Sekelumit
Kisah Tentang Perjuangan Rakyat Dusun Canggar, Desa Bulukerto, Kecamatan
Bumiaji, Kota Batu yang Berjuang Untuk Menjaga Lestarinya Umbul (Sumber Mata
Air) Gemulo
Mukadimah
Air adalah pusat kehidupan, tanpa air tidak ada satupun makluk
hidup dapat bertahan hidup. Sumber mata
air (Umbul, Bahasa Jawa Timuran) merupakan sumber keluarnya air. Dusun Canggar
merupakan salah satu Dusun yang ada di Desa Bulukerto Kecamatan Bumiaji Kota
Batu. Selama berpuluh tahun rakyat Dusun
Canggar mengantungkan hidup pada air yang berasal dari Umbul Gemulo, baik untuk
kebutuhan sehari-hari maupun untuk menngairi tanah pertanian mereka. Keberlangsungan hidup rakyat canggar terancam
dengan rencana pembangunan Hotel (Rayja) di atas Umbul Gemulo. Rencana pembangunan yang muncul sejak tahun
2010 di atas Umbul Gemulo dan mengambil air dari dari sumber tersebut
jelas-jelas akan menurunkan debit sumber yang pastinya akan menurunkan debit
air yang mengalir ke desa-desa di bawahnya, khususnya Dusun Cangar yang
mengantungkan hidup dari Umbul Gemulo.
Menyikapi ancaman dari Hotel Rayja, rakyat Dusun Cangar bereaksi,
ANJIR dilakukan. Anjir adalah rembuk warga
khan Dusun Cangar untuk menyelesaikan permasalahan bersama, khususnya
permasalahan yang menyangkut harkat hidup rakyat Cangar. Pada Anjir kali ini disepakati akan dilakukan
perlawanan terhadap Hotel Rayja guna menyelematkan Umbul Gemulo dan kehidupan
rakyat Dusun Cangar. Pada forum yang
sangar demokratis ini, karena setiap orang memiliki hak suara, disepakati untuk
seluruh rakyat Dusun Cangar untuk bersatu padu melawan Hotel Rayja.
Pada proses selanjutnya, banyak aksi baik demonstrasi maupun
advokasi juga mediasi pada seluruh pemangku kepentingan. Tetapi semua mengalami kebuntuan, akhirnya ditempuh
jalur hokum untuk menuntaskan aksi penyelematan Umbu Gemulo. Karena proses hokum yang berjalan lambat,
aksi masa terus dilakukan karena pihak Hotel juga bersikeras untuk melanjutkan
pembangunan karena merasa dapat dukungan dari Pihak Pemerintah Kota yang silau
akan Peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Sampai-sampai hanya karena memindahkan pembatas jalan (batu dan bamboo)
4 (empat) orang rakyat Dusun Cangar dikriminalisasi. Tetapi dengan persatuan rakyat, saat
penahanan 200am (dua ratusan) rakyat Dusun Cangar minta diproses dan ditahan
bersama, polisi memberikan penangguhan penahanan.
Proses hokum terus berlangsung, keempat warga sudah dibebaskan,
bahkan tuntutan untuk menghentikan pembangunan Hotel Rayja juga sudah
dimenangkan rakyat Dusun Cangar. Untuk
sementara Umbul Gemulo terbebas dari ancaman pemodal rakus dan birokrat
serakah. Tetapi, pemodal tidak tinggal
diam dan melakukan Banding. Rakyat Dusun
Gemulo tetap siap sedia menghadang laju pembangunan hotel yang akan merusak
Umbul Gemulo.
Perjuangan rakyat Dusun Cangar dimotori oleh anak-anak muda yang
sadar akan arti kelestarian Umbul Gemulo. Perjuangan yang juga di dukung oleh Tokoh Masyarakat
(Tomas) dan Tokoh Agama (Toga) setempat, menjadikan perjuangan semakin kuat. Perjuangan
rakyat Dusun Cangar juga mendapat pendampingan dari Wahana Lingkungan Hidup (Walhi)
Jawa Timur dan Omah Munir serta dari Pusat Hak Asasi (PusHAM) Surabaya. Sebagai ujung tombak tokoh muda ada Mas Aris
Kentung sedangkan dari tokoh masyarakat digawangi oleh Haji Rudy.
Sebagai penanda perjuangan, setiap Bulan Suro (penanggalan Jawa)
dilaksanakan Festival Mata Air yang berisi aktivitas Ruwatan Sumber,
Arak-Arakan Bersih Desa, Wayangan, dan berbagai Pesta Rakyat dan Pesta Seni
lainnya. Festival yang dimulai sejak
tahun 2012 dan telah dilaksanakan 4 kali sampai tahun 2015 ini. Selain Festival Mata Air dan Ruwatan Sumber,
saat ini Dusun Cangar juga menerima banyak kawan mahasiswa yang ingin belajar
tentang perjuangan rakyat ataupun Anjir sebagai fenomena antropologis yang
berbeda pada kondisi saat ini. Selain
itu juga menerima mahasiswa untuk live
in, belajar berkehidupan bersama, khususunya untuk menyikapi ancaman dari
pemodal rakus dan birokrat serakah yang mengancam peri kehidupan rakyat.
Mempertahankan sudah, menjaga sudah, merawat juga sudah
dilakukan. Pada saat ini, rakyat Dusun
Cangar ingin bergerak lebih jauh lagi dengan melakukan reclaiming, pengambil alihan kawasan Umbul menjadi Kawasan
Perlindungan Setempat atau Kawasan Suaka Mata Air, sehingga kawasan umbul akan
terbebas dari ancaman pemodal dan birokrat rakus nan serakah yang akan merubah
kawasan tersebut menjadi kawasan kelola atau kawasan produksi. Entah siapa yang
bisa membantu.
Malang, 24 November 2015
Untuk
melengkapi cerita, berikut ini beberapa tulisan dari kawan-kawan yang dipetik
dari berbagai sumber.
Walhi Jatim Soroti Kasus Sengketa Mata Air Gemulo
Okezone.com - Senin,
21 April 2014 - 13:56 wib
MALANG - Sidang kasus sumber mata air Gemulo di
Pengadilan Negeri (PN) Malang, diduga tidak dipimpin hakim yang belum memiliki
sertifikat lingkungan.
Hal ini terungkap setelah Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jawa Timur menelusuri jejak hakim yang menyidangkan perkara ini.
Direktur Walhi Jawa Timur, Ony Mahardika, mengungkapkan, hakim yang bernama Eddy Parulian Siregar, yang memimpin sidang konflik sumber mata air Gemulo antara-koordinator warga, Rudy, warga Dusun Cangar, Desa Dulukerto, Kecamatan Bumiaji, Kota Batu yang digugat oleh pihak The Rayja Resort, patut diduga belum memiliki sertifikat lingkungan.
Karena itu, Walhi dan MCW yang mendampingi warga selama ini menemui PN malang untuk menanyakan hal ini. Setelah diteliti, tidak ada hakim ber-sertifikat lingkungan atas nama hakim tersebut.
"Kita sudah serahkan temuan-temuan kami ke PN Malang," katanya, Senin (21/4/2014).
Sementara itu Humas PN Malang, Harini, menyatakan akan segera memberitahukan data dari Walhi dan menanyakan ke Pengadilan Tinggi Jawa Timur yang menunjuk hakim tersebut. "Kita tidak tahu, kita akan tanyakan nanti," ujar Harini,
Menurutnya, PN Malang hanya menerima hakim yang ditunjuk PT untuk menyidangkan perkara ini. PN Malang tidak mempunyai hakim yang bersertifikat lingkungan. "Namanya diberi ya kita terima saja," ujarnya.
Pada kesempatan yang sama, aktivis Walhi melakukan aksi unjuk rasa di depan Pengadilan Negeri Malang. Aksi ini bentuk kritikan terhadap lembaga pengadilan yang dinilai menjadi "rumah yang aman bagi perusak lingkungan".
Pasalnya, ketentuan hakim bersertifikasi lingkungan menunjukkan bahwa lewat putusan hakim, lewat pengadilan, lingkungan pun dapat ditekuk-tekuk atau dirusak oleh palu hakim.
Juru bicara aksi, Luthfi J Kurniawan, mengatakan, menurut data Asisten Deputi Urusan Penegakan Hukum Pidana Lingkungan, Kementerian LH, menyebutkan, dari 2000 hingga 2011, pengadilan telah memutus 33 kasus tindak pidana lingkungan.
"Dari 33 kasus tersebut, 21 kasus di antaranya diputus bebas, 4 kasus penjara, dan 8 kasus hukuman percobaan," kata Luthfi di sela aksi. (kem)
Hal ini terungkap setelah Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jawa Timur menelusuri jejak hakim yang menyidangkan perkara ini.
Direktur Walhi Jawa Timur, Ony Mahardika, mengungkapkan, hakim yang bernama Eddy Parulian Siregar, yang memimpin sidang konflik sumber mata air Gemulo antara-koordinator warga, Rudy, warga Dusun Cangar, Desa Dulukerto, Kecamatan Bumiaji, Kota Batu yang digugat oleh pihak The Rayja Resort, patut diduga belum memiliki sertifikat lingkungan.
Karena itu, Walhi dan MCW yang mendampingi warga selama ini menemui PN malang untuk menanyakan hal ini. Setelah diteliti, tidak ada hakim ber-sertifikat lingkungan atas nama hakim tersebut.
"Kita sudah serahkan temuan-temuan kami ke PN Malang," katanya, Senin (21/4/2014).
Sementara itu Humas PN Malang, Harini, menyatakan akan segera memberitahukan data dari Walhi dan menanyakan ke Pengadilan Tinggi Jawa Timur yang menunjuk hakim tersebut. "Kita tidak tahu, kita akan tanyakan nanti," ujar Harini,
Menurutnya, PN Malang hanya menerima hakim yang ditunjuk PT untuk menyidangkan perkara ini. PN Malang tidak mempunyai hakim yang bersertifikat lingkungan. "Namanya diberi ya kita terima saja," ujarnya.
Pada kesempatan yang sama, aktivis Walhi melakukan aksi unjuk rasa di depan Pengadilan Negeri Malang. Aksi ini bentuk kritikan terhadap lembaga pengadilan yang dinilai menjadi "rumah yang aman bagi perusak lingkungan".
Pasalnya, ketentuan hakim bersertifikasi lingkungan menunjukkan bahwa lewat putusan hakim, lewat pengadilan, lingkungan pun dapat ditekuk-tekuk atau dirusak oleh palu hakim.
Juru bicara aksi, Luthfi J Kurniawan, mengatakan, menurut data Asisten Deputi Urusan Penegakan Hukum Pidana Lingkungan, Kementerian LH, menyebutkan, dari 2000 hingga 2011, pengadilan telah memutus 33 kasus tindak pidana lingkungan.
"Dari 33 kasus tersebut, 21 kasus di antaranya diputus bebas, 4 kasus penjara, dan 8 kasus hukuman percobaan," kata Luthfi di sela aksi. (kem)
Kisah Sukses Warga Batu Malang Selamatkan Sumber Mata
Air
Hari Senin,
tanggal 21 Juli 2014 kemarin menjadi hari yang bersejarah bagi masyarakat dari
tiga desa yakni Desa Bulukerto dan Desa Bumiaji, Kecamatan Bumiaji serta desa
Sidomulyo, Kecamatan Batu, Kota Batu, Malang, Jawa Timur. Perjuangan mereka
melestarikan sumber mata air Umbul Gemulo menuai hasil sukses.
Majelis hakim
Pengadilan Negeri Malang dalam sidangnya memutuskan PT. Panggon Sarkarya Sukses
Mandiri menyalahi hukum mendirikan Hotel The Rayja yang mempengaruhi mata air
Umbul Gemulo.
Dalam putusannya,
Majelis Hakim menyatakan pembangunan hotel tidak memenuhi syarat perizinan
lingkungan karena rekomendasi IMB (izin mendirikan bangunan) tidak
mempertimbangkan UKL/UPL lingkungan. IMB menjadi cacat hukum karena lokasi
pembangunan Hotel The Rayja berjarak 150 meter dari kawasan konservasi.
Akan tetapi Majelis Hakim menolak mengabulkan pengajuan ganti rugi dari
9000 warga, karena harus diajukan atas nama individu.
Oleh karena itu,
PT. Panggon Sarkarya Sukses Mandiri diharuskan menghentikan pembangunan Hotel
The Rayja dan harus membayar ganti rugi terhadap penggugat rekonvensi yaitu H.
Rudi sebesar Rp2 juta, serta menghukum Tergugat Rekonvensi membayar biaya
perkara sebesar Rp3 juta + Rp1ribu.
“Ini adalah
kemenangan warga yang selama ini berjuang untuk menyelamatkan sumber mata air.
Walaupun kami dikriminalisasi kami tetap terus berjuang. Putusan ini cambuk
buat Pemerintah Kota Batu yang tidak tanggap dan peduli terhadap kerusakan
lingkuungan, khususnya sumber mata air,” kata H. Rudi kepada Mongabay.
Ke depan, lanjut
Rudi, Pemkot Batu harus selektif memberikan izin pembangunan yang tidak
berdampak buruk terhadap lingkungan dan sosial.
Sebelumnya, pihak
Hotel The Rayja menggugat H. Rudi, perwakilan FMPMA (Forum Masyarakat Peduli
Mata Air) karena dianggap memprovokasi aksi penolakan terhadap pembangunan
Hotel The Rayja. Aksi masyarakat ini ternyata mendapat dukungan Kementrian
Lingkungan Hidup, Ombudsman, dan Komnas HAM yang kesemuanya menyatakan bahwa
pembangunan hotel the Rayja telah melanggar berbagai peraturan dan
perundang-undangan.
Lokasi sumber
mata air Gemulo yang debitnya terus menurun. Foto Tommy Apriando
Dukungan tersebut
membuat masyarakat melakukan gugatan balik (rekonvensi) terhadap pihak Hotel
The Rayja. Proses persidangan gugatan balik masyarakat makin menguat dengan
penggantian hakim bersertifikasi lingkungan yang memimpin sidang ini.
Kehadiran hakim
bersertifikasi lingkungan sesuai Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung Nomor
134/KMA/SK/IX/2011 tentang penerbitan Sertifikasi Hakim Lingkungan pada
persidangan ini terbukti menjadi faktor pendukung bagi penegakan hukum pada
konflik yang berkaitan dengan persoalan lingkungan hidup
“Kami sangat
senang karena keadilan dan perlindungan terhadap lingkungan masih bisa
diharapkan dan perlindungan terhadap pejuang lingkungan bener-benar ditegakkan
sesuai undang-undang lingkungan hidup,” kata Ony Mahardika, Direktur Eksekutif
WALHI Jawa Timur kepada Mongabay.
Ony mengatakan
pihak pengelola Hotel The Rayja harus mematui keputusan pengadilan bahwa tidak
boleh melanjutkan pembangunan Hotel. “Selain itu, seluruh warga Jawa Timur
jangan pernah takut untuk memperjuangkan lingkungannya karena dilindungi oleh
UUD 1945 dan UU lingkungan,” katanya.
Ony menambahkan
suksesnya perjuangan masyarakat membuktikan bahwa Pasal 66 UU 32 tahun 2009
tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) yang dengan tegas
telah menyatakan bahwa “Setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan
hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat
secara perdata” bisa menjadi pijakan yang kuat bagi semua orang untuk tidak
takut dalam usahanya memperjuangkan lingkungan hidup.
“Kita patut
apresiasi perjuangan untuk mendapatkan lingkungan hidup yang lestari dan
berkelajutan dengan menjadikan tanggal 21 Juli 2014 sebagai “Hari Pejuang Lingkungan
Hidup” sebagai pengingat bahwa semua pejuang Lingkungan Hidup memiliki
perlindungan hukum dalam memperjuangkan hak-haknya,” pungkas Ony.
Sedangkan Muhnur
Satyahaprabu selaku penasihat hukum warga kepada Mongabay mengatakan
mereka siap menghadapi banding pihak Hotel The Rayja.
Warga Batu Siap Hadapi Banding Pertahankan Mata Air
Umbul Gemulo
Mata Air Umbul
Gemulo di Kecamatan Batu, Kabupaten Kota Batu, Jawa Timur. Foto : Petrus Riski
Pada 21 Juli
2014, Majelis hakim Pengadilan Negeri Malang memutuskan memenangkan gugatan
Forum Masyarakat Peduli Mata Air (FMPMA) terhadap PT. Panggon Sarkarya Sukses
Mandiri (PSSM) karena menyalahi hukum mendirikan Hotel The Rayja Batu Resort
yang mempengaruhi mata air Umbul Gemulo.
FMPA yang
merupakan forum warga dari tiga desa yakni Desa Bulukerto dan Desa Bumiaji,
Kecamatan Bumiaji serta desa Sidomulyo, Kecamatan Batu, Kabupaten Kota Batu,
Jawa Timur berusaha melestarikan sumber mata air Umbul Gemulo.
Setelah
kemenangan tersebut, kuasa hukum FMPA yaitu Walhi Jawa Timur, Malang Coruption
Watch, LBH Surabaya, Ecoton, Ekologi Budaya, Klub Indonesia Hijau, dan
Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI), menyiapkan advokasi untuk
mengawal banding pihak PT. PSSM di Pengadilan Tinggi Jawa Timur di Surabaya.
Kepala Divisi
Advokasi dan Kampanye Walhi Jawa Timur, Rere Kristanto mengatakan persiapan
banding dengan fokus memastikan sidang di pengadilan dipimpin oleh hakim yang
bersertifikasi lingkungan agar putusan yang diambil memperhatikan perspektif
penyelamatan lingkungan.
“Secara umum (banding)
sudah kami persiapkan, termasuk kami akan memastikan hakim yang memimpin sidang
bersertifikasi lingkungan, seperti di Pengadilan Negeri Malang kemarin,” kata
Rere yang mengingatkan agar hakim tidak lagi bermain dalam kasus ini.
Kuasa hukum dan
perwakilan FMPA berdiskusi untuk bersiap terhadap banding gugatan kasus
penyelamatan mata air Umbul Gemulo, Kota Batu, Jawa Timur. Foto : Petrus Riski
Perwakilan FMPA,
Rudi, mengharapkan mereka dapat memenangkan sidang banding di pengadilan karena
keputusan hukum yang memihak kelestarian lingkungan sangat berpengaruh untuk
kelangsungan masa depan masyarakat tiga desa tersebut.
“Saya
mengharapkan Pengadilan Tinggi nantinya dapat memberikan keputusan yang
seadil-adilnya dan sebenar-benarnya, untuk anak cucu kita dan masyarakat di
kemudian hari,” ujar Rudi kepada Mongabay.
Persoalan mata
air Umbul Gemulo di Kota Batu, Jawa Timur, dimulai dari pipanisasi oleh
pemerintah daerah maupun tukar guling dengan salah satu perusahaan air minum
dalam kemasan yang menimbulkan konflik dengan masyarakat pada 2002.
Rudi mengutarakan
posisi mata air Umbul Gemulo yang strategis dan mudah terjangkau, membuat
banyak pihak, terutama swasta ingin memanfaatkan airnya untuk kepentingan
pribadi, meski kehidupan masyarakat juga bergantung pada mata air itu.
“Kebutuhan
mengenai air itu, kami tergantung seratus persen dari sumber mata air Umbul
Gemulo. Mulai kebutuhan sehari-hari, pengairan sawah, peternakan, perkebunan,
kami sangat tergantung sekali pada sumber mata air Umbul Gemulo,” terang warga
asal Cangar Bulukerto, Batu itu.
Pembangunan Hotel
The Rayja Batu Resort oleh PT PSSM mendapat penolakan warga Desa Bulukerto dan
Desa Bumiaji Kecamatan Bumiaji, serta Desa Sidomulyo, Kecamatan Batu, yang
tergabung dalam Forum Masyarakat Peduli Mata Air (FMPMA). Penolakan didasari
karena pembangunan hotel itu berada di kawasan lindung sumber mata air Umbul
Gemulo di Kota Batu. Warga khawatir sumber mata air yang menjadi sandaran
kebutuhan hidup sehari-hari akan terganggu dan hilang akibat pembangunan hotel
yang berada diatasnya.
Perlawanan dari
warga kemudian direspon oleh pihak The Rayja dengan melakukan kriminalisasi
terhadap warga, dengan melaporkan warga atas tuduhan melakukan perusakan dan
mengambil material bangunan. Pihak The Rayja juga melakukan gugatan perdata
senilai Rp30 miliar terhadap salah satu perwakilan FMPMA, bernama Rudi, yang
dituduh melakukan perbuatan melawan hukum dengan jalan melakukan provokasi dan
intimidasi, serta melakukan aksi demonstrasi dan berkirim surat yang mengakibatkan
terhentinya kegiatan pembangunan The Rayja.
“Gugatan perdata
ini di Pengadilan Negeri Malang telah dimenangkan oleh warga, dan salah satu
poin keputusannya adalah ijin mendirikan bangunan milik The Rayja tidak
memiliki kekuatan hukum,” tutur Ony Mahardika, Direktur Eksekutif Walhi Jawa
Timur.
Hasil penelitian
Walhi Jawa Timur menyebutkan bahwa pembangunan besar-besaran di wilayah Batu
dan sekitarnya dengan tidak mengindahkan daya dukung dan daya tampung
lingkungan, telah menyebabkan banyaknya sumber mata air rusak dan mati.
“Penghancuran
terhadap hak rakyat atas air adalah bentuk pelanggaran terhadap hak konstitusi
warga dan hak asasi manusia. Maka hukum harus bertindak tegas, dan ketegasan
itu akan nampak dari keberanian untuk menghentikan pembangunan yang jelas-jelas
mengancam keselamatan rakyat. Jangan lagi menjadikan masyarakat sebagai tumbal
investasi,” tukas Ony.
Walhi Jatim pada
22 Juli 2014 telah melaporkan kasus pidana lingkungan dari Kepala Kantor
Pelayanan Perijinan Terpadu (KPPT) Kota Batu Syamsul Bakri, serta Direktur PT.
PSSM, Willy Suhartanto, kepada pihak kepolisian terkait pembangunan The Rayja
Batu Resort di kawasan perlindungan sumber mata air Umbul Gemulo di Kota Batu.
Keterangan dan
bukti telah diberikan kepada penyidik Polda Jawa Timur, atas gugatan pidana
perusakan lingkungan yang diatur dalam Undang-Undang nomor 32 tahun 2009
tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH), sesuai laporan
dengan nomor LP/2008/VII/2014/SUS/JATIM.
“Kita membuat
laporan merujuk pada pasal 109, Pasal 111 ayat 1 dan 2, Pasal 114, dan pasal
115 UU No 32 tahun 2009 tentang PPLH,” jelas Rohman, Kepala Divisi Hukum dan
Kebijakan Walhi Jawa Timur.
Pada pasal 109 UU
PPLH mengatur sanksi terhadap mereka yang melakukan usaha dan/atau kegiatan
tanpa memiliki izin lingkungan. Pendirian The Rayja sendiri tidak memiliki ijin
lingkungan meskipun sudah mengantongi ijin mendirikan bangunan.
Syarat pemberian
ijin usaha atau kegiatan yakni memiliki ijin lingkungan sebagaimana diatur
dalam UU PPLH. Pada pasal 111 mengatur sanksi kepada pejabat yang mengeluarkan
ijin usaha tanpa terlebih dahulu memiliki ijin lingkungan. Sedangkan pasal 114
dan 115 UU PPLH mengatur pemberian sanksi terhadap mereka yang tidak
melaksanakan paksaan pemerintah dan yang dengan sengaja mencegah,
menghalang-halangi, atau menggagalkan pelaksanaan tugas pejabat pengawas
lingkungan hidup.
Mengarak Naga, Meruwat Umbul Gemulo
Greeners.co, 12 November 2014
Batu (Greeners) –
Sebuah lesung berkepala naga meliuk-liuk di jalanan. Di bawah kepalanya
terdapat sebuah gentong kecil berisi air dari tujuh sumber mata air keramat di
Jawa Timur yang dinamakan “banyu tuwuh”. Di kiri dan kanan lesung yang
panjangnya sekitar empat meter, berjejer tumpeng dari hasil bumi warga tiga
dusun di Desa Bulukerto, Kecamatan Bumiaji, Kota Batu, Jawa Timur. Tumpeng
terdiri dari tumpeng jajanan pasar, tumpeng polo pendem, dan tumpeng gunungan
nasi kuning dan nasi putih. Aneka kudapan dan lauk juga menghiasi tumpeng
tersebut.
Tumpeng dan air
tuwuh dari tujuh sumber mata air yang dijaga Naga ini diarak keliling dusun
mengelilingi sumber mata air Umbul Gemulo yang selama ini menjadi sumber
penghidupan pertanian warga dan kebutuhan hidup sehari-hari.
Sumber air Umbul
Gemulo saat ini debit airnya mencapai 179 liter/detik. Sumber ini pula yang
menjadi tumpuan sekitar enam ribu warga Desa Bulukerto dan enam desa lainnya,
seperti Desa Sidomulyo, Bumiaji, Pandanrejo, Sisir, Mojorejo, dan Pendem. PDAM
Kota Batu yang airnya disuplai ke masyarakat Kota Batu juga mengambil air dari
sumber Umbul Gemulo ini.
Lesung kepala
naga diarak keliling tiga dusun yang juga mengelilingi sumber mata air Umbul
Gemulo. Di belakangnya, berbagai grup kesenian jaranan, bantengan, serta
tari-tarian turut mengarak lesung kepala naga. Setelah mengelilingi sumber mata
air Umbul Gemulo, sesepuh desa dan masyarakat menggelar kenduri di sekitar
sumber mata air dan makanannya dimakan bersama-sama sebagai ucapan rasa syukur.
Saat kenduri,
tiga macam tumpeng juga dibagikan di perempatan tiga dusun yang dilewati.
Sisanya dimakan bersama di Balai Desa Bulukerto untuk masyarakat yang tidak
kebagian tumpeng di perjalanan.
Selain itu, ada
juga pembagian banyu tuwuh atau air bertuah yang berasal dari tujuh
sumber mata air yang dipercaya bisa memberi keberkahan di Jawa Timur. Di
antaranya berasal dari Pacitan, Ponorogo, dan Madiun. Air ini dibagikan kepada
masyarakat yang ingin mendapatkan berkahnya. Secara bergantian, mereka meminta
air yang sejak awal acara ditempatkan di bawah kepala naga.
Warga Kota Batu Tuntut Pengadilan Tinggi Jatim
Hentikan Kriminalisasi Pejuang Lingkungan
Seorang berpakaian
hakim dengan kepala badut, nampak membawa payung dan uang ratusan ribu rupiah.
Uang itu diperoleh dari seorang berpakaian necis yang berperan sebagai
pengusaha. Usai menerima uang, hakim berkepala badut itu mengikat seorang warga
yang membawa tulisan tolak pembangunan hotel The Rayja, dan menariknya hingga
jatuh ke tanah.
Itulah sepenggal
teaterikal yang menggambarkan bahwa hukum masih berpihak pada pemilik modal,
dan tidak berpihak pada rakyat kecil yang menjadi pelestari lingkungan.
Aksi teaterikal
keberpihakan hukum terhadap pengusaha dibandingkan masyarakat pelestari
lingkungan. Foto : Petrus Riski
Aksi ini
merupakan bagian dari unjuk rasa yang dilakukan ratusan warga dari 3 desa yaitu
Bulukerto dan Bumiaji di Kecamatan Bumiaji, serta Desa Sidomulyo di Kecamatan
Batu, Kota Batu, di depan kantor Pengadilan Tinggi Jawa Timur, Surabaya, pada
Senin (190/1/2014) kemarin.
Direktur
Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesua (Walhi) Jawa Timur, Ony Mahardika
mengatakan unjuk rasa tersebut mendesak aparat penegak hukum di Pengadilan
Tinggi Jawa Timur, untuk menghentikan proses hukum
banding yang dilakukan pihak Hotel The Rayja yang mengkriminalkan warga penolak
pendirian hotel diatas sumber mata air Umbul Gemulo.
“Aksi ini
merupakan kelanjutan perjuangan masyarakat selama 4 tahun, dalam kasus
kriminalisasi warga yang menolak pendirian The Rayja,” kata Ony.
Dalam aksi ini,
warga yang tergabung dalam Aliansi Pembela Sumber Mata Air mendesak penghentian
proses hukum banding di pengadilan Tinggi Jawa Timur, atas dasar Undang-Undang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) nomor 32 tahun 2009 yang
melindungi masyarakat penjaga lingkungan.
“Pertama adalah
menghentikan proses pengadilan ini, karena para pejuang lingkungan ini
sebenarnya tidak bisa dipidanakan atau diperdatakan, menurut Undang-undang 32
pasal 66 menyebutkan bahwa masyarakat yang menyelamatkan lingkungan tidak bisa
diproses,” ujar Ony Mahardika kepada Mongabay.
Rudi selaku warga
desa yang digugat mengungkapkan, kriminalisasi yang dilaminya merupakan bentuk
ketidakberpihakan hukum kepada rakyat kecil. Hukum seharusnya melindungi
masyarakat yang menjaga serta melestarikan lingkungan, bukan malah memihak pada
investor yang tidak peduli lingkungan.
“Sudah 2 kali
kami dibohongi oleh pihak Pengadilan Tinggi, yaitu dengan memberikan hakim yang
tidak ebrsertifikasi lingkungan. Makanya kami menuntut hukum berlaku adil
kepada kami, termasuk dengan memberikan hakim yang bersertifikasi lingkungan,”
ungkap Rudi yang berharap kasus ini dihentikan oleh Pengadilan Tinggi Jawa
Timur.
Mata Air Umbul
Gemulo di Malang. Foto: Walhi Jawa Timur
Persoalan mata
air Umbul Gemulo di Kota Batu, Jawa Timur, sudah berlangsung sejak 2002 lalu,
dimana sebelumnya sempat terjadi konflik terkait pipanisasi oleh pemerintah
daerah maupun tukar guling dengan salah satu perusahaan air minum dalam
kemasan.
Penolakan warga
atas pendirian The Rayja karena pembangunan hotel itu berada di kawasan lindung
sumber mata air Umbul Gemulo di Kota Batu, yang dikhawatirkan akan
menghilangkan atau merusak sumber mata air yang menjadi sandaran hidup bagi
warga.
Perlawanan dari
warga kemudian direspon oleh pihak The Rayja dengan melakukan kriminalisasi
terhadap warga, dengan melaporkan warga atas tuduhan melakukan perusakan dan
mengambil material bangunan. Pihak The Rayja juga melakukan gugatan perdata
senilai Rp30 miliar terhadap salah satu perwakilan Forum Masyarakat Peduli Mata
Air (FMPMA) bernama Rudi, yang dituduh melakukan perbuatan melawan hukum dengan
jalan melakukan provokasi dan intimidasi, serta melakukan aksi demonstrasi dan
berkirim surat yang mengakibatkan terhentinya kegiatan pembangunan The Rayja.
Ony mengatakan
bila Pengadilan Tinggi Jawa Timur tetap membiarkan proses banding gugatan Hotel
The Rayja terhadap warga terus berjalan, maka itu berarti pengadilan belum
memiliki kepekaan terhadap kondisi lingkungan yag ada.
“Proses di
Pengadilan Tinggi ini akan menjadi bukti apakah pengadilan punya sense of
environmental protection. Masyarakat yang digugat oleh pihak hotel ini
sedang berjuang untuk melestarikan sumber mata air di Kota Batu yang terus
menurun kualitas dan kuantitasnya, membiarkan mereka menghadapi proses hukum
sama dengan kita mempertaruhkan keselamatan dan keberlanjutan lingkungan
hidup,” tutur Ony.
Data WALHI
menunjukkan konfigurasi titik mata air dan kebutuhan mata air di Kota Batu
cenderung kritis. Dari 57 titik sumber air yang berada di Kecamatan Bumiaji,
saat ini menyisakan 28 titik. Bahkan di Kecamatan Batu saja, tinggal menyisakan
15 titik dari 32 sumber air. Sedangkan di Kecamatan Junrejo tersisa 15 titik
dari 22 titik sumber mata air sebelumnya.
Pembangunan Hotel
The Rayja diatas sumber mata air Umbul Gemolo Kota Batu, kata Rudi, hingga kini
telah menimbulkan kerusakan lingkungan serta ketakutan di tengah masyarakat
yang merasa terintimidasi.
“Itu kan posisi
hotel itu ada di atas sumber mata air kami. Jadi ketakutan kami, ketakutan
warga masyarakat kami, itu akan bisa mencemari sumber mata air kami dan juga
bisa menurunkan debit mata air,” tandas Rudi.
Slamatan Sumber Air Gemulo, Tumpeng diarak keliling tiga Desa
Sumber: RRI.co.id
KBRN, Batu
: Warga tiga desa yakni Bulukerto, Sidomulyo dan Bumiaji di
Kecamatan Bumiaji, Kota Batu, Jumat sore (23/10/2015) mengarak tumpeng
dan jajanan pasar melewati desanya. Arak-arakan tersebut berhenti sejenak di
Sumber Air Gemulo desa Punten, kecamatan Bumiaji.
Di tempat
dianggap keramat itu, para tokoh adat dan agama menggelar selamatan
tumpeng tepat di depan sumber air yang menghidupi desa-desa di sekelilingnya.
Arak-arakan tumpeng ini merupakan salah satu kegiatan dari rangkaian kegiatan
Festival Mata Air 4 yang diselenggarakan oleh warga.
Ratusan
warga itu mengarak tumpeng itu mulai dari Pendopo Tirto Sari
(Balai Dusun Cangar, Desa Bulukerto) kemudian mengaraknya keliling melewati
beberapa dusun dan desa sepanjang lebih dari 5 kilometer.
“Arak-arakan ini
adalah wujud rasa syukur masyarakat terhadap apa yang diberikan Tuhan terhadap
sumber air yang jernih, airnya melimpah hingga menghidupi Desa Bulukerto, Desa
Sidomulyo, Desa Bumiaji dan desa-desa lain di sekitarnya,” ujar Aris Faudzin,
Koordinator Festival Mata Air 4 tahun 2015 ini.
Lewat festival
ini, para aktivis lingkungan menggunakan moment ini untuk mengajak
masyarakat untuk selalu melestarikan dan melindungi sumber air Gemulo.
“Banyak generasi
muda yang kita ajak, karena merekalah yang akan menjaga sumber air ini,”
terangnya.
Dari
iring-iringan tersebut, selain menampilkan seni budaya masyarakat, seperti drum
band tradisional, diarak pula 7 gunungan yang merupakan simbol dari pitulungan
(pertolongan) dan pitunduh (petunjuk).
Festival air ini
dilaksanakan selama dua hari, mulai Jumat (23/10/2015) hingga Sabtu
(24/10/2015) mulai dari arak-arakan tumpeng, diskusi lingkungan, pentas seni
dan pagelaran wayang dan bazar, serta penanaman pohon di 40 hektar hutan yang
terbakar tahun lalu.
“Kita laksanakan
penghijauan ini pada bulan Desember karena bertepatan dengan musim penghujan,
agar bibit yang kita tanam bisa hidup,” terangnya.
Warga berpendapat
melestarikan lingkungan tidak hanya perlu dirawat secara fisik saja, namun juga
perlu diruwat dalam bentuk perawatan non fisik. Mereka juga mengajarkan bahwa
kearifan budaya lokal dimana air harus dihormati dan tidak boleh diperlakukan
semena-mena. (RM/WDA)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar