SERI 1: TRIPLE BOTTOM LINE, SEBUAH PENGANTAR
ABSTRAKS
Bisnis
dan aktivitas ekonomi dari sebuah entitas pada umumnya bertujuan untuk
memperoleh keuntungan dan menginginkan pertumbuhan ekonomi untuk meningkatkan
nilai entitasnya. Seringkali, dengan
menjadikan keuntungan dan pertumbuhan sebagai tujuan menjadikan entitas ekonomi
akan menghalalkan segala cara seperti mengeksploitasi tenaga kerja dan
mengabaikan kelestarian lingkungan di sekitarnya bahkan mengorbankan konsumen
sebagai sumber pendapatannya.
Konsep
Tripple Bottom Line (People, Planet, and Profit) merupakan
konsep bisnis dan aktivitas ekonomi yang berbeda. Pertama, mengedepankan konsep pemberdayaan
masyarakat baik karyawan, konsumen, maupun masyarakat secara umum menjadikan
entitas ekonomi berorientasi untuk mengedukasi dan mengadvokasi manusia sebagai
factor utama menjaga pertumbuhan dan kelanjutan usaha yang manusiawi. Bila
masyarakat teredukasi dengan produk yang berkualitas apalagi dengan harga
terjangkau, dijamin kesetiaan konsumen pada produk dan perusahaan akan
terjaga. Di sisi lain, karyawan yang
teredukasi dengan baik akan menciptakan tenaga kerja yang mumpuni untuk
memproduksi produk yang bermutu sekaligus efisien dalam biaya.
Kedua,
entitas ekonomi menjadikan kelestarian alam sebagai dasar untuk bukan hanya
menjaga keberlanjutan bahan baku dan energy, tetapi benar-benar menjaga
lestarinya planet Bumi sebagai satu-satunya tempat hidup manusia. Bahan baku dan energy yang lestari akan
menjamin kelangsungan usaha entitas ekonomi dalam jangka panjang sekaligus
menjadikan bumi sebagai tempat tinggal yang nyaman dan asri. Bukan hanya memperhatikan bahan baku dan
energy, tetapi polusi dan sampah yang dihasilkan oleh perusahaan hendaknya
ramah lingkungan dan memiliki dampak yang sangat kecil bagi lingkungan.
Bila
manusia sudah berdaya dan planet tetap lestari, profit atau keuntungan akan datang
dengan sendirinya baik keuntungan yang dinikmati oleh manajemen sebagai agen
pengelola entitas maupun investor sebagai pemilik entitas ekonomi tersebut. Jadi, keuntungan atau profit bukanlah menjadi
tujuan pertama dan utama, tetapi menjadi dampak dari kinerja perusahaan yang
baik dan bertanggung jawab. Keuntungan
yang akan bersifat jangka panjang dan berkesinambungan (going concern).
PENDAHULUAN
Isu lingkungan hidup menjadi agenda
penting masyarakat internasional di forum regional dan multilateral sejak tahun
1972 setelah pelaksanaan konferensi internasional tentang Human Environment di
Stockholm, Swedia dan KTT Bumi di Rio de Jeneiro, Brazil tahun 1992. Sejak saat
itu, masyarakat internasional menilai bahwa perlindungan lingkungan hidup
menjadi tanggung jawab bersama dan perlindungan lingkungan hidup tidak terlepas
dari aspek pembangunan ekonomi dan sosial (Nuraini, 2010).
Planet,
People, and Profit atau
yang di Ilmu Akuntansi lazim disebut dengan Triple
Bottom Line merupakan pemikiran yang sudah berkembang cukup lama di
Eropa. Pemikiran tentang bisnis yang
berkelanjutan (sustainable business)
yang mengedepankan kelestarian alam (planet)
sebagai sumber dari semua sumber daya, kesejahteraan masyarakat atau manusia (people), dan memperoleh laba (profit) yang memadai untuk kelangsungan
hidup perusahaan.
Gray, dkk., (1995) menyatakan bahwa tanggung jawab sosial dan
lingkungan merupakan tanggung jawab dunia bisnis untuk menjadi akuntabel
terhadap seluruh stakeholder, bukan hanya kepada stockholder saja.
Dengan pelaporan pelaksanaan tanggung jawab sosial dan lingkungan dalam
laporan tahunan perusahaan ini diharapkan perusahaan memperoleh legitimasi atas
peran social dan kepedulian lingkungan yang telah dilakukan oleh perusahaan
tersebut, sehingga perusahaan akan memperoleh dukungan dari masyarakat,
dankelangsungan hidup perusahaan dapat diperoleh.
Prior,
dkk., (2008) menyatakan
bahwa tanggung jawab sosial dan lingkungan perusahaan dalam laporan tahunan
dapat digunakan oleh manajer sebagai alat untuk mengamankan kedudukannya. Hal
tersebut digunakan oleh manajer untuk mengalihkan perhatian stakeholder dari
monitoring aktivitas manajemen laba yang mereka lakukan. Hal ini dapat
terjadi karena manajemen memiliki informasi yang lebih banyak dari pada pihak
berkepentingan lainnya sebagaimana dijelaskan dalam agency theory (teori
keagenan).
Konsep The Triple Bottom Line
Elkington (1997) menjelaskan konsep Triple
Bottom Line digunakan sebagai landasan prinsipal dalam aplikasi program Corporate
Social Responsibility pada sebuah perusahaan. Tiga kepentingan yang menjadi
satu ini merupakan garis besar dan tujuan utama tanggung jawab sosial sebuah
perusahaan.
1. Profit (Keuntungan)
Keuntungan merupakan unsur terpenting dan
menjadi tujuan utama dari setiap kegiatan usaha. Keuntungan sendiri pada
hakikatnya merupakan tambahan pendapatan yang dapat digunakan untuk menjamin
kelangsungan hidup perusahaan.
2. People (Masyarakat)
Menyadari bahwa masyarakat sekitar perusahaan
merupakan salah satu stakeholder penting bagi perusahaan karena dukungan
masyarakat sekitar sangat diperlukan untuk keberadaan, kelangsungan hidup dan
perkembangan perusahaan. Perusahaan perlu berkomitmen untuk berupaya memberikan
manfaat sebesar-besarnya kepada masyarakat. Selain itu, operasi perusahaan
berpotensi memberikan dampak kepada masyarakat sekitar. Tanggung jawab sosial
perusahaan didasarkan pada keputusan perusahaan tersebut tidak bersifat paksaan
atau tuntutan masyarakat sekitar. Untuk memperkokoh komitmen dalam tanggung
jawab sosial diperlukan pandangan menganai Corporate Social Responsibility.
Melalui kegiatan sosial perusahaan maka itu dapat dikatakan melakukan investasi
masa depan dan timbal baliknya masyarakat juga akan ikut serta menjaga
eksistensi perusahaan.
3. Planet (Lingkungan)
Lingkungan merupakan sesuatu
yang terkait dengan seluruh bidang kehidupan perusahaan. Hubungan perusahaan
dan lingkungan adalah hubungan sebab akibat yaitu jika perusahaan merawat
lingkungan maka lingkungan akan bermanfaat bagi perusahaan. Sebaliknya jika
perusahaan merusak lingkungan maka lingkungan juga akan tidak memberikan manfaat
kepada perusahaan. Dengan demikian, penerapan konsep Triple Bottom Line yakni
profit, people, dan planet sangat diperlukan sebuah perusahaan
dalam menjalankan operasinya. Sebuah perusahaan tidak hanya keuntungan saja
yang dicari melainkan juga memperdulikan masyarakat dan lingkungan sekitar
perusahaan.
TEORI-TEORI
YANG MENDASARI TRIPLE BOTTOM LINE
Teori Legitimasi (Legitimacy Theory)
Teori legitimasi berasal dari konsep
legitimasi organisasi yang diungkapkan oleh Dowling & Pfeffer (1975) yang
mengungkapkan bahwa legitimasi adalah sebuah kondisi atau status yang ada
ketika sistem nilai entitas kongruen dengan sistem nilai masyarakat yang lebih
luas di tempat entitas tersebut berada. Ketika terjadi suatu perbedaan, baik
yang nyata atau berpotensi muncul di antara kedua sistem nilai tersebut, maka
akan muncul ancaman terhadap legitimasi entitas. Sesuai dengan yang dinyatakan
O’Donovan (2002) bahwa legitimasi merupakan gagasan agar sebuah organisasi
dapat terus beroperasi dengan sukses, maka organisasi tersebut harus bertindak
sesuai aturan yang diterima secara luas oleh masyarakat. Deegan (2004)
menyatakan bahwa teori legitimasi adalah sebagai, “Teori
yang menyatakan bahwa organisasi secara berkelanjutan mencari cara untuk
menjamin operasi mereka berada dalam batas dan norma yang berlaku di
masyarakat. Suatu perusahaan akan secara sukarela melaporkan aktivitasnya jika
manajemen menganggap bahwa hal ini adalah yang diharapkan komunitas”.
Ghozali & Chariri (2007) menyatakan
bahwa hal yang mendasari teori legitimasi adalah kontrak sosial antar
perusahaan dan masyarakat di tempat perusahaan beroperasi dan menggunakan
sumber ekonomi. Jadi, setiap perusahaan memiliki kontrak implisit dengan
masyarakat untuk melakukan aktivitasnya berdasarkan nilai-nilai yang dijunjung
di dalam masyarakat. Apabila perusahaan bertindak memenuhi kontrak implisit
maka masyarakat akan mendukung keinginan perusahaan tersebut. Ahmad, dkk.,
(2004) menyatakan bahwa pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan merupakan
salah satu mekanisma yang dapat digunakan untuk mengomunikasikan perusahaan
dengan masyarakat, dan merupakan salah satu cara untuk memperoleh keuntungan
atau memperbaiki legitimasi perusahaan. Praktik dan pengungkapan tanggung jawab
sosial akan dianggap sebagai cara bagi perusahaan untuk tetap menyelaraskan
diri dengan norma-norma dalam masyarakat. Dengan demikian, perusahaan
disarankan untuk mengungkapkan kinerja lingkungan sehingga mendapatkan reaksi
positif dari lingkungan dan memperoleh legitimasi atas usahanya.
Perusahaan yang melakukan kinerja
lingkungan dan pengungkapan tanggung jawab sosial diharapkan dapat meningkatkan
keuntungan perusahaan di masa yang akan datang. Menurut Saidi (2004),
teori legitimasi adalah suatu kondisi atau status, yang ada ketika suatu sistem
nilai perusahaan kongruen dengan sistem nilai dari system sosial yang lebih
besar di mana perusahaan merupakan bagiannya. Ketika suatu perbedaan yang nyata
atau potensial ada antara kedua sistem nilai tersebut, maka akan muncul ancaman
terhadap legitimasi perusahaan.
O’Donovan (2002) mendefinisikan legitimasi sebagai, “Legitimacy
theory as the idea that in order for an organization to continue operating
successfully, it must act in a manner that society deems socially acceptable.”
Barkemeyer (2007) menyatakan
legitimasi sebagai, “Legitimacy is sought by organisations as it affects
understanding and actions of people towards the organization. People perceive a
legitimate organisation as “… more trustworthy.” Lebih lanjut Barkemeyer (2007) memberikan
definisi mengenai organizational legitimacy sebagai, “Legitimacy is a generalized perception or
assumption that the actions of an entity are desirable, proper, or appropriate
within some socially constructed system of norms, values, beliefs, and
definitions.”
Jadi, legitimasi adalah suatu tindakan
atau perbuatan hukum yang berlaku, peraturan yang ada, baik peraturan hukum
formal, etnis, adat-istiadat, maupun hukum kemasyarakatan yang sudah lama
tercipta secara sah. Batasan-batasan yang ditekankan oleh norma-norma dan
nilai-nilai sosial serta reaksi terhadap batasan tersebut mendorong pentingnya
analisis perilaku organisasi dengan memerhatikan lingkungan. Ghozali &
Chariri (2007) menyatakan bahwa salah satu dari sekian banyak faktor yang
dimasukkan oleh para peneliti sebagai motif dibalik pengungkapan tanggung jawab
sosial dan lingkungan perusahaan adalah keinginan untuk melegitimasi operasi
organisasi. Legitimasi merupakan sebuah pengakuan akan legalitas sesuatu. Suatu
legitimasi organisasi dapat dikatakan sebagai manfaat atau sumber potensial
bagi perusahaan untuk bertahan hidup (O’Donovan, 2002).
Legitimasi organisasi dapat dipandang
sebagai sesuatu yang diberikan oleh masyarakat kepada perusahaan dan sesuatu
yang diinginkan atau dicari perusahaan dari masyarakat. Kedudukan perusahaan
sebagai bagian dari masyarakat ditunjukkan dengan operasi perusahaan yang
seringkali memengaruhi masyarakat sekitarnya. Eksistensinya dapat diterima sebagai
anggota masyarakat, sebaliknya eksistensinya pun dapat terancam bila perusahaan
tidak dapat menyesuaikan diri dengan norma yang berlaku dalam masyarakat
tersebut atau
bahkan merugikan anggota komunitas
tersebut.
Gray, dkk., (1995) juga menyatakan bahwa organisasi atau perusahaan
akan berlanjut keberadaannya jika masyarakat menyadari bahwa organisasi
beroperasi untuk sistem nilai yang seiring dengan sistem nilai masyarakat itu
sendiri. Teori legitimasi menganjurkan perusahaan untuk meyakinkan bahwa aktivitas
dan kinerjanya dapat diterima oleh masyarakat. Hal ini akan mendorong
perusahaan melalui top manajemennya akan mencoba memperoleh kesesuaian
antara tindakan organisasi dan nilai-nilai dalam masyarakat umum dan publik
yang relevan dengan stakeholder.
Teori legitimasi didasarkan pada
pengertian kontrak sosial yang diimplikasikan antara institusi sosial dan
masyarakat (Ahmad & Sulaiman, 2004). Teori legitimasi dibutuhkan oleh
institusi-institusi untuk mencapai tujuan agar kongruen dengan masyarakat luas.
Menurut Gray, dkk., (1996)
dasar pemikiran teori legitimasi adalah organisasi atau perusahaan akan terus
berlanjut keberadaannya jika masyarakat menyadari bahwa perusahaan tersebut
beroperasi untuk sistem nilai yang sepadan dengan system nilai masyarakat itu
sendiri.
Perusahaan menggunakan laporan
keuangan tahunan untuk menggambarkan akuntabilitas atau tanggung jawab
manajemen terhadap perusahaan dan kesan tanggung jawab sosial dan lingkungan,
sehingga perusahaan yang bersangkutan diterima oleh masyarakat. Teori
legitimasi menganjurkan perusahaan untuk meyakinkan bahwa aktivitas dan
kinerjanya dapat diterima oleh masyarakat. Dengan adanya penerimaan dari
masyarakat tersebut diharapkan nilai perusahaan dapat meningkat sehingga berdampak
pula pada peningkatan laba perusahaan. Hal ini juga dapat mendorong dan
membantu investor dalam melakukan pengambilan keputusan investasi.
Ghozali & Chariri (2007)
menjelaskan bahwa teori legitimasi sangat bermanfaat dalam menganalisis
perilaku organisasi, karena teori legitimasi adalah hal yang paling penting
bagi organisasi. Teori legitimasi juga memberikan perspektif yang komprehensif
pada pengungkapan tanggung jawab sosial dan lingkungan perusahaan. Teori ini
secara eksplisit mengakui bahwa bisnis dibatasi oleh kontrak sosial yang
menyebutkan bahwa perusahaan harus dapat menunjukkan berbagai aktivitasnya agar
perusahaan memperoleh penerimaan masyarakat yang pada gilirannya akan menjamin
kelangsungan hidup perusahaan (Reverte, 2008). Lindblom (1994) menyatakan bahwa
teori legitimasi adalah suatu kondisi atau status yang ada ketika suatu sistem
nilai perusahaan kongruen dengan sistem nilai dari sistem sosial yang lebih
besar di mana perusahaan merupakan bagiannya. Hal ini menyebabkan munculnya
ancaman terhadap legitimasi perusahaan ketika terjadi perbedaan yang nyata atau
potensial antara kedua sistem nilai tersebut. Sehingga, dengan
melakukanpengungkapan tanggung jawab sosial dan lingkungan, perusahaan akan
merasa bahwa keberadaan dan aktivitasnya terlegitimasi.
Meskipun perusahaan memiliki kebijakan
operasi dalam batasan institusi, kegagalan perusahaan dalam menyesuaikan diri
dengan norma ataupun adat yang diterima masyarakat, akan mengancam legitimasi
serta sumber daya perusahaan, yang pada akhirnya akan mengancam kelangsungan
hidup perusahaan (Reverte, 2008). Praktik- praktik tanggung jawab sosial dan
pengungkapan social (corporate social and environmental disclosure (CSED))
yang dilakukan perusahaan dapat dipandang sebagai suatu usaha untuk memenuhi
harapanharapan
masyarakat terhadap perusahaan.
Aktivitas tanggung jawab sosial dan lingkungan perusahaan diharapkan dapat
meningkatkan hubungan antara pemegang saham, supplier, kreditur, dan
pihak yang berkepentingan lainnya atau dengan kata lain, kinerja ekonomi dan
keuangan sebuah entitas memiliki hubungan positif dengan pengungkapan tanggung
jawab sosialnya (Hasibuan, 2001). Hal ini berarti pengungkapan tanggung jawab
sosial dan lingkungan perusahaan merupakan salah satu mekanisma yang dapat
digunakan untuk mengkomunikasikan perusahaan dengan stakeholders.
Gray, dkk., (1995) mengatakan bahwa informasi yang diungkapkan kepada stakehoder
merupakan legitimasi tanggung jawab sosial dan lingkungan yang telah
dilakukan perusahaan. Manajer yang terlibat manajemen laba cenderung menyadari
bahwa pengungkapan lingkungan dengan sukarela (voluntary corporate social
and environmental disclosure) dapat digunakan untuk mempertahankan
legitimasi organisasional, terutama pada pihak terkait dengan politik dan
sosial dan untuk mengalihkan perhatian stakeholder terhadap pendeteksian
manajemen laba. CSED merupakan jalan masuk yang digunakan beberapa organisasi
untuk memperoleh keuntungan atau memperbaiki legitimasi (Ahmad & Sulaiman,
2004). Karena itu, teori legitimasi merupakan salah satu teori yang mendasari
pengungkapan tanggung jawab sosial dan lingkungan perusahaan untuk mendapatkan
nilai positif dan legitimasi dari masyarakat.
Teori legitimasi juga dapat digunakan
untuk menjelaskan keterkaitan mekanisma corporate governance dan
profitabilitas terhadap pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan.
Mekanisma corporate governance dan profitabilitas memberikan keyakinan
perusahaan untuk melakukan pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan.
Dengan mekanisma corporate governance dan profitabilitas yang mencukupi,
perusahaan tetap akan mendapatkan keuntungan positif, yaitu mendapatkan
legitimasi dari masyarakat yang pada akhirnya akan
berdampak meningkatnya keuntungan
perusahaan di masa yang akan datang.
Gray, dkk., (1995) juga menjelaskan bahwa pengungkapan tanggung jawab
sosial dan lingkungan merupakan bagian dari pengungkapan laporan keuangan. Ada banyak
studi yang menguji lebih lanjut informasi sosial yang dihasilkan oleh
perusahaan, dan menemukan bahwa informasi lingkungan merupakan salah satu
bagian dari informasi tersebut. Walaupun tidak bersifat wajib, banyak
perusahaan yang secara sukarela melakukan pengungkapan tanggung jawab sosial
dan lingkungan (voluntary social and environmental disclosures). Voluntary
social and environmental disclosures banyak dilakukan perusahaan dalam
rangka menjaga reputasi perusahaannya dan perusahaan bisa tetap survive serta
terhindar dari berbagai bentuk penolakan dari masyarakat. Di dalam teori
legitimasi (legitimacy theory) dipaparkan jawaban-jawaban yang mendukung
mengapa perusahaan harus mengungkapkan tanggung jawab sosial dan lingkungannya
.
Teori Stakeholder (Stakeholder
Theory)
Konsep tanggung jawab sosial perusahaan telah
mulai dikenal sejak awal 1970, yang secara umum dikenal dengan stakeholder
theory artinya sebagai kumpulan kebijakan dan praktik yang berhubungan
dengan stakeholder, nilai-nilai, pemenuhan ketentuan hukum, penghargaan
masyarakat dan lingkungan, serta komitmen dunia usaha untuk berkontribusi dalam
pembangunan secara berkelanjutan. Stakeholder theory dimulai dengan
asumsi bahwa nilai secara eksplisit dan tak dipungkiri merupakan bagian dari kegiatan
usaha (Freeman dkk., 2004).
Teori stakeholder mengatakan bahwa
perusahaan bukanlah entitas yang hanya beroperasi untuk kepentingannya sendiri,
namun harus memberikan manfaat bagi stakeholder (pemegang saham,
kreditor, konsumen, supplier, pemerintah, masyarakat, analis dan pihak
lain). Dengan demikian, keberadaa suatu perusahaan sangat dipengaruhi oleh
dukungan yang diberikan oleh stakeholder kepada perusahaan tersebut (Ghozali
& Chariri, 2007). Deegan (2004) menyatakan bahwa stakeholder theory adalah
“Teori yang menyatakan bahwa semua stakeholder memunyai hak memperoleh
informasi mengenai aktivitas perusahaan yang dapat memengaruhi pengambilan
keputusan mereka. Para stakeholder juga dapat memilih untuk tidak
menggunakan informasi tersebut dan tidak dapat memainkan peran secara langsung
dalam suatu perusahaan.”
Budimanta, Prasetijo, & Rudito (2008)
menyatakan bahwa terdapat dua bentuk dalam pendekatan stakeholder yaitu old-corporate
relation dan new-corporate relation. Old-corporate
relation menekankan pada bentuk pelaksanaan aktivitas perusahaan secara
terpisah, yang menunjukkan bahwa tidak terdapat kesatuan di antara fungsi dalam
sebuah perusahaan ketika melakukan pekerjaannya. Hubungan perusahaan dengan
pihak di luar perusahaan juga bersifat jangka pendek dan hanya sebatas hubungan
transaksional saja tanpa ada kerjasama untuk menciptakan kebermanfaatan
bersama. Pendekatan old-corporate relation ini dapat menimbulkan konflik
karena perusahaan memisahkan diri dengan para stakeholder baik yang berasal
dari dalam perusahaan dan dari luar perusahaan. Sedangkan, pendekatan new-corporate
relation menekankan kolaborasi antara perusahaan dengan seluruh stakeholder
sehingga perusahaan bukan hanya menempatkan dirinya sebagai bagian yang
bekerja secara sendiri dalam sistem sosial masyarakat. Hubungan perusahaan
dengan stakeholder di dalam perusahaan dibangun berdasarkan konsep
kebermanfaatannya yang membangun kerjasama dalam menciptakan kesinambungan
usaha perusahaan, sedangkan hubungan dengan stakeholder di luar
perusahaan didasarkan pada hubungan yang bersifat fungsional yang bertumpu pada
kemitraan. Perusahaan selain menghimpun kekayaan juga berusaha bersama-sama
membangun kualitas kehidupan dengan stakeholder di luar perusahaan.
Tunggal (2008) menyatakan
bahwa teori stakeholder dapat dilihat dalam tiga pendekatan.
1. Deskriptif
Pendekatan deskriptif pada
intinya menyatakan bahwa, stakeholder secara sederhana merupakan
deskripsi yang realitas mengenai bagaimana sebuah perusahaan beroperasi. Teori stakeholder
dalam pendekatan deskriptif, bertujuan untuk memahami bagaimana manajer
menangani kepentingan stakeholder dengan tetap menjalankan kepentingan
perusahaan. Manajer dituntut untuk mengarahkan energi mereka terhadap seluruh
pemangku kepentingan, tidak hanya terhadap pemilik perusahaan saja.
2. Instrumental
Teori stakeholder dalam
pendekatan instrumental menyatakan bahwa, salah satu strategi pihak manajemen
perusahaan untuk menghasilkan kinerja perusahaan yang lebih baik adalah dengan
memperhatikan para pemangku kepentingan. Hal ini didukung oleh bukti empiris
yang diungkapkan oleh Lawrence & Weber (2008), yang menunjukkan bahwa
setidaknya lebih dari 450 perusahaan yang menyatakan komitmennya terhadap
pemangku kepentingan dalam laporan tahunnya memiliki kinerja keuangan yang
lebih baik dibandingkan dengan perusahaan yang tidak memiliki komitmen.
Pendekatan instrumental bertujuan untuk mempelajari konsekuensi yang ditanggung
perusahaan, dengan melihat dari pengelolaan hubungan stakeholder dan
berbagai tujuan tata kelola perusahaan yang telah dicapai.
3. Normatif
Teori stakeholder dalam
pendekatan normatif menyatakan bahwa setiap orang atau kelompok yang telah
memberikan kontribusi terhadap nilai suatu perusahaan memiliki hak moral untuk
menerima imbalan (rewards) dari perusahaan, dan hal ini menjadi suatu
kewajiban bagi manajemen untuk memenuhi apa yang menjadi hak para pemangku
kepentingan. Pendekatan normatif juga bertujuan untuk mengidentifikasi pedoman
moral atau filosofis terkait dengan aktivitas ataupun manajemen perusahaan.
Dengan demikian, dapat disimpulkan
bahwa stakeholder teori merupakan suatu teori yang mempertimbangkan
kepentingan kelompok stakeholder yang dapat memengaruhi strategi
perusahaan. Pertimbangan tersebut memunyai kekuatan karena stakeholder adalah
bagian perusahaan yang memiliki pengaruh dalam pemakaian sumber ekonomi yang
digunakan dalam aktivitas perusahaan. Strategi stakeholder bukan hanya
kinerja dalam finansial namun juga kinerja sosial yang diterapkan oleh
perusahaan. Corporate Sosial Responsibility merupakan strategi
perusahaan untuk memuaskan keinginan para stakeholder, makin baik
pengungkapan Corporate Sosial Responsibility yang dilakukan perusahaan
maka stakeholder akan makin terpuaskan dan akan memberikan dukungan
penuh kepada perusahaan atas segala aktivitasnya yang bertujuan menaikkan
kinerja dan mencapai laba.
Stakeholder theory mengatakan bahwa perusahaan bukanlah
entitas yang hanya beroperasi untuk kepentingannya sendiri namun harus
memberikan manfaat bagi stakeholdernya (pemegang saham, kreditur,
konsumen, supplier, pemerintah, masyarakat, analis, dan pihak lain).
Dengan demikian, keberadaan suatu perusahaan sangat dipengaruhi oleh dukungan
yang diberikan oleh stakeholder kepada perusahaan tersebut (Ghozali
& Chariri, 2007).
Gray, dkk., (1995) menyatakan bahwa kelangsungan hidup perusahaan
tergantung pada dukungan stakeholders dan dukungan tersebut harus
dicari, sehingga aktivitas perusahaan adalah untuk mencari dukungan tersebut.
Teori Stakeholder Freeman (1984) mendefinisikan stakeholder seperti
sebuah kelompok atau individual yang dapat memberi dampak atau terkena dampak
oleh hasil tujuan perusahaan. Stakeholders adalah para pemangku
kepentingan, yaitu pihak atau kelompok yang berkepentingan, baik langsung
maupun tidak langsung, terhadap eksistensi atau aktivitas perusahaan, dan
karenanya kelompok tersebut memengaruhi dan/atau dipengaruhi oleh perusahaan. Stakeholder
termasuk di dalamnya yaitu stockholders, creditors, employees,
customers, suppliers, public interest groups, dan govermental bodies (Roberts,
1992).
Stakeholder pada dasarnya dapat mengendalikan atau
memiliki kemampuan untuk memengaruhi pemakaian sumber-sumber ekonomi yang
digunakan perusahaan. Oleh karena itu, power stakeholder ditentukan oleh
besar kecilnya power yang dimiliki stakeholder atas sumber
tersebut. Power tersebut dapat berupa kemampuan untuk membatasi
pemakaian sumber ekonomi yang terbatas (modal dan tenaga kerja), akses terhadap
media yang berpengaruh, kemampuan untuk mengatur perusahaan, atau kemampuan
untuk memengaruhi konsumsi atas barang dan jasa yang dihasilkan perusahaan (Ghozali
& Chariri, 2007).
Roberts (1992) memaparkan bahwa
perkembangan konsep stakeholder dibagi menjadi tiga yaitu model
perencanaan perusahaan, kebijakan bisnis dan corporate social responsibility.
Pengungkapan tanggung jawab sosial dan lingkungan merupakan bagian dari
komunikasi antara perusahaan dengan stakeholder-nya. Oleh karena itu,
ketika stakeholder mengendalikan sumber ekonomi yang penting bagi
perusahaan, maka perusahaan akan bereaksi dengan cara yang memuaskan keinginan stakeholder
(Ghozali & Chariri, 2007).
Teori stakeholder secara
eksplisit mempertimbangkan akan dampak kebijakan pengungkapan perusahaan ketika
ada perbedaan kelompok stakeholder dalam sebuah perusahaan. Pengungkapan
informasi oleh perusahaan dijadikan alat manajemen untuk mengelola kebutuhan
informasi yang dibutuhkan oleh berbagai kelompok (stakeholders). Oleh
karena itu, manajemen mengungkapkan informasi tanggung jawab sosial dan
lingkungan ini dalam rangka mengelola stakeholder agar perusahaan
mendapatkan dukungan dari mereka. Dukungan tersebut dapat berpengaruh terhadap
kelangsungan hidup perusahaan (Gray, dkk.,
1995).
Teori
Keagenan (Agency Theory)
Teori Keagenan (Agency Theory) menjelaskan
adanya konflik kepentingan yang terjadi antara agen dengan principal. Principal
adalah pemegang saham atau investor sedangkan agen adalah orang yang diberi
kuasa oleh principal yaitu manajemen untuk mengelola perusahaan yang
terdiri dari dewan komisaris dan dewan direksi. Adanya pemisahan kepemilikan
oleh principal dan pengendalian oleh agen dalam sebuah organisasi
cenderung menimbulkan konflik keagenan antara principal dan agen. Teori
agensi ini muncul untuk mengatasi konflik agensi yang dapat terjadi dalam
hubungan keagenan. Di dalam teori keagenan dikatakan bahwa hubungan keagenan
timbul ketika salah satu pihak (principal) memberi kuasa kepada pihak
lain (agen) untuk melakukan beberapa jasa untuk kepentingannya yang melibatkan
pendelegasian beberapa otoritas pembuatan keputusan kepada agen. Dalam kontrak
ini agen berkewajiban untuk melakukan hal-hal yang memberikan manfaat dan
meningkatkan kesejahteraan principal (Jensen & Meckling, 1976).
Principal ingin mengetahui segala informasi
termasuk aktivitas manajemen, yang terkait dengan investasi atau dananya dalam
perusahaan. Hal ini dilakukan dengan meminta laporan pertanggungjawaban pada
agen (manajemen). Laporan tersebut akan digunakan oleh principal sebagai
landasan dalam menilai kinerja manajemen. Tetapi, yang seringkali terjadi
adalah kecenderungan manajemen untuk melakukan tindakan yang membuat laporannya
kelihatan baik, sehingga kinerjanya pun dianggap baik. Manajemen seringkali
melakukan sesuatu yang dapat menguntungkan dirinya sendiri yaitu dengan
memaksimumkan laba manajemen yang dilakukan dengan manajemen laba (earnings
management).
Tindakan manajemen laba ini dapat
menyesatkan dan dapat menyebabkan pihak luar membuat keputusan ekonomi yang
salah. Gray, dkk., (1995)
berpendapat bahwa pengungkapan tanggung jawab sosial dan lingkungan perusahaan/
corporate social and environmental disclosure (CSED) merupakan sinyal
yang dapat mengalihkan perhatian pemegang saham dari monitoring atas
rekayasa laba atau isu lain, sehingga berdampak pada harga saham. Aktivitas
pengungkapan tanggung jawab sosial dan lingkungan perusahaan akan memberikan
informasi yang berguna dalam penilaian resiko yang lebih akurat bagi investor.
Hal ini akan memberikan akses kepada pendanaan eksternal dengan biaya yang
lebih rendah. Dalam hal ini dapat diinterpretasikan bahwa manajemen yang
melakukan manajemen laba dapat diprediksikan akan melakukan lebih banyak
pengungkapan tanggung jawab sosial dan lingkungan perusahaan.
TANGGUNG JAWAB SOSIAL DAN LINGKUNGAN
PERUSAHAAN
Triple Bottom Line
Istilah Triple Bottom Line dipopulerkan
oleh John Elkington pada tahun 1997. Melalui bukunya yang berjudul “Cannibals
with Forks, the Triple Bottom Line of Twentieth Century Business”,
Elkington mengembangkan konsep Triple Bottom Line dalam istilah economic
prosperity, environmental quality, dan social justice. Perusahaan yang
ingin berkelanjutan haruslah memerhatikan “3P”. Selain mengejar profit,
perusahaan juga harus memerhatikan dan terlibat dalam pemenuhan kesejahteraan
masyarakat (people) dan turut berkontribusi aktif dalam menjaga
kelestarian lingkungan (planet). Aspek-aspek yang terdapat dalam Triple
Bottom Line adalah sebagai berikut (Wibisono, 2007).
1. Profit
Profit merupakan unsur terpenting dan menjadi
tujuan dari setiap kegiatan usaha. Fokus utama dari seluruh kegiatan dalam
perusahaan adalah mengejar profit atau mendongkrak harga saham
setinggi-tingginya, baik secara langsung maupun tidak langsung. Profit sendiri
adalah tambahan pendapatan yang dapat digunakan untuk menjamin kelangsungan
hidup perusahaan. Aktivitas yang dapat ditempuh untuk mendongkrak profit antara
lain dengan meningkatkan produktivitas dan melakukan efisiensi biaya. Hal
tersebut akan menyebabkan perusahaan memiliki keunggulan kompetitif yang dapat
memberikan nilai tambah semaksimal mungkin.
2. People
Masyarakat di sekitar perusahaan
adalah salah satu stakeholder penting yang harus diperhatikan oleh
perusahaan. Dukungan dari masyarakat sekitar sangat diperlukan bagi keberadaan,
kelangsungan hidup, dan perkembangan perusahaan sehingga perusahaan akan selalu
berupaya untuk memberikan manfaat yangsebesar-besarnya kepada masyarakat.
Operasi perusahaan berpotensi memberikan dampak bagi masyarakat sekitar,
sehingga perusahaan perlu untuk melakukan berbagai kegiatan yang menyentuh
kebutuhan masyarakat. Secara ringkas, jika perusahaan ingin tetap mempertahankan
usahanya, perusahaan juga harus menyertakan tanggung jawab yang bersifat
sosial.
3. Planet
Selain aspek people, perusahaan
juga harus memperhatikan tanggung jawabnya terhadap lingkungan. Karena
keuntungan merupakan inti dari dunia bisnis, kerapkali sebagian besar
perusahaan tidak terlalu memperhatikan hal yang berhubungan dengan lingkungan,
karena tidak ada keuntungan langsung di dalamnya. Dengan melestarikan
lingkungan, perusahaan akan memperoleh keuntungan yang lebih, terutama dari
sisi kenyamanan dan ketersediaan sumber daya yang menjamin kelangsungan hidup
perusahaan.
Konsep dan Definisi Tanggung Jawab
Sosial dan Lingkungan Perusahaan
Menurut Global Reporting Initiative
(GRI) dalam Siregar (2010) tanggung jawab sosial dan lingkungan adalah, “Corporate
social reporting/sustainability reporting is a process for publicly
disclosing an organization’s economic, environmental, and social
performance”. World Bank (2003)
menyatakan definisi CSR sebagai, “The commitment of business to contribute
to sustainable economic development, working with employees, their families,
the local community and society at large to improve their quality of
life.” Untung (2008) memberikan
pengertian mengenai tanggung jawab sosial dan lingkungan sebagai, “Corporate
Social Responsibility adalah komitmen perusahaan atau dunia bisnis untuk
berkontribusi dalam pengembangan ekonomi yang berkelanjutan dengan memerhatikan
tanggung jawab sosial perusahaan dan menitikberatkan pada keseimbangan antara
perhatian terhadap aspek ekonomis, sosial, dan lingkungan.”
Jadi, tanggung jawab sosial dan
lingkungan perusahaan adalah tanggung jawab yang diemban oleh perusahaan
terhadap keseimbangan antara aspek- aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan.
Tanggung jawab sebuah perusahaan tersebut meliputi beberapa aspek yang tidak
dapat dipisahkan. Tanggung jawab sosial atau Corporate Social Responsibility
(CSR) adalah kontribusi sebuah perusahaan yang terpusat pada aktivitas
bisnis, investasi sosial dan program philantrophy, serta kewajiban dalam
kebijakan publik (Wineberg, 2004). Tujuan dari adanya CSR yaitu sebagai wujud
tanggung jawab sosial dan lingkungan perusahaan atas dampak-dampak lingkungan
yang ditimbulkannya. Banyaknya global warming, kemiskinan yang semakin
meningkat, serta memburuknya kesehatan masyarakat memicu perusahaan untuk
melakukan tanggung jawab sosial dan lingkungannya. CSR memegang peranan yang
penting dalam strategi perusahaan di berbagai sektor yang terjadi
ketidakkonsitenan antara keuntungan perusahaan dan tujuan sosial, atau
perselisihan yang dapat terjadi karena isu-isu tentang kewajaran yang
berlebihan (Heal, 2004).
CSR merupakan suatu bentuk kepedulian
sosial perusahaan untuk melayani kepentingan organisasi maupun kepentingan
publik eksternal/masyarakat. CSR adalah komitmen perusahaan untuk
mempertanggungjawabkan dampak operasi dalam dimensi sosial, ekonomi serta
lingkungan. Dengan atau tanpa aturan hukum, sebuah perusahaan harus menjunjung
tinggi moralitas. Parameter keberhasilan suatu perusahaan dalam sudut pandang
CSR adalah pengedepankan prinsip moral dan etis, yakni menggapai suatu hasil
terbaik, tanpa merugikan kelompok masyarakat yang lainnya.
European Commission (2001) dalam
Darwin (2008) mendefinisikan CSR sebagai, “a concept where by companies
integrate social and environmental concerns in their business operations and in
their interaction with their stakeholders on a voluntary basis”. CSR Asia dalam Darwin (2008)
mendefinisikan CSR sebagai, “CSR is a company’s commitment to operating in
an economically, socially and environmentally sustainable manner whilst
balancing the interests of diverse stakeholders.”
Jadi, CSR adalah komitmen perusahaan
terhadap tiga (3) elemen, yaitu elemen ekonomi, sosial, dan lingkungan.
Definisi CSR dalam penelitian ini merujuk pada definisi yang disampaikan
European Commission dan CSR Asia di atas, yaitu perusahaan semakin menyadari
bahwa kelangsungan hidup perusahaan juga tergantung dari hubungan perusahaan
dengan masyarakat dan lingkungannya tempat perusahaan beroperasi. Hal ini selaras dengan legitimacy theory yang
menyatakan bahwa perusahaan memiliki kontrak dengan masyarakat untuk melakukan
kegiatannya berdasarkan nilai-nilai keadilan, dan bagaimana perusahaan
menanggapi berbagai kelompok kepentingan untuk melegitimasi tindakan perusahaan
(Haniffa & Cooke, 2005). Jika terjadi ketidakselarasan antara sistem nilai
perusahaan dan sistem nilai masyarakat, maka perusahaan akan kehilangan
legitimasinya, yang selanjutnya akan mengancam kelangsungan hidup perusahaan
itu sendiri (Lindblom, 1994 dalam Haniffa & Cooke, 2005 dan Sayekti &
Wondabio, 2007).
Pengungkapan Tanggung Jawab Sosial dan
Lingkungan Perusahaan
Pengungkapan secara kontekstual adalah
bagian integral dari pelaporan keuangan, sedangkan secara teknis pengungkapan
adalah langkah akhir dalam proses akuntansi yaitu penyajian informasi dalam
bentuk penuh laporan keuangan (Suwardjono, 2005). Hendriksen (1991)
mendefinisikan pengungkapan sebagai penyajian sejumlah informasi yang
dibutuhkan untuk pengoperasian secara optimal pasar modal yang efisien.
Pengungkapan mengandung arti bahwa sebuah laporan harus memberikan informasi
dan penjelasan yang cukup mengenai hasil
aktivitas suatu unit usaha (Ghozali
& Chariri, 2007).
Tujuan pengungkapan secara umum adalah
menyajikan informasi yang dipandang perlu untuk mencapai tujuan pelaporan
keuangan dan melayani berbagai pihak yang memiliki kepentingan berbeda
(Suwardjono, 2005). Security Exchange Committee (SEC) menuntut lebih
banyak pengungkapan karena pelaporan keuangan memiliki aspek sosial dan publik.
Oleh karena itu, pengungkapan dituntut lebih dari sekedar pelaporan keuangan,
tetapi meliputi pula penyampaian informasi kualitatif dan kuantitatif, baik
yang mandatory (wajib) maupun voluntary (sukarela) (Chrismawati,
2007).
Anggraini (2006) menyatakan bahwa
tuntutan terhadap perusahaan untuk memberikan pengungkapan informasi yang
transparan, organisasi yang akuntabel serta tata kelola perusahaan yang baik (good
corporate governance) memaksa perusahaan untuk memberikan informasi mengenai
aktivitas sosialnya. Masyarakat membutuhkan informasi mengenai sejauh mana
perusahaan sudah melaksanakan aktivitas sosialnya sehingga hak masyarakat untuk
hidup aman dan tentram, kesejahteraan karyawan, dan keamanan mengonsumsi produk
dapat terpenuhi. Pengungkapan sosial dan lingkungan yang dilakukan oleh
perusahaan umumnya bersifat voluntary (sukarela), unaudited (belum
diaudit), dan unregulated (tidak dipengaruhi oleh peraturan tertentu)
(Nurlela & Islahudin, 2008).
REFLEKSI
Sebegitu gamblang dan jelas tentang
arti penting bisnis dan aktivitas ekonomi yang berkelanjutan (sustainable business) bagi sebuah
entitas ekonomi. Bukan hanya teori
tetapi didukung oleh bukti empiris atau bukti dari duni bisnis di berbagai
Negara. Tetapi, sayangnya di Indonesia
bisnis dan aktivitas ekonomi berkelanjutan yang memperhatikan lestarinya bumi,
pemberdayaan masyarakat, yang pada akhirnya akan berdampak pada profit masih
belum menjadi perhatian. Bahkan, telah
banyak instrumen hukum dan peraturan yang mendukungnya, tetapi belum bersifat
mengikat dan masih bersifat sukarela.
Artinya, entittas ekonomi alias perusahaan belum diharuskan tetapi hanya
bersifat sukarela melaksanakan bisnis berkonsep triple bottom line.
Dari banyak sumber dan analisis
penulis, nampaknya kepentingan untuk mendatangkan investor demi meningkatkan
investasi (orientasi kuantitas) masih menjadi pertimbangan utama. Pemberdayaan masyarakat sebagai konsumen dan
tenaga kerja apalagi masalah kelestarian lingkungan dan energy ramah lingkungan
masih tidak dipertimbangkan. Akhirnya,
banyak investor dan pelaku ekonomi di Indonesia memfokuskan usahanya hanya
untuk mencari keuntungan sebesar-besarnya. Bukan hanya tidak memperhatikan
manusia dan lingkungan, malah dengan semena-mena melakukan eksploitasi manusia
sebagai sumber daya, juga merugikan konsumen dengan produk yang tidak bermutu.
Perlikau menghancurkan alam dengan alasan sumberdaya alam yang melimpah serta
penanganan limbah yang serampangan menjadikan planet bumi sebagai tempat
tinggal manusia satu-satunya rusak dengan sangat cepat.
Bisnis atau aktivitas ekonomi bukan
tidak bisa dikelola dengan arif dan bijaksana.
Konsep bisnis triple bottom line menawarkan
metoda dan cara berbisnis yang arif dan bijaksana yang berorientasi jangka
panjang dan berkelanjutan. Walau telah
diterapkan diberbagai Negara maju seperti di Eropa, Amerika, Australia, dan
sebagian Negara-negara maju di Asia belum menjadi prioritas untuk diajarkan
apalagi diterapkan di Indonesia. Bahkan,
masih cenderung menjadi arus pinggiran yang sering kali diremehkan dan
ditertawakan oleh pemangku kepentingan, khususnya dari kalangan pengambil
kebijakan seperti Pemerintah Pusat dan Daerah, para pelaku usaha baik investor
maupun industrialis, bahkan oleh kalangan akademisi sendiri. Pemangku kepentingan di Indonesia pada
umumnya masih menjadikan keuntungan, walau bersifat jangka pendek, menjadi
tujuan utama dan bahkan satu-satunya tujuan berusaha dan pembangunan
ekonominya.
Sosialisasi, edukasi, dan advokasi harus
terus dilakukan demi kehidupan yang lebih baik dan lestarinya bumi sebagai
satu-satunya tempat manusia bisa hidup.
Kerja keras dari setiap orang yang telah sadar untuk menjaga lestarinya
bumi demi lestarinya kehidupan, memanusiakan manusia sebagai makhluk yang
berdaya dan bermartabat, serta entitas ekonomi yang bijaksana dan bertanggung
jawab untuk terus dan terus mengabarkan kebenaran walau seringkali pahit dan
menyakitkan. Pekerjaan berat menanti di
depan kita, tetapi kebenaran tentang lestarinya bumi, manusia yang bermartabat,
dan usaya yang bertanggung jawab lagi bijaksana harus dikabarkan.
Salam Lestari,
Malang, 07072014
REFERENSI
Ahmad, N & Sulaiman, M. 2004.
Environmental Disclosure in Malaysian Annual Reports: A Legitimacy Theory Perspective.
International Journal of Commerce & Management. Vol.14, No.1.
Barkemeyer, R. 2007. Legitimacy as a
Key Driver and Determinant of CSR in Developing Countries. Paper for the
2007 Marie Curie Summer School on Earth System Governance, 28 May – 06 June
2007, Amsterdam.
Budimanta, A., Prasetijo, A. &
Rudito, B. 2008. Corporate Social Responsibility, Alternatif Bagi
Pembangunan Indonesia. Jakarta: Indonesia Center for Sustainibility
Development Chariri, A. & Ghozali, I.
2007. Teori Akuntansi. Semarang: Badan Penerbit Universitas
Diponegoro.
Chrismawati, D. T. 2007. Pengaruh
Karakteristik Keuangan dan Non Keuangan Perusahaan terhadap Praktik Environmental
Disclosure di Indonesia. Skripsi. Perpustakaan Ekonomi Referensi.
Universitas Diponegoro, Semarang.
Commission of the European
Communities. 2001. Promoting a European Framework for Corporate Social
Responsibility. Brussels: European Community.
Darwin, A. 2008. CSR: Standards dan
Reporting. Makalah disampaikan pada Seminar Nasional CSR sebagai Kewajiban
Asasi Perusahaan; Telaah Pemerintah, Pengusaha, dan Dewan Standar Akuntansi,
27 November 2010.
Deegan. 2002. Introduction: The
Legitimizing Effect Of Social And Environmental Disclosure – A Theoretical
Foundation. Accounting, Auditing & Accountability Journal, vol.15,
no. 3, pp. 282-311.
Dowling, J. and Pfeffer, J. 1975,
“Organizational legitimacy: social values and organization behaviour,” Pacific
Sociological Review, Vol. 18 No. 1, pp. 122-136.
Elkington, J. 1997.Cannibals
with Forks: The Triple Bottom Line of 21st Century Business. Oxford:
Capstone Publishing.
Endiarto, O.T. & Stephanus, D. S.
2014. Analisis Pengaruh Kinerja
Lingkungan Terhadap Nilai Perusahaan Yang Terdaftar Di Index Sri Kehati
.Proposal Skripsi. Universitas Ma
Chung. Malang
Forum for Corporate Governance in
Indonesia. 2001.
Peranan Dewan Komisaris dan Komite Audit dalam Pelaksanaan Corporate
Governance (Tata Kelola Perusahaan). Jilid II. Edisi Kedua. Jakarta:
FCGI.
Freeman, R.E. 1984. Strategic
Management: A Stakeholder Approach.Pitman. Boston
.
Ghozali & Chairiri. 2007. Teori
Akuntansi. Semarang: Universitas Diponegoro
Global Reporting Initiative. 2006. GRI
Sustainability Reporting GuideLines G3 Version. Dipetik Desember 6, 2013,
dari https://www.globalreporting.org/
Haniffa, R. M & Cooke, T. E. 2005.
The Impact of Culture and Governance on Corporate Social Reporting. Journal
of Accounting and Public Policy 24.
Hasibuan, R. 2001. Pengaruh
Karakteristik Perusahaan Terhadap Pengungkapan Sosial. Tesis.
Universitas Diponegoro. Semarang.
Heal, G. 2004. Corporate Social
Responsibility – An Economic and Financial Framework. Working Paper.
Columbia Business School.
Jensen, M. C & Meckling, W. H.
1976. Theory of the Firm: Managerial Behavior, Agency Costs and Ownership
Structure. Journal of Financial Economics, Oktober, 1976, V. 3, No. 4,
pp. 305-360.
Lawrence, A. & Webber, J. 2008.
Business & Society: Stakeholders, Ethics, Public Policy. McGraw Hill
Companies Incorporated
Lindblom, C. K. 1994. The
Implications of Organizational Legitimacy for Corporate
Nugroho, O.C. & Stephanus, D.S.
2014. Studi Empiris Pengaruh Manajemen
Laba (Earnings Management), Corporate Governance, Ukuran Perusahaan
(Size), Leverage, dan Profitabilitas Terhadap Pengungkapan
Tanggung Jawab Sosial Dan Lingkungan Perusahaan. Proposal Skripsi. Universitas Ma Chung. Malang
Nuraini, E. (2010). Pengaruh Environmental
Performance Dan Environmental Disclosure Terhadap Economic
Performance (Studi Pada Perusahaan Yang Terdaftar Di Bursa Efek Indonesia).
Skripsi Tidak Dipublikasikan. Universitas Diponegoro.
Nurlela, R & Islahuddin. 2008.
Pengaruh Corporate Social Responsibility terhadap Nilai Perusahaan
dengan Prosentase Kepemilikan Manajemen sebagai Variabel Moderating: Studi
Empiris pada Perusahaan yang Terdaftar di Bursa Efek Jakarta. Simposium
Nasional Akuntansi XI Pontianak 2008.
O’Donovan. 2002. Environmental
Disclosure in the Annual Report: Extending the Applicability and Predictive
Power of Legitimacy Theory. Accounting, Auditing, and Accountability Journal,
Vol.15, No.3
Oktiviana, D. &
Stephanus, D.S. 2014. Analisis Pengaruh
Penerapan Environment Management Accounting Dan Strategi Terhadap
Inovasi Perusahaan . Proposal
Skripsi. Universitas Ma Chung. Malang
Prior, D, Jordi, S, Josep, A. 2008.
Are socially responsible managers really ethical? Exploring the relationship
between earnings management and corporate social responsibility. Corporate
Governance: An International nurainiReview, Vol.16, no.3, 160-177.
Puspita, M. E. &
Stephanus, D.S. 2014. Pengaruh
Pengungkapan Corporate Social Responsibility, Global Reporting Initiatives Dan
Iso 26000 Terhadap Nilai Perusahaan Sektor Pertambangan. Proposal Skripsi. Universitas Ma Chung.
Malang
Reverte, C. 2008. Determinants of
Corporate Social Responsibility Disclosure Ratings by Spanish Listed Firms. Journal
of Business Ethics (2009) 88:351– 366 DOI 10.1007/s10551-008-9968-9.
Robert, D. & Stephanus, D.S. 2014.
Penerapan Dan Analisis Pengaruh Environmental
Management Accounting (Ema). Proposal
Skripsi. Universitas Ma Chung. Malang
Saidi. 2004. Faktor-faktor yang
Mempengaruhi Struktur Modal pada Perusahaan
Manufaktur Go Public di BEJ 1997-2002. Jurnal Bisnis dan
Ekonomi Vol. 11 no.1, hal. 44-58.
Saputra, N. A. & Stephanus, D.S. 2014. Pengaruh Pengungkapan Corporate
Social Resposibility Dan Global Reporting Initiatives Terhadap Nilai
Perusahaan Pada Perusahaan Yang Tercatat Di Indeks Sri-Kehati 2010—2012. Skripsi. Universitas Ma Chung. Malang
Sayekti & Wondabio. (2007).
Pengaruh Corporate Social Responsibility (CSR) Disclosure Terhadap Earnings
Response Coefficient. Simposium Nasional Akuntansi X. Makassar.
Shleifer, A. dan Vishny, R.W. 1997. A
Survey of Corporate Governance. Journal of Finance, Vol 52. No 2
Suwardjono. 2005. Teori Akuntansi:
Perekayasaan Pelaporan Keuangan. Yogyakarta: Badan Penerbit Universitas
Gadjah Mada.
Tunggal, A, W. 2008. “Corporate
Social Responsibility (CSR)”. Harvarindo.
Untung, H. B. 2008. Corporate
Social Responsibility. Jakarta: Sinar Grafika.
Wibisono, Y. 2007. Membedah Konsep
dan Aplikasi Corporate Social Responsibility. Gresik: Fascho Publishing
Wineberg, D. 2004. Corporate Social
Responsibility – What Every In House Counsel Should Know. Acc Docket.
World Bank Ext Communications For
Development Division Devcomm/Sdo. 2003. Corporate Social Responsibility And
Multi Stakeholder Dialogue: Towards Environmental Behavioral Change.
Discussion Paper.
1 komentar:
KAMI SEKELUARGA TAK LUPA MENGUCAPKAN PUJI SYUKUR KEPADA ALLAH S,W,T
dan terima kasih banyak kepada AKI atas nomor togel.nya yang AKI
berikan 4 angka [7273] alhamdulillah ternyata itu benar2 tembus AKI.
dan alhamdulillah sekarang saya bisa melunasi semua utan2 saya yang
ada sama tetangga.dan juga BANK BRI dan bukan hanya itu AKI. insya
allah saya akan coba untuk membuka usaha sendiri demi mencukupi
kebutuhan keluarga saya sehari-hari itu semua berkat bantuan AKI..
sekali lagi makasih banyak ya AKI… bagi saudara yang suka main togel
yang ingin merubah nasib seperti saya silahkan hubungi KI JAYA WARSITO,,di no (((085-342-064-735)))
insya allah anda bisa seperti saya…menang togel 870 JUTA , wassalam.
dijamin 100% jebol saya sudah buktikan...sendiri....
Apakah anda termasuk dalam kategori di bawah ini !!!!
1"Dikejar-kejar hutang
2"Selaluh kalah dalam bermain togel
3"Barang berharga anda udah habis terjual Buat judi togel
4"Anda udah kemana-mana tapi tidak menghasilkan solusi yg tepat
5"Udah banyak Dukun togel yang kamu tempati minta angka jitunya
tapi tidak ada satupun yang berhasil..
Solusi yang tepat jangan anda putus asah... KI JAYA WARSITO akan membantu
anda semua dengan Angka ritual/GHOIB:
butuh angka togel 2D ,3D, 4D SGP / HKG / MALAYSIA / TOTO MAGNUM / dijamin
100% jebol
Apabila ada waktu
silahkan Hub: KI JAYA WARSITO DI NO: [[[085-342-064-735]]]
ANGKA RITUAL: TOTO/MAGNUM 4D/5D/6D
ANGKA RITUAL: HONGKONG 2D/3D/4D/
ANGKA RITUAL; KUDA LARI 2D/3D/4D/
ANGKA RITUAL; SINGAPUR 2D/3D/4D/
ANGKA RITUAL; TAIWAN,THAILAND
ANGKA RITUAL: SIDNEY 2D/3D/4D
DAN PESUGIHAN TUYUL
Posting Komentar