Selasa, 16 Desember 2014

Melemahnya Kepeng..... harus bertindak nyata, bukan berutopia dan berjargon saja...!!!


Syahdan di suatu pagi nan cerah di tengah2 musim penghujan... berdiskusi dua manusia yang berbeda generasi dan berbeda kelas pula.  Seorang Pendekar Muda nan gagah yang saat ini sedang duduk nyaman di kursi empuk Kahyangan Senayanloka.  Sedang yang seorang Sang Begawan yang bertahun2 lalu malang melintang sebagai yang vokal di Senayanloka.  Mereka berdiskusi tentang semakin melemahnya nilai tujar kepeng dibanding dengan nilai tukar negara2 manca.

 Sang Begawan mengawali pembicaraan.. "Sang Maharaja harus berani mengambil langkah2 kongkrit demi kepentingan rakyat, walau sakit..."
Sang Pendekar Muda memotong...."Kita sedang melaksanakan Trisakti dan Revolusi Mental..."
Sang Begawan menjawab... "Saya setuju anak muda, tetapi harus ada langkah kongkrit.  Revolusi itu membongkar dan membangun, apa yang dibongkar dan apa yang akan dibangun? Mental? Mental siapa dan mental apa?"
Sang Pendekar Muda mennyela dengan berapi2... "Ya mental semua, mental rakyat negeri ini..!!!"
Sang Begawan kembali berujar..."Mental rakyat? bagaimana dengan mental Para Rakryan? Para Adipati? Para Satria?"
Sang Pendekar Muda... binggung mau berkata apa dan kemudian meracau..... "bagaimana dengan Negeri Bambu? Mengapa mereka menjadi kuat..?"
Sang Begawan berucap lirih... "Mereka menderita dengan mendidik diri puluhan tahun, berdisiplin, dan tirakat.."
Sang Pendekar Muda semakin binggung meracau... "Kita juga sudah punya, ilmu itu, ilmu yang kita miliki bertahun lalu.  Ilmu tertinggi yang diciptakan oleh Sang Pendiri Negeri ini....!"
Kembali Sang Begawan menimpali dengan kalem... "Benar, sayapun tahu, saya pula yang berusaha menyusun jurus2, tirakat dan laku untuk menjadikan ilmu itu bisa diserap bukan hanya tubuh tapi juga jiwa kita.."
Sang Pendekar Muda terdiam seribu bahasa.....

Ternyata, di Negeri ini Pendekar2 Muda banyak yang masih terjebak pada anggan2 Ilmu Tinggi tanpa pernah belajar apalagi mendisiplinkan diri dengan laku dan tirakat serta belatih jurus2 dasarnya.  Bahkan dengan pongahnya, setelah sekedar mendengar dan belum tentu pernah membaca apalagi mengaji Kitab Ilmu Tinggi berani berkoar2 laksana menguasai Ilmu Tinggi tersebut.  Lucunya lagi, mereka berani mendebat atau bahkan pula hampir menantang Para Begawan yang bukan hanya belajar langsung dari Sang Fajar pencipta Ilmu Tinggi tersebut.  Mereka lupa, Para Begawan ini bukan hanya belajar langsung tetapi membantu Sang Fajar untuk menulis kitab2 turunan untuk belajar Ilmu Tinggi tahap demi setahap.
Jabatan tinggi sebagai Adipati atau Rakryan atau apapaun kedudukanya, menjadikan mereka pongah bahkan congkak.  Bagaimana mungkin mereka menutup telinga dan mata mereka terhadap petuah dan ajaran Sang Begawan.  Bagaimana mereka lupa, saat mereka masih memakai gurita di kala bayi, Sang Begawan sudah menjadi murid Sang Fajar.  Bagaimana mereka lupa, saat mereka masih bermain layang2 dan mandi di sungai, Sang Begawan sudah malang melintang sebagai yang vokal di lingkungan Istana dan Keprabon karena membela Ilmu Tinggi yang saat itu disingkirkan dan bahkan nyaris diharankan di Negeri ini.

Semoga kita selalu belajar, salalu ingat dan berwaspada... Seberapa tinggi jabatan kita, seberapa panjang gelar tambahan di depan dan belakang nama kita, kebijaksanaan hanya berasal dari kerendahan hati dan sikap yang terus mau belajar dan mendisiplinkan diri untuk bertirakat dan tentu saja terus bekerja dan berkarya dengan laku2 kerja untuk kebaikan umat manusia...

Pagi nang cerah ditengah musim hujan di Puncak Bukit nDoro, 16 Desember 2014.

Tidak ada komentar: