MUKADIMAH
Ekspansi kuasa modal semakin menjadi-jadi, bukan hanya
dengan kekuatan modal yang dimiliki untuk membeli aset rakyat yang nota bene
dengan mengabaikan lestarinya lingkungan tetapi juga mengancam kehidupan sosial
budaya dan kearifan lokal. Bahkan
dengan jumlah uangnya yang nyaris tak
terbatas mampu membeli para birokrat dan kuasa politik lokal bahkan nasional
demi nafsu rakusnya. Juga bagaimana
kuasa uang para pemodal mampu membeli idealisma akademisi untuk menyokong
keinginan mereka.
Reklamasi Teluk Benoa adalah salah satu contoh kasus,
syahwat ekspansi kuasa modal bukan hanya ingin menguruk teluk menjadi daratan
untuk kawasan industri pariwisata yang tak ramah lingkungan saja tetapi juga
tak mengindahkan budaya dan kearifan lokal.
Dipertontonkan pula bagaimana kuatnya keuatan uang kuasa modal mampu
mengatur penguasa lokal dan bahkan nasional untuk membantu memuluskan pemenuhan
sayhwat ekspansi. Diperlihatkan pula,
bagaimana cerdik pandai yang bergelar Guru Besarpun rela tunduk dan melacurkan
idealisma dan keilmuannya dengan menjadi penyedia jasa konsultan studi
kelayakan reklamasi.
Pada tulisan ini akan disajikan kronologi dan dampak serta data
dan fakta yang telah banyak dihimpun dan disebarluarkan oleh kawan-kawan
ForBali13, komunitas penolak reklamasi Teluk Benoa. Juga akan disajikan hasil kerja kawan-kawan
ForBali13 dalam berjuang menjaga lestarinya Teluk Benoa dan Pulau Bali. Pada bagian akhir juga akan disajikan sedikit
pemikiran dan analisis dengan menggunakan pendekatan Triple Bottom Line dengan prinsip People and Planet before Profit.
KRONOLOGI
26 Desember 2012, Gubernur Bali mengeluarkan ijin
pemanfaatan kawasan Teluk Benoa untuk PT Tirta Wahana Bali Internasional (TWBI)
dengan SK Gubernur Nomor 2138/02-C/HK/2012 tentang Rencana Pemanfaatan dan
Pengembangan Kawasan Perairan Teluk Benoa Kabupaten Badung seluas 828 hektar. Ijin prinsip untuk pengelolaan kawasan
diterbitkan tanpa ada kajian terlebih dahulu.
16 Agustus 2013, Gubernur Bali mencabut SK sebelumnya dan
mengganti dengan SK Gubernur Nomor 1727/01-B/HK/2013 tentang ijin Studi
Kelayakan Rencana Pemanfaatan, Pengembanga, dan Pengeloaan Wilayah Perariran
Teluk Benoa. Sekedar revisi atas SK
sebelumnya.
Polemik yang terjadi adalah sebagai berikut:
(1) Keluarnya
ijin dengan SK Gubernur yang diam-diam, tanpa kajian, dan cenderung
manipulative.
(2) SK
Gubernur bertentangan dengan Perpres Nomor 45/2011 tentang Tata Ruang Kawasan
Kawasan Perkotaan Sarbatiga. Perpres
menyatakan bahwa Teluk Benoa adalah kawasan konservasi.
(3) SK
Gubernur bertentangan dengan Perpres Nomor 122/2012 tentang Reklamasi di
Wliayah-Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
Perpres melarang reklamasi di kawasan konservasi.
Pada akhir masa jabatan Presiden, SBY mengeluarkan Perpres
Nomor 51/2014 tentang Perubahan atas Perpres 45/2011 tentang Rencana Tata Ruang
Kawasan Perkotaan Sarbatiga. Perpres
baru ini mengubah status kawasan Teluk Benoa menjadi bukan kawasan
konservasi. Perpres yang jelas-jelas
dikeluarkan secara mendadak untuk mengakomodir kepentingan PT TWBI selaku
investor reklamasi Teluk Benoa.
Selanjutnya, terbit Surat Ijin dari Menteri Kelautan dan Perikanan
dengan SK Nomor 445/men-KP/VIII/2014 tentang Reklamasi di Kawasan Teluk Benoa
seluas 700 hektar. Terbitnya Perpres
51/2014 menjadikan perijinan bagi PT TWBI lancer dan tanpa hambatan.
Kejanggalan-Kejanggalan dai terbitnya Perpres, SK Menteri,
dan SK Gubernur tentang Reklamasi Teluk Benoa adalah sebagai berikut:
(1) Dinyatakan
terjadi pendangkalan dan sedimentasi di Teluk Benoa. Mengapa mengatasinya bukan dengan pengerukan
(normalisasi) tetapi malah pengurukan (reklamasi)?
(2) Material
uruk untuk reklamasi diperkirakan sebanyak 40 juta meter kubik. Apakah tidak akan menjadikan Teluk Benoa
bukan saja dangkal permanen tetapi menjadi daratan?
(3) Minimnya
pelibatan masyarakat dalam kajian oleh investor maupun pemerintah. Padahal Teluk Benoa berada di 3 kecamatan di
2 Kota/Kabupaten. Kecamatan Denpasar
Selatan di Kota Denpasar dan Kecamatan Kuta dan Kuta Selatan di Kabupaten
Badung. Terdiri dari 12 Desa.
Sumber: www.forbali13.org
MASALAH DAN
KERENTANAN
Dirangkum menjadi 13 alasan menolak Reklamasi Teluk Benoa.
- Reklamasi merusak fungsi konservasi
Teluk Benoa adalah tampungan atau
muara dari 5 sungai dan merupakan kawasan suci (Ampuhan Agung), selain itu
merupakan pembentuk Kepulauan Bali. Teluk Benoa memiliki ekosistem lengkap berupa
kawasan mangrove, padang lamun, dan terumbu karang, serta kawasan penyangga
terumbu karang yang lebih luas lagi.
Teluk Benoa merupakan kawasan hayati Segitiga Emas Bali (Bali – Nusa
Penida – Candi Dasa).
- Fungsi reservoir menurun
Reklamasi akan menganggu fungsi 5
sungai yang bermuara di Teluk Benoa (Badung, Mati, Tuban, Bualu, dan Sana)
sebagai pengendali banjir di Tanjung Benoa sampai kawasan Bandara akan
terganggu bahkan akan kehilangan fungsinya.
- Pulau-Pulau baru menyebabkan kerentanan bencana
Reklamasi akan menghilangkan fungsi
liquitaksi, fungsi penahanan getaran
gempa pada permukaan tanah. Akibat lebih
jauhnya adalah meningkatnya kerencatanan terjadinya tsunami bila terjadi gempa
baik di laut maupun di darat.
- Rusaknya terumbu karang
Polip atau rongga terumbu karang
akan tertutup material padat sehingga akan mematikan terumbu karang
tersebut. Kawasan terumbu karang yanfg
rusak akan mengakibatkan rusaknya keanekaragaman hayati di kawasan Segitiga
Emas Bali (Bali – Nusa Penida – Candi Dasa).
Material uruk yang didatangkan dari Nusa Dua (Badung), Candi Dasa
(Karangasem), dan Sekotong (Lombok) akan merusak kawasan dan lingkungan
setempat. Jadi, reklamasi bukan hanya
merusakan ekosistem dan lingkungan Teluk Benoa, tetapi juga tempat asal
material uruk didatangkan.
- Rusaknya ekosistem mangrove
Reklamasi akan mengakibatkan
perubahan kondisi dan salinitas air, akibatnya akan menganggu dan merusak
vegetasi asli Teluk Benoa. Akibat lebih
jauh dari rusaknya vegetasi Teluk Benoa adalah rusaknya ekosistem dan keanekaragaman
hayati Teluk Benoa.
- Ancaman abrasi pantai
Bukan hanya Benoa saja tetapi
abrasi pantai akan mengancam Nusa Dua, Sanur, Gianyar, Klungkung, dan
Karangasem.
- Material reklamasi akan didatangkan dari Nusa Dua (Badung), Candi Dasa (Karangasem), dan Sekotong (Lombok)
Reklamasi akan mengakibatkan
kerusakan bukan hanya di Teluk Benoa tetapi juga daerah asal material
uruk. Sebanyak 40 juta meter kubik bukan
jumlah yang sedikit dan pasti akan merusak bukan hanya lingkungan dan ekosistem
setempat tetapi juga social budaya serta tentu saja social ekonomi.
- Reklamasi adalah modus kuasa modal untuk mendapatkan tanah berbiaya murah
Reklamasi menghasilkan tanah
berbiaya murah karena harga tanah di sekitar Teluk Benoa telah mencapai harga
1,5—2 Milyar/are. Sedangkan biaya
reklamasi diperkirakan hanya sebesar 1 Milyar/are. Besar keuntungan pemodal bila luasan
reklamasi seluas 700 hektar. Reklamasi
bukan hanya menghancurkan lingkungan dan alam tetapi juga mengancam ratusan
nelayan tradisional yang mengantungkan hidup dari Teluk Benoa.
- Kebijakan pemerintah yang pro modal
Reklamasi membuka borok mudahnya
keluar ijin untuk para pemodal. Bukan
hanya SK Gubernur atau SK Menteri, bahkan Perpres-pun bisa “dibeli” oleh
kekuatan uang para pemodal. Kelindan
para Birokrat dan Politisi sebagai dengan kuasa modal yang ekspansif dan
destruktif.
- Pulau-pulau baru hasil reklamasi untuk mendukung industry pariwisata
Reklamasi akan berimbas pada
munculnya ratusan hotel dan ribuan kamar baru.
BaIi selatan sudah dinyatakan terlalu banyak kamar dan sudah diberlakukan
moratorium pembangunan hotel dan penambahan kamar baru, mengapa akan dibangun
ratusan hotel baru dan ribuan kamar baru di Bali Selatan? Dampak lebih jauh adalah semakin melabatnya
ketimpangan antara kawasan Bali Selatan dan Bali Utara. Selain itu, masifnya fasilitas hotel juga
akan mengakibatkan kelangkaan daya dukung alam seperti air, permasalahan energy
listrik, dan tentu saja sampah.
- Janji manis investor yang membuai mimpi
Reklamasi Teluk Benoa dapat menjadi
mimpi indah yang berubah menjadi mimpi buruk seperi pengembangan kawasan
pariwisata lain di Pulau Bali. Bagaimana
kelanjutan reklamasi Pulau Serangan yang terbengkalai? Bagaimana dengan proyek
Garuda Wisnu Kencana (GWK) yang macet? Bagaimana dengan Pecatu Graha dan BNR
yang terhenti?
- Mudahnya merubah status kawasan konservasi menjadi kawasan pemanfaatan
Reklamasi menunjukkan lemahnya
komitmen resim saat itu terhadap pelestarian alam. Bahkan untuk komitmen yang digagasnya, Coral
Triangle Initiative, bisa dengan mudah diabaikan dengan menerbitkan Perpres
51/2014 yang mengubah kawasan konservasi Teluk Benoa menjadi kawasan
pemanfataan. Selain itu, nampak jelas
abainya rezim pada menjaga fungsi kawasan hidup yang sehat bagi masyarakat
local.
- Kebangkrutan pariwisata Bali
Reklamasi mengabaikan pariwisata
Bali yang berbasis pada alam, budaya, dan spiritualitas bahkan dirusak dan
“diperkosa” dengan pola-pola industrialisasi yang ekspansif, masif dan
destruktif. Ciri khas semangat
kapitalistik dan imperialistic.
Sumber: www.walhibali.org
HASIL PERTEMUAN BERSAMA DENGAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH (DPD), KEMENTERIAN, dan PT. TIRTA WAHANA BALI INTERNATIONAL (TWBI)
Hasil Pertemuan antara ForBali13 dengan Komisi II Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (DPD), Kementerian Terkait, dan PT TWBI
Pertemuan yang dihadiri oleh Forbali13 yang juga diikuti
oleh Bendesa Pekraman dan Sekses Tanjung Benoa, PT TWBI yang dihadiri oleh
Direksi (AA Ngurah M.) dan Komisaris (Nyoman Sebudi) serta konsutan (Prof.
Dietrich dari IPB). Sedangkand dari DPD
hadir Senator Kadek Lola Arimbawa dan Gde Pasek Suardika serta dari Kementerian
Kelautan dan Perikanan yang diwakili oleh Dirjen KP3K (Sudirman Saad) dan
Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup yang diwakili oleh Deputi Tata
Kelola Lingkungan Hidup.
- Disoroti oleh para Senator adalah mudahnya AMDAL dikeluarkan oleh KKLH dan presentasi dari KKP yang mirip dengan presentasi dari PT TWBI.
- Terminologi revitalisasi yang dipergunakan oleh investor tetapi dengan aktivitas yang jelas-jelas reklamasi, sehingga muncul penolakan dari warga Bali yang diwakili oleh ForBali13.
- Masterplan reklamasi yang mirip dengan Venesia di Italia tetapi bukan Bali yang nuansa kearifan lokalnya kental.
- Keberpihakan akademisi sebagai konsultan dan KKP dan KKLH yang terang-terangan bekerja untuk kepentingan investor.
- Alasan investor, KKP, dan KKLH tentang pendangkalan dan sedimentasi di Teluk Benoa tetapi malah dilakukan pendangkalan permanen melalui reklamasi adalah alasan yang sangat tidak masuk akal.
- Teluk Benoa sebagai penampungan 5 sungai dan pengendali banjir akan terganggu dan akan mengakibatkan banjir di kawasan Tanjung Benoa.
- Hilangngya fungsi spawning (pemijahan), nursery (pemeliharaan), dan feeding (makan) di kawasan mangrove akan berdampak pada keanekaragaman hayati serta ikan tangkapan dari nelayan local.
- Reklamasi yang bertujuan untuk pengembangan pariwisata yang jelas-jelas untuk mencari keuntungan mengapa dipresentasikan dan disosialisasikan dengan terminology revitalisasi yang bersifat konservasi. Terjadi proses kebohongan public secara masif yang dilakukan oleh investor, pemerintah local, bahkan kementerian dan presiden melalui SK dan Perpres.
- Hilangnya daerah tangkapan ratusan nelayan tradisional yang akan menghancurkan perekonomian dan kehidupan nelayan local.
Sumber: Agung Alit dan Gendovara
Selain hasil dari pertemuan antara para pemangku kepentingan
dengan pada Senator dari Bali diketemukan pula modus kongkalikong lain yang
dilakukan oleh investor dan birokrat.
Disusun rencana untuk melakukan tukar guling Pulau Pudut
(169,95 hektar) yang kosong dengan Hutan Mangrove seluas 238,79 hektar di
Tahura Ngurah Rai (dekat Bandara). Pulau
Pudut akan dihapus dan dijadikan kawasan penyangga bagi kawasan Reklamasi Teluk
Benoa seluas 700 hektar. Hutan Mangrove
akan menjadi kawasan konservasi penganti Teluk Benoa.
Sumber: www.balebengong.net
TEORI TRIPLE BOTTOM LINE
Istilah Triple Bottom Line dipopulerkan
oleh John Elkington pada tahun 1997. Melalui bukunya yang berjudul “Cannibals
with Forks, the Triple Bottom Line of Twentieth Century Business”,
Elkington (1997) mengembangkan konsep Triple Bottom Line dalam istilah
(1) economic prosperity, (2)
environmental quality, and (3) social justice. Perusahaan
yang berkelanjutan haruslah memperhatikan “3P”. Selain mengejar profit,
perusahaan juga harus memperhatikan dan terlibat dalam pemenuhan kesejahteraan
masyarakat (people) dan turut berkontribusi aktif dalam menjaga
kelestarian lingkungan (planet). Aspek-aspek yang terdapat dalam Triple
Bottom Line adalah sebagai berikut (Wibisono, 2007).
1. Profit
Profit merupakan unsur terpenting dan menjadi tujuan dari setiap kegiatan
usaha. Fokus utama dari seluruh kegiatan dalam perusahaan adalah mengejar profit
atau mendongkrak harga saham setinggi-tingginya, baik secara langsung
maupun tidak langsung. Profit sendiri adalah tambahan pendapatan yang
dapat digunakan untuk menjamin kelangsungan hidup perusahaan. Aktivitas yang
dapat ditempuh untuk mendongkrak profit antara lain dengan meningkatkan
produktivitas dan melakukan efisiensi biaya. Hal tersebut akan menyebabkan
perusahaan memiliki keunggulan kompetitif yang dapat memberikan nilai tambah
semaksimal mungkin.
2. People
Masyarakat di sekitar perusahaan adalah
salah satu stakeholder penting yang harus diperhatikan oleh perusahaan.
Dukungan dari masyarakat sekitar sangat diperlukan bagi keberadaan,
kelangsungan hidup, dan perkembangan perusahaan sehingga perusahaan akan selalu
berupaya untuk memberikan manfaat yangsebesar-besarnya kepada masyarakat.
Operasi perusahaan berpotensi memberikan dampak bagi masyarakat sekitar,
sehingga perusahaan perlu untuk melakukan berbagai kegiatan yang menyentuh
kebutuhan masyarakat. Secara ringkas, jika perusahaan ingin tetap
mempertahankan usahanya, perusahaan juga harus menyertakan tanggung jawab yang
bersifat sosial.
3. Planet
Selain aspek people, perusahaan
juga harus memperhatikan tanggung jawabnya terhadap lingkungan. Karena
keuntungan merupakan inti dari dunia bisnis, kerapkali sebagian besar
perusahaan tidak terlalu memperhatikan hal yang berhubungan dengan lingkungan, karena
tidak ada keuntungan langsung di dalamnya. Dengan melestarikan lingkungan,
perusahaan akan memperoleh keuntungan yang lebih, terutama dari sisi kenyamanan
dan ketersediaan sumber daya yang menjamin kelangsungan hidup perusahaan.
Konsep dan Definisi Tanggung Jawab Sosial
dan Lingkungan Perusahaan
Menurut Global Reporting Initiative (GRI)
tanggung jawab sosial dan lingkungan adalah, “Corporate social
reporting/sustainability reporting is a process for publicly disclosing
an organization’s economic, environmental, and social performance”. World Bank (2003) menyatakan definisi CSR
sebagai, “The commitment of business to contribute to sustainable economic
development, working with employees, their families, the local community and
society at large to improve their quality of life.” Untung (2008) memberikan pengertian
mengenai tanggung jawab sosial dan lingkungan sebagai, “Corporate Social
Responsibility adalah komitmen perusahaan atau dunia bisnis untuk
berkontribusi dalam pengembangan ekonomi yang berkelanjutan dengan memerhatikan
tanggung jawab sosial perusahaan dan menitikberatkan pada keseimbangan antara
perhatian terhadap aspek ekonomis, sosial, dan lingkungan.”
Jadi, tanggung jawab sosial dan lingkungan
perusahaan adalah tanggung jawab yang diemban oleh perusahaan terhadap
keseimbangan antara aspek- aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan. Tanggung
jawab sebuah perusahaan tersebut meliputi beberapa aspek yang tidak dapat
dipisahkan. Tanggung jawab sosial atau Corporate Social Responsibility (CSR)
adalah kontribusi sebuah perusahaan yang terpusat pada aktivitas bisnis,
investasi sosial dan program philantrophy, serta kewajiban dalam
kebijakan publik (Wineberg, 2004). Tujuan dari adanya CSR yaitu sebagai wujud
tanggung jawab sosial dan lingkungan perusahaan atas dampak-dampak lingkungan
yang ditimbulkannya. Banyaknya global warming, kemiskinan yang semakin
meningkat, serta memburuknya kesehatan masyarakat memicu perusahaan untuk
melakukan tanggung jawab sosial dan lingkungannya. CSR memegang peranan yang
penting dalam strategi perusahaan di berbagai sektor yang terjadi
ketidakkonsitenan antara keuntungan perusahaan dan tujuan sosial, atau
perselisihan yang dapat terjadi karena isu-isu tentang kewajaran yang
berlebihan (Heal, 2004).
CSR merupakan suatu bentuk kepedulian
sosial perusahaan untuk melayani kepentingan organisasi maupun kepentingan
publik eksternal/masyarakat. CSR adalah komitmen perusahaan untuk
mempertanggungjawabkan dampak operasi dalam dimensi sosial, ekonomi serta
lingkungan. Dengan atau tanpa aturan hukum, sebuah perusahaan harus menjunjung
tinggi moralitas. Parameter keberhasilan suatu perusahaan dalam sudut pandang
CSR adalah pengedepankan prinsip moral dan etis, yakni menggapai suatu hasil
terbaik, tanpa merugikan kelompok masyarakat yang lainnya.
European Commission (2001) mendefinisikan
CSR sebagai, “a concept where by companies integrate social and
environmental concerns in their business operations and in their interaction
with their stakeholders on a voluntary basis”.
CSR Asia dalam Darwin (2008) mendefinisikan CSR sebagai, “CSR is
a company’s commitment to operating in an economically, socially and
environmentally sustainable manner whilst balancing the interests of diverse
stakeholders.”
Jadi, CSR adalah komitmen perusahaan terhadap
tiga (3) elemen, yaitu elemen ekonomi, sosial, dan lingkungan. Definisi CSR
merujuk pada definisi yang disampaikan European Commission dan CSR Asia di
atas, yaitu perusahaan semakin menyadari bahwa kelangsungan hidup perusahaan
juga tergantung dari hubungan perusahaan dengan masyarakat dan lingkungannya
tempat perusahaan beroperasi. Hal ini
selaras dengan legitimacy theory yang menyatakan bahwa perusahaan
memiliki kontrak dengan masyarakat untuk melakukan kegiatannya berdasarkan
nilai-nilai keadilan, dan bagaimana perusahaan menanggapi berbagai kelompok
kepentingan untuk melegitimasi tindakan perusahaan (Haniffa & Cooke, 2005).
Jika terjadi ketidakselarasan antara sistem nilai perusahaan dan sistem nilai
masyarakat, maka perusahaan akan kehilangan legitimasinya, yang selanjutnya
akan mengancam kelangsungan hidup perusahaan itu sendiri (Lindblom, 1994).
REFLEKSI
Ekspansi kuasa
modal yang massif dan dekstruktif terjadi di banyak tempat di Indonesia. Tidak sedikit rakyat yang melakukan
perlawanan terhadap ekspansi kuasa modal yang didukung loleh syahwat para
birokrat dan politisi local sampai nasional untuk memperkaya diri. Bali Toal Reklamasi (Teluk Benoa) di Bali
hanya salah satu potret kecil perjuangan rakyat untuk menjaga lingkungan dan
alam.
Tidak jauh dari
tempat tinggal kita, di Malang Raya juga banyak terjadi eksploitasi alam atas
nama pembangunan ekonomi yang dilakukan oleh kuasa modal yang berkelindan
dengan penguasa local. Kawan-kawan di
Desa Bulukerto, Kecamatan Bumiaji, Kota Batu yang tergabung dalam Nawakalam
Gemulo berjuang untuk menyelamatkan Sumber Air Gemulo dari eksploitasi Hotel
dan Resort Rayja. Di Kabupaten Malang, kawan-kawan
di Sumber Jeruk, Gondanglegi juga melakukan perlawanan untuk menyelamatkan mata
air dan sungai dari ancaman pembangunan waduk.
Pulau Sempu sebagai Cagar Alam yang harusnya bebas dari aktivitas
manusia terkomersialisasi menjadi kawasan wisata. Pertambangan pasir di pantai-pantai selatan
Malang seperti di Wonogoro dan sebentar lagi di Sitiarjo jelas akan menghancurkan
kawasan pantai. Demikian pula di Kota
Malang, kawan-kawan Aliansi Peduli Hutan Kota Malabar berjuangan menjaga
keberadaan dan fungsi hutan kota sebagai hutan kota dari ancaman alih fungsi
menjadi taman kota yang ternyata menjadi syarat (kontijensi) ekspansi kuasa
modal untuk mendirikan Apartemen Muria Residence.
Wacana sebagai
dasar pemikiran bagus, tetapi bila tanpa diikuti oleh tindakan nyata, wacana
hanya akan menguap tak berbekas.
Tindakan dan aksi nyata kita untuk menjaga lestarinya alam lebih penting
dari beribu kata yang terucap di ruang-ruang diskusi.
Malang, 07 Oktober 2015
Daniel S. Stephanus
REFERENSI
Commission of the
European Communities. 2001. Promoting a European Framework for Corporate
Social Responsibility. Brussels: European Community
Darwin, A. 2008. CSR: Standards dan
Reporting. Makalah disampaikan pada Seminar Nasional CSR sebagai Kewajiban
Asasi Perusahaan; Telaah Pemerintah, Pengusaha, dan Dewan Standar Akuntansi,
27 November 2010.
Elkington, J. 1997.Cannibals
with Forks: The Triple Bottom Line of 21st Century Business. Oxford:
Capstone Publishing.
Haniffa, R. M & Cooke, T. E. 2005. The
Impact of Culture and Governance on Corporate Social Reporting. Journal of
Accounting and Public Policy 24
Heal, G. 2004. Corporate Social
Responsibility – An Economic and Financial Framework. Working Paper.
Columbia Business School
Lindblom, C. K. 1994. The Implications
of Organizational Legitimacy for Corporate
Untung, H. B.
2008. Corporate Social Responsibility. Jakarta: Sinar Grafika
Wineberg, D. 2004. Corporate Social
Responsibility – What Every In House Counsel Should Know. Acc Docket.
World Bank Ext Communications For
Development Division Devcomm/Sdo. 2003. Corporate Social Responsibility And
Multi Stakeholder Dialogue: Towards Environmental Behavioral Change.
Discussion Paper
Akun
Facebook Agung Alit dan Gendovara
Tidak ada komentar:
Posting Komentar