Kamis, 25 April 2013


Seminar Pembauran Kebangsaan - Badan Kesatuan Bangsa, Politik dan Perlindungan Masyarakat Daerah Pemerintah Kota Blitar - 23 april 2013

TANTANGAN MASA DEPAN PEMBARUAN: TELAAH SEJARAH SEBAGAI CERMIN MENGHADAPI TANTANGAN MASA DEPAN

Daniel S. Stephanus, SE., MM., MSA., Ak
Ketua Lembaga Pengabdian Kepada Masyarakat Universitas Ma Chung Malang


“Dimana bumi dipijak, disitu langit dijunjung”

“Jika minum air, jangan lupa pada sumbernya”



Setiap manusia tidak bisa memilih dimana dia dilahirkan, siapa orang tuanya, apa etnis dan sukunya, semua sudah diatur oleh Yang Maha Kuasa.  Tetapi, setiap manusia punya kewajiban untuk membangun dan mensejahterakan tempat dimana dia dilahirkan, orang tua yang membesarkan dan mendidiknya, serta masyarakat dan komunitas dimana dia tinggal.  Apatah patut sesorang disebut manusia kalau dia durhaka terhadap orang tuanya? Apatah pantas seseorang disebut manusia bila dia melupakan kampung halamannya saat dia sukses di kemudian hari? Apatah layak seseorang dimanusiakan kalau dia bukan saja tidak berusaha untuk menyejahterkan timpat dimana dia tinggal dan malah membuat kerusakan dan ketaknyamanan masyarakat di sekitarnya?

Dua pepatah di atas merupakan petuah bijak untuk setiap manusia agar sadar, bukan darimana dia berasal atau dari keturunan atau suku apa dia dilahirkan, tetapi setiap manusia berkewajiban untuk selau mengusahakan kesejahteraan tempat dimana dia tinggal saat ini dengan tidak melupakan tempat dimana dia dilahirkan. Setiap manusia punya keinginan untuk hidup sejahtera dan nyaman dimanapun dia berada, hidup sukses baik dunia maupun akhirat.  Kesejahteraan dan kenyamanan tidak akan didapat bila seseorang tidak tinggal di tempat yang aman dan nyaman.  Tempat tinggal yang nyaman dan aman bukan dicari tetapi harus diciptakan.  Menjadi tanggung jawab setiap insan yang tinggal di kawasan itu untuk turut serta menciptakan dan menjaga keamanan dan kenyamanannya.  Tidak pantas bila seseorang hanya berpangku tangan dan berdiam diri serta sekedar menikmati keamanan dan kenyamanan tempat dia tinggal.  Itu makna yang terkandung dalam pepatah “dimana bumi dipijak, disitu langit dijunjung”.

Saat manusia sudah aman, nyaman, dan sejahtera alangkah elok bisa seseorang mau kembali melonggok kampung halaman tempat dia dilahirkan dan dibesarkan.  Sudah sepantasnya, manusia yang telah sukses dan sejahtera berbagi keberhasilan hidupnya pada kampung halamannya.  Mengusahakan kesejahteraan kampung halaman temapt dia belajar kehidupan bukan sekadar balas jasa semata.  Ada sanak saudara, handai taulan, sahabat dan teman, para guru dan alim ulama dan banyak lagi yang berjasa membentuk dirinya hingga berhasil dan harus dipikirkan dan diusahakan kesejahteraan dan kebaikannya.  Kesejahtraan dan kebaikan yang bukan dinikmati bagi dirinya sendiri atau keluarga tetapi kepada siapapun yang menjadikan dirinya berhasil pada saat ini. Demikian lah arti yang terkandung dalam “jika minum air, jangan lupa sumbernya”.     

      

BELAJAR DARI SEJARAH
Pra Kolonialisma 
Nenek moyang bangsa Indonesia, secara teoritis, berasal dari Provinsi  Yunnan,  China, melalui migrasi ribuan tahun lalu. Penduduk asli Kepulauan Indonesia saat itu (ras Austromelanesoid) tergusur dan terdesak ke Papua.
Berdasarkan waktu kedatangannya:
1. Proto Melayu
Orang Proto Melayu datang dari Yunnan sekitar tahun 2000 SM. Mereka datang melalui dua jalur:
a. Jalur pertama dari Filipina menyebar ke Sulawesi dan Papua. Mereka ini antara lain menjadi nenek moyang suku Toraja. Mereka membawa kebudayaan kapak lonjong.
b. Jalur kedua dari Indocina melewati Semenanjung Malaya ke Sumatera, lalu menyebar ke Kalimantan, Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara. Mereka ini antara lain menjadi nenek moyang suku Batak, dayak, dan Sasak (Lombok).
2. Deutero Melayu
Orang-orang Deutero Melayu datang dari daerah Teluk Tonkin (Vietnam Utara) sekitar tahun 500 SM. Peradaban mereka lebih maju dari orang-orang Proto Melayu, yaitu kebudayaan dong Son yang ditemui di Vietnam. Mereka menempati pesisir-pesisir dan mendesak orang-orang Proto Melayu ke pedalaman. Mereka ini antara lain menjadi nenek moyang suku Jawa, Minang, dan Bugis.
Jadi, penduduk "asli" Indonesia, nenek moyang bangsa "pribumi" Indonesia yang sekarang ini, berasal dari China. Merekalah nenek moyang bangsa Indonesia yang waktu kedatangannya itu 2000SM, 500SM, Abad Ke7 Mashei  atau setelahnya.

Orang-orang  dari Tiongkok daratan datang  dan berdiam di Bumi Nusantara sejak ribuan tahun yang lalu.  Catatan tertua yang ditemukan adalah tulisan dari para agamawan, seperti Fa Hien pada abad ke-4 dan I Ching pada abad ke-7. Fa Hien menulsikan adanya suatu kerajaan di Jawa ("To lo mo"). Sedadngkan I Ching, yang ingin pergi ke India untuk belajar agama Buddha tetapi singgah dulu di Nusantara untuk belajar bahasa Sanskerta. I Cing  belajar Bahasa Sansekerta pada seseorang bernama Jñânabhadra.
Dengan berkembangnya kerajaan-kerajaan di Nusantara, para imigran dari Tiongkok berdatangan, untuk berdagang. Pada prasasti-prasasti di Jawa, orang-orang dari  Tiongkok disebut-sebut sebagai warga asing yang menetap bersama dengan nama-nama suku bangsa dari Nusantara, Asia Tenggara dan anak benua India. Dalam prasasti perunggu bertahun 860 di Jawa Timur tersebut istilah Juru Cina, yang berarti jabatan pengurus orang-orang Tionghoa yang tinggal di sana. Beberapa motif relief di Candi Sewu diduga mendapat pengaruh dari motif-motif kain sutera Tiongkok.
Catatan Ma Huan, dari ekspedisi Cheng Ho, menyebut secara jelas bahwa pedagang China muslim menghuni ibukota dan kota-kota bandar Majapahit (abad ke-15) dan membentuk satu dari tiga komponen penduduk kerajaan Majapahit.  Ekspedisi Cheng Ho meninggalkan jejak di Semarang, ketika Wang Jinghong sakit dan memaksa rombongan melepas sauh di Simongan (bagian dari Kota Semarang). Wang kemudian menetap di Semarang karena tidak mampu melanjutkan ekspedisi. Ia dan pengikutnya menjadi cikal-bakal warga Tionghoa Semarang. Wang mengabadikan Cheng Ho menjadi sebuah patung (disebut "Mbah Ledakar Juragan Dampo Awang Sam Po Kong"), serta  membangun kelenteng Sam Po Kong atau Gedung Batu.  Di komplek ini Wang juga dikuburkan dan dijuluki "Mbah Jurumudi Dampo Awang".
Sejumlah sejarawan juga menunjukkan bahwa Raden Patah, pendiri Kesultanan Demak, memiliki darah Tiongkok selain keturunan Majapahit. Beberapa wali penyebar agama Islam di Jawa juga memiliki darah Tiongkok, meskipun mereka memeluk Islam dan tidak lagi secara aktif mempraktekkan kultur Tionghoa. Kitab Sunda Tina Layang Parahyang menyebutkan kedatangan rombongan Tionghoa ke muara Ci Sadane (sekarang Teluknaga) pada tahun 1407, pada masa kekuasaan Kerajaan Sunda (Pajajaran). Pemimpinnya adalah Halung,  mereka terdampar sebelum mencapai di Kalapa. (http://id.wikipedia.org/wiki/Tionghoa-Indonesia)

Zaman Kolonialisma
Kesalahan sejarah yang mendikotomi atau lebih tepatnya mendiskriminasi etnis terjadi sejak jaman kolonialisma.  Demi kepentingan melanggengkan kekuasaan baik secara politik maupun ekonomi, masyarakat di Hindia Belanda dipisahkan dalam beberapa golongan.   Segregasi golongan penduduk di Bumi Nusantara oleh Pemerintah Kolonial Belanda saat itu melalui ketentuan IS Art 161 dimaksudkan untuk melakukan politik pemecah-belahan di masyarakat, agar Pemerintah Belanda tidak terlalu berat menghadapi jika mereka bersatu. Ketika itu di atur tiga golongan penduduk yaitu: Golongan Eropa, golongan Timur Asing (Tionghoa dan bukan Tionghoa); serta golongan Bumiputera; Golongan bumiputera yang terbagi menjadi Bumiputera beragama Islam dan Bumiputera beragama Kristen.  Segregasi yang ditujukan sebagai alat memecah belah masyarakat demi kepentingan politik dan ekonomi, bukan kepentingan lain.

Menurut sejarahnya, orang-orang Tionghoa didatangkan ke Batavia untuk menjadi pekerja dan buruh pabrik, tetapi kecakapan dalam berdagang menjadikannya  penguasa ekonomi, khususnya gula.  Peristiwa pada Oktober 1740 yang biasa disebut dengan “Geger Pecinan” merupakan aksi devide et empera yang dilakukan oleh VOC untuk mengendalikan laju pertumbuhan komunitas Tionghoa dan perekonomiannya.  Terjadilah pembakaran oleh Komunitas Betawi terhadap rumah-rumah Komunitas Tionghoa.  Sebaliknya, Komunitas Tionghoa tidak melawan balik malah melakukan pemberontakan terhadap VOC sehingga terbunuh kurang lebih 500 orang Belanda.  VOC menyerang balik dan menewaskan kurang lebih 10.000 orang Tionghoa dan melakukan pemindahan paksa sisanya ke kawasan Glodok dan Tanggerang. (http://id.wikipedia.org/wiki/Geger_Pacinan)

Di masa kolonialisma, VOC mengangkat beberapa pemimpin komunitas dengan gelarKapiten Cina, yang diwajibkan setia dan menjadi penghubung antara pemerintah dengan komunitas Tionghoa. Beberapa di antara mereka ternyata juga telah berjasa bagi masyarakat umum, misalnya So Beng Kong dan Phoa Beng Gan yang membangun kanal di Batavia. Di Batavia, Mohamad Djafar menjadi kapten Tionghoa muslim yang terakhir (ke-dua). Di Yogyakarta, Kapiten Tan Djin Sing sempat menjadi Bupati Yogyakarta.
Pembantaian orang Tionghoa tanggal 9 Oktober 1740 di Batavia terdapat juga kelompok Tionghoa yang pernah berjuang melawan Belanda, baik sendiri maupun bersama etnis lain. Bersama etnis Jawa, kelompok Tionghoa berperang melawanVOC tahun 1740-1743.. Di Kalimantan Barat, komunitas Tionghoa yang tergabung dalam Republik Lanfong  berperang melawan pasukan VOC pada abad XIX.
Selaindi Batavia pada 1740,  pembantaian terjadi juga masa perang Jawa 1825-1830. Pembantaian di Batavia melahirkan gerakan perlawanan dari etnis Tionghoa yang bergerak di beberapa kota di Jawa Tengah bersama dengan Etnis Jawa.  Aturan Wijkenstelsel melarang orang China tinggal di sembarang tempat sehingga  menciptakan pemukiman Etnis Tionghoa atau Pecinan di sejumlah kota besar di Hindia Belanda. (http://id.wikipedia.org/wiki/Tionghoa-Indonesia)

Komunitas dan orang Tionghoa terkibat aktrif di Sumpah Pemuda, nama –nama seperti Kwee Tiam Hong dan tiga temannya. Sin Po sebagai koran Melayu Tionghoa banyak memberikan sumbangan dalam menyebarkan informasi yang bersifat nasionalis. Pada 1920-an itu, harian Sin Po memelopori penggunaan kata “Bumiputera sebagai pengganti kata “Inlander” di semua penerbitannya. Langkah ini kemudian diikuti oleh banyak harian lain. Sebagai balas budi, semua pers lokal kemudian mengganti kata "Tjina" dengan kata “Tionghoa”. Pada 1931 Liem Koen Hian mendirikan PTI, Partai Tionghoa Indonesia (dan bukan Partai Tjina Indonesia).
Pada masa revolusi  1945, Mayor John Lie  menyelundupkan barang-barang ke Singapura untuk kepentingan pembiayaan Republik. Rumah Djiaw Kie Siong di Rengasdengklok, dekat Karawang, diambil-alih oleh Tentara Pembela Tanah Air (PETA), kemudian penghuninya dipindahkan agar Bung Karno dan Bung Hatta dapat beristirahat setelah "disingkirkan" dari Jakarta pada tanggal 16 Agustus 1945.  Di Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang merumuskan UUD'45 terdapat 4 orang Tionghoa yaitu; Liem Koen Hian, Tan Eng Hoa, Oey Tiang Tjoe, Oey Tjong Hauw, dan di Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) terdapat 1 orang Tionghoa yaitu Drs.Yap Tjwan Bing. Liem Koen Hian yang meninggal dalam status sebagai warganegara asing, sesungguhnya ikut merancang UUD 1945. Lagu Indonesia Raya yang diciptakan oleh W.R. Supratman, pun pertama kali dipublikasikan oleh Koran Sin Po. Dalam perjuangan fisik ada beberapa pejuang Tionghoa, namun nama mereka tidak banyak dicatat dan diberitakan, seperti Tony Wen yang terlibat dalam penurunan bendera Belanda di Hotel Oranye Surabaya. (http://id.wikipedia.org/wiki/Tionghoa-Indonesia)

Di Malang, pada jaman penjajahan Jepang ada beberapa pengusaha Tionghoa menolak tunduk dan mendukung Jepang, akhirnya merekapun dipenjarakan.  Setelah merdeka, tepatnya pada tahun 1947 orang-orang tersebut mendirikan sekolah setingkat SMP dan SMA dengan nama Ma Chung Ta Xue (sekolah tinggi Ma Chung).  Tujuan didirikannya sekolah ini untuk mendidik dan memberdayakan para pemuda Tionghoa di Malang untuk menjadi pemikir dan pengusaha yang ulung dan tangguh.  Tetapi sejarah berkata lain, sekolah ini ditutup setelah peristiwa 1965.  Ditutup bukan karena alas an politik atau budaya, tetapi karena kecurigaan yang berlebihan terhadap gerakan komunisme yang diidentikkan dengan Moskwo (Rusia) dan Peking (China).

Jadi, sejarah mencatat, perjuangan kemerdekaan Indonesia tidak terpisahkan dari Komunitas Tionghoa.  Sekaligus, catatan sejarah kolonialisma menunjukkan bahwa terjadinya pertentangan antara Etnis Tionghoa dengan Etnis Pribumi merupakan rekayasa politik VOC/Belanda untuk memecah belah masyarakat agar lebih mudah dikendalikan secara politik maupun ekonomi.

Zaman Rezim Soekarno
Pada masa Orde Lama, terdapat beberapa menteri Republik Indonesia dari Etnis Tionghoa seperti Oei Tjoe Tat, Ong Eng Die, Siauw Giok Tjhan, dan lain lain. Bahkan Oei Tjoe Tat pernah diangkat sebagai salah satu Tangan Kanan Ir. Soekarno pada masa Kabinet Dwikora. Pada masa ini hubungan Ir. Soekarno dengan beberapa tokoh Tionghoa sangat baik. Walau pada Orde Lama terdapat beberapa kebijakan politik yang diskriminatif seperti Peraturan Pemerintah No. 10 tahun 1959 yang melarang WNA Tionghoa untuk berdagang eceran di daerah di luar ibukota provinsi dan kabupaten. Hal ini menimbulkan dampak yang luas terhadap distribusi barang dan pada akhirnya menjadi salah satu sebab keterpurukan ekonomi menjelang tahun 1965 dan lainnya. (http://id.wikipedia.org/wiki/Tionghoa-Indonesia)

Berdirinya Sekolah-Sekolah berbasis budaya China adalah salah satu bentuk sumbangsih Komunitas Tiongho bagi pembangunan sumberdaya manusia Indonesia.  Selain SMA Ma Chung di Malang dan berbagai sekolah mulai dari SD sampai SMA, juga ada perguruan tinggi yang dibangun bahkan tetap berdiri sampai saat ini. Universitas Trisakti yang kini menjadi salah satu universitas terkenal di Indonesia juga merupakan salah satu sumbangsih warga Tionghoa di Indonesia. Pada tahun 1958, universitas ini didirikan oleh para petinggi Baperki yang kebanyakan keturunan Tionghoa salah satunya yaitu Siauw Giok Tjhan, pada tahun 1962 oleh Presiden Soekarno nama universitas ini diganti menjadi Universitas Res Publika hingga 1965, dan sejak Orde Baru, universitas ini beralih nama menjadi Universitas Trisakti hingga sekarang.

Zaman Rezim Soeharto
Selama Orde Baru dilakukan penerapan Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SKBRI), yang ditujukan kepada warga negara Indonesia (WNI) Etnis Tionghoa beserta keturunannya. Walaupun ketentuan ini bersifat administratif, secara esensi penerapan SBKRI sama artinya dengan upaya yang menempatkan WNI Tionghoa pada posisi status hukum WNI yang "masih dipertanyakan".
Pada Orde Baru Etnis Tionghoa juga dilarang berekspresi. Sejak tahun 1967, Etnis Tionghoa dianggap sebagai warga negara asing di Indonesia dan kedudukannya berada di bawah warga pribumi, yang secara tidak langsung juga menghapus hak-hak asasi mereka. Kesenian barongsai secara terbuka, perayaan hari raya Imlek, dan pemakaianBahasa Mandarin dilarang, meski kemudian hal ini diperjuangkan oleh komunitas Tionghoa Indonesia terutama dari komunitas pengobatan Tionghoa tradisional karena pelarangan sama sekali akan berdampak pada resep obat yang mereka buat yang hanya bisa ditulis dengan bahasa Tionghoa. Mereka pergi hingga ke Mahkamah Agung dan akhirnya Jaksa Agung Indonesia waktu itu memberi izin dengan catatan bahwa Tionghoa Indonesia berjanji tidak menghimpun kekuatan untuk memberontak dan menggulingkan pemerintahan Indonesia. (http://id.wikipedia.org/wiki/Tionghoa-Indonesia)

Bukan hanya pelarangan pada seni dan budaya China tetapi sekolah-sekolah Tionghoa juga ditutup karena kecurigaan yang berlebihan.  Salah satu korban penutupannya adalah SMA Ma Chung yang dinasionalisasi dan sekarang menjadi SMA Negeri   5 Malang.

Satu-satunya surat kabar berbahasa China yang diizinkan terbit adalah Harian Indonesia yang sebagian artikelnya ditulis dalam bahasa Indonesia. Harian ini dikelola dan diawasi oleh militer (ABRI) meski beberapa orang Tionghoa Indonesia bekerja juga di sana. Agama tradisional Tionghoa dilarang. Akibatnya agama Konghucu kehilangan pengakuan pemerintah.  Pemerintah Orde Baru berdalih bahwa warga Tionghoa yang populasinya ketika itu mencapai kurang lebih 5 juta orang dikhawatirkan akan menyebarkan pengaruh komunisme di Tanah Air. Padahal, kenyataan berkata bahwa kebanyakan dari mereka berprofesi sebagai pedagang, yang tentu bertolak belakang dengan apa yang diajarkan oleh komunisme, yang sangat mengharamkan perdagangan.  Orang Tionghoa dijauhkan dari kehidupan politik praktis dan sebagian lagi memilih untuk menghindari dunia politik karena khawatir akan keselamatan dirinya. (http://id.wikipedia.org/wiki/Tionghoa-Indonesia)

Ada kenyataan pahit yang harus dirasakan beberapa orang yang mampu mengangkat nama Indonesia di dunia internasional.  Dengan posisi masih sebagai WNA yang pengurusan SKBRI-nya belum kelar, Alan Budi Kusuma dan Susi Susanti membawa harum nama bangsa dengan menjadi sepasang penyumbang medali emas olimpiade bagi Indonesia.  Sebuah ironi yang menyesakkan, ada masanya dicurigai tetapi saat berprestasipun untuk bangsa dan Negara Indonesia belum tentu diakui keIndonesiaannya.  Nama sudah diganti menjadi nama yang “Indonesia”, prestasi sudah ditorehkan untuk bangsa dan Negara Indonesia, Indonesia Raya berkumandang mengiringi naiknya Sang Saka Merah Putih di arena olah raga terakbar, tetapi legalitas dan ke-Indonesia-an sepasang emas olimpiade masih belumlah jelas.   

Konglomerat dan Kongkalikong, ini merupakan salah satu kebijakan aneh yang terjadi di jaman Rezim Soeharto.  Komunitas Tionghoa yang diawasi dan dibatasi geraknya, tetapi beberapa orang  mendapat tempat. Nama-nama seperti Liem Siu Liong (Sudono Salim), Sudwikatmono, dan beberapa nama lain seperti mendapat keistimewaan untuk menggarap ekonomi Indonesia.  Munculnya Indo atau BCA Group, Sinar Mas Group, dan berbagai konglomerat seakan menjadi gambaran bahwa Etnis Tionghoa menguasai perekonomian Indonesia.  Padahal kenyataannya, hanya segelintir orang yang mendapat kesempatan tersebut dan tentu saja dengan kompensasi menjadi mesin uang bagi kepentingan kelanggengan rezim saat itu.  Etnis Tionghoa dicurigai dan diawasi, tetapi beberapa orang dimanfaatkan oleh rezim untuk menjadi motor penggerak roda perekonomian bangsa dan juga menjadi sumber dana untuk menjaga kelanggengan rezim dan memperkaya diri sendiri.

Pada masa akhir dari Orde Baru, terdapat peristiwa kerusuhan rasial yang merupakan peristiwa terkelam bagi masyarakat Indonesia terutama warga Tionghoa karena kerusuhan tersebut menyebabkan jatuhnya banyak korban. Bahkan banyak yang mengalami pelecehan seksual, penjarahan, kekerasan, dan lainnya, yaitu peristiwa Tragedi 1998.  Satu lagi peristiwa kelam sejarah bangsa ini yang sampai sekarang tidak jelas ujung pangkalnya.  Jangankan penyelesaian kasusnya apalagi mendidentifikasi korban dan siapa yang bertanggung jawab sebagai dalang peristiwa tersebut tidak segera dapat diketahui.  Bahkan dari hari ke hari semakin jauh dari dan terlupakan.


Zaman Rezim Gus Dur
Gus Dur semasa menjabat menjadi presiden, walau singkat, membuat beberapa gebrakan yang cukup kontroversial.  Gerbrakan yang cukup kontroversial adalah mengembalikan Etnis Tionghoa sebagai “orang asli” Indonesia.  Walau tidak semuanya terwujud di jamannya tetapi satu persatu inkulturasi dilakukan oleh Gus Dur. Diakuinya Kong Hu Cu sebagai agama resmi, diperbolehkannya Pertunjukkan seni dan Budaya China, diakuinya Imlek sebagai salah satu Hari Besar Nasional , dan mengembalikan penyebutan Tionghoa sebagai ganti dari Warga Keturunan China adalah buah-buah karya Gus Dur.  Gerakan inkulturasi yang menghilangkan bukan hanya diskriminasi tetapi juga ekslusivitas menjadi gerakan inklusivitas.

Munculnya beberapa tokoh nasional yang menunjukkan keIndonesiaannya bukan dengan mengganti nama tetapi dengan prestasi dan kerja kerasnya.  Nama-nama seperti Kwik Kian Gie yang sempat Menko Perekonomian di Jaman Gus Dur dan menjadi Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) dan Menteri Perencanaan Nasional di Jaman Megawati.  Beliau menjadi Indonesia bukan dengan mengganti nama tetapi dengan karya nyata.  Demikian pula dengan Alvin Lie, politikus dari Partai Amanat Nasional (PAN) yang sempat menjadi Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR-RI).  Seorang politikus yang bukan hanya bekerja untuk kepentingan etnisnya tetapi bekerja untuk kepentingan menyejahterkan seluruh rakyat Indonesia.  Belum lagi nama-nama lain yang bergerak dan bekerja di berbagai bidang.

Puncaknya adalah Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia. Pada Pasal 2 menyatakan bahwa “Orang Tionghoa yang berkewarganegaraan Indonesia digolongkan sebagai salah satu suku dalam lingkup nasional Indonesia.”  Apakah benar sudah menjadi sebenar-benarnya salah satu suku yang menajdi bagian dari Bangsa dan Negara Indonesia?  Ataukah Undang-Undang masih dijalankan setengah hati, baik oleh Pemerintah, oknum-oknum suku-suku lain, maupun orang-orang Etnis Tionghoa sendiri?  Masihkah ada sisa-sisa kecurigaan itu? Masihkah ketakutan menjadi kambing hitam yang akan dikorbankan sewaktu-waktu berdiam di dasar hati?


ANALISIS KONDISI KEKINIAN
Membanjirnya Produk-Produk China
Fenomena terkini adalah membanjirnya produk-produk dari negeri China.  Produk yang membanjir bukan hanya di sector pertanian seperti bawang putih dan buah-buahan yang menjadikan ketergantung akan produk impor (dari China) sangatlah kuat. Produk elektronik, khususnya telefon selular murah menjadikan berhape ria menjadi budaya masyarkat Indonesia sampai ke pelosok.  Rambahan dibidang otomotif yang diawali dulu dengan sepeda angina (pancal), kemudaian sepeda motor, sekarangpun telah merambah mobil dan angkutan berat lainnya.  Juga demikian dengan produk-produk fashion, mulai baju yang menempel, tas, sepatu dan berbagai asesoris yang berlabel “murah meriah” menempel di banyak anak negeri.  Bahkan sejak jaman lampau, bukankah “peniti” dan “kancing tempel” semua juga produk dari China sana.

Apakah terjadi kebanggaan terhadap produk-produk dari China sebagai identitas diri dari Komunitas Tionghoa? Sepertinya tidak sama sekali.  Bukankah penikmat berbagai produk dari negeri China sana adalah seluruh anak bangsa, mereka yang haus akan perkembangan mode dan teknologi sebagai dampak dari globalisasi, tuntutan jaman.  Ketakutan akan bangkitnya ke-China-an dan meninggalkan Tionghoa Indonesia tidak perlu terjadi.  Banjir produk dari China merupakan konsekuensi dari ekonomi liberal yang dianut oleh Pemerintah Indonesia.  Selama rakyat Indonesia belum bangga terhadap produknya sendiri, selama haarga barang dari China masih lebih murah keetimbang produk dari Negara lain termasuk produk local, perburuan terhadap produk-produk China akan terus terjadi.  Apakah masih perlu ada curiga dan takut dengan kata Made In China?

Pendidikan Bahasa Tionghoa
Memudarnya kecurigaan dan ketakutan berganti menjadi kebanggaan tersendiri bagi bukan Etnis Tionghoa semata.  Didorong oleh kemjuan China menjadi Negara super power baru dan Bahasa China sebagai salah satu bahasa resmi Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB), saat ini bukan hal aneh bila pada kurikulum sekolah-sekolah tertentu menjadikan Bahasa China sebagai salah satu mata pelajarannya.  Bahkan pada tingkat perguruan tinggi, bukan hanya menjamurnya jurusan Bahasa dan Budaya China saja, tetapi sudah memasukkan Bahasa China sebagai salah satu kompetensi kelulusannya.  Bahkan sertifikasi yang bersifat internasional seperti TOEFL dan TOEIC untuk Bahasa Inggris telah ada untuk Bahasa China yang disebut dengan HSK.

Siapa pembelajar Bahasa China (Tionghoa)? Apakah Etnis Tionghoa? Sepertinya tidak, bahkan anak-anak muda Tionghoa sekarang cenderung menghindarinya dan lebih suka belajar Bahasa Korea atau Bahasa Jepang .  Kebanggan terhadap ke-China-an telah luntur, sekali lagi akibat globalisasi dengan serangan dari Budaya Jepang (Harajuku) dan Budaya Korea (Halyu) melalui media televisi dan berbagai media lain.  Pembelajar Bahasa dan Budaya China, termasuk Wushu dan Barongsai telah bergeser dari “kaum peranakan” ke pada setiap orang yang menginginkannya, termasuk “kaum pribumi”.

Telah terjadi pergeseran yang cukup jauh, Bahasa dan Budaya China bukan lagi menjadi milik Etnis Tionghoa semata, tetapi telah bergeser menjadi produk global yang dinikmati oleh siapapun yang menyukainya.  Sama seperti produk-produk Made In China, Bahasa dan Budaya China telah menjadi bahasa dan busaya global yang tidak lagi menjadi identitas seseorang.  Apakah kata “pembauran” masih diperlukan dan masih harus didengung-dengungkan?

Menjamurnya Klinik Pengobatan Tradisional China
Fenomena terkini yang sedang hangat-hanganya adalah “Klinik Tong Fang.” Bukan saja karena dikenal sebagai tempat berobat yang murah dan manjur, bahkan telah menjadi guyonan yang lazim.  Klinik Pengobatan China saat ini bukan sekadar menjadi pilihan pengobatan alternative layaknya masa lalu tetapi sudah bergeser menjadi yang pertama atau minimal pilihan kedua setelah Rumah Sakit Umum.  Fenomena yang terjadi dari akibat mahalnya biaya pengobatan barat (dokter dan rumah sakit) dan tumbuhnya kepercayaan masyarakat terhadap pengobatan herbal ala China.  Bukankah banyak tersiar kabar bertapa manjurnya pengobatan China, bahkan banyak pula orang-orang mampu untuk berobat langsung ke China, Dahlan Iskan contohnya.  Menteri BUMN ini memercayakan pencangkokan hati (liver) di China dan bahkan menuliskan kemujaraban pengobatan China melalui medianya, Jawa Pos, dan bahkan menuangkanya dalam sebuah buku yang cukup laris.

Apakah pasien dan juga shinse-nya didominasi oleh Etnis Tionghoa? Silahkan mengamati di berbagai Klinik Pengobatan Tradisional China yang ada.  Pasien yang keluar masuk adalah orang Indonesia  “asli”, bahkan di beberapa klinik, jelas-jelas terpampang nama yang sangat Indonesia dan sang shinse yang juga orang Indonesia “asli”.  Pada kondisi saat ini, saat biaya pengobatan dirasa mahal, pengobatan alternative dan tradisional menjadi pilihan, termasuk pengobatan tradisional dari China.  Setiap orang butuh sehat dan setiap orang yang sakit selalu ingin sembuh, tidak akan melihat dari mana asalnya.  Apalagi sudah manjur, menyehatkan, dan murah pula.  Siapa yang tidak mau?  Apakah kita masih harus curiga dan nyinyir dengan kata China?  Apakah masuh perlu mendiskriminasi diri karena takut disebut sebagai China?


Ahok Effect
Walau pun sebelumnya sudah ada Kwik Kian Gie dan Alvin Lie, kemunculannya tidak membikin heboh seheboh Ahok (Basuki Tjahja Purnama).  Kemunculan Ahok sebagai calon Wakil Gubernur Jakarta sampai terpilihnya, tidak terlepas dari kontroversi.  Walau sebelumnya sudah menjabat sebagai Anggota DPRD  Kabupaten Belitung Timur dan selanjutnya menjadi Anggota DPR-RI, kemunculan Ahok sebagai Wakil Gubernur Jakarta menuai banyak kontroversi.  Sebagai Etnis Tioghoa, serangan demi serangan berbau rasis ditujukan pada dirinya.  Bukannya mundur tetapi malah menjadikannya semakin bertekad untuk maju.  Sampai pada akhirnya, Ahok yang pernah gagal menjadi Gubernur Bangka Belitung yang dicurigai karena manipulasi terpilih menjadi Wakil Gubernur Jakarta mendampingan sang gubernur, Joko Widodo (Jokowi).  Fenomena yang oleh banyak orang disebut dengan Ahok Effect.

Setelah menjadi Wakil Gubernur bersama dengan Jokowi sebagai Gubernur, banyak gebrakan yang dilakukannya, walaupun hasilnya belum berdampak sangat besar, tetapi kinerja pasangan Gubernur dan Wakil Gubernur ini cukup terasa.  Bahkan sekarang, puja dan puji bagi Jokowi dan Ahok, baik sebagai pasangan maupun sebagai pribadi banyak bertebaran dari berbagai mulut dan dari berbagai media massa, bahkan dari mereka yang dulu mengkritik, menghina, bahkan memfitnahnya.  Apakah Ahok perlu dipertanyakan ke-Indonesia-annya? Ataukah para penghina dan pemfitnah dia yang seharusnya dipertanyakan ke-Indonesia-annya? Bukankah yang menghina dan menfitnah Ahok perlu diseret ke meja hijau karena melanggar Undang-Undang No. 12 tahun 2006? Bahkan seharusnya dituntut dan diseret sebagai pesakitan bukan hanya dengan Undang-Undang Pidana karena pencemaran nama baik dan perbuatan tidak menyenangkan, tetapi Undang-Undang Terorisme karena mengancam persatuan bangsa dan Negara. Apakah kata “pembauran” masih relevan untuk Ahok? 

Ma Chung Sebagai Cermin
Ma Chung merupakan sebuah sekolah bersejarah di kota Malang - Jawa Timur, yang telah meluluskan alumni-alumni terbaiknya sejak era tahun 1950an. Ma Chung telah mewariskan standar pendidikan dan pembangunan nilai-nilai moral yang konsisten terhadap lulusannya. Bekas gedung sekolah Ma Chung masih dapat disaksikan oleh generasi masa kini meski saat ini telah menjadi SMA Negeri 5 Malang. Satu hal yang tidak akan lekang oleh jaman adalah Spirit Alumni Ma Chung.
Tersebar di hampir seluruh penjuru dunia, para alumni telah menorehkan sejarah, baik sebagai ilmuwan di universitas-universitas ternama di dunia maupun sebagai wirausahawan Indonesia yang sukses dan bahkan berkiprah di dunia bisnis internasional.  Ide pendirian Universitas Ma Chung dicetuskan pada saat pelaksanaan Reuni Akbar peringatan hari ulang tahun ke-55 sekolah Ma Chung pada September 2001 di kota Xiamen, China, yang dilandasi oleh warisan semangat Ma Chung yang berintikan: rukun, bersatu, mengabdi kepada masyarakat, serta mewujudkan dedikasi kepada dunia pendidikan Indonesia.
Dengan dipegang teguhnya semboyan "Waktu minum air jangan lupa sumbernya, waktu sukses balaslah budi kepada kampung halamannya", serta komitmen alumni Ma Chung di seluruh dunia, maka pada 1 Mei 2004 didirikanlah PT. Ma Chung sebagai langkah awal berdirinya Universitas Ma Chung, Dengan pelopor-pelopor seperti Soegeng Hendarto, Mochtar Riady, Teguh Kinarto, Hendro Sunjoto, Koentjoro Loekito, Effendy Sudargo, Agus Chandra, Hadi Widjojo, Nuryati Tanuwidjaya, Nehemja, Alex Lesmana Samudra, Evelyn Adam, Hadi Surjono, Nagawidjaja Winoto, dan Soebroto Wirotomo, nama-nama yang sudah terkenal sebagai pebisnis berskala internasional.
Secara aklamasi dan dengan pernyataan kebulatan tekad alumni dari seluruh dunia, dalam Reuni Akbar peringatan Ulang Tahun ke-60 SMA Ma Chung di Malang, 17 Juli 2005 diletakkan batu pertama pembangunan Universitas Ma Chung. Untuk memperlancar pengelolaan universitas dalam jangka panjang, maka dibentuklah Yayasan Harapan Bangsa Sejahtera yang menaungi Universitas Ma Chung.
Beberapa alumni seperti Prof. Dr. Yang Zhiling dan Prof. Dr. Bin Ling memberikan banyak usulan sehubungan dengan pembangunan dan pengelolaan universitas. Usulan beliau tersebut kemudian dijadikan pijakan pertama bagi perencanaan (blue print) oleh para pimpinan PT. Ma Chung dan Yayasan Harapan Bangsa Sejahtera.  Dihadiri oleh ribuan alumni, pada tanggal 7 Juli 2007, Universitas Ma Chung secara resmi dibuka. (http://www.machung.ac.id/about/history)

"Kebangkitan suatu keluarga, perusahaan dan bangsa sangat tergantung pada tingkat mutu pendidikan, yang sekaligus juga sebagai cara untuk mengatasi masalah kemiskinan dan moralitas suatu keluarga dan bangsa. Visi ini menjadi misi Yayasan Harapan Bangsa Sejahtera." Ujar Mochtar Riady, Pembina Yayasan Harapan Bangsa. Pendirian Universitas Ma Chung merupakan bentuk kepedulian alumni SMA Ma Chung kepada bangsa. PAda Era 60an sekolah Ma Chung sangat terkenal akan kualitas pendidikannya, bukan hanya di Indonesia melainkan pernah meraih penghargaan internasional sebagai sekolah terbaik di kawasan Asia Timur. Universitas Ma Chung lebih menitikberatkan pada pembentukan sistem pendidikan yang dapat melahirkan lulusan-lulusan siap pakai, utuh dalam aspek profesional (hard skills) moral dan keterampilan pendukung lainnya (soft skills) dalam menjawab tantangan. Untuk mencapai misi tersebut, dilakukan kerjasama dengan Perguruan Tinggi internasional dan nasional yang dijadikan sebagai "benchmark" bagi sistem pendidikan di Universitas Ma Chung. Universitas Ma Chung saat ini memiliki 6 program studi andalan yang terus akan berkembang, yaitu: Manajemen, Akuntansi, Teknik Informatika, Bahasa Inggris, Bahasa Tionghoa , dan Teknik Industri. Selain menyiapkan pola pengajaran dan sistem kurikulum berkualitas, juga akan disediakan berbagai fasilitas lain. Universitas Ma Chung akan diarahkan sebagai research university, bahkan akan diberi fasilitas pusat penelitian khususnya perekonomian pedesaan. (http://siva-id.jobstreet.com/_profile/previewProfile.asp?advertiser_id=7101)

Dengan moto Harmony in Diversity, Universitas Ma Chung menjadi salah satu contoh Kawah Chandra Dimuka untuk penggodogkan anak-anak muda yang bukan hanya sadar akan potensi diri dan potensi alam Indonesia, tetapi juga menjadi komunitas pembelajar kehidupan bersama dengan semangat inklusivitas.  Kesejahteraan Indonesia dibentuk bukan oleh manusia-manusia cerdik pandai saja tetapi harus memiliki karakter inklusif dan tidak picik oleh warna kulit dan etnis.  Indonesia menghadapi tantangan yang berat dimasa mendatang, ancaman dari masyarakat global.  Globalisasi dan liberalisasi ekonomi menjadikan Indonesia sumber bahan baku sekaligus sumberdaya manusia untuk proses produksi yang murah sekaligus pasar potensial produk-produk global.  Bila manusia Indonesia tidak siap, apalagi masih terkotak karena masih dibutakan oleh kecurigaan etnis, selamanya Indonesia akan menjadi budak pemodal asing.  Sama seperti sejarah telah mencatat, ada masa yang cukup lama Indonesia dijajah oleh perusahaan transnasional yang bernama VOC.  Kita akan terjajah oleh Kumpeni lagi dalam nama-nama lain.  Sudah saatnya saling mencurigai dan saling takut itu hilang, karena lawan kita adalah kekuatan besar yang bersifat global, lawan yang menganggap semua orang tanpa mau tahu asal usul etnisnya sebagai sasaran. Apakah pembauran masih diperlukan?  Bukankah kita harus melangkah lebih jauh lagi? Bersatu dan nyawiji, Bhineka Tunggal Ika yang benar-benar merasuk nurani, tertanam di jiwa setiap orang yang mengaku dirinya “Indonesia”.

MENATAP DAN MENGHADAPI MASA DEPAN
Globalisasi meniadakan sekat manusia.  Globalisasi berperspektif satu dunia adalah satu komunitas.  Gerakan globalisasi tidak lagi memandang perbedaa etnis, suku, agama, atau apapun yang menjadi pembeda satu orang dengan orang yang lain.  Gempuran globalisasi yang menyebar ke seluruh dunia dengan menggunakan berbagai media massa, khususnya televise dan internet, telah merubah wajah dunia.  Satu decade yang lalu, orang Indonesia melihat kebudayaan manca hanya sebatas Barat (Amerika dan Eropa) serta India.  Pada saat ini, gempuran Budaya Jepang dengan gebrakan Harajuku dan sekarang gelombang dari Korea yang disebut dengan Halyu telah mengaburkan budaya anak negeri.  Bukan hanya mode melalui rambut dan fashion, tidak hanya lagak dan gaya laksana Boyband dan Girlband, tetapi sampai budaya dasar seperti gaya makan dan sopan santun.

Gerakan globalisasi yang berangkat pertama dari Inggris pada jaman awal tahun 80-an, yang awalnya adalah gerakan politik ekonomi global, ditandai dengan bermunculannya perusahaan-perusahaan Internasional menggantikan perusahaan Penanaman Modal Asing, dan sekarang telah bertransformasi menjadi perusahaan multinasional (Multi National Corporation – MNC) dan bahkan menjadi perusahaan transnasional (Trans National Corporation).  Strategi terkini untuk menghegemoni (berkuasa) bukan dengan melakukan ekspansi militer tetapi melalui ekspansi ekonomi.

Setelah perusahaan-perusahaan transnasional dari Amerika dan Eropa mengekspansi ke se antero dunia, juga ke Indonesia tentunya, saat ini perusahaan transnasional dari Jepang dan Korea telah menghegemoni di Indonesia.  Sedangkan perusahaan-perusahaan China lebih suka memproduksi di negerinya sendiri karena murahnya tenaga kerja, melakukan ekspansi dengan cara menjual produk semurah mungkin dengan varian barang sebanyak mungkin.  Indonesia tertinggal jauh, karena bukan ikut andil dari perang ekonomi ini tetapi malah cuman menjadi ajang pertempuran dalam bentuk pasar untuk semua produk-produk global tersebut. 

Produk impor atau produk global apa yang tidak ada di Indonesia? Nyaris kalau tidak bisa dikatakan semua jenis produk dengan berbagai merk telah menjajah Indonesia.  Bahkan cengkeramannya telah sangat erat pada hampir setiap insan Indonesia, dan kita tidak sadar atau bahkan bangga terjerat.  Dari bangun sampai tidur lagi kita sudah terjerat produk-produk global. Saat bangun tidur, pasta gigi, sabun, dan shampoo produk siapa yang kita pakai? Saat sarapan, kita sarapan dengan nasi yang ditanak di rice cooker produk siapa, kecapnya siapa? Saat kita berangkat kerja atau berusaha, kita pakai sepatu merka apa, produk siapa, kendaraan yang kita pakai punya siapa? Jangan tanya di tempat kita kerja, hampir semua peralatannya baik piranti keras maupun piranti lunaknya punya siapa.  Saat pulang ke rumah, kita nonton televise produksi siapa, sinetron atau film yang kita tonton produksi siapa? Anak-anak kita jajan produk siapa? Bersih-bersih rumah pakai produk siapa? Silahkan anda cari jawabannya sendiri. Lebih parah lagi, perusahaan nasional menghisap sumberdaya alam dan manusia Indonesia yang bernilai murah dengan mendirikan prabrik-pabrik raksaksa di Indonesia, kemudian menjual barangnya kepada orang-orang-orang Indonesia, tetapi keuntungannya mereka bawa pulang ke negeri mereka.

Kalau ternyata kita masih terjajah dan kita masih mencurigai atau bahkan memiliki ketakutan terhadap teman, tetangga, orang-orang di sekitar kita hanya karena perbedaan warna kulit dan asal usul keturunan, sebaiknya kita berkaca sekarang juga.  Bagaimana kita mau merdeka dari  cengkeraman globalisasi melalui produk-produk perusahaan transnasional tersebut?  Kalau kita tidak bisa bersatu dan nyawiji sampai kapan kita akan tergantung dan tidak menjadi mandiri? Sampai kapan kita sadar kalau kita masih terjajah dan dipecah belah?
Gerakan globalisasi yang ditandai dengan liberalisasi pasar alias pasar bebas.  Pasar yang mendewakan kompetisi terbuka, siapa yang kuat dia yang menang.  Pasar yang bukan hanya menyediakan aliran barang saja tetapi juga aliran jasa dan bahkan aliran budaya secara bebas.  Kita sudah merasakan serangan budaya (pop) sebagai awal serangan ekonomi, karena budaya pop akan membentuk perilaku konsumtif.  Setelah itu baru gelontoran barang masuk secara bertubi-tubi.  Kebutuhan tidak muncul dengan sendirinya, tetapi kebutuhan diciptakan dari keinginan.  Setelahnya, bidang jasa akan masuk menyusul. Bukan hanya jasa yang berhubungan dengan mode, penampilan, atau gaya hidup tetapi lebih mendasar lagi, pendidikan dan kesehatan. Mulai bermunculannya rumah sakit dan sekolah internasional bukan menjadi fenomena aneh di kota-kota besar.  Tetapi ancaman yang lebih besar akan terjadi pada tahun 2015, saat pasar bebas ASEAN dibuka. 

ASEAN-China Free Trade Agreement (ACFTA) kerjasama Negara-negara ASEAN dan Republik Rakyat China sebagai pasar bersama menjdikan Negara-negara di ASEAN menjadi pasar tanpa sekat.  Bukan hanya produk-produk berupa barang dari ASEAN dan China yang akan masuk Indonesia secara bebas, karena saat inipun sudah terjadi banjir produk dari China, dan akan semakin membanjir lagi. Tetapi, bidang jasa akan masuk secara bebas dan besar-besaran di Indonesia.  Sekolah dan Rumah Sakit dari China, Singapura, dan Malaysia akan boleh didirikan dan dijalankan di Indonesia dengan menggunakan Kurikulum mereka sendiri.  Bukan hanya di kota-kota besar, sangat mungkin akan merambah kota-kota yang berpotensi untuk dirambah.

REFLEKSI
Ancaman globalisasi dan pasar bebas sudah ada di depan mata.  Ancaman yang bila kita siapkan diri akan melindas. Kita akan terjajah kembali bukan oleh Eropa atau Amerika atau Jepang atau China tetapi oleh Malaysia dan Singapura atau bahkan Tahiland, Vietnam, Laos, atau Myanmar karena ketakmampuan kita bersaing.  Kalau kita masih saling mencurigai, kalau kita masih saling takut, apa yang dapat mempersatukan kita?  Pembauran, kata yang diciptakan dalam konteks perbedaan seharusnya sudah tidak lagi dipergunakan karena sudah tidak lagi relevan untuk saat ini, apalagi untuk masa mendatang.  Inklusif adalah kata yang paling tepat untuk kita pergunakan untuk menjadi penyederhanaan kata berbeda tetapi satu atau harmoni dalam keberagaman.  Inklusif berarti menjadi satu tanpa sekat dan tanpa perbedaan, satu dalam kebersamaan.

Tetapi, sebenarnya kita telah memiliki nilai dan istilah kita sendiri yan lebih hebat.  Istilah yang telah ada sejak jaman nenek moyang kita, sejak jaman Majapahit. Bhineka Tunggal Ika Tan Hanna Dharmma Mangrwa, sebuah petuah bijak yang ditulis oleh Mpu Tantular dalam Kitab Sutasoma.  Kata-kata yang bahkan tergantung di kaki Sang Garuda Pancasila, lambang bangsa kita.  Menggapa kita harus mereduksinya lagi atau bahkan mengingkarinya dengan alasan curiga dan takut karena berbeda?  Kecurigaan dan ketakutan satu dengan yang lain yang diciptakan dan dikondisikan oleh kaum imperialis.

Sudah saatnya kita kembali lagi pada kata-kata sakti yang dipercaya oleh nenek moyang kita dan telah dimeteraikan oleh para pendiri bangsa ini.  Bukan dengan perkataan dan tulisan tetapi dalam perbuatan nyata, dalam langkah gerak kita sehari-hari.  Indonesia harus bersatu tanpa memandang etnis, suku, dan agama.  Indonesia yang bersatu, Indonesia yang satu.  Bhineka Tunggal Ika…..



REFERENSI






Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia



1 komentar:

Unknown mengatakan...

KAMI SEKELUARGA TAK LUPA MENGUCAPKAN PUJI SYUKUR KEPADA ALLAH S,W,T
dan terima kasih banyak kepada AKI atas nomor togel.nya yang AKI
berikan 4 angka [7273] alhamdulillah ternyata itu benar2 tembus AKI.
dan alhamdulillah sekarang saya bisa melunasi semua utan2 saya yang
ada sama tetangga.dan juga BANK BRI dan bukan hanya itu AKI. insya
allah saya akan coba untuk membuka usaha sendiri demi mencukupi
kebutuhan keluarga saya sehari-hari itu semua berkat bantuan AKI..
sekali lagi makasih banyak ya AKI… bagi saudara yang suka main togel
yang ingin merubah nasib seperti saya silahkan hubungi KI JAYA WARSITO,,di no (((085-342-064-735)))
insya allah anda bisa seperti saya…menang togel 870 JUTA , wassalam.


dijamin 100% jebol saya sudah buktikan...sendiri....







Apakah anda termasuk dalam kategori di bawah ini !!!!


1"Dikejar-kejar hutang

2"Selaluh kalah dalam bermain togel

3"Barang berharga anda udah habis terjual Buat judi togel


4"Anda udah kemana-mana tapi tidak menghasilkan solusi yg tepat


5"Udah banyak Dukun togel yang kamu tempati minta angka jitunya
tapi tidak ada satupun yang berhasil..







Solusi yang tepat jangan anda putus asah... KI JAYA WARSITO akan membantu
anda semua dengan Angka ritual/GHOIB:
butuh angka togel 2D ,3D, 4D SGP / HKG / MALAYSIA / TOTO MAGNUM / dijamin
100% jebol
Apabila ada waktu
silahkan Hub: KI JAYA WARSITO DI NO: [[[085-342-064-735]]]


ANGKA RITUAL: TOTO/MAGNUM 4D/5D/6D


ANGKA RITUAL: HONGKONG 2D/3D/4D/



ANGKA RITUAL; KUDA LARI 2D/3D/4D/



ANGKA RITUAL; SINGAPUR 2D/3D/4D/



ANGKA RITUAL; TAIWAN,THAILAND



ANGKA RITUAL: SIDNEY 2D/3D/4D



DAN PESUGIHAN TUYUL