Tahun 2014 yang baru lalu Dunia Pendidikan di goncang dengan pemisahan Pendidikan Dasar da Menengah dan Pendidikan Tinggi. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan hanyabertanggung jawab mengelola Pendidikan Dasar dan Menengah sedangkan Pendidikan Tinggi digabungkan ke Kementerian Riset dan Teknologi. Alasan bahwa Pendidikan Tinggi sebagai pusat riset menjadi alasan utama. Tridharma perguaruan tinggi yg selama ini masih mengutamakan Pendidikan dan Pengajaran digeser ke Riset dan Publikasi, sedangkan Pengabdian pada Masyarakat masih tetap menjadin arus pinggir yg dipandang sebelah mata.
Gebrakan pertama dilakukan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Kurikulum 2013 yang dipaksakan utk diterapkan tanpa sosialisasi dan edukasi yang memadai ditarik dan hanya dilaksanakan di 6000 sekolah contoh dan tidak pada 200.000 sekolah tingkat dasar dan menengah. Ketaksiapan guru, buku, dan sarana prasarana sekolah menjadi alasan utama. Bagaimana siap bila pelaksanaan K13 dipaksakan sebagai produk politik ketimbang produk kebijakan pembangunan pendidikan. Keputusan yang memicu banyak kontroversi walau tidak sekontroversial saat penerapannya. nSalah satunya, Jawa Timur menolak dan tetap akan melaksanakan K13 karena merasa telah siap dan telah mengucurkan investasi yang cukup besar.
Pada awal tahun 2015, goncangan dunia pendidikan tidak berhenti. Kali ini goncangan dilakukan oleh Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi. Sebuah aturan yang telah dibuat oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan sebelumnya (lagi) dalam bentuk Permendikbud 49/2014 tentang Standar Nasional Pendidikan Tinggi (SNPT) akan dilaksanakan efektif mulai tahun 2015. Peraturan tersebut salah satunya mengatur jumlah beban Sistem Kredit Semester (SKS) dan lama pendidikan.
Sesuai dengan Permendikbud tersebut, SKS minimal yang harus ditempuh oleh seorang Mahasiswa di perguruan tinggi adalah 144 SKS dengan lama studi 8--10 Semester. Artinya, seorang mahasiswa wajib kenempuh 144 sks dalam waktu minimal 8 semester dan maksimal 10 semester. Jadi, tidak akan ada mahasiwa S1 angkatan 2015 dan selanjutnya yg lulus 7 semester dan tidak ada yang menempuh lebih dari 10 semester. Status mahasiswa akan menempel minimal 8 semester dan maksimal 10 semester, karena bila dalam 10 semester tidak lulus mahasiswa otomatis Drop Out (DO). Peraturan yang semakin ketat dan tentu saja akan menimbulkan kontroversi tersendiri. Dalam Permendikbud tersebut juga diatur lama studi untuk mahaiswa S2, yaitu minimal 4 semester dan paling lama 8 semester. Sedangkan untuk jenjang pendidikan S3 minimal lama studi 6 semester dan tanpa batas akhir.
Bagi Perguruan Tinggi Negeri keputusan ini sangat menguntungkan karena beban mahasiswa abadi akan terhapus dengan sendirinya, sedangkan bagi Perguruan Tinggi Swasta bisa sangat merugikan karena pendapatan dari mahasiswa yang berlama-lama study akan berkurang. Permasalahan mendasarnya, apakah mahasiswa yang pandai yang sama ini bisa menyelesaikan dalam waktu 7 semester rela studynya diperpanjang 1 semester, atau mahasiswa yang bukan karena bodoh mungkin karena ada kendala lain harusn dipaksa lulus dalam waktu 10 semester? Jangan-jangan akan menjdi ajang bisnisnbaru, karena setelah 10 semester bisa di DO tetapi didaftarnulang dengansistem transfer sehingga bisa menambah masa study dengan membayar sejumlah uang.
Peraturan ditujukan untuk kebaikan, tetapi juga memiliki konsekuensi dan kontroversinya sendiri. Permendikdub kali ini memberi batasan masa studi supaya tidak ada lagi sarjana prematur yang lulus dalam 7 bahkan 6 semester, setelah lulus masih belum siap masuk ke dunia nyata secara mental. Tetapi peraturan tersebut juga mencegah status mahasiswa abadi yang kuliah S1 saja bukan saja belasan semester tetapi belasan tahun. Kunci keberhasilan sebuah atauran dan kebijakan adalah Sosialisai dan edukasi oleh seluruh Pemangku Kepentingan. Bukan saja Kemenristek Dikti yang sekarang bertanggung jawab mengelola pendidikan tinggi yang melakukan sosialisasi dan edukasi tetapi juga Perguruan Tinggi sebagai pelaku dan pelaksana pendidikan tinggi untuk rmlakukan sosialisasi dan eduksi pada calonmamahsiswa Angkatan 2015 dan selanjutnya.
Kunci lain keberhasilan peraturan dan kebijakan adalah pelaksanaan yang konsisten dan konsekuen. Peraturan yang tidak berubah-ubah mengikuti arah angin dunia ekonomi dan politik tetapi benar-benar demi perbaikan dunia pendidikan. Peraturan yang konsekuen dan tidak membuka peluang untuk dilakukannya transaksi bisnis DO dan ReNIM yang menjadi sumber pemasukan bagi perguruan tinggi dan alat dari mahasiswa bermalasalah untuk memperpanjang masa study dengan cara instan. Pada akhirnya, Kemenristek Dikti yang harus tegas dan tidak pandang bulu dalam menjaga konsistensi peraturan tersebut, walau tidak turut menyususn dan membuatnya.
Pendidikan saat ini bukan sekedar pendidikan, tetapi ada kepentingan politik dan ekonomi yang memengaruhinya. Kebijakan bisa sangat bersifat politis untuk kepentingan pihak yang berkuasa atau demi mempertergas hegemoni kekuasaannya. Peraturan bisa berlatar belakang ekonomi karena penguasa tunduk pada kepentingan Dunia Usahha dan Dunia Industri karena menaruh harapan atas dukungan ekonomi. Tetapi, peraturan adalah peraturan, kebijakan adalah kebijakan, terlepas apapunlatar belakang dan kepentingannya, konsistensi pelaksanaannya dan sikap konsekuen dari seluruh pemangku kepentingan adalah kunci keberhasilannya.
Madiun, di pagi nan mendung 03 Januari 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar