Kronologis
Penolakan Tambang Pasir Di Desa Selok Awar – Awar Kecamatan Pasirian Kabupaten
Lumajang Jawa Timur
Laporan
Investigasi Oleh: ACHMAD ZAKKY QHUFRON,
SH
Sumber: http://www.selamatkanbumi.com/kronologis-penolakan-tambang-pasir-di-desa-selok-awar-awar-kecamatan-pasirian-kabupaten-lumajang-jawa-timur, 28 September 2015
Awal
terjadinya penolakan aktivitas penambangan pasir oleh masyarakat Desa Selok
Awar-Awar, dimulai sekitar bulan Januari 2015. Bentuk penolakan
masyarakat berupa pernyataan sikap FORUM KOMUNIKASI MASYARAKAT PEDULI DESA
SELOK AWAR – AWAR KECAMATAN PASIRIAN KABUPATEN LUMAJANG, yang dibentuk
oleh 12 warga masyarakat, yaitu :
Bapak TOSAN; Bapak IKSAN
SUMAR; Bapak ANSORI; Bapak SAPARI; Bapak SALIM KANCIL; Bapak ABDUL
HAMID; Bapak
TURIMAN; Saudara
M.HARIYADI; Saudara
ROSYID; Saudara
MOHAMMAD IMAM; Saudara
RIDWAN; Bapak
COKROWIDODO RS
Mereka melakukan
gerakan advokasi protes tentang penambangan pasir yang mengakibatkan rusaknya
lingkungan di Desa mereka dengan cara bersurat kepada Pemerintahan Desa Selok
Awar-Awar, Pemerintahan Kecamatan Pasirian danPemerintahan Kabupaten
Lumajang/Bupati Lumajang.
Sekitar bulan
Juni 2015, FORUM warga menyurati Bupati Lumajang untuk meminta AUDENSI
tentang penolakan tambang pasir. Tetapi tidak di respon oleh Bupati yang
diwakili oleh CAMAT Pasirian. AUDENSI tersebut tentang keberatan FORUM warga
terhadap aktivitas penambangan yang Izin penambangannya berkedok izin
pariwisata.
Pada 9
September 2015 FORUM warga melakukan aksi damai penyetopan aktivitas
penambangan pasir dan penyetopan truk muatan pasir di Balai Desa Selok
Awar-Awar, yang menghasilkan Surat Pernyataan Kepala Desa Selok Awar-Awar untuk
menghentikan aktivitas penambangan pasir di Desa Selok Awar-Awar.
Pada 10
September 2015 muncul pengancaman dan pembunuhan yang dilakukan oleh
TIM PREMAN bentukan dari Kepala Desa Selok Awar – Awar kepada Bapak
TOSAN. Tim PREMAN tersebut diketuai oleh P. DESIR. Dan sebelum itu juga ada
beberapa anggota FORUM warga yang pernah diancam oleh TIM PREMAN tersebut.
Pada 11
September 2015 perwakilan FORUM warga melaporkan kejadian Tindak
Pidana pengancaman ke POLRES LUMAJANG yang ditemui dan/atau diterima langsung
oleh KASAT RESKRIM LUMAJANG Bapak HERI. Pada saat itu KASAT menjamin dan akan
merespon pengaduan FORUM yang telah dikordinasikan dengan pimpinan POLSEK
PASIRIAN.
Pada tanggal 19
September 2015, FORUM warga menerima Surat Pemberitahuan dari POLRES
LUMAJANG terkait nama-nama Penyidik POLRES yang menangani kasus pengancaman
tersebut.
Pada tanggal 21
September 2015 , FORUM warga mengirim Surat Pengaduan terkait ILEGAL MINING
yang dilakukan oleh oknum Aparat Desa Selok Awar-Awar di daerah hutan lindung
Perhutani.
Pada tanggal 25
September 2015, FORUM warga mengadakan kordinasi dan konsolidasi dengan
masyarakat luas bahwa akan melakukan aksi penolakan tambang pasir dikarenakan
aktivitas penambangan tetap berlangsung dilakukan oleh pihak Penambang. Rencana
aksi dilakukan besok pagi harinya tanggal 26 September 2015 Pukul 07.30 WIB.
Pada tanggal 26
September 2015 kurang lebih pukul 08.00 WIB, terjadi penjemputan paksa dan
penganiayaan terhadap 2 orang anggota FORUM warga yaitu Bapak TOSAN dan
Bapak SALIM / P. KANCIL yang dilakukan sekelompok preman yang
dipimpim oleh DESIR yang mengakibatkan meninggalnya Bapak SALIM/P.KANCIL
dan Luka Berat; Bapak TOSAN.
Kejadian
Alur TKP Korban P. TOSAN
Sekitar Pukul
07.00 WIB, Pak Tosan menyebar selebaran di depan rumahnya bersama saudara Imam,
kemudian ada satu orang kebetulan melintas dan berhenti sempat marah-marah,
setelah itu dia meninggalkan pak Tosan dan Imam.
Sekitar pukul
07.30 WIB, sekelompok preman sekitar kurang lebih 40 orang bermotor
mendatangi P. TOSAN kemudian mengeroyok. Sebelum melarikan diri, Imam, teman
korban sempat melerai kemudian preman berbalik ingin menyerang IMAM. Karena
IMAM sendirian dan preman memakai dan membawa kayu, batu dan clurit, IMAM
diminta korban untuk melarikan menyelamatkan diri dari lokasi tersebut.
Kemudian pak Tosan melarikan diri dengan menaiki sepeda angin, namun masa terus
mengejar. Pada saat di lapangan Persil, korban terjatuh, di aniaya dengan
memakai pentungan kayu, pacul, batu dan celurit. Setelah korban terjatuh,
preman sempat melindas dengan sepeda motor.
Kemudian setelah
beberapa lama datang teman P.TOSAN yaitu RIDWAN yang telah menerima kabar bahwa
P.TOSAN dianiaya oleh 30 orang lebih. Lalu RIDWAN hendak melerai preman agar
melepaskan P.TOSAN. Kemudian para preman berbalik hendak mengeroyok RIDWAN,
lalu RIDWAN menantang pimpinan preman, yang bernama Deser. Kemudian para preman
berbalik dan meninggalkan P.TOSAN yang sudah penuh luka berat dan RIDWAN
mengantarkan P.TOSAN ke PUSKESMAS Pasirian dan dirujuk ke RSUD Lumajang dan
RS.BHAYANGKARA Lumajang.
Kejadian
Alur TKP Korban Alm. P.SALIM KANCIL
Setelah dari
menganiaya P.TOSAN, para preman menuju rumah P.SALIM KANCIL. Selanjutnya para
preman menjemput paksa P. SALIM/KANCIL di rumahnya. Pada saat kejadian, Alm Pak
Kancil sedang mengendong cucunya yang masih berusia sekitar 5 tahun. Melihat
gerombolan preman datang kerumahnya, korban menaruh cucunya dilantai, kemudian
preman mengikat kedua tangan korban, memukuli dengan kayu dan batu. Kemudian
preman membawa P.SALIM/P.KANCIL ke Balai Desa Selok Awar – Awar dengan cara
diseret. Jarak rumah korban dengan Balai Desa sekitar 2 kilo meter. Pada saat di
Balai Desa korban sempat mendapat penyiksaan berat. Selain dipukuli, digergaji
lehernya, Almarhum juga disetrum. Kejadian ini kurang lebih setengah jam;
antara jam 08.00-08.30 WIB, sampai menimbulkan kegaduhan, dan terdengar suara
kesakitan dari P. SALIM/KANCIL di Balai Desa tersebut, yang pada saat itu ada
proses belajar mengajar disekolah Anak – Anak PAUD di Desa. Peristiwa itu
sampai mengakibatkan proses belajar mengajar di hentikan dan dipulangkan.
Kemudian preman menyeret P.SALIM/KANCIL ke luar Balai Desa menuju tempat
disekitar Makam Desa. Pada saat disekitar makam, korban diminta berdiri tangan
terikat dan diangkat keatas, kemudian preman membacok perut selama tiga kali
namun tidak menimbulkan luka sama sekali, kemudian kepala korban di kepruk pakai
batu dan mengakibatkan korban meninggal posisi tertelungkup dengan tangan
terikat/diikat dengan tambang. Tubuh terutama kepala korban penuh luka benda
tumpul, di dekat korban banyak batu dan kayu berserakan.
Menurut kesaksian
dari RIDWAN dan IMAM, para preman berjumlah kurang lebih 40 orang tersebut
dipimpin oleh P. DESIR yang kesemuanya itu melakukan penganiayaan terhadap
P.TOSAN dan kemungkinan besar juga pelaku yang sama terhadap pembunuhan P.
SALIM/ P. KANCIL. Kesaksian RIDWAN dan IMAM telah dimintai keterangan di
TKP oleh pihak Penyidik POLRES Lumajang dan menyebutkan beberapa nama pelaku
penganiayaan dan Pembunuhan yang diketahui, yaitu : DESIR; EKSAN; TOMIN; TINARLAP;
SIARI; TEJO; ELI; BUDI; SIO; BESRI; SUKET; SIAMAN; JUMUNAM; SATUWI; TIMAR; BURI;
MISTO; PARMAN; SATRUM; dan pelaku lainnya tidak diketahui namanya. Untuk beberapa
anggota FORUM lainnya, pasca kejadian tersebut berada di POLSEK PASIRIAN untuk
meminta perlindungan keamanan.
Pembunuhan Terhadap Salim Kancil dan Tosan
Sudah Direncanakan
(Laporan
Investigasi Pusham Surabaya dan CMARs Surabaya)
Oleh: Johan Avie
& Abdul Karim
Malam Harinya;
Pembunuhan Direncanakan
Pembunuhan
terhadap Salim Kancil, serta penganiayaan terhadap Tosan sudah direncanakan
oleh para pelaku sejak tanggal 25 September 2015, satu hari sebelum pembunuhan
itu terjadi. Malam hari, 25 September 2015, Tim 12 dan Kepala Desa menyusun
rencana untuk membunuh Salim Kancil dan Tosan. Rencana pembunuhan dilakukan di
salah satu pondok pesantren milik Kyai Huri. Letaknya di sebelah selatan
terminal Probolinggo, Jawa Timur.
Pada 25 September
2015, sekitar pukul 22.00 WIB, Desir, pimpinan tim 12 yang kini jadi tersangka,
mendatangi Asnawi. Ia mengajak Asnawi untuk mengikuti pertemuan di Probolinggo
dengan Kepala Desa, dan tim 12. Asnawi diajak karena ia adalah mantan kepala
dusun, dan dulu merupakan tim sukses dari Hariyono, Kepala Desa Selok
Awar-Awar, Kecamatan Pasirian, Kabupaten Lumajang. Berdasarkan keterangan
Asnawi, ia menolak untuk ikut karena merasa ada yang tidak beres dengan
pertemuan tersebut. Akhirnya Desir kembali pulang ke rumahnya untuk
mempersiapkan keberangkatan 12 orang lainnya ke Probolinggo.
Di tempat yang
berbeda, Gus Namin, salah seorang tokoh agama di Kecamatan Wotgalih, Kabupaten
Lumajang juga menyatakan bahwa 2 orang santrinya berpamitan kepada dirinya
untuk ikut berangkat ke Probolinggo karena ada pertemuan dengan Kepala Desa
Selok Awar-Awar, Kecamatan Pasirian, Kabupaten Lumajang. Saat itu, Gus Namin
sudah melarang kedua santrinya untuk ikut dalam pertemuan tersebut, tetapi
mereka tetap memaksa berangkat bersama dengan tim 12 lainnya. Gus Namin sendiri
tidak mengetahui apa isi dari pertemuan di Probolinggo tersebut, karena
menurutnya, kedua santrinya tidak mengatakan apa-apa soal pertemuan di
Probolinggo.
Pukul 22.15 WIB,
Asnawi, bersama dengan 3 warga Desa Selok Awar-Awar lainnya melihat 2 buah
mobil yang ditumpangi oleh tim 12 dan Kepala Desa berangkat dari Balai Desa.
Kedua mobil tersebut berjalan menuju ke utara, arah jalan keluar Desa Selok
Awar-Awar, Kecamatan Pasirian, Kabupaten Lumajang. Saat itu, kaca mobil ditutup
rapat, tetapi salah seorang warga (nama dirahasiakan) melihat bahwa mobil itu
berisi tim 12 dan juga kepala desa. Asnawi bahkan mengatakan bahwa mobil yang
digunakan adalah mobil milik perangkat Desa Selok Awar-Awar, dan kini telah
disita oleh penyidik Polda Jatim. Menurut Asnawi, 1 mobil yang digunakan adalah
mobil kepunyaan dari Didik (Pembantu Staff Desa Selok Awar-Awar), dan 1 mobil
lainnya milik dari Eko (Kepala Urusan Pembangunan Desa Selok Awar-Awar).
Tim investigasi
juga menemukan fakta lain di malam hari sebelum pembunuhan terjadi. Berdasarkan
keterangan Abdul Hamid, warga Desa Selok Awar-Awar, Kecamatan Pasirian,
Kabupaten Lumajang, 25 September 2015, pukul 21.00 WIB, Ia bersama dengan Salim
Kancil, Tosan, dan 7 orang lainnya sempat berkunjung ke rumah Kyai di Kecamatan
Wotgalih, Kabupaten Lumajang. Menurut Hamid, kunjungannya tersebut dalam rangka
meminta doa kepada Kyai, karena keesokan harinya mereka akan melakukan aksi demonstrasi
ke Kepala Desa. Pada saat di jalan menuju Wotgalih, Abdul Hamid merasa
rombongannya dikuntit oleh beberapa orang tidak dikenal. “Orang yang menguntit
kami itu terus mampir ke rumah Kepala Desa Wotgalih,” ujar Hamid.
Kejanggalan
lainnya juga ditemui Hamid sesampainya di rumah sang Kyai. Entah secara
kebetulan atau tidak, rombongan Hamid ini juga berjumpa dengan seorang anggota
Brimob di dalam rumah Kyai. Hamid tidak sempat berkenalan dengan anggota Brimob
tersebut, ia hanya mengetahui bahwa anggota Brimob tersebut juga sedang
berkunjung ke rumah Kyai untuk meminta doa dari si Kyai. Setelah bercerita
panjang lebar mengenai rencana demonstrasi yang akan dilakukannya pada esok
harinya, rombongan Hamid ini pun kembali ke desa mereka. Seorang anggota Brimob
yang tidak dikenali tersebut juga ikut berpamitan, setelah sempat mendengarkan
panjang-lebar mengenai rencana demonstrasi yang dilakukan oleh Hamid, Salim
Kancil, Tosan, dan kawan-kawannya.
Pagi Hari; Titik
Kumpul Para Pembunuh
Pukul 06.00 WIB,
ketika para warga sedang sibuk mempersiapkan kebutuhan domestik dan berbelanja
di pasar, tim 12 (pelaku pembunuhan) justru sibuk berkumpul dan mempersiapkan
senjata yang akan dipergunakan untuk membunuh Salim Kancil dan Tosan. Saat itu,
BI (seorang warga yang tidak mau disebutkan namanya) berpapasan dengan Basri,
salah seorang tersangka pembunuhan terhadap Salim Kancil dan Tosan. Menurut
keterangannya, Basri menaiki sepeda motor sembari membawa cangkul, menuju ke
arah utara (arah rumah Pak Desir), sedangkan ia sendiri saat itu sedang pulang
ke rumahnya (arah selatan) setelah berbelanja di pasar. “Saya kira waktu itu
mau ada kerja bakti membetulkan jalan raya, kok saya melihat Basri itu bawa
cangkul ke arah utara,” ujar BI
Selain Basri, BI
juga melihat Tejo, salah seorang tersangka pembunuhan lainnya, berkendara
sepeda motor sembari membawa bambu berjalan ke arah rumah Desir. Cangkul dan
bambu inilah yang kemudian digunakan sebagai alat untuk menganiaya Tosan dan
Salim Kancil. Keterangan BI tersebut diperkuat juga oleh keterangan dari DL,
salah seorang warga yang rumahnya
bersebelahan dengan rumah Desir. Ia melihat sekitar 40 orang dengan menggunakan
20 sepeda motor berkumpul di rumah Desir. “Waktu itu saya kira mau ada acara
desa mas, karena mereka bawa alat-alat kerja itu,” ujar DL. Alat-alat kerja
yang dimaksudkan adalah cangkul, celurit, bambu, dan juga parang. Alat-alat ini
memang telah dibawa oleh para pelaku pembunuhan sejak dari rumah mereka.
Bahkan di saat
mereka berkumpul di rumah Desir, alat-alat tersebut telah dipersiapkan. DL juga
menyaksikan pada pagi itu, Desir sempat berbicara kepada 40 orang, seperti
memberikan arahan kepada mereka. Menurut DL, ke-40 orang tersebut berkumpul
sekitar 10 menit, sebelum berangkat bersama-sama menuju ke arah rumah Tosan. Ia
juga mengatakan bahwa tidak hanya dirinya yang menjadi saksi mata atas
peristiwa tersebut, tetangga-tetangga Desir juga ikut melihat massa berkumpul
di rumah Desir, pada pukul 06.00 WIB.
Skema 1: Membunuh
Tosan
Pada 26 September
2015, Pukul 06.25 WIB, Imam menerima telepon dari Tosan melalui handphonenya.
Tosan meminta Imam untuk datang ke rumahnya, karena ia berencana mengajak Imam
untuk berangkat bersama-sama melakukan demonstrasi menolak tambang pasir ke
Balai Desa. Pukul 06.30 WIB, Imam sampai di rumah Tosan. Ia berangkat dari
rumahnya dengan berjalan kaki. Waktu itu, Tosan sedang memanasi mesin motornya
di teras depan rumahnya. Imam sendiri sedang duduk-duduk di dalam ruang tamu
rumah Tosan. Pukul 06.30 WIB, Tosan dan Imam membagikan selebaran yang berisi
pernyataan kepala desa untuk menutup tambang pasir di Desa Selok Awar-Awar,
Kecamatan Pasirian, Kabupaten Lumajang. Imam dan Tosan membagikan selebaran itu
kepada para pengendara yang melewati depan rumahnya. Menurut keterangan Imam,
saat itu mereka baru berhasil membagikan 9 lembar selebaran kepada para
pengendara.
Pukul 07.00 WIB,
Parman, salah seorang anggota Tim 12 tiba-tiba berhenti di depan rumah Tosan,
mematikan mesin sepeda motornya, memarkirnya, lalu kemudian berteriak
membentak-bentak Tosan. Menurut Imam, Parman membentak tosan dengan kata-kata,
“Kenapa kamu mau demo kepala desa! Kalau kamu mau demo kepala desa, lawan saya
dulu,” ujar Imam menirukan ucapan dari Parman. Setelah sempat membentak Tosan,
Parman kemudian kembali menaiki sepeda motornya dan pergi menuju ke arah utara
(arah rumah Desir).
Berselang 10
menit kemudian, sekitar pukul 06.30 WIB, Parman kembali dengan 40 orang
lainnya. Mereka menghampiri rumah Tosan dengan mengendarai 20 sepeda motor.
Menurut keterangan Imam, rombongan massa tersebut dipimpin oleh Ehsan, anak
kandung Desir. Rombongan massa ini datang dari arah Utara rumah Tosan (dari
rumah Pak Desir). Ehsan adalah orang pertama yang menghampiri Tosan di halaman
depan rumah Tosan. Tanpa basa-basi, Ehsan langsung memukul Tosan dengan
menggunakan tangan kosong. Melihat Ehsan memukul Tosan, Tinarlab dan Misto,
tersangka lainnya, menyusul melancarkan pukulan ke Tosan. Desir pun ikut
memukul Tosan dari belakang, dan Tomin beserta Buri langsung membacok kepala
Tosan dengan menggunakan celurit. Menurut keterangan Imam, celurit yang
digunakan Tomin berasal dari sepeda motor milik Tomin. “Tomin waktu itu ngambil
celuritnya itu dari sepeda motornya,” terang Imam. Sedangkan Tejo, dan Ari,
tersangka lainnya, memukul Tosan dengan menggunakan bambu sepanjang 1 meter.
Bambu tersebut dibawa dengan menggunakan motornya.
Imam juga sempat
melihat Basri ikut memukul Tosan dengan menggunakan cangkul, dan Satrum,
beserta Sukit membacok Tosan dengan menggunakan golok. Anehnya, di tengah
pengeroyokan terhadap Tosan, Imam sempat melihat salah seorang anggota Babinsa
berdiri di seberang jalan depan rumah Tosan. Anggota Babinsa tersebut juga
diketahui berada di lapangan tempat Tosan dianiaya oleh massa. Melihat Tosan
dikeroyok oleh 40 orang, Imam lari ke belakang rumah Tosan untuk meminta tolong
kepada warga lainnya. Di belakang rumah, Imam sudah dihadang oleh 10 orang yang
dipimpin oleh Buri. Ia pun lari bersembunyi ke rumah Rohim, di dekat lapangan
belakang rumah Tosan. Sekitar pukul 07.30 WIB, dari rumah Rohim, Imam melihat
Tosan lari tunggang-langgang dengan menggunakan sepeda onthel, dikejar oleh 40
orang yang menggunakan sepeda motor.
Di depan
lapangan, sepeda Tosan ditabrak oleh Siyo yang menggunakan sepeda motor. Tosan
pun terjatuh dari sepedanya. Setelah jatuh, Tosan sempat dipukuli lagi dengan
menggunakan bambu dan kayu oleh massa. Imam juga sempat melihat tubuh Tosan
dilindas sebanyak 4 kali dengan menggunakan motor oleh Ehsan dan Siyo. Melihat
Tosan dilindas berkali-kali dengan menggunakan motor, Ridwan, salah seorang
warga yang rumahnya dekat dengan tempat kejadian berusaha untuk mengusir massa.
Menurut Ridwan, dengan komando dari Desir, massa akhirnya berjalan ke arah
utara menuju rumah Salim Kancil. Polisi sendiri baru datang ke tempat kejadian
(lapangan) pada pukul 07.45 WIB, setelah massa bergerak ke rumah Salim Kancil.
Menurut keterangan Ridwan, terdapat 4 orang anggota Polsek Pasirian yang
datang ke lapangan pada pukul 07.45 WIB. Imam dan Ridwan pun ikut
dibawa ke kantor Polsek Pasirian agar aman dari ancaman pembunuhan yang
dilakukan oleh tim 12.
Skema 2: Membunuh
Salim Kancil
Setelah puas
menganiaya Tosan di lapangan, 40 orang tim eksekutor yang diketuai oleh Desir
bergerak ke rumah Salim Kancil. Jarak antara Lapangan dan Rumah Salim Kancil
sekitar 4 km. Jika ditempuh dengan menggunakan sepeda motor, setidaknya
memerlukan waktu sekitar 10 menit untuk sampai ke rumah Salim Kancil. Pukul
07.30 WIB, di rumahnya, Salim Kancil bersama dengan Dio, anaknya yang berusia
12 tahun (kelas 5 SD), sedang mempersiapkan diri untuk berangkat menuju rumah
Ichsan, untuk membahas rencana menolak tambang pasir besi di Desa Selok
Awar-Awar, Kecamatan Pasirian, Kabupaten Lumajang. Pukul 07.40 WIB, Salim
Kancil berboncengan dengan Dio, berangkat dari rumahnya menuju rumah Ichsan
dengan menggunakan sepeda motor. Setelah berjalan sekitar 50 meter dari
rumahnya, Salim Kancil melihat rombongan tim 12 beserta 40 orang massa datang
dari arah selatan. Ia pun memutar balik sepeda motornya kembali ke rumahnya.
Sepeda motornya kemudian ia parkir di depan pintu rumah, dan Salim Kancil
meminta Dio untuk lari ke belakang rumah. Kehadiran Salim Kancil di depan
rumahnya disambut oleh cucunya yang masih berusia 5 tahun. Salim seketika
menggendong cucunya tersebut, dan membawanya masuk ke dalam rumah.
Setelah membalikkan badannya, Salim langsung dipukul oleh Ehsan,
dan Desir dengan menggunakan tangan kosong. Badan Salim Kancil didekap oleh
Tejo, dan kemudian tangannya diikat oleh Desir dengan menggunakan tali tambang
yang masih baru. Seketika itu Salim dinaikkan ke sepeda motor oleh Desir, dan
diapit oleh Basri. Oleh massa, ia dibawa ke Balai Desa. Dio yang berusaha
mengejar, dilempari batu oleh salah satu pelaku yang tidak dikenali. “Waktu itu
saya juga dibentak ‘jangan ikut-ikut kamu!”, ujar Dio menirukan ucapan dari
salah seorang pelaku tersebut.
Jarak antara
rumah Salim Kancil dengan Balai Desa sekitar 2 km. Jika ditempuh dengan
menggunakan sepeda motor, memakan waktu sekitar 5 menit perjalanan. Berdasarkan
keterangan salah seorang Guru PAUD (nama dirahasiakan) yang pada saat itu
sedang berada di Balai Desa, Salim Kancil dipukuli berkali-kali dengan menggunakan
bambu, dan kayu. Salim Kancil juga dicelurit berkali-kali, dan dibacok dengan
menggunakan golok. Tim eksekutor juga sempat merebahkan tubuh Salim Kancil,
lalu menggorok lehernya dengan menggunakan gergaji kayu. Tidak juga berhasil
dibunuh, salah seorang pelaku menyetrum tubuh Salim Kancil dengan menggunakan
kabel listrik yang disambungkan ke sakelar listrik yang ada di Balai Desa.
Menurutnya, massa yang mengeroyok Salim Kancil berjumlah 30-40 orang, ia tidak
dapat mengenalinya satu per satu karena situasinya pada saat itu sangat ricuh.
Ia sendiri lari dan mengevakuasi murid PAUD nya keluar dari Balai Desa Selok
Awar-Awar, Kecamatan Pasirian, Kabupaten Lumajang.
Pelajaran dari tragedi pasir Lumajang
Sumber: http://www.antaranews.com/berita/521701/pelajaran-dari-tragedi-pasir-lumajang, Senin, 5 Oktober 2015 12:21 WIB | Oleh
Zumrotun Solichah
“Kasus tersebut menggambarkan konflik
sumber daya antara Salim cs dengan akses sosial ekonomi politik terbatas
melawan kades cs yang memiliki akses dan otoritas yang kuat di desa
setempat."
Aksi solidaritas terhadap pembunuhan
Salim Kancil di depan Balaikota Malang, Jawa Timur, Senin (28/9). (ANTARA
FOTO/Ari Bowo Sucipto)
Lumajang
(ANTARA News) - Almarhum Salim alias Kancil (52) mungkin tidak pernah berharap
namanya dikenal oleh masyarakat karena menolak tambang pasir di pesisir selatan
kabupaten Lumajang, Jawa Timur.
"Pak Salim Kancil itu berjuang dengan ikhlas bersama warga karena tidak ingin penambangan pasir liar itu merusak lahan pertanian yang sudah digarap warga," kata Hamid, teman Salim Kancil.
Keinginan Salim bersama warga Desa Selok Awar-Awar, Kecamatan Pasirian, Kabupaten Lumajang, sebenarnya sederhana yakni ingin menggarap lahan pertanian untuk kelangsungan hidup.
"Pak Salim yang tidak pernah duduk di bangku sekolah pun tahu kalau penambangan pasir itu dapat merusak lingkungan dan rawan bencana, sehingga kami sebanyak 12 orang membentuk Forum Komunikasi Masyarakat Peduli Desa Selok Awar-Awar dan saya sebagai koordinatornya," tuturnya.
Melihat dampak yang cukup serius akibat penambangan pasir di Desa Selok Awar-Awar itu, beberapa warga tergerak membentuk forum sebagai kekuatan melawan penambangan yang dikelola oleh kepala desa setempat.
"Kawasan pesisir selatan seharusnya tidak dieksploitasi karena ancaman tsunami bisa datang kapan saja, sehingga tidak boleh ada penambangan," ujarnya.
Dampak kerusakan lingkungan akibat penambangan pasir di Desa Selok Awar-Awar selama dua tahun itu sudah dirasakan oleh warga sekitar yang bermata pencarian sebagai petani dan nelayan.
"Irigasi pertanian menjadi rusak dan warga tidak bisa menanam padi karena air laut yang menggenangi areal persawahan," ucap Hamid.
Almarhum Salim Kancil dan warga sekitar yang sehari-hari bekerja di sawah tidak bisa memanen hasil padinya karena penambangan yang semakin merusak lingkungan dan irigasi pertanian. Awalnya kepala desa meminta persetujuan masyarakat setempat untuk membangun kawasan objek wisata di sekitar Pantai Watu Pecak, namun lama-kelamaan bukan wisata yang digarap, malah penambangan pasir. Warga kemudian melakukan gerakan advokasi protes tentang penambangan pasir yang mengakibatkan rusaknya lingkungan dengan cara bersurat kepada pemerintahan desa, Pemerintahan Kecamatan Pasirian, dan Pemerintahan Kabupaten Lumajang.
"Pada Juni 2015, forum menyurati Bupati Lumajang untuk meminta audiensi tentang penolakan tambang pasir, tetapi tidak direspons dengan baik oleh Bupati yang diwakili oleh Camat Pasirian," paparnya.
Perjuangan Forum Komunikasi terus dilakukan hingga 9 September 2015 dengan melakukan aksi damai penghentian aktivitas penambangan Pasir dan penghentian truk bermuatan pasir di Balai Desa Selok Awar-Awar. Kemudian pada 10 September 2015, adanya ancaman pembunuhan yang dilakukan oleh preman bayaran yang diduga dari kepala desa setempat kepada Tosan dan beberapa anggota forum komunikasi lainya yang lantang menyuarakan penolakan tambang pasir yang diduga mengandung biji besi itu.
"Kami kemudian melaporkan kejadian tindak pidana pengancaman kepada Polres Lumajang. Saat itu Kasat Reskrim Polres Lumajang menjamin dan merespons pengaduan forum yang telah dikoordinasikan dengan pimpinan Polsek Pasirian," tuturnya.
Ancaman tersebut ternyata tidak hanya isapan jempol, karena preman bayaran itu benar-benar menindaklanjuti dengan melakukan penganiayaan terhadap dua aktivis antitambang tersebut pada 26 September 2015. Salim Kancil meninggal dunia setelah dianiaya oleh preman bayaran di Balai Desa Selok Awar-Awar, sedangkan Tosan mengalami luka parah hingga dilarikan ke rumah sakit.
"Setelah meninggalnya Salim Kancil, warga sudah bertekad bulat untuk melanjutkan perjuangannya menolak tambang di Desa Selok Awar-Awar karena jalan itu yang akan membuka pada kesejahteraan warga setempat," kata Hamid.
Penutupan Tambang
Setelah terbunuhnya Salim Kancil, Bupati Lumajang Asat Malik menginstruksikan penutupan tambang pasir di tujuh kecamatan di pesisir selatan, yakni Yosowilangun, Kunir, Tempeh, Pasirian, Candipuro, Pronojiwo dan Tempursari.
"Keputusan penutupan tambang pasir tidak berlaku di keseluruhan wilayah pertambangan karena yang ditutup adalah penambangan pasir di wilayah pesisir selatan Lumajang," kata Asat.
"Soal penambangan pasir yang berada di daerah aliran sungai (DAS) Semeru masih diizinkan dan akan terus ditata karena pasir galian C di DAS Semeru harus terus dikeruk agar tidak terjadi pendangkalan," tuturnya.
Pengamat lingkungan dari Universitas Jember Dr Abdul Qodim Manembojo mengatakan kasus pembunuhan Salim Kancil bermula dari konflik sumber daya alam (lahan pertanian) yang berhadapan dengan Kepala Desa Selok Awar-Awar cs yang ingin menguasai bisnis pasir.
"Salim tidak sendirian dalam konflik itu karena sekitar lima warga lainnya juga memiliki lahan yang luasnya sekitar 1 hektare, sehingga enam orang yang bersuara lantang menolak tambang dan menjadi target operasi dari kelompok penambang pasir yang dikendalikan kades setempat," tuturnya.
Kades menghendaki agar lahan Salim dan warga lainnya dijual atau diserahkan untuk ditambang dengan alat berat, namun bagi aktivis antitambang itu, menyerahkan lahan kepada kades sama saja merusak lahan bertani mereka yang berada di bibir Pantai Watu Pecak karena terjadi abrasi.
"Kasus tersebut menggambarkan konflik sumber daya antara Salim cs dengan akses sosial ekonomi politik terbatas melawan kades cs yang memiliki akses dan otoritas yang kuat di desa setempat. Konflik itu juga bersumber dari kelangkaan sumber daya karena kades merasa lahan yang mereka kuasai sudah sangat terbatas dan tidak mampu lagi memenuhi permintaan pasir Lumajang yang berkualitas selama lima tahun terakhir," paparnya.
Salim cs bertahan dengan cara hidup agraris karena tidak mau melepas lahan pertanian sebagai basis hidup mereka, sedangkan kades cs menganggap lahan Salim lebih menguntungkan dengan cara ditambang daripada dikelola sebagai lahan pertanian.
"Menurut saya konflik pasir berdarah di Lumajang itu merupakan konflik sumber daya lahan pertanian antarelit lokal desa yang telah mengalami proses ramifikasi dengan menyentuh isu lingkungan, sehingga menimbulkan ledakan kades cs sebagai perusak lingkungan vs Salim cs sebagai pejuang lingkungan," paparnya.
Abdul menegaskan masyarakat pesisir lebih paham tentang bagaimana menjaga lingkungan karena mereka bertahan hidup dengan bergantung pada sumber daya alam setempat. Terbunuhnya pejuang antitambang itu juga membuka lebar kepada publik, bahwa penambangan liar tanpa izin yang dikelola oleh pihak-pihak tertentu masih marak di pesisir pantai selatan Lumajang dan tidak ada tindakan tegas dari pemerintah setempat untuk menertibkan hal itu.
"Kasus Salim Kancil menjadi momentum introspeksi semua pihak untuk lebih peka terhadap masalah lingkungan dan tidak mengabaikan kaum minoritas yang berjuang hanya untuk mempertahankan hidup mereka," ucap dosen FKIP Universitas Jember itu.
Ia berharap kasus Salim Kancil dan Tosan menjadi pelajaran penting dan terakhir bagi semua pihak, tentang perlunya perlindungan terhadap para aktivis kemanusiaan dan manajemen pengelolaan tambang yang lebih baik ke depan dengan memperhatikan kelestarian lingkungan.
"Pak Salim Kancil itu berjuang dengan ikhlas bersama warga karena tidak ingin penambangan pasir liar itu merusak lahan pertanian yang sudah digarap warga," kata Hamid, teman Salim Kancil.
Keinginan Salim bersama warga Desa Selok Awar-Awar, Kecamatan Pasirian, Kabupaten Lumajang, sebenarnya sederhana yakni ingin menggarap lahan pertanian untuk kelangsungan hidup.
"Pak Salim yang tidak pernah duduk di bangku sekolah pun tahu kalau penambangan pasir itu dapat merusak lingkungan dan rawan bencana, sehingga kami sebanyak 12 orang membentuk Forum Komunikasi Masyarakat Peduli Desa Selok Awar-Awar dan saya sebagai koordinatornya," tuturnya.
Melihat dampak yang cukup serius akibat penambangan pasir di Desa Selok Awar-Awar itu, beberapa warga tergerak membentuk forum sebagai kekuatan melawan penambangan yang dikelola oleh kepala desa setempat.
"Kawasan pesisir selatan seharusnya tidak dieksploitasi karena ancaman tsunami bisa datang kapan saja, sehingga tidak boleh ada penambangan," ujarnya.
Dampak kerusakan lingkungan akibat penambangan pasir di Desa Selok Awar-Awar selama dua tahun itu sudah dirasakan oleh warga sekitar yang bermata pencarian sebagai petani dan nelayan.
"Irigasi pertanian menjadi rusak dan warga tidak bisa menanam padi karena air laut yang menggenangi areal persawahan," ucap Hamid.
Almarhum Salim Kancil dan warga sekitar yang sehari-hari bekerja di sawah tidak bisa memanen hasil padinya karena penambangan yang semakin merusak lingkungan dan irigasi pertanian. Awalnya kepala desa meminta persetujuan masyarakat setempat untuk membangun kawasan objek wisata di sekitar Pantai Watu Pecak, namun lama-kelamaan bukan wisata yang digarap, malah penambangan pasir. Warga kemudian melakukan gerakan advokasi protes tentang penambangan pasir yang mengakibatkan rusaknya lingkungan dengan cara bersurat kepada pemerintahan desa, Pemerintahan Kecamatan Pasirian, dan Pemerintahan Kabupaten Lumajang.
"Pada Juni 2015, forum menyurati Bupati Lumajang untuk meminta audiensi tentang penolakan tambang pasir, tetapi tidak direspons dengan baik oleh Bupati yang diwakili oleh Camat Pasirian," paparnya.
Perjuangan Forum Komunikasi terus dilakukan hingga 9 September 2015 dengan melakukan aksi damai penghentian aktivitas penambangan Pasir dan penghentian truk bermuatan pasir di Balai Desa Selok Awar-Awar. Kemudian pada 10 September 2015, adanya ancaman pembunuhan yang dilakukan oleh preman bayaran yang diduga dari kepala desa setempat kepada Tosan dan beberapa anggota forum komunikasi lainya yang lantang menyuarakan penolakan tambang pasir yang diduga mengandung biji besi itu.
"Kami kemudian melaporkan kejadian tindak pidana pengancaman kepada Polres Lumajang. Saat itu Kasat Reskrim Polres Lumajang menjamin dan merespons pengaduan forum yang telah dikoordinasikan dengan pimpinan Polsek Pasirian," tuturnya.
Ancaman tersebut ternyata tidak hanya isapan jempol, karena preman bayaran itu benar-benar menindaklanjuti dengan melakukan penganiayaan terhadap dua aktivis antitambang tersebut pada 26 September 2015. Salim Kancil meninggal dunia setelah dianiaya oleh preman bayaran di Balai Desa Selok Awar-Awar, sedangkan Tosan mengalami luka parah hingga dilarikan ke rumah sakit.
"Setelah meninggalnya Salim Kancil, warga sudah bertekad bulat untuk melanjutkan perjuangannya menolak tambang di Desa Selok Awar-Awar karena jalan itu yang akan membuka pada kesejahteraan warga setempat," kata Hamid.
Penutupan Tambang
Setelah terbunuhnya Salim Kancil, Bupati Lumajang Asat Malik menginstruksikan penutupan tambang pasir di tujuh kecamatan di pesisir selatan, yakni Yosowilangun, Kunir, Tempeh, Pasirian, Candipuro, Pronojiwo dan Tempursari.
"Keputusan penutupan tambang pasir tidak berlaku di keseluruhan wilayah pertambangan karena yang ditutup adalah penambangan pasir di wilayah pesisir selatan Lumajang," kata Asat.
"Soal penambangan pasir yang berada di daerah aliran sungai (DAS) Semeru masih diizinkan dan akan terus ditata karena pasir galian C di DAS Semeru harus terus dikeruk agar tidak terjadi pendangkalan," tuturnya.
Pengamat lingkungan dari Universitas Jember Dr Abdul Qodim Manembojo mengatakan kasus pembunuhan Salim Kancil bermula dari konflik sumber daya alam (lahan pertanian) yang berhadapan dengan Kepala Desa Selok Awar-Awar cs yang ingin menguasai bisnis pasir.
"Salim tidak sendirian dalam konflik itu karena sekitar lima warga lainnya juga memiliki lahan yang luasnya sekitar 1 hektare, sehingga enam orang yang bersuara lantang menolak tambang dan menjadi target operasi dari kelompok penambang pasir yang dikendalikan kades setempat," tuturnya.
Kades menghendaki agar lahan Salim dan warga lainnya dijual atau diserahkan untuk ditambang dengan alat berat, namun bagi aktivis antitambang itu, menyerahkan lahan kepada kades sama saja merusak lahan bertani mereka yang berada di bibir Pantai Watu Pecak karena terjadi abrasi.
"Kasus tersebut menggambarkan konflik sumber daya antara Salim cs dengan akses sosial ekonomi politik terbatas melawan kades cs yang memiliki akses dan otoritas yang kuat di desa setempat. Konflik itu juga bersumber dari kelangkaan sumber daya karena kades merasa lahan yang mereka kuasai sudah sangat terbatas dan tidak mampu lagi memenuhi permintaan pasir Lumajang yang berkualitas selama lima tahun terakhir," paparnya.
Salim cs bertahan dengan cara hidup agraris karena tidak mau melepas lahan pertanian sebagai basis hidup mereka, sedangkan kades cs menganggap lahan Salim lebih menguntungkan dengan cara ditambang daripada dikelola sebagai lahan pertanian.
"Menurut saya konflik pasir berdarah di Lumajang itu merupakan konflik sumber daya lahan pertanian antarelit lokal desa yang telah mengalami proses ramifikasi dengan menyentuh isu lingkungan, sehingga menimbulkan ledakan kades cs sebagai perusak lingkungan vs Salim cs sebagai pejuang lingkungan," paparnya.
Abdul menegaskan masyarakat pesisir lebih paham tentang bagaimana menjaga lingkungan karena mereka bertahan hidup dengan bergantung pada sumber daya alam setempat. Terbunuhnya pejuang antitambang itu juga membuka lebar kepada publik, bahwa penambangan liar tanpa izin yang dikelola oleh pihak-pihak tertentu masih marak di pesisir pantai selatan Lumajang dan tidak ada tindakan tegas dari pemerintah setempat untuk menertibkan hal itu.
"Kasus Salim Kancil menjadi momentum introspeksi semua pihak untuk lebih peka terhadap masalah lingkungan dan tidak mengabaikan kaum minoritas yang berjuang hanya untuk mempertahankan hidup mereka," ucap dosen FKIP Universitas Jember itu.
Ia berharap kasus Salim Kancil dan Tosan menjadi pelajaran penting dan terakhir bagi semua pihak, tentang perlunya perlindungan terhadap para aktivis kemanusiaan dan manajemen pengelolaan tambang yang lebih baik ke depan dengan memperhatikan kelestarian lingkungan.
Editor:
Aditia Maruli
COPYRIGHT
© ANTARA 2015
REFLEKSI
Dari
Tragedi Selok Awar-awar, ada beberapa hal yang bisa kita baca dan kita sarikan
menjadi permasalahan yang menjadi akar masalah, seperti berikut ini.
1. Penguasaan
sumberdaya alam secara sepihak untuk mengeruk keuntungan sebesar-besanya tanpa
mengindahkan kepentingan orang lain dan masyarakat secara luas.
2. Penguasa
local yang menyalahgunakan kekuasaannya sebagai alat untuk menimbun kekayaan
tanpa mempedulikan kesejahteraan rakyat yang dipimpinnya.
3. Otoritarianisma
dalam bentuk premanisnma masih gaya kepemimpinan yang dipuja untuk diterapkan
oleh penguasa (local).
4. Pembiaran
terhadap aktivitas penambangan dan aktivitas usaha yang merusak lingkungan dan
alam oleh Aparat Negara dan Aparat Keamanan di berbagai tempat.
5. Keterlibatan
Birokrat yang lebih tinggi dan Aparat Keamanan sebagai “pelindung” aktivitas
pertambangan liar untuk memperoleh pendapatan lebih yang bersifat koruptif.
6. Penegakkan
hokum yang lemah bahkan cenderung melindungi pelaku perusak lingkungan alam dan
hokum dan malah mengkriminalisasi aktivis-aktivis pembela lingkungan dan alam.
7. Negara dan
Korporasi masih menjadikan eksploitasi alam (tambang, perkebunan sawit, alih
fungsi lahan pertanian, dan lain sebagainya) sebagai cara cepat untuk
mendapatkan Pendapatan Asli Daerah dan bahkan Devisa Negara dengan cepat tanpa
berhitung untuk jangka panjang.
Tragedi
Selok Awar-awar hanya satu dari berbagai permasalahan konflik perebutan
sumberdaya yang terjadi di Indonesia.
Bukan hanya konflik antara rakyat dengan penguasa local saja, tetapi ada
berbagai kasus yang melibatkan rakyat dan korporasi, bahkan di beberapa kasus
malah rakyat harus berhadapan dengan Negara yang seharusnya melindungi
rakyatnya.
Terbunuhnya
Salim Kancil hanya salah satu korban yang tampak dan terkespos oleh media,
bagaimana dengan berbagai kasus akibat pembukaan lahan untuk perkebunan dan
pertambangan di pedalaman Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Papua dan berbagai
tempat lainnya yang jauh dari mata media.
Sebagai
catatan akhir, apa yang bisa kita lakukan? Bagaimana kita melakukannya? Untuk
bukan sekedar bersimpati dan berempati semata tetapi berbuat nyata untuk
mengurangi permasalahan konflik sumberdaya alam dan perusakan lingkungan di berbagai
tempat di seantero Nusantara ini.
Malang,
19 Oktober 2015
Daniel
S. Stephanus
2 komentar:
Gabung Yuk Di Ligasuper88 Bandar Taruhan Online Paling Top
------------------------------------------
☑ Sportsbook
☑ Live Casino
☑ Slot Online
☑ Sabung Ayam
☑ Tembak Ikan
☑ Toto Draw
------------------------------------------
🧧 New Member Sportsbook 30%
🧧 New Member Casino 30%
🧧 New Member Slot 50%
🧧 Cashback Sportsbook 10%
🧧 Rollingan Casino 1%
🧧 Rollingan Slot 1%
------------------------------------------
💰 Min. DP 25.000
💰 Min. WD 50.000
------------------------------------------
📲 Whatsaap :+85561375501
📲 Line : Ligasuper88
🌐 Www. Ligasuper88 .Com
Gabung Yuk Di Ligasuper88 Bandar Taruhan Online Paling Top
------------------------------------------
☑ Sportsbook
☑ Live Casino
☑ Slot Online
☑ Sabung Ayam
☑ Tembak Ikan
☑ Toto Draw
------------------------------------------
🧧 New Member Sportsbook 30%
🧧 New Member Casino 30%
🧧 New Member Slot 50%
🧧 Cashback Sportsbook 10%
🧧 Rollingan Casino 1%
🧧 Rollingan Slot 1%
------------------------------------------
💰 Min. DP 25.000
💰 Min. WD 50.000
------------------------------------------
📲 Whatsaap :+85561375501
📲 Line : Ligasuper88
🌐 Www. Ligasuper88 .Com
Posting Komentar