PEMBUKAAN
Pembukaan disampaikan oleh Kepala Bappeda Kota Malang. Dikatakannya, Kota Malang sebagai Smart City ditujukan untuk peningkatan
daya saing Kota Malang dengan cara (1) membangun jaringan dan (2) komoditas
daearah). Dilakukan untuk mengatasi
problema otonomi daerah (otoda). Smart City merupakan perwujudan dari
Tribinacita Kota Malang, yiatu Malang sebagai kota pendidikan, pariwisata, dan
industri.
SMART CITY DI BIDANG HUKUM
Merupakan hasil penelitian seorang dosen Fakultas Ilmu
Administrasi Universitas Brawijaya yang bernama Trisnawati. Penelitian yang dilakukan untuk melihat
persepsi masyarakat terhadap tata kelola pemerintahan Kota Malang.
1.
Prosedur
pelayanan dipersepsi mudah (59%), agak rumit (30%), dan rumit (9%).
2.
Persyaratan pelayanan dipersepsi sesuai (74%).
3.
Kejelasan tugas pelayanan dipersepsi sudah jelas
(79%) dan kurang jelas (21%).
4.
Kedisiplinan dipersepsi disiplin (51%) dan
kurang disiplin (31%).
5.
Tanggungjawab tugas dipersepsi bertanggungjawab
(65%) dan kurang bertanggungjawab (20%).
6.
Keadilan mendapatkan layanan dipersepsi adil
(71%) dan kurang adil (19%).
7.
Kemampuan petugas dipersepsi mampu (60%) dan
kurang mampu (29%).
8.
Kecepatan pelayanan dipersepsi cepat (40%) dan
kurang cepat (49%).
9.
Keterjangkauan biaya dipersepsi terjangkau
(60%).
10.
Kesesuaian biaya dipersepsi sesuai hanya (21%)
dan kadang-kadang terjangkau (52%).
11.
Ketepatan jadwal dipersepsi kadang-kadang tepat
(54%).
12.
Kenyamanan pelayanan dipersepsi nyaman (61%).
13.
Keamanan pelayanan dipersepsi aman (82%).
14.
Keterjangkauan lokasi pelayanan dipersepsi
terjangkau (56%).
15.
Transparansi dipersepsi transparan (43%) dan
tidak transparan (43%) juga.
16.
Efektivitas dan efisiensi dipersepsi efektif dan
efisien (59%).
17.
Dan seterusnya.
MEWUJUDKAN KOTA
MALANG SEBAGAI SMART CITY YANG
BERDAYA SAING GLOBAL
Paparan kali ini disampaian oleh Bambang Satria, seorang
anggota Dewan Perwaklan Rakyat Daerah (DPRD) kota Trias politia yang
dikemukakan oleh Montesque memisahkan kekuasaan menjadi eksekutif, legislatif,
dan yudikatif. Di Republik Indonesia
praktiknya agak berbeda, bukan untuk saling kontrol tetapi bekerja bersama-sama
dalam permusyawatan. Tetapi, realitas di
lapangan cukup memprihatinkan.
1.
Rendahnya
kualitas sumberdaya manusia legislatif rendah sehingga fungsi pengawasan
terhadap eksekutif menjadi rendah pula.
2.
Simtem pengawasan terjadi saat mayoritas
mengendalikan legislatif akan mengendalikan eksekutif.
3.
Fungsi yudikatif tidak berjalan sebagaimana
mestinya.
OTONOMI DAERAH DAN
HUBUNGAN WALIKOTA DENGAN DPRD
Uraian yang disampaikan oleh Doktor Anwar, seorang akademisi
dari Universitas Widya Gama Malang menjelaskan mengenai hubungan antara
walikota (eksekutif) dengan DPRD (legislatif) yang berbeda antara masa orde
baru saat otonomi daerah saat
ini. Pada masa orde baru, sistem
pemerintahannya sentralistik, sedangkan pada saat ini menganut sistem otonomi
daerah. Tetapi, karena mentalitas
Gubernur, Bupati, dan Walikota belum siap banyak menjadi layaknya raja-raja
kecil di daerah yang dipimpinnya.
Pemilihan secara langsung oleh rakyat, memberikan legitimasi
pada para penguasa daerah terpilih menjadi raja-raja kecil karena menisbihkan
peran pengawasan dari legislatif. Bahkan
tidak jarang terjadi perselisihan atau malah permusuhan antara legislatif dan
eksekutif. Dominasi partai penguasa
legislatif dan partai pengusung kepala daerah malah menciptakan hegemoni baru. Di lain pihak, sumberdaya manusia eksekutif
jauh lebih mumpuni ketimbang legislatif.
Semakin besarlah dominasi eksekutif terhadap legislatif.
APAKAH KOTA MALANG
SUDAH LAYAK MENYEBUT DIRINYA SEBAGAI SMART
CITY?
Analisis yang disampaikan oleh Doktor Djuni Farhan,
akademisi dari Universitas Gajayana Malang mencoba membandingkan keadaan Kota
Malang dengan smart city yang
sesungguhnya. Perbandingan Kota Malang
dengan Kota Dubai yang merupakan smart
city kelas dunia menunjukkan bahwa Kota Malang masih terjebak mimpi bila
ingin mewujudkan diri sebagai smart city dalam
waktu dekat. Sistem connected urban development with ICT based yang sudah dipergunakan
oleh Kota Dubai terlalu muluk untuk diimplementasika di Kota Malang. Belum lagi dengan sistem metropolitan priority aera sebagai penataan ruang dan wilayah di
Kota Dubai yang sangat memperhatikan masalah transportasi, pasokan listrik, dan
zonasi kawasan industri jelas-jelas tidak akan mudah diimplementasikan di Kota
Malang.
Kota Malang bercita-cita menjadi tujuan investasi baik
nasional dan global dengan menjadi smart
city karena berharap investasi akan menjadi penggerak pembangunan di Kota
Malang. Kondisi Kota Malang sendiri,
Dana Alokasi Umum (DAU) lebih besar ketimbang Pendapan Asli Daerah (PAD)
sehingga masih mendapat subsidi dari pemerintah pusat. Pendapatan Asli Daerah Kota Malang hanya 80%
dari DAU sehingga memperoleh 20% subsidi dari Pemerintah Pusat. Dengan kata lain, Kota Malang belum mandiri.
Masalah yang harus dihadapi Kota Malang adalah sebagai
berikut:
1.
Realitas investasi.
2.
Kemampuan keuangan daerah.
3.
Kebijakan penganggaran.
4.
Daya dukung infrastruktru sebagai faktor kunci.
5.
Business
friendly.
Permasalahan infra struktur
seperti sumber air tergantung dari Kota Batu dan Kabupaten Malang karena tidak memiliki sumber atau mata
air sendiri. Pembangkit tenaga listrik
tergantung pada pasokan listrik nasional.
Transportasi belum terkoneksi dengan baik dengan bandara internasional
dan pelabuhan laut internasional. Utilitas
publik belum memadai dengan baik. Kota Malang masih harus membenahi (1)
pelayanan publik dasar; (2) infrastruktur dan business friendly; (3) pendapatan masyarakat; dan (4) investasi dan
lapangan pekerjaan.
MASALAH DAN POKOK
PIKIRAN PELAYANAN PUBLIK
Paparan ini disampaikan oleh Bapak Indarwanto, salah seorang
perwakilan Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Kelurahan (LPMK) dari Kelurahan
Sama’an. Permasalahan pertama adalah
sisyem politik yang sudah menyimpang dan harus kembali ke Pancasila. Sistem pendidikan kurang merata, karena
pendidikan yang bermutu terkosentrasi di pusat kota saja. Masalah lingkungan yang semakin parah seperti
sampah dan pengelolahan Daerah Aliran Sungai (DAS) Brantas yang semakin kumuh. Belum lagi sumber-sumber mata air di DAS Brantas
yang tidak terjaga dan tidak termanfaatkan sama sekali. Tidak ada keseragaman peraturan kampung untuk
tingkat Kota sehingga masing-masing kampung dan kawasan hunian membuat
peraturannya sendiri, contoh banyaknya polisi tidur dan portal.
Saat ini Kota Malang membutuhkan sinergitas antara
Pemerintah Kota dan masyarakat dalam melaksanakan pembangunan. Selain itu, masyarakat malang butuh
pendidikan politik yang berkesinambungan khususnya mengenai hak dan kewajiban
sebagai warga negara dan warga kota. Saat ini masyarakat Kota Malang hanya
dimanfaatkan untuk mobilisasi politik tanpa mengerti politik. Kebutuhan untuk mendulang suara dan dukungan
politik masih menjadi tujuan. Sebagai
contoh, pejabat publik memanfaatkan posisinya untuk memperoleh dukungan
politik. Mestinya saat menjadi pejabat
publik harus mundur dari jabatan di partai politik. Menjadi Pimpinan Daerah adalah menjadi
pimpinan rakyat dan bekerja untuk kepentingan masyarakat, bukan kepentingan
partai.
MALANG SMART GREEN CITY
Pemaparan yang disampaikan oleh Doktor Hermawan, akademisi
dari Fakultas Ilmu Administrai Universitas Brawijaya. Mengawali pemaparannya tentang permasalahan
Kota Malang, seperti berikut ini:
1.
Tingginya
pertumbuhan jumlah penduduk karena urbanisasi.
2.
Manajemen Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW)
sudah ada tetapi minim pengawasan, sehingga banyak penyimpangan.
3.
Pembangunan berorientasi pada pemenuhan
kebutuhan fisik, sehingga yang dibangun adalah pusat perbelanjaan dan perumahan
dengan konsekuensi semakin habisnya Ruang Terbuka Hijau (RTH).
4.
Lemahnya penegakkan rencana kota, sehingga
peruntukkan kawasaan sesuai dengan RTRW berubah tak terkendali.
5.
Peningkatan kebutuhan dan kualitas hidup
masyarakat Kota Malang menuju kondisi kritis.
Terjadi karena rendahnya mutu pelayanan publik serta tingginya arus
informasi dan mobilitas penduduk.
6.
Persaingan ekonomi global menjadi terlokalkan
dengan persaingan antar kota, contohnya pada sektor pariwisata yang bersaing
habis antar kota.
7.
Asumsi penataan kota dengan misi yang lebih luas
yang secara riil belum ada untuk Kota Malang.
Sedangkan realitas Kota Malang yang harus dikelola oleh
Pemerintah Kota Malang adalah sebagai berikut:
1.
Kota Malang pada awalnya dirancang untuk dihuni
86.000 orang saja tetapi dari data tahun 2008 penduduk Kota Malang berjumlah
kurang lebih 814.000.
2.
Konversi lahan untuk kawasan pemukiman dan
kawasan industri mengerus dengan cepat kawasan lindung.
3.
Sistem drainase buruk karena tidak tertata dan
terawat ditambah dengan tingkat sedimentasi yang tinggi.
4.
Pedesterian dan mutu jalan buruk.
Konsep Smart Green
City menawarkan integrasi lingkungan, geografis, dan keindahan kota. Kota tetap bertumbuh tetapi harus ekologis. Beberapa kebijakan dan cara yang bisa
ditempuh oleh Pemerintah Kota Malang adalah sebagai berikut:
1.
Membangun kawasan sub urban untuk mengurai
kepadatan hunian dan lalu lintas.
2.
Mencegah berdirinya fasilitas publik di tengah
kota.
3.
Membangun pedesterian yang baik di seluruh kota.
4.
Menata dan melakukan normalisasi sistem drainase
di seluruh kota.
5.
Evolusi jalan dan perluasan jalan-jalan
tertentu.
6.
Pengawasan Ijin Mendirikan Bangunan (IMB),
khususnya untuk rumah toko (ruko), tempat perbelanjaan, dan bangunan lain.
HASIL DISKUSI
Smart City adalah:
1.
Nilai utama Kota Malang adalah kota pendidikan
sehingga sistem dan infrastruktur harus mendukung.
2.
Masalah sirkulasi manajemen kota
(pilkada)menjadikan visi, misi, tujuan, dan strategi Kota Malang selalu
berubah-ubah harus dirubah menjadi berkelanjutan dan konsisten.
3.
Pembangunan di Kota Malang harus berimbang
antara aspek ekonomi dan ekologis.
4.
Kemandirian sumber daya alam seperti air dan
sumber daya energi seperti listrik harus dipersiapkan dan didukung oleh
infrastruktur yang memadai.
5.
Cita-cita menjadi smart city yang dituangkan dalam Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Daerah (RPJMD) yang ditulis oleh sekelompok intelektual harus
dimintakan pertanggungjawabannya untuk terus mengawal RPJMD walau pimpinan
daerah Kota Malang berganti.
6.
Keberlanjutan dan konsistensi rencana kerja yang
tidak tergantung pada Walikota-nya.
7.
Kebijakan publik yang tidak pragmatis
transaksional terkait dengan masuknya investasi.
Permasalahan yang harus segera diselesaikan di Kota Malang
sebelum menjadi smart city:
1.
Perilaku pragmatis transaksional baik legislatif
dan eksekutif.
2.
Perbedaan kualitas sumber daya manusia antara
legislatif dan eksekutif.
3.
Pengaruh partai politik pada kebijakan kota
lewat pimpinan daerah terpilih yang dilawan dengan pendidikan politik bagi
masyarakat Kota Malang.
4.
Peningkatan kualitas pelayanan publik dasar,
khususnya akses pendidikan untuk seluruh warga Kota Malang seperti penetapan
kebijakan penerimaan murid berbasis kewilayahan, inklusif, dan tidak
diskriminatif.
5.
Sistem demokrasi tingkat keluarahan, Kurah
dipilih oleh warga dan bukan diangkat oleh Walikota sehingga lebih bekerja
untuk melayani warga ketimbang melayani Walikota.
6.
Walikota benar-benar menjadi pelayan publik dan
kader bangsa bukan menjadi kader dan pelayan partai.
7.
Perencanaan Kota Malang yang ideal tidak
seimbang dengan kenyataan yang jauh dari harapan dan banyak penyimpangan.
Disarikan dari:
Lokakarya Mewujudkan Kota Malang Sebagai Smart City
Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA Kota Malang)
Hotel Montana, 12 Juli 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar