Seminar Pembauran Kebangsaan - Badan Kesatuan Bangsa, Politik dan Perlindungan
Masyarakat Daerah Pemerintah Kota Blitar - 23 april 2013
TANTANGAN MASA DEPAN PEMBARUAN: TELAAH SEJARAH SEBAGAI
CERMIN MENGHADAPI TANTANGAN MASA DEPAN
Daniel S. Stephanus, SE., MM., MSA., Ak
Ketua Lembaga Pengabdian Kepada Masyarakat Universitas Ma Chung
Malang
“Dimana bumi dipijak, disitu langit dijunjung”
“Jika minum air, jangan lupa pada sumbernya”
Setiap manusia tidak bisa memilih
dimana dia dilahirkan, siapa orang tuanya, apa etnis dan sukunya, semua sudah
diatur oleh Yang Maha Kuasa. Tetapi,
setiap manusia punya kewajiban untuk membangun dan mensejahterakan tempat
dimana dia dilahirkan, orang tua yang membesarkan dan mendidiknya, serta
masyarakat dan komunitas dimana dia tinggal.
Apatah patut sesorang disebut manusia kalau dia durhaka terhadap orang
tuanya? Apatah pantas seseorang disebut manusia bila dia melupakan kampung
halamannya saat dia sukses di kemudian hari? Apatah layak seseorang
dimanusiakan kalau dia bukan saja tidak berusaha untuk menyejahterkan timpat
dimana dia tinggal dan malah membuat kerusakan dan ketaknyamanan masyarakat di
sekitarnya?
Dua pepatah di atas merupakan
petuah bijak untuk setiap manusia agar sadar, bukan darimana dia berasal atau
dari keturunan atau suku apa dia dilahirkan, tetapi setiap manusia berkewajiban
untuk selau mengusahakan kesejahteraan tempat dimana dia tinggal saat ini
dengan tidak melupakan tempat dimana dia dilahirkan. Setiap manusia punya
keinginan untuk hidup sejahtera dan nyaman dimanapun dia berada, hidup sukses
baik dunia maupun akhirat. Kesejahteraan
dan kenyamanan tidak akan didapat bila seseorang tidak tinggal di tempat yang
aman dan nyaman. Tempat tinggal yang
nyaman dan aman bukan dicari tetapi harus diciptakan. Menjadi tanggung jawab setiap insan yang
tinggal di kawasan itu untuk turut serta menciptakan dan menjaga keamanan dan
kenyamanannya. Tidak pantas bila
seseorang hanya berpangku tangan dan berdiam diri serta sekedar menikmati
keamanan dan kenyamanan tempat dia tinggal.
Itu makna yang terkandung dalam pepatah “dimana bumi dipijak, disitu
langit dijunjung”.
Saat manusia sudah aman, nyaman,
dan sejahtera alangkah elok bisa seseorang mau kembali melonggok kampung
halaman tempat dia dilahirkan dan dibesarkan.
Sudah sepantasnya, manusia yang telah sukses dan sejahtera berbagi
keberhasilan hidupnya pada kampung halamannya.
Mengusahakan kesejahteraan kampung halaman temapt dia belajar kehidupan
bukan sekadar balas jasa semata. Ada
sanak saudara, handai taulan, sahabat dan teman, para guru dan alim ulama dan
banyak lagi yang berjasa membentuk dirinya hingga berhasil dan harus dipikirkan
dan diusahakan kesejahteraan dan kebaikannya.
Kesejahtraan dan kebaikan yang bukan dinikmati bagi dirinya sendiri atau
keluarga tetapi kepada siapapun yang menjadikan dirinya berhasil pada saat ini.
Demikian lah arti yang terkandung dalam “jika minum air, jangan lupa
sumbernya”.
BELAJAR DARI SEJARAH
Pra Kolonialisma
Nenek moyang bangsa Indonesia, secara teoritis, berasal
dari Provinsi Yunnan, China, melalui migrasi ribuan tahun lalu.
Penduduk asli Kepulauan Indonesia saat itu (ras Austromelanesoid) tergusur dan
terdesak ke Papua.
Berdasarkan waktu kedatangannya:
1. Proto Melayu
Orang Proto Melayu datang dari Yunnan sekitar tahun 2000 SM. Mereka datang melalui dua jalur:
a. Jalur pertama dari Filipina menyebar ke Sulawesi dan Papua. Mereka ini antara lain menjadi nenek moyang suku Toraja. Mereka membawa kebudayaan kapak lonjong.
b. Jalur kedua dari Indocina melewati Semenanjung Malaya ke Sumatera, lalu menyebar ke Kalimantan, Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara. Mereka ini antara lain menjadi nenek moyang suku Batak, dayak, dan Sasak (Lombok).
1. Proto Melayu
Orang Proto Melayu datang dari Yunnan sekitar tahun 2000 SM. Mereka datang melalui dua jalur:
a. Jalur pertama dari Filipina menyebar ke Sulawesi dan Papua. Mereka ini antara lain menjadi nenek moyang suku Toraja. Mereka membawa kebudayaan kapak lonjong.
b. Jalur kedua dari Indocina melewati Semenanjung Malaya ke Sumatera, lalu menyebar ke Kalimantan, Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara. Mereka ini antara lain menjadi nenek moyang suku Batak, dayak, dan Sasak (Lombok).
2. Deutero Melayu
Orang-orang Deutero Melayu datang dari daerah Teluk Tonkin (Vietnam Utara) sekitar tahun 500 SM. Peradaban mereka lebih maju dari orang-orang Proto Melayu, yaitu kebudayaan dong Son yang ditemui di Vietnam. Mereka menempati pesisir-pesisir dan mendesak orang-orang Proto Melayu ke pedalaman. Mereka ini antara lain menjadi nenek moyang suku Jawa, Minang, dan Bugis.
Jadi, penduduk "asli" Indonesia, nenek moyang bangsa "pribumi" Indonesia yang sekarang ini, berasal dari China. Merekalah nenek moyang bangsa Indonesia yang waktu kedatangannya itu 2000SM, 500SM, Abad Ke7 Mashei atau setelahnya.
Orang-orang Deutero Melayu datang dari daerah Teluk Tonkin (Vietnam Utara) sekitar tahun 500 SM. Peradaban mereka lebih maju dari orang-orang Proto Melayu, yaitu kebudayaan dong Son yang ditemui di Vietnam. Mereka menempati pesisir-pesisir dan mendesak orang-orang Proto Melayu ke pedalaman. Mereka ini antara lain menjadi nenek moyang suku Jawa, Minang, dan Bugis.
Jadi, penduduk "asli" Indonesia, nenek moyang bangsa "pribumi" Indonesia yang sekarang ini, berasal dari China. Merekalah nenek moyang bangsa Indonesia yang waktu kedatangannya itu 2000SM, 500SM, Abad Ke7 Mashei atau setelahnya.
Orang-orang dari
Tiongkok daratan datang dan berdiam di
Bumi Nusantara sejak ribuan tahun yang lalu.
Catatan tertua yang ditemukan adalah tulisan dari para agamawan, seperti Fa Hien pada abad ke-4 dan I Ching pada abad ke-7. Fa Hien menulsikan adanya suatu
kerajaan di Jawa ("To lo mo").
Sedadngkan I Ching, yang ingin pergi ke India untuk
belajar agama Buddha tetapi singgah dulu di
Nusantara untuk belajar bahasa Sanskerta. I Cing belajar Bahasa Sansekerta pada seseorang
bernama Jñânabhadra.
Dengan berkembangnya kerajaan-kerajaan di Nusantara, para
imigran dari Tiongkok berdatangan, untuk berdagang. Pada prasasti-prasasti di
Jawa, orang-orang dari Tiongkok disebut-sebut
sebagai warga asing yang menetap bersama dengan nama-nama suku bangsa dari
Nusantara, Asia Tenggara dan anak benua India. Dalam prasasti perunggu bertahun 860 di Jawa Timur tersebut istilah
Juru Cina, yang berarti jabatan pengurus orang-orang Tionghoa yang
tinggal di sana. Beberapa motif relief di Candi Sewu diduga mendapat pengaruh
dari motif-motif kain sutera Tiongkok.
Catatan Ma Huan, dari ekspedisi Cheng Ho, menyebut secara jelas bahwa pedagang
China muslim menghuni ibukota dan kota-kota bandar Majapahit (abad ke-15) dan
membentuk satu dari tiga komponen penduduk kerajaan Majapahit. Ekspedisi
Cheng Ho meninggalkan jejak di Semarang, ketika Wang Jinghong
sakit dan memaksa rombongan melepas sauh di Simongan (bagian dari Kota Semarang). Wang kemudian menetap di
Semarang karena tidak mampu melanjutkan ekspedisi. Ia dan pengikutnya menjadi
cikal-bakal warga Tionghoa Semarang. Wang mengabadikan Cheng Ho menjadi sebuah
patung (disebut "Mbah Ledakar Juragan Dampo Awang Sam Po Kong"),
serta membangun kelenteng Sam Po
Kong atau Gedung Batu. Di komplek ini Wang juga dikuburkan dan dijuluki
"Mbah Jurumudi Dampo Awang".
Sejumlah sejarawan juga menunjukkan bahwa Raden Patah, pendiri Kesultanan Demak, memiliki darah Tiongkok
selain keturunan Majapahit. Beberapa wali penyebar agama Islam di Jawa juga
memiliki darah Tiongkok, meskipun mereka memeluk Islam dan tidak lagi secara
aktif mempraktekkan kultur Tionghoa. Kitab Sunda Tina Layang Parahyang menyebutkan
kedatangan rombongan Tionghoa ke muara Ci Sadane (sekarang Teluknaga)
pada tahun 1407, pada masa kekuasaan Kerajaan Sunda (Pajajaran).
Pemimpinnya adalah Halung, mereka terdampar
sebelum mencapai di Kalapa. (http://id.wikipedia.org/wiki/Tionghoa-Indonesia)
Zaman Kolonialisma
Kesalahan sejarah yang mendikotomi
atau lebih tepatnya mendiskriminasi etnis terjadi sejak jaman
kolonialisma. Demi kepentingan
melanggengkan kekuasaan baik secara politik maupun ekonomi, masyarakat di
Hindia Belanda dipisahkan dalam beberapa golongan. Segregasi
golongan penduduk di Bumi Nusantara oleh Pemerintah Kolonial Belanda saat itu
melalui ketentuan IS Art 161 dimaksudkan untuk melakukan politik
pemecah-belahan di masyarakat, agar Pemerintah Belanda tidak terlalu berat
menghadapi jika mereka bersatu. Ketika itu di atur tiga golongan penduduk
yaitu: Golongan Eropa, golongan Timur Asing (Tionghoa dan bukan Tionghoa);
serta golongan Bumiputera; Golongan bumiputera yang terbagi menjadi Bumiputera
beragama Islam dan Bumiputera beragama Kristen.
Segregasi yang ditujukan sebagai alat memecah belah masyarakat demi
kepentingan politik dan ekonomi, bukan kepentingan lain.
Menurut sejarahnya, orang-orang Tionghoa didatangkan ke
Batavia untuk menjadi pekerja dan buruh pabrik, tetapi kecakapan dalam
berdagang menjadikannya penguasa
ekonomi, khususnya gula. Peristiwa pada
Oktober 1740 yang biasa disebut dengan “Geger Pecinan” merupakan aksi devide et empera yang dilakukan oleh VOC
untuk mengendalikan laju pertumbuhan komunitas Tionghoa dan
perekonomiannya. Terjadilah pembakaran
oleh Komunitas Betawi terhadap rumah-rumah Komunitas Tionghoa. Sebaliknya, Komunitas Tionghoa tidak melawan
balik malah melakukan pemberontakan terhadap VOC sehingga terbunuh kurang lebih
500 orang Belanda. VOC menyerang balik
dan menewaskan kurang lebih 10.000 orang Tionghoa dan melakukan pemindahan
paksa sisanya ke kawasan Glodok dan Tanggerang. (http://id.wikipedia.org/wiki/Geger_Pacinan)
Di masa kolonialisma, VOC mengangkat beberapa pemimpin
komunitas dengan gelarKapiten Cina, yang diwajibkan setia dan menjadi
penghubung antara pemerintah dengan komunitas Tionghoa. Beberapa di antara
mereka ternyata juga telah berjasa bagi masyarakat umum, misalnya So Beng Kong dan Phoa Beng Gan yang
membangun kanal di Batavia. Di Batavia, Mohamad Djafar menjadi kapten Tionghoa
muslim yang terakhir (ke-dua). Di Yogyakarta, Kapiten Tan Djin Sing sempat
menjadi Bupati Yogyakarta.
Pembantaian orang Tionghoa tanggal 9 Oktober 1740 di
Batavia terdapat juga kelompok Tionghoa yang pernah berjuang melawan Belanda,
baik sendiri maupun bersama etnis lain. Bersama etnis Jawa, kelompok Tionghoa
berperang melawanVOC tahun 1740-1743.. Di
Kalimantan Barat, komunitas Tionghoa yang tergabung dalam Republik Lanfong
berperang melawan pasukan VOC pada abad XIX.
Selaindi Batavia pada
1740, pembantaian terjadi
juga masa perang Jawa 1825-1830. Pembantaian di
Batavia melahirkan gerakan perlawanan dari etnis Tionghoa yang bergerak di
beberapa kota di Jawa Tengah bersama dengan Etnis Jawa. Aturan Wijkenstelsel
melarang orang China tinggal di sembarang tempat sehingga menciptakan
pemukiman Etnis Tionghoa atau Pecinan di sejumlah
kota besar di Hindia Belanda. (http://id.wikipedia.org/wiki/Tionghoa-Indonesia)
Komunitas dan orang Tionghoa terkibat aktrif di Sumpah Pemuda, nama –nama seperti Kwee Tiam Hong dan tiga temannya. Sin Po sebagai koran
Melayu Tionghoa banyak memberikan sumbangan dalam menyebarkan informasi yang
bersifat nasionalis. Pada 1920-an itu, harian Sin Po memelopori penggunaan kata
“Bumiputera” sebagai
pengganti kata “Inlander” di semua
penerbitannya. Langkah ini kemudian diikuti oleh banyak harian lain. Sebagai balas
budi, semua pers lokal kemudian mengganti kata "Tjina" dengan kata “Tionghoa”.
Pada 1931 Liem Koen Hian mendirikan PTI, Partai Tionghoa
Indonesia (dan bukan Partai Tjina Indonesia).
Pada masa revolusi 1945, Mayor John Lie
menyelundupkan barang-barang ke Singapura untuk kepentingan pembiayaan
Republik. Rumah Djiaw Kie Siong di
Rengasdengklok, dekat Karawang, diambil-alih oleh Tentara Pembela Tanah Air
(PETA), kemudian penghuninya dipindahkan agar Bung Karno dan Bung Hatta dapat
beristirahat setelah "disingkirkan" dari Jakarta pada tanggal 16 Agustus 1945. Di Badan Penyelidik Usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI)
yang merumuskan UUD'45 terdapat
4 orang Tionghoa yaitu; Liem Koen Hian, Tan Eng Hoa, Oey Tiang Tjoe, Oey Tjong Hauw, dan di
Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) terdapat 1 orang Tionghoa yaitu
Drs.Yap Tjwan Bing. Liem Koen Hian yang
meninggal dalam status sebagai warganegara asing, sesungguhnya ikut merancang
UUD 1945. Lagu Indonesia Raya yang
diciptakan oleh W.R. Supratman, pun
pertama kali dipublikasikan oleh Koran Sin Po. Dalam perjuangan
fisik ada beberapa pejuang Tionghoa, namun nama mereka tidak banyak dicatat dan
diberitakan, seperti Tony Wen yang terlibat dalam penurunan bendera
Belanda di Hotel Oranye Surabaya. (http://id.wikipedia.org/wiki/Tionghoa-Indonesia)
Di Malang, pada jaman penjajahan Jepang ada beberapa
pengusaha Tionghoa menolak tunduk dan mendukung Jepang, akhirnya merekapun
dipenjarakan. Setelah merdeka, tepatnya
pada tahun 1947 orang-orang tersebut mendirikan sekolah setingkat SMP dan SMA
dengan nama Ma Chung Ta Xue (sekolah tinggi Ma Chung). Tujuan didirikannya sekolah ini untuk
mendidik dan memberdayakan para pemuda Tionghoa di Malang untuk menjadi pemikir
dan pengusaha yang ulung dan tangguh.
Tetapi sejarah berkata lain, sekolah ini ditutup setelah peristiwa
1965. Ditutup bukan karena alas an
politik atau budaya, tetapi karena kecurigaan yang berlebihan terhadap gerakan
komunisme yang diidentikkan dengan Moskwo (Rusia) dan Peking (China).
Jadi, sejarah mencatat, perjuangan
kemerdekaan Indonesia tidak terpisahkan dari Komunitas Tionghoa. Sekaligus, catatan sejarah kolonialisma menunjukkan
bahwa terjadinya pertentangan antara Etnis Tionghoa dengan Etnis Pribumi
merupakan rekayasa politik VOC/Belanda untuk memecah belah masyarakat agar
lebih mudah dikendalikan secara politik maupun ekonomi.
Zaman Rezim Soekarno
Pada masa Orde Lama, terdapat beberapa menteri Republik Indonesia dari Etnis Tionghoa
seperti Oei Tjoe Tat, Ong Eng Die, Siauw Giok Tjhan, dan lain lain. Bahkan Oei Tjoe Tat pernah
diangkat sebagai salah satu Tangan Kanan Ir. Soekarno pada masa Kabinet Dwikora. Pada masa ini hubungan Ir. Soekarno dengan
beberapa tokoh Tionghoa sangat baik. Walau pada Orde Lama terdapat beberapa
kebijakan politik yang diskriminatif seperti Peraturan Pemerintah No. 10 tahun
1959 yang melarang WNA Tionghoa untuk berdagang eceran di daerah di luar
ibukota provinsi dan kabupaten. Hal ini menimbulkan dampak yang luas terhadap
distribusi barang dan pada akhirnya menjadi salah satu sebab keterpurukan
ekonomi menjelang tahun 1965 dan lainnya. (http://id.wikipedia.org/wiki/Tionghoa-Indonesia)
Berdirinya Sekolah-Sekolah
berbasis budaya China adalah salah satu bentuk sumbangsih Komunitas Tiongho
bagi pembangunan sumberdaya manusia Indonesia.
Selain SMA Ma Chung di Malang dan berbagai sekolah mulai dari SD sampai
SMA, juga ada perguruan tinggi yang dibangun bahkan tetap berdiri sampai saat
ini. Universitas Trisakti yang kini
menjadi salah satu universitas terkenal di Indonesia juga merupakan salah satu
sumbangsih warga Tionghoa di Indonesia. Pada tahun 1958, universitas ini
didirikan oleh para petinggi Baperki yang kebanyakan
keturunan Tionghoa salah satunya yaitu Siauw Giok Tjhan, pada tahun 1962 oleh Presiden Soekarno nama
universitas ini diganti menjadi Universitas Res Publika hingga 1965, dan sejak
Orde Baru, universitas ini beralih nama menjadi Universitas Trisakti hingga
sekarang.
Zaman Rezim Soeharto
Selama Orde Baru dilakukan penerapan Surat Bukti
Kewarganegaraan Republik Indonesia (SKBRI), yang ditujukan kepada warga negara
Indonesia (WNI) Etnis Tionghoa beserta keturunannya. Walaupun ketentuan ini
bersifat administratif, secara esensi penerapan SBKRI sama artinya dengan upaya
yang menempatkan WNI Tionghoa pada posisi status hukum WNI yang "masih
dipertanyakan".
Pada Orde Baru Etnis Tionghoa juga dilarang
berekspresi. Sejak tahun 1967, Etnis Tionghoa dianggap sebagai warga negara
asing di Indonesia dan kedudukannya berada di bawah warga pribumi, yang secara
tidak langsung juga menghapus hak-hak asasi mereka. Kesenian barongsai secara
terbuka, perayaan hari raya Imlek, dan pemakaianBahasa Mandarin dilarang,
meski kemudian hal ini diperjuangkan oleh komunitas Tionghoa Indonesia terutama
dari komunitas pengobatan Tionghoa tradisional karena pelarangan sama sekali
akan berdampak pada resep obat yang mereka buat yang hanya bisa ditulis dengan
bahasa Tionghoa. Mereka pergi hingga ke Mahkamah Agung dan akhirnya Jaksa Agung
Indonesia waktu itu memberi izin dengan catatan bahwa Tionghoa Indonesia
berjanji tidak menghimpun kekuatan untuk memberontak dan menggulingkan
pemerintahan Indonesia. (http://id.wikipedia.org/wiki/Tionghoa-Indonesia)
Bukan hanya pelarangan pada seni dan budaya China tetapi
sekolah-sekolah Tionghoa juga ditutup karena kecurigaan yang berlebihan. Salah satu korban penutupannya adalah SMA Ma
Chung yang dinasionalisasi dan sekarang menjadi SMA Negeri 5 Malang.
Satu-satunya surat kabar berbahasa China yang diizinkan
terbit adalah Harian Indonesia yang sebagian artikelnya ditulis dalam bahasa
Indonesia. Harian ini dikelola dan diawasi oleh militer (ABRI) meski beberapa
orang Tionghoa Indonesia bekerja juga di sana. Agama tradisional Tionghoa
dilarang. Akibatnya agama Konghucu kehilangan
pengakuan pemerintah. Pemerintah Orde
Baru berdalih bahwa warga Tionghoa yang populasinya ketika itu mencapai kurang
lebih 5 juta orang dikhawatirkan akan menyebarkan pengaruh komunisme di Tanah
Air. Padahal, kenyataan berkata bahwa kebanyakan dari mereka berprofesi sebagai
pedagang, yang tentu bertolak belakang dengan apa yang diajarkan oleh
komunisme, yang sangat mengharamkan perdagangan. Orang Tionghoa dijauhkan dari kehidupan
politik praktis dan sebagian lagi memilih untuk menghindari dunia politik
karena khawatir akan keselamatan dirinya. (http://id.wikipedia.org/wiki/Tionghoa-Indonesia)
Ada kenyataan pahit yang harus dirasakan beberapa orang
yang mampu mengangkat nama Indonesia di dunia internasional. Dengan posisi masih sebagai WNA yang
pengurusan SKBRI-nya belum kelar, Alan Budi Kusuma dan Susi Susanti membawa
harum nama bangsa dengan menjadi sepasang penyumbang medali emas olimpiade bagi
Indonesia. Sebuah ironi yang
menyesakkan, ada masanya dicurigai tetapi saat berprestasipun untuk bangsa dan
Negara Indonesia belum tentu diakui keIndonesiaannya. Nama sudah diganti menjadi nama yang
“Indonesia”, prestasi sudah ditorehkan untuk bangsa dan Negara Indonesia,
Indonesia Raya berkumandang mengiringi naiknya Sang Saka Merah Putih di arena
olah raga terakbar, tetapi legalitas dan ke-Indonesia-an sepasang emas
olimpiade masih belumlah jelas.
Konglomerat dan Kongkalikong, ini
merupakan salah satu kebijakan aneh yang terjadi di jaman Rezim Soeharto. Komunitas Tionghoa yang diawasi dan dibatasi
geraknya, tetapi beberapa orang mendapat
tempat. Nama-nama seperti Liem Siu Liong (Sudono Salim), Sudwikatmono, dan
beberapa nama lain seperti mendapat keistimewaan untuk menggarap ekonomi
Indonesia. Munculnya Indo atau BCA
Group, Sinar Mas Group, dan berbagai konglomerat seakan menjadi gambaran bahwa
Etnis Tionghoa menguasai perekonomian Indonesia. Padahal kenyataannya, hanya segelintir orang
yang mendapat kesempatan tersebut dan tentu saja dengan kompensasi menjadi
mesin uang bagi kepentingan kelanggengan rezim saat itu. Etnis Tionghoa dicurigai dan diawasi, tetapi
beberapa orang dimanfaatkan oleh rezim untuk menjadi motor penggerak roda
perekonomian bangsa dan juga menjadi sumber dana untuk menjaga kelanggengan
rezim dan memperkaya diri sendiri.
Pada masa akhir dari Orde Baru, terdapat peristiwa
kerusuhan rasial yang merupakan peristiwa terkelam bagi masyarakat Indonesia
terutama warga Tionghoa karena kerusuhan tersebut menyebabkan jatuhnya banyak
korban. Bahkan banyak yang mengalami pelecehan seksual, penjarahan, kekerasan,
dan lainnya, yaitu peristiwa Tragedi 1998.
Satu lagi peristiwa kelam sejarah bangsa ini yang sampai sekarang tidak
jelas ujung pangkalnya. Jangankan
penyelesaian kasusnya apalagi mendidentifikasi korban dan siapa yang
bertanggung jawab sebagai dalang peristiwa tersebut tidak segera dapat
diketahui. Bahkan dari hari ke hari
semakin jauh dari dan terlupakan.
Zaman Rezim Gus Dur
Gus Dur semasa menjabat menjadi
presiden, walau singkat, membuat beberapa gebrakan yang cukup
kontroversial. Gerbrakan yang cukup
kontroversial adalah mengembalikan Etnis Tionghoa sebagai “orang asli”
Indonesia. Walau tidak semuanya terwujud
di jamannya tetapi satu persatu inkulturasi dilakukan oleh Gus Dur. Diakuinya
Kong Hu Cu sebagai agama resmi, diperbolehkannya Pertunjukkan seni dan Budaya
China, diakuinya Imlek sebagai salah satu Hari Besar Nasional , dan
mengembalikan penyebutan Tionghoa sebagai ganti dari Warga Keturunan China
adalah buah-buah karya Gus Dur. Gerakan
inkulturasi yang menghilangkan bukan hanya diskriminasi tetapi juga
ekslusivitas menjadi gerakan inklusivitas.
Munculnya beberapa tokoh nasional yang menunjukkan
keIndonesiaannya bukan dengan mengganti nama tetapi dengan prestasi dan kerja
kerasnya. Nama-nama seperti Kwik Kian
Gie yang sempat Menko Perekonomian di Jaman Gus Dur dan menjadi Kepala Badan
Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) dan Menteri Perencanaan Nasional di
Jaman Megawati. Beliau menjadi Indonesia
bukan dengan mengganti nama tetapi dengan karya nyata. Demikian pula dengan Alvin Lie, politikus
dari Partai Amanat Nasional (PAN) yang sempat menjadi Anggota Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR-RI). Seorang politikus yang
bukan hanya bekerja untuk kepentingan etnisnya tetapi bekerja untuk kepentingan
menyejahterkan seluruh rakyat Indonesia.
Belum lagi nama-nama lain yang bergerak dan bekerja di berbagai bidang.
Puncaknya adalah Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang
Kewarganegaraan Republik Indonesia. Pada Pasal 2 menyatakan bahwa “Orang
Tionghoa yang berkewarganegaraan Indonesia digolongkan sebagai salah satu suku
dalam lingkup nasional Indonesia.”
Apakah benar sudah menjadi sebenar-benarnya salah satu suku yang menajdi
bagian dari Bangsa dan Negara Indonesia?
Ataukah Undang-Undang masih dijalankan setengah hati, baik oleh
Pemerintah, oknum-oknum suku-suku lain, maupun orang-orang Etnis Tionghoa
sendiri? Masihkah ada sisa-sisa
kecurigaan itu? Masihkah ketakutan menjadi kambing hitam yang akan dikorbankan
sewaktu-waktu berdiam di dasar hati?
ANALISIS KONDISI KEKINIAN
Membanjirnya Produk-Produk China
Fenomena terkini adalah
membanjirnya produk-produk dari negeri China.
Produk yang membanjir bukan hanya di sector pertanian seperti bawang
putih dan buah-buahan yang menjadikan ketergantung akan produk impor (dari
China) sangatlah kuat. Produk elektronik, khususnya telefon selular murah
menjadikan berhape ria menjadi budaya
masyarkat Indonesia sampai ke pelosok.
Rambahan dibidang otomotif yang diawali dulu dengan sepeda angina
(pancal), kemudaian sepeda motor, sekarangpun telah merambah mobil dan angkutan
berat lainnya. Juga demikian dengan
produk-produk fashion, mulai baju
yang menempel, tas, sepatu dan berbagai asesoris yang berlabel “murah meriah”
menempel di banyak anak negeri. Bahkan
sejak jaman lampau, bukankah “peniti” dan “kancing tempel” semua juga produk
dari China sana.
Apakah terjadi kebanggaan terhadap
produk-produk dari China sebagai identitas diri dari Komunitas Tionghoa?
Sepertinya tidak sama sekali. Bukankah
penikmat berbagai produk dari negeri China sana adalah seluruh anak bangsa,
mereka yang haus akan perkembangan mode dan teknologi sebagai dampak dari
globalisasi, tuntutan jaman. Ketakutan
akan bangkitnya ke-China-an dan meninggalkan Tionghoa Indonesia tidak perlu
terjadi. Banjir produk dari China
merupakan konsekuensi dari ekonomi liberal yang dianut oleh Pemerintah
Indonesia. Selama rakyat Indonesia belum
bangga terhadap produknya sendiri, selama haarga barang dari China masih lebih
murah keetimbang produk dari Negara lain termasuk produk local, perburuan
terhadap produk-produk China akan terus terjadi. Apakah masih perlu ada curiga dan takut
dengan kata Made In China?
Pendidikan Bahasa Tionghoa
Memudarnya kecurigaan dan
ketakutan berganti menjadi kebanggaan tersendiri bagi bukan Etnis Tionghoa semata. Didorong oleh kemjuan China menjadi Negara super power baru dan Bahasa China sebagai
salah satu bahasa resmi Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB), saat ini bukan hal
aneh bila pada kurikulum sekolah-sekolah tertentu menjadikan Bahasa China
sebagai salah satu mata pelajarannya.
Bahkan pada tingkat perguruan tinggi, bukan hanya menjamurnya jurusan
Bahasa dan Budaya China saja, tetapi sudah memasukkan Bahasa China sebagai
salah satu kompetensi kelulusannya.
Bahkan sertifikasi yang bersifat internasional seperti TOEFL dan TOEIC
untuk Bahasa Inggris telah ada untuk Bahasa China yang disebut dengan HSK.
Siapa pembelajar Bahasa China
(Tionghoa)? Apakah Etnis Tionghoa? Sepertinya tidak, bahkan anak-anak muda
Tionghoa sekarang cenderung menghindarinya dan lebih suka belajar Bahasa Korea
atau Bahasa Jepang . Kebanggan terhadap
ke-China-an telah luntur, sekali lagi akibat globalisasi dengan serangan dari
Budaya Jepang (Harajuku) dan Budaya
Korea (Halyu) melalui media televisi
dan berbagai media lain. Pembelajar
Bahasa dan Budaya China, termasuk Wushu dan
Barongsai telah bergeser dari “kaum
peranakan” ke pada setiap orang yang menginginkannya, termasuk “kaum pribumi”.
Telah terjadi pergeseran yang
cukup jauh, Bahasa dan Budaya China bukan lagi menjadi milik Etnis Tionghoa
semata, tetapi telah bergeser menjadi produk global yang dinikmati oleh
siapapun yang menyukainya. Sama seperti
produk-produk Made In China, Bahasa
dan Budaya China telah menjadi bahasa dan busaya global yang tidak lagi menjadi
identitas seseorang. Apakah kata
“pembauran” masih diperlukan dan masih harus didengung-dengungkan?
Menjamurnya Klinik Pengobatan
Tradisional China
Fenomena terkini yang sedang
hangat-hanganya adalah “Klinik Tong Fang.” Bukan saja karena dikenal sebagai
tempat berobat yang murah dan manjur, bahkan telah menjadi guyonan yang lazim. Klinik
Pengobatan China saat ini bukan sekadar menjadi pilihan pengobatan alternative
layaknya masa lalu tetapi sudah bergeser menjadi yang pertama atau minimal
pilihan kedua setelah Rumah Sakit Umum.
Fenomena yang terjadi dari akibat mahalnya biaya pengobatan barat
(dokter dan rumah sakit) dan tumbuhnya kepercayaan masyarakat terhadap
pengobatan herbal ala China. Bukankah
banyak tersiar kabar bertapa manjurnya pengobatan China, bahkan banyak pula
orang-orang mampu untuk berobat langsung ke China, Dahlan Iskan contohnya. Menteri BUMN ini memercayakan pencangkokan
hati (liver) di China dan bahkan
menuliskan kemujaraban pengobatan China melalui medianya, Jawa Pos, dan bahkan
menuangkanya dalam sebuah buku yang cukup laris.
Apakah pasien dan juga shinse-nya didominasi oleh Etnis
Tionghoa? Silahkan mengamati di berbagai Klinik Pengobatan Tradisional China
yang ada. Pasien yang keluar masuk
adalah orang Indonesia “asli”, bahkan di
beberapa klinik, jelas-jelas terpampang nama yang sangat Indonesia dan sang shinse yang juga orang Indonesia
“asli”. Pada kondisi saat ini, saat
biaya pengobatan dirasa mahal, pengobatan alternative dan tradisional menjadi
pilihan, termasuk pengobatan tradisional dari China. Setiap orang butuh sehat dan setiap orang
yang sakit selalu ingin sembuh, tidak akan melihat dari mana asalnya. Apalagi sudah manjur, menyehatkan, dan murah
pula. Siapa yang tidak mau? Apakah kita masih harus curiga dan nyinyir dengan kata China? Apakah masuh perlu mendiskriminasi diri
karena takut disebut sebagai China?
Ahok Effect
Walau pun sebelumnya sudah ada
Kwik Kian Gie dan Alvin Lie, kemunculannya tidak membikin heboh seheboh Ahok (Basuki
Tjahja Purnama). Kemunculan Ahok sebagai
calon Wakil Gubernur Jakarta sampai terpilihnya, tidak terlepas dari
kontroversi. Walau sebelumnya sudah
menjabat sebagai Anggota DPRD Kabupaten
Belitung Timur dan selanjutnya menjadi Anggota DPR-RI, kemunculan Ahok sebagai Wakil
Gubernur Jakarta menuai banyak kontroversi.
Sebagai Etnis Tioghoa, serangan demi serangan berbau rasis ditujukan
pada dirinya. Bukannya mundur tetapi
malah menjadikannya semakin bertekad untuk maju. Sampai pada akhirnya, Ahok yang pernah gagal
menjadi Gubernur Bangka Belitung yang dicurigai karena manipulasi terpilih
menjadi Wakil Gubernur Jakarta mendampingan sang gubernur, Joko Widodo
(Jokowi). Fenomena yang oleh banyak
orang disebut dengan Ahok Effect.
Setelah menjadi Wakil Gubernur
bersama dengan Jokowi sebagai Gubernur, banyak gebrakan yang dilakukannya,
walaupun hasilnya belum berdampak sangat besar, tetapi kinerja pasangan
Gubernur dan Wakil Gubernur ini cukup terasa.
Bahkan sekarang, puja dan puji bagi Jokowi dan Ahok, baik sebagai
pasangan maupun sebagai pribadi banyak bertebaran dari berbagai mulut dan dari
berbagai media massa, bahkan dari mereka yang dulu mengkritik, menghina, bahkan
memfitnahnya. Apakah Ahok perlu
dipertanyakan ke-Indonesia-annya? Ataukah para penghina dan pemfitnah dia yang
seharusnya dipertanyakan ke-Indonesia-annya? Bukankah yang menghina dan menfitnah
Ahok perlu diseret ke meja hijau karena melanggar Undang-Undang No. 12 tahun
2006? Bahkan seharusnya dituntut dan diseret sebagai pesakitan bukan hanya
dengan Undang-Undang Pidana karena pencemaran nama baik dan perbuatan tidak
menyenangkan, tetapi Undang-Undang Terorisme karena mengancam persatuan bangsa
dan Negara. Apakah kata “pembauran” masih relevan untuk Ahok?
Ma Chung Sebagai Cermin
Ma Chung merupakan sebuah sekolah bersejarah di kota
Malang - Jawa Timur, yang telah meluluskan alumni-alumni terbaiknya sejak era
tahun 1950an. Ma Chung telah mewariskan standar pendidikan dan pembangunan
nilai-nilai moral yang konsisten terhadap lulusannya. Bekas gedung sekolah Ma
Chung masih dapat disaksikan oleh generasi masa kini meski saat ini telah
menjadi SMA Negeri 5 Malang. Satu hal yang tidak akan lekang oleh jaman adalah Spirit
Alumni Ma Chung.
Tersebar di hampir seluruh penjuru dunia, para alumni telah menorehkan sejarah, baik sebagai ilmuwan di universitas-universitas ternama di dunia maupun sebagai wirausahawan Indonesia yang sukses dan bahkan berkiprah di dunia bisnis internasional. Ide pendirian Universitas Ma Chung dicetuskan pada saat pelaksanaan Reuni Akbar peringatan hari ulang tahun ke-55 sekolah Ma Chung pada September 2001 di kota Xiamen, China, yang dilandasi oleh warisan semangat Ma Chung yang berintikan: rukun, bersatu, mengabdi kepada masyarakat, serta mewujudkan dedikasi kepada dunia pendidikan Indonesia.
Tersebar di hampir seluruh penjuru dunia, para alumni telah menorehkan sejarah, baik sebagai ilmuwan di universitas-universitas ternama di dunia maupun sebagai wirausahawan Indonesia yang sukses dan bahkan berkiprah di dunia bisnis internasional. Ide pendirian Universitas Ma Chung dicetuskan pada saat pelaksanaan Reuni Akbar peringatan hari ulang tahun ke-55 sekolah Ma Chung pada September 2001 di kota Xiamen, China, yang dilandasi oleh warisan semangat Ma Chung yang berintikan: rukun, bersatu, mengabdi kepada masyarakat, serta mewujudkan dedikasi kepada dunia pendidikan Indonesia.
Dengan dipegang teguhnya semboyan "Waktu
minum air jangan lupa sumbernya, waktu sukses balaslah budi kepada kampung
halamannya", serta komitmen alumni Ma Chung di seluruh dunia, maka
pada 1 Mei 2004 didirikanlah PT. Ma Chung sebagai langkah awal berdirinya
Universitas Ma Chung, Dengan pelopor-pelopor seperti Soegeng Hendarto, Mochtar Riady,
Teguh Kinarto, Hendro Sunjoto, Koentjoro Loekito, Effendy Sudargo, Agus
Chandra, Hadi Widjojo, Nuryati Tanuwidjaya, Nehemja, Alex Lesmana Samudra,
Evelyn Adam, Hadi Surjono, Nagawidjaja Winoto, dan Soebroto Wirotomo, nama-nama
yang sudah terkenal sebagai pebisnis berskala internasional.
Secara aklamasi dan dengan pernyataan kebulatan tekad
alumni dari seluruh dunia, dalam Reuni Akbar peringatan Ulang Tahun ke-60 SMA
Ma Chung di Malang, 17 Juli 2005 diletakkan batu pertama pembangunan
Universitas Ma Chung. Untuk memperlancar pengelolaan universitas dalam jangka
panjang, maka dibentuklah Yayasan Harapan Bangsa Sejahtera yang menaungi
Universitas Ma Chung.
Beberapa alumni seperti Prof. Dr. Yang Zhiling dan Prof.
Dr. Bin Ling memberikan banyak usulan sehubungan dengan pembangunan dan
pengelolaan universitas. Usulan beliau tersebut kemudian dijadikan pijakan
pertama bagi perencanaan (blue print)
oleh para pimpinan PT. Ma Chung dan Yayasan Harapan Bangsa Sejahtera. Dihadiri oleh ribuan alumni, pada tanggal 7
Juli 2007, Universitas Ma Chung secara resmi dibuka. (http://www.machung.ac.id/about/history)
"Kebangkitan
suatu keluarga, perusahaan dan bangsa sangat tergantung pada tingkat mutu
pendidikan, yang sekaligus juga sebagai cara untuk mengatasi masalah kemiskinan
dan moralitas suatu keluarga dan bangsa. Visi ini menjadi misi Yayasan Harapan
Bangsa Sejahtera." Ujar Mochtar Riady, Pembina Yayasan Harapan Bangsa. Pendirian
Universitas Ma Chung merupakan bentuk kepedulian alumni SMA Ma Chung kepada
bangsa. PAda Era 60an sekolah Ma Chung sangat terkenal akan kualitas
pendidikannya, bukan hanya di Indonesia melainkan pernah meraih penghargaan
internasional sebagai sekolah terbaik di kawasan Asia Timur. Universitas Ma
Chung lebih menitikberatkan pada pembentukan sistem pendidikan yang dapat
melahirkan lulusan-lulusan siap pakai, utuh dalam aspek profesional (hard skills) moral dan keterampilan
pendukung lainnya (soft skills) dalam
menjawab tantangan. Untuk mencapai misi tersebut, dilakukan kerjasama dengan
Perguruan Tinggi internasional dan nasional yang dijadikan sebagai "benchmark" bagi sistem pendidikan di
Universitas Ma Chung. Universitas Ma Chung saat ini memiliki 6 program studi
andalan yang terus akan berkembang, yaitu: Manajemen, Akuntansi, Teknik
Informatika, Bahasa Inggris, Bahasa Tionghoa , dan Teknik Industri. Selain
menyiapkan pola pengajaran dan sistem kurikulum berkualitas, juga akan disediakan
berbagai fasilitas lain. Universitas Ma Chung akan diarahkan sebagai research university, bahkan akan diberi
fasilitas pusat penelitian khususnya perekonomian pedesaan. (http://siva-id.jobstreet.com/_profile/previewProfile.asp?advertiser_id=7101)
Dengan moto Harmony in Diversity, Universitas
Ma Chung menjadi salah satu contoh Kawah Chandra Dimuka untuk penggodogkan
anak-anak muda yang bukan hanya sadar akan potensi diri dan potensi alam
Indonesia, tetapi juga menjadi komunitas pembelajar kehidupan bersama dengan
semangat inklusivitas. Kesejahteraan
Indonesia dibentuk bukan oleh manusia-manusia cerdik pandai saja tetapi harus
memiliki karakter inklusif dan tidak picik oleh warna kulit dan etnis. Indonesia menghadapi tantangan yang berat
dimasa mendatang, ancaman dari masyarakat global. Globalisasi dan liberalisasi ekonomi
menjadikan Indonesia sumber bahan baku sekaligus sumberdaya manusia untuk
proses produksi yang murah sekaligus pasar potensial produk-produk global. Bila manusia Indonesia tidak siap, apalagi
masih terkotak karena masih dibutakan oleh kecurigaan etnis, selamanya
Indonesia akan menjadi budak pemodal asing.
Sama seperti sejarah telah mencatat, ada masa yang cukup lama Indonesia
dijajah oleh perusahaan transnasional yang bernama VOC. Kita akan terjajah oleh Kumpeni lagi dalam
nama-nama lain. Sudah saatnya saling
mencurigai dan saling takut itu hilang, karena lawan kita adalah kekuatan besar
yang bersifat global, lawan yang menganggap semua orang tanpa mau tahu asal
usul etnisnya sebagai sasaran. Apakah pembauran masih diperlukan? Bukankah kita harus melangkah lebih jauh
lagi? Bersatu dan nyawiji, Bhineka Tunggal Ika yang benar-benar
merasuk nurani, tertanam di jiwa setiap orang yang mengaku dirinya “Indonesia”.
MENATAP DAN MENGHADAPI MASA DEPAN
Globalisasi meniadakan sekat
manusia. Globalisasi berperspektif satu
dunia adalah satu komunitas. Gerakan
globalisasi tidak lagi memandang perbedaa etnis, suku, agama, atau apapun yang
menjadi pembeda satu orang dengan orang yang lain. Gempuran globalisasi yang menyebar ke seluruh
dunia dengan menggunakan berbagai media massa, khususnya televise dan internet,
telah merubah wajah dunia. Satu decade
yang lalu, orang Indonesia melihat kebudayaan manca hanya sebatas Barat
(Amerika dan Eropa) serta India. Pada
saat ini, gempuran Budaya Jepang dengan gebrakan Harajuku dan sekarang gelombang dari Korea yang disebut dengan Halyu telah mengaburkan budaya anak
negeri. Bukan hanya mode melalui rambut
dan fashion, tidak hanya lagak dan
gaya laksana Boyband dan Girlband, tetapi sampai budaya dasar
seperti gaya makan dan sopan santun.
Gerakan globalisasi yang berangkat
pertama dari Inggris pada jaman awal tahun 80-an, yang awalnya adalah gerakan
politik ekonomi global, ditandai dengan bermunculannya perusahaan-perusahaan
Internasional menggantikan perusahaan Penanaman Modal Asing, dan sekarang telah
bertransformasi menjadi perusahaan multinasional (Multi National Corporation – MNC) dan bahkan menjadi perusahaan
transnasional (Trans National Corporation). Strategi terkini untuk menghegemoni
(berkuasa) bukan dengan melakukan ekspansi militer tetapi melalui ekspansi
ekonomi.
Setelah perusahaan-perusahaan
transnasional dari Amerika dan Eropa mengekspansi ke se antero dunia, juga ke
Indonesia tentunya, saat ini perusahaan transnasional dari Jepang dan Korea
telah menghegemoni di Indonesia.
Sedangkan perusahaan-perusahaan China lebih suka memproduksi di
negerinya sendiri karena murahnya tenaga kerja, melakukan ekspansi dengan cara
menjual produk semurah mungkin dengan varian barang sebanyak mungkin. Indonesia tertinggal jauh, karena bukan ikut
andil dari perang ekonomi ini tetapi malah cuman menjadi ajang pertempuran dalam
bentuk pasar untuk semua produk-produk global tersebut.
Produk impor atau produk global
apa yang tidak ada di Indonesia? Nyaris kalau tidak bisa dikatakan semua jenis
produk dengan berbagai merk telah menjajah Indonesia. Bahkan cengkeramannya telah sangat erat pada
hampir setiap insan Indonesia, dan kita tidak sadar atau bahkan bangga
terjerat. Dari bangun sampai tidur lagi
kita sudah terjerat produk-produk global. Saat bangun tidur, pasta gigi, sabun,
dan shampoo produk siapa yang kita pakai? Saat sarapan, kita sarapan dengan
nasi yang ditanak di rice cooker produk
siapa, kecapnya siapa? Saat kita berangkat kerja atau berusaha, kita pakai
sepatu merka apa, produk siapa, kendaraan yang kita pakai punya siapa? Jangan
tanya di tempat kita kerja, hampir semua peralatannya baik piranti keras maupun
piranti lunaknya punya siapa. Saat
pulang ke rumah, kita nonton televise produksi siapa, sinetron atau film yang
kita tonton produksi siapa? Anak-anak kita jajan produk siapa? Bersih-bersih
rumah pakai produk siapa? Silahkan anda cari jawabannya sendiri. Lebih parah
lagi, perusahaan nasional menghisap sumberdaya alam dan manusia Indonesia yang
bernilai murah dengan mendirikan prabrik-pabrik raksaksa di Indonesia, kemudian
menjual barangnya kepada orang-orang-orang Indonesia, tetapi keuntungannya mereka
bawa pulang ke negeri mereka.
Kalau ternyata kita masih terjajah
dan kita masih mencurigai atau bahkan memiliki ketakutan terhadap teman,
tetangga, orang-orang di sekitar kita hanya karena perbedaan warna kulit dan
asal usul keturunan, sebaiknya kita berkaca sekarang juga. Bagaimana kita mau merdeka dari cengkeraman globalisasi melalui produk-produk
perusahaan transnasional tersebut? Kalau
kita tidak bisa bersatu dan nyawiji
sampai kapan kita akan tergantung dan tidak menjadi mandiri? Sampai kapan kita
sadar kalau kita masih terjajah dan dipecah belah?
Gerakan globalisasi yang ditandai
dengan liberalisasi pasar alias pasar bebas.
Pasar yang mendewakan kompetisi terbuka, siapa yang kuat dia yang
menang. Pasar yang bukan hanya
menyediakan aliran barang saja tetapi juga aliran jasa dan bahkan aliran budaya
secara bebas. Kita sudah merasakan
serangan budaya (pop) sebagai awal serangan ekonomi, karena budaya pop akan
membentuk perilaku konsumtif. Setelah
itu baru gelontoran barang masuk secara bertubi-tubi. Kebutuhan tidak muncul dengan sendirinya,
tetapi kebutuhan diciptakan dari keinginan.
Setelahnya, bidang jasa akan masuk menyusul. Bukan hanya jasa yang
berhubungan dengan mode, penampilan, atau gaya hidup tetapi lebih mendasar
lagi, pendidikan dan kesehatan. Mulai bermunculannya rumah sakit dan sekolah
internasional bukan menjadi fenomena aneh di kota-kota besar. Tetapi ancaman yang lebih besar akan terjadi
pada tahun 2015, saat pasar bebas ASEAN dibuka.
ASEAN-China Free Trade Agreement
(ACFTA) kerjasama Negara-negara ASEAN dan Republik Rakyat China sebagai pasar
bersama menjdikan Negara-negara di ASEAN menjadi pasar tanpa sekat. Bukan hanya produk-produk berupa barang dari
ASEAN dan China yang akan masuk Indonesia secara bebas, karena saat inipun
sudah terjadi banjir produk dari China, dan akan semakin membanjir lagi.
Tetapi, bidang jasa akan masuk secara bebas dan besar-besaran di
Indonesia. Sekolah dan Rumah Sakit dari
China, Singapura, dan Malaysia akan boleh didirikan dan dijalankan di Indonesia
dengan menggunakan Kurikulum mereka sendiri.
Bukan hanya di kota-kota besar, sangat mungkin akan merambah kota-kota
yang berpotensi untuk dirambah.
REFLEKSI
Ancaman globalisasi dan pasar
bebas sudah ada di depan mata. Ancaman
yang bila kita siapkan diri akan melindas. Kita akan terjajah kembali bukan
oleh Eropa atau Amerika atau Jepang atau China tetapi oleh Malaysia dan
Singapura atau bahkan Tahiland, Vietnam, Laos, atau Myanmar karena ketakmampuan
kita bersaing. Kalau kita masih saling
mencurigai, kalau kita masih saling takut, apa yang dapat mempersatukan
kita? Pembauran, kata yang diciptakan
dalam konteks perbedaan seharusnya sudah tidak lagi dipergunakan karena sudah
tidak lagi relevan untuk saat ini, apalagi untuk masa mendatang. Inklusif adalah kata yang paling tepat untuk
kita pergunakan untuk menjadi penyederhanaan kata berbeda tetapi satu atau
harmoni dalam keberagaman. Inklusif berarti
menjadi satu tanpa sekat dan tanpa perbedaan, satu dalam kebersamaan.
Tetapi, sebenarnya kita telah
memiliki nilai dan istilah kita sendiri yan lebih hebat. Istilah yang telah ada sejak jaman nenek
moyang kita, sejak jaman Majapahit. Bhineka
Tunggal Ika Tan Hanna Dharmma Mangrwa, sebuah petuah bijak yang ditulis
oleh Mpu Tantular dalam Kitab Sutasoma.
Kata-kata yang bahkan tergantung di kaki Sang Garuda Pancasila, lambang
bangsa kita. Menggapa kita harus
mereduksinya lagi atau bahkan mengingkarinya dengan alasan curiga dan takut
karena berbeda? Kecurigaan dan ketakutan
satu dengan yang lain yang diciptakan dan dikondisikan oleh kaum imperialis.
Sudah saatnya kita kembali lagi
pada kata-kata sakti yang dipercaya oleh nenek moyang kita dan telah
dimeteraikan oleh para pendiri bangsa ini.
Bukan dengan perkataan dan tulisan tetapi dalam perbuatan nyata, dalam
langkah gerak kita sehari-hari.
Indonesia harus bersatu tanpa memandang etnis, suku, dan agama. Indonesia yang bersatu, Indonesia yang satu. Bhineka
Tunggal Ika…..
REFERENSI
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan
Republik Indonesia
1 komentar:
KAMI SEKELUARGA TAK LUPA MENGUCAPKAN PUJI SYUKUR KEPADA ALLAH S,W,T
dan terima kasih banyak kepada AKI atas nomor togel.nya yang AKI
berikan 4 angka [7273] alhamdulillah ternyata itu benar2 tembus AKI.
dan alhamdulillah sekarang saya bisa melunasi semua utan2 saya yang
ada sama tetangga.dan juga BANK BRI dan bukan hanya itu AKI. insya
allah saya akan coba untuk membuka usaha sendiri demi mencukupi
kebutuhan keluarga saya sehari-hari itu semua berkat bantuan AKI..
sekali lagi makasih banyak ya AKI… bagi saudara yang suka main togel
yang ingin merubah nasib seperti saya silahkan hubungi KI JAYA WARSITO,,di no (((085-342-064-735)))
insya allah anda bisa seperti saya…menang togel 870 JUTA , wassalam.
dijamin 100% jebol saya sudah buktikan...sendiri....
Apakah anda termasuk dalam kategori di bawah ini !!!!
1"Dikejar-kejar hutang
2"Selaluh kalah dalam bermain togel
3"Barang berharga anda udah habis terjual Buat judi togel
4"Anda udah kemana-mana tapi tidak menghasilkan solusi yg tepat
5"Udah banyak Dukun togel yang kamu tempati minta angka jitunya
tapi tidak ada satupun yang berhasil..
Solusi yang tepat jangan anda putus asah... KI JAYA WARSITO akan membantu
anda semua dengan Angka ritual/GHOIB:
butuh angka togel 2D ,3D, 4D SGP / HKG / MALAYSIA / TOTO MAGNUM / dijamin
100% jebol
Apabila ada waktu
silahkan Hub: KI JAYA WARSITO DI NO: [[[085-342-064-735]]]
ANGKA RITUAL: TOTO/MAGNUM 4D/5D/6D
ANGKA RITUAL: HONGKONG 2D/3D/4D/
ANGKA RITUAL; KUDA LARI 2D/3D/4D/
ANGKA RITUAL; SINGAPUR 2D/3D/4D/
ANGKA RITUAL; TAIWAN,THAILAND
ANGKA RITUAL: SIDNEY 2D/3D/4D
DAN PESUGIHAN TUYUL
Posting Komentar