengatur profesi akuntan sejak dini
dipahami dan dilaksanakan secara disiplin yaitu semenjak di bangku kuliah,
sehingga Kode Etik Akuntan yang ada benar-benar dipahami untuk dilaksanakan pada praktik
kerja nantinya.
Hal-hal tersebut
tidak akan terjadi jika setiap akuntan dan calon akuntan
memunyai pengetahuan pemahaman dalam menerapkan etika secara memadai untuk melaksanakan tugasnya sebagai seorang akuntan yang profesional. Dengan sikap akuntan yang profesional maka akan mampu menghadapi tekanan yang
muncul dari dirinya sendiri ataupun dari pihak eksternal. Oleh karena itu kesiapan
yang menyangkut profesionalisma seorang yang berprofesi sebagai akuntan
diperlukan, sebab sebagai seorang profesionaisma harus memiliki tiga hal utama oleh
setiap anggota profesi
tersebut yaitu keahlian,
pengetahuan,
dan karakter.
Hal ini bertujuan untuk memenuhi peran dan tanggung jawabnya kepada masyarakat
para
pemakai jasa profesionalisma profesi akuntan. Sikap dan tindakan etis
akuntan akan sangat menentukan keberadaannya dalam persaingan diantara rekan profesi dari negara lainnya
(Yusup et al.,
2007).
Di tengah banyaknya tantangan yang cukup berat yang dihadapi, profesi akuntan dalam dunia bisnis seringkali dihadapkan pada konflik kepentingan
ekonomi dan politik dan dianggap sudah menyimpang jauh dari nilai-nilai etika.
Disinilah seorang akuntan harus bekerja dengan sikap yang profesional yang sepenuhnya berlandaskan pada standar moral dan etika yang ada. Akuntan atau auditor di dalam menjalankan tugasnya harus bertanggung jawab kepada pihak
ketiga atau pihak eksternal, dalam hal ini pemerintah, pemegang saham, kreditur, dan
masyarakat.
Dalam menjalankan profesinya sebagai pemeriksa (audit), seorang akuntan diatur oleh
suatu kode etik profesi. Kode
etik
tersebut berupaya untuk
memastikan standar kompetensi yang tinggi diantara anggota-anggota kelompok, mengatur
hubungan mereka, dan meningkatkan serta melindungi citra profesi dan
kesejahteraan
komunitas profesi (Simamora, 2002).
Kode etik profesi akuntan di Indonesia dikenal dengan nama Kode Etik Ikatan Akuntan Indonesia
(Renyowijoyo, 2005),
yang merupakan norma perilaku yang
mengatur hubungan antara akuntan dengan para klien, antara akuntan dengan sejawatnya, dan antara profesi dengan masyarakat (Sihwajoeni & Godono.,
2000). Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) telah mengesahkan Kode Etik Akuntan
Indonesia tersebut
sejak tahun 1973 yang mengalami revisi di tahun 1986, 1994, dan terakhir tahun 1998 dalam pasal 1 ayat (2) yang mengamanatkan “setiap anggota harus mempertahankan integritas dan obyektivitas dalam melaksanakan
tugasnya guna menjaga
hubungan dengan klien” (Jusup
& Al Haryono, 2001).
Ikatan Akuntansi Indonesia adalah satu-satunya organisasi profesi akuntan
Indonesia yang beranggotakan auditor dari berbagai tipe (auditor pemerintah, auditor intern, dan auditor independen), akuntan manajemen, akuntan yang bekerja sebagai pendidik, serta akuntan yang bekerja di luar profesi auditor,
akuntan manajemen, dan akuntan pendidik. Dengan adanya kode etik tersebut, akuntan akan bertindak adil tanpa dipengaruhi tekanan atau permintaan pihak tertentu
atau kepentingan pribadinya.
Prinsip etika profesi dalam kode etik Ikatan Akuntan Indonesia menyatakan pengakuan profesi akan tanggung jawabnya kepada publik, pemakai jasa akuntan,
dan
rekan. Prinsip
ini memandu anggota dalam memenuhi tanggung jawab
profesionalnya dan merupakan landasan dasar perilaku etika dan perilaku profesionalnya. Selain itu, prinsip ini meminta komitmen untuk berperilaku terhormat,
bahkan dengan pengorbanan
keuntungan pribadi (IAI, 1998).
Kode etik akan mendorong masyarakat dalam menilai sejauh mana seorang auditor telah bekerja sesuai dengan standar-standar etika yang telah ditetapkan oleh profesinya. Selain itu, kepercayaan masyarakat terhadap suatu profesi dapat diperkuat, karena setiap klien mempunyai kepastian bahwa kepentingannya
terjamin.
Kode etik ibarat kompas yang menunjukkan arah etika bagi
suatu
profesi dan sekaligus juga menjamin mutu profesi itu di mata masyarakat (Yatimin, 2006).
Kepercayaan dari masyarakat inilah yang menjadi alasan perlunya kode
etik
profesi akuntan.
Secara umum, dapat ditunjukkan bahwa pekerjaan akuntan merupakan
pekerjaan yang sarat dengan acuan normatif dan muatan moral. Acuan normatif dan muatan moral ini dapat dicermati antara lain pada kode etik profesi akuntan,
standar profesionalisma akuntan publik, dan standar akuntansi keuangan yang telah dikeluarkan oleh IAI (Ludigdo,
2007).
Persepi perlu diteliti karena merupakan gambaran pemahaman terhadap etika
profesi (Kode Etik Akuntan). Dengan pengetahuan, pemahaman, serta kemauan
yang lebih untuk menerapkan nilai-nilai moral dan etika secara memadai dapat
mengurangi berbagai pelanggaran etika (Ludigdo 1999). Peneliti memfokuskan
penelitian pada Prinsip-Prinsip Etika dalam Kode Etik Akuntan yaitu Tanggung
Jawab Profesi,
Kepentingan Publik, Integritas, Obyektivitas, Kerahasiaan,
Kompetensi dan
Perilaku Profesional, serta
Standar Teknis.
Abdullah & Halim (2002)
menyatakan etika dalam profesi akuntansi mendapat sorotan kerena ternyata kurikulum pendidikan belum mencakup muatan etika yang cukup berarti (Ludigdo & Macfoedz, 1999; Engle & Smith, 1990). Mata kuliah yang mengandung
muatan etika tidak terlepas dari misi yang dimiliki
oleh
perguruan tinggi, yang juga bertanggung jawab pada pengajaran ilmu
pengetahuan yang menyangkut tentang etika yang harus dimiliki oleh
mahasiswanya dan agar mahasiswanya mempunyai kepribadian (personality) yang utuh sebagai calon
akuntan yang profesional.
Menurut Utami et al., (2009) Internal Federation
of Accountants (IFAC) pada tahun 2008 menerbitkan delapan standar pendidikan internasional (International Education Standards / IES). Dari delapan standar tersebut, standar
nomor 4 (IES 4) menyebutkan bahwa program pendidikan akuntansi sebaiknya memberikan rangka nilai, etika, dan sikap profesional untuk melatih judgement
profesional calon akuntan sehingga dapat bertindak secara etis di tengah
kepentingan
profesi dan masyarakat.
Sebagai acuan dari studi ini dapat disebutkan beberapa hasil penelitian yang telah dilakukan sebelumnya. Wulandari & Sularso (2002) meneliti tentang persepsi akuntan pendidik dan mahasiswa akuntansi terhadap kode etik akuntan
Indonesia. Hasil penelitiannya menyatakan bahwa ada perbedaan persepsi yang signifikan antara kelompok akuntan pendidik dengan mahasiswa akuntansi. Akuntan pendidik mempunyai persepsi yang lebih baik terhadap kode etik
dibanding dengan mahasiswa
akuntansi.
Winarna & Retnowati (2003) melakukan penelitian tentang persepsi akuntan pendidik, akuntan publik, dan mahasiswa akuntansi terhadap kode etik Ikatan
Akuntan Indonesia. Hasil penelitiannya menyatakan bahwa antara akuntan publik,
akuntan pendidik dan mahasiswa akuntansi mempunyai persepsi yang berbeda
terhadap kode etik Ikatan Akuntan Indonesia. Martadi & Suranta (2006) meneliti
bahwa tidak terdapat perbedaan persepsi
yang signifikan antara akuntan pria dan
mahasiswa akuntansi dengan akuntan wanita dan mahasiswa akuntansi terhadap
etika profesi. Terdapat perbedaan persepsi yang signifikan antara karyawan
bagian akuntansi pria dengan karyawan bagian akuntansi wanita terhadap etika profesi. Ronald Arisetyawan (2010) meneliti tentang persepsi akuntan publik dan
mahasiswa pendidikan profesi akuntansi terhadap kode etik Ikatan Akuntan
Indonesia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat perbedaan persepsi mahasiswa akuntansi PPAk dan akuntan
publik.
Berdasarkan argumen di atas, maka penelitian etika profesi akuntan ini
dilakukan karena profesi akuntan dalam aktivitasnya tidak terpisahkan dengan prinsip-prinsip
yang tercantum dalam etika profesi. Menurut
Hunt & Vitel (1998), kemampuan seorang profesional untuk dapat mengerti dan peka akan adanya
masalah etika dalam profesinya sangat dipengaruhi
oleh lingkungan budaya atau masyarakat dimana profesi itu berada, lingkungan profesi, lingkungan organisasi,
atau tempat ia bekerja serta
pengalaman
pribadinya.
Sudibyo (1998)
menyatakan dunia pendidikan akuntansi memunyai pengaruh
yang besar terhadap perilaku etis akuntan. Pemahaman seorang mahasiswa akuntansi dalam hal etika sangat diperlukan dan memiliki peranan penting dalam
perkembangan profesi akuntansi di Indonesia. Calon akuntan perlu diberi pemahaman yang cukup terhadap masalah-masalah etika profesi yang akan mereka hadapi.
Subyek penelitian
ini adalah akuntan publik dan akuntan pendidik, karena mereka adalah pendidik dari pada calon akuntan yang utuh sebagai manusia setelah
diberikan pengarahan ilmu
pengetahuan bisnis dan akuntansi (transformasi
ilmu). Sedangkan dilakukan pada mahasiswa akuntansi karena mereka adalah
calon akuntan yang seharusnya terlebih dahulu dibekali pengetahuan mengenai
etika sehingga kelak bisa bekerja secara profesional berlandaskan etika profesi seorang akuntan serta dapat menerapkannya dengan baik di dunia bisnis.
Penelitian
ini
bertujuan untuk menguji secara empiris perbedaan persepsi terhadap
etika profesi akuntan dengan menekankan pada prinsip-prinsip
etika akuntan antara akuntan publik, akuntan pendidik, dan mahasiswa
akuntansi. Berdasarkan permasalahan yang ada tersebut maka menjadi latar belakang untuk menyusun penelitian ini dengan judul “PERSEPSI AKUNTAN PUBLIK, AKUNTAN PENDIDIK, DAN MAHASISWA AKUNTANSI TERHADAP KODE
ETIK AKUNTAN
INDONESIA”.
1.2 Rumusan
Masalah
Banyaknya masalah yang terjadi pada berbagai kasus bisnis yang melibatkan
profesi akuntan,
membuat masyarakat memandang negatif peran akuntan. Padahal
apabila Kode Etik Akuntan yang mengatur mengenai pelaksanaan profesi akuntan
dilaksanakan dengan tulus dan niat yang baik maka hal-hal negatif tersebut tidak
seharusnya
terjadi.
Penegakan etika profesi harus dimulai melalui pemahaman dan penghayatan
dengan kesadaran penuh sedini mungkin, yaitu sejak bangku kuliah. Apabila
pemahaman akan Kode Etik Akuntan tersebut tidak dipersepsikan dengan baik maka dalam melakukan praktik kerja di masyarakat akan mengurangi kualitas audit report. Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Bagaimana persepsi
akuntan publik, akuntan pendidik, dan mahasiswa akuntansi terhadap
prinsip-prinsip Kode
Etik Ikatan Akuntan
Indonesia?
2. Apakah ada perbedaan persepsi antara akuntan publik, akuntan pendidik,
dan
mahasiswa akuntansi terhadap prinsip-prinsip Kode Etik Ikatan
Akuntan Indonesia?
1.3 Tujuan
Adapun tujuan
penelitian ini adalah
sebagai berikut.
1. Mengetahui persepsi akuntan publik, akuntan pendidik, dan mahasiswa akuntansi
terhadap prinsip-prinsip
Kode Etik Ikatan Akuntan Indonesia.
2. Menguji secara empiris apakah terdapat perbedaan persepsi
terhadap Kode
Etik
Akuntan antara akuntan publik, akuntan pendidik, dan mahasiswa akuntansi.
1.4 Manfaat
1. Bagi
peneliti
a. Penelitian ini dapat menjadi sarana untuk memraktikkan dan
menerapkan
ilmu
pengetahuan
yang telah
diperoleh.
b. Peneliti mendapatkan tambahan pengetahuan tentang etika profesi akuntan.
c. Mengetahui persepsi akuntan publik, akuntan pendidik, dan mahasiswa akuntansi terhadap etika profesi akuntan.
2. Bagi
profesi akuntan
Penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan untuk tetap dapat menjaga mutu jasa auditnya dan mempertahankan independensi auditor.
3. Bagi
dunia pendidikan
a. Membantu para akademisi untuk melakukan pemahaman yang lebih
terhadap perkembangan etika mahasiswa akuntansi dan juga dapat memberikan masukan penting dalam penyususnan kurikulum pendidikan akuntansi sehubungan
dengan etika profesi
akuntan.
b. Memberikan masukan tentang indikator mengenai bagaimana calon-calon akuntan
berperilaku profesional di masa
yang akan
datang.
c. Memberikan masukan dalam upaya untuk meningkatkan kualitas pendidikan akuntansi yang tidak hanya bertanggungjawab untuk mendidik mahasiswa menjadi akuntan yang mahir dan profesional tetapi juga menjadi akuntan yang berperilaku etis dan selalu
berpegang teguh
pada etika profesi
yang dipahaminya.
4. Bagi
peneliti
selanjutnya
Penelitian ini dapat menjadi sumber pembelajaran sebagai dasar pembanding dalam rangka melakukan penelitian lebih lanjut pada bidang terkait.
2.
LANDASAN TEORI
Landasan teori adalah seperangkat definisi, konsep serta proposisi yang telah
disusun rapi serta sistematis tentang variabel-variabel dalam sebuah penelitian
(Turner, 1992). Dalam penelitian, landasan teori layaknya fondasi pada sebuah
bangunan. Bangunan akan terlihat kokoh bila fondasinya kuat. Tanpa landasan
teori penelitian dan metode yang digunakan tidak akan berjalan lancar. Peneliti
juga tidak bisa membuat pengukuran
atau tidak memiliki standar alat ukur jika
tidak ada landasan teori. Seperti yang diungkapkan oleh Sugiyono (2012),
bahwa
landasan teori perlu ditegakkan agar penelitian mempunyai dasar yang kokoh,
dan bukan sekedar
perbuatan coba-coba (trial
and error).
Pada bab II ini, peneliti bertujuan untuk mendapatkan jawaban atas rumusan
masalah yang telah ditetapkan dalam bab 1.2, sehingga dapat meyakinkan
pembaca akan penelitian yang telah dibuat dengan didasarkan pada teori-teori
ilmiah.
2.1 Kajian Pustaka
2.1.1 Persepsi
2.1.1.1 Definisi Persepsi
Persepsi menurut
Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer (1999) adalah
pandangan dari seseorang atau banyak orang akan hal atau peristiwa yang
didapat atau diterima. Sedangkan kata persepsi sendiri berasal dari bahasa
Latin perception, yang berarti penerimaan, pengertian, atau pengetahuan.
Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1995)
persepsi
diartikan sebagai tanggapan (penerimaan) langsung dari sesuatu atau
merupakan proses seseorang
mengetahui beberapa hal yang dialami oleh setiap
orang dalam memahami setiap informasi tentang lingkungan melalui panca
indera (melihat, mendengar, mencium, menyentuh, dan merasakan). Agar
individu dapat menyadari dan dapat membuat persepsi, ada beberapa syarat
yang harus dipenuhi (Walgito & Bimo, 1997): (1) adanya obyek yang
dipersepsikan (fisik); (2) alat indera atau reseptor yaitu alat untuk menerima
stimulus (fisiologis); (3) adanya perhatian yang merupakan langkah pertama
dalam mengadakan persepsi
(psikologis).
Jadi dalam konteks penelitian ini persepsi dapat diartikan sebagai
penerimaan atau pandangan seseorang melalui suatu proses yang didapat dari
pengalaman dan pembelajaran sehingga seorang individu mampu untuk
memutuskan mengenai suatu hal. Persepsi sendiri dipengaruhi
oleh sejumlah
faktor yang dapat membentuk persepsi
dan kadangkala membiaskan persepsi.
Faktor-faktor tersebut
dapat terletak pada orang yang mempersepsikannya,
obyek atau sasaran yang dipersepsikan, atau konteks dimana persepsi itu
dibuat. Sedangkan karakteristik pribadi yang mempengaruhi
persepsi meliputi
sikap, kepribadian, motif, kepentingan, pengalaman masa lalu, dan harapan
(Robbins & Stephen,
2002).
Persepsi individu dalam membuat penilaian akan dikaitkan dengan teori
atribusi (Ikhsan, 2010). Teori atribusi merupakan penjelasan dan cara-cara
manusia menilai sesuatu secara berlainan, bergantung pada makna yang
dihubungkan ke suatu perilaku tertentu. Pada dasarnya, teori ini menyarankan
bahwa jika seseorang mengamati perilaku, orang tersebut berusaha
menentukan apakah perilaku itu disebabkan oleh faktor internal atau eksternal.
Namun, penentuan tersebut sebagian
besar bergantung pada tiga faktor berikut.
1. Kekhususan (ketersendirian), merujuk pada apakah seorang individu
memperlihatkan perilaku-perilaku yang berlainan dalam situasi yang
berlainan.
2. Konsensus, yaitu jika semua orang yang menghadapi suatu situasi
serupa bereaksi
dengan
cara yang
sama.
3. Konsistensi, yaitu individu memberikan reaksi dengan cara yang sama
dari waktu ke waktu.
2.1.1.2 Faktor-Faktor
yang
Memengaruhi
Persepsi
Persepsi dikatakan rumit dan aktif karena walaupun persepsi merupakan
pertemuan antara proses kognitif dan kenyataan, persepsi lebih banyak
melibatkan kegiatan kognitif. Persepsi
lebih banyak dipengaruhi oleh
kesadaran, ingatan, pikiran, dan bahasa. Dengan demikian, persepsi
bukanlah
cerminan yang tepat dari realitas (Ikhsan, 2010).
Dari beberapa definisi persepsi,
dapat disimpulkan bahwa persepsi setiap
individu
mengenai suatu obyek
atau peristiwa tergantung pada dua faktor, yaitu
faktor dalam diri seseorang (aspek kognitif) dan faktor dunia luar (aspek
stimulus visual). Robbins (2009), mengemukakan bahwa sejumlah faktor
beroperasi untuk membentuk dan terkadang mengubah persepsi. Faktor-faktor
ini bisa terletak dalam diri pembentuk persepsi, dalam diri objek atau target
yang diartikan, atau dalam
konteks situasi di
mana
persepsi tersebut dibuat.
Robbins (....) menjelaskan bahwa ketika seorang individu melihat sebuah target
dan berusaha untuk menginterpretasikan apa yang ia lihat, interpretasi itu
sangat dipengaruhi oleh berbagai karakteristik pribadi dari pembuat persepsi
individual tersebut. Karakteristik pribadi yang memengaruhi
persepsi meliputi
sikap, kepribadian, motif, minat, pengalaman masa lalu, dan harapan-harapan seseorang.
Karakteristik target yang diobservasi bisa memengaruhi apa yang
diartikan. Target tidak dilihat secara khusus, hubungan sebuah target dengan
latar belakangnya juga memengaruhi persepsi, seperti halnya kecenderungan
untuk mengelompokkan hal-hal yang dekat dan hal-hal yang mirip. Konteks
dimana kita melihat berbagai objek atau peristiwa juga penting. Waktu sebuah
objek atau peristiwa yang dilihat dapat memengaruhi perhatian, seperti halnya
lokasi,
cahaya, panas, atau sejumlah
faktor situasional lainnya.
2.1.2 Akuntan
2.1.2.1 Definisi
Akuntan
Akuntan adalah suatu gelar profesi yang pemakaiannya dilindungi oleh
peraturan (Undang-undang No. 34 tahun 1954). Peraturan ini mengatakan
bahwa gelar akuntan hanya dapat dipakai oleh mereka yang telah
menyelesaikan pendidikannya dari perguruan tinggi yang diakui menurut
peraturan tersebut
dan telah terdaftar pada Departemen Keuangan yang
dibuktikan pemberian nomor register. Apabila seseorang telah lulus dari
pendidikan tinggi dimaksud tetapi tidak terdaftar maka yang bersangkutan
sesuai dengan ketentuan tersebut, bukan akuntan. Oleh sebab itu, semua
“akuntan
yang resmi” memunyai nomor
register
(Regar,
2007).
Menurut Bambang (2001), akuntan adalah seseorang yang melakukan
pelayanan akuntansi. Akuntan menyiapkan laporan keuangan dan
mengembangkan rencana keuangan, mengerjakan pembukuan pribadi (untuk
perusahaan), pembukuan umum (untuk perusahaan akuntan), dan akuntan yang
tidak mencari keuntungan (untuk perwakilan pemerintah). Akuntan merupakan
profesi yang mengawal penerapan good corporate governance (good
governance) baik di swasta maupun di pemerintahan agar berjalan sesuai pada
jalurnya. Akuntan yang tidak berintegritas dan tidak bermoral membuat segala
sesuatunya
menjadi berantakan.
Menurut International Federation of Accountants (2003),
profesi akuntan
adalah semua bidang pekerjaan yang mempergunakan keahlian di bidang
akuntansi, termasuk bidang pekerjaan akuntan publik, akuntan internal yang
bekerja pada perusahaan industri, keuangan atau dagang, akuntan yang bekerja
di pemerintah,
dan akuntan sebagai pendidik.
Sedangkan berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia
No. 17/PMK.01/2008 tentang
mengakui IAI sebagai organisasi profesi akuntan
publik yang berwenang melaksanakan ujian sertifikasi akuntan publik,
penyusunan dan penerbitan standar profesional dan etika akuntan publik, serta
menyelenggarakan program pendidikan berkelanjutan bagi seluruh akuntan
publik di Indonesia, akuntan publik adalah akuntan yang telah memperoleh ijin
dari Menteri untuk memberikan jasa sebagaimana diatur dalam Keputusan
Menteri Keuangan.
2.1.2.2 Profesi
Akuntan
Profesi akuntan dapat digolongkan sebagai berikut.
1. Profesi
Akuntan Publik (Public Accountants)
Akuntan publik atau juga dikenal dengan akuntan eksternal adalah
akuntan independen yang memberikan jasa-jasanya atas dasar
pembayaran tertentu. Mereka bekerja bebas dan umumnya mendirikan
suatu kantor akuntan. Yang termasuk dalam kategori akuntan publik
adalah akuntan yang bekerja pada kantor akuntan publik (KAP) dan
dalam praktiknya sebagai seorang akuntan publik dan mendirikan
kantor akuntan, seseorang harus memperoleh izin dari Departemen
Keuangan. Seorang akuntan publik dapat melakukan pemeriksaan
(audit), misalnya terhadap jasa perpajakan, jasa konsultasi manajemen,
dan jasa penyusunan sistem manajemen.
2. Profesi
Akuntan Internal
(Internal Accountant)
Akuntan intern adalah akuntan yang bekerja dalam suatu perusahaan
atau organisasi. Akuntan intern ini disebut juga akuntan manajemen.
Jabatan tersebut yang dapat diduduki
mulai dari Staf biasa sampai
dengan Kepala Bagian Akuntansi atau Direktur Keuangan. Tugas
mereka adalah menyusun sistem akuntansi, menyusun laporan
keuangan kepada pihak-pihak eksternal, menyusun laporan keuangan
kepada pemimpin perusahaan, menyusun anggaran, penanganan
masalah
perpajakan,
dan
pemeriksaan internal.
3. Profesi
Akuntan Pemerintah (Government Accountants)
Akuntan pemerintah adalah akuntan yang bekerja pada lembaga-
lembaga pemerintah, misalnya di kantor Badan Pengawasan Keuangan
dan Pembangunan (BPKP), Badan
Pemeriksa Keuangan
(BPK).
4. Profesi
Akuntan Pendidik
Akuntan pendidik adalah akuntan yang bertugas dalam pendidikan
akuntansi, melakukan penelitian dan pengembangan akuntansi,
mengajar, dan
menyusun kurikulum pendidikan
akuntansi
di perguruan tinggi.
Hal-hal yang harus dilakukan oleh setiap akuntan sesuai
dengan bidangnya
adalah sebagai berikut (Wulansari,
2008).
1. Profesionalisma akan
dapat ditingkatkan
melalui penguasaan bahasa asing,
teknologi informasi, dan penguasaan metoda akuntansi untuk transaksi
perusahaan
multinasional.
2. Akuntan publik yang profesional adalah mereka yang kompeten dalam
melakukan audit atas laporan keuangan perusahaan domestik dan
multinasional dengan sistem manual atau berbasis teknologi informasi.
Kantor akuntan publik juga harus mempunyai kompetensi di bidang
review dan kompilasi.
3. Akuntan internal (manajemen) perlu meningkatkan profesionalismanya di
bidang metoda akuntansi untuk transaksi perusahaan nasional dan
multinasional, penguasaan bahasa asing, dan teknologi informasi. Akuntan
manajemen juga perlu memiliki kemampuan dalam bidang komunikasi
dan manajemen, sehingga dapat berperan dalam proses pengambilan
keputusan.
4. Akuntan pendidik harus dapat melakukan transfer of
knowledge kepada
mahasiswanya, memiliki tingkat pendidikan yang tinggi, menguasai
pengetahuan bisnis, akuntansi, dan teknologi informasi, serta mampu
mengembangkan pengetahuannya melalui penelitian.
5. Akuntan pemerintah harus menguasai akuntansi dan audit pemerintahan
serta audit perusahaan karena lingkup keuangan negara juga meliputi
BUMN dan BUMD. Penguasaan teknologi informasi akan meningkatkan
profesionalisma akuntan
pemerintah.
2.1.3 Mahasiswa Akuntansi
Menurut kamus Besar Bahasa Indonesia (2007)
mahasiswa didefinisikan
sebagai orang yang belajar di perguruan tinggi. Sedangkan akuntansi adalah seni
pencatatan dan pengikhtisaran transaksi keuangan dan penafsiran akibat suatu
transaksi terhadap suatu kesatuan ekonomi (AICPA). Jadi yang dimaksud
mahasiswa akuntansi dalam penelitian ini adalah mahasiswa jurusan akuntansi
yang telah menempuh mata kuliah auditing dan teori akuntansi. Persyaratan ini
didasarkan pada asumsi bahwa para mahasiswa akuntansi tersebut
telah
memunyai pemahaman tentang prinsip-prinsip
etika
dalam Kode Etik IAI.
Pendidikan akuntansi selayaknya diarahkan untuk memberi pemahaman
konseptual yang didasarkan pada penalaran sehingga ketika akhirnya masuk ke
dalam dunia praktik dapat beradaptasi dengan keadaan sebenarnya dan memiliki
resistance to change yang rendah terhadap gagasan perubahan atau pembaruan
yang menyangkut
profesinya (Suwardjono,
1992).
Mahasiswa yang lulus dari jurusan Akuntansi tidak secara otomatis
mendapatkan gelar akuntan (Ak) tetapi harus menempuh program Pendidikan
Profesi Akuntansi (PPAk) untuk mendapatkan gelar akuntan tersebut. Program
Studi S1 Akuntansi merupakan program studi yang menghasilkan sarjana
akuntansi yang siap menjadi akuntan profesional dan kompeten berlandaskan
wawasan berpikir manajerial. Agar menjadi sarjana yang siap untuk menjadi
akuntan yang profesional dan kompeten di era globalisasi sekarang ini maka para
mahasiswa
dibekali dengan keterampilan, pengetahuan, dan
karakter.
Selain itu, guna pengembangan diri yang berkelanjutan maka mahasiswa juga
akan dibekali dengan kemampuan melakukan penelitian yang akan dapat
dimanfaatkan bagi pengembangan ilmu atau secara khusus dapat digunakan untuk
mencapai jenjang pendidikan yang lebih
tinggi.
2.1.4 Definisi
Etika dan Kode Etik Akuntan
Etika berasal dari bahasa
Yunani yaitu dari kata ethos
yang berarti “karakter”.
Nama lain untuk etika adalah moralitas yang berasal dari bahasa Latin yaitu dari
kata mores yang berarti “kebiasaan”. Moralitas berfokus pada perilakumanusia
yang “benar” dan “salah” (Jusup et
al. 2001).
Ward et al. (1993) mengungkapkan bahwa etika sebenarnya meliputi suatu
proses penentuan yang kompleks tentang apa yang harus dilakukan seseorang
dalam situasi tertentu. Proses itu sendiri meliputi penyeimbangan sisi dalam
(inner) dan sisi luar (outer) yang disifati oleh kombinasi unik dari pengalaman
danpembelajaran masing-masing individu. Kemudian dalam Mulyadi (2002),
tertulis bahwa dasar pikiran yang melandasi penyusunan etika profesional setiap
profesi adalah kebutuhan profesi tersebut
tentang kepercayaan masyarakat
terhadap mutu jasa yang diserahkan oleh profesi, terlepas dari anggota profesi
yang menyerahkan
jasa tersebut.
Sedangkan Kode Etik Akuntan adalah norma perilaku yang mengatur
hubungan
antara akuntan dengan kliennya,
antara akuntan dengan sejawatnya,
dan
antara profesi dengan masyarakat (Sihwahjoeni &
Gudono, 2000). Kode Etik
Akuntan sebagaimana ditetapkan dalam Kongres VIII Ikatan Akuntan Indonesia
di Jakarta pada tahun 1998 terdiri dari (Mulyadi,
2002):
1. Prinsip
Etika
2. Aturan Etika
3. Interprestasi
Aturan
Etika
Di dalam prinsip etika, dimuat delapan
prinsip
etika sebagai berikut.
a. Tanggung Jawab Profesi
Dalam melaksanakan tanggung jawabnya sebagai profesional, setiap
anggota harus senantiasa menggunakan pertimbangan moral dan
profesional dalam semua kegiatan yang dilakukannya. Sebagai
profesional, anggota mempunyai peran penting dalam masyarakat. Sejalan
dengan peranan tersebut, anggota mempunyai tanggung jawab kepada
semua pemakai jasa profesional mereka. Anggota juga harus selalu
bertanggung jawab untuk bekerja sama dengan sesama anggota untuk
mengembangkan profesi akuntansi, memelihara kepercayaan masyarakat
dan menjalankan tanggung jawab profesi dalam mengatur dirinya sendiri.
Usaha kolektif semua anggota diperlukan untuk memelihara dan
meningkatkan tradisi profesi.
b. Kepentingan Publik
Setiap anggota berkewajiban untuk senantiasa bertindak dalam kerangka
pelayanan kepada publik, akuntan memegang kepercayaan publik, dan
menunjukkan komitmen atas profesionalisma. Satu ciri utama dari suatu
profesi adalah penerimaan tanggung jawab kepada publik. Profesi akuntan
memegang peranan yang penting di masyarakat, publik dari
profesi akuntan terdiri dari klien, pemberi kredit, pemerintah, pemberi
kerja, pegawai investor, dunia bisnis dan keuangan, dan pihak lainnya
bergantung kepada obyektivitas dan integritas akuntan dalam memelihara
berjalannya fungsi bisnis secara tertib. Ketergantungan ini menimbulkan
tanggung jawab
akuntan
terhadap kepentingan publik.
c. Integritas
Untuk memelihara dan meningkatkan kepercayaan publik, setiap
anggotaharus memenuhi tanggung jawab profesionalnya dengan integritas
setinggi mungkin. Integritas adalah suatu elemen karakter yang mendasari
timbulnya pengakuan profesional. Integritas merupakan kualitas yang
mendasari kepercayaan publik dan merupakan patokan (benchmark) bagi
anggota dalam menguji semua keputusan yang diambilnya. Integritas
mengharuskan seseorang anggota untuk, antara lain, bersikap jujur dan
berterus terang tanpa harus mengorbankan rahasia penerima jasa, pelayanan,
dan kepercayaan publik tidak boleh dikalahkan oleh keuntungan pribadi.
Integritas dapat menerima kesalahan yang tidak disengaja dan perbedaan
pendapat yang jujur, tetapi tidak dapat menerima kecurangan atau peniadaan
prinsip. Integritas diukur dalam
bentuk
apa yang benar dan adil.
d. Obyektivitas
Setiap anggota harus menjaga obyektivitas dan bebas dari benturan
kepentingan dalam pemenuhan kewajiban profesionalnya. Obyektivitas
adalah suatu kualitas yang memberikan nilai atas jasa yang
diberikan
anggota.
Prinsip obyektivitas mengharuskan anggota bersikap adil, tidak memihak,
jujur secara intelektual, tidak berprasangka atau bias, serta bebas dari
benturan kepentingan atau berada di bawah pengaruh pihak lain. Anggota
bekerja dalam berbagai kapasitas yang berbeda dan harus menunjukkan
obyektivitas mereka di berbagai situasi. Anggota dalam praktik akuntan
publik memberikan jasa atestasi, perpajakan, serta konsultasi manajemen.
Anggota yang lain menyiapkan laporan keuangan sebagai seorang bawahan,
melakukan jasa audit internal yang bekerja dalam kapasitas keuangan dan
manajemennya di industri, pendidikan dan pemerintahan. Mereka harus
melindungi integritas pekerjaannya dan memelihara obyektivitas.
e. Kompetensi dan Kehati-hatian Profesional
Setiap anggota harus melaksanakan jasa profesionalnya dengan kehati-
hatian, kompetensi, dan ketekunan, serta mempunyai kewajiban untuk
mempertahankan pengetahuan dan keterampilan profesional pada tingkat
yang diperlukan untuk memastikan bahwa klien atau pemberi kerja
memperoleh manfaat dari jasa profesional yang kompeten berdasarkan
perkembangan
praktik, legislasi,
dan teknik yang paling mutakhir.
Kehati-hatian profesional mengharuskan anggota untuk memenuhi
tanggungjawab profesionalnya dengan kompetensi dan ketekunan. Hal ini
mengandung arti bahwa anggota mempunyai kewajiban untuk
melaksanakan jasa profesional dengan sebaik-baiknya sesuai dengan
kemampuannya, demi kepentingan pengguna jasa dan konsisten dengan
tanggung jawab
profesi
kepada publik.
Kompetensi diperoleh melalui pendidikan dan pengalaman. Anggotanya
seyogyanya tidak menggambarkan dirinya memiliki keandalan atau
pengalaman yang tidak mereka punyai. Dalam semua penugasan dan
dalam semua tanggungjawabnya, setiap anggota harus melakukan upaya
untuk mencapai tingkatan kompetensi yang akan meyakinkan bahwa
kualitas jasa yang diberikan memenuhi tingkatan profesionalisma tinggi
seperti disyaratkan oleh
prinsip etika.
f. Kerahasiaan
Setiap anggota harus menghormati kerahasiaan informasi yang diperoleh
selama melakukan jasa profesional dan tidak boleh memakai atau
mengungkapkan informasi tersebut tanpa persetujuan, kecuali bila ada hak
atau kewajiban profesional atau hukum untuk mengungkapkannya. Anggota
memunyai kewajiban untuk menghormati kerahasiaan informasi tentang
klien atau pemberi jasa yang diperoleh melalui jasa profesional yang
diberikannya. Kewajiban kerahasiaan berlanjut bahkan setelah hubungan
antar anggota dan klien atau
pemberi jasa berakhir.
g. Perilaku Profesional
Setiap anggota harus berperilaku yang konsisten dengan reputasi profesi yang
baik dan menjauhi tindakan yang dapat mendiskreditkan profesi. Kewajiban
untuk menjauhi tingkah laku yang dapat mendiskreditkan profesi harus
dipenuhi oleh anggota sebagai perwujudan tanggung jawabnya kepada
penerima jasa, pihak ketiga, anggota yang lain, staf, pemberi kerja dan
masyarakat umum.
h. Standar Teknis
Setiap anggota harus melaksanakan jasa profesionalnya sesuai dengan standar
teknis dan standar profesional yang relevan. Sesuai dengan keahliannya dan
dengan berhati-hati, anggota mempunyai kewajiban untuk melaksanakan
penugasan dari penerima jasa selama penugasan tersebut sejalan dengan
prinsip integritas dan obyektivitas. Standar teknis dan standar profesional
yang harus ditaati anggota adalah standar yang dikeluarkan oleh Ikatan
Akuntan Indonesia, International Federation of Accountants, badan pengatur,
dan peraturan perundang-undangan
yang relevan.
2.2 Penelitian
Terdahulu
Penelitian sebelumnya yang dilakukan berkaitan dengan persepsi terhadap
etika dan kode etik menunjukkan hasil yang berbeda-beda. Desriani (1993)
melakukan penelitian yang bersifat exploratori deskriptif untuk melihat persepsi
akuntan publik tarhadap kode etik. Penelitian ini hanya ditujukan kepada akuntan
publik. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa terdapat perbedaan persepsi yang
signifikan antara kelompok akuntan. Peneliti berharap dapat dilakukan penelitian
lebih lanjut terhadap faktor-faktor yang memengaruhi perbedaan persepsi antar
kelompok akuntan tersebut.
Sedangkan penelitian yang dilakukan Stevens et al. (1993)
hasil analisis
dengan t-test menunjukkan bahwa secara keseluruhan tidak ada perbedaan
signifikan di antara kelompok, walaupun ada kecenderungan staf pengajar lebih
berorientasi etis dibanding mahasiswa baik yang tingkat akhir maupun mahasiswa baru.
Ludigdo & Machfoedz (1999) meneliti tentang etika bisnis dengan
menggunakan responden dari kelompok akuntan pendidik, akuntan publik,
akuntan pendidik sekaligus akuntan publik, dan mahasiswa. Hasil penelitiannya
menunjukkan bahwa ada perbedaan persepsi tentang kode etik bisnis diantara
kelompok akuntan tersebut.
Sihwajoehni & Gudono (2000) melanjutkan penelitian
Desriani (1993) dengan
meneliti tentang persepsi
kode etik diantara tujuh kelompok akuntan yang
meliputi akuntan pendidik, akuntan publik, akuntan manajemen, akuntan
pemerintah, akuntan pendidik sekaligus akuntan publik, akuntan pendidik
sekaligus akuntan manajemen, dan akuntan pendidik sekaligus akuntan
pemerintah.
Hasil penelitiannya menunjukkan
bahwa tidak ada perbedaan persepsi
yang signifikan diantara tujuh kelompok akuntan. Dalam penelitiannya juga
mengungkapkan bahwa diantara kelompok profesi akuntan tersebut
memunyai
persepsi yang
sama
positifnya terhadap
kode etik.
Wulandari & Sularso (2002) juga meneliti tentang persepsi akuntan pendidik
dan mahasiswa akuntansi terhadap Kode Etik Akuntan Indonesia. Hasil
penelitiannya menyatakan bahwa ada perbedaan persepsi yang signifikan antara
kelompok akuntan pendidik dengan mahasiswa akuntansi. Akuntan pendidik juga
mempunyai persepsi yang lebih baik terhadap kode etik dibanding dengan
mahasiswa akuntansi. Diperkirakan akuntan pendidik memiliki pengalaman lebih
banyak dibanding mahasiswa
tentang etika.
Rustiana & Dian (2002) membandingkan persepsi
antara novice accountant
(mahasiswa), akuntan pendidik, dan akuntan publik terhadap kode etik akuntan
yang hasilnya menunjukkan bahwa terdapat perbedaan persepsi tentang kode etik
akuntan diantara tiga kelompok akuntan tersebut, dan persepsi akuntan lebih baik
dibanding akuntan
pendidik dan novice
accountant (mahasiswa).
Jaka & Retnowati (2003)
hasil penelitiannya menunjukkan bahwa untuk
prinsip etika secara keseluruhan disimpulkan bahwa antara akuntan publik,
akuntan pendidik, dan mahasiswa akuntansi mempunyai perbedaan persepsi yang
signifikan terhadap Kode Etik. Sedangkan untuk aturan etika secara keseluruhan
disimpulkan bahwa terdapat perbedaan persepsi yang signifikan antara akuntan
publik dan
mahasiswa akuntansi.
Martadi & Suranta (2006)
menyatakan bahwa tidak terdapat perbedaan
persepsi yang signifikan antara akuntan pria dan mahasiswa akuntansi dengan
akuntan wanita dan mahasiswa akuntansi terhadap etika profesi. Perbedaan
persepsi yang signifikan hanya terdapat antara karyawan bagian akuntansi pria
dengan karyawan bagian
akuntansi wanita terhadap etika profesi.
Arisetyawan (2010) meneliti tentang persepsi akuntan publik dan
mahasiswa pendidikan profesi akuntansi terhadap Kode Etik Ikatan Akuntan
Indonesia. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan persepsi
mahasiswa
akuntansi
PPAk
dan akuntan publik.
Berdasarkan argumen dan hasil yang berbeda-beda di atas, maka peneliti
terdorong untuk melakukan penelitian untuk lebih meyakinkan apakah memang
terdapat perbedaan atau tidak. Penelitian ini akan menguji perbedaan persepsi
terhadap 8 prinsip-prinsip etika dalam kode etik akuntan antara profesi akuntan
yang merupakan praktisi (akuntan pendidik) dengan mahasiswa jurusan akuntansi
sebagai akademisi
yang berada di Universitas
Ma
Chung kota Malang.
2.3 Hipotesis
Berdasarkan penelitian-penelitian terdahulu, maka penelitian ini bermaksud
untuk menguji lebih lanjut apakah memang ada atau tidak perbedaan persepsi
tersebut dengan menguji hipotesis
berikut.
H1 : Sekurang-kurangnya terdapat dua perbedaan persepsi antara akuntan
publik, akuntan pendidik, dan mahasiswa akuntansi terhadap Kode Etik Akuntan.
Dalam pengujian ANOVA jika ada perbedaan diantara rata-rata populasi
minimal dua berbeda, maka dapat disimpulkan terdapat perbedaan persepsi
diantara ketiga
kelompok tersebut atau
H1 diterima (Levin & Rubin, 1998).
Tujuan membandingkan antara akuntan publik, akuntan pendidik, dan
mahasiswa jurusan akuntansi adalah untuk mengetahui ada atau tidaknya
perbedaan persepsi mengenai Kode Etik Akuntan. Apabila hasil penelitian
menunjukkan adanya perbedaan persepsi maka wajar saja karena akuntan
pendidik sudah menerapkan Kode Etik Akuntan dalam pekerjaannya sedangkan
mahasiswa
jurusan akuntansi baru
dipersiapkan untuk
berprofesi sebagai akuntan.
2.4 Rerangka
Teoritis
Prinsip-prinsip etika dalam
Kode
Etik Akuntan:
1. Tanggungjawab Profesi
2. Kepentingan Publik 3. Integritas
4. Obyektivitas
5. Kompetensi
dan Kehati-hatian Profesional
6. Kerahasiaan
7. Perilaku Profesional
8. Standar Teknis
Akuntan Pendidik Akuntan Publik Mahasiswa Akuntansi
Persepsi
ANOVA,
Dengan varian kelompok:
1. Akuntan (Pendidik dan Publik)
2. Mahasiswa Jurusan Akuntansi
|
|
Hasil ANOVA |
|
|
|
Hipotesis
|
|
Terima H1 |
Tolak H1
Gambar 2.1
Rerangka Teoritis
3.
METODA PENELITIAN
Metodologi merupakan cara kerja untuk dapat memahami hal yang menjadi
sasaran penelitian yang bersangkutan, meliputi prosedur
penelitian dan teknik
penelitian (Hasan, 2002).
Metoda dan teknik penelitian merupakan komponen
yang paling penting dalam suatu penelitian. Metoda merupakan keseluruhan
langkah ilmiah yang digunakan untuk menemukan solusi atas suatu masalah
(Silalahi, 2009). Sedangkan metoda penelitian itu sendiri dapat didefinisikan
sebagai suatu prosedur yang digunakan untuk mencapai tujuan akhir (Sulistyo &
Basuki, 2006).
3.1 Jenis dan Pendekatan Penelitian
3.1.1 Jenis Penelitian
Penelitian yang ditujukan untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan
persepsi antara akuntan publik, akuntan pendidik, dan mahasiswa akuntansi
terhadap kode etik Ikatan Akuntan Publik dilakukan dengan menggunakan
rancangan jenis penelitian kuantitatif. Penelitian kuantitatif adalah pendekatan
terhadap kajian empiris untuk mengumpulkan, menganalisa, dan menampilkan
data dalam bentuk numerik daripada naratif (Given, 2008). Studi empiris sendiri
adalah penelitian yang diadakan untuk mendapatkan bukti atau fakta-fakta secara
murni dan sebenarnya tentang gejala-gejala atas permasalahan yang timbul
(Husein, 2003). Sedangkan menurut
Cooper & Schindler (2006),
riset kuantitatif
mencoba melakukan pengukuran yang akurat terhadap
sesuatu.
3.1.2 Pendekatan
Penelitian
Pendekatan penelitian yang digunakan adalah pendekatan studi kasus-
hypothesis testing dengan menggunakan statistik inferensial multi diskriminan.
Tujuan studi kasus adalah mengkaji secara intensif latar belakang, status terkini,
dan interaksi unit-unit sosial (individu, kelompok, lembaga, atau komunitas)
dengan lingkungannya. Menurut
Isaac & Michael (1982),
studi kasus merupakan
investigasi mendalam atas unit sosial tertentu yang menghasilkan sebuah
gambaran lengkap dan tertata baik dari unit sosial tersebut. Cakupan gambaran itu
tergantung pada tujuan-tujuan penelitiannya.
Kasus dipilih mungkin karena dramatis, bukannya bersifat khas; atau karena
kasusnya cocok dengan prakonsepsi peneliti. Tafsiran subyektif mempengaruhi
hasil penelitian; hal ini terjadi karena penilaian-penilaian selektif peneliti
menentukan aliran data, atau menentukan tinggi rendahnya signifikansi data, atau
penempatan
data pada satu
konteks daripada konteks
lainnya.
Inferensi adalah salah satu bagian penting dalam pengembangan ilmu karena
inferensi menyediakan rata-rata (mean) untuk menggambarkan kesimpulan-
kesimpulan dari data yang dipengaruhi
oleh variasi acak. Statistik inferensial
adalah pola-pola dalam data yang dapat dimodelkan sedemikian rupa sehingga
dapat menjelaskan keacakan (randomness) dan ketidakpastian (uncertainty) dalam
observasi, dan kemudian digunakan untuk menggambarkan inferensi-inferensi
tentang proses atau populasi
yang diteliti (Miller,
1991).
3.2 Populasi dan Sampel
Populasi adalah wilayah generalisasi yang mempunyai kuantitas dan karakter
tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik
kesimpulan (Sugiyono, 2000). Populasi penelitian ini adalah akuntan publik,
akuntan pendidik, dan mahasiswa jurusan akuntansi yang ada di kota Malang.
Sedangkan sampel adalah kelompok kecil yang diamati dan merupakan bagian
dari populasi, sehingga sifat dan karakteristik populasi juga dimiliki oleh sampel
(Indriantoro & Supomo,
1999). Sampel penelitian ini adalah akuntan publik,
akuntan pendidik, dan mahasiswa akuntansi dengan kriteria sampel sebagai
berikut.
1. Akuntan publik, merupakan akuntan yang bekerja pada Kantor Akuntan
Publik (KAP) di kota Malang yang telah memiliki pengalaman mengaudit
minimal satu tahun.
2. Akuntan pendidik, merupakan akuntan yang mengajar pada jurusan
akuntansi pada perguruan tinggi negeri dan swasta yang berada di Kota Malang.
3. Mahasiswa akuntansi, merupakan mahasiswa yang mengambil jurusan
akuntansi Program Sarjana S1 pada perguruan tinggi negeri dan swasta di
kota Malang yang sedang atau telah mengambil mata kuliah Auditing dan
Etika Bisnis. Alasannya adalah karena pada mata kuliah tersebut, materi
etika telah
diperkenalkan.
Alasan pemilihan sampel akuntan publik dan akuntan pendidik karena kedua
jenis pekerjaan tersebut
berhubungan dengan penugasan audit yang diatur dalam
Kode Etik Akuntan, akuntan publik merupakan pihak yang secara khusus
diatur dalam Kode Etik Akuntan dan akuntan pendidik merupakan pihak yang
mengajarkan mata kuliah yang mengandung
muatan Kode Etik Akuntan, yang
sekaligus bisa juga sebagai pelaksana penugasan audit. Sedangkan alasan
pengambilan sampel untuk mahasiswa akuntansi karena mereka merupakan cikal
bakal akuntan yang sedang dipersiapkan agar dapat memahami Kode Etik
Akuntan sejak dini, sehingga nantinya Kode Etik tersebut
dapat diterapkan dalam
pekerjaannya sebagai akuntan kelak. Teknik pemilihan sampel yang digunakan
adalah purposive sampling, yaitu pengambilan sampel yang bersifat tidak acak,
dimana sampel dipilih berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tertentu
(Singarimbun & Masri, 1995).
Karena keterbatasan waktu dan biaya, serta banyaknya jumlah populasi
akuntan pendidik dan mahasiswa akuntansi maka penulis mengambil sampel
berdasarkan jumlah sampel besar (n > 30), yaitu sejumlah 100 kuesioner guna
melakukan pengujian apakah terdapat perbedaan
atau tidak.
3.3 Data Penelitian
3.3.1 Jenis dan Sumber Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data subyek (self-report
data), yaitu jenis data yang berupa opini, sikap, pengalaman, atau karakteristik
dari seorang atau sekelompok orang yang menjadi subyek penelitian (responden)
(Indriantoro &
Suipomo, 2002).
Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer (primary
data), yaitu sumber data yang diperoleh secara langsung dari sumber asli (tidak
melalui media perantara). Data primer diperoleh melalui kuesioner secara dua
cara, pertama personal (personally administered
questionaries) kepada masing-
masing responden, yaitu dalam hal ini peneliti berhubungan langsung dan
memberikan penjelasan seperlunya, kemudian kuesioner dapat langsung
dikumpulkan setelah selesai dijawab oleh responden (Indriantoro & Suipomo,
2002). Dan kedua,
lewat perantara teman untuk
membagikan
kuesioner tersebut.
3.3.2 Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian kuantitatif ini
dikumpulkan melalui survei dengan mengisi kuesioner yang dibagikan kepada
responden. Menurut
Husein (2009),
kuesioner merupakan suatu pengumpulan
data dengan memberikan atau menyebarkan daftar pertanyaan atau pernyataan
kepada responden dengan harapan memberikan respon
atas daftar pertanyaan
tersebut.
Kuesioner yang diajukan kepada responden berupa daftar pertanyaan tertutup
(closed question), yaitu pertanyaan yang dibuat sedemikian rupa sehingga
responden dibatasi untuk membuat pilihan di antara serangkaian alternatif saja.
Operasional penyebaran kuesionernya dilakukan dengan didistribusikan secara
langsung (mendatangi dan bertemu langsung dengan responden), baik untuk
akuntan pendidik
maupun
mahasiswa akuntansi.
3.4 Definisi dan Pengukuran
Operasional Variabel
Variabel dari penelitian ini adalah persepsi Kode Etik Akuntan sebagai
variabel tunggal. Persepsi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1995) adalah
tanggapan (penerimaan) secara langsung dari sesuatu atau merupakan proses
seseorang mengetahui beberapa hal melalui panca inderanya. Sedangkan Kode
Etik Akuntan adalah norma perilaku yang mengatur hubungan antara akuntan
dengan kliennya, antara akuntan dengan sejawatnya, dan antara profesi dengan
masyarakat (Sihwahjoeni & Gudono, 2000).
Konstruksi yang membentuk variabel penelitian diambil dari delapan prinsip
etika dalam Kode Etik Akuntan yang ditetapkan pada Kongres VII Ikatan
Akuntan Indonesia di Jakarta pada tahun 1998 yaitu tanggung jawab profesi,
kepentingan publik, integritas dan obyektivitas, kompetensi dan profesionalisma,
kerahasiaan, dan standar teknis. Masing-masing dimensi yang membentuk Kode
Etik Akuntan tersebut akan diwakili oleh serangkaian pernyataan yang diadopsi
dari kuesioner
Hendarto (2003) yang dikembangkan lebih lanjut.
Skala yang digunakan dalam penyusunan kuesioner penelitian ini adalah skala
ordinal atau skala LIKERT, yaitu skala yang digunakan untuk mengukur sikap,
pendapat, dan persepsi seseorang atau sekelompok orang tentang fenomena sosial
(Sugiyono, 2003). Sewaktu menanggapi pertanyaan dalam skala likert, responden
menentukan tingkat persetujuan mereka terhadap suatu pernyataan dengan
memilih
salah satu
dari
pilihan yang tersedia.
Skala dalam penelitian ini berisi empat tingkat jawaban yang merupakan skala
jenis ordinal (Ghozali, 2001). Dalam skala likert ini, peneliti menghilangkan
alternatif pilihan netral (tidak pasti), hal tersebut untuk menghilangkan keragu-
raguan karena peneliti menghendaki alternatif pilihan yang pasti. Dari 34 item
pernyataan yang diajukan dibagi dalam dua kelompok pernyataan yang dapat
dilihat
pada tabel 3.1.
Tabel 3.1 Kelompok Pernyataan dan Penilaian Pernyataan
Kelompok |
Nomor Pernyataan |
Penilaian Pernyataan |
Keterangan |
Pernyataan positif |
I. 1,2,3,4 II. 1,2,3,4 III. 2,3,4,5,6,7,8,9,10 IV. 1,2,4 V. 1,2,3,4,5,6 VI. 1,2,3,4,5 |
STS = 1 TS = 2 S
= 3 SS = 4 |
STS = Sangat Tidak Setuju TS = Tidak Setuju S =
Setuju SS =
Sangat Setuju |
Pernyataan negatif |
III. 1,11 IV. 3 |
STS = 4 TS = 3 S = 2 SS = 1 |
Sumber: Metodologi Penelitian (Sedarmayanti & Syarifudin, 2002).
Untuk dimensi tanggung jawab profesi diwakili oleh empat pertanyaan
sehingga range
teoritisnya berkisar antara 4 sampai 20, kepentingan publik
diwakili oleh empat pertanyaan sehingga range teoritisnya berkisar antara 4
sampai 20, dimensi integritas dan objektivitas diwakili oleh 11 pertanyaan
sehingga range
teoritisnya berkisar antara 11 sampai 55, dimensi kerahasiaan
diwakili oleh empat pertanyaan sehingga range teoritisnya berkisar 4 sampai 20,
dimensi kompetensi dan perilaku profesional diwakili oleh enam pertanyaan
sehingga range
teoritisnya
berkisar
antara 6 sampai 30,
dan dimensi standar teknis
diwakili oleh lima pertanyaan sehingga range teoritisnya berkisar antara 5 sampai
25. Sedangkan
untuk range teoritis total berkisar
antara 34 sampai 170.
3.5 Analisis
Data
3.5.1 Uji Kualitas Data
Sekumpulan data yang akan digunakan dalam penelitian ini terlebih dahulu
dilakukan uji validitas dan uji reliabilitas. Tujuannya adalah untuk mengetahui
sejauh mana data penelitian dapat diteruskan dan layak untuk dilakukan penelitian
lebih lanjut (Renyowijoyo, 2005).
a. Uji Validitas
Mengingat pengumpulan data dilakukan dengan kuesioner, maka kualitas
kuesioner dan kesanggupan responden
dalam menjawab pertanyaan
merupakan hal yang sangat penting
dalam penelitian ini. Apabila alat yang
digunakan dalam proses
pengumpulan data tidak valid, maka hasil
penelitian yang diperoleh tidak mampu menggambarkan keadaan yang
sebenarnya. Oleh karena itu dalam penelitian akan dimulai dengan
pengujian validitas dan reliabilitas terhadap daftar pertanyaan yang
digunakan dalam kuesioner.
Validitas suatu instrumen menunjukkan suatu alat ukur yang dapat
mengukur sejauh mana kebenaran alat itu untuk mengukur sesuatu yang
diperlukan, atau seberapa kesahihannya (Mardalis, 2009). Suatu kuesioner
dikatakan valid jika pertanyaan pada kuesioner mampu untuk
mengungkapkan sesuatu yang diukur oleh kuesioner tersebut. Jadi
validitas ingin mengukur apakah apakah pertanyaan dalam kuesioner yang
sudah kita buat betul-betul dapat mengukur apa yang hendak kita ukur
(Ghozali, 2002).
Model pengujian menggunakan pendekatan Pearson
Correlation untuk menguji validitas pernyataan kuesioner yang disusun
dalam bentuk skala. Perhitungan ini akan dilakukan dengan bantuan
komputer
program SPSS 20 (Statistical Package for
Social Scince).
Signifikansi Pearson Correlation yang dipakai adalah 0,05. Apabila nilai
signifikan lebih kecil dari 0,05 maka butir pertanyaan tersebut valid dan
apabila nilai signifikannya lebih besar dari 0,05 maka butir pertanyaan
tersebut tidak
valid
(Ghozali, 2005).
b. Uji Reliabilitas
Reliabilitas atau keterandalan suatu instrumen sebagai alat ukur
dimaksudkan untuk mengetahui sejauh mana kebenaran alat ukur tersebut
cocok digunakan sebagai alat ukur untuk mengukur sesuatu (Mardalis,
2009). Reliabilitas instrumen diperlukan untuk mendapatkan data sesuai
dengan tujuan pengukuran. Uji reliabilitas adalah alat untuk mengukur
suatu kuesioner yang merupakan indikator dari variabel atau konstruk.
Suatu kuesioner dikatakan reliabel atau andal jika jawaban seseorang
terhadap pernyataan adalah konsisten atau stabil dari waktu ke waktu. Uji
realbilitas dilakukan terhadap pernyataan-pernyataan yang sudah valid
untuk mengetahui sejauh mana hasil pengukuran tetap konsisten apabila
dilakukan pengukuran ulang pada kelompok yang sama dengan alat ukur
yang sama. Cara menghitung tingkat reliabilitas suatu data yaitu
menggunakan rumus Crobach’s Alpha (Azwar, 1997). Koefisien
Cronbach Alpha yang lebih besar dari 0,6 menunjukkan keandalan
(reliabilitas) instrumen, namun jika nilai Cronbach Alpha lebih kecil dari
0,6 maka jawaban dalam kuesioner tersebut dikatakan tidak reliabel
(Ghozali,
2005).
3.5.2 Uji Asumsi Klasik
Analisis berikutnya adalah menguji persyaratan alat uji hipotesis. Uji asumsi
ini meliputi uji normalitas sebaran dan uji homogenitas varians. Pengujian ini
dilakukan sesuai dengan model analisis yang akan digunakan dalam pengujian
hipotesis yaitu ANOVA dan Independent Sample t-test
yang mensyaratkan data
terdistibusi
normal dan
varian
kelompok
homogen.
a. Uji Normalitas
Pengujian normalitas sebaran dilakukan untuk mengetahui bahwa data
yang dianalisis memenuhi kriteria sebaran normal (distribusi normal).
Data yang baik dan layak untuk membuktikan model-model penelitian
tersebut adalah data yang memiliki distribusi normal. Uji asumsi
normalitas data dalam penelitian ini dilakukan dengan One Sample
Kolmogorov-Smirnov Goodness of Fit Test dengan menggunakan tingkat
alpha 5%. Dasar pengambilan keputusan dilihat dari tingkat signifikan
dengan ketentuan jika nilai signifikannya yang dihasilkan lebih kecil dari
nilai signifikan yang telah ditetapkan sebesar 0,05, hal ini berarti data
terdistribusi secara tidak normal. Jika nilai signifikan lebih besar dari 0,05
maka distribusi data adalah
normal (Singgih,
2002).
b. Uji Homogenitas
Uji homogenitas dimaksudkan untuk memperlihatkan bahwa dua atau
lebih kelompok data sampel berasal dari populasi yang memiliki varians
yang sama. Uji homogenitas pada uji perbedaan dimaksudkan untuk
menguji bahwa setiap kelompok yang akan dibandingkan memiliki
variansi yang sama. Dengan demikian perbedaan yang terjadi dalam
hipotesis benar-benar berasal dari perbedaan antara kelompok (Ghozali,
2005). Uji homogenitas data dalam penelitian ini dilakukan dengan
melihat nilai dari Test of Homogenity of Variances. Dasar pengambilan
keputusan dilihat dari tingkat signifikan dengan ketentuan jika nilai
signifikannya yang dihasilkan lebih kecil dari 0,05, hal ini berarti data
tersebut heteroskedastisitas. Jika nilai signifikan lebih besar dari 0,05
maka data tersebut
aman (homogen).
3.6 Uji Hipotesis
Analisis utama adalah pengujian hipotesis. Untuk pengujian hipotesis
dilakukan dengan menggunakan alat analisis statistik ANOVA dengan
menggunakan bantuan program Statistical
Packages for Social Science (SPSS)
karena sampel yang diuji terdiri dari tiga kelompok yang saling independen dan
bertujuan untuk menguji apakah rata-rata tiga atau lebih populasi berbeda, jika
populasi didistribusikan normal dengan varians yang sama dan masing-masing
sampel independen.
Ada dua tahapan analisis yang dilakukan
dalam uji
beda:
a. Pertama, dengan
uji
F.
b. Kedua, H01 diterima bila F hitung < F tabel.
3.7 Tahapan Penelitian
Penelitian
dilakukan melalui tahapan
sebagai berikut.
1. Pengumpulan
data
Pengumpulan data terdiri dari prosedur
pengumpulan, yaitu menggunakan
kuesioner yang disebar secara langsung kepada responen yang
bersangkutan; sikap dan motivasi; memperhatikan kesahihan (validitas)
dan keandalan
suatu
data.
2. Pengolahan data
a. Editing, yaitu meneliti data yang diperoleh dari hasil pembagian
kuesioner, untuk melihat apakah catatan-catatan tersebut sudah tertata
baik dan siap
untuk proses selanjutnya.
b. Coding, yaitu upaya mengklasifikasikan jawaban-jawaban dari para
responden menurut macamnya. Klasifikasi ini dilaksanakan dengan
memberi
tanda
pada masing-masing jawaban.
c. Tabulating, yaitu proses penyusunan data ke dalam bentuk tabel. Jika
sudah pada tahap ini maka dapat dilanjutkan serangkaian proses
analisis yang diperlukan.
3. Analisis data
Analisis data dilakukan dengan menyederhanakan hasil olahan data agar
mudah dibaca dan diinterpretasi. Pada penelitian kuantitatif dilakukan
dengan analisis statistik.
4. Penafsiran
hasil
analisis
Hasil analisis data ditafsirkan dengan kalimat yang
mudah dimengerti oleh
para pembaca, sesuai dengan
hasil statistik yang ada.
5. Kesimpulan
Tahap akhir ini berisi tentang sintesis semua aspek yang dibahas,
membandingkan hasil dengan penelitian terdahulu, pengkajian implikasi
penelitian, dan juga rekomendasi atau saran yang dapat diberikan untuk
penelitian
selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Azwar, Saifuddin. 1997.
Reliabilitas dan Validitas, ed. 3. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Desriani, Rahmi. 1993. Persepsi
Akuntan terhadap Kode Etik Akuntan Indonesia. Thesis S-2, Program Pasca Sarjana,
Universitas Gajah
Mada, Yogyakarta.
Ghozali, Imam. 2001. Aplikasi Analisis Multivariate
dengan Program SPSS. Semarang: Badan Penerbit Universitas
Diponegoro.
Hendarto, Alex. 2003. Persepsi Akuntan Publik terhadap Kode Etik Ikatan
Akuntan Indonesia, Skripsi S-1, Program Sarjana, Universitas Diponegoro,
Semarang.
Indriantoro, Nur dan Bambang Supomo.
2002. Metodologi
Penelitian
Bisnis untuk Akuntansi
dan Manajemen. Yogyakarta : BPFE.
Jusup,
Al
Haryono. 2001. Auditing (Pengauditan). Yogyakarta : STIE YKPN.
Kustituanto, Bambang. 1994. Statistika untuk Ekonomi dan Bisnis. Yogyakarta :
BPFE.
Levin .I, Richard and David S. Rubin. 1998. Statistic for Management, 7th Edition, Prentice
Hall.
Ludigdo, Machfoedz. 1999. Pengaruh Jenis Kelamin terhadap Etika Bisnis: Studiterhadap Persepsi Akuntan dan Mahasiswa Akuntansi, Simposium
Nasional Akuntansi II IAI-KAPd September.
Mulyadi.
1992. Pemeriksaan Akuntan, ed. 4. Yogyakarta : STIE YKPN.
Robbins, Stephen P. 2002. Prinsip-Prinsip Perilaku Organisasi, ed. 5. Jakarta : Erlangga.
Salim, Peter dan Yenny Salim. 1991. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta:
Modern English Press.
Santosa, Kanto. 2002. Dampak
Kebangkrutan Enron
terhadap Citra
Profesi Akuntan
Publik. Media Akuntansi,
Edisi 25/April/Th.IX/2002, Jakarta.
Sihwahjoeni dan M.Gudono. 2000.
Persepsi Akuntan terhadap Kode
Etik.
Singarimbun, M. Dan
Sofyan E. 1995.
Metode Penelitian Survei, Jakarta : LP3ES.
Stevens, Robert E., O.J. Harris dan S. Williamson. 1993. A Comparation of Ethical Evaluations of Business School Faculty and Students : A PilotStudy, Journal
of Business Ethics 12 : 611-619.
Subroto, Bambang. 2001. Kode Etik Akuntan dan Kepatuhan Akuntan terhadap Kode Etik,
urnal Ekonomi dan Manajemen, Vol.2,
No.2,
Desember 2001 : 155-166.
Sugiyono. 2000. Metodologi Penelitian Bisnis, ed.
2, Bandung : CV.
Alfa Beta.
Sulistyanto, Sri dan Clara Susilawati. 2000. Pedoman Penulisan Skripsi,Semarang: Universitas Katolik Soegijapranata.
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembina dan Pengembangan Bahasa. 1995. KamusBesar Bahasa Indonesia, ed. 2, Departemen Pendidikan danKebudayaan, Balai Pustaka.
Walgito, Bimo. 1997. Pengantar
Psikologi Umum, Yogyakarta : Andi Offset.
Ward, Suzanne Dinac, D.R. Ward dan A.B. Deck. 1993. Certified Publics Accountans ; Ethical Perception Skill and Attitudes on Ethics Education, Journal
of Business Ethics 12 : 600-610.
Winarna, Jaka dan Ninuk Retnowati. 2003. Persepsi Akuntan Pendidik, Akuntan Publik dan Mahasiswa Akuntansi terhadap Kode Etik Ikatan Akuntan
Indonesia, Simposium Nasional
Akuntansi VI IAI – KAPd Oktober.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar