Rabu, 11 November 2015

KALA BENOA, MENGURUK LAUT MENGHANCURKAN HIDUP



MUKADIMAH
Ekspansi kuasa modal semakin menjadi-jadi, bukan hanya dengan kekuatan modal yang dimiliki untuk membeli aset rakyat yang nota bene dengan mengabaikan lestarinya lingkungan tetapi juga mengancam kehidupan sosial budaya dan kearifan lokal.  Bahkan dengan  jumlah uangnya yang nyaris tak terbatas mampu membeli para birokrat dan kuasa politik lokal bahkan nasional demi nafsu rakusnya.  Juga bagaimana kuasa uang para pemodal mampu membeli idealisma akademisi untuk menyokong keinginan mereka. 
Reklamasi Teluk Benoa adalah salah satu contoh kasus, syahwat ekspansi kuasa modal bukan hanya ingin menguruk teluk menjadi daratan untuk kawasan industri pariwisata yang tak ramah lingkungan saja tetapi juga tak mengindahkan budaya dan kearifan lokal.  Dipertontonkan pula bagaimana kuatnya keuatan uang kuasa modal mampu mengatur penguasa lokal dan bahkan nasional untuk membantu memuluskan pemenuhan sayhwat ekspansi.  Diperlihatkan pula, bagaimana cerdik pandai yang bergelar Guru Besarpun rela tunduk dan melacurkan idealisma dan keilmuannya dengan menjadi penyedia jasa konsultan studi kelayakan reklamasi.
Pada tulisan ini akan disajikan kronologi dan dampak serta data dan fakta yang telah banyak dihimpun dan disebarluarkan oleh kawan-kawan ForBali13, komunitas penolak reklamasi Teluk Benoa.  Juga akan disajikan hasil kerja kawan-kawan ForBali13 dalam berjuang menjaga lestarinya Teluk Benoa dan Pulau Bali.  Pada bagian akhir juga akan disajikan sedikit pemikiran dan analisis dengan menggunakan pendekatan Triple Bottom Line dengan prinsip People and Planet before Profit.

KRONOLOGI
26 Desember 2012, Gubernur Bali mengeluarkan ijin pemanfaatan kawasan Teluk Benoa untuk PT Tirta Wahana Bali Internasional (TWBI) dengan SK Gubernur Nomor 2138/02-C/HK/2012 tentang Rencana Pemanfaatan dan Pengembangan Kawasan Perairan Teluk Benoa Kabupaten Badung seluas 828 hektar.  Ijin prinsip untuk pengelolaan kawasan diterbitkan tanpa ada kajian terlebih dahulu.
16 Agustus 2013, Gubernur Bali mencabut SK sebelumnya dan mengganti dengan SK Gubernur Nomor 1727/01-B/HK/2013 tentang ijin Studi Kelayakan Rencana Pemanfaatan, Pengembanga, dan Pengeloaan Wilayah Perariran Teluk Benoa.  Sekedar revisi atas SK sebelumnya.
Polemik yang terjadi adalah sebagai berikut:
(1)    Keluarnya ijin dengan SK Gubernur yang diam-diam, tanpa kajian, dan cenderung manipulative.
(2)    SK Gubernur bertentangan dengan Perpres Nomor 45/2011 tentang Tata Ruang Kawasan Kawasan Perkotaan Sarbatiga.  Perpres menyatakan bahwa Teluk Benoa adalah kawasan konservasi.
(3)    SK Gubernur bertentangan dengan Perpres Nomor 122/2012 tentang Reklamasi di Wliayah-Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.  Perpres melarang reklamasi di kawasan konservasi.
Pada akhir masa jabatan Presiden, SBY mengeluarkan Perpres Nomor 51/2014 tentang Perubahan atas Perpres 45/2011 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan Sarbatiga.  Perpres baru ini mengubah status kawasan Teluk Benoa menjadi bukan kawasan konservasi.  Perpres yang jelas-jelas dikeluarkan secara mendadak untuk mengakomodir kepentingan PT TWBI selaku investor reklamasi Teluk Benoa.
Selanjutnya, terbit Surat Ijin dari Menteri Kelautan dan Perikanan dengan SK Nomor 445/men-KP/VIII/2014 tentang Reklamasi di Kawasan Teluk Benoa seluas 700 hektar.  Terbitnya Perpres 51/2014 menjadikan perijinan bagi PT TWBI lancer dan tanpa hambatan.
Kejanggalan-Kejanggalan dai terbitnya Perpres, SK Menteri, dan SK Gubernur tentang Reklamasi Teluk Benoa adalah sebagai berikut:
(1)    Dinyatakan terjadi pendangkalan dan sedimentasi di Teluk Benoa.  Mengapa mengatasinya bukan dengan pengerukan (normalisasi) tetapi malah pengurukan (reklamasi)?
(2)    Material uruk untuk reklamasi diperkirakan sebanyak 40 juta meter kubik.  Apakah tidak akan menjadikan Teluk Benoa bukan saja dangkal permanen tetapi menjadi daratan?
(3)    Minimnya pelibatan masyarakat dalam kajian oleh investor maupun pemerintah.  Padahal Teluk Benoa berada di 3 kecamatan di 2 Kota/Kabupaten.  Kecamatan Denpasar Selatan di Kota Denpasar dan Kecamatan Kuta dan Kuta Selatan di Kabupaten Badung.  Terdiri dari 12 Desa.
Sumber: www.forbali13.org

MASALAH DAN KERENTANAN
Dirangkum menjadi 13 alasan menolak Reklamasi Teluk Benoa.
  1. Reklamasi merusak fungsi konservasi
Teluk Benoa adalah tampungan atau muara dari 5 sungai dan merupakan kawasan suci (Ampuhan Agung), selain itu merupakan  pembentuk Kepulauan Bali.  Teluk Benoa memiliki ekosistem lengkap berupa kawasan mangrove, padang lamun, dan terumbu karang, serta kawasan penyangga terumbu karang yang lebih luas lagi.  Teluk Benoa merupakan kawasan hayati Segitiga Emas Bali (Bali – Nusa Penida – Candi Dasa).
  1. Fungsi reservoir menurun
Reklamasi akan menganggu fungsi 5 sungai yang bermuara di Teluk Benoa (Badung, Mati, Tuban, Bualu, dan Sana) sebagai pengendali banjir di Tanjung Benoa sampai kawasan Bandara akan terganggu bahkan akan kehilangan fungsinya.
  1. Pulau-Pulau baru menyebabkan kerentanan bencana
Reklamasi akan menghilangkan fungsi liquitaksi, fungsi penahanan getaran gempa pada permukaan tanah.  Akibat lebih jauhnya adalah meningkatnya kerencatanan terjadinya tsunami bila terjadi gempa baik di laut maupun di darat.
  1. Rusaknya terumbu karang
Polip atau rongga terumbu karang akan tertutup material padat sehingga akan mematikan terumbu karang tersebut.  Kawasan terumbu karang yanfg rusak akan mengakibatkan rusaknya keanekaragaman hayati di kawasan Segitiga Emas Bali (Bali – Nusa Penida – Candi Dasa).  Material uruk yang didatangkan dari Nusa Dua (Badung), Candi Dasa (Karangasem), dan Sekotong (Lombok) akan merusak kawasan dan lingkungan setempat.  Jadi, reklamasi bukan hanya merusakan ekosistem dan lingkungan Teluk Benoa, tetapi juga tempat asal material uruk didatangkan.
  1. Rusaknya ekosistem mangrove
Reklamasi akan mengakibatkan perubahan kondisi dan salinitas air, akibatnya akan menganggu dan merusak vegetasi asli Teluk Benoa.  Akibat lebih jauh dari rusaknya vegetasi Teluk Benoa adalah rusaknya ekosistem dan keanekaragaman hayati Teluk Benoa.
  1. Ancaman abrasi pantai
Bukan hanya Benoa saja tetapi abrasi pantai akan mengancam Nusa Dua, Sanur, Gianyar, Klungkung, dan Karangasem.
  1. Material reklamasi akan didatangkan dari Nusa Dua (Badung), Candi Dasa (Karangasem), dan Sekotong (Lombok)
Reklamasi akan mengakibatkan kerusakan bukan hanya di Teluk Benoa tetapi juga daerah asal material uruk.  Sebanyak 40 juta meter kubik bukan jumlah yang sedikit dan pasti akan merusak bukan hanya lingkungan dan ekosistem setempat tetapi juga social budaya serta tentu saja social ekonomi.
  1. Reklamasi adalah modus kuasa modal untuk mendapatkan tanah berbiaya murah
Reklamasi menghasilkan tanah berbiaya murah karena harga tanah di sekitar Teluk Benoa telah mencapai harga 1,5—2 Milyar/are.  Sedangkan biaya reklamasi diperkirakan hanya sebesar 1 Milyar/are.  Besar keuntungan pemodal bila luasan reklamasi seluas 700 hektar.  Reklamasi bukan hanya menghancurkan lingkungan dan alam tetapi juga mengancam ratusan nelayan tradisional yang mengantungkan hidup dari Teluk Benoa.
  1. Kebijakan pemerintah yang pro modal
Reklamasi membuka borok mudahnya keluar ijin untuk para pemodal.  Bukan hanya SK Gubernur atau SK Menteri, bahkan Perpres-pun bisa “dibeli” oleh kekuatan uang para pemodal.  Kelindan para Birokrat dan Politisi sebagai dengan kuasa modal yang ekspansif dan destruktif.
  1. Pulau-pulau baru hasil reklamasi untuk mendukung industry pariwisata
Reklamasi akan berimbas pada munculnya ratusan hotel dan ribuan kamar baru.  BaIi selatan sudah dinyatakan terlalu banyak kamar dan sudah diberlakukan moratorium pembangunan hotel dan penambahan kamar baru, mengapa akan dibangun ratusan hotel baru dan ribuan kamar baru di Bali Selatan?  Dampak lebih jauh adalah semakin melabatnya ketimpangan antara kawasan Bali Selatan dan Bali Utara.  Selain itu, masifnya fasilitas hotel juga akan mengakibatkan kelangkaan daya dukung alam seperti air, permasalahan energy listrik, dan tentu saja sampah.
  1. Janji manis investor yang membuai mimpi
Reklamasi Teluk Benoa dapat menjadi mimpi indah yang berubah menjadi mimpi buruk seperi pengembangan kawasan pariwisata lain di Pulau Bali.  Bagaimana kelanjutan reklamasi Pulau Serangan yang terbengkalai? Bagaimana dengan proyek Garuda Wisnu Kencana (GWK) yang macet? Bagaimana dengan Pecatu Graha dan BNR yang terhenti?
  1. Mudahnya merubah status kawasan konservasi menjadi kawasan pemanfaatan
Reklamasi menunjukkan lemahnya komitmen resim saat itu terhadap pelestarian alam.  Bahkan untuk komitmen yang digagasnya, Coral Triangle Initiative, bisa dengan mudah diabaikan dengan menerbitkan Perpres 51/2014 yang mengubah kawasan konservasi Teluk Benoa menjadi kawasan pemanfataan.  Selain itu, nampak jelas abainya rezim pada menjaga fungsi kawasan hidup yang sehat bagi masyarakat local.
  1. Kebangkrutan pariwisata Bali
Reklamasi mengabaikan pariwisata Bali yang berbasis pada alam, budaya, dan spiritualitas bahkan dirusak dan “diperkosa” dengan pola-pola industrialisasi yang ekspansif, masif dan destruktif.  Ciri khas semangat kapitalistik dan imperialistic. 
Sumber: www.walhibali.org



 
HASIL PERTEMUAN BERSAMA DENGAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH (DPD), KEMENTERIAN, dan PT. TIRTA WAHANA BALI INTERNATIONAL (TWBI)
Hasil Pertemuan antara ForBali13 dengan Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPD), Kementerian Terkait, dan PT TWBI
Pertemuan yang dihadiri oleh Forbali13 yang juga diikuti oleh Bendesa Pekraman dan Sekses Tanjung Benoa, PT TWBI yang dihadiri oleh Direksi (AA Ngurah M.) dan Komisaris (Nyoman Sebudi) serta konsutan (Prof. Dietrich dari IPB).  Sedangkand dari DPD hadir Senator Kadek Lola Arimbawa dan Gde Pasek Suardika serta dari Kementerian Kelautan dan Perikanan yang diwakili oleh Dirjen KP3K (Sudirman Saad) dan Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup yang diwakili oleh Deputi Tata Kelola Lingkungan Hidup.
  1. Disoroti oleh para Senator adalah mudahnya AMDAL dikeluarkan oleh KKLH dan presentasi dari KKP yang mirip dengan presentasi dari PT TWBI.
  2. Terminologi revitalisasi yang dipergunakan oleh investor tetapi dengan aktivitas yang jelas-jelas reklamasi, sehingga muncul penolakan dari warga Bali yang diwakili oleh ForBali13.
  3. Masterplan reklamasi yang mirip dengan Venesia di Italia tetapi bukan Bali yang nuansa kearifan lokalnya kental.
  4. Keberpihakan akademisi sebagai konsultan dan KKP dan KKLH yang terang-terangan bekerja untuk kepentingan investor.
  5. Alasan investor, KKP, dan KKLH tentang pendangkalan dan sedimentasi di Teluk Benoa tetapi malah dilakukan pendangkalan permanen melalui reklamasi adalah alasan yang sangat tidak masuk akal.
  6. Teluk Benoa sebagai penampungan 5 sungai dan pengendali banjir akan terganggu dan akan mengakibatkan banjir di kawasan Tanjung Benoa.
  7. Hilangngya fungsi spawning (pemijahan), nursery (pemeliharaan), dan feeding (makan) di kawasan mangrove akan berdampak pada keanekaragaman hayati serta ikan tangkapan dari nelayan local.
  8. Reklamasi yang bertujuan untuk pengembangan pariwisata yang jelas-jelas untuk mencari keuntungan mengapa dipresentasikan dan disosialisasikan dengan terminology revitalisasi yang bersifat konservasi.  Terjadi proses kebohongan public secara masif yang dilakukan oleh investor, pemerintah local, bahkan kementerian dan presiden melalui SK dan Perpres.
  9. Hilangnya daerah tangkapan ratusan nelayan tradisional yang akan menghancurkan perekonomian dan kehidupan nelayan local.
Sumber: Agung Alit dan Gendovara


 


Selain hasil dari pertemuan antara para pemangku kepentingan dengan pada Senator dari Bali diketemukan pula modus kongkalikong lain yang dilakukan oleh investor dan birokrat.
Disusun rencana untuk melakukan tukar guling Pulau Pudut (169,95 hektar) yang kosong dengan Hutan Mangrove seluas 238,79 hektar di Tahura Ngurah Rai (dekat Bandara).  Pulau Pudut akan dihapus dan dijadikan kawasan penyangga bagi kawasan Reklamasi Teluk Benoa seluas 700 hektar.  Hutan Mangrove akan menjadi kawasan konservasi penganti Teluk Benoa.
Sumber: www.balebengong.net


TEORI TRIPLE BOTTOM LINE
Istilah Triple Bottom Line dipopulerkan oleh John Elkington pada tahun 1997. Melalui bukunya yang berjudul “Cannibals with Forks, the Triple Bottom Line of Twentieth Century Business”, Elkington (1997) mengembangkan konsep Triple Bottom Line dalam istilah (1) economic prosperity, (2) environmental quality, and (3) social justice. Perusahaan yang berkelanjutan haruslah memperhatikan “3P”. Selain mengejar profit, perusahaan juga harus memperhatikan dan terlibat dalam pemenuhan kesejahteraan masyarakat (people) dan turut berkontribusi aktif dalam menjaga kelestarian lingkungan (planet). Aspek-aspek yang terdapat dalam Triple Bottom Line adalah sebagai berikut (Wibisono, 2007).



1. Profit
Profit merupakan unsur terpenting dan menjadi tujuan dari setiap kegiatan usaha. Fokus utama dari seluruh kegiatan dalam perusahaan adalah mengejar profit atau mendongkrak harga saham setinggi-tingginya, baik secara langsung maupun tidak langsung. Profit sendiri adalah tambahan pendapatan yang dapat digunakan untuk menjamin kelangsungan hidup perusahaan. Aktivitas yang dapat ditempuh untuk mendongkrak profit antara lain dengan meningkatkan produktivitas dan melakukan efisiensi biaya. Hal tersebut akan menyebabkan perusahaan memiliki keunggulan kompetitif yang dapat memberikan nilai tambah semaksimal mungkin.

2. People
Masyarakat di sekitar perusahaan adalah salah satu stakeholder penting yang harus diperhatikan oleh perusahaan. Dukungan dari masyarakat sekitar sangat diperlukan bagi keberadaan, kelangsungan hidup, dan perkembangan perusahaan sehingga perusahaan akan selalu berupaya untuk memberikan manfaat yangsebesar-besarnya kepada masyarakat. Operasi perusahaan berpotensi memberikan dampak bagi masyarakat sekitar, sehingga perusahaan perlu untuk melakukan berbagai kegiatan yang menyentuh kebutuhan masyarakat. Secara ringkas, jika perusahaan ingin tetap mempertahankan usahanya, perusahaan juga harus menyertakan tanggung jawab yang bersifat sosial.

3. Planet
Selain aspek people, perusahaan juga harus memperhatikan tanggung jawabnya terhadap lingkungan. Karena keuntungan merupakan inti dari dunia bisnis, kerapkali sebagian besar perusahaan tidak terlalu memperhatikan hal yang berhubungan dengan lingkungan, karena tidak ada keuntungan langsung di dalamnya. Dengan melestarikan lingkungan, perusahaan akan memperoleh keuntungan yang lebih, terutama dari sisi kenyamanan dan ketersediaan sumber daya yang menjamin kelangsungan hidup perusahaan.


Konsep dan Definisi Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perusahaan

Menurut Global Reporting Initiative (GRI) tanggung jawab sosial dan lingkungan adalah, “Corporate social reporting/sustainability reporting is a process for publicly disclosing an organization’s economic, environmental, and social performance”.  World Bank (2003) menyatakan definisi CSR sebagai, “The commitment of business to contribute to sustainable economic development, working with employees, their families, the local community and society at large to improve their quality of life.”  Untung (2008) memberikan pengertian mengenai tanggung jawab sosial dan lingkungan sebagai, “Corporate Social Responsibility adalah komitmen perusahaan atau dunia bisnis untuk berkontribusi dalam pengembangan ekonomi yang berkelanjutan dengan memerhatikan tanggung jawab sosial perusahaan dan menitikberatkan pada keseimbangan antara perhatian terhadap aspek ekonomis, sosial, dan lingkungan.”

Jadi, tanggung jawab sosial dan lingkungan perusahaan adalah tanggung jawab yang diemban oleh perusahaan terhadap keseimbangan antara aspek- aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan. Tanggung jawab sebuah perusahaan tersebut meliputi beberapa aspek yang tidak dapat dipisahkan. Tanggung jawab sosial atau Corporate Social Responsibility (CSR) adalah kontribusi sebuah perusahaan yang terpusat pada aktivitas bisnis, investasi sosial dan program philantrophy, serta kewajiban dalam kebijakan publik (Wineberg, 2004). Tujuan dari adanya CSR yaitu sebagai wujud tanggung jawab sosial dan lingkungan perusahaan atas dampak-dampak lingkungan yang ditimbulkannya. Banyaknya global warming, kemiskinan yang semakin meningkat, serta memburuknya kesehatan masyarakat memicu perusahaan untuk melakukan tanggung jawab sosial dan lingkungannya. CSR memegang peranan yang penting dalam strategi perusahaan di berbagai sektor yang terjadi ketidakkonsitenan antara keuntungan perusahaan dan tujuan sosial, atau perselisihan yang dapat terjadi karena isu-isu tentang kewajaran yang berlebihan (Heal, 2004).

CSR merupakan suatu bentuk kepedulian sosial perusahaan untuk melayani kepentingan organisasi maupun kepentingan publik eksternal/masyarakat. CSR adalah komitmen perusahaan untuk mempertanggungjawabkan dampak operasi dalam dimensi sosial, ekonomi serta lingkungan. Dengan atau tanpa aturan hukum, sebuah perusahaan harus menjunjung tinggi moralitas. Parameter keberhasilan suatu perusahaan dalam sudut pandang CSR adalah pengedepankan prinsip moral dan etis, yakni menggapai suatu hasil terbaik, tanpa merugikan kelompok masyarakat yang lainnya.

European Commission (2001) mendefinisikan CSR sebagai, “a concept where by companies integrate social and environmental concerns in their business operations and in their interaction with their stakeholders on a voluntary basis”.  CSR Asia dalam Darwin (2008) mendefinisikan CSR sebagai, “CSR is a company’s commitment to operating in an economically, socially and environmentally sustainable manner whilst balancing the interests of diverse stakeholders.”

Jadi, CSR adalah komitmen perusahaan terhadap tiga (3) elemen, yaitu elemen ekonomi, sosial, dan lingkungan. Definisi CSR merujuk pada definisi yang disampaikan European Commission dan CSR Asia di atas, yaitu perusahaan semakin menyadari bahwa kelangsungan hidup perusahaan juga tergantung dari hubungan perusahaan dengan masyarakat dan lingkungannya tempat perusahaan beroperasi.  Hal ini selaras dengan legitimacy theory yang menyatakan bahwa perusahaan memiliki kontrak dengan masyarakat untuk melakukan kegiatannya berdasarkan nilai-nilai keadilan, dan bagaimana perusahaan menanggapi berbagai kelompok kepentingan untuk melegitimasi tindakan perusahaan (Haniffa & Cooke, 2005). Jika terjadi ketidakselarasan antara sistem nilai perusahaan dan sistem nilai masyarakat, maka perusahaan akan kehilangan legitimasinya, yang selanjutnya akan mengancam kelangsungan hidup perusahaan itu sendiri (Lindblom, 1994).

REFLEKSI
Ekspansi kuasa modal yang massif dan dekstruktif terjadi di banyak tempat di Indonesia.  Tidak sedikit rakyat yang melakukan perlawanan terhadap ekspansi kuasa modal yang didukung loleh syahwat para birokrat dan politisi local sampai nasional untuk memperkaya diri.  Bali Toal Reklamasi (Teluk Benoa) di Bali hanya salah satu potret kecil perjuangan rakyat untuk menjaga lingkungan dan alam.
Tidak jauh dari tempat tinggal kita, di Malang Raya juga banyak terjadi eksploitasi alam atas nama pembangunan ekonomi yang dilakukan oleh kuasa modal yang berkelindan dengan penguasa local.  Kawan-kawan di Desa Bulukerto, Kecamatan Bumiaji, Kota Batu yang tergabung dalam Nawakalam Gemulo berjuang untuk menyelamatkan Sumber Air Gemulo dari eksploitasi Hotel dan Resort Rayja.  Di Kabupaten Malang, kawan-kawan di Sumber Jeruk, Gondanglegi juga melakukan perlawanan untuk menyelamatkan mata air dan sungai dari ancaman pembangunan waduk.  Pulau Sempu sebagai Cagar Alam yang harusnya bebas dari aktivitas manusia terkomersialisasi menjadi kawasan wisata.  Pertambangan pasir di pantai-pantai selatan Malang seperti di Wonogoro dan sebentar lagi di Sitiarjo jelas akan menghancurkan kawasan pantai.  Demikian pula di Kota Malang, kawan-kawan Aliansi Peduli Hutan Kota Malabar berjuangan menjaga keberadaan dan fungsi hutan kota sebagai hutan kota dari ancaman alih fungsi menjadi taman kota yang ternyata menjadi syarat (kontijensi) ekspansi kuasa modal untuk mendirikan Apartemen Muria Residence.
Wacana sebagai dasar pemikiran bagus, tetapi bila tanpa diikuti oleh tindakan nyata, wacana hanya akan menguap tak berbekas.  Tindakan dan aksi nyata kita untuk menjaga lestarinya alam lebih penting dari beribu kata yang terucap di ruang-ruang diskusi.

Malang, 07 Oktober 2015
Daniel S. Stephanus 

 
REFERENSI

Commission of the European Communities. 2001. Promoting a European Framework for Corporate Social Responsibility. Brussels: European Community

Darwin, A. 2008. CSR: Standards dan Reporting. Makalah disampaikan pada Seminar Nasional CSR sebagai Kewajiban Asasi Perusahaan; Telaah Pemerintah, Pengusaha, dan Dewan Standar Akuntansi, 27 November 2010.

Elkington, J. 1997.Cannibals with Forks: The Triple Bottom Line of 21st Century Business. Oxford: Capstone Publishing.

Haniffa, R. M & Cooke, T. E. 2005. The Impact of Culture and Governance on Corporate Social Reporting. Journal of Accounting and Public Policy 24

Heal, G. 2004. Corporate Social Responsibility – An Economic and Financial Framework. Working Paper. Columbia Business School

Lindblom, C. K. 1994. The Implications of Organizational Legitimacy for Corporate

Untung, H. B. 2008. Corporate Social Responsibility. Jakarta: Sinar Grafika
Wineberg, D. 2004. Corporate Social Responsibility – What Every In House Counsel Should Know. Acc Docket.

World Bank Ext Communications For Development Division Devcomm/Sdo. 2003. Corporate Social Responsibility And Multi Stakeholder Dialogue: Towards Environmental Behavioral Change. Discussion Paper




Akun Facebook Agung Alit dan Gendovara

Tidak ada komentar: