Selasa, 03 Juni 2014

Sewindu Sudah Lumpur Lapindo




 Kamis, 29 Mei 2014, sudah 8 tahun atau sewindu Lumpur Lapindo menenggelamkan dan memberikan penderitaan bagi rakyat Porong.  Ada serangkaian acara untuk melawan lupa akan bencana industry yang terjadi serta menjaga nyala api perlawanan terhadap perilaku Lapindo yang tidak bertanggungjawab.  Acara yang dipusatkan di Tanggul Siring mulai dari instalasi patung oleh Dadang Kristianto untuk mengingatkan pada penderitaan rakyat Porong sampai penandatangan Pakta Politik antara rakyat korban Lapindo dengan calon Presiden Joko Widodo. 
Keriuh rendahan acara tidak selamanya menjadi cara untuk melawan lupa.  Kegiatan berbeda dilakukan oleh kawan-kawan dari Sanggar Al Faz yang dulunya berada di Desa Besuki bagian timur.  Sanggar Al Faz bereinkarnasi kembali di Desa Pangreh Kecamatan Jabon, di kompleks perkampungan yang lebih dikenal sebagai Kaplingan Besuki, dekat dengan SMK Negeri Jabon.  Bertepatan dengan peringatan 8 tahun Lumpur Lapindo dilaksanakan acara Selamatan Lebon (masuk) Sanggar untuk menandai secara resmi aktivitas Sanggar Al Faz.  Sebelum selamatan dilaksanakan Diskusi Publik dengan thema “Dibalik Dongeng Timus Mas” dengan narasumber Henry Nurcahyo, seorang penulis dan budayawan serta pegiat lingkungan dari Surabaya.

Diskusi Publik
Di luar acara hingar bingar di Tanggul Siring dalam rangka memperingati 8 tahun semburan Lumpur Lapindo, Sanggar Al Faz menggelar Diskusi Publik “Dibalik Dongeng Timun Mas”.  Diskusi yang menghadirkan Henry Nurcahyo, seorang penulis, budayawan, dan pegiat lingkungan dari Surabaya dan dimoderatori oleh Rere Pilot, pendamping korban yang juga adalah korban lumpur lapindo dari Desa Reno Kenongo.  Diskusi yang dihadiri oleh kurang lebih 30an orang cukup menarik karena menguak dongeng Timun Mas.  Dongeng yang menceritakan perlawanan seorang anak kecil melawan raksaksa yang akhirnya dimenangkan oleh sang anak dengan menenggelamkan sang raksaksa di sebuah kubangan lumpur.
Dongeng sebagaimana umumnya adalah salah satu alat perlawanan rakyat terhadap kesewenangan penguasa.   Pada Dongeng Timun Mas, Rakyat kecil diwakili oleh anak kecil yang tidak berdaya, sedangkan penguasa yang lalim digambarkan oleh bentuk raksaksa jahat dan serakah.  Dongeng juga bersifat multi tafsir, tergantung pada konteks tempat dan waktu penuturannya.  Tetapi, Dongeng akan sangat kuat untuk menginternalisasi keadaan pada saat ini, khususnya sebagai sarana edukasi dan advokasi.  Apalagi bila dongeng diinternalisasikan dengan mengolaborasikannya dengan gerak budaya lain untuk melawan ketidakadilan.  Dalam konteks Lumpur Lapindo, dongeng, khususnya Dongeng Timun Mas merupakan alat edukasi dan advokasi yang kuat untuk melawan lupa pada kengerian luapan lumpur lapindo dan sekaligus menjaga api semangat melawan kesewenangan korporasi yang bernama Lapindo Brantas.
Acara diskusi ditutup oleh pembacaan puisi karya Henry Nurcahyo yang memiliki korelasi kuat dengan peristiwa semuran Lumpur Lapindo.  Bukan hanya narasumber, salah seorang anak Sanggar Al Faz bernama Fika turut juga menyumbangkan puisi tentang ngerinya Lumpur Lapindo dan getirnya hidup yang diakibatkannya.  Tidak sampai di situ, Daris salah seorang pegiat Sanggar Al Faz yang juga putri dari pendiri sanggar meminta pada peserta diskusi public untuk menuliskan puisi terkait 8 tahun Lumpur Lapindo.  Walau tidak semua dapat menulis puisi dengan baik, tetapi kumpulan puisi dapat didokumentasi bukan sekedar untuk pengingat dan penanda tetapi juga sebagai sarana menjaga api perlawanan terhadap Lapindo yang tidak akan kunjung padam.

Selamatan Sanggar
Bersamaan dengan peringatan 8 tahun Semburan Lumpur Lapindo kali ini, tepat pada tanggal 29 Mei 2014, di sore yang terasa panas, Sanggar Al Faz Besuki yang telah rata dengan tanah bereinkarnasi di Desa Pangreh, Kecamatan Jabon.  Terletak di halan rumah salah satu pegiat sanggar, Cak Rokim, di tengah Kampong Kaplingan Korban Lumpur Lapindo dari Desa Besuki dekat SMK Jabon, Sanggar Al Faz kembali berdiri.  Ditandai dengan lantunan doa berisi harapan, Sanggar Al Faz Pangreh berdiri dan beraktivitas kembali.  Aktivitas yang mengedukasi bahkan advokasi untuk melawan dan menuntut hak-hak rakyat yang dihilangkan dan ditenggelamkan oleh ganasnya Lumpur Lapindo.  Bahkan, menjadi salah satu tempat untuk belajar, belajar untuk memberdayakan diri sendiri, belajar untuk mengorganisir diri bagi kawan-kawan dari berbagai tempat untuk melawan demi memperjuangkan hak-haknya yang dirampaas oleh kejam dan rakusnya korporasi.
Sanggar Al Faz Pangreh bukanlah pengganti sanggar yang ada di Desa Besuki, karena sanggar di Desa Besuki tetap merupakan pusat perlawanan dan tidak akan pernah diganti apalagi dilupakan.  Sanggar di Desa Pangreh maupun yang ada di tempat lain, akan menjadi pancaran sinar dari Sanggar Al Faz Besuki.  Sinar yang berspora yang memantul di banyak tempat.  Bukan pula cabang, karena Sanggar-Sanggar Al Faz di Pangreh dan diberbagai tempat yang lain didirikan oleh Rakyat Korban Lumpur Lapindo dari Desa Besuki yang dipaksa berdiaspora oleh kejamnya Lumpur Lapindo hasil karya Lapindo Brantas.  Sanggar Al Faz Besuki tetaplah Sanggar Al Faz adalah Sang Matahari Perlawanan, sedangkan Sanggar-Sanggar Al Faz di tempat-tempat lain adalah pancaran dan pantulan sinar Sang Matahari Perlawanan.   
Sanggar Al Faz Pangreh bukanlah pancaran Matahari Perlawanan Al Faz yang pertama, pasti akan diikuti oleh pancaran matahari di berbagai tempat.  Bahkan, ruh perlawanan yang dihidupi oleh sinar matahari perlawanan dari Besuki telah menghidupi api semangat banyak kawan di berbagai tempat.  Ruh yang menghidupi api peralwanan terhadap kesewenangan dan kekejaman dari korporasi yang bernama Lapindo Brantas.  Bahkan telah juga menjadi sumber semangat dan inspirasi dari berbagai kawan di berbagai tempat untuk melawan kerasukan dan keserakahan korporasi yang menghancurkan alam dan kehidupan.


Sedikit Jengah yang Tersisa
Bersamaan dengan peringatan 8 tahun Semburan Lumpur Lapindo, terjadi peristiwa politik yang cukup menarik perhatian banyak pihak.  Pada tanggal yang sama dengan tanggal menyemburnya Lumpur Lapindo 8 tahun yang lalu, ditandatangi “Kontrak Politik” antara Joko Widodo (Jokowi) sebagai salah satu Capres pada Pilplres 9 Juli 2014 mendatang dengan Rakyat Korban Lumpur Lapindo.  Sebuah peristiwa yang sebenarnya dinanti-nanti oleh Rakyat Korban Lumpur yang menanti harapan pada Penguasa Rezim yang dapat menyelesaikan masalah Lumpur Lapindo.  Setelah 8 tahun tidak terlalu diperhatikan oleh Penguasa kecuali penanggulan dan mekanisma jual beli sebagai ganti rugi, tidak dihitung kehilangan-kehilangan nirbenda, seakan-akan hanya menjadi komoditas yang diperjualbelikan.  Kontrak Politik dengan Jokowi menjadi harapan baru untuk memperoleh hak-hak yang hilang.
Sayang seribu saying, acara yang seharusnya menjadi pesta awal kemenangan Rakyat Korban Lumpur Lapindo menjadi tidak terlalu terasa.  Bukan karena Jokowi tidak serius, tetapi karena menjadi acara public, kedatangan pendukung dan “fans” Jokowi malah menjauhkan Jokowi dengan komponen Rakyat Korban Lumpur Lapindo.  Rakyat Korban tersisihkan bukan karena tidak diperhatikan, tetapi terpinggirkan oleh besarnya antusias Jokowi Mania yang merangsek sampai ke dekat tempat penandatanganan kontrak politik tersebut. Memang Jokowi bukan milik Rakyat Korban Lumpur Lapindo saja, Jokowi sudah menjadi milik rakyat pada umumnya, tetapi sedikit jengah terjadi.  Pesta kemenangan awal yang digadang-gadang menjadi bercampur baur dengan pesta rakyat.  Akibatnya, Rakyat Korban Lumpur Lapindo merasa sedikit terabaikan dan tersisihkan, walau bangga dan harapan tetapi digantungkan pada sosok Jokowi sebagai Calon Presiden Republik Indonesia selanajutnya.
Semoga sedikit jengah ini cukuplah selesai pada hari itu bersamaan dengan bergantinya hari.  Semoga harapan yang digantungkan pada Jokowi Sang Capres Rakyat ini tidak kemudian layu bersamaan dengan bergulirnya waktu.  Semoga doa-doa yang selalu dipanjatkan untuk mendapatkan kembali hak-hak dan kedamaian hidup Rakyat Korban Lumpur Lapindo dapat segera terkabul bersama datangnya hari kemenangan Jokowi Sang Capres Rakyat.  Rakyat hanya bisa menanti dan berharap, semoga fajar baru yang penuh kebahagiaan dan suka cita serta damai sentausa kembali datang di atas Tanah Porong.

Malang 03 Juni 2014, di sore hari yang mendung
Daniel S. Stephanus  


Tidak ada komentar: