Jumat, 10 Februari 2023

Seri Artikel Paradigma Bisnis yang Berkelanjutan (Sutainable Business): Menggagas Bisnis dan Aktivitas Ekonomi yang Bertanggung Jawab pada Bumi, Manusia, dan Entitas Ekonomi

 

Daniel Sugama Stephanus, SE., MM., MSA., Ak., CA

Juli 2014

 

Bisnis dan aktivitas ekonomi dari sebuah entitas pada umumnya bertujuan untuk memperoleh keuntungan dan menginginkan pertumbuhan ekonomi untuk meningkatkan nilai entitasnya.  Seringkali, dengan menjadikan keuntungan dan pertumbuhan sebagai tujuan menjadikan entitas ekonomi akan menghalalkan segala cara seperti mengeksploitasi tenaga kerja dan mengabaikan kelestarian lingkungan di sekitarnya bahkan mengorbankan konsumen sebagai sumber pendapatannya.  Konsep Tripple Bottom Line (People, Planet, and Profit) merupakan konsep bisnis dan aktivitas ekonomi yang berbeda.  Mengedepankan konsep pemberdayaan masyarakat baik karyawan, konsumen, maupun masyarakat secara umum menjadikan entitas ekonomi berorientasi untuk mengedukasi dan mengadvokasi manusia sebagai factor utama menjaga pertumbuhan dan kelanjutan usaha yang manusiawi.  Kemudian, entitas ekonomi menjadikan kelestarian alam sebagai dasar untuk bukan hanya menjaga keberlanjutan bahan baku dan energy, tetapi benar-benar menjaga lestarinya planet Bumi sebagai satu-satunya tempat hidup manusia.  Bila manusia sudah berdaya dan planet tetap lestari, profit atau keuntungan akan dating dengan sendirinya baik keuntungan yang dinikmati oleh manajemen sebagai agen pengelola entitas maupun investor sebagai pemilik entitas ekonomi tersebut. 

 


 

ABSTRAKS

Bisnis dan aktivitas ekonomi dari sebuah entitas pada umumnya bertujuan untuk memperoleh keuntungan dan menginginkan pertumbuhan ekonomi untuk meningkatkan nilai entitasnya.  Seringkali, dengan menjadikan keuntungan dan pertumbuhan sebagai tujuan menjadikan entitas ekonomi akan menghalalkan segala cara seperti mengeksploitasi tenaga kerja dan mengabaikan kelestarian lingkungan di sekitarnya bahkan mengorbankan konsumen sebagai sumber pendapatannya. 

Konsep Tripple Bottom Line (People, Planet, and Profit) merupakan konsep bisnis dan aktivitas ekonomi yang berbeda.  Pertama, mengedepankan konsep pemberdayaan masyarakat baik karyawan, konsumen, maupun masyarakat secara umum menjadikan entitas ekonomi berorientasi untuk mengedukasi dan mengadvokasi manusia sebagai factor utama menjaga pertumbuhan dan kelanjutan usaha yang manusiawi. Bila masyarakat teredukasi dengan produk yang berkualitas apalagi dengan harga terjangkau, dijamin kesetiaan konsumen pada produk dan perusahaan akan terjaga.  Di sisi lain, karyawan yang teredukasi dengan baik akan menciptakan tenaga kerja yang mumpuni untuk memproduksi produk yang bermutu sekaligus efisien dalam biaya. 

Kedua, entitas ekonomi menjadikan kelestarian alam sebagai dasar untuk bukan hanya menjaga keberlanjutan bahan baku dan energy, tetapi benar-benar menjaga lestarinya planet Bumi sebagai satu-satunya tempat hidup manusia.  Bahan baku dan energy yang lestari akan menjamin kelangsungan usaha entitas ekonomi dalam jangka panjang sekaligus menjadikan bumi sebagai tempat tinggal yang nyaman dan asri.  Bukan hanya memperhatikan bahan baku dan energy, tetapi polusi dan sampah yang dihasilkan oleh perusahaan hendaknya ramah lingkungan dan memiliki dampak yang sangat kecil bagi lingkungan. 

Bila manusia sudah berdaya dan planet tetap lestari, profit atau keuntungan akan datang dengan sendirinya baik keuntungan yang dinikmati oleh manajemen sebagai agen pengelola entitas maupun investor sebagai pemilik entitas ekonomi tersebut.  Jadi, keuntungan atau profit bukanlah menjadi tujuan pertama dan utama, tetapi menjadi dampak dari kinerja perusahaan yang baik dan bertanggung jawab.  Keuntungan yang akan bersifat jangka panjang dan berkesinambungan (going concern). 

SERI #1: TRIPPLE BOTTOM LINE: SEBUAH PENGANTAR

PENDAHULUAN

Isu lingkungan hidup menjadi agenda penting masyarakat internasional di forum regional dan multilateral sejak tahun 1972 setelah pelaksanaan konferensi internasional tentang Human Environment di Stockholm, Swedia dan KTT Bumi di Rio de Jeneiro, Brazil tahun 1992. Sejak saat itu, masyarakat internasional menilai bahwa perlindungan lingkungan hidup menjadi tanggung jawab bersama dan perlindungan lingkungan hidup tidak terlepas dari aspek pembangunan ekonomi dan sosial (Nuraini, 2010).

 

Planet, People, and Profit atau yang di Ilmu Akuntansi lazim disebut dengan Triple Bottom Line merupakan pemikiran yang sudah berkembang cukup lama di Eropa.  Pemikiran tentang bisnis yang berkelanjutan (sustainable business) yang mengedepankan kelestarian alam (planet) sebagai sumber dari semua sumber daya, kesejahteraan masyarakat atau manusia (people), dan memperoleh laba (profit) yang memadai untuk kelangsungan hidup perusahaan.

Gray, dkk., (1995) menyatakan bahwa tanggung jawab sosial dan lingkungan merupakan tanggung jawab dunia bisnis untuk menjadi akuntabel terhadap seluruh stakeholder, bukan hanya kepada stockholder saja. Dengan pelaporan pelaksanaan tanggung jawab sosial dan lingkungan dalam laporan tahunan perusahaan ini diharapkan perusahaan memperoleh legitimasi atas peran social dan kepedulian lingkungan yang telah dilakukan oleh perusahaan tersebut, sehingga perusahaan akan memperoleh dukungan dari masyarakat, dankelangsungan hidup perusahaan dapat diperoleh.

Prior, dkk., (2008) menyatakan bahwa tanggung jawab sosial dan lingkungan perusahaan dalam laporan tahunan dapat digunakan oleh manajer sebagai alat untuk mengamankan kedudukannya. Hal tersebut digunakan oleh manajer untuk mengalihkan perhatian stakeholder dari monitoring aktivitas manajemen laba yang mereka lakukan. Hal ini dapat terjadi karena manajemen memiliki informasi yang lebih banyak dari pada pihak berkepentingan lainnya sebagaimana dijelaskan dalam agency theory (teori keagenan).

Konsep The Triple Bottom Line

Elkington (1997) dalam Wibisono (2007) menjelaskan konsep Triple Bottom Line digunakan sebagai landasan prinsipal dalam aplikasi program Corporate Social Responsibility pada sebuah perusahaan. Tiga kepentingan yang menjadi satu ini merupakan garis besar dan tujuan utama tanggung jawab sosial sebuah perusahaan.

1. Profit (Keuntungan)

Keuntungan merupakan unsur terpenting dan menjadi tujuan utama dari setiap kegiatan usaha. Keuntungan sendiri pada hakikatnya merupakan tambahan pendapatan yang dapat digunakan untuk menjamin kelangsungan hidup perusahaan.

2. People (Masyarakat)

Menyadari bahwa masyarakat sekitar perusahaan merupakan salah satu stakeholder penting bagi perusahaan karena dukungan masyarakat sekitar sangat diperlukan untuk keberadaan, kelangsungan hidup dan perkembangan perusahaan. Perusahaan perlu berkomitmen untuk berupaya memberikan manfaat sebesar-besarnya kepada masyarakat. Selain itu, operasi perusahaan berpotensi memberikan dampak kepada masyarakat sekitar. Tanggung jawab sosial perusahaan didasarkan pada keputusan perusahaan tersebut tidak bersifat paksaan atau tuntutan masyarakat sekitar. Untuk memperkokoh komitmen dalam tanggung jawab sosial diperlukan pandangan menganai Corporate Social Responsibility. Melalui kegiatan sosial perusahaan maka itu dapat dikatakan melakukan investasi masa depan dan timbal baliknya masyarakat juga akan ikut serta menjaga eksistensi perusahaan.

3. Planet (Lingkungan)

Lingkungan merupakan sesuatu yang terkait dengan seluruh bidang kehidupan perusahaan. Hubungan perusahaan dan lingkungan adalah hubungan sebab akibat yaitu jika perusahaan merawat lingkungan maka lingkungan akan bermanfaat bagi perusahaan. Sebaliknya jika perusahaan merusak lingkungan maka lingkungan juga akan tidak memberikan manfaat kepada perusahaan. Dengan demikian, penerapan konsep Triple Bottom Line yakni profit, people, dan planet sangat diperlukan sebuah perusahaan dalam menjalankan operasinya. Sebuah perusahaan tidak hanya keuntungan saja yang dicari melainkan juga memperdulikan masyarakat dan lingkungan sekitar perusahaan.

 

TEORI-TEORI YANG MENDASARI TRIPLE BOTTOM LINE 

Teori Legitimasi (Legitimacy Theory)

Teori legitimasi berasal dari konsep legitimasi organisasi yang diungkapkan oleh Dowling & Pfeffer (1975) dalam Ghozali & Chariri (2007) yang mengungkapkan bahwa legitimasi adalah sebuah kondisi atau status yang ada ketika sistem nilai entitas kongruen dengan sistem nilai masyarakat yang lebih luas di tempat entitas tersebut berada. Ketika terjadi suatu perbedaan, baik yang nyata atau berpotensi muncul di antara kedua sistem nilai tersebut, maka akan muncul ancaman terhadap legitimasi entitas. Sesuai dengan yang dinyatakan O’Donovan (2002) bahwa legitimasi merupakan gagasan agar sebuah organisasi dapat terus beroperasi dengan sukses, maka organisasi tersebut harus bertindak sesuai aturan yang diterima secara luas oleh masyarakat. Deegan (2004) menyatakan bahwa teori legitimasi adalah sebagai,  “Teori yang menyatakan bahwa organisasi secara berkelanjutan mencari cara untuk menjamin operasi mereka berada dalam batas dan norma yang berlaku di masyarakat. Suatu perusahaan akan secara sukarela melaporkan aktivitasnya jika manajemen menganggap bahwa hal ini adalah yang diharapkan komunitas”.

Ghozali & Chariri (2007) menyatakan bahwa hal yang mendasari teori legitimasi adalah kontrak sosial antar perusahaan dan masyarakat di tempat perusahaan beroperasi dan menggunakan sumber ekonomi. Jadi, setiap perusahaan memiliki kontrak implisit dengan masyarakat untuk melakukan aktivitasnya berdasarkan nilai-nilai yang dijunjung di dalam masyarakat. Apabila perusahaan bertindak memenuhi kontrak implisit maka masyarakat akan mendukung keinginan perusahaan tersebut. Ahmad, dkk., (2004) menyatakan bahwa pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan merupakan salah satu mekanisma yang dapat digunakan untuk mengomunikasikan perusahaan dengan masyarakat, dan merupakan salah satu cara untuk memperoleh keuntungan atau memperbaiki legitimasi perusahaan. Praktik dan pengungkapan tanggung jawab sosial akan dianggap sebagai cara bagi perusahaan untuk tetap menyelaraskan diri dengan norma-norma dalam masyarakat. Dengan demikian, perusahaan disarankan untuk mengungkapkan kinerja lingkungan sehingga mendapatkan reaksi positif dari lingkungan dan memperoleh legitimasi atas usahanya.

Perusahaan yang melakukan kinerja lingkungan dan pengungkapan tanggung jawab sosial diharapkan dapat meningkatkan keuntungan perusahaan di masa yang akan datang. Menurut Saidi (2004), teori legitimasi adalah suatu kondisi atau status, yang ada ketika suatu sistem nilai perusahaan kongruen dengan sistem nilai dari system sosial yang lebih besar di mana perusahaan merupakan bagiannya. Ketika suatu perbedaan yang nyata atau potensial ada antara kedua sistem nilai tersebut, maka akan muncul ancaman terhadap legitimasi perusahaan.  O’Donovan (2002) mendefinisikan legitimasi sebagai, “Legitimacy theory as the idea that in order for an organization to continue operating successfully, it must act in a manner that society deems socially acceptable.”

Barkemeyer (2007) menyatakan legitimasi sebagai, “Legitimacy is sought by organisations as it affects understanding and actions of people towards the organization. People perceive a legitimate organisation as “… more trustworthy.”  Lebih lanjut Barkemeyer (2007) memberikan definisi mengenai organizational legitimacy sebagai,  “Legitimacy is a generalized perception or assumption that the actions of an entity are desirable, proper, or appropriate within some socially constructed system of norms, values, beliefs, and definitions.”

Jadi, legitimasi adalah suatu tindakan atau perbuatan hukum yang berlaku, peraturan yang ada, baik peraturan hukum formal, etnis, adat-istiadat, maupun hukum kemasyarakatan yang sudah lama tercipta secara sah. Batasan-batasan yang ditekankan oleh norma-norma dan nilai-nilai sosial serta reaksi terhadap batasan tersebut mendorong pentingnya analisis perilaku organisasi dengan memerhatikan lingkungan. Ghozali & Chariri (2007) menyatakan bahwa salah satu dari sekian banyak faktor yang dimasukkan oleh para peneliti sebagai motif dibalik pengungkapan tanggung jawab sosial dan lingkungan perusahaan adalah keinginan untuk melegitimasi operasi organisasi. Legitimasi merupakan sebuah pengakuan akan legalitas sesuatu. Suatu legitimasi organisasi dapat dikatakan sebagai manfaat atau sumber potensial bagi perusahaan untuk bertahan hidup (O’Donovan, 2002 dalam Chariri & Ghozali, 2007).

Legitimasi organisasi dapat dipandang sebagai sesuatu yang diberikan oleh masyarakat kepada perusahaan dan sesuatu yang diinginkan atau dicari perusahaan dari masyarakat. Kedudukan perusahaan sebagai bagian dari masyarakat ditunjukkan dengan operasi perusahaan yang seringkali memengaruhi masyarakat sekitarnya. Eksistensinya dapat diterima sebagai anggota masyarakat, sebaliknya eksistensinya pun dapat terancam bila perusahaan tidak dapat menyesuaikan diri dengan norma yang berlaku dalam masyarakat tersebut atau

bahkan merugikan anggota komunitas tersebut.

Gray, dkk., (1995) juga menyatakan bahwa organisasi atau perusahaan akan berlanjut keberadaannya jika masyarakat menyadari bahwa organisasi beroperasi untuk sistem nilai yang seiring dengan sistem nilai masyarakat itu sendiri. Teori legitimasi menganjurkan perusahaan untuk meyakinkan bahwa aktivitas dan kinerjanya dapat diterima oleh masyarakat. Hal ini akan mendorong perusahaan melalui top manajemennya akan mencoba memperoleh kesesuaian antara tindakan organisasi dan nilai-nilai dalam masyarakat umum dan publik yang relevan dengan stakeholder.

Teori legitimasi didasarkan pada pengertian kontrak sosial yang diimplikasikan antara institusi sosial dan masyarakat (Ahmad & Sulaiman, 2004). Teori legitimasi dibutuhkan oleh institusi-institusi untuk mencapai tujuan agar kongruen dengan masyarakat luas. Menurut Gray, dkk., (1996) dalam Ahmad & Sulaiman (2004) dasar pemikiran teori legitimasi adalah organisasi atau

perusahaan akan terus berlanjut keberadaannya jika masyarakat menyadari bahwa perusahaan tersebut beroperasi untuk sistem nilai yang sepadan dengan system nilai masyarakat itu sendiri.

Perusahaan menggunakan laporan keuangan tahunan untuk menggambarkan akuntabilitas atau tanggung jawab manajemen terhadap perusahaan dan kesan tanggung jawab sosial dan lingkungan, sehingga perusahaan yang bersangkutan diterima oleh masyarakat. Teori legitimasi menganjurkan perusahaan untuk meyakinkan bahwa aktivitas dan kinerjanya dapat diterima oleh masyarakat. Dengan adanya penerimaan dari masyarakat tersebut diharapkan nilai perusahaan dapat meningkat sehingga berdampak pula pada peningkatan laba perusahaan. Hal ini juga dapat mendorong dan membantu investor dalam melakukan pengambilan keputusan investasi.

Ghozali & Chariri (2007) menjelaskan bahwa teori legitimasi sangat bermanfaat dalam menganalisis perilaku organisasi, karena teori legitimasi adalah hal yang paling penting bagi organisasi. Teori legitimasi juga memberikan perspektif yang komprehensif pada pengungkapan tanggung jawab sosial dan lingkungan perusahaan. Teori ini secara eksplisit mengakui bahwa bisnis dibatasi oleh kontrak sosial yang menyebutkan bahwa perusahaan harus dapat menunjukkan berbagai aktivitasnya agar perusahaan memperoleh penerimaan masyarakat yang pada gilirannya akan menjamin kelangsungan hidup perusahaan (Reverte, 2008). Lindblom (1994) dalam Gray, dkk., (1995) menyatakan bahwa teori legitimasi adalah suatu kondisi atau status yang ada ketika suatu sistem nilai perusahaan kongruen dengan sistem nilai dari sistem sosial yang lebih besar di mana perusahaan merupakan bagiannya. Hal ini menyebabkan munculnya ancaman terhadap legitimasi perusahaan ketika terjadi perbedaan yang nyata atau potensial antara kedua sistem nilai tersebut. Sehingga, dengan melakukanpengungkapan tanggung jawab sosial dan lingkungan, perusahaan akan merasa bahwa keberadaan dan aktivitasnya terlegitimasi.

Meskipun perusahaan memiliki kebijakan operasi dalam batasan institusi, kegagalan perusahaan dalam menyesuaikan diri dengan norma ataupun adat yang diterima masyarakat, akan mengancam legitimasi serta sumber daya perusahaan, yang pada akhirnya akan mengancam kelangsungan hidup perusahaan (Reverte, 2008). Praktik- praktik tanggung jawab sosial dan pengungkapan social (corporate social and environmental disclosure (CSED)) yang dilakukan perusahaan dapat dipandang sebagai suatu usaha untuk memenuhi harapanharapan

masyarakat terhadap perusahaan. Aktivitas tanggung jawab sosial dan lingkungan perusahaan diharapkan dapat meningkatkan hubungan antara pemegang saham, supplier, kreditur, dan pihak yang berkepentingan lainnya atau dengan kata lain, kinerja ekonomi dan keuangan sebuah entitas memiliki hubungan positif dengan pengungkapan tanggung jawab sosialnya (Hasibuan, 2001). Hal ini berarti pengungkapan tanggung jawab sosial dan lingkungan perusahaan merupakan salah satu mekanisma yang dapat digunakan untuk mengkomunikasikan perusahaan dengan stakeholders.

Gray, dkk., (1995) mengatakan bahwa informasi yang diungkapkan kepada stakehoder merupakan legitimasi tanggung jawab sosial dan lingkungan yang telah dilakukan perusahaan. Manajer yang terlibat manajemen laba cenderung menyadari bahwa pengungkapan lingkungan dengan sukarela (voluntary corporate social and environmental disclosure) dapat digunakan untuk mempertahankan legitimasi organisasional, terutama pada pihak terkait dengan politik dan sosial dan untuk mengalihkan perhatian stakeholder terhadap pendeteksian manajemen laba. CSED merupakan jalan masuk yang digunakan beberapa organisasi untuk memperoleh keuntungan atau memperbaiki legitimasi (Ahmad & Sulaiman, 2004). Karena itu, teori legitimasi merupakan salah satu teori yang mendasari pengungkapan tanggung jawab sosial dan lingkungan perusahaan untuk mendapatkan nilai positif dan legitimasi dari masyarakat.

Teori legitimasi juga dapat digunakan untuk menjelaskan keterkaitan mekanisma corporate governance dan profitabilitas terhadap pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan. Mekanisma corporate governance dan profitabilitas memberikan keyakinan perusahaan untuk melakukan pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan. Dengan mekanisma corporate governance dan profitabilitas yang mencukupi, perusahaan tetap akan mendapatkan keuntungan positif, yaitu mendapatkan legitimasi dari masyarakat yang pada akhirnya akan

berdampak meningkatnya keuntungan perusahaan di masa yang akan datang.

Gray, dkk., (1995) juga menjelaskan bahwa pengungkapan tanggung jawab sosial dan lingkungan merupakan bagian dari pengungkapan laporan keuangan. Ada banyak studi yang menguji lebih lanjut informasi sosial yang dihasilkan oleh perusahaan, dan menemukan bahwa informasi lingkungan merupakan salah satu bagian dari informasi tersebut. Walaupun tidak bersifat wajib, banyak perusahaan yang secara sukarela melakukan pengungkapan tanggung jawab sosial dan lingkungan (voluntary social and environmental disclosures). Voluntary social and environmental disclosures banyak dilakukan perusahaan dalam rangka menjaga reputasi perusahaannya dan perusahaan bisa tetap survive serta terhindar dari berbagai bentuk penolakan dari masyarakat. Di dalam teori legitimasi (legitimacy theory) dipaparkan jawaban-jawaban yang mendukung mengapa perusahaan harus mengungkapkan tanggung jawab sosial dan lingkungannya .

 

Teori Stakeholder (Stakeholder Theory)

Konsep tanggung jawab sosial perusahaan telah mulai dikenal sejak awal 1970, yang secara umum dikenal dengan stakeholder theory artinya sebagai kumpulan kebijakan dan praktik yang berhubungan dengan stakeholder, nilai-nilai, pemenuhan ketentuan hukum, penghargaan masyarakat dan lingkungan, serta komitmen dunia usaha untuk berkontribusi dalam pembangunan secara berkelanjutan. Stakeholder theory dimulai dengan asumsi bahwa nilai secara eksplisit dan tak dipungkiri merupakan bagian dari kegiatan usaha (Freeman dkk., 2004).

Teori stakeholder mengatakan bahwa perusahaan bukanlah entitas yang hanya beroperasi untuk kepentingannya sendiri, namun harus memberikan manfaat bagi stakeholder (pemegang saham, kreditor, konsumen, supplier, pemerintah, masyarakat, analis dan pihak lain). Dengan demikian, keberadaa suatu perusahaan sangat dipengaruhi oleh dukungan yang diberikan oleh stakeholder kepada perusahaan tersebut (Ghozali & Chariri, 2007). Deegan (2004) menyatakan bahwa stakeholder theory adalah “Teori yang menyatakan bahwa semua stakeholder memunyai hak memperoleh informasi mengenai aktivitas perusahaan yang dapat memengaruhi pengambilan keputusan mereka. Para stakeholder juga dapat memilih untuk tidak menggunakan informasi tersebut dan tidak dapat memainkan peran secara langsung dalam suatu perusahaan.”

Budimanta, Prasetijo, & Rudito (2008) menyatakan bahwa terdapat dua bentuk dalam pendekatan stakeholder yaitu old-corporate relation dan new-corporate relation. Old-corporate relation menekankan pada bentuk pelaksanaan aktivitas perusahaan secara terpisah, yang menunjukkan bahwa tidak terdapat kesatuan di antara fungsi dalam sebuah perusahaan ketika melakukan pekerjaannya. Hubungan perusahaan dengan pihak di luar perusahaan juga bersifat jangka pendek dan hanya sebatas hubungan transaksional saja tanpa ada kerjasama untuk menciptakan kebermanfaatan bersama. Pendekatan old-corporate relation ini dapat menimbulkan konflik karena perusahaan memisahkan diri dengan para stakeholder baik yang berasal dari dalam perusahaan dan dari luar perusahaan. Sedangkan, pendekatan new-corporate relation menekankan kolaborasi antara perusahaan dengan seluruh stakeholder sehingga perusahaan bukan hanya menempatkan dirinya sebagai bagian yang bekerja secara sendiri dalam sistem sosial masyarakat. Hubungan perusahaan dengan stakeholder di dalam perusahaan dibangun berdasarkan konsep kebermanfaatannya yang membangun kerjasama dalam menciptakan kesinambungan usaha perusahaan, sedangkan hubungan dengan stakeholder di luar perusahaan didasarkan pada hubungan yang bersifat fungsional yang bertumpu pada kemitraan. Perusahaan selain menghimpun kekayaan juga berusaha bersama-sama membangun kualitas kehidupan dengan stakeholder di luar perusahaan.

Tunggal (2008) menyatakan bahwa teori stakeholder dapat dilihat dalam tiga pendekatan.

1. Deskriptif

Pendekatan deskriptif pada intinya menyatakan bahwa, stakeholder secara sederhana merupakan deskripsi yang realitas mengenai bagaimana sebuah perusahaan beroperasi. Teori stakeholder dalam pendekatan deskriptif, bertujuan untuk memahami bagaimana manajer menangani kepentingan stakeholder dengan tetap menjalankan kepentingan perusahaan. Manajer dituntut untuk mengarahkan energi mereka terhadap seluruh pemangku kepentingan, tidak hanya terhadap pemilik perusahaan saja.

2. Instrumental

Teori stakeholder dalam pendekatan instrumental menyatakan bahwa, salah satu strategi pihak manajemen perusahaan untuk menghasilkan kinerja perusahaan yang lebih baik adalah dengan memperhatikan para pemangku kepentingan. Hal ini didukung oleh bukti empiris yang diungkapkan oleh Lawrence & Weber (2008), yang menunjukkan bahwa setidaknya lebih dari 450 perusahaan yang menyatakan komitmennya terhadap pemangku kepentingan dalam laporan tahunnya memiliki kinerja keuangan yang lebih baik dibandingkan dengan perusahaan yang tidak memiliki komitmen. Pendekatan instrumental bertujuan untuk mempelajari konsekuensi yang ditanggung perusahaan, dengan melihat dari pengelolaan hubungan stakeholder dan berbagai tujuan tata kelola perusahaan yang telah dicapai.

3. Normatif

Teori stakeholder dalam pendekatan normatif menyatakan bahwa setiap orang atau kelompok yang telah memberikan kontribusi terhadap nilai suatu perusahaan memiliki hak moral untuk menerima imbalan (rewards) dari perusahaan, dan hal ini menjadi suatu kewajiban bagi manajemen untuk memenuhi apa yang menjadi hak para pemangku kepentingan. Pendekatan normatif juga bertujuan untuk mengidentifikasi pedoman moral atau filosofis terkait dengan aktivitas ataupun manajemen perusahaan.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa stakeholder teori merupakan suatu teori yang mempertimbangkan kepentingan kelompok stakeholder yang dapat memengaruhi strategi perusahaan. Pertimbangan tersebut memunyai kekuatan karena stakeholder adalah bagian perusahaan yang memiliki pengaruh dalam pemakaian sumber ekonomi yang digunakan dalam aktivitas perusahaan. Strategi stakeholder bukan hanya kinerja dalam finansial namun juga kinerja sosial yang diterapkan oleh perusahaan. Corporate Sosial Responsibility merupakan strategi perusahaan untuk memuaskan keinginan para stakeholder, makin baik pengungkapan Corporate Sosial Responsibility yang dilakukan perusahaan maka stakeholder akan makin terpuaskan dan akan memberikan dukungan penuh kepada perusahaan atas segala aktivitasnya yang bertujuan menaikkan kinerja dan mencapai laba.

Stakeholder theory mengatakan bahwa perusahaan bukanlah entitas yang hanya beroperasi untuk kepentingannya sendiri namun harus memberikan manfaat bagi stakeholdernya (pemegang saham, kreditur, konsumen, supplier, pemerintah, masyarakat, analis, dan pihak lain). Dengan demikian, keberadaan suatu perusahaan sangat dipengaruhi oleh dukungan yang diberikan oleh stakeholder kepada perusahaan tersebut (Ghozali & Chariri, 2007).

Gray, dkk., (1995) dalam Ghozali & Chariri (2007) menyatakan bahwa kelangsungan hidup perusahaan tergantung pada dukungan stakeholders dan dukungan tersebut harus dicari, sehingga aktivitas perusahaan adalah untuk mencari dukungan tersebut. Teori Stakeholder Freeman (1984) dalam Roberts (1992) mendefinisikan stakeholder seperti sebuah kelompok atau individual yang dapat memberi dampak atau terkena dampak oleh hasil tujuan perusahaan. Stakeholders adalah para pemangku kepentingan, yaitu pihak atau kelompok yang berkepentingan, baik langsung maupun tidak langsung, terhadap eksistensi atau aktivitas perusahaan, dan karenanya kelompok tersebut memengaruhi dan/atau dipengaruhi oleh perusahaan. Stakeholder termasuk di dalamnya yaitu stockholders, creditors, employees, customers, suppliers, public interest groups, dan govermental bodies (Roberts, 1992).

Stakeholder pada dasarnya dapat mengendalikan atau memiliki kemampuan untuk memengaruhi pemakaian sumber-sumber ekonomi yang digunakan perusahaan. Oleh karena itu, power stakeholder ditentukan oleh besar kecilnya power yang dimiliki stakeholder atas sumber tersebut. Power tersebut dapat berupa kemampuan untuk membatasi pemakaian sumber ekonomi yang terbatas (modal dan tenaga kerja), akses terhadap media yang berpengaruh, kemampuan untuk mengatur perusahaan, atau kemampuan untuk memengaruhi konsumsi atas barang dan jasa yang dihasilkan perusahaan (Ghozali & Chariri, 2007).

Roberts (1992) memaparkan bahwa perkembangan konsep stakeholder dibagi menjadi tiga yaitu model perencanaan perusahaan, kebijakan bisnis dan corporate social responsibility. Pengungkapan tanggung jawab sosial dan lingkungan merupakan bagian dari komunikasi antara perusahaan dengan stakeholder-nya. Oleh karena itu, ketika stakeholder mengendalikan sumber ekonomi yang penting bagi perusahaan, maka perusahaan akan bereaksi dengan cara yang memuaskan keinginan stakeholder (Ghozali & Chariri, 2007).

Teori stakeholder secara eksplisit mempertimbangkan akan dampak kebijakan pengungkapan perusahaan ketika ada perbedaan kelompok stakeholder dalam sebuah perusahaan. Pengungkapan informasi oleh perusahaan dijadikan alat manajemen untuk mengelola kebutuhan informasi yang dibutuhkan oleh berbagai kelompok (stakeholders). Oleh karena itu, manajemen mengungkapkan informasi tanggung jawab sosial dan lingkungan ini dalam rangka mengelola stakeholder agar perusahaan mendapatkan dukungan dari mereka. Dukungan tersebut dapat berpengaruh terhadap kelangsungan hidup perusahaan (Gray, dkk., 1995).

 

Teori Keagenan (Agency Theory)

Teori Keagenan (Agency Theory) menjelaskan adanya konflik kepentingan yang terjadi antara agen dengan principal. Principal adalah pemegang saham atau investor sedangkan agen adalah orang yang diberi kuasa oleh principal yaitu manajemen untuk mengelola perusahaan yang terdiri dari dewan komisaris dan dewan direksi. Adanya pemisahan kepemilikan oleh principal dan pengendalian oleh agen dalam sebuah organisasi cenderung menimbulkan konflik keagenan antara principal dan agen. Teori agensi ini muncul untuk mengatasi konflik agensi yang dapat terjadi dalam hubungan keagenan. Di dalam teori keagenan dikatakan bahwa hubungan keagenan timbul ketika salah satu pihak (principal) memberi kuasa kepada pihak lain (agen) untuk melakukan beberapa jasa untuk kepentingannya yang melibatkan pendelegasian beberapa otoritas pembuatan keputusan kepada agen. Dalam kontrak ini agen berkewajiban untuk melakukan hal-hal yang memberikan manfaat dan meningkatkan kesejahteraan principal (Jensen & Meckling, 1976).

Principal ingin mengetahui segala informasi termasuk aktivitas manajemen, yang terkait dengan investasi atau dananya dalam perusahaan. Hal ini dilakukan dengan meminta laporan pertanggungjawaban pada agen (manajemen). Laporan tersebut akan digunakan oleh principal sebagai landasan dalam menilai kinerja manajemen. Tetapi, yang seringkali terjadi adalah kecenderungan manajemen untuk melakukan tindakan yang membuat laporannya kelihatan baik, sehingga kinerjanya pun dianggap baik. Manajemen seringkali melakukan sesuatu yang dapat menguntungkan dirinya sendiri yaitu dengan memaksimumkan laba manajemen yang dilakukan dengan manajemen laba (earnings management).

Tindakan manajemen laba ini dapat menyesatkan dan dapat menyebabkan pihak luar membuat keputusan ekonomi yang salah. Gray, dkk., (1995) berpendapat bahwa pengungkapan tanggung jawab sosial dan lingkungan perusahaan/ corporate social and environmental disclosure (CSED) merupakan sinyal yang dapat mengalihkan perhatian pemegang saham dari monitoring atas rekayasa laba atau isu lain, sehingga berdampak pada harga saham. Aktivitas pengungkapan tanggung jawab sosial dan lingkungan perusahaan akan memberikan informasi yang berguna dalam penilaian resiko yang lebih akurat bagi investor. Hal ini akan memberikan akses kepada pendanaan eksternal dengan biaya yang lebih rendah. Dalam hal ini dapat diinterpretasikan bahwa manajemen yang melakukan manajemen laba dapat diprediksikan akan melakukan lebih banyak pengungkapan tanggung jawab sosial dan lingkungan perusahaan.

 

 

TANGGUNG JAWAB SOSIAL DAN LINGKUNGAN PERUSAHAAN

Triple Bottom Line

Istilah Triple Bottom Line dipopulerkan oleh John Elkington pada tahun 1997. Melalui bukunya yang berjudul “Cannibals with Forks, the Triple Bottom Line of Twentieth Century Business”, Elkington mengembangkan konsep Triple Bottom Line dalam istilah economic prosperity, environmental quality, dan social justice. Perusahaan yang ingin berkelanjutan haruslah memerhatikan “3P”. Selain mengejar profit, perusahaan juga harus memerhatikan dan terlibat dalam pemenuhan kesejahteraan masyarakat (people) dan turut berkontribusi aktif dalam menjaga kelestarian lingkungan (planet). Aspek-aspek yang terdapat dalam Triple Bottom Line adalah sebagai berikut (Wibisono, 2007).

1. Profit

Profit merupakan unsur terpenting dan menjadi tujuan dari setiap kegiatan usaha. Fokus utama dari seluruh kegiatan dalam perusahaan adalah mengejar profit atau mendongkrak harga saham setinggi-tingginya, baik secara langsung maupun tidak langsung. Profit sendiri adalah tambahan pendapatan yang dapat digunakan untuk menjamin kelangsungan hidup perusahaan. Aktivitas yang dapat ditempuh untuk mendongkrak profit antara lain dengan meningkatkan produktivitas dan melakukan efisiensi biaya. Hal tersebut akan menyebabkan perusahaan memiliki keunggulan kompetitif yang dapat memberikan nilai tambah semaksimal mungkin.

2. People

Masyarakat di sekitar perusahaan adalah salah satu stakeholder penting yang harus diperhatikan oleh perusahaan. Dukungan dari masyarakat sekitar sangat diperlukan bagi keberadaan, kelangsungan hidup, dan perkembangan perusahaan sehingga perusahaan akan selalu berupaya untuk memberikan manfaat yangsebesar-besarnya kepada masyarakat. Operasi perusahaan berpotensi memberikan dampak bagi masyarakat sekitar, sehingga perusahaan perlu untuk melakukan berbagai kegiatan yang menyentuh kebutuhan masyarakat. Secara ringkas, jika perusahaan ingin tetap mempertahankan usahanya, perusahaan juga harus menyertakan tanggung jawab yang bersifat sosial.

3. Planet

Selain aspek people, perusahaan juga harus memperhatikan tanggung jawabnya terhadap lingkungan. Karena keuntungan merupakan inti dari dunia bisnis, kerapkali sebagian besar perusahaan tidak terlalu memperhatikan hal yang berhubungan dengan lingkungan, karena tidak ada keuntungan langsung di dalamnya. Dengan melestarikan lingkungan, perusahaan akan memperoleh keuntungan yang lebih, terutama dari sisi kenyamanan dan ketersediaan sumber daya yang menjamin kelangsungan hidup perusahaan.

Konsep dan Definisi Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perusahaan

Menurut Global Reporting Initiative (GRI) dalam Siregar (2010) tanggung jawab sosial dan lingkungan adalah, “Corporate social reporting/sustainability reporting is a process for publicly disclosing an organization’s economic, environmental, and social performance”.  World Bank (2003) menyatakan definisi CSR sebagai, “The commitment of business to contribute to sustainable economic development, working with employees, their families, the local community and society at large to improve their quality of life.”  Untung (2008) memberikan pengertian mengenai tanggung jawab sosial dan lingkungan sebagai, “Corporate Social Responsibility adalah komitmen perusahaan atau dunia bisnis untuk berkontribusi dalam pengembangan ekonomi yang berkelanjutan dengan memerhatikan tanggung jawab sosial perusahaan dan menitikberatkan pada keseimbangan antara perhatian terhadap aspek ekonomis, sosial, dan lingkungan.”

Jadi, tanggung jawab sosial dan lingkungan perusahaan adalah tanggung jawab yang diemban oleh perusahaan terhadap keseimbangan antara aspek- aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan. Tanggung jawab sebuah perusahaan tersebut meliputi beberapa aspek yang tidak dapat dipisahkan. Tanggung jawab sosial atau Corporate Social Responsibility (CSR) adalah kontribusi sebuah perusahaan yang terpusat pada aktivitas bisnis, investasi sosial dan program philantrophy, serta kewajiban dalam kebijakan publik (Wineberg, 2004). Tujuan dari adanya CSR yaitu sebagai wujud tanggung jawab sosial dan lingkungan perusahaan atas dampak-dampak lingkungan yang ditimbulkannya. Banyaknya global warming, kemiskinan yang semakin meningkat, serta memburuknya kesehatan masyarakat memicu perusahaan untuk melakukan tanggung jawab sosial dan lingkungannya. CSR memegang peranan yang penting dalam strategi perusahaan di berbagai sektor yang terjadi ketidakkonsitenan antara keuntungan perusahaan dan tujuan sosial, atau perselisihan yang dapat terjadi karena isu-isu tentang kewajaran yang berlebihan (Heal, 2004).

CSR merupakan suatu bentuk kepedulian sosial perusahaan untuk melayani kepentingan organisasi maupun kepentingan publik eksternal/masyarakat. CSR adalah komitmen perusahaan untuk mempertanggungjawabkan dampak operasi dalam dimensi sosial, ekonomi serta lingkungan. Dengan atau tanpa aturan hukum, sebuah perusahaan harus menjunjung tinggi moralitas. Parameter keberhasilan suatu perusahaan dalam sudut pandang CSR adalah pengedepankan prinsip moral dan etis, yakni menggapai suatu hasil terbaik, tanpa merugikan kelompok masyarakat yang lainnya.

European Commission (2001) dalam Darwin (2008) mendefinisikan CSR sebagai, “a concept where by companies integrate social and environmental concerns in their business operations and in their interaction with their stakeholders on a voluntary basis”.  CSR Asia dalam Darwin (2008) mendefinisikan CSR sebagai, “CSR is a company’s commitment to operating in an economically, socially and environmentally sustainable manner whilst balancing the interests of diverse stakeholders.”

Jadi, CSR adalah komitmen perusahaan terhadap tiga (3) elemen, yaitu elemen ekonomi, sosial, dan lingkungan. Definisi CSR dalam penelitian ini merujuk pada definisi yang disampaikan European Commission dan CSR Asia di atas, yaitu perusahaan semakin menyadari bahwa kelangsungan hidup perusahaan juga tergantung dari hubungan perusahaan dengan masyarakat dan lingkungannya tempat perusahaan beroperasi.  Hal ini selaras dengan legitimacy theory yang menyatakan bahwa perusahaan memiliki kontrak dengan masyarakat untuk melakukan kegiatannya berdasarkan nilai-nilai keadilan, dan bagaimana perusahaan menanggapi berbagai kelompok kepentingan untuk melegitimasi tindakan perusahaan (Haniffa & Cooke, 2005). Jika terjadi ketidakselarasan antara sistem nilai perusahaan dan sistem nilai masyarakat, maka perusahaan akan kehilangan legitimasinya, yang selanjutnya akan mengancam kelangsungan hidup perusahaan itu sendiri (Lindblom, 1994 dalam Haniffa & Cooke, 2005 dan Sayekti & Wondabio, 2007).

Pengungkapan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perusahaan

Pengungkapan secara kontekstual adalah bagian integral dari pelaporan keuangan, sedangkan secara teknis pengungkapan adalah langkah akhir dalam proses akuntansi yaitu penyajian informasi dalam bentuk penuh laporan keuangan (Suwardjono, 2005). Hendriksen (1991) mendefinisikan pengungkapan sebagai penyajian sejumlah informasi yang dibutuhkan untuk pengoperasian secara optimal pasar modal yang efisien. Pengungkapan mengandung arti bahwa sebuah laporan harus memberikan informasi dan penjelasan yang cukup mengenai hasil

aktivitas suatu unit usaha (Ghozali & Chariri, 2007).

Tujuan pengungkapan secara umum adalah menyajikan informasi yang dipandang perlu untuk mencapai tujuan pelaporan keuangan dan melayani berbagai pihak yang memiliki kepentingan berbeda (Suwardjono, 2005). Security Exchange Committee (SEC) menuntut lebih banyak pengungkapan karena pelaporan keuangan memiliki aspek sosial dan publik. Oleh karena itu, pengungkapan dituntut lebih dari sekedar pelaporan keuangan, tetapi meliputi pula penyampaian informasi kualitatif dan kuantitatif, baik yang mandatory (wajib) maupun voluntary (sukarela) (Chrismawati, 2007).

Anggraini (2006) menyatakan bahwa tuntutan terhadap perusahaan untuk memberikan pengungkapan informasi yang transparan, organisasi yang akuntabel serta tata kelola perusahaan yang baik (good corporate governance) memaksa perusahaan untuk memberikan informasi mengenai aktivitas sosialnya. Masyarakat membutuhkan informasi mengenai sejauh mana perusahaan sudah melaksanakan aktivitas sosialnya sehingga hak masyarakat untuk hidup aman dan tentram, kesejahteraan karyawan, dan keamanan mengonsumsi produk dapat terpenuhi. Pengungkapan sosial dan lingkungan yang dilakukan oleh perusahaan umumnya bersifat voluntary (sukarela), unaudited (belum diaudit), dan unregulated (tidak dipengaruhi oleh peraturan tertentu) (Nurlela & Islahudin, 2008).

 

REFLEKSI

Sebegitu gamblang dan jelas tentang arti penting bisnis dan aktivitas ekonomi yang berkelanjutan (sustainable business) bagi sebuah entitas ekonomi.  Bukan hanya teori tetapi didukung oleh bukti empiris atau bukti dari duni bisnis di berbagai Negara.  Tetapi, sayangnya di Indonesia bisnis dan aktivitas ekonomi berkelanjutan yang memperhatikan lestarinya bumi, pemberdayaan masyarakat, yang pada akhirnya akan berdampak pada profit masih belum menjadi perhatian.  Bahkan, telah banyak instrumen hukum dan peraturan yang mendukungnya, tetapi belum bersifat mengikat dan masih bersifat sukarela.  Artinya, entittas ekonomi alias perusahaan belum diharuskan tetapi hanya bersifat sukarela melaksanakan bisnis berkonsep triple bottom line.

Dari banyak sumber dan analisis penulis, nampaknya kepentingan untuk mendatangkan investor demi meningkatkan investasi (orientasi kuantitas) masih menjadi pertimbangan utama.  Pemberdayaan masyarakat sebagai konsumen dan tenaga kerja apalagi masalah kelestarian lingkungan dan energy ramah lingkungan masih tidak dipertimbangkan.  Akhirnya, banyak investor dan pelaku ekonomi di Indonesia memfokuskan usahanya hanya untuk mencari keuntungan sebesar-besarnya. Bukan hanya tidak memperhatikan manusia dan lingkungan, malah dengan semena-mena melakukan eksploitasi manusia sebagai sumber daya, juga merugikan konsumen dengan produk yang tidak bermutu. Perlikau menghancurkan alam dengan alasan sumberdaya alam yang melimpah serta penanganan limbah yang serampangan menjadikan planet bumi sebagai tempat tinggal manusia satu-satunya rusak dengan sangat cepat.

Bisnis atau aktivitas ekonomi bukan tidak bisa dikelola dengan arif dan bijaksana.  Konsep bisnis triple bottom line menawarkan metoda dan cara berbisnis yang arif dan bijaksana yang berorientasi jangka panjang dan berkelanjutan.  Walau telah diterapkan diberbagai Negara maju seperti di Eropa, Amerika, Australia, dan sebagian Negara-negara maju di Asia belum menjadi prioritas untuk diajarkan apalagi diterapkan di Indonesia.  Bahkan, masih cenderung menjadi arus pinggiran yang sering kali diremehkan dan ditertawakan oleh pemangku kepentingan, khususnya dari kalangan pengambil kebijakan seperti Pemerintah Pusat dan Daerah, para pelaku usaha baik investor maupun industrialis, bahkan oleh kalangan akademisi sendiri.  Pemangku kepentingan di Indonesia pada umumnya masih menjadikan keuntungan, walau bersifat jangka pendek, menjadi tujuan utama dan bahkan satu-satunya tujuan berusaha dan pembangunan ekonominya. 

Sosialisasi, edukasi, dan advokasi harus terus dilakukan demi kehidupan yang lebih baik dan lestarinya bumi sebagai satu-satunya tempat manusia bisa hidup.  Kerja keras dari setiap orang yang telah sadar untuk menjaga lestarinya bumi demi lestarinya kehidupan, memanusiakan manusia sebagai makhluk yang berdaya dan bermartabat, serta entitas ekonomi yang bijaksana dan bertanggung jawab untuk terus dan terus mengabarkan kebenaran walau seringkali pahit dan menyakitkan.  Pekerjaan berat menanti di depan kita, tetapi kebenaran tentang lestarinya bumi, manusia yang bermartabat, dan usaya yang bertanggung jawab lagi bijaksana harus dikabarkan.

 

Salam Lestari,

Malang, 07072014

 

REFERENSI

Ahmad, N & Sulaiman, M. 2004. Environmental Disclosure in Malaysian Annual Reports: A Legitimacy Theory Perspective. International Journal of Commerce & Management. Vol.14, No.1.

Barkemeyer, R. 2007. Legitimacy as a Key Driver and Determinant of CSR in Developing Countries. Paper for the 2007 Marie Curie Summer School on Earth System Governance, 28 May – 06 June 2007, Amsterdam.

Budimanta, A., Prasetijo, A. & Rudito, B. 2008. Corporate Social Responsibility, Alternatif Bagi Pembangunan Indonesia. Jakarta: Indonesia Center for Sustainibility Development Chariri, A. & Ghozali, I.  2007. Teori Akuntansi. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro.

Chrismawati, D. T. 2007. Pengaruh Karakteristik Keuangan dan Non Keuangan Perusahaan terhadap Praktik Environmental Disclosure di Indonesia. Skripsi. Perpustakaan Ekonomi Referensi. Universitas Diponegoro, Semarang.

Commission of the European Communities. 2001. Promoting a European Framework for Corporate Social Responsibility. Brussels: European Community.

Darwin, A. 2008. CSR: Standards dan Reporting. Makalah disampaikan pada Seminar Nasional CSR sebagai Kewajiban Asasi Perusahaan; Telaah Pemerintah, Pengusaha, dan Dewan Standar Akuntansi, 27 November 2010.

Deegan. 2002. Introduction: The Legitimizing Effect Of Social And Environmental Disclosure – A Theoretical Foundation. Accounting, Auditing & Accountability Journal, vol.15, no. 3, pp. 282-311.

Dowling, J. and Pfeffer, J. 1975, “Organizational legitimacy: social values and organization behaviour,” Pacific Sociological Review, Vol. 18 No. 1, pp. 122-136.

Elkington, J. 1997.Cannibals with Forks: The Triple Bottom Line of 21st Century Business. Oxford: Capstone Publishing.

Endiarto, O.T. & Stephanus, D. S. 2014. Analisis Pengaruh Kinerja Lingkungan Terhadap Nilai Perusahaan Yang Terdaftar Di Index Sri Kehati .Proposal Skripsi. Universitas Ma Chung. Malang    

Forum for Corporate Governance in Indonesia. 2001. Peranan Dewan Komisaris dan Komite Audit dalam Pelaksanaan Corporate Governance (Tata Kelola Perusahaan). Jilid II. Edisi Kedua. Jakarta: FCGI.

Freeman, R.E. 1984. Strategic Management: A Stakeholder Approach.Pitman. Boston

Ghozali & Chairiri. 2007. Teori Akuntansi. Semarang: Universitas Diponegoro

Global Reporting Initiative. 2006. GRI Sustainability Reporting GuideLines G3 Version. Dipetik Desember 6, 2013, dari https://www.globalreporting.org/

Haniffa, R. M & Cooke, T. E. 2005. The Impact of Culture and Governance on Corporate Social Reporting. Journal of Accounting and Public Policy 24.

Hasibuan, R. 2001. Pengaruh Karakteristik Perusahaan Terhadap Pengungkapan Sosial. Tesis. Universitas Diponegoro. Semarang.

Heal, G. 2004. Corporate Social Responsibility – An Economic and Financial Framework. Working Paper. Columbia Business School.

Jensen, M. C & Meckling, W. H. 1976. Theory of the Firm: Managerial Behavior, Agency Costs and Ownership Structure. Journal of Financial Economics, Oktober, 1976, V. 3, No. 4, pp. 305-360.

Lawrence, A. & Webber, J. 2008. Business & Society: Stakeholders, Ethics, Public Policy. McGraw Hill Companies Incorporated

Lindblom, C. K. 1994. The Implications of Organizational Legitimacy for Corporate

Nugroho, O.C. & Stephanus, D.S. 2014. Studi Empiris Pengaruh Manajemen Laba (Earnings Management), Corporate Governance, Ukuran Perusahaan (Size), Leverage, dan Profitabilitas Terhadap Pengungkapan Tanggung Jawab Sosial Dan Lingkungan Perusahaan. Proposal Skripsi. Universitas Ma Chung. Malang  

Nuraini, E. (2010). Pengaruh Environmental Performance Dan Environmental Disclosure Terhadap Economic Performance (Studi Pada Perusahaan Yang Terdaftar Di Bursa Efek Indonesia). Skripsi Tidak Dipublikasikan. Universitas Diponegoro.

Nurlela, R & Islahuddin. 2008. Pengaruh Corporate Social Responsibility terhadap Nilai Perusahaan dengan Prosentase Kepemilikan Manajemen sebagai Variabel Moderating: Studi Empiris pada Perusahaan yang Terdaftar di Bursa Efek Jakarta. Simposium Nasional Akuntansi XI Pontianak 2008.

O’Donovan. 2002. Environmental Disclosure in the Annual Report: Extending the Applicability and Predictive Power of Legitimacy Theory. Accounting, Auditing, and Accountability Journal, Vol.15, No.3

Oktiviana, D. & Stephanus, D.S. 2014. Analisis Pengaruh Penerapan Environment Management Accounting Dan Strategi Terhadap Inovasi Perusahaan . Proposal Skripsi. Universitas Ma Chung. Malang

Prior, D, Jordi, S, Josep, A. 2008. Are socially responsible managers really ethical? Exploring the relationship between earnings management and corporate social responsibility. Corporate Governance: An International nurainiReview, Vol.16, no.3, 160-177.

Puspita, M. E. & Stephanus, D.S.  2014.  Pengaruh Pengungkapan Corporate Social Responsibility, Global Reporting Initiatives Dan Iso 26000 Terhadap Nilai Perusahaan Sektor Pertambangan. Proposal Skripsi. Universitas Ma Chung. Malang  

Reverte, C. 2008. Determinants of Corporate Social Responsibility Disclosure Ratings by Spanish Listed Firms. Journal of Business Ethics (2009) 88:351– 366 DOI 10.1007/s10551-008-9968-9.

Robert, D. & Stephanus, D.S. 2014. Penerapan Dan Analisis Pengaruh Environmental Management Accounting (Ema). Proposal Skripsi. Universitas Ma Chung. Malang

Saidi. 2004. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Struktur Modal pada Perusahaan  Manufaktur Go Public di BEJ 1997-2002. Jurnal Bisnis dan Ekonomi Vol. 11 no.1, hal. 44-58.

Saputra, N. A. & Stephanus, D.S. 2014. Pengaruh Pengungkapan Corporate Social Resposibility Dan Global Reporting Initiatives Terhadap Nilai Perusahaan Pada Perusahaan Yang Tercatat Di Indeks Sri-Kehati 2010—2012. Skripsi. Universitas Ma Chung. Malang

Sayekti & Wondabio. (2007). Pengaruh Corporate Social Responsibility (CSR) Disclosure Terhadap Earnings Response Coefficient. Simposium Nasional Akuntansi X. Makassar.

Shleifer, A. dan Vishny, R.W. 1997. A Survey of Corporate Governance. Journal of Finance, Vol 52. No 2

Suwardjono. 2005. Teori Akuntansi: Perekayasaan Pelaporan Keuangan. Yogyakarta: Badan Penerbit Universitas Gadjah Mada.

Tunggal, A, W. 2008. “Corporate Social Responsibility (CSR)”. Harvarindo.

Untung, H. B. 2008. Corporate Social Responsibility. Jakarta: Sinar Grafika.

Wibisono, Y. 2007. Membedah Konsep dan Aplikasi Corporate Social Responsibility. Gresik: Fascho Publishing

Wineberg, D. 2004. Corporate Social Responsibility – What Every In House Counsel Should Know. Acc Docket.

World Bank Ext Communications For Development Division Devcomm/Sdo. 2003. Corporate Social Responsibility And Multi Stakeholder Dialogue: Towards Environmental Behavioral Change. Discussion Paper.

 


 

Seri #2: Instrumen-Instrumen Bisnis yang Bekelanjutan

1.    Corporate Social Responsibility (CSR): Undang-Undang 40/2007 Tentang Perseroan Terbatas

Topik mengenai Tanggung Jawab Sosial Korporat atau yang biasa dikenal dengan Corporate Social Responsibility (CSR) menjadi topik yang semakin marak dibicarakan dan menjadi topik yang semakin banyak dibahas di seluruh belahan dunia. Telah banyak diulas bahasan-bahasan sehubungan dengan CSR baik melalui media cetak, elektronik, seminar, dan bahkan hingga konferensi. Perkembangan topik CSR di perguruan tinggi di Indonesia pun telah menunjukkan adanya peningkatan, walaupun masih berada di tahap awal (Jalal, 2007).

Konsep tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) muncul sebagai akibat adanya kenyataan atas karakter alami dari setiap perusahaan. Setiap perusahaan secara alamiah selalu ingin mencari keuntungan semaksimal mungkin tanpa memedulikan kesejahteraan karyawan, masyarakat, dan lingkungan alam. Perkembangan CSR juga terkait erat dengan semakin parahnya kerusakan lingkungan yang terjadi di Indonesia maupun di dunia, mulai dari penggundulan hutan, polusi udara dan air, hingga perubahan iklim (Utama, 2007).

Konsep tanggung jawab sosial muncul seiring dengan semakin parahnya lingkungan serta semakin meningkatnya kesadaran dan kepekaan dari stakeholder perusahaan. Hal ini menjadikan tanggung jawab sosial menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan dengan kelangsungan hidup perusahaan di masa yang akan dating (going concern perusahaan). Tanggung jawab perusahaan memberikan konsep yang berbeda bahwa perusahaan tersebut secara sukarela (voluntary) menyumbangkan sesuatu untuk masyarakat, lingkungan, serta kelangsungan hidup yang lebih baik.

Praktik pengungkapan sukarela dalam wujud pengungkapan tanggung jawab sosial dan lingkungan semakin meningkat selama beberapa tahun terakhir. Pengungkapan informasi CSR yang dilakukan perusahaan secara sukarela pun telah banyak diteliti sebelumnya. Hasil dari penelitian dan studi yang telah dilakukan di berbagai negara juga dimuat di berbagai jurnal internasional. Studi tersebut tidak saja dilakukan dengan menggunakan pendekatan positif tetapi juga interpretive dan critical theory (Deegan, 2002). Isu serta fenomena yang berkaitan dengan tanggung jawab sosial dan lingkungan perusahaan juga telah ditulis dalam beberapa buku teori akuntansi di bab tersendiri sejak lama, salah satunya yaitu oleh Mathews & Perera (1996).

CSR merupakan pernyataan umum yang di dalamnya menunjukkan kewajiban perusahaan untuk memanfaatkan sumber daya ekonomi dalam kegiatan usaha untuk menyediakan dan memberikan kontribusi kepada para pemangku kepentingan internal dan eksternal (Saleh, dkk., 2010). Dalam era globalisasi sekarang ini serta adanya kecenderungan akan kebutuhan yang meningkat dari stakeholder pada perusahaan untuk mengadopsi praktek tanggung jawab social dan lingkungan (CSR), entah disadari atau tidak, akan ikut mendorong keterlibatan perusahaan dalam praktik CSR. Karena itu, CSR telah muncul sebagai subjek penting yang harus diberi perhatian oleh perusahaan.

Terdapat berbagai macam alasan perusahaan dalam melakukan pengungkapan tanggung jawab sosial dan lingkungannya secara sukarela. Perusahaan melakukan pengungkapan tanggung jawab sosial dan lingkungannya sebagai bentuk pertanggungjawaban perusahaan kepada stakeholder atas segala aktivitas CSR yang telah dilaksanakan oleh perusahaan. Darwin (2006) dalam Novita & Djakman (2008) menyatakan bahwa pengungkapan kinerja lingkungan, sosial, dan ekonomi di dalam laporan tahunan atau laporan terpisah adalah wujud untuk mencerminkan tingkat akuntabilitas, responsibilitas, dan transparansi korporat kepada investor dan stakeholders lainnya.

Lebih jauh, Novita & Djakman (2008) mengatakan bahwa pengungkapan tersebut bertujuan untuk menjalin hubungan komunikasi yang baik dan efektif antara perusahaan dengan publik dan stakeholders lainnya tentang bagaimana perusahaan telah mengintegrasikan corporate social responsibilty (CSR) dalam setiap aspek kegiatan operasinya. Alasan lain yang melatarbelakangi perusahaan dalam melakukan pengungkapan tanggung jawab sosial dan lingkungannya secara sukarela adalah berkaitan dengan legitimasi perusahaan.

Haniffa & Cooke (2005) mengatakan bahwa perusahaan juga dapat memperoleh legitimasi dengan memperlihatkan tanggung jawab sosial melalui pengungkapan CSR dalam media termasuk dalam laporan tahunan perusahaan. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Kiroyan (2006) dalam Sayekti & Wondabio (2007) yang menyatakan bahwa dengan menerapkan CSR, diharapkan perusahaan akan memperoleh legitimasi sosial dan memaksimalkan kekuatan keuangannya dalam jangka panjang. Hal ini mengindikasikan bahwa perusahaan yang menerapkan CSR mengharapkan akan direspon positif oleh para pelaku pasar.

Undang-Undang di Indonesia mengamanatkan agar perusahaan melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungannya. Ada dua undang-undang yang mengatur mengenai hal tersebut. Undang-undang pertama adalah Pasal 15b Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal. Undang-undang ini menyatakan bahwa setiap investor berkewajiban melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan. Penjelasan pasal ini menyatakan bahwa yang dimaksud dengan tanggung jawab sosial perusahaan adalah tanggung jawab yang melekat pada perusahaan penanaman modal untuk tetap menciptakan hubungan yang serasi, seimbang, dan sesuai dengan lingkungan, nilai, norma, dan budaya masyarakat.

Undang-undang kedua yang mengatur mengenai tanggung jawab sosial dan lingkungan perusahaan adalah Undang- Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Pasal 74 ayat (1) Undang- undang ini menyatakan bahwa perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan. Ayat (2) pasal ini menyatakan kewajiban tersebut diperhitungkan sebagai biaya perseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran. Selanjutnya ayat (3) menyebutkan perseroan yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana yang dimaksud ayat (1) dikenai sanksi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang terkait. Kemudian ayat (4) menyatakan ketentuan lebih lanjut mengenai tanggung jawab sosial dan lingkungan diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Dengan diberlakukannya kedua Undang-undang di atas, perusahaan akan lebih terdorong untuk bertanggungjawab terhadap lingkungan dan sosialnya. Adanya standar yang dilakukan terhadap praktek pelaporan CSR (Corporate Social Reporting) akan menjadikan pengungkapan tanggung jawab sosial dan lingkungan sebagai mandatory disclosure, sehinggap pelaporan CSR akan lebih lengkap dan akurat. Walaupun Undang-undang tersebut telah mendorong kesadaran perusahaan terhadap tanggung jawab lingkungan dan sosialnya, namun undang-undang tersebut masih memiliki kelemahan. Dalam undang-undang tersebut tidak dicantumkan sektor apa saja yang diwajibkan untuk melaksanakan CSR, sanksi yang dikenakan apabila melanggar, berapa besar anggaran minimum, serta pelaporan CSR.

 

2.     International Standard Organization (ISO) 14001 tentang Manajemen Lingkungan

International Organization for Standardization (ISO) adalah suatu asosiasi global di luar pemerintahan yang terdiri dari badan-badan standardisasi nasional yang beranggotakan 140 negara dan berdiri sejak tahun 1947 (www.iso.org, 2013).

Tujuan ISO 14000 (Kuhre, 1995) adalah sebagai berikut.

1. Mendorong upaya dan melakukan pendekatan untuk pengelolaan lingkungan hidup dan sumberdaya alam dan kualitas pengelolaannya diseragamkan pada lingkup global.

2. Meningkatkan kemampuan organisasi untuk mampu memperbaikikualitas dan kinerja lingkungan hidup dan sumber daya alam.

3. Memberikan kemampuan dan fasilitas pada kegiatan ekonomi danindustri, sehingga tidak mengalami rintangan dalam berusaha.

Untuk mencapai tujuan tersebut dibentuk SAGE (Startegic Advisory Group on the Environment). Kemudian TC 207 (Komisi Teknis) pada tahun 1993 dibentuk oleh Organisasi Internasional untuk Standarisasi (ISO). Komisi ini terdiri dari berbagai negara dan bertugas merumuskan konsep standar internasional di bidang lingkungan. Adapun pembagian tugasnya adalah sebagai berikut.

1. Sub komisi yang menangani Environmental Management System (Sistem pengelolaan Lingkungan dan sumberdaya alam).

2. Sub komisi yang menangani Environmental Auditing (Odit Lingkungan).

3. Sub komisi yang menangani Environmental Labelling (Label Lingkungan).

4. Sub komisi yang menangani Environmental Performance Evaluating (Evaluasi Kinerja Lingkungan).

5. Sub komisi yang menangani Life Cycle Analysis (Analisis Daur Hidup)

6. Sub komisi yang menangani Environemental aspect in Product Standard (Aspek Lingkungan dalam Baku mutu Produk).

7. Sub komisi yang bertugas menyusun Term and Definitions (Istilah dan Definisi).

 

3.    International Standard Organization (ISO) 26000 tentang Corporate Responsibility

International Organization for Standardization (ISO) adalah suatu asosiasi global di luar pemerintahan yang terdiri dari badan-badan standardisasi nasional yang beranggotakan 140 negara dan berdiri sejak tahun 1947. Pada 1 November 2010, ISO mengeluarkan ISO 26000 yang merupakan suatu standar mengenai panduan perilaku bertanggung jawab sosial bagi organisasi guna berkontribusi terhadap pembangunan berkelanjutan (www.iso.org, 2013).

Munculnya ISO 26000 ini diharapkan dapat memberikan tambahan nilai terhadap aktivitas tanggung jawab sosial yang berkembang saat ini melalui pengembangan suatu konsensus terhadap pengertian tanggung jawab sosial dan isunya, menyediakan pedoman tentang penerjemahan prinsip-prinsip menjadi kegiatan yang efektif dan memilah praktik-praktik terbaik yang sudah berkembang dan menyebarluaskannya untuk kebaikan komunitas atau masyarakat internasional. ISO 26000 menerjemahkan tanggung jawab sosial sebagai tanggung jawab suatu organisasi atas dampak dari keputusan dan aktivitasnya terhadap masyarakat dan lingkungan melalui perilaku yang transparan dan etis, serta konsisten dengan pembangunan berkelanjutan dan kesejahteraan masyarakat, memperhatikan kepentingan dari para stakeholder, sesuai hukum yang berlaku dan konsisten dengan norma-norma internasional serta terintegrasi di seluruh aktivitas organisasi (www.iso.org, 2013).

Pedoman ISO 26000 terdiri dari 6 bab serta memuat 7 prinsip, 2 praktik dasar, 7 subjek inti, 36 isu, dan 6 praktik integrasi tanggung jawab sosial organisasi. Berbagai isu yang tercakup dalam tanggung jawab sosial menurut ISO 26000 digambarkan sebagai berikut. Tanggung Jawab Sosial: (1) Lingkungan; (2) Praktik operasi yang adil; (3) Isu-isu konsumen; (4) Pembangunan social; (5) Tata kelola organisasi; (6) Hak asasi manusia; (7) Praktik Ketenagakerjaan

 

4.    Global Reporting Initiative (GRI)

Pengungkapan tanggung jawab sosial pada laporan keuangan perusahaan juga memiliki standar yang disebut dengan Global Reporting Initiatives (GRI). GRI merupakan suatu organisasi nirlaba yang memelopori kinerja ekonomi, lingkungan dan sosial yang berkelanjutan. Tujuan utama GRI yaitu membantu para investor, pemerintah, perusahaan dan masyarakat umum untuk memahami lebih jelas proses peningkatan dan pencapaian perusahaan (Sudana & Arlindania, 2011). Aspek yang terdapat dalam GRI yaitu aspek ekonomi (9 item), lingkungan (30 item), tenaga kerja (14 item), hak asasi manusia (11 item), masyarakat (8 item), dan produk (9 item). Rerangka pelaporan yang dikembangkan oleh GRI bersifat umum dan telah disetujui oleh berbagai pemangku kepentingan di seluruh dunia (www.globalreporting.org, 2013).

5.    Sustainable and Responsible Investment Keaneka Ragaman Hayati Indonesia (Indeks SRI-KEHATI)

Pengungkapan lingkungan di Indonesia terdapat di Indeks bernama SRI-KEHATI, SRI-KEHATI diluncurkan pada tanggal 8 Juni 2009 yang merupakan hasil kerjasama antara Bursa Efek Indonesia dan Yayasan Keanekaragaman Hayati Indonesia (KEHATI) yang bergerak dalam bidang pelesatarian dan pemanfaatan keanekaragaman hayati (www.kehati.or.id, 2014). Perusahaan yang terdaftar dalam Indeks SRI-KEHATI adalah perusahaan yang telah dinilai berdasarkan kriteria Indeks SRI-KEHATI. Kriteria Indeks SRI-KEHATI seperti aset total di atas satu triliun Rupiah pada laporan audit tahunan, memiliki Price Earnings Ratio positif, dan Free Float Ratio. Pemilihan Indeks SRI-KEHATI sebagian sampel penelitian dikarenakan indeks SRI-KEHATI menjadi acuan para investor dan masyarakat untuk mengetahui perusahaan apa saja yang telah menerapkan 4 konsep Corporate Social Responsibility dengan menggunakan standar Global Reporting Initiatives.

 

6.    Environmental Management Accounting (EMA)

EMA didefinisikan sebagai alat analisis infomasi keuangan dan non-keuangan yang digunakan untuk mendukung proses manajemen lingkungan hidup yang dilakukan oleh internal perusahaan. (Johnson, 2004). Sedangkan menurut International Federation of Accountants (2005), EMA adalah pengelolaan kinerja ekonomi dan lingkungan melalui pengembangan dan implementasi sistem akuntansi yang berhubungan dengan lingkungan yang tepat dan praktis. Meskipun di beberapa perusahaan hal ini mungkin termasuk pelaporan dan audit, akuntansi manajemen lingkungan biasanya melibatkan siklus hidup biaya, akuntansi biaya penuh, penilaian manfaat, dan perencanaan strategis pengelolaan lingkungan.

Jadi, dapat disimpulkan bahwa EMA merupakan sebuah alat yang dapat menyajikan informasi bagi internal perusahaan terkait dengan kegiatan pengelolaan kinerja lingkungan yang tepat dan praktis. Dalam pelaksanaannya, EMA memiliki 5 kegiatan yang utama (Johnson, 2004) yaitu: (1) product pricing; (2) budgeting; (3) investment appraisal; (4) calculating costs andsavings of environmental projects; (5) setting quantified performance targets.

Tujuan dan Manfaat Penggunaan EMA

Tujuan EMA menurut Savage (2014) dapat dirumuskan bahwa setiap pengambil keputusan dapat menggunakan informasi fisik dan biaya dari EMA untuk membuat keputusan yang akan berdampak pada kinerja lingkungan dan kunerja keuangan perusahaan. Sedangkan menurut IFAC (2005) tujuan EMA adalah manajemen internal perusahaan dapat mengambil langkah-langkah insiatif yang sangat baik menggunakan informasi yang diperoleh dari EMA. Beberapa fokus lingkungan seperti, produk “hijau”, desain produk yang menggunakan bahan ramah lingkungan. Selain itu EMA sering digunakan untuk pelaporan eksternal.

Jadi, EMA lebih dari sekedar alat pengelolaan lingkungan saja, tetapi EMA bisa menjadi sekumpulan prinsip dan pendekatan yang menyediakan data penting untuk keberhasilan banyak kegiatan pengelolaan lingkungan perusahaan. Dan sejak keputusan mengenai kegiatan lingkungan dipengaruhi isu lingkungan, dengan adanya EMA setiap keputusan mengenai kegiatan lingkungan dapat diambil secara objektif.

Beberapa manfaat dari penggunaan EMA (Savage, 2014) sebagai berikut.

1)    Perusahaan mampu untuk lebih akurat melacak dan mengelola penggunaan aliran energi dan material, termasuk volume polusi/limbah, jenis, dan nasib

2)    Perusahaan juga dapat mengidentifikasi, mengestimasi, mengalokasikan, dan mengelola/mengurangi biaya, terutama biaya yang terkait lingkungan

3)    Perusahaan dapat hasil informasi yang lebih akurat dan komprehensif untuk pengukuran dan pelaporan kinerja lingkungan, sehingga citra perusahaan meningkat dengan para pemangku kepentingan seperti pelanggan, masyarakat setempat, karyawan, pemerintah, dan penyedia dana investasi.

4)    Manfaat bagi Pemerintah ketika Perusahaan menerapkan EMA

5)    Semakin banyak industri yang dapat mengaplikasikan program lingkungan atas dasar hukum dan peraturan yang sudah diatur oleh pemerintah

6)    Pelaksanaan EMA oleh industri harus meningkatkan efektivitas kebijakan pemerintah/peraturan yang berlaku dengan cara perusahaan mengungkapkan biaya lingkungan dan manfaat yang dihasilkan dari kebijakan-kebijakan/peraturan tersebut.

7)    Pemerintah dapat menggunakan perusahaan yang sudah menerapkan EMA untuk dijadikan tolok ukur performa kinerja perusahaan terhadap lingkungan serta penyusunan regulasi bagi pemerintah.

Framework Environmental Management Accounting

Rerangka EMA berhubungan dengan dua komponen utama manajemen lingkungan yaitu: monetary environmental management accounting (MEMA) dan physical environmental management accounting (PEMA) (Burritt, Hahn, & Schaltegger, 2002). MEMA digunakan untuk menangani seluruh prosedur dan peralatan dari manajemen lingkungan internal yang dalam hal ini lingkungan diukur dampaknya terhadap kinerja keuangan dalam satuan unit moneter. Sedangkan PEMA digunakan untuk menangani seluruh prosedur dan peralatan dari manajemen lingkungan internal yang dalam hal ini lingkungan diukur dengan untuk fisik.

7.    Audit Lingkungan Hidup

Audit lingkungan merupakan instrumen berharga untuk memverifikasi dan membantu penyempurnaan kinerja lingkungan.  Audit perlu dilakukan secara berkala, untuk menentukan apakah sistem yang dilaksanakan sudah sesuai dengan pengaturan yang direncanakan dan telah dijalankan dan dipelihara secara benar, yang pelaksanaannya tergantung dari pentingnya masalah lingkungan bagi kegiatan perusahaan dan hasil audit sebelumnya.

 

Refleksi

Penjelasan mengenai masing-masing instrument dengan lebih detail akan dituliskan pada serial artikel-artikel lebih lanjut.  Semoga bermanfaat dan menjadi informasi serta pengetahuan lebih lanjut mengenai pengelolaan usaha, bisnis, dan aktivitas ekonomi yang berkelanjutan.  Aktivitas ekonomi yang ramah terhadap alam, memberdayakan masyarakat, yang pada akhirnya akan menghasilkan keuntungan atau profit yang memadai.

Referensi

Burritt, R. L., Hahn, T., & Schaltegger, S. 2002. Towards A Comprehensive Framework For Environmental Management Accounting – Links Between Business Actors And EMA Tools.  Australian Accounting Review, 39-50.

Darwin, A. 2006. Akuntabilitas, Kebutuhan, Pelaporan, Dan Pengungkapan Corporate Social Rwsponsibility  Bagi Perusahaan Di Indonesia”. Economics Business Accounting Review: Corporate Social Responsibility, 3rd Ed, Pp. 83-95. Departemen Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.

Deegan. 2002. Introduction: The Legitimizing Effect Of Social And Environmental Disclosure – A Theoretical Foundation. Accounting, Auditing & Accountability Journal, Vol.15, No. 3, Pp. 282-311.

Endiarto, O.T. & Stephanus, D. S. 2014. Analisis Pengaruh Kinerja Lingkungan Terhadap Nilai Perusahaan Yang Terdaftar Di Index Sri Kehati .Proposal Skripsi. Universitas Ma Chung. Malang    

 

Haniffa, R. M & Cooke, T. E. 2005. The Impact Of Culture And Governance On Corporate Social Reporting. Journal Of Accounting And Public Policy 24.

International Federation of Accountants (IFAC). 2005. International Guidance Document: Environmental Management Accounting. New York: The International Federation of Accountants.

Jalal. 2007. Perkembangan Mutakhir Corporate Social Rwsponsibility di Indonesia. Jakarta: Lingkar Studi Corporate Social Responsibility

Johnson, S. 2004. Environmental Management Accounting.

 

Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 4294 Tahun 1994 Tentang Pedoman Umum Pelaksanaan Audit Lingkungan.

Kuhre, W. L. 1995. ISO 14001 Certification - Environmental Management Systems: A Practical Guide for Preparing Effective Environmental Management Systems.

 

Mathews, M. R. & Perera, M. H. 1996. Accounting Theory and Development. Thomas Nelson, South Melbourne, Australia.

 

Novita & Djakman. 2008. Pengaruh Struktur Kepemilikan Terhadap Luas Pengungkapan Tanggung Jawab Sosial (Corporate Social Rwsponsibility Disclosure) Pada Laporan Tahunan Perusahaan: Studi Empiris Pada Perusahaan Publik Yang Tercatat Di Bursa Efek Indonesia Tahun 2006. Simposium Nasional Akuntansi XI.

Nugroho, O.C. & Stephanus, D.S. 2014. Studi Empiris Pengaruh Manajemen Laba (Earnings Management), Corporate Governance, Ukuran Perusahaan (Size), Leverage, Dan Profitabilitas Terhadap Pengungkapan Tanggung Jawab Sosial Dan Lingkungan Perusahaan. Proposal Skripsi. Universitas Ma Chung. Malang  

 

Oktiviana, D. & Stephanus, D.S. 2014. Analisis Pengaruh Penerapan Environment Management Accounting Dan Strategi Terhadap Inovasi Perusahaan . Proposal Skripsi. Universitas Ma Chung. Malang

 

Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Republik Indonesia Nomor 03 Tahun 2013 Tentang Audit Lingkungan Hidup

 

Puspita, M. E. & Stephanus, D.S.  2014.  Pengaruh Pengungkapan Corporate Social Responsibility, Global Reporting Initiatives Dan Iso 26000 Terhadap Nilai Perusahaan Sektor Pertambangan. Proposal Skripsi. Universitas Ma Chung. Malang  

 

Robert, D. & Stephanus, D.S. 2014. Penerapan Dan Analisis Pengaruh Environmental Management Accounting (Ema). Proposal Skripsi. Universitas Ma Chung. Malang

 

Saleh, M, Zulkifli, N, & Muhamad, R. (2010). Corporate Social Responsibility Disclosure And Its Relation On Institutional Ownership. Managerial Auditing Journal, Vol. 25, No. 6, Pp. 591-613.

 

Saputra, N. A. & Stephanus, D.S. 2014. Pengaruh Pengungkapan Corporate Social Resposibility Dan Global Reporting Initiatives Terhadap Nilai Perusahaan Pada Perusahaan Yang Tercatat Di Indeks Sri-Kehati 2010—2012. Skripsi. Universitas Ma Chung. Malang

 

Sudana, I M. & Arlindania W. P.A., 2011. “Corporate Governance dan Pengungkapan Corporate Sosial Responsibility pada Perusahaan Go Public di Bursa Efek Indonesia”, Jurnal Manajemen Teori dan Terapan, Volume 4 Nomor 1 hal 37-49.

 

Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal.

 

Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas.

 

Utama, S. 2007. Evaluasi Infrastruktur Pendukung Pelaporan Tanggung Jawab Sosial Dan Lingkungan Di Indonesia. Pidato Pengukuhan Profesor Fakultas Ekonomi Ui. Jakarta.

 

www.globalreporting.org

 

www.iso.org

 

www.kehati.or.id.

 

www.oc.its.ac.id/ambilfile.php?idp=1833. Konsep Audit Lingkungan

 

 


 

Seri #3: Corporate Social Responsibility dan Undang-Undang No. 40/2007 Tentang Perseroan Terbatas

Pengantar

Corporate Social Responsibility (CSR) dapat didefinisikan sebagai sebuah komitmen untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui praktik bisnis secara sukarela dan melalui sumber daya perusahaan. Dalam hal ini, perusahaan melakukan komitmennya murni secara sukarela turut meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan bukan dikarenakan sebuah kewajiban atau keterpaksaan  (Solihin, 2009). Menurut Kotler & Lee (2005) CSR adalah sebuah komitmen perusahaan untuk meningkatkan kesejahteraan melalui hal yang dilakukan perusahaan.

Sedangkan Sedangkan menurut Friedman (1970), tanggung jawab sosial perusahaan adalah menjalankan bisnis sesuai dengan keinginan pemilik perusahaan, biasanya dalam bentuk menghasilkan uang sebanyak mungkin dengan senantiasa mengindahkan aturan dasar yang digariskan dalam suatu masyarakat sebagaimana diatur oleh hukum dan perundang-undangan.

Jadi, dapat disimpulkan, Corporate Social Responsibility adalah konsep yang diterapkan perusahaan dengan tujuan agar menyejahterakan masyarakat serta menjaga lingkungan sekitar terkait keberadaan perusahaan tersebut. Kepedulian perusahaan terhadap masyarakat dan lingkungan dapat meningkatkan citra perusahaan di mata publik.

Hukum dan Perundang-undangan yang mengatur Corporate Social Responsibility (CSR)

Secara hukum dan perundang-undangan ada sedikitnya tiga peraturan yang mewajibkan CSR untuk dilaksanakan. CSR sendiri dibagi menjadi tiga macam yaitu CSR untuk Perseroan Terbatas (PT), CSR untuk penanam modal, dan CSR untuk BUMN.

1 Undang-undang yang Mengatur CSR untuk Perseroan Terbatas (PT)

CSR dalam Perseroan Terbatas (PT) diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas pada Pasal 74 yang menyebutkan bahwa perusahaan wajib menciptakan hubungan Perseroan yang serasi, seimbang, dan sesuai dengan lingkungan, nilai, norma, dan budaya masyarakat setempat.

2  Undang-undang yang Mengatur CSR untuk Penanam Modal

Untuk penanam modal, CSR diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanam Modal pada Pasal 15 ayat (b) menyebutkan bahwa setiap penanam modal berkewajiban melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan.

3 Undang-undang yang Mengatur CSR untuk Badan Usaha Milik Negara (BUMN)

Dalam Keputusan Menteri Badan Usaha Milik Negara NOMOR KEP-236/MBU/2003 pada pasal 2 menyatakan bahwa BUMN wajib melaksanakan Program Kemitraan dan Program BL dengan memenuhi ketentuan-ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini. Sumber dana pembinaan berasal dari bagian pemerintah atas laba BUMN sebesar antara 1%-5% dari seluruh laba perusahaan setelah pajak.

2.4.1 Definisi Tanggung Jawab Sosial Perusahaan

Hackston & Milne (1996) dalam Sembiring (2005) menyatakan bahwa tanggung jawab sosial perusahaan atau corporate social responsibility (CSR) merupakan proses pengomunikasian dampak sosial dan lingkungan dari kegiatan ekonomi perusahaan terhadap kelompok khusus yang berkepentingan dan terhadap masyarakat secara keseluruhan. Undang-Undang No 40 tahun 2007 pasal 74 ayat (2) mengenai Perseroan Terbatas menyatakan bahwa tanggung jawab sosial merupakan kewajiban Perseroan yang dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya perseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan kepatuhan dan kewajaran. Untung (2008) mendefinisikan tanggung jawab sosial perusahaan atau corporate social responsibility (CSR) adalah komitmen perusahaan atau dunia bisnis untuk berkontribusi dalam perkembangan ekonomi yang berkelanjutan dengan memperhatikan tanggung jawab sosial perusahaan dan menitikberatkan pada keseimbangan terhadap aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan.

Harsanti (2011) menyatakan tanggung jawab sosial adalah sebuah gagasan yang menjadikan perusahaan tidak lagi berpijak pada prinsip single bottom line, yaitu nilai perusahaan hanya direfleksikan pada kondisi keuangannya saja dan perusahaan hanya memunyai kewajiban ekonomi kepada pemegang saham (shareholder), tetapi juga kewajiban terhadap pihak-pihak lain yang berkepentingan (stakeholder). Berdasarkan definisi yang telah diungkapkan, maka dapat disimpulkan tanggung jawab sosial perusahaan atau corporate social responsibility merupakan suatu komitmen perusahaan kepada pihak stakeholder ataupun shareholder untuk bertanggung jawab atas kinerja bisnis perusahaan dalam aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan. Tanggung jawab sosial bukan saja menuntut perusahaan untuk memperoleh laba yang tinggi namun bagaimana hubungan perusahaan dengan lingkungan sekitar perusahaan.

2.4.2 Pengungkapan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan

Chariri & Ghozali (2007) menyatakan bahwa pengungkapan dapat diartikan sebagai pemberian informasi bagi pihak-pihak yang berkepentingan terhadap informasi tersebut. Rakhiemah & Agustia (2009) menyatakan bahwa pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan atau corporate social responsibility (CSR) merupakan suatu proses penyedia informasi yang dirancang untuk mengemukakan masalah seputar social accountability, yang secara khas tindakan ini dapat dipertanggungjawabkan dalam media-media seperti laporan tahunan maupun dalam bentuk iklan yang berorientasi sosial. Dari beberapa definisi di atas maka dapat disimpulkan bahwa pengungkapan tanggung jawab sosial merupakan suatu proses yang dilakukan perusahaan untuk menyediakan informasi mengenai aktivitas sosial perusahaan, yang dapat memengaruhi persepsi masyarakat dan kinerja keuangan perusahaan.

Sitepu & Siregar (2009) menyatakan tujuan dari pengungkapan tanggung jawab sosial adalah menyediakan informasi yang memungkinkan dilakukan evaluasi perusahaan terhadap masyarakat. Pengaruh kegiatan ini bersifat negatif jika menimbulkan biaya sosial pada masyarakat, dan bersifat positif jika menimbulkan manfaat sosial bagi masyarakat. Utomo (2000) menyatakan bahwa tujuan pengungkapan dikategorikan menjadi dua yaitu protective disclosure yang merupakan upaya perlindungan terhadap investor, dan information disclosure yang bertujuan memberikan informasi yang layak kepada pengguna laporan. Jadi, tujuan tanggung jawab sosial adalah menyediakan informasi bagi para pengguna laporan keuangan baik dalam dampak dan manfaat atas aktivitas yang dilakukan perusahaan kepada masyarakat. Selain itu, pengungkapan tanggung jawab sosial tersebut dapat menjadi evaluasi kinerja perusahaan dan menerangkan dampak yang timbul atas kinerja perusahaan.

Di Indonesia, pengungkapan tanggung jawab sosial dan lingkungan dalam laporan tahunan Perseroan Terbatas telah diwajibkan melalui pasal 66 ayat 2 Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Undang-Undang tersebut mewajibkan setiap laporan tahunan Perseroan Terbatas memuat sekurang-kurangnya laporan keuangan, laporan mengenai kegiatan perusahaan, laporan tanggung jawab sosial dan lingkungan, rincian masalah yang timbul selama tahun buku, laporan mengenai tugas pengawasan, nama anggota Direksi dan Dewan Komisaris dan gaji beserta tunjangan anggota Direksi dan Dewan Komisaris.

Praktik pengungkapan tanggung jawab sosial diatur oleh Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) dalam Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK 2011) No. 1 Paragraf 12, yang menyatakan bahwa entitas dapat pula menyajikan, terpisah dari laporan keuangan, laporan mengenai lingkungan hidup dan laporan nilai tambah khususnya bagi industri yang faktor-faktor lingkungan hidup memegang peranan penting dan bagi industri yang menganggap pegawai sebagai kelompok pengguna laporan yang memegang peranan penting.

Peraturan Bapepam-LK mengenai Emiten dan Perusahaan Publik terkait Pelaporan Emiten dan Perusahaan Publik, tertuang dalam peraturan VIII.G.2 yang telah diubah menjadi peraturan No. X.K.6 (Kewajiban Penyampaian Laporan Tahunan Bagi Emiten dan Perusahaan Publik) juga menyatakan bahwa laporan tahunan wajib memuat ikhtisar data keuangan penting, laporan Dewan Komisaris, laporan Direksi, profil perusahaan, analisis dan pembahasan manajemen, tata kelola perusahaan, tanggung jawab sosial perusahaan, laporan keuangan tahunan yang telah diaudit, dan surat pernyataan tanggung jawab Dewan Komisaris dan Direksi atas kebenaran isi laporan tahunan.

Jadi, dapat dikatakan bahwa secara keseluruhan pengungkapan laporan tanggung jawab sosial telah menjadi suatu kewajiban bagi perusahaan publik di Indonesia. Perusahaan dituntut untuk tidak hanya memikirkan kepentingan pemegang saham atau pemilik, namun juga mementingkan kepentingan masyarakat sekitar. Perusahaan dalam memperoleh laba harus memperhatikan kondisi masyarakat dan lingkungan, dan kegiatan yang dilakukan oleh perusahaan diungkapkan pula pada laporan tahunan perusahaan.

2.4.3 Pengungkapan Lingkungan

Al Tuwaijiri, Christensen & Hughes (2004) menyatakan pengungkapan lingkungan perusahaan sebagai kumpulan informasi yang berhubungan dengan aktivitas pengelolaan lingkungan oleh perusahaan di masa lalu, sekarang, dan yang akan datang. Suratno, Darsono, & Mutmainah (2006) menyatakan bahwa pengungkapan lingkungan perusahaan merupakan pengungkapan informasi terkait dengan lingkungan di dalam laporan tahunan (annual report) perusahaan. Fatayaningrum (2011) pengungkapan lingkungan merupakan pengungkapan perusahaan terhadap dampak dari aktivitas perusahaan pada lingkungan fisik atau alam pada tempat perusahaan beroperasi. Berdasarkan beberapa definisi maka dapat disimpulkan bahwa pengungkapan lingkungan merupakan kumpulan informasi yang terdapat pada laporan tahunan perusahaan mengenai aktivitas perusahaan pada lingkungan sekitar. Pengungkapan tersebut dapat berupa pencegahan polusi akibat aktivitas perusahaan, pelestarian lingkungan, pemanfaatan dan perlindungan lingkungan, serta informasi lain yang berhubungan dengan lingkungan hidup.

Pengungkapan lingkungan merupakan salah satu pengungkapan yang menjadi bagian dari pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan atau corporate social responsibility (CSR), yang berfokus pada kepedulian perusahaan terhadap lingkungan sekitar. Kepedulian perusahaan terhadap permasalahan lingkungan dapat dilakukan dengan melaksanakan program-program kinerja lingkungan yang kemudian di ungkapkan dalam laporan, baik pada laporan tahunan maupun laporan terpisah lainnya yang disebut laporan keberlanjutan (sustainability report).

Terdapat beberapa alasan perusahaan dalam memperhatikan lingkungan adalah sebagai berikut (Januarti & Apriyanti, 2005).

1. Isu lingkungan yang melibatkan kepentingan berbagai kelompok dalam masyarakat yang dapat mengganggu kualitas hidup mereka.

2. Dalam era globalisasi, produk-produk yang diperdagangkan harus bersahabat dengan lingkungan.

3. Para investor dalam menanamkan modalnya cenderung untuk memilih perusahaan yang memiliki dan mengembangkan kebijakan dan program lingkungan.

4. Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan pecinta lingkungan semakin vokal dalam mengkritik perusahaan-perusahaan yang kurang peduli terhapa lingkungan.

 

Pentingnya pengungkapan lingkungan juga menimbulkan adanya peraturan khusus seperti yang tertuang pada pasal 68 huruf (a) Undang-Undang No.32 Tahun 2009 mengenai Pengelolaan Lingkungan Hidup. Dalam pasal 68 huruf (1) Undang-Undang No. 32 tahun 2009 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup disebutkan bahwa setiap orang yang melakukan usaha atau kegiatan berkewajiban memberikan informasi yang terkait dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup secara benar, akurat dan terbuka, serta tepat waktu. Pengungkapan kinerja lingkungan dan tanggung jawab sosial perusahaan dapat dilakukan melalui laporan tahunan atau laporan terpisah yang disebut dengan sustainability report dan media lainnya seperti website. Sustainability report ini mencakup kinerja lingkungan, sosial dan ekonomi, dan sering dibuat dengan nama environmental report, social report, atau environmental and social report tergantung dari tujuan pengungkapan.

Tabel 1.

Indikator Pengungkapan Corporate Social Responsibility (CSR)

(Dilanjutkan…) No.

Kategori

Keterangan

1

Lingkungan

1

Pengendalian polusi kegiatan operasi; pengeluaran riset dan pengembangan untuk pengurangan polusi

2

2

Pernyataan yang menunjukkan bahwa operasi perusahaan tidak mengakibatkan polusi atau memenuhi ketentuan hukum dan peraturan polusi

3

3

Pernyataan yang menunjukkan bahwa polusi operasi telah atau akan dikurangi

4

4

Pencegahan atau perbaikkan kerusakan lingkungan akibat pengolahan sumber alam, misalnya reklamasi daratan atau reboisasi

5

5

Konservasi sumber alam, misalnya mendaur ulang kaca, besi, minyak, air dan kertas.

6

6

Penggunaan material daur ulang

7

7

Menerima penghargaan berkaitan dengan program lingkungan yang dibuat perusahaan

8

8

Merancang fasilitas yang harmonis dengan lingkungan

9

9

Kontribusi dalam seni yang bertujuan untuk memperindang lingkungan

10

10

Kontribusi dalam pemugaran bangunan sejarah

11

11

Pengolahan limbah

12

12

Memperlajari dampak lingkungan untuk memonitor dampak lingkungan perusahaan

13

13

Perlindungan lingkungan hidup

14

Energi

1

Menggunakan energi secara lebih efisien dalam kegiatan operasi

15

2

Memanfaatkan barang bekas untuk memproduksi energi

16

3

Penghematan energi sebagai hasil produk daur ulang

17

4

Membahas upaya perusahaan dalam mengurangi konsumen energi

18

5

Peningkatan efisiensi energi dari produk

19

6

Riset yang mengarah pada peningkatan efisiensi dari produk

20

7

Kebijakan energi perusahaan

21

Kesehatan dan Keselamatan Kerja

1

Mengurangi polusi, iritasi, atau risiko dalam lingkungan kerja

22

2

Mempromosikan keselamatan tenaga kerja dan kesehatan fisik atau mental

23

3

Statistik kecelakaan kerja

 

Referensi

Ahmad, N & Sulaiman, M. (2004). Environmental Disclosure in Malaysian Annual Reports: A Legitimacy Theory Perspective. International Journal of Commerce & Management. Vol.14, No.1.

Alhusin, S. (2004). Aplikasi Statistik Praktis dengan SPSS 10 for Windows. Jogjakarta: Graha Ilmu.

Altman, E. I. (2000). Predicting financial distress of companies: Revisiting the Zscore and Zeta® Models. Journal of Banking & Finance, 1.

Amal, M. (2011). Pengaruh Manajemen Laba, Kepemilikan Manajerial, Ukuran Perusahaan, dan Profitabilitas terhadap Pengungkapan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (Studi Empiris pada Perusahaan Manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia Tahun 2008-2009). Skripsi. Universitas Diponegoro, Semarang.

Amran, A & Devi, S. (2008). The Impact Of Government and Foreign Affiliate Influence on Corporate Social Reporting (The Case of Malaysia). Accounting, Auditing, and Accountability Journal, Vol. 23, No. 4, hal 386- 404.

Anggaini, R. R. (2006). Pengungkapan Informasi Sosial dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pengungkapan Infromasi Sosial dalam Laporan Keuangan Tahunan (Studi Empiris pada Perusahaan-Perusahaan yang Terdaftar pada Bursa Efek Jakarta). Simposium Nasional Akuntansi IX, Padang.

Arif, I. Y. (2006). Pengaruh Struktur Kepemilikan dan Mekanisme Corporate Governance Terhadap Agency Cost (Studi pada Perusahaan di BEJ). Jurnal Ilmiah Bidang Manajemen dan Akuntansi, Vol.3, No.2, hal. 194 213, September 2006.

Arikunto, S. (2006). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta.

Barkemeyer, R. (2007). Legitimacy as a Key Driver and Determinant of CSR in Developing Countries. Paper for the 2007 Marie Curie Summer School on Earth System Governance, 28 May – 06 June 2007, Amsterdam.

Barnae, A & Rubin, A. (2005). “Corporate Social Responsibility as a Conflict Between Shareholders

Beiner, S, Drobetz, W, Schmid, F, & Zimmermann, H. (2003). Is Board Size an Independent Corporate Governance Mechanism? Working Paper. University of Basel.

Belkaoui, A. & Karpik, P. G. (1989). Determinants of the Corporate Decision to Disclose Social Information. Acoounting, Auditing and Accountability Journal, Vol. 2, No. 1, hal. 36-51

Bowman, E. H & Haire, M. (1976). “Social Impact Disclosure and Corporate Annual Reports”. Accounting, Organizations, and Society, Vol. 1 No. 1, pp. 11-21

Branco, M & Rodrigues, L. L. (2006). Corporate Social Responsibility and Resource-Based Perspectives. Journal of Business Ethics 69 (2), pp. 111-132

Brealey, M & Marcus. 2007. Dasar- dasar Manajemen Keuangan Perusahaan. Edisi kelima. Jakarta: Erlangga.

Brigham, E & Houston, J. F. (2001). Manajemen Keuangan II. Jakarta: Salemba Empat.

Cadbury Committee. (1992). Report of the Committee on the Financial Aspects of Corporate Governance. London: Gee.

Cahyonowati, N. (2003). Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pengungkapan Sosial (Social Disclosure) Dalam Laporn Tahunan Perusahaan. Skripsi S1 Tidak Dipublikasikan. Fakultas Ekonomi Universitas Diponegoro.

Chih, H, Shen, C, & Kang, F. (2008). Corporate Social Responsibility, Investor Protection and Earning Management: Some International Evidence. Journal of Business Ethics, 79 (April), 179-198.

Chrismawati, D. T. (2007). Pengaruh Karakteristik Keuangan dan Non Keuangan Perusahaan terhadap Praktik Environmental Disclosure di Indonesia. Skripsi. Perpustakaan Ekonomi Referensi. Universitas Diponegoro, Semarang.

Commission of the European Communities. (2001). Promoting a European Framework for Corporate Social Responsibility. Brussels: European Community.

Cowen, S. S, Ferreri, L. B, Parker, L. D. (1987). The Impact of Corporate Characteristic on Social Responsibility Disclosure; a Typology and Frequency Based Analysis. Accounting, Organization and Society, Vol. 12 No. 2.

Creswell, J.W. (2012). Research Design Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif, dan Mixed. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Darwin, A. (2006). Akuntabilitas, Kebutuhan, Pelaporan, dan Pengungkapan CSR bagi Perusahaan di Indonesia”. Economics Business Accounting Review: Corporate Social Responsibility, 3rd ed, pp. 83-95. Departemen Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.

Darwin, A. (2008). CSR: Standards dan Reporting. Makalah disampaikan pada Seminar Nasional CSR sebagai Kewajiban Asasi Perusahaan; Telaah Pemerintah, Pengusaha, dan Dewan Standar Akuntansi, 27 November 2010.

Davey, H. B. (1982). Corporate Social Responsibility Disclosure in New Zealand; An Empirical Investigation. Unpublished Working Paper. Massey University, Palmerston North, New Zealand.

Dechow, P. M, Sloan, R. G, & Sweeney, A. P. (1995). Detecting Earnings Management. Accounting and Business Research. Vol. 70, No. 2.

Deegan. (2002). Introduction: The legitimizing effect of social and environmental disclosure – a theoretical foundation. Accounting, Auditing & Accountability Journal, vol.15, no. 3, pp. 282-311.

Fahrizqi, A. (2010). Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pengungkapan Corporate Social Responsibility dalam Laporan Tahunan Perusahaan. Skripsi. Jurusan Akuntansi, Universitas Diponegoro , Semarang.

Fama, E. F. & Jensen, M. C. (1983). Separation of Ownership and Control. Journal Of Law and Economics, Vol.26. pp.301-325.

Farook, S & Lanis, R. (2005). Banking On Islam? Determinants of Corporate Social Responsibility Disclosure. The 6 th International Conference on Islamic and Fnance. Jakarta.

Ferri, M. G & Jones, W. H. (1979). Determinants of Financial Structure: A New Methodological Approach. The Journal Of Finance XXXIV, 3, pp. 631-644.

Fitriyani. (2001). Signifikansi Perbedaan Tingkat Kelengkapan Wajib dan Sukarela pada Laporan Keuangan Perusahaan Publik yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia. Simposium Nasional Akuntansi IV. Hlm 133-154.

Forum for Corporate Governance in Indonesia. (2001). Peranan Dewan Komisaris dan Komite Audit dalam Pelaksanaan Corporate Governance (Tata Kelola Perusahaan). Jilid II. Edisi Kedua. Jakarta: FCGI. Forum for Corporate Governance in Indonesia. (2003). Indonesian Company Law. Dipetik November 29, 2013, dari www.fcgi.org.id

Freeman, R.E. (1984). Strategic Management: A Stakeholder Approach.Pitman. Boston.

Ghozali, I. (2005). Aplikasi Analisis Multivariate dengan Program SPSS. Semarang: Universitas Diponegoro

Ghozali & Chairiri. (2007). Teori Akuntansi. Semarang: Universitas Diponegoro

Ghozali, I. (2009). Aplikasi Analisis Multivariate dengan Program SPSS. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro.

Global Reporting Initiative. (2006). GRI Sustainability Reporting GuideLines G3 Version. Dipetik Desember 6, 2013, dari https://www.globalreporting.org/

Gray, R, Kouhy, R, Lavers, S. (1995). Corporate Social and Environmental Reporting: a Review of the Literature and a Longitudinal Study of UK Disclosure, Accounting, Auditing & Accountability Journal, vol. 8, no. 2, pp 47-77.

Gray, R, Owen, D. L, & Adams, C. (1996). Accounting and Accountability: Social

and Environmental Accounting in a Changing World. Hemel Hempstead: Prentice Hall

Gujarati, D. (2007). Ekonometrika Dasar. Jakarta: Penerbit Erlangga.

Hackston, D. & Milne, M. J. (1996). Some Determinants of Social and Environmental Disclosures in New Zealand Companies. Accounting, Auditing and Accountability Journal, Vol. 9, No. 1

Hanafi, M. M & Halim, A. (2005). Analisis Laporan Keuangan, Edisi Kedua. Yogyakarta: AMP-YKPN.

Haniffa, R. M & Cooke, T. E. (2005). The Impact of Culture and Governance on Corporate Social Reporting. Journal of Accounting and Public Policy 24.

Harahap, M. E. (4 Februari 2014). Perkembangan CSR di Indonesia. Dipetik April 29, 2014, dari

http://muchtareffendiharahap.blogspot.com/2014/02/perkembangan-csr-diindonesia

html

Hasibuan, R. (2001). Pengaruh Karakteristik Perusahaan Terhadap Pengungkapan Sosial. Tesis. Universitas Diponegoro. Semarang.

Heal, G. (2004). Corporate Social Responsibility – An Economic and Financial Framework. Working Paper. Columbia Business School.

Hendriksen, E. (1991). Teori Akuntansi Diterjemaahkan oleh Nugroho Widjajanto. Jakarta : Gramedia

Herawaty, V. (2008). Peran Praktek Corporate Governance sebagai Moderating Variable dari Pengaruh Earnings Management terhadap Nilai Perusahaan. Simposium Nasional Akuntansi II. Pontianak.

Jalal. (2007). Perkembangan Mutakhir CSR di Indonesia. Jakarta: Lingkar Studi CSR

Jensen, M. C & Meckling, W. H. (1976). Theory of the Firm: Managerial Behavior, Agency Costs and Ownership Structure. Journal of Financial Economics, Oktober, 1976, V. 3, No. 4, pp. 305-360.

Kaen, R. F. (2003). Blueprint for Corporate Governance. American Management Association. New York, USA.

Kiroyan, N. (2006). “Good Corporate Governance (GCG) dan Corporate Social Responsibility (CSR) adakah kaitan di antara keduanya?”, Economics Business Accounting Review: Corporate Social Responsibility, 3rd ed, pp. 45-58. Departemen Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia

Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG). (2004). Pedoman Umum Good Corporate Governance Indonesia 2004. Jakarta.

Lindblom, C. K. (1994). The Implications of Organizational Legitimacy for Corporate

Lo, E. W. (2005). Penjelasan Teori Prospek Terhadap Manajemen Laba. Jurnal Akuntansi dan Manajemen. Vol. XVI. No. 1. April. STIE YKPN. Yogyakarta.

Maemunah, N. (2009). Pengaruh Karateristik Perusahaan Terhadap Corporate Social Responsibility Disclosure pada Perusahaan Manufaktur. Jurnal Fakultas Ekonomi Jurusan Akuntansi. Universitas Gunadarma.

Mahdiyah, F. (2008). Ananlisis Karakteristik Perusahaan dan Pengungkapan Tanggung Jawab Sosial dalam Laporan Tahunan Perusahaan. Skripsi Tidak Dipublikasikan. Universitas Diponegoro, Semarang.

Mathews, M. R. & Perera, M. H. (1996). Accounting Theory and Development. Thomas Nelson, South Melbourne, Australia.

Midiastuty, P & Mas’ud, M. (2003). Analisis Hubungan Mekanisme Corporate Governance dan Indikasi Manajemen Laba. Seminar Nasional Akuntansi VI. Surabaya.

Mulyadi. (2002). Auditing: Jilid 1 Edisi Enam. Jakarta: Salemba Empat.

Munawir. (2000). Analisis Laporan Keuangan. Jogjakarta: Liberty.

Munif, A. Z. (2010). Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Indeks Pengungkapan Corporate Social Responsibility Di Indonesia (Studi Empiris Pada

Perusahaan Non Keuangan Yang Listing Di Bursa Efek Indonesia). Tesis. Universitas Diponegoro.

Nasution, M & Setiawan, D. (2007). Pengaruh Corporate Governance Terhadap Manajemen Laba di Industi Perbankan Indonesia. Simposium Nasional Akuntansi X.

Ningsaptiti, R. (2010). Analisis Pengaruh Ukuran Perusahaan Dan Mekanisme Corporate Governance Terhadap Manajemen Laba. Skripsi S1. Fakultas Ekonomi Universitas Diponegoro.

Novita & Djakman. (2008). Pengaruh Struktur Kepemilikan Terhadap Luas Pengungkapan Tanggung Jawab Sosial (CSR Disclosure) Pada Laporan Tahunan Perusahaan: Studi Empiris Pada Perusahaan Publik Yang Tercatat Di Bursa Efek Indonesia Tahun 2006. Simposium Nasional Akuntansi XI.

Nugroho, B.A. (2005). Strategi Jitu Memilih Metode Statistik Penelitian dengan SPSS. Yogyakarta: ANDI

Nuraini & Sumarno. (2007). Analisis Pengaruh Kepemilikan Institusional dan Kualitas Audit Terhadap Manajemen Laba. Jurnal MAKSI, Vol. 7, No. 1, Januari, hal:1-18.

Nuraini, E. (2010). Pengaruh Environmental Performance dan Environmental Disclosure Terhadap Economic Performance (Studi pada Perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia). Skripsi Tidak Dipublikasikan. Universitas Diponegoro.

Nurkhin, A. (2009). Corporate Governance Dan Profitabilitas; Pengaruhnya terhadap Pengungkapan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (Studi Empiris pada Perusahaan yang tercatat di Bursa Efek Indonesia. Tesis. Universitas Diponegoro, Semarang.

Nurlela, R & Islahuddin. (2008). Pengaruh Corporate Social Responsibility terhadap Nilai Perusahaan dengan Prosentase Kepemilikan Manajemen sebagai Variabel Moderating: Studi Empiris pada Perusahaan yang Terdaftar di Bursa Efek Jakarta. Simposium Nasional Akuntansi XI Pontianak 2008.

Nur, M & Priantinah, D. (2012). Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pengungkapan Corporate Social Responsibility di Indonesia (Studi Empiris pada Perusahaan berkategori High Profile yang Listing di Bursa Efek Indonesia. Jurnal Nominal, Volume 1 No 1, pp: 22-34.

O’Donovan. (2002). Environmental Disclosure in the Annual Report: Extending the Applicability and Predictive Power of Legitimacy Theory. Accounting, Auditing, and Accountability Journal, Vol.15, No.3

Organization for Economic Coperation and Development. (2004). OECD Principles of Corporate Governance. OECD Publication Service.

Prior, D, Jordi, S, Josep, A. (2008). Are socially responsible managers really ethical? Exploring the relationship between earnings management and corporate social responsibility. Corporate Governance: An International Review, Vol.16, no.3, 160-177.

Purnasiwi, J. (2011). Analisis Pengaruh Size, Profitabilitas dan Leverage Terhadap Pengungkapan CSR pada Perusahaan yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia. Skripsi S1 Program Reguler 1 yang Tidak Dipublikasikan. Universitas Diponegoro.

Rahmawati, dkk. (2006). Pengaruh Asimetri Informasi Terhadap Praktik Manajemen Laba PadaPerusahaan Perbankan Publik Yang Terdaftar di Bursa Efek Jakarta. Simposium Nasional Akuntansi IX. Padang Republik Indonesia,Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal.

Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.

Restuningdyah, Nurika. (2010). Mekanisme GCG dan Pengungkapan Tanggung Jawab Sosial terhadap Koefisien Respon Laba. Jurnal Keuangan dan Perbankan, Vol. 14, No 3 hlm. 377-390

Reverte, C. (2008). Determinants of Corporate Social Responsibility Disclosure Ratings by Spanish Listed Firms. Journal of Business Ethics (2009) 88:351–366 DOI 10.1007/s10551-008-9968-9.

Roberts, R.W. (1992). Determinants Of Corporate Social Responsibility: An Application Of Stakeholder Theory. Accounting, Organisations and Society, Vol. 17 No. 6.

Rosmasita, H. (2007). Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pengungkapan Sosial (Social Disclosure) Dalam Laporan Keuangan Tahunan Perusahaan Manufaktur Di Bursa Efek Jakarta. Skripsi Tidak Dipublikasikan. Universitas Islam Indonesia.

Saidi. (2004). Faktor-faktor yang Mempengaruhi Struktur Modal pada Perusahaan Manufaktur Go Public di BEJ 1997-2002. Jurnal Bisnis dan Ekonomi Vol. 11 no.1, hal. 44-58.

Saleh, M, Zulkifli, N, & Muhamad, R. (2010). Corporate Social Responsibility Disclosure and Its Relation on Institutional Ownership. Managerial Auditing Journal, Vol. 25, No. 6, pp. 591-613.

Santoso, S. (2001). SPSS Versi 10: Mengolah Data Statistik Secara Profesional. Jakarta: PT Elex Media Komputindo

Santoso, S. (2010). Buku Latihan SPSS Statistik Parameter. Jakarta: PT Elex Media Komputindo

Sartono, A. (2001). Manajemen Keuangan Teori dan Aplikasi, Edisi Keempat. Yogyakarta: BPFE.

Sastra, I. (2011). Faktor-faktor yang Memengaruhi Pemilihan Metode Penilaian Persediaan Sesuai dengan PSAK 14 (Revisi 2008) Pada Perusahaan Consumer Goods yang terdaftar di Bursa Eek Indonesia. Skripsi. Universitas Bina Nusantara Jakarta.

Sayekti & Wondabio. (2007). Pengaruh CSR Disclosure Terhadap Earnings Response Coefficient. Simposium Nasional Akuntansi X. Makassar.

Scott, W. R. (2003). Financial Accounting Theory. New Jersey: Prentice Hall Inc

Scott, W. R. (2009). Financial Accounting Theory. Second Edition. Canada: Pearson Prentice-Hall

Sekaran, U. (2006). Metodologi Penelitian untuk Bisnis, Edisi 4, Buku 1, Jakarta Salemba Empat.

Sembiring, E. R. (2003). Kinerja Keuangan, Political Visibility, Ketergantungan pada Hutang dan Pengungkapan Tanggung Jawab Perusahaan. Simposium Nasional Akuntansi VI,

Sembiring, E. R. (2005). Karakteristik Perusahaan dan Pengungkapan Tanggung jawab Sosial: Studi Empiris pada Perusahaan yang Tercatat di Bursa Efek Jakarta. Simposium Nasional Akuntansi 8, Solo.

Shleifer, A. dan Vishny, R.W. 1997. A Survey of Corporate Governance. Journal of Finance, Vol 52. No 2

Siregar, S. V. (2010). Corporate Social Reporting: Empirical Evidence from Indonesia Stock Exchange. International Journal of Islamic and Middle Eastern Finance and Management III. Social Performance and Disclosure. Critical Perspectives on Accounting Conference, New York

Subramanyam & Wild. 2010. Analisis Laporan Keuangan Buku 1. Jakarta: PT Salemba Empat.

Sugiyarbini. (13 November 2012). Pengertian Populasi dan Sampel dalam Penelitian. Dipetik April 30, 2014, dari BLOG’S BIMBINGAN: http://sugithewae.wordpress.com/2012/11/13/pengertian-populasi-dansampel- dalam-penelitian/

Sugiyono. (2010). Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kulaitatif dan R & D. Bandung : CV. Alfa Beta

Sulastini, S. (2007). Pengaruh Karakteristik Perusahaan Terhadap Social Disclosure Perusahaan Manufaktur Yang Telah Go Public. Skripsi. Fakultas Ekonomi, UNNES, Semarang.

Sulistyanto, S. (2008). Manajemen Laba, Teori dan Model Empiris. Jakarta: PT Grasindo.

Sun, N, Salama, A, Hussainey, K, & Habbash, M. (2010). Corporate Environmental Disclosure, Corporate Governance and Earnings Management, Managerial Auditing Journal. Vol 25:7.

Suranta & Machfoedz. (2003). Analisis Struktur Kepemilikan, Nilai Perusahaan, Investasi dan Ukuran Dewan Direksi, Simposium Nasional Akuntansi VII, Surabaya, 16-17 Oktober.

Suwardjono. (2005). Teori Akuntansi: Perekayasaan Pelaporan Keuangan. Yogyakarta: Badan Penerbit Universitas Gadjah Mada.

Taufan, M. (2012). Pengaruh Rasio Keuangan terhadap Prediksi Kebangkrutan Perusahaan Industri Makanan dan Minuman yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia tahun 2007-2010. Skripsi. Jakarta: Universitas Gunadharma.

Untung, H. B. (2008). Corporate Social Responsibility. Jakarta: Sinar Grafika.

Utama, S. (2007). Evaluasi Infrastruktur Pendukung Pelaporan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan di Indonesia. Pidato Pengukuhan Profesor Fakultas Ekonomi UI. Jakarta.

Veronica, S & Bachtiar, Y. S. (2005). Corporate Governance, Information Asymmetry, and Earning Management. Jurnal Akuntansi dan Keuangan Indonesia, Vol.2, No.1, hal. 77-106, Juli 2005.

Veronica, T. M. & Sumin, A. (2009). Pengaruh Karakteristik Perusahaan terhadap Pengungapan Tanggung Jawab Sosial pada Perusahaan Sektor Pertambangan yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia. Skripsi. Universitas Gunadharma, Jakarta.

Watts, R. L & Zimmerman, J. L. (1986). Positive Accounting Theory. New York:Prentice Hall.

Wibisono, Y. (2007). Membedah Konsep dan Aplikasi Corporate Social Responsibility. Gresik: Fascho Publishing

Widyaningdyah, A. U. (2001). Analisis Faktor-Faktor Yang Berpengaruh Terhadap Earnings Management Pada Perusahaan Go Public Di Indonesia. Jurnal Akuntansi & Keuangan Vol. 3 No.

Wilopo. (2009). Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) No 1: Penyajian Laporan Keuangan. Jakarta: Ikatan Akuntan Indonesia.

Wineberg, D. (2004). Corporate Social Responsibility – What Every In House Counsel Should Know. ACC Docket.

World Bank EXT Communications for Development Division DevComm/SDO. (2003). CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY AND MULTI STAKEHOLDER DIALOGUE: Towards Environmental Behavioral Change. Discussion Paper.

Yulita, L. (2011). The Effect Characteristics Of Company Toward Corporate Social Responsibility Disclosures In Mining Company Listed At. Jurnal Reformasi Ekonomi, Vol. 4, No. 1.

Zaleha, S. (2005). Pengaruh Karakteristik Perusahaan terhadap Pengungkapan Sosial dalam Laporan Tahunan Perusahaan Go Public di Bursa Efek Jakarta

Tahun 2003. Skripsi S1 Akuntansi tidak dipublikasikan. Fakultas Ekonomi Universitas Diponegoro.

Arikunto, S. (2002). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: PT. Rineka Cipta.

Burritt, R. L., Hahn, T., & Schaltegger, S. (2002). Towards A Comprehensive Framework For Environmental Management Accounting – Links Between Business Actors And EMA Tools. . Australian Accounting Review, 39-50.

Department of Infrastructur, P. a. (2004, May 28). Guidelines Environmental Management Plans. Retrieved from www.dipnr.nsw.gov.au

IFAC. (2005). International Guidance Document: Environmental Management Accounting. New York: The International Federation of Accountants.

Indriantoro, N., & Supomo, B. (2009). Metodologi Penelitian Bisnis: Untuk Akuntansi dan Manajemen. Yogyakarta: BPFE.

Japanese Ministry of the Environment. (2005, May 28). Environmental Accounting Guidelines. Tokyo. Retrieved from http://www.env.go.jp/en/policy/ssee/eag05.pdf

Johnson, S. (2004, June 1). Environmental Management Accounting.

Salim, A. (2006). Teori dan Paradigma Penelitian Sosial. Yogyakarta: Tiara Wacana.

Savage, D. D. (2014, May 27). Retrieved from Ministry of the Environment Goverment of Japan: http://www.env.go.jp/en/

Solihin, I. (2009). In Corporate social responsibility: from charity to sustainability. Penerbit Salemba Empat.

Sugiyono. (2009). Metoda Penelitian Bisnis. Bandung: Alfabeta.

Tomizawa, R. (2014, May 23). Retrieved from Japan Environmental Management Association for industry: http://www.jemai.or.jp/english/#1

Yin, R. K. (2009). Case Study Research: Design and Methods. London: Sage Publisher.

Andayani, (2003), Tanggung Jawab Lingkungan Dan Informasi Biaya Lingkungan Dalam Pengambilan Keputusan Manajemen, Surabaya : Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Indonesia (Stiesia)

Cahyandito, M.. 2009 . Environmental Management Accounting (EMA) (Akuntansi Manajemen Lingkungan). Bandung : Universitas padjajaran.

Cahyono. 2002. Peran Akuntan Dan Akuntansi Dalam Environmental Management System (Ems). Media Akuntansi Edisi 25 (Mei).

Gale, J.P. & Stokoe. 2001. Environmental cost accounting and business strategy, in chris madu (Ed.). Handbook of environmentally conscious manufacturing. Victoria: Kluwer Academic Publishers.

Ghozali. (2005).”Aplikasi Analisis Multivariate dengan Program SPSS”. Semarang : Badan Penerbitan Universitas Diponegoro.

Ikhsan. 2008. Akuntansi Lingkungan dan Pengungkapannya. Yogyakarta: Graha Ilmu Harahap sofyan syafari. Teori akuntansi. 2009. Jakarta. Penerbit : Raja wali pres Bastian indra.

Ikhsan. 2009. Akuntansi Manajemen Lingkungan . Yogyakarta : Graha Ilmu.

L. Singgih, Pengukuran Dampak Lingkungan Menggunakan Environmental Management Accounting (Ema), Surabaya: Jurnal Ilmiah Jurusan Teknik Industri Institut Teknologi Sepuluh Nopember

Porter, E Michael. 2008. Competitive Advantage (Keunggulan Bersaing ). Dialih bahasakan oleh Saputra Lyndon dan Sigit Suryanto. Tangerang : Karisma Publishing Group.

Sahasrakirana Widya, Evaluasi Peran Akuntansi Lingkungan Untuk Mendukung Keputusan Manajemen Lingkungan Dalam Mencapai Sustainability Perusahaan (Pt Sahabat Mewah Dan Makmur), Jakarta : Jurnal Ilmiah Mahasiswa Universitas Bina Nusantara.

Singgih.Moses L. 2006. Pengukuran dampak lingkungan menggunakan Environmental Management Accounting (EMA). Surabaya: Institut Teknologi Sepuluh Nopember.

Sugiyono, Prof. Dr. (2004). Statistik Nonparametiik Untuk Penelitian. Bandung : Penerbit CV. Alfabeta.

Sugiyono. 2012. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta.

Sundjaja, Ridwan S. Dan Barlian, Inge. 2002. Manajemen keuangan Dua, Edisi Keempat, Literata Lintas Media, Jakarta.

Tanzil. J. 2012. Environmental Management Accounting. Diakses pada tanggal 01 april 2013 dari http://www.jtanzilco.com/main/index.php/mission-and-vision/656 environmentalmanagementaccounting

 Robert, D. & Stephanus, D.S. 2014. Penerapan Dan Analisis Pengaruh Environmental Management Accounting (Ema). Proposal Skripsi. Universitas Ma Chung. Malang

Oktiviana, D. & Stephanus, D.S. 2014. Analisis Pengaruh Penerapan Environment Management Accounting Dan Strategi Terhadap Inovasi Perusahaan . Proposal Skripsi. Universitas Ma Chung. Malang

 

Nugroho, O.C. & Stephanus, D.S. 2014. Studi Empiris Pengaruh Manajemen Laba (Earnings Management), Corporate Governance, Ukuran Perusahaan (Size), Leverage, Dan Profitabilitas Terhadap Pengungkapan Tanggung Jawab Sosial Dan Lingkungan Perusahaan. Proposal Skripsi. Universitas Ma Chung. Malang  

Puspita, M. E. & Stephanus, D.S.  2014.  Pengaruh Pengungkapan Corporate Social Responsibility, Global Reporting Initiatives Dan Iso 26000 Terhadap Nilai Perusahaan Sektor Pertambangan. Proposal Skripsi. Universitas Ma Chung. Malang  

 

Endiarto, O.T. & Stephanus, D. S. 2014. Analisis Pengaruh Kinerja Lingkungan

Terhadap Nilai Perusahaan Yang Terdaftar Di Index Sri Kehati .Proposal Skripsi. Universitas Ma Chung. Malang    

Saputra, N. A. & Stephanus, D.S. 2014. Pengaruh Pengungkapan Corporate Social Resposibility Dan Global Reporting Initiatives Terhadap Nilai Perusahaan Pada Perusahaan Yang Tercatat Di Indeks Sri-Kehati 2010—2012. Skripsi. Universitas Ma Chung. Malang


 

Seri #4: International Standard Organization (ISO) 14001 tentang Manajemen Lingkungan

Iinternational Standard Organization (ISO)

International Organization for Standardization (ISO) adalah suatu asosiasi global di luar pemerintahan yang terdiri dari badan-badan standardisasi nasional yang beranggotakan 140 negara dan berdiri sejak tahun 1947.

Tujuan ISO 14000 (Kuhre, 1995) antara lain adalah.

1. Mendorong upaya dan melakukan pendekatan untuk pengelolaan lingkungan hidup dan sumberdaya alam dan kualitas pengelolaannya diseragamkan pada lingkup global.

2. Meningkatkan kemampuan organisasi untuk mampu memperbaiki kualitas dan kinerja lingkungan hidup dan sumber daya alam.

3. Memberikan kemampuan dan fasilitas pada kegiatan ekonomi dan industri, sehingga tidak mengalami rintangan dalam berusaha.

Untuk mencapai tujuan tersebut dibentuk SAGE (Startegic Advisory Group

on the Environment). Kemudian TC 207 (Komisi Teknis) pada tahun 1993

dibentuk oleh Organisasi Internasional untuk Standarisasi (ISO). Komisi ini terdiri

dari berbagai negara dan bertugas merumuskan konsep standar internasional di

bidang lingkungan. Adapun pembagian tugasnya adalah sebagai berikut.

1. Sub komisi yang menangani Environmental Management System (Sistem pengelolaan Lingkungan dan sumberdaya alam),

2. Sub komisi yang menangani Environmental Auditing (Audit Lingkungan),

3. Sub komisi yang menangani Environmental Labelling (Label Lingkungan),

4. Sub komisi yang menangani Environmental Performance Evaluating (Evaluasi Kinerja Lingkungan),

5. Sub komisi yang menangani Life Cycle Analysis (Analisis Daur Hidup),

6. Sub komisi yang menangani Environemental aspect in Product Standard (Aspek Lingkungan dalam Baku mutu Produk),

7. Sub komisi yang bertugas menyusun Term and Definitions (Istilah dan Definisi)

2.6.2 Seri ISO 14000

ISO seri 14000 terdiri dari beberapa seri yaitu.

1. ISO seri 14001--14009 tentang Environmental Manajemen Sistem (EMS) atau Sistem Manajemen Lingkungan.

Dari seluruh seri ISO 14000, ISO 14001 tentang sistem manajemen lingkungan adalah seri yang paling banyak dikenal karena sertifikasi ISO 14000 sebenarnya adalah sertifikasi untuk ISO 14001 ini. Ada 3 komponen besar dalam ISO 14001 yaitu program lingkungan tertulis;

pendidikan dan pelatihan; dan pengetahuan mengenai peraturan perundang-undangan lokal dan nasional.

2. ISO seri 14010--14019 tentang Environmental Auditing (Audit

Lingkungan)

ISO seri ini merupakan suatu alat (tools) dalam penerapan system manajemen lingkungan, jadi tidak memerlukan sertifikasi. Audit lingkungan mirip dengan medical check up yaitu evaluasi secara rutin mengenai kondisi suatu perusahaan. Audit lingkungan dapat dilakukan

oleh intern perusahaan (internal audit) maupun oleh pihak luar

(eksternal audit). Untuk audit sistem manajemen lingkungan seorang auditor harus memenuhi kriteria auditor seperti yang ditetapkan dalam ISO 14012.

3. ISO seri 14020--14029 tentang Environmental Labelling (Ekolabel).

ISO seri ini juga dimaksudkan untuk sertifikasi, tetapi yang disertifikasi adalah produknya sedangkan EMS yang disertifikasi adalah sistemya. Jadi suatu perusahaan yang sudah mendapat sertifikat ISO 14001, bila diperlukan maka dapat juga mengusulkan untuk memperoleh ekolabeling. Yang mana yang akan didahulukan untuk perolehannya tergantung dari permintaan pasar.

4. ISO seri 14030--14039 tentang Environmental Performance Evaluation (EPE) atau Evaluasi Kinerja Lingkungan.

Environmental Performance Evaluation diukur dengan mengkuantifikasi dampak kegiatan terhadap lingkungan. Hal-hal tersebut dapat diidentifikasi secara dini dengan menginventarisasi

dampak seperti emisi udara, effluen limbah cair, dan sebagainya. Penetapan baseline dari hasil inventarisasi, perusahaan kemudian mengidentifikasi indikator adanya peningkatan kinerja.

5. ISO seri 154040--14049 tentang Life Cycle Assessment (LCA) atau Analisis Daur Hidup Produk.

LCA juga merupakan suatu alat, jadi standar ini tidak dimaksudkan untuk sertifikasi. Setiap produk mempunyai siklus hidup yaitu : lahir (fabrikasi), hidup (dioperasikan) dan mati (dibuang).

6. ISO 14050 tentang Term and Definition.

Dalam dokumen ini terdapat definisi-definisi yang digunakan dalam ISO seri 14000. Standar ISO seri 14000 yang telah ditetapkan menjadi standar internasional adalah ISO 14001, 14004, 14010, 14011, 14012 dan ISO 14040. Indonesia pada saat ini telah mengadopsi Standar ISO

14001, 14002, 14010, 14011 dan 14012 menjadi Standar Nasional Indonesia (SNI).

Pengertian tentang masing-masing standar dan istilah yang di dalam ISO

14000 akan sangat membantu pemahaman tentang konsep ISO seri 14000.

Adapun beberapa pengertian dasar adalah sebagai berikut.

1. Environmental Management System.

Bagian dari keseluruhan sistem manajemen yang termasuk didalamnya struktur organisasi, aktivitas perencanaan, tanggung jawab, praktek, prosedur-prosedur, proses dan sumber daya untuk pengembangan, penerapan, pencapaian, pengkajian dan pemeliharaan kebijaksanaan lingkungan.

2. Continual Improvement.

Proses peningkatan atau perbaikan sistem pengelolaan lingkungan untuk mencapai / memperbaiki kinerja lingkungan secara keseluruhan dan sejalan dengan kebijaksanaan lingkungan dari suatu organisasi.

3. Environment.

Lingkungan sekitar operasi suatu perusahaan, termasuk udara, air, tanah, sumber daya alam, flora, fauna, manusia dan hubungannya satu dengan lainnya.

4. Environmental Aspect.

Elemen dari suatu kegiatan organisasi, produk atau jasa yang dapat berinteraksi dengan lingkungan

5. Environmental Impact.

Perubahan terhadap lingkungan, menguntungkan atau merugikan, secara keseluruhan ataupun sebagian yang dihasilkan dari kegiatan suatu organisasi, produk dan jasa.

6. EMS Audit.

Proses verifikasi yang sistimatis dan terdokumentasi yang secara obyektif menentukan dan mengevaluasi bukti audit untuk menentukan apakah suatu sistem pengelolaan lingkungan suatu organisasi telah sesuai dengan kriteria EMS audit dan mengomunikasikan hasil dari proses ini kepada klien.

7. Organisasi.

Perusahaan, korporasi, firma, usaha, atau institusi atau secara bagian ataupun kombinasi, swasta ataupun milik publik, yang memiliki fungsi dan administrasi.

8. Kriteria audit EMS.

Kebijaksanaan, hal praktis, prosedur-prosedur atau persyaratan seperti yang tercantum dalam ISO 14000 dan jika tersedia, erbagai tambahan persyaratan EMS yang dibandingkan dengan hasil pengumpulan bukti audit oleh auditor tentang sistem pengelolaan lingkungan (EMS) suatu

organisasi.

9. Environmental label/declaration.

Klaim yang mengindikasikan atribut lingkungan dari suatu produk atau jasa yang dapat berupa pernyataan, symbols, atau grafik pada produk atau label paket, literatur produk, buletin teknis, iklan, publikasi.

10. Environmental performance.

Kinerja lingkungan, hasil pengelolaan suatu manajemen terhadap aspek lingkungan (environmental aspects) daripada kegiatannya, produk dan jasa.

11. Environmental performance evaluation.

Proses untuk mengukur, menganalisis, mengkaji, melaporkan dan mengkomunikasikan kinerja lingkungan suatu organisasi dibandingkan dengan kriteria yang disetujui oleh manajemen.

12. Life cycle assessment.

Prosedur sistimatis untuk mengumpulkan dan menguji masukan dan keluaran dari bahan dan energi serta dampak lingkungan yang terkait yang langsung terikut dalam fungsi sistem produk dan jasa melalui siklus hidup dari produk dan jasa tersebut.

 

Referensi

Al Tuwajiri, dan Sulaiman A. 2003. The Relation Among Environmental Disclosure, Environmental Performance, dan Economic Performance : A Simultaneous Equation Approach. Accounting Environment Journal. USA. 5-10.

Amilia, Luciana Spica dan Dwi Wijayanto. 2007. Pengaruh Environmental Performance dan Environmental Disclosure Terhadap Economic Performance. The 1st Accounting Conference, Faculty of Economics Universitas Indonesia. Depok, (November).

Azwar, S. 1998. Metodologi Penelitian. Yogyakarta: Pustaka Belajar.

Brigham, E. F., & Weston. J. F. 1994. Dasar-Dasar Manajemen Keuangan. Jilid 2. Jakarta: Binarupa Aksara

Brigham, E. F., & Houston, J. F. 2008. Manajemen Keuangan. Jilid 3. Jakarta: Salemba Empat.

Botosan, C.A. 1997. Disclosure Level and the Cost of Equity Capital. The Accounting Review. Vol. 72 No. 3: 323-349.

Deegan, Craig dan Michaela Rankin. 1996. Do a Australian Companies Report Environmental News Objectively? An Analysis of Environmental isclosures Firms Prosecuted Successfully by the Environmental Protection Authority. Accounting Auditing and Accountability Journal: 50-68.

Freedman, M. dan Wasley, C. 1990. “The Association Between Environmental Performance and Environmental Disclosure in Annual Reports and 10- Ks”. Advances in Public Interest Accounting. Vol. 3, pp.183-193.

Gary O‟Donovan, (2002) “Environmental disclosures in the annual report: Extending the applicability and predictive power of legitimacy theory”. Accounting, Auditing & Accountability Journal, Vol. 15 Iss: 3, pp.344-371

Ghozali dan Chariri, 2007. Teori Akuntansi. Semarang: Badan Penerbit Undip.

Global Reporting Initiative (GRI). 2010. Pedoman Laporan Berkelanjutan (GRI– G3)2000-2006.Versi Bahasa Indonesia. (http://www.globalreporting.org), diakses 19 Mei 2014

Ghozali, I. 2005. Aplikasi Analisis Multivariate dengan Program SPSS. Edisi ke-3. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro.

Ghozali, Imam. 2006. Aplikasi Analisis Multivariate dengan Program SPSS, Cetakan IV. Semarang : Badan Penerbit Universitas Diponegoro.

Gray, R., Bebbington, J. dan Walters, D. 1993. Accounting for the Environment. ACCA. Hongkong.

Ja‟far dan Arifah. 2006. “Pengaruh Dorongan Manajemen Lingkungan, Manajemen Lingkungan Proaktif Dan Kinerja Lingkungan Terhadap Public Environmental Reporting”. SNA IX Padang. 23-26 Agustus.

Lindrianasari. 2006. “Hubungan antara Kinerja Lingkungan dan Kualitas pengungkapan Lingkungan dengan Kinerja Ekonomi Perusahaan di Indonesia”. JAAI Vol. 11, pp. 159-172.

Nazir, M. 2005. Metode Penelitian. Bogor: Ghalia Indonesia. Primario, Andria. 2007. “Pengaruh Pengungkapan Sosial Pada Laporan Tahunan Terhadap Harga Saham dan Volume Penjualan”. Skripsi Fakultas Konomi Universitas Jember.

Rahmawati, Ala. 2012. Pengaruh Kinerja Lingkungan Terhadap Kinerja Keuangan dengan CSR sebagai Variabel Intervening. Skripsi S1 Fakultas Ekonomi Universitas Diponegoro.

Riyadi, Eddie Sius. 2008. “Landasan Teoritis bagi Tanggung Jawab Sosial Perusahaan: dari Pemegang Saham ( Shareholder ) ke Pemangku Kepentingan ( Stakeholder )”. Dignitas Volume V, No. 11.

Sugiyono. 2007. Statistika Untuk Penelitian. Bandung: CV Alfabeta.

Sulastri. 2007. Sebuah Pengembangan Model Hipotesis Pengaruh Aset Strategis dan Lingkungan terhadap Pilihan Strategi Diversivikasi. Jurnal Manajemen & Bisnis Sriwijaya Vol. 4. No 7. Juni 2006

Sudaryanto. 2011. Pengaruh Kinerja Lingkungan Terhadap Kinerja Keuangan dengan CSR sebagai variable Intervening. Skripsi S1 Fakultas Ekonomi Universitas Diponegoro.

Suratno, Ignatius Bondan, dkk. 2006. “Pengaruh Environmental Performance terhadap Environmental Disclosure dan Economic Performance”. Simposium Nasional Akuntansi 9. Padang

Smith dan Lauren K. Wright, 2007, Manajemen Pemasaran Jasa, Alih Bahasa Agus Widyantoro, Cetakan Kedua, Jakarta; PT. INDEKS.

Sartono, A. 2008. Manajemen Keuagan : Teori dan Aplikasi. Yogyakarta: BPFE Yogyakarta.

Tilt, CA 1994, 'The influence of external pressure groups on corporate social disclosure: Some empirical evidence', Accounting, Auditing & Accountability Journal, vol. 7

Wilmshurst T., & Frost G., 2000, 'Corporate Environmental Performance. A Test of Legitimacy Theory.', Accounting, Auditing and Accountability Journal, Vol. 13, No. 1

Robert, D. & Stephanus, D.S. 2014. Penerapan Dan Analisis Pengaruh Environmental Management Accounting (Ema). Proposal Skripsi. Universitas Ma Chung. Malang

Oktiviana, D. & Stephanus, D.S. 2014. Analisis Pengaruh Penerapan Environment Management Accounting Dan Strategi Terhadap Inovasi Perusahaan . Proposal Skripsi. Universitas Ma Chung. Malang

Nugroho, O.C. & Stephanus, D.S. 2014. Studi Empiris Pengaruh Manajemen Laba (Earnings Management), Corporate Governance, Ukuran Perusahaan (Size), Leverage, Dan Profitabilitas Terhadap Pengungkapan Tanggung Jawab Sosial Dan Lingkungan Perusahaan. Proposal Skripsi. Universitas Ma Chung. Malang  

Puspita, M. E. & Stephanus, D.S.  2014.  Pengaruh Pengungkapan Corporate Social Responsibility, Global Reporting Initiatives Dan Iso 26000 Terhadap Nilai Perusahaan Sektor Pertambangan. Proposal Skripsi. Universitas Ma Chung. Malang  

Endiarto, O.T. & Stephanus, D. S. 2014. Analisis Pengaruh Kinerja Lingkungan

Terhadap Nilai Perusahaan Yang Terdaftar Di Index Sri Kehati .Proposal Skripsi. Universitas Ma Chung. Malang    


 

Seri #5:  International Standard Organization (ISO) 26000 tentang Corporate Responsibility

International Organization for Standardization (ISO) adalah suatu asosiasi global di luar pemerintahan yang terdiri dari badan-badan standardisasi nasional yang beranggotakan 140 negara dan berdiri sejak tahun 1947. Pada 1 November 2010, ISO mengeluarkan ISO 26000 yang merupakan suatu standar mengenai panduan perilaku bertanggung jawab sosial bagi organisasi guna berkontribusi terhadap pembangunan berkelanjutan (www.iso.org, 2013).

Munculnya ISO 26000 ini diharapkan dapat memberikan tambahan nilai terhadap aktivitas tanggung jawab sosial yang berkembang saat ini melalui pengembangan suatu konsensus terhadap pengertian tanggung jawab sosial dan isunya, menyediakan pedoman tentang penerjemahan prinsip-prinsip menjadi kegiatan yang efektif dan memilah praktik-praktik terbaik yang sudah berkembang dan menyebarluaskannya untuk kebaikan komunitas atau masyarakat internasional. ISO 26000 menerjemahkan tanggung jawab sosial sebagai tanggung jawab suatu organisasi atas dampak dari keputusan dan aktivitasnya terhadap masyarakat dan lingkungan melalui perilaku yang transparan dan etis, serta konsisten dengan pembangunan berkelanjutan dan kesejahteraan masyarakat, memperhatikan kepentingan dari para stakeholder, sesuai hukum yang berlaku dan konsisten dengan norma-norma internasional serta terintegrasi di seluruh aktivitas organisasi (www.iso.org, 2013).

Pedoman ISO 26000 terdiri dari 6 bab serta memuat 7 prinsip, 2 praktik dasar, 7 subjek inti, 36 isu, dan 6 praktik integrasi tanggung jawab sosial organisasi. Berbagai isu yang tercakup dalam tanggung jawab sosial menurut ISO 26000 digambarkan sebagai berikut. Tanggung Jawab Sosial  & Lingkungan

1.    Praktik operasi yang adil

2.    Isu-isu konsumen

3.    Pembangunan sosial

4.    Tata kelola organisasi

5.    Hak asasi manusia

6.    Praktik Ketenagakerjaan

 

Gambar 2.

Subjek Fundamental dari Tanggung Jawab Sosial menurut ISO 26000

Sumber: www.iso.org (2013)

1. Tata kelola organisasi (organizational governance): sistem pengambilan dan penerapan keputusan perusahaan dalam rangka pencapaian tujuannya.

2. Hak asasi manusia (human rights): hak dasar yang berhak dimiliki semua orang sebagai manusia, yang antara lain mencakup hak sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya.

3. Praktik ketenagakerjaan (labour practices): segala kebijakan dan praktik yang terkait dengan pekerjaan yang dilakukan di dalam atau atas nama perusahaan.

4. Lingkungan (the environment): dampak keputusan dan kegiatan perusahaan terhadap lingkungan.

5. Prosedur operasi yang wajar (fair operating procedures): perilaku etis organisasi saat berhubungan dengan organisasi dan individu lain.

6. Isu konsumen (consumer issues): tanggung jawab perusahaan penyedia barang/jasa terhadap konsumen dan pelanggannya.

7. Pelibatan dan pengembangan masyarakat (community involvement and development): hubungan organisasi dengan masyarakat di sekitar wilayah operasinya.

Berikut merupakan item-item penilaian pengungkapan lingkungan berdasarkan ISO 26000.

Tabel 4.

Indikator Pengungkapan Tanggung Jawab Sosial berdasarkan ISO 26000 No

Sifat

Indikator

 

Core

Tata kelola organisasi

 

Core

Hak asasi manusia

 

1

Issue

Due diligence

 

2

Issue

Situasi risiko HAM

 

3

Issue

Menghindari keterlibatan

 

4

Issue

Menyelesaikan keluhan

 

5

Issue

Diskriminasi dan kelompok yang rentan

 

6

Issue

Hak-hak sipil dan politik

 

7

Issue

Hak-hak ekonomi , sosial dan budaya

 

8

Issue

Prinsip-prinsip dan hak-hak di tempat kerja

 

Core

Praktek Buruh

 

9

Issue

Hubungan kerja dan pekerjaan

 

10

Issue

Kondisi kerja dan perlindungan sosial

 

11

Issue

Dialog sosial

 

12

Issue

Kesehatan dan keselamatan kerja

 

13

Issue

Pengembangan dan pelatihan manusia di tempat kerja

 

Core

Lingkungan

 

14

Issue

Pencegahan pencemaran

 

15

Issue

Pemanfaatan sumberdaya secara berkelanjutan

 

16

Issue

Mitigasi dan adaptasi perubahan iklim

 

17

Issue

Perlindungan lingkungan , keanekaragaman hayati dan restorasi habitat alam

 

Core

Praktek operasi yang adil

 

18

Issue

Anti- korupsi

 

19

Issue

Keterlibatan politik yang bertanggung jawab

 

20

Issue

Persaingan sehat

 

21

Issue

Mempromosikan tanggung jawab sosial dalam rantai nilai

 

22

Issue

Menghormati hak milik

 

Core

Masalah konsumen

23

Issue

Pemasaran yang adil , faktual dan informasi yang tidak bias dan praktek kontrak yang adil

24

Issue

Melindungi kesehatan dan keselamatan konsumen

25

Issue

Konsumsi Berkelanjutan

26

Issue

Layanan konsumen , dukungan , dan keluhan dan penyelesaian sengketa

27

Issue

Perlindungan data dan privasi konsumen

28

Issue

Akses ke layanan penting

29

Issue

Pendidikan dan kesadaran

Core

Keterlibatan dan pengembangan masyarakat

30

Issue

Keterlibatan masyarakat

31

Issue

Pendidikan dan kebudayaan

32

Issue

Penciptaan lapangan kerja dan pengembangan keterampilan

33

Issue

Perkembangan teknologi dan akses

34

Issue

Kekayaan dan penciptaan pendapatan

35

Issue

Kesehatan

36

Issue

Investasi sosial

 

Berdasarkan konsep ISO 26000, penerapan sosial responsibility hendaknya terintegrasi di seluruh aktivitas perusahaan dengan mencakup keseluruhan isu pokok yang terdapat pada ISO 26000. Dengan demikian, jika suatu perusahaan hanya memperhatikan isu tertentu saja, misalnya seperti aspek lingkungan, maka dapat dikatakan bahwa perusahaan tersebut sesungguhnya belum melaksanakan tanggung jawab sosial.

Referensi

Adams, C.A. & McNicholas, P. 2007. Making a Difference: Sustainability Reporting, Accountability and Organizational Change. Accounting, Auditing & Accountability Journal Vol. 20, Iss: 3.

Aupperle, K.E., Carroll, A.B & Hatfield, J.D. 1985. An Empirical Examination of the Relationship between Corporate Social Responsibility and Profitability. The Academy of Management Journal Vol. 28, No. 2.

Branco, M.C. & Rodrigues L.L. 2008. Faktors Influencing Social Responsibility Disclosure by Portuguese Companies. Journal of Business Ethies, 83.

Budimanta, A., Prasetijo, A. & Rudito, B. 2008. Corporate Social Responsibility, Alternatif Bagi Pembangunan Indonesia. Jakarta: Indonesia Center for Sustainibility Development.

Carroll, A.B. 1991. The Pyramid of Corporate Social Responsibility: Toward the Moral Management of Organizational Stakeholders. Business Horizons.

Chung, K.H & Pruitt, S.W. 1994. A Simple Approximation of Tobin’s Q, Financial Management, Vol. 23 No. 3 Autumn.

Darwin, A. 2004. Penerapan Sustainability Reporting di Indonesia. Konvensi Nasional Akuntansi V, Program Profesi Lanjutan. Yogyakarta.

Deegan, C. 2004. Financial Accounting Theory. Sydney: McGraw-Hill Book Company.

Deegan, C., Rankin, M. & Tobin, J. 2002. An Examination of Corporate Social and Environmental Disclosures of BHP from 1983-1997: A Test of Legitimacy Theory. Accounting, Auditing & Accountability Journal Vol. 15, No.3.

Elkington, J. 1997.Cannibals with Forks: The Triple Bottom Line of 21st Century Business. Oxford: Capstone Publishing.

Epstein, M.J. & Freedman,M. 1994. Social Disclosure and the Individual Investor. Accounting, Auditing & Accountability Journal Vol. 7, Iss: 4.

Fiakas, D. 2005. Tobin’s Q: Valuing Small Capitalization Companies. Crystal EQuity Research.

Freedman, M. 1970. The Social Responsibility of Business Is to Increase its Profits. New York Times.

Freeman, R. E. 1984. Strategic Management: A Stakeholder Approach. Boston: Pitman Publishing.

Ghozali, I. & Chariri, A. 2007. Teori Akuntansi. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro.

Ghozali, I. 2006. Analisis Multivariate dengan Program SPSS. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro.

Griffin, R.W. & Ebert, R.J. 2007. Bisnis Edisi Kedelapan Jilid 1. Jakarta: Erlangga.

Gujarati, D. 2003. Ekonometrika Dasar. Jakarta: Penerbit Erlangga.

Hackston, D. & Milne, M.J. 1996. Some Determinants of Social and Environmental Disclosures in New Zealand Companies. Accounting, Auditing, & Accountability Journal Vol. 9, No. 1.

Hadi. N. 2011 . Corporate Social Responsibility. Yogyakarta : Graha Ilmu.

Hadiwidjaja, R.D. 2007. Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Dividend Payout Ratio pada Perusahaan Manufaktur di Indonesia. Tesis. Universitas Sumatera Utara.

Ikatan Akuntansi Indonesia (IAI). 2004. Standar Akuntansi Keuangan. Jakarta: Salemba Empat.

Kasali, R. 2005. Manajemen Public Relations. Jakarta: Grafiti.

Kotler, P & Lee, N. 2005. Corporate Social Responsibility: Doing the Most Good for Your Company and Your Cause. New Jersey: John Wiley & Sons, Inc.

Kusumadilaga, R. 2010. Pengaruh Corporate Social Responsibility Terhadap Nilai Perusahaan Dengan Profitabilitas Sebagai Variabel Moderating (Studi Empiris pada Perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia). Skripsi. Fakultas Ekonomi Universitas Diponegoro, Semarang.

Lindenberg, E.B & Ross, S.A. 1981. Tobin’s Q Ratio and Industrial Organization. Journal of Business, 54 (1).

Munawir, S. 2004. Analisis Laporan Keuangan Edisi Ke-4. Yogyakarta: Liberty.

Murtanto. 2006. Menciptakan Nilai Tambah Melalui Corporate Social Responsibility. Media Akuntansi, Edisi 53.

Nugroho, Y. 2007. Dilema Tanggung Jawab Korporasi. Kumpulan Tulisan, www.unisosdem.org. Diakses pada tanggal 27 Agustus 2013. 77

Nurlela dan Islahudin. 2008. Pengaruh Corporate Social Responsibility terhadap Nilai Perusahaan dengan Persentase Kepemilikan Manajemen sebagai Variabel Moderating. Simposium Nasional Akuntansi XI.

O’Donovan, G. 2002. Environmental Disclosure in The Annual Report: Extending The Applicability and Predictive Power of Legitimacy Theory. Accounting, Auditing and Accountability Journal, Vol. 15 No.3.

Patten, D.M. 1990. The Market Reaction to Social Responsibility Disclosures: The Case of the Sullivan Principles Signings, Accounting, Organizations and Society Vol. 15, Iss. 6.

Rahayu, S. 2010. Pengaruh Kinerja Keuangan Terhadap Nilai Perusahaan Dengan Pengungkapan Corporate Social Responsibility dan Good Corporate Governance sebagai Variabel Pemoderasi (Studi Empiris pada Perusahaan Manufaktur di Bursa Efek Jakarta). Skripsi. Fakultas Ekonomi Universitas Diponegoro, Semarang.

Reverte, C. 2009. Determinants of Corporate Social Responsibility Disclosure Ratings by Spanish Listed Firms. Journal of Business Ethics, 88.

Rustiarini, N. W. 2010. Pengaruh Corporate Governace pada Hubungan Corporate Social Responsibility dan Nilai Perusahaan. Simposium Nasional Akuntansi XIII, Purwokerto.

Santoso, S. 2009. Panduan Lengkap Menguasai Statistik dengan SPSS 17. Jakarta: PT Elex Media Komputindo Gramedia.

Santoso, S. 2010. Statistik Multivariat. Jakarta : PT Gramedia.

Saputra, N. A.,2014. Pengaruh Pengungkapan Corporate Social Responsibility, Global Reporting Initiatives terhadap Nilai Perusahaan pada Perusahaan yang Tercatat di Indeks Sri-Kehati 2010-2012. Skripsi. Fakultas Ekonomi Universitas Ma Chung, Malang.

Sekaran, U. 2006. Metodologi Penelitian untuk Bisnis Jilid 1. Edisi 4. Jakarta : Salemba Empat.

Sugiyono, 2009. Metoda Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif. Bandung: CV. Alfabeta.

Sutedi, A. 2011. Hukum Pertambangan. Jakarta: Sinar Grafika

Tobin’s, J. 1969. A General EQuilibrium Approach to Monetary Theory, Journal of Money, Credit and Banking.

Undang-Undang Republik Indonesia No. 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas. 78

 

Undang-Undang Republik Indonesia No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal.

Undang-Undang Republik Indonesia No.32 Tahun 2009 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Wibisono, Y. 2007. Membedah Konsep & Aplikasi CSR. Gresik: Fascho Publishing.

Widarjono, A. 2007. Ekonometrika: Teori dan Aplikasi untuk Ekonomi dan Bisnis. Edisi Kedua. Yogyakarta: Ekonisia Fakultas Ekonomi Universitas Islam Indonesia.

www.globalreporting.org . Diakses tanggal 4 Maret 2014.

www.iso.org. Diakses tanggal 3 Maret 2014.

www.unglobalcompact.org. Diakses tanggal 10 Maret 2014.

www.wbcsd.org. Diakses tanggal 3 Maret 2014.

Robert, D. & Stephanus, D.S. 2014. Penerapan Dan Analisis Pengaruh Environmental Management Accounting (Ema). Proposal Skripsi. Universitas Ma Chung. Malang

Oktiviana, D. & Stephanus, D.S. 2014. Analisis Pengaruh Penerapan Environment Management Accounting Dan Strategi Terhadap Inovasi Perusahaan . Proposal Skripsi. Universitas Ma Chung. Malang

Nugroho, O.C. & Stephanus, D.S. 2014. Studi Empiris Pengaruh Manajemen Laba (Earnings Management), Corporate Governance, Ukuran Perusahaan (Size), Leverage, Dan Profitabilitas Terhadap Pengungkapan Tanggung Jawab Sosial Dan Lingkungan Perusahaan. Proposal Skripsi. Universitas Ma Chung. Malang  

Puspita, M. E. & Stephanus, D.S.  2014.  Pengaruh Pengungkapan Corporate Social Responsibility, Global Reporting Initiatives Dan Iso 26000 Terhadap Nilai Perusahaan Sektor Pertambangan. Proposal Skripsi. Universitas Ma Chung. Malang  

Endiarto, O.T. & Stephanus, D. S. 2014. Analisis Pengaruh Kinerja Lingkungan

Terhadap Nilai Perusahaan Yang Terdaftar Di Index Sri Kehati .Proposal Skripsi. Universitas Ma Chung. Malang    

Seri #6: Global Reporting Initiative (GRI)

Global Reporting Initiatives (GRI)

Global Reporting Initiatives (GRI) disusun pertama kali pada tahun 1997 oleh Coalition on Environment Responsible Economies (CERES) yang bekerjasama dengan Tellus Institutes (www.globalreporting.org). Global Reporting Initiatives (GRI) menyediakan sarana internal untuk mengevaluasi konsistensi kebijakan sustainability perusahaan dan strategi yang digunakan, serta kegiatan aktual lainnya. Pada tahun 2000, Global Reporting Initiatives (GRI) mengeluarkan The Sustainability Reporting Guidelines yang telah diadopsi oleh kurang lebih seratus perusahaan di seluruh dunia (Nuraini, 2010). Purnasiwi (2011) menyatakan bahwa standar pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan atau Corporate Sosial Responsibility (CSR) yang berkembang di Indonesia menggunakan standar yang dikembangkan oleh Global Reporting Initiatives (GRI). Dengan demikian, perusahaan-perusahaan di Indonesia dalam melakukan pengungkapan tanggung jawab lingkungan dapat menggunakan standar dari Global Reporting Initiatives. Standar tersebut dapat menjadi tolok ukur dan acuan pada penerapan tanggung jawab lingkungan.

Global Reporting Initiatives merupakan suatu organisasi nirlaba yang memelopori kinerja ekonomi, lingkungan dan sosial berkelanjutan. Tujuan Global Reporting Initiatives (GRI) yaitu membantu para investor, pemerintah, perusahaan dan masyarakat umum untuk memahami lebih jelas mengenai proses peningkatan dalam pencapaian keberlanjutan (sustainability). Global Reporting Initiatives menyediakan rerangka pelaporan keberlanjutan untuk semua perusahaan dengan indikator pengungkapan seperti ekonomi (9 item), lingkungan (30 item), tenaga kerja (14 item), hak asasi manusia (11 item), masyarakat (8 item) dan produk (9 24 item). Rerangka pelaporan yang dikembangkan oleh GRI bersifat umum dan telah disetujui oleh berbagai pemangku kepentingan di seluruh dunia, serta dapat diaplikasikan secara umum dalam melaporkan kinerja keberlanjutan dari sebuah organisasi (Sudana & Arlindania, 2011).

Global Reporting Initiatives merupakan organisasi nirlaba yang dibentuk pada tahun 1997 oleh Coalition for Environmentally Responsible Economies (CERES) dan Tellus Institute dengan dukungan dari United Nations Environment Programme (UNEP) (www.globalreporting.org, 2013). Pada tahun 2006, GRI menerbitkan pedoman GRI report dan versi terbaru pedoman ini diterbitkan pada tahun 2013 yaitu GRI G4.

Global Reporting Initiative adalah sebuah kerangka pelaporan untuk membuat sustainability reports yang terdiri atas prinsip-prinsip pelaporan, panduan pelaporan dan standar dalam pengungkapan termasuk didalamnya indikator kinerja (www.globalreporting.org, 2013). Dengan diterbitkannya pedoman GRI diharapkan dapat membantu investor, pemerintah, perusahaan dan masyarakat umum untuk memahami lebih jelas mengenai proses peningkatan dalam pencapaian keberlanjutan (sustainability).

Dalam pedoman Global Reporting Initiative terdapat tiga jenis pengungkapan yaitu strategi dan profil, pendekatan manajemen serta indikator kinerja. Pengungkapan strategi dan profil merupakan pengungkapan yang menentukan konteks keseluruhan dalam memahami kinerja organisasi, seperti strategi, profil dan tata kelola. Pengungkapan pendekatan manajemen mencakup bagaimana sebuah organisasi mengarahkan seperangkat topik dalam menyediakan konteks untuk memahami kinerja pada wilayah tertentu. Sedangkan pengungkapan indikator kinerja berkaitan dengan hasil perbandingan informasi mengenai kinerja organisasi dalam hal ekonomi, lingkungan, dan sosial.

Dalam standar pengungkapan Global Reporting Initiative Guideliness G3.1 terdapat 6 indikator dengan 79 item pengungkapan seperti berikut ini.

1. Indikator kinerja ekonomi (9 item)

 

Indikator kinerja ekonomi berkaitan dengan dampak organisasi terhadap kondisi perekonomian para pemegang kepentingan ditingkat sistem ekonomi lokal, nasional, dan global. Indikator ini menunjukkan aliran dana di antara para pemegang kepentingan dan dampak ekonomi utama organisasi terhadap masyarakat.

2. Indikator kinerja lingkungan (30 item)

Indikator kinerja lingkungan digunakan untuk melihat dampak organisasi terhadap sistem alami hidup dan tidak hidup, termasuk ekosistem, tanah, air dan udara. Adapun indikator lingkungan meliputi kinerja yang berhubungan dengan input (misalnya material, energi, dan air) dan output (misalnya emisi, air limbah, dan limbah) serta yang berhubungan biodiversity (keanekaragaman hayati), kepatuhan lingkungan, dan informasi relevan lainnya seperti pengeluaran lingkungan (environmental expenditure) dan dampaknya terhadap produk dan jasa.

3. Indikator kinerja tenaga kerja (14 item)

Aspek tenaga kerja digunakan untuk melihat dari sisi ketenagakerjaannya berdasarkan aspek standar internasional yang diakui, termasuk United Nations Universal Declaration of Human Rights and its Protocols, United Nations Convention: International Covenant on Civil and Political Rights, United Nations Convention: International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights, ILO Declaration on Fundamental Principles and Rights at Work of 1998 (in particular the eight core convention of the ILO) dan The Vienna Declaration and Programme of Action.

4. Indikator kinerja hak asasi manusia (9 item)

Aspek hak asasi manusia digunakan untuk melihat sejauh mana hak asasi manusia diperhitungkan dalam investasi dan praktek pemilihan supplier/kontraktor. Selain itu, indikator dalam aspek ini juga meliputi pelatihan mengenai hak asasi manusia bagi karyawan dan aparat keamanan, sebagaimana juga bagi nondiskriminasi, kebebasan berserikat, tenaga kerja anak, hak adat, serta kerja paksa, dan kerja wajib.

5. Indikator kinerja masyarakat (8 item)

Indikator kinerja masyarakat digunakan untuk melihat dampak dari organisasi terhadap masyarakat setempat, dan menjelaskan risiko dari interaksi dengan institusi sosial lainnya.

6. Indikator kinerja produk (9 item)  Tanggung Jawab Sosial

1.    Lingkungan

2.    Ekonomi

3.    Produk

4.    Tenaga Kerja

5.    Hak asasi manusia

6.    Masyarakat

Indikator kinerja tanggung jawab produk membahas aspek produk dari organisasi pelapor serta jasa yang diberikan yang memengaruhi pelanggan, terutama, kesehatan dan keselamatan, informasi dan pelabelan, pemasaran, dan privasi. Aspek tersebut juga melingkupi penjelasan mengenai prosedur internal dan usaha yang dilaksanakan bila tidak memenuhi kepatuhan.

Gambar 1.

Subjek Fundamental dari Tanggung Jawab Sosial menurut GRI

Sumber: www.globalreporting.org (2013)

Berikut merupakan item-item penilaian pengungkapan lingkungan berdasarkan Global Reporting Initiative Guideliness G3.1.

Tabel 2. Indikator Pengungkapan Tanggung Jawab Sosial berdasarkan GRI G3.1

Indikator Kinerja Ekonomi

Aspek: Kinerja Ekonomi

1.    EC1

Core: Perolehan dan distribusi nilai ekonomi langsung, meliputi pendapatan, biaya operasi, imbal jasa karyawan, donasi, dan laba ditahan, dan investasi komunitas lainnya dan pembayaran kepada penyandang dana serta pemerintah

1.    Tanggung Jawab Sosial

2.    Lingkungan

3.    Ekonomi

4.    Produk

5.    Tenaga Kerja

6.    Hak asasi manusia

7.    Masyarakat

2. EC2

Core: Implikasi finansial dan risiko lainnya akibat perubahan iklim serta peluangnya bagi aktivitas organisasi

3. EC3

Core: Jaminan kewajiban organisasi terhadap program imbalan pasti

4. EC4

Core: Bantuan finansial yang signifikan dari pemerintah

Aspek: Kehadiran Pasar

5. EC5

Add

Rentang rasio standar upah terendah dibandingkan dengan upah minimum setempat pada lokasi operasi yang signifikan

EC6

Core: Kebijakan, praktek dan proporsi pengeluaran untuk pemasok lokal pada lokasi operasi yang signikan

7. EC7

Core: Prosedur penerimaan pegawai lokal dan proporsi manajemen senior lokal yang dipekerjakan pada lokasi operasi yang signifikan

Aspek: Dampak Ekonomi Tidak Langsung

8.    EC8

Core: Pembangunan dan dampak dari investasi infrastruktur serta jasa yang diberikan untuk kepentingan publik secara komersial, natura atau pro bono

9.    EC9

Add: Pemahaman dan penjelasan dampak ekonomi tidak langsung yang signifikan, termasuk seberapa luas dampaknya

INDIKATOR KINERJA LINGKUNGAN

Aspek: Material

10.  N1

Core: Penggunaan bahan; diperinci berdasarkan berat atau volume

11.  EN2

Core: Persentase penggunaan bahan daur ulang

Aspek: Energi

12.  EN3

Core: Penggunaan energi langsung dari sumber daya energi primer

13.  EN4

Core: Pemakaian energi tidak langsung berdasarkan sumber primer

14.  EN5

Add: Penghematan energi melalui konservasi dan peningkatan efisiensi

15.  EN6

Add: Inisiatif untuk mendapatkan produk dan jasa berbasis energi efisien atau energi yang dapat diperbarui, serta pengurangan persyaratan kebutuhan energi sebagai akibat dari inisiatif tersebut.

16.  EN7

Add: Inisiatif untuk mengurangi konsumsi energi tidak langsung dan pengurangan yang dicapai

Aspek: Air

17.  EN8

Core: Total pengambilan air per sumber

18.  EN9

Add: Sumber air yang terpengaruh secara signifikan akibat pengambilan air

19.  EN10

Add: Persentase penggunaan dan total volum air yang digunakan kembali dan didaur ulang

Aspek: Biodiversitas (Keanekaragaman Hayati)

20.  EN11

Core: Lokasi dan ukuran tanah yang dimiliki, disewa, dikelola oleh organisasi pelapor yang berlokasi di dalam atau yang berdekatan dengan daerah yang dilindungi atau daerah yang memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi di luar daerah yang diproteksi

21.  EN12

Core: Uraian atas berbagai dampak signifikan yang diakibatkan oleh aktivitas, produk, dan jasa organisasi pelapor terhadap keanekaragaman hayati daerah yang diproteksi (dilindungi) dan daerah yang memiliki keanekaragaman hayati bernilai tinggi di luar daerah yang diproteksi (dilindungi)

22.  EN13

Add: Perlindungan dan Pemulihan Habitat

23.  EN14

Add: Strategi, tindakan, dan rencana mendatang untuk mengelola dampak terhadap keanekaragaman hayati

24.  EN15

Add: Jumlah spesies berdasarkan tingkat risiko kepunahan yang masuk dalam Daftar Merah IUCN (IUCN Red List Species) dan yang masuk dalam daftar konservasi nasional dengan habitat di daerah-daerah yang terkena dampak operasi.

Aspek: Emisi, Efluen dan Limbah

25.  EN16

Core: Jumlah emisi gas rumah kaca yang sifatnya langsung maupun tidak langsung dirinci berdasarkan berat

26.  EN17

Core: Emisi gas rumah kaca tidak langsung lainnya diperinci berdasarkan berat

27.  EN18

Add: Inisiatif untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dan pencapaiannya

28.  EN19

Core: Emisi bahan kimia yang merusak lapisan ozon (ozone-depleting substances/ODS) diperinci berdasarkan berat

29.  EN20

Core: NOx, SOx dan emisi udara signifikan lainnya yang diperinci berdasarkan jenis dan berat

30.  EN21

Core: Jumlah buangan air menurut kualitas dan tujuan

31.  EN22

Core: Jumlah berat limbah menurut jenis dan metoda pembuangan

32.  EN23

Core: Jumlah dan volume tumpahan yang signifikan

33.  EN24

Add: Berat limbah yang diangkut, diimpor, diekspor, atau diolah yang dianggap berbahaya menurut Lampiran Konvensi Basel I, II, III dan VIII, dan persentase limbah yang diangkut secara internasional.

34.  EN25

Add: Identitas, ukuran, status proteksi dan nilai keanekaragaman hayati badan air serta habitat terkait yang secara signifikan dipengaruhi oleh pembuangan dan limpasan air organisasi pelapor.

Aspek: Produk dan Jasa

35.  EN26

Core: Inisiatif untuk mengurangi dampak lingkungan produk dan jasa dan sejauh mana dampak pengurangan tersebut.

36.  EN27

Core: Persentase produk terjual dan bahan kemasannya yang ditarik menurut kategori.

Aspek: Kepatuhan

37.  EN28

Core: Nilai Moneter Denda yang signifikan dan jumlah sanksi nonmoneter atas pelanggaran terhadap hukum dan regulasi lingkungan.

Aspek: Pengangkutan/Transportasi

38.  EN29

Add: Dampak lingkungan yang signifikan akibat pemindahan produk dan barang-barang lain serta material yang digunakan untuk operasi perusahaan, dan tenaga kerja yang memindahkan.

Aspek: Menyeluruh

39.  EN30

Add: Jumlah pengeluaran untuk proteksi dan investasi lingkungan menurut jenis.

INDIKATOR KINERJA PRAKTEK TENAGA KERJA DAN PEKERJAAN YANG LAYAK

Aspek: Pekerjaan

40.  LA1

Core: Jumlah angkatan kerja menurut jenis pekerjaan, kontrak pekerjaan, dan wilayah.

41.  LA2

Core: Jumlah dan tingkat perputaran karyawan menurut kelompok usia, jenis kelamin, dan wilayah.

42.  LA3

Add: Manfaat yang disediakan bagi karyawan tetap (purna waktu) yang tidak disediakan bagi karyawan tidak tetap (paruh waktu) menurut kegiatan pokoknya.

(Dilanjutkan…)

Aspek: Tenaga kerja / Hubungan Manajemen

43.  LA4

Core: Persentase karyawan yang dilindungi perjanjian tawar-menawar kolektif tersebut.

44.  LA5

Core: Masa pemberitahuan minimal tentang perubahan kegiatan penting, termasuk apakah hal itu dijelaskan dalam perjanjian kolektif tersebut.

Aspek: Kesehatan dan Keselamatan Jabatan

45.  LA6

Add: Persentase jumlah angkatan kerja yang resmi diwakili dalam panitia Kesehatan dan Keselamatan antara manajemen dan pekerja yang membantu memantau dan memberi nasihat untuk program keselamatan dan kesehatan jabatan.

46.  LA7

Core: Tingkat kecelakaan fisik, penyakit karena jabatan, hari-hari yang hilang, dan ketidakhadiran, dan jumlah kematian karena pekerjaan menurut wilayah.

47.  LA8

Core: Program pendidikan, pelatihan, penyuluhan/bimbingan, pencegahan, pengendalian risiko setempat untuk membantu para karyawan, anggota keluarga dan anggota masyarakat, mengenai penyakit berat/berbahaya.

Aspek: Pelatihan dan Pendidikan

48.  LA9

Add: Masalah kesehatan dan keselamatan yang tercakup dalam perjanjian resmi dengan serikat karyawan.

49.  LA10

Core: Rata-rata jam pelatihan tiap tahun tiap karyawan menurut kategori/kelompok karyawan.

50.  LA11

Add: Program untuk pengaturan keterampilan dan pembelajaran sepanjang hayat yang menunjang kelangsungan pekerjaan karyawan dan membantu mereka dalam mengatur akhir karier.

51.  LA12

Add: Persentase karyawan yang menerima peninjauan kinerja dan pengembangan karier secara teratur.

Aspek: Keberagaman dan Kesempatan Setara

52.  LA13

Core: Komposisi badan pengelola/penguasa dan perincian karyawan tiap kategori/kelompok menurut jenis kelamin, kelompok usia, keanggotaan kelompok minoritas, dan keanekaragaman indikator lain.

53.  LA14

Core: Perbandingan/rasio gaji dasar pria terhadap wanita menurut kelompok/kategori karyawan.

(Hak Asasi Manusia)

Aspek: Praktek Investasi dan Pengadaan

54.  HR1

Core: Persentase dan jumlah perjanjian investasi signifikan yang memuat klausul HAM atau telah menjalani proses skrining/ filtrasi terkait dengan aspek hak asasi manusia.

55.  HR2

Core: Persentase pemasok dan kontraktor signifikan yang telah menjalani proses skrining/ filtrasi atas aspek HAM

56.  HR3

Add. Jumlah waktu pelatihan bagi karyawan dalam hal mengenai kebijakan dan serta prosedur terkait dengan aspek HAM yang relevan dengan kegiatan organisasi, termasuk persentase karyawan yang telah menjalani pelatihan

Aspek: Nondiskriminasi

57.  HR4

Core: Jumlah kasus diskriminasi yang terjadi dan tindakan yang diambil/dilakukan.

Aspek: Kebebasan Berserikat dan Berunding Bersama Berkumpul

58.  HR5

Core: Segala kegiatan berserikat dan berkumpul yang diteridentifikasi dapat menimbulkan risiko yang signifikan serta tindakan yang diambil untuk mendukung hak-hak tersebut.

Aspek: Pekerja Anak

59.  HR6

Core: Kegiatan yang identifikasi mengandung risiko yang signifikan dapat menimbulkan terjadinya kasus pekerja anak, dan langkah-langkah yang diambil untuk mendukung upaya penghapusan pekerja anak.

Aspek: Kerja Paksa dan Kerja Wajib

60.  HR7

Core: Kegiatan yang teridentifikasi mengandung risiko yang signifikan dapat menimbulkan kasus kerja paksa atau kerja wajib, dan langkah-langkah yang telah diambil untuk mendukung upaya penghapusan kerja paksa atau kerja wajib

Aspek: Praktek/Tindakan Pengamanan

61.  HR8

Add: Persentase personel penjaga keamanan yang terlatih dalam hal kebijakan dan prosedur organisasi terkait dengan aspek HAM yang relevan dengan kegiatan organisasi.

Aspek: Hak Penduduk Asli

62.  HR9

Add: Jumlah kasus pelanggaran yang terkait dengan hak penduduk asli dan langkah-langkah yang diambil.

Aspek : Penilaian

63.  HR10

Core: Persentase dan jumlah operasi yang telah menjadi subjek ulasan HAM dan atau penilaian dampak

Aspek: Remediasi

64.  HR11

Core: Keluhan yang berkaitan dengan hak asasi manusia yang diajukan, dibahas dan diselesaikan melalui mekanisma pengaduan jalur formal

INDIKATOR KINERJA PADA MASYARAKAT

Aspek: Komunitas

65.  S01

Core: Sifat dasar, ruang lingkup, dan keefektifan setiap program dan praktek yang dilakukan untuk menilai dan mengelola dampak operasi terhadap masyarakat, baik pada saat memulai, pada saat beroperasi, dan pada saat mengakhiri.

Aspek: Korupsi

66.  S02

Core: Persentase dan jumlah unit usaha dianalisis untuk risiko yang berkaitan dengan korupsi.

67.  S03

Core: Persentase pegawai yang dilatih dalam kebijakan dan prosedur antikorupsi.

68.  S04

Add: Tindakan yang diambil dalam menanggapi kejadian korupsi.

Aspek: Kebijakan Publik

69.  S05

Core: Kedudukan kebijakan publik dan partisipasi dalam proses melobi dan pembuatan kebijakan publik.

70.  S06

Add: Nilai kontribusi finansial dan natura kepada partai politik, politisi, dan institusi terkait berdasarkan negara di mana perusahaan beroperasi.

Aspek: Kelakuan Tidak Bersaing

71.  S07

Add: Jumlah tindakan hukum terhadap pelanggaran ketentuan antipersaingan, anti-trust, dan praktek monopoli serta sanksinya.

72.  PR2

Add: Jumlah pelanggaran terhadap peraturan dan etika mengenai dampak kesehatan dan keselamatan suatu produk dan jasa selama daur hidup, per produk.

Aspek: Pemasangan Label bagi Produk dan Jasa

73.  PR3

Core: Jenis informasi produk dan jasa yang dipersyaratkan oleh prosedur dan persentase produk dan jasa yang signifikan yang terkait dengan informasi yang dipersyaratkan tersebut.

74.  PR4

Add: Jumlah pelanggaran peraturan dan voluntary codes mengenai penyediaan informasi produk dan jasa serta pemberian label, per produk

75.  PR5

Add: Praktek yang berkaitan dengan kepuasan pelanggan termasuk hasil survei yang mengukur kepuasaan pelanggan.

Aspek: Komunikasi Pemasaran

76.  PR6

Core: Program-program untuk ketaatan pada hukum, standar dan voluntary codes yang terkait dengan komunikasi pemasaran, termasuk periklanan, promosi, dan sponsorship.

77.  PR7

Add: Jumlah pelanggaran peraturan dan voluntary codes sukarela mengenai komunikasi pemasaran termasuk periklanan, promosi, dan sponsorship, menurut produknya.

Aspek: Keleluasaan Pribadi (privacy) Pelanggan

78.  PR8

Add: Jumlah keseluruhan dari pengaduan yang berdasar mengenai pelanggaran keleluasaan pribadi (privacy) pelanggan dan hilangnya data pelanggan

Aspek: Kepatuhan

79.  PR9

Core: Nilai moneter dari denda pelanggaran hukum dan peraturan mengenai pengadaan dan penggunaan produk dan jasa

Sumber: www.globalreporting.org (2013)

 

GRI G4 yang diluncurkan pada tahun 2013 memiliki 6 aspek yang sama namun dengan jumlah item yang berbeda. Pada GRI G4, terdapat aspek ekonomi (9 item), lingkungan (34 item), tenaga kerja (16 item), hak asasi manusia (12 item), masyarakat (11 item) dan produk (9 item) (www.globalreporting.org, 2013).

 

Tabel 3. Indikator Pengungkapan Tanggung Jawab Sosial berdasarkan GRI G4.

INDIKATOR KINERJA EKONOMI:

Aspek: Kinerja Ekonomi

1.    EC1: Nilai ekonomi langsung yang dihasilkan dan didistribusikan

2.    EC2: Implikasi finansial dan risiko serta peluang lainnya kepada kegiatan organisasi karena perubahan iklim

3.    EC3: Cakupan kewajiban organisasi atas program imbalan pasti

4.    EC4: Bantuan finansial yang diterima dari pemerintah

Aspek: Kehadiran Pasar

5.    EC5: Rasio upah standar pegawai pemula (entry level) menurut gender dibandingkan dengan upah minimun regional di lokasi-lokasi operasional yang signifikan.

6.    EC6: Perbandingan manajemen senior yang dipekerjakan dari masyarakat lokal di lokasi operasi yang signifikan

Aspek: Dampak Ekonomi Tidak Langsung

7.    EC7: Pembangunan dan dampak dari investasi infrastruktur dan jasa yang diberikan

8.    EC8: Dampak ekonomi tidak langsung yang signifikan, termasuk besarnya dampak

Aspek :Praktik Pengadaan

9.    EC9: Perbandingan pembelian dari pemasok lokal di lokasi operasional yang signifikan

INDIKATOR KINERJA LINGKUNGAN:

Aspek: Material

10.  EN1: Bahan yang digunakan berdasarkan berat dan volume

11.  EN2: Persentase bahan yang digunakan yang merupakan bahan input daur ulang

Aspek: Energi

12.  EN3: Konsumsi energi dalam organisasi

13.  EN4: Konsumsi energi di luar organisasi

14.  EN5: Intensitas energi

15.  EN6: Pengurangan konsumsi energi

16.  EN7: Pengurangan kebutuhan energi pada produk dan jasa

Aspek: Air

17.  EN8: Total pengambilan air berdasarkan sumber

18.  EN9: Sumber air yang secara signifikan dipengaruhi oleh pengambilan air

19.  EN10: Persentase dan total volume air yang didaur ulang dan digunakan kembali

Aspek: Biodiversitas (Keanekaragaman Hayati)

20.  EN11: Lokasi-lokasi operasional yang dimiliki, disewa, dikelola di dalam atau yang berdekatan dengan kawasan lindung dan kawasan dengan nilai keanekaragaman hayati di luar kawasan lindung.

21.  EN12: Uraian dampak signifikan kegiatan, produk, dan jasa terhadap keanekaragaman hayati di kawasan lindung dan kawasan dengan nilai keanekaragaman hayati tinggi di luar kawasan lindung.

22.  EN13: Habitat yang dilindungi dan dipulihkan

23.  EN14: Jumlah total spesies dalam IUCN Red Listdan spesies dalam daftar spesies yang dilindungi nasional dengan habitat di tempat yang dipengaruhi operasional, berdasarkan tingkat risiko kepunahan.

Aspek: Emisi

24.  EN15: Emisi gas rumah kaca yang sifatnya langsung

25.  EN16: Emisi gas rumah kaca yang sifatnya tidak langsung

26.  EN 17: Emisi gas rumah kaca tidak langsung lainnya

27.  EN18: Intensitas emisi gas rumah kaca

28.  EN19: Pengurangan emisi gas rumah kaca

29.  EN20: Emisi bahan perusak ozon (ozone-depleting substances/ODS)

30.  EN21: NOx, SOx dan emisi udara signifikan lainnya

Aspek: Limbah dan Sampah

31.  EN22: Total air yang dibuang berdasarkan kualitas dan tujuan

32.  EN23: Bobot total limbah berdasarkan jenis dan metoda pembuangan

33.  EN24: Jumlah dan volume total tumpahan yang signifikan

34.  EN25: Bobot limbah yang dianggap berbahaya menurut ketentuan konvensi BASEL I, II, III dan VIII yang diangkut, diimpor, diekspor,atau diolah dan persentase limbah yang diangkut untuk pengiriman internasional.

35.  EN26: Identitas, ukuran, status lindung dan nilai keanekaragaman hayati dari badan air dan habitat yang secara signifikan terkena dampak dari air buangan dan limpasan dari organisasi.

Aspek: Produk dan Jasa

36.  EN27: Tingkat mitigasi dampak terhadap lingkungan produk dan jasa

37.  EN28: Persentase produk yang terjual dan kemasannya yang direklamasi menurut kategori

Aspek: Kepatuhan

38.  EN29: Nilai Moneter denda yang signifikan dan jumlah total sanksi nonmoneter karena ketidakpatuhan terhadap Undang-Undang dan Peraturan Lingkungan

Aspek: Pengangkutan/Transportasi

39.  EN30: Dampak lingkungan yang signifikan dari pengangkutan produk dan barang-barang lain serta bahan untukoperasional organisasi dan pengangkutan tenaga kerja

Aspek: Lain-Lain

40.  EN31: Total pengeluaran dan investasi perlindungan lingkungan berdasarkan jenis

Aspek: penilaian Pemasok atas Lingkungan

41.  EN32: Persentase pemasok baru yang disaring menggunakan kriteria lingkungan

42.  EN33: Dampak lingkungan negatif signifikan aktual dan potensial negatif dalam rantai pasokan dan tindakan yang diambil.

Aspek: Mekanisma Pengaduan Masalah Lingkungan

43.  EN34: Jumlah pengaduan tentang dampak lingkungan yang diajukan, ditangani dan diselesaikan melalui mekanisma pengaduan resmi.

INDIKATOR KINERJA PRAKTEK TENAGA KERJA DAN PEKERJAAN YANG LAYAK

Aspek: Kepegawaian

44.  LA1:Jumlah total dan tingkat perekrutan karyawan baru dan turnover karyawan menurut kelompok umur, jenis kelamin, dan wilayah.

45.  LA2: Tunjangan yang diberikan bagi karyawan purnawaktu yang tidak diberikan bagi karyawan sementara atau paruh waktu, berdasarkan lokasi operasi yang signifikan.

46.  LA3: Tingkat kembali bekerja dan tingkat retensi setelah cuti melahirkan berdasarkan gender

Aspek: Hubungan Industrial

47.  LA4: Jangka waktu minimum pemberitahuan mengenai perubahan operasional, termasuk apakah hal tersebut dalam perjanjian bersama.

Aspek: Kesehatan dan Keselamatan Jabatan

48.  LA5: Persentase total tenaga kerja yang diwakili dalam komite bersama formal manajemen-pekerja yang membantu mengawasi dan memberikan saran program kesehatan dan keselamatan kerja

49.  LA6: Jenis dan tingkat cedera, penyakit akibat kerja, hari-hari yang hilang, dan ketidakhadiran, dan jumlah total kematian akibat kerja menurut daerah dan gender.

50.  LA7: Pekerja yang sering terkena atau berisiko tinggi terkena penyakit yang terkait dengan pekerjaan mereka

51.  LA8: Topik kesehatan dan keselamatan yang tercakup dalam perjanjian formal dengan serikat pekerja

Aspek: Pelatihan dan Pendidikan

52.  LA9: Rata-rata jam pelatihan tiap tahun tiap karyawan menurut kategori/kelompok karyawan.

53.  LA10: Program untuk manajemen keterampilan dan pembelajaran seumur hidup yang mendukung keberlanjutan kerja karyawan dan membantu mereka mengelola purna bakti

54.  LA11: Persentase karyawan yang menerima peninjauan kinerja dan pengembangan karier secara teratur menurut gender dan kategori karyawan.

Aspek: Keberagaman dan Kesetaraan Peluang

55.  LA12: Komposisi badan tata kelola dan pembagian karyawan per kategori karyawan menurut gender, kelompok usia, keanggotaan kelompok minoritas dan indikator keberagaman lainnya.

Aspek: Kesetaraan Renumerasi Perempuan dan Laki-Laki

56.  LA13: Rasio gaji pokok dan renumerasi bagi perempuan terhadap laki-laki menurut kategori karyawan, berdasarkan lokasi operasional yang signifikan.

Aspek: Penilaian Pemasok atas Praktik Ketenagakerjaan

57.  LA14: Persentase Pemasok Baru yang Disaring menggunakan Kriteria Praktik Tenaga Kerja

58.  LA15: Dampak negatif aktual dan potensial yang signifikan terhadap praktik ketenagakerjaan dalam rantai pasokan dan tindakan yang diambil

Aspek: Mekanisma Pengaduan Praktek Kerja

59.  LA16: Jumlah pengaduan tentang Praktik Ketenagakerjaan yang diajukan, ditangani dan diiselesaikan melalui mekanisma pengaduan resmi.

HAK ASASI MANUSIA

Aspek : Investasi

60.  HR1: Persentase dan jumlah perjanjian investasi signifikan yang memuat klausul HAM atau telah menjalani proses skrining/ filtrasi terkait dengan aspek hak asasi manusia.

61.  HR2: Jumlah waktu pelatihan bagi karyawan tentang kebijakan atau prosedur Hak Asasi Manusia terkait dengan aspek Hak Asasi Manusia yang relevan dengan operasi termasuk presentase karyawan yang dilatih.

Aspek: Nondiskriminasi

62.  HR3: Jumlah kasus diskriminasi yang terjadi dan tindakan yang diambil/dilakukan.

Aspek: Kebebasan Berserikat dan Berunding Bersama Berkumpul

63.  HR4: Operasi dan pemasok teridentifikasi yang mungkin melanggar atau berisiko tinggi melanggar hak untuk melaksanakan kebebasan berserikat dan perjanjian kerja bersama dan tindakan yang diambil untuk mendukung hal-hal tersebut.

Aspek: Pekerja Anak

64.  HR5: Operasi dan pemasok yang teridentifikasi berisiko tinggi melakukan eksploitasi pekerja anak dan tindakan yang diambil untuk berkontribusi dalam penghapusan pekerja anak yang efektif.

Aspek: Kerja Paksa dan Kerja Wajib

65.  HR6: Operasi dan pemasok yang diidentifikasi berisiko tinggi melakukan kerja paksa atau wajib kerja dan tindakan untuk berkontribusi dalam penghapusan segala bentuk pekerja paksa atau wajib kerja.

Aspek: Praktek/Tindakan Pengamanan

66.  HR7: Persentase petugas pengamanan yang dilatih dalam kebijakan atau prosedur hak asasi manusia di organisasi yang relevan dengan operasi.

Aspek: Hak Penduduk Asli

67.  HR8: Jumlah total insiden pelanggaran yanng melibatkan hak-hak masyarakat adat dan tindakan yang diambil.

Aspek : Penilaian

68.  HR9: Jumlah total dan presentase operasi yang telah melakukan penilaian dampak Hak Asasi Manusia

Aspek: Penaksiran Hak Asasi Manusia Pemasok

69.  HR10: Persentase pemasok baru yang disaring dengan menggunakan kriteria hak asasi manusia

70.  HR11: Dampak negatif aktual dan potensial yang signifikan terhadap Hak Asasi Manusia dalam rantai pasokan dan tindakan yang diambil

Aspek: Mekanisma Pengaduan Masalah Hak Asasi Manusia

71.  HR12: Jumlah pengaduan tentang dampak terhadap Hak Asasi Manusia yang diajukan, ditangani dan diselesaikan melalui mekanisma pengaduan resmi

INDIKATOR KINERJA PADA MASYARAKAT

Aspek: Masyarakat Lokal

72.  S01: Persentase operasi dengan pelibatan masyarakat lokal, penilaian dampak dan program pengembangan yang diterapkan

73.  S02: Operasi dengan dampak negatif aktual dan potensial yang signifikan terhadap masyarakat lokal.

Aspek: Anti Korupsi

74.   S03: Jumlah total dan presentase operasi yang dinilai terhadap risiko terkait dengan korupsi dan risiko signifikan yang teridentifikasi

75.  S04: Komunikasi dan pelatihan mengenai kebijakan dan prosedur anti korupsi

76/ S05: Insiden korupsi yang terbukti dan tindakan yang diambil

Aspek: Kebijakan Publik

76.  S06: Nilai total kontribusi politik berdasarkan negara dan penerima/penerima manfaat

Aspek: Anti Persaingan

77.  S07: Jumlah total tindakan hukum terkait anti persaingan, anti trust, serta praktik monopoli dan hasilnya

Aspek: Kepatuhan

78.  S08: Nilai moneter denda yang signifikan dan jumlah total sanksi nonmoneter atas ketidakpatuhan terhadap Undang-Undang dan peraturan

Aspek: Penilaian Pemasok atas Dampak Pada Masyarakat

79.  S09: Persentase pemasok baru yang disaring dengan menggunakan kriteria dampak terhadap masyarakat

80.  S10: Dampak negatif aktual dan potensial yang signifikan terhadap masyarakat dalam rantai pasokan dan tindakan yang diambil.

Aspek: Mekanisma Pengaduan Dampak terhadap Masyarakat

81.  S11: Jumlah pengaduan tentang dampak terhadap masyarakat yang diajukan, ditangani dan diselesaikan melalui mekanisma pengaduan resmi

INDIKATOR KINERJA TERHADAP TANGGUNG JAWAB PRODUK

Aspek: Kesehatan dan Keamanan Pelanggan

82.  PR1: Persentase kategori produk dan jasa yang signifikan yang dampaknya terhadap kesehatan dan keselamatan yang dinilai untuk peningkatan

83.  PR2: Total jumlah insiden ketidakpatuhan terhadap peraturan dan kode sukarela terkait dampak kesehatan dan keselamatan dari produk dan jasa sepanjang daur hidup, menurut jenis hasil.

Aspek: Pemasangan Label bagi Produk dan Jasa

84.  PR3: Jenis informasi produk dan jasa yang dipersyaratkan oleh prosedur organisasi terkait dengan informasi dan pelabelan produk dan jasa serta persentase kategori produk dan jasa yang signifikan harus mengikuti persyaratan informasi sejenis.

85.  PR4: Jumlah total insiden ketidakpatuhan terhadap peraturan dan kode sukarela terkait dengan informasi dan pelabelan produk dan jasa menurut jenis hasil.

86.  PR5: Hasil survei untuk mengukur kepuasan pelanggan

Aspek: Komunikasi Pemasaran

87.  PR6: Penjualan produk yang dilarang atau disengketakan

88.  PR7: Jumlah total insiden ketidakpatuhan terhadap peraturan dan kode sukarela tentang komunikasi pemasaran termasuk iklan, promosi dan sponsor menurut jenis hasil.

Aspek: Keleluasaan Pribadi (privacy) Pelanggan

89.  PR8: Jumlah total keluhan yang terbukti terkait dengan pelanggaran privasi pelanggan dan hilangnya data pelanggan

Aspek: Kepatuhan

90.  PR9: Nilai moneter denda yang signifikan atas ketidakpatuhan terhadap Undang-Undang dan peraturan terkait penyediaan dan penggunaan produk dan jasa.

Sumber: www.globalreporting.org (2013)

 

Referensi

Robert, D. & Stephanus, D.S. 2014. Penerapan Dan Analisis Pengaruh Environmental Management Accounting (Ema). Proposal Skripsi. Universitas Ma Chung. Malang

Oktiviana, D. & Stephanus, D.S. 2014. Analisis Pengaruh Penerapan Environment Management Accounting Dan Strategi Terhadap Inovasi Perusahaan . Proposal Skripsi. Universitas Ma Chung. Malang

Nugroho, O.C. & Stephanus, D.S. 2014. Studi Empiris Pengaruh Manajemen Laba (Earnings Management), Corporate Governance, Ukuran Perusahaan (Size), Leverage, Dan Profitabilitas Terhadap Pengungkapan Tanggung Jawab Sosial Dan Lingkungan Perusahaan. Proposal Skripsi. Universitas Ma Chung. Malang  

Puspita, M. E. & Stephanus, D.S.  2014.  Pengaruh Pengungkapan Corporate Social Responsibility, Global Reporting Initiatives Dan Iso 26000 Terhadap Nilai Perusahaan Sektor Pertambangan. Proposal Skripsi. Universitas Ma Chung. Malang  

Endiarto, O.T. & Stephanus, D. S. 2014. Analisis Pengaruh Kinerja Lingkungan

Terhadap Nilai Perusahaan Yang Terdaftar Di Index Sri Kehati .Proposal Skripsi. Universitas Ma Chung. Malang

Saputra, N. A. & Stephanus, D.S. 2014. Pengaruh Pengungkapan Corporate Social Resposibility Dan Global Reporting Initiatives Terhadap Nilai Perusahaan Pada Perusahaan Yang Tercatat Di Indeks Sri-Kehati 2010—2012. Skripsi. Universitas Ma Chung. Malang

   

Seri #7: Sustainable and Responsible Investment Keaneka Ragaman Hayati Indonesia (Indeks SRI-KEHATI)

Pengantar

Berikut ini adalah informasi mengenai Indeks SRI KEHAtI yang dikutip langsung dari Website Yayasan Keanekaragaman Hayati Indonesia http://www.kehati.or.id/id/indeks-sri-kehati.html.

Indeks SRI-KEHATI diberlakukan sejak 8 Juni 2009, Yayasan KEHATI bekerjasama dengan PT Bursa Efek Indonesia (BEI) meluncurkan indeks SRI KEHATI yang mengacu pada tata cara Sustainable and Responsible Investment (SRI) dengan nama Indeks SRI KEHATI.  Tahun dasar yang digunakan sebagai tahun awal indeks dengan basis 100 (seratus) adalah pada 30 Desember 2006 dan dipublikasikan oleh BEI sebagai Indeks SRI KEHATI. Diharapkan dengan peluncuran indeks SRI KEHATI ini masyarakat mengenal adanya indeks yang menggambarkan perusahaan-perusahaan yang menguntungkan secara ekonomi dengan tetap memperhatikan kelestarian lingkungan hidup. Tujuan dibentuknya indeks ini adalah untuk memberikan informasi secara terbuka kepada masyarakat luas mengenai ciri dari perusahaan terpilih pada indeks SRI KEHATI yang dianggap memiliki bermacam bentuk pertimbangan dalam usahanya berkaitan dengan kepedulian pada lingkungan, tata kelola perusahaan, keterlibatan masyarakat, sumber daya manusia, hak asasi manusia, dan perilaku bisnis dengan etika bisnis yang diterima di tingkat international.

Yayasan KEHATI menetapkan 25 (dua puluh lima) perusahaan terpilih yang dianggap dapat memenuhi kriteria dalam indeks SRI KEHATI sehingga dapat menjadi pedoman bagi para investor. Keberadaan perusahaan terpilih akan dievaluasi setiap 2 (dua) periode dalam setahun, yaitu pada bulan April dan Oktober, dan setelah terpilih nama-nama dari 25 (dua puluh lima) perusahaan tersebut akan di publikasikan oleh BEI yang dapat dilihat di www.idx.co.id. Mekanisma pemilihan perusahaan-perusahaan untuk masuk indeks SRI KEHATI dilakukan melalui dua tahap, yaitu tahap pertama adalah penapisan awal seleksi negatif dan aspek keuangan kemudian pada tahap kedua adalah dengan aspek fundamental. Penilaian dilakukan melalui review terhadap data sekunder, pengisian kuesioner oleh perusahaan-perusahaan yang telah melalui tahapan seleksi di atas, dan data lain yang relevan. Dari hasil review tersebut, 25 (dua puluh lima perusahaan) perusahaan dengan nilai tertinggi masuk dalam Indeks SRI KEHATI.

Pada tahap pertama di penapisan awal ini dilakukan untuk memastikan bahwa perusahaan-perusahaan yang dinilai memenuhi prasyarat penilaian adalah sebagai berikut:

Seleksi Negatif bagi perusahaan (1) Pestisida, (2) Nuklir, (3) Senjata, (4) Tembakau, (5) Alkohol, (6) Pornografi, (7) Perjudian, (8) Genetically Modified Organism (GMO).

Aspek Keuangan yang terdiri dari: (1) Perusahaan memiliki Kapitalisasi Pasar (Market Capitalization) di atas Rp1 triliun berdasarkan laporan keuangan teraudit tahun terakhir; (2) Perusahaan memiliki Asset di atas Rp1 triliun berdasarkan laporan keuangan teraudit tahun terakhir; (3) Perusahaan memiliki Free Float Ratio di atas 10% berdasarkan saham aktif di bursa dengan kepemilikan public; (4) Perusahaan memiliki Price Earning Ratio (PER) yang positif dalam 6 (enam) bulan terakhir.

Pada tahap kedua setelah perusahaan-perusahaan yang lolos penapisan awal akan dinilai kinerjanya yaitu pada aspek fundamental yang meliputi beberapa bidang, diantaranya :

Aspek Fundamental terdiri dari: (1) Tata Kelola Perusahaan; (2) Lingkungan; (3) Keterlibatan Masyarakat; (4) Perilaku Bisnis; (5) Sumber Daya Manusia; (6) Hak Asasi Manusia

Implikasi Normatif dan Etis

Implikasi Praktis dan Bisnis

Implikasi Konservasi

 

Referensi

Robert, D. & Stephanus, D.S. 2014. Penerapan Dan Analisis Pengaruh Environmental Management Accounting (Ema). Proposal Skripsi. Universitas Ma Chung. Malang

Oktiviana, D. & Stephanus, D.S. 2014. Analisis Pengaruh Penerapan Environment Management Accounting Dan Strategi Terhadap Inovasi Perusahaan . Proposal Skripsi. Universitas Ma Chung. Malang    

Nugroho, O.C. & Stephanus, D.S. 2014. Studi Empiris Pengaruh Manajemen Laba (Earnings Management), Corporate Governance, Ukuran Perusahaan (Size), Leverage, Dan Profitabilitas Terhadap Pengungkapan Tanggung Jawab Sosial Dan Lingkungan Perusahaan. Proposal Skripsi. Universitas Ma Chung. Malang  

Puspita, M. E. & Stephanus, D.S.  2014.  Pengaruh Pengungkapan Corporate Social Responsibility, Global Reporting Initiatives Dan Iso 26000 Terhadap Nilai Perusahaan Sektor Pertambangan. Proposal Skripsi. Universitas Ma Chung. Malang  

Endiarto, O.T. & Stephanus, D. S. 2014. Analisis Pengaruh Kinerja Lingkungan Terhadap Nilai Perusahaan Yang Terdaftar Di Index Sri Kehati .Proposal Skripsi. Universitas Ma Chung. Malang    

Saputra, N. A. & Stephanus, D.S. 2014. Pengaruh Pengungkapan Corporate Social Resposibility Dan Global Reporting Initiatives Terhadap Nilai Perusahaan Pada Perusahaan Yang Tercatat Di Indeks Sri-Kehati 2010—2012. Skripsi. Universitas Ma Chung. Malang


 

SERI #8: ENVIRONMENTAL MANAGEMENT ACCOUNTING (EMA)

Pengantar

Perusahaan dalam melakukan kegiatan bisnisnya selalu memiliki tujuan untuk memperoleh nilai semaksimal mungkin. Dengan menggali dan memaksimalkan sumber daya alam serta masyarakat yang ada, perusahaan dapat memproduksi barang dan jasa sehingga dapat memperoleh laba yang maksimal. Namun, seringkali perusahaan tidak memperhatikan dampak negatif bagi lingkungan dan masyarakat ketika perusahaan melakukan eksplorasi terhadap sumber daya yang ada.

Oleh karena itu, pemerintah Indonesia telah menetapkan Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007  bab V Pasal 74 tentang Perseroan Terbatas, bahwa perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan tersebut. Selain diwajibkan, berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, ketika perusahaan melakukan CSR, maka hal itu akan meningkatkan profitabilitas maupun reputasi perusahaan. Oleh karena itu, prinsip Triple Bottom Line (people and planet before profit) yang dicetuskan oleh Jhon Elkington pada tahun 1997 banyak dianut oleh perusahaan. Hal ini  dikarenakan ketika perusahaan menerapkan prinsip Triple Bottom Line ini, masyarakat lebih mengapresiasi setiap produk yang dihasilkan dengan mengutamakan kepentingan lingkungan hidup dan masyarakat luas.

Namun dalam pelaksanaannya, CSR bukanlah sesuatu hal yang bisa dilaksanakan tanpa menggunakan dana perusahaan. Sebagai bentuk tanggung jawab, perusahaan harus mengalokasikan dana yang akan digunakan untuk melaksanakan bentuk-bentuk tanggung jawab perusahaan. Dengan kata lain, perusahaan harus mengalokasikan dana untuk pengeluaran yang dampaknya akan mengurangi laba perusahaan.

Sayangnya pengalokasian dana dan setiap rencana yang telah disusun bagian anggaran untuk melakukan kegiatan sebagai bentuk tanggung jawab perusahaan tidak berjalan maksimal dan sangat rentan terjadinya kesalahan sasaran. Contohnya pada Oktober 2013, PT Semen Tonasa sempat dipertanyakan mengenai aliran dana CSR yang dinilai salah sasaran. Hal ini dapat terjadi dikarenakan tidak adanya sistem dan alat perencanaan yang baik untuk menyelengarakan CSR perusahaan.

Kendala yang dihadapi perusahaan saat ini sudah bisa diatasi dengan penggunaan Environmental Management Accounting (EMA). EMA menurut Jhonson (2004) adalah alat untuk analisis informasi keuangan dan non-keuangan dalam rangka mendukung proses pengelolaan lingkungan perusahaan. Namun EMA saat ini belum diterapkan dalam perencanaan CSR perusahaan yang ada di Indonesia. Berbeda dengan Indonesia, Jepang adalah salah satu Negara yang sangat menjunjung tinggi kepedulian terhadap dampak yang terjadi pada lingkungan. Dan penerapan EMA bukanlah hal asing lagi di negara tersebut, bahkan setiap perusahaan wajib melakukan EMA dan tiap tahun diadakan Audit Lingkungan atas perusahaan tersebut.

 

Menurut Purwanto (2007), awalnya sebuah perusahaan akan menetapkan kebijakan yang berfokus pada hal – hal yang cenderung berhubungan dengan dampak langsung dari proses bisnis suatu perusahaan seperti membersihkan polusi yang ada dan mencoba untuk mengurangi polusi dari sumber titik pembuangan, kemudian strategi manajemen berpindah kearah modifikasi proses – proses produksi sehingga dapat meminimalkan jumlah polusi yang dihasilkan.

Saat ini kerusakan alam dan pemanasan global menjadi perhatian yang serius. Bumi sudah menunjukkan gejala – gejala yang tidak sehat lagi seperti kondisi cuaca yang tidak normal, bencana alam, dan lain sebagainya. Banyaknya tuntutan atas peraturan kepada perusahaan untuk mengurangi dampak yang ditimbulkan terhadap lingkungan mengahruskan sebuah perusahaan untuk menganut sebuah prinsip eco-efficiency yang artinya perusahaan harus menghasilkan produk barang maupun jasa yang lebih bermanfaat sekaligus mengurangi dampak lingkungan, penggunaan sumber daya yang berlebihan, maupun efisiensi yang dihasilkan dari perbaikan kinerja. Peranan EMA memberikan sebuah motivasi bagi manajer lingkungan dan bawahannya agar terpacu untuk mengurangi biaya lingkungan yang ditimbulkan, yang mana akan berpengaruh terhadap keputusan yang akan menjadi dasar eksistensi perusahaan di masa mendatang.

Daljono (2004) mengemukakan bahwa dalam mengelola perusahaan, manajer harus membuat keputusan yaitu mempertimbangkan secara hati – hati dari berbagai alternatif tindakan dan memilih tindakan terbaik untuk mencapai tujuan yang telah direncanakan. Alasan yang mendasari mengapa sebuah organisasi dan akuntan harus peduli permasalahan lingkungan. Menurut Ikhsan (2009), banyak para stakeholder perusahaan baik dari sisi internal maupun eksternal menunjukkan peningkatan kepentingannya terhadap kinerja lingkungan dari sebuah organisasi.

Adanya kebijakan di bidang lingkungan inilah yang kemudian menjadi awal berkembangnya suatu konsep yang bertujuan untuk menemukan solusi atas pemenuhan tujuan bisnis dan penyelesaian masalah lingkungan yang dinamakan eco-efficiency. Eco-efficiency merupakan upaya peningkatan efisiensi perusahaan dengan memperkecil output limbah melalui proses produksi atau teknologi bersih lingkungan.

Environment Management Accounting (EMA) dapat digunakan sebagai tolak ukur dalam membantu pengambilan keputusan manajemen lingkungan dalam peningkatan sustainable perusahaan. EMA dibutuhkan oleh setiap perusahaan untuk memberikan informasi kepada perusahaan berkaitan dengan kinerja lingkungan perusahaan. EMA juga bertujuan untuk meningkatkan jumlah informasi yang relevan bagi mereka yang memerlukan, sehingga dapat digunakan sebagai salah satu indikator pengambilan keputusan.

Menurut Ikhsan (2009), keberhasilan akuntansi lingkungan tidak hanya tergantung pada ketepatan dalam menggolongkan semua biaya – biaya yang dibuat perusahaan. Akan tetapi kemampuan dan keakuratan data akuntansi perusahaan dalam menekan dampak lingkungan yang ditimbulkan dari aktivitas perusahaan. Penerapan akuntansi manajemen lingkungan memberikan banyak manfaat bagi penggunanya. Salah satu manfaat akuntansi manajemen lingkungan yaitu adanya inovasi yang dilakukan perusahaan untuk mengurangi dampak lingkungan. Penerapan akuntansi manajemen lingkungan dapat membantu manajer lingkungan untuk merencanakan produksi pembersih dan mengidentifikasi cara – cara baru dan penghematan biaya serta memperbaiki kinerja lingkungan pada waktu yang bersamaan. Penerapan lainnya adalah memberikan informasi kepada manajer dalam mengidentifikasi biaya – biaya lingkungan yang sering disembunyikan dalam akuntansi umum. Penelitian yang menjadi acuan dari penelitian penulis adalah Ferreira, et al., (2009) yang menguji pengaruh penerapan EMA dan strategi perusahaan terhadap inovasi produk dan inovasi proses. Sampel dalam penelitian yang dilakukan Fereira adalah perusahaan – perusahaan terbesar di Australia. Kategori perusahaan yang diteliti adalah perusahaan yang bergerak di bidang manufaktur, kesehatan, konstruksi, dan transportasi. Hasil analisis menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif antara penerapan EMA dan inovasi proses.

Belum banyaknya penelitian akuntansi yang membahas penerapan EMA menjadi salah satu kendala dalam penelitian ini. Maka dari itu, penelitian ini cenderung masih tergolong dalam fase awal atau penelitian yang bersifat explanatory.

Berdasarkan argumen yang telah penulis sebutkan, penelitian ini menjadi bukti bahwa penerapan EMA dapat memberikan banyak manfaat bagi perusahaan. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan kuantitatif untuk menguji pengaruh EMA dan strategi sebagai inovasi. Kemudian dilanjutkan dengan meneliti variabel – variabel lain dalam praktik penggunaan EMA, apakah berpengaruh terhadap inovasi produk atau inovasi proses.

Melalui aktivitas – aktivitas lingkungan dan aktivitas pada laporan tahunan menyebabkan pengguna laporan keuangan (manajemen, investor, kreditor) akan mendapat informasi yang akan membantu para pengguna informasi tersebut dalam pengambilan keputusan untuk program perusahaan yang berkaitan dengan pelestarian lingkungan di masa yang akan datang. Hal ini akan mempengaruhi persepsi positif pada masyarakat dan pada akhirnya mereka akan memiliki kepercayaan terhadap perusahaan. Kepercayaan masyarakat yang didapat oleh perusahaan pasti akan meningkatkan penjualan produk yang dikeluarkan oleh perusahaan. Dengan adanya penerapan EMA pada perusahaan, maka diharapkan lingkungan sekitar akan terjaga kelestariannya.

Belajar dari Negara-Negara Maju

The Japan Environmental Management Association for Industry (JEMAI) adalah salah satu wujud nyata Jepang dalam memperhatikan dampak yang dihasilkan perusahaan atas lingkungan hidup. Sejak berdirinya JEMAI pada tahun 1993, Organisasi Pemerintah ini memiliki 700 perusahaan sebagai anggota termasuk perusahaan asing yang berdiri di Negara ini. Ryuichi Tomizawa selaku ketua JEMAI mengatakan ada empat hal yang menjadi perhatian utama organisasi ini, antara lain: (1) penilaian lingkungan, (2) perkembangan teknologi, (3) survei untuk polusi udara dan air, kebisingan, getaran, dan zat kimia berbahaya, dan (4) masalah lingkungan global. (Tomizawa, 2014)

Berbeda dengan JEMAI, Australia juga memiliki organisasi yang mengatur secara khusus mengenai dampak lingkungan yang dihasilkan perusahaan. Australian Environmental Management (AEM) adalah suatu organisasi sumber daya dengan membawa ide-ide dan teknologi “green building” bagi perusahaan di Australia. Selain membawa ide-ide dan teknologi berkaitan dengan lingkungan hidup, AEM juga memperhatikan Efisiensi Energi, dan Recycling dengan cara yang profesional. (Department of Infrastructur, 2004)

Jepang dan Australia adalah beberapa Negara yang sudah menerapkan perhitungan EMA sebagai bukti bahwa Negara tersebut sudah memperhatikan kelestarian lingkungan hidup. Namun, setiap Negara dalam menjalankan EMA memiliki pedoman dan peraturan yang berbeda. Perbedaan ini disebabkan keadaan lingkungan dan geografis yang berbeda. Selain itu jenis-jenis perusahaan juga memiliki dampak lingkungan yang berbeda. Oleh karena perbedaan-perbedaan yang ada, International Federation of Accountants (IFAC) juga telah membuat sebuah  pedoman yang bisa diterapkan secara internasional tentang EMA. Pedoman ini disusun pada Agustus 2005. (IFAC, 2005)

Dalam kesempatan ini, peneliti ingin menerapkan sistem EMA pada perusahaan yang berdiri di Indonesia. Selama ini pelaksanaan bentuk tanggung jawab terhadap dampak lingkungan di Indonesia belum berjalan secara maksimal. Hal ini ditandai dengan banyaknya kerusakan  lingkungan yang disebabkan oleh kegiatan produksi perusahaan.

Environmental Management Accounting (EMA)

EMA didefinisikan sebagai alat analisis infomasi keuangan dan non-keuangan yang digunakan untuk mendukung proses manajemen lingkungan hidup yang dilakukan oleh internal perusahaan. (Johnson, 2004). Sedangkan menurut International Federation of Accountants (2005), EMA adalah pengelolaan kinerja ekonomi dan lingkungan melalui pengembangan dan implementasi sistem akuntansi yang berhubungan dengan lingkungan yang tepat dan praktis. Meskipun di beberapa perusahaan hal ini mungkin termasuk pelaporan dan audit, akuntansi manajemen lingkungan biasanya melibatkan siklus hidup biaya, akuntansi biaya penuh, penilaian manfaat, dan perencanaan strategis pengelolaan lingkungan.

Jadi dapat disimpulkan bahwa EMA merupakan sebuah alat yang dapat menyajikan informasi bagi internal perusahaan terkait dengan kegiatan pengelolaan kinerja lingkungan yang tepat dan praktis. Dalam pelaksanaannya, EMA memiliki 5 kegiatan yang utama (Johnson, 2004) yaitu:

product pricing

budgeting

investment appraisal

calculating costs and

savings of environmental projects, or setting quantified performance targets

 

 

2.4 Tujuan dan Manfaat Penggunaan EMA

2.4.1 Tujuan Penggunaan EMA

Tujuan EMA menurut Savage (2014) dapat dirumuskan bahwa setiap pengambil keputusan dapat menggunakan informasi fisik dan biaya dari EMA untuk membuat keputusan yang akan berdampak pada kinerja lingkungan dan kunerja keuangan perusahaan. Sedangkan menurut IFAC (2005) tujuan EMA adalah manajemen internal perusahaan dapat mengambil langkah-langkah insiatif yang sangat baik menggunakan informasi yang diperoleh dari EMA. Beberapa fokus lingkungan seperti, produk “hijau”, desain produk yang menggunakan bahan ramah lingkungan. Selain itu EMA sering digunakan untuk pelaporan eksternal.

Jadi, EMA lebih dari sekedar alat pengelolaan lingkungan saja, tetapi EMA bisa menjadi sekumpulan prinsip dan pendekatan yang menyediakan data penting untuk keberhasilan banyak kegiatan pengelolaan lingkungan perusahaan. Dan sejak keputusan mengenai kegiatan lingkungan dipengaruhi isu lingkungan, dengan adanya EMA setiap keputusan mengenai kegiatan lingkungan dapat diambil secara objektif.

2.4.2 Manfaat Penggunaan EMA

Beberapa manfaat dari penggunaan EMA antara lain: (Savage, 2014)

Manfaat dari EMA untuk Perusahaan adalah sebagai berikut:

Perusahaan mampu untuk lebih akurat melacak dan mengelola penggunaan aliran energi dan material, termasuk volume polusi/limbah, jenis, dan nasib

Perusahaan juga dapat mengidentifikasi, mengestimasi, mengalokasikan, dan mengelola/mengurangi biaya, terutama biaya yang terkait lingkungan

Perusahaan dapat hasil informasi yang lebih akurat dan komprehensif untuk pengukuran dan pelaporan kinerja lingkungan, sehingga citra perusahaan meningkat dengan para pemangku kepentingan seperti pelanggan, masyarakat setempat, karyawan, pemerintah, dan penyedia dana investasi.

Manfaat bagi Pemerintah ketika Perusahaan menerapkan EMA

Semakin banyak industri yang dapat mengaplikasikan program lingkungan atas dasar hukum dan peraturan yang sudah diatur oleh pemerintah

Pelaksanaan EMA oleh industri harus meningkatkan efektivitas kebijakan pemerintah/peraturan yang berlaku dengan cara perusahaan mengungkapkan biaya lingkungan dan manfaat yang dihasilkan dari kebijakan-kebijakan/peraturan tersebut.

Pemerintah dapat menggunakan perusahaan yang sudah menerapkan EMA untuk dijadikan tolok ukur performa kinerja perusahaan terhadap lingkungan serta penyusunan regulasi bagi pemerintah.

Selain setiap manfaat menurut Savage (2014), ada pula beberapa kegunaan dan manfaat dari EMA menurut IFAC (2005). Beberapa kegunaan tersebut ditampilkan dalam tabel sebagai berikut:

Tabel 1. Manfaat EMA Menurut IFAC (2005)

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


Sumber: International Federation of Accountants (2005)

2.5 Framework Environmental Management Accounting

Rerangka EMA berhubungan dengan dua komponen utama manajemen lingkungan yaitu: monetary environmental management accounting (MEMA) dan physical environmental management accounting (PEMA) (Burritt, Hahn, & Schaltegger, 2002). MEMA digunakan untuk menangani seluruh prosedur dan peralatan dari manajemen lingkungan internal yang dalam hal ini lingkungan diukur dampaknya terhadap kinerja keuangan dalam satuan unit moneter. Sedangkan PEMA digunakan untuk menangani seluruh prosedur dan peralatan dari manajemen lingkungan internal yang dalam hal ini lingkungan diukur dengan untuk fisik.

Berikut rerangka EMA yang dibedakan menjadi MEMA dan PEMA dan perbedaan EMA dengan Environmental Accountin (Burritt, Hahn, & Schaltegger, 2002):

Tabel 2. Perbedaan MEMA dengan PEMA

 

Sumber: (Burritt, Hahn, & Schaltegger, 2002)

Namun, selain dibedakan menjadi PEMA dan MEMA saja, EMA masih memiliki rerangka lain yang mencakup dimensi yang lebih luas. Ada lima dimensi yang membentuk multi-dimensi EMA (Johnson, 2004) yaitu:

internal versus external

physical versus monetary classifications 

past and future timeframes

short and long terms and 

ad hoc versus routine information gathering in the proposed framework for the application of EMA.

Berikut tabel yang menggambarkan multi-dimensi EMA:

Tabel 3. Multi-dimensi EMA

Sumber: (Johnson, 2004)

2.6 Environmental Management Plans (EMP)

Environmental Management Plans (EMP) adalah alat yang menjelaskan secara terperinci mengenai, apa, siapa, dimana, dan kapan manajemen lingkungan dan pengukuran akan diterapkan (Department of Infrastructur, 2004). EMP adalah suatu sistem perencanaan manajemen lingkungan yang diterapkan di Australia. Setiap perusahaan wajib menyusun EMP dengan sangat baik sehingga setiap keberlangsungan manajemen lingkungan dapat terpenuhi dengan baik. Demikian pula sebelum peneliti melihat implementasi EMA dalam perusahaan X, diharapkan dapat disusun EMP yang digunakan untuk mendapatkan hasil EMA yang maksimal. Terlampir daftar pertanyaan yang digunakan untuk menyusun EMP.

2.7 Perhitungan EMA berdasarkan Environmental Accounting Guidelines Japan 2005

Setelah disusun EMP, dengan mengetahui setiap rencana yang akan dilakukan untuk manajemen lingkungan, langkah selanjutnya adalah melakukan perhitungan EMA berdasarkan Environmental Accounting Guidelines Japan.

2.7.1 Klasifikasi Biaya Konservasi Lingkungan

Sebelum mempelajari cara perhitungan, terlebih dahulu setiap biaya yang berhubungan dengan konservasi lingkungan akan diklasifikasikan. Dalam hal ini, biaya dikategorikan berdasarkan aktivitas konservasi. Ada enam jenis biaya antara lain: (Japanese Ministry of the Environment, 2005)

Business Area Cost

Biaya ini digunakan untuk aktivitas pengurangan dampak lingkungan yang mungkin terjadi ketika bisnis dijalankan. Dalam hal ini, perusahaan memiliki hak untuk mengatur secara langsung dampak yang terjadi atas lingkungan di area perusahaan. Selanjutnya, biaya akan dibagi menjadi tiga lagi yaitu:

Pollution Prevention Cost

Biaya ini dibentuk sebagai wujud usaha perusahaan mengurangi dampak lingkungan seperti penerapan fasilitas yang difungsikan sebagai tindakan pencegahan dan pengurangan polusi udara. Berikut klasifikasi bentuk Pollution Prevention Cost:

1) Cost for preventing air pollution (including acid rain)

2) Cost for preventing water pollution

3) Cost for preventing ground contamination

4) Cost for preventing noise pollution

5) Cost for preventing vibration pollution

6) Cost for preventing odor pollution

7) Cost for preventing ground sinkage

8) Cost for preventing other types of pollution

Global Environmental Conservation Cost

Biaya konservasi lingkungan global adalah biaya-biaya yang terkait dengan dampak negatif lingkungan terhadap lingkungan global, yang dihasilkan dari aktivitas manusia. Biaya ini dibagi menjadi tiga kategori antara lain:

1) Cost for preventing global warming and energy conservation

2) Cost for preventing the ozone depletion

3) Cost for other global environmental conservation activities

Resourece Circulation Cost

Biaya ini didefinisikan sebagai biaya yang dikeluarkan yang digunakan untuk biaya biaya berkelanjutan. Upaya sirkulasi sumber daya termasuk penertiban pembuangan sampah, pemanfaatan siklus sumber daya bisa digunakan terlepas dari nilai pasar (daur ulang, daur ulang termal), dan pembuangan limbah yang tidak disirkulasikan. Biaya ini dibagi lagi menjadi enam jenis yaitu:

1) Cost for the efficient utilization of resources

2) Cost for recycling industrial waste 

3) Cost for recycling municipal waste 

4) Cost for disposal of industrial

5) Cost for disposal of municipal waste

6) Cost contributing to resource circulation

Upstream/Downstream Cost

Biaya upstream merupakan biaya yang digunakan sebagai upaya untuk mengurangi dampak lingkungan yang dibuat sebelum terjadi input barang dan jasa ke daerah-daerah bisnis, serta biaya yang terkait dengan upaya-upaya tersebut. Sedangkan biaya downstream merupakan biaya yang digunakan sebagai upaya untuk mengurangi dampak lingkungan yang dibuat setelah barang dan jasa telah dikeuarkan dari bidang bisnis, serta biaya yang terkait dengan upaya-upaya tersebut. Berikut adalah gambar yang menjelaskan mengenai biaya upstream/downstream

Gambar 1. Diagram Alir biaya upstream/downstream

Sumber: (Department of Infrastructur, 2004)

Administration Cost

Biaya administrasi adalah biaya yang digunakan untuk kegiatan pengelolaan yang dilakukan oleh perusahaan dan organisasi lain untuk kegiatan konservasi lingkungan. Jenis biaya ini termasuk usaha yang secara tidak langsung berkontribusi untuk mengurangi dampak lingkungan yang dihasilkan melalui kegiatan bisnis, dan biaya yang dilakukan sebagai upaya terjadinya komunikasi antara masyarakat dengan perusahaan dan organisasi lain seperti untuk pengungkapan informasi lingkungan. Biaya ini dibagi menjadi lima yaitu:

Cost for the implementation and maintenance of an environmental management system

Cost for disclosure of environmental information associated with business activities and environmental advertising

Cost for monitoring environmental impact

Cost for environmental training of employees

Cost for environmental improvement activities, such as nature conservation, greening, beautification, and landscape preservation, at or in the vicinity of the business site

Research and Development Cost

Biaya ini merupakan pengeluaran untuk kegiatan penelitian dan pengembangan yang dialokasikan untuk konservasi lingkungan. Ada tiga jenis biaya R&D antara lain:

R&D cost to develop products that contribute to environmental conservation

R&D cost to curtail environmental impact at the product manufacturing stage

Other R&D cost associated to the curtailment of environmental impact at the distribution stage or the marketing stage of products

Social Activity Cost

Biaya kegiatan sosial adalah biaya yang berkaitan dengan konservasi lingkungan yang dilakukan untuk kebaikan berbagai kalangan masyarakat. Hal ini dianggap sebagai upaya konservasi lingkungan yang terdiri dari kegiatan sosial tanpa hubungan langsung dengan kegiatan dari perusahaan atau organisasi lainnya. Ada tiga jenis biaya ini antara lain:

Cost for environmental improvement activities, including nature conservation, planting of greenery, beautification and landscape preservation, with the exception of the business site 

Cost related to donation or financial support of environmental groups

Cost associated with various social activities, such as the financial support of a local community’s environmental conservation activities and the disclosure of information to the local community

Environmental Remediation Cost

Biaya Perbaikan lingkungan dialokasikan untuk pemulihan dari kerusakan lingkungan akibat kegiatan usaha. Biaya ini terdiri dari tiga jenis yaitu:

Cost to restore the natural environment back to its original state

Cost to cover degradation suits connected with environmental conservation

Provisions or insurance fees to cover degradation to the environment

2.7.2 Metoda Pehitungan Biaya Konservasi Lingkungan

Berikut beberapa metoda yang digunakan untuk perhitungan biaya konservasi lingkungan (Japanese Ministry of the Environment, 2005):

Biaya diklasifikasikan sebagai biaya langsung

Biaya diklasifikasikan sebagai biaya langsung selanjutnya digabungkan sebagai biaya konservasi lingkungan.

Biaya Kompleks

Aggregating the difference

Penggabungan biaya selain dari biaya observasi lingkungan yang sudah dibebankan sebelumnya

Cost Allocation

Dalam keadaan di mana jumlah barang dan jasa yang diperlukan sebagai dasar untuk perbandingan dalam perbedaan agregasi tidak dapat dipastikan secara jelas, metode agregasi alokasi, berdasarkan standar yang tetap, dapat digunakan untuk acuan.

Rational Cost Aggregation

Dalam keadaan dimana perbedaan agregasi tidak dapat digunakan, alokasi agregasi harus dilakukan sesuai dengan metode proporsi wajar ditentukan berdasarkan tujuan pengeluaran. Metode yang wajar harus ditentukan dengan mempertimbangkan isi dari subyek kegiatan konservasi lingkungan, karakteristik biaya konservasi lingkungan, jenis dampak lingkungan, dan lain sebagainya.

Allocation Based in Simple Methods

Ketika perbedaan agregasi maupun alokasi agregasi berdasarkan metode yang wajar tidak dapat digunakan, alokasi agregasi harus dilakukan melalui penentuan tingkat alokasi biaya sederhana. Metode sederhana ditetapkan berdasarkan asumsi korelasi, dan oleh karena itu konten utama dari standar dan tempat dari asumsi yang dibuat harus dicatat.

Aplikasi dan Implikasi dalam Bisnis:  Tujuan EMA dan Manfaat bagi Industri

Tujuan dari EMA adalah untuk meningkatkan jumlah informasi relevan yang dibuat bagi mereka yang memerlukan atau dapat menggunakannya. Keberhasilan EMA tidak hanya tergantung pada ketepatan dalam menggolongkan semua biaya-biaya yang dibuat perusahaan. Akan tetapi kemampuan dan keakuratan data akuntansi perusahaan dalam menekan dampak lingkungan yang ditimbulkan dari aktifitas perusahaan.

Tujuan lain dari pentingnya pengungkapan akuntansi lingkungan berkaitan dengan kegiatan-kegiatan konservasi lingkungan oleh perusahaan maupun organisasi lainnya yaitu mencakup kepentingan organisasi publik dan perusahaan-perusahaan publik yang bersifat lokal. Pengungkapan ini penting terutama bagi para stakeholders untuk dipahami, dievaluasi, dan dianalisis sehingga dapat memberi dukungan bagi usaha mereka. Oleh karena itu, akuntansi lingkungan selanjutnya menjadi bagian dari suatu sistem sosial perusahaan.

Biaya yang terkait dengan pengelolaan lingkungan sangat banyak sehingga harus diperhitungkan dengan benar agar tidak terjadi kesalahan dalam pengambilan keputusan. Biaya yang terkait umumnya meliputi biaya pengelolaan limbah, biaya material dan energi, biaya pembelian material dan energi, serta biaya proses.

Berikut ini merupakan hal – hal mengapa EMA bermanfaat bagi industri.

1. Kemampuan secara akurat meneliti dan mengatur penggunaan bahan-bahan, termasuk polusi / sisa volume, jenis-jenis lain dan sebagainya.

2. Kemampuan mengidentifikasi, mengestimasi, mengalokasikan, mengatur atau mengurangi biaya-biaya, khususnya biaya yang berhubungan dengan lingkungan.

3. Informasi yang lebih akurat dan lebih menyeluruh dalam mendukung penetapan dari dan keikutsertaan di dalam program-program sukarela, penghematan biaya untuk memperbaiki kinerja lingkungan.

4. Informasi yang menyeluruh untuk mengukur dan melaporkan kinerja lingkungan, seperti meningkatkan citra perusahaan pada stakeholder, pelanggan, masyarakat lokal, karyawan, pemerintah, dan penyedia keuangan.

2.3 Strategi Bisnis

Anthony (1965) mengungkapkan bahwa penerapan EMA dalam suatu organisasi kemungkinan akan dipengaruhi oleh strategi bisnis. Sistem pengendalian manajemen (SPM) memastikan bahwa manajer menggunakan sumber daya yang tersedia efektif dan efisien dalam mencapai tujuan organisasi.

Miles & Snow (1978) dalam Ferreira et al., (2009) membagi empat tipologi strategi perusahaan, yaitu prospector, defender, analyzer dan reaction. Prospector merupakan strategi yang mengidentifikasi dan mengembangkan produk baru serta memanfaatkan peluang pasar, sedangkan defender adalah strategi yang cenderung mempertahankan pasar yang telah dicapai dan produk yang stabil dengan harga yang murah (low cost leadership).

Gosselin (1997) dalam Ferreira (2009) menemukan bahwa strategi prospektor dikaitkan dengan penerapan kegiatan manajemen. Disimpulkan bahwa jenis strategi yang diikuti oleh organisasi menentukan kebutuhan inovasi berkaitan dengan kegiatan pengelolaan dan mengamati bahwa organisasi yang mengejar strategi prospektor cenderung mengadopsi akuntansi inovasi. Tahap awal relatif adopsi dan implementasi EMA dan fakta bahwa itu adalah fenomena baru yang cukup, mendukung pandangan EMA sebagai contoh inovasi akuntansi.

Menurut Gosselin (1997) dalam Ferreira et al., (2009) penggunaan EMA kemungkinan lebih besar dalam organisasi melakukan strategi prospektor karena dapat membantu mereka dengan tujuan mereka yang inovatif. Keberhasilan di dalam menghubungkan manajemen biaya stratejik terhadap akuntansi lingkungan akan bergantung pada setidaknya lima faktor berikut.

1. Motivasi untuk perlindungan lingkungan dan atau inisiatif pencegahan polusi

2. Sebuah prosedur sistematis untuk pengidentifikasian biaya.

3. Dapat dicapai tetapi menuntut tujuan dan sasaran.

4. Integrasi dari berbagai strategi perusahaan pada organisasi secara keseluruhan.

5. Sistem pelaporan menyediakan sebuah pengawasan dan koreksi sistem umpan balik untuk strategi

Sejak tahun 1970, tekanan undang-undang lingkungan terus meningkat dan secara luas berdampak terhadap biaya-biaya yang melekat pada regulasi. Pada tahun 1990, perusahaan terus meningkatkan temuannya dalam beberapa hal yang dapat menciptakan nilai untuk para pemegang saham dan pelangan mereka dengan cara memenuhi regulasi yang ada. Isu-isu lingkungan secara langsung maupun tidak, telah masuk dalam performa ekonomi suatu kegiatan maupun organisasi.

2.4 Biaya Lingkungan

Ketidaktepatan alokasi biaya lingkungan sebagai biaya tetap menyebabkan biaya lingkungan tersembunyi dalam biaya umum pada saat diperlukan. Hal ini akan menjadi sulit untuk menelusuri biaya sebenarnya dari proses, produk atau lini produksi tertentu. Jika biaya umum dianggap tetap, biaya limbah sesungguhnya merupakan biaya variabel yang mengikuti volume limbah yang dihasilkan berbanding lurus dengan tingkat produksi.

Perusahaan dapat menghitung biaya limbah sebagai biaya pengolahan ditambah biaya pembelian bahan baku. Sehingga biaya limbah yang dikeluarkan lebih besar daripada biaya yang selama ini diperhitungkan. Dan dapat meminimalisirkan pemakaian bahan agar tidak terbuang percuma dan akhirnya menjadi limbah.

Perusahaaan bisa meminimalisirkan dengan biaya yang diperkecil. Biaya lingkungan dalam perusahaan sangat perlu diperhatikan untuk meminimalisirkan permasalahan lingkungan yang berakibat juga terhadap perusahaan. Biaya lingkungan berhubungan dengan kreasi, deteksi, perbaikan, dan pencegahan degradasi lingkungan. Dengan definisi ini, biaya lingkungan dapat diklasifikasikan menjadi empat kategori.

1. Biaya pencegahan (prevention cost)

Biaya - biaya untuk aktivitas yang dilakukan untuk mencegah diproduksinya limbah atau sampah yang dapat menyebabkan kerusakan lingkungan. Contoh-contoh aktivitas pencegahan adalah evaluasi dan pemilihan pemasok, evaluasi dan pemilihan alat untuk mengendalikan polusi, desain proses dan produk untuk mengurangi atau menghapus limbah, melatih pegawai, mempelajari dampak lingkungan, pelaksanaan penelitian lingkungan, pengembangan sistem manajemen lingkungan, daur ulang produk, dan pemerolehan sertifikasi ISO 14001.

2. Biaya deteksi lingkungan (environmental detection cost)

 

Biaya - biaya untuk aktivitas yang dilakukan untuk menentukan apakah produk, proses dan aktivitas lainnya di perusahaan telah memenuhi standar lingkungan yang berlaku atau tidak. Standar lingkungan dan prosedur yang diikuti oleh perusahaan didefinisikan dalam tiga cara yaitu peratuan pemerintah, standar sukarela (ISO 14001) yang dikembangkan oleh International Standards Organization, dan kebijakan lingkungan yang dikembangkan oleh manajemen. Contoh-contoh aktivitas deteksi adalah audit aktivitas lingkungan, pemeriksaan produk dan proses agar ramah lingkungan, pengembangan ukuran kinerja lingkngan,pelaksanaan pengujian pencemaran, verifikasi kinerja lingkungan dari pemasok, dan pengukuran tingkat pencemaran.

3. Biaya kegagalan internal lingkungan (environmental internal failure cost)

Biaya - biaya untuk aktivitas yang dilakukan karena diproduksinya limbah dan sampah, tetapi tidak dibuang ke lingkungan luar. Jadi, biaya kegagalan internal terjadi untuk menghilangkan dan mengolah limbah dan sampah ketika diproduksi. Aktivitas kegagalan internal bertujuan untuk memastikan bahwa limbah dan sampah yang diproduksi tidak dibuang ke lingkungan luar dan untuk mengurangi tingkat limbah yang dibuang sehingga jumlahnya tidak melewati standar lingkungan. Aktivitas kegagalan internal misalnya pengoperasian peralatan untuk mengurangi atau menghilangkan polusi, pengolahan dan pmbuangan lmbah beracun, pemeliharaan peralatan polusi, lisensi fasilitas untuk memproduksi limbah, dan daur ulang sisa bahan.

4. Biaya kegagalan eksternal lingkungan (environmental external failure cost)

Biaya untuk aktivitas yang dilakukan setelah melepas limbah atau sampah ke dalam lingkungan.

5. Biaya kegagalan eksternal yang direalisasi (realized external failure cost)

Biaya yang dialami dan dibayar oleh perusahaan. Biaya eksternal yang tidak direalisasikan (unrealized external failure cost) atau biaya social (societal cost), disebabkan oleh perusahaan tetapi dialami dan dibayar oleh pihak- pihak di luar perusahaan. Biaya sosial lebih lanjut dapat diklasifikasikan sebagai biaya yang berasal dari degradasi lingkungan dan biaya yang berhubungan dengan dampak buruk terhadap properti atau kesejahteraan masyarakat.

2.4.1 Membebankan Biaya Lingkungan

Produk dan proses merupakan sumber-sumber biaya lingkungan. Proses yang memproduksi produk dapat menciptakan residu padat, cair, dan gas yang selanjutnya dilepas ke lingkungan. Residu ini memiliki potensi mendegradasi lingkungan. Dengan demikian, residu merupakan penyebab biaya kegagalan lingkungan internal dan eksternal misalnya, investasi pada peralatan untuk mencegah penyebaran residu ke lingkungan dan pembersihan residu setelah memasuki lingkungan. Pengemasan juga merupakan sumber biaya lingkungan.

2.4.2 Biaya Produk Lingkungan

Biaya lingkungan dari proses yang memproduksi, memasarkan, dan mengirimkan produk serta biaya lingkungan pasca pembelian yang disebabkan oleh penggunaan dan pembuangan produk merupakan contoh-contoh biaya produk lingkungan. Pembebanan biaya lingkungan pada produk dapat menghasilkan informasi manajerial yang bermanfaat. Dengan membebankan biaya lingkungan secara tepat, maka akan diketahui apakah suatu produk menguntungkan atau tidak. Jika tidak menguntungkan, produk tersebut dapat dihentikan guna mencapai perbaikan yang signifikan dalam kinerja lingkungan dan efisiensi ekonomi.

2.4.3 Target Costing

Target costing merupakan penentuan biaya yang diharapkan untuk suatu produk berdasarkan harga yang kompetitif sehingga produk tersebut memperoleh laba sesuai yang diharapkan. Perusahaan mempunyai dua pilhan untuk menurunkan biaya sampai pada target biaya yaitu.

1. Mengintegrasikan teknologi manufaktur baru, menggunakan teknik-teknik manajemen biaya yang canggih dan mencari produktivitas yang lebih tinggi melalui perbaikan organisasi dan hubungan tenaga kerja, perusahaan akan dapat menurunkan biaya. Pendekatan ini diimplementasikan dengan menentukan biaya standar (standart costing).

2. Dengan melakukan desain ulang terhadap produk atau jasa, perusahaan dapat menurunkan biaya sampai mencapai level target biaya (target costing). Metode ini lebih umum karena mengakui bahwa keputusan desain mempunyai pengaruh yang besar terhadap total biaya selama siklus hidup produk. Dengan memberi perhatian yang cermat pada desain dimungkinkan untuk menurunkan biaya total secara signifikan.

2.5 Inovasi Perusahaan

Beberapa ahli menyatakan bahwa inovasi merupakan salah satu jaminan untuk perusahaan atau organisasi dalam meningkatkan daya saingnya. Salah satunya Drucker dalam Raka (2011) yang mengatakan bahwa inovasi merupakan sebuah kebutuhan dan harus menjadi sebuah disiplin. Inovasi secara umum merupakan aspek penting dari banyak usaha yang dapat berperan untuk mendapatkan keunggulan kompetitif (Porter, 1985).

Konsep inovasi memunyai sejarah yang panjang dan pengertian yang berbeda-beda, terutama didasarkan pada persaingan antar perusahaan dan strategi yang berbeda yang diterapkan perusahaan itu sendiri. Schumpeter (1949) dalam Hermana menyebutkan bahwa inovasi terdiri dari lima unsur sebagai berikut. 

1. Memperkenalkan produk baru atau perubahan kualitatif pada produk yang sudah ada

2. Memperkenalkan proses baru ke industri

3. Membuka pasar baru

4. Mengembangkan sumber pasokan baru pada bahan baku atau masukan lainnya

5. Perubahan pada organisasi indutri

 

 

Referensi

Arikunto, S. (2002). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: PT. Rineka Cipta.

Burritt, R. L., Hahn, T., & Schaltegger, S. (2002). Towards A Comprehensive Framework For Environmental Management Accounting – Links Between Business Actors And EMA Tools. . Australian Accounting Review, 39-50.

Department of Infrastructur, P. a. (2004, May 28). Guidelines Environmental Management Plans. Retrieved from www.dipnr.nsw.gov.au

IFAC. (2005). International Guidance Document: Environmental Management Accounting. New York: The International Federation of Accountants.

Indriantoro, N., & Supomo, B. (2009). Metodologi Penelitian Bisnis: Untuk Akuntansi dan Manajemen. Yogyakarta: BPFE.

Japanese Ministry of the Environment. (2005, May 28). Environmental Accounting Guidelines. Tokyo. Retrieved from http://www.env.go.jp/en/policy/ssee/eag05.pdf

Johnson, S. (2004, June 1). Environmental Management Accounting.

Salim, A. (2006). Teori dan Paradigma Penelitian Sosial. Yogyakarta: Tiara Wacana.

Savage, D. D. (2014, May 27). Retrieved from Ministry of the Environment Goverment of Japan: http://www.env.go.jp/en/

Solihin, I. (2009). In Corporate social responsibility: from charity to sustainability. Penerbit Salemba Empat.

Sugiyono. (2009). Metoda Penelitian Bisnis. Bandung: Alfabeta.

Tomizawa, R. (2014, May 23). Retrieved from Japan Environmental Management Association for industry: http://www.jemai.or.jp/english/#1

Yin, R. K. (2009). Case Study Research: Design and Methods. London: Sage Publisher.

Andayani, (2003), Tanggung Jawab Lingkungan Dan Informasi Biaya Lingkungan Dalam Pengambilan Keputusan Manajemen, Surabaya : Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Indonesia (Stiesia)

Cahyandito, M.. 2009 . Environmental Management Accounting (EMA) (Akuntansi Manajemen Lingkungan). Bandung : Universitas padjajaran.

Cahyono. 2002. Peran Akuntan Dan Akuntansi Dalam Environmental Management System (Ems). Media Akuntansi Edisi 25 (Mei).

Gale, J.P. & Stokoe. 2001. Environmental cost accounting and business strategy, in chris madu (Ed.). Handbook of environmentally conscious manufacturing. Victoria: Kluwer Academic Publishers.

Ghozali. (2005).”Aplikasi Analisis Multivariate dengan Program SPSS”. Semarang : Badan Penerbitan Universitas Diponegoro.

Ikhsan. 2008. Akuntansi Lingkungan dan Pengungkapannya. Yogyakarta: Graha Ilmu Harahap sofyan syafari. Teori akuntansi. 2009. Jakarta. Penerbit : Raja wali pres Bastian indra.

Ikhsan. 2009. Akuntansi Manajemen Lingkungan . Yogyakarta : Graha Ilmu.

L. Singgih, Pengukuran Dampak Lingkungan Menggunakan Environmental Management Accounting (Ema), Surabaya: Jurnal Ilmiah Jurusan Teknik Industri Institut Teknologi Sepuluh Nopember

Porter, E Michael. 2008. Competitive Advantage (Keunggulan Bersaing ). Dialih bahasakan oleh Saputra Lyndon dan Sigit Suryanto. Tangerang : Karisma Publishing Group.

Sahasrakirana Widya, Evaluasi Peran Akuntansi Lingkungan Untuk Mendukung Keputusan Manajemen Lingkungan Dalam Mencapai Sustainability Perusahaan (Pt Sahabat Mewah Dan Makmur), Jakarta : Jurnal Ilmiah Mahasiswa Universitas Bina Nusantara.

Singgih.Moses L. 2006. Pengukuran dampak lingkungan menggunakan Environmental Management Accounting (EMA). Surabaya: Institut Teknologi Sepuluh Nopember.

Sugiyono, Prof. Dr. (2004). Statistik Nonparametiik Untuk Penelitian. Bandung : Penerbit CV. Alfabeta.

Sugiyono. 2012. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta.

Sundjaja, Ridwan S. Dan Barlian, Inge. 2002. Manajemen keuangan Dua, Edisi Keempat, Literata Lintas Media, Jakarta.

Tanzil. J. 2012. Environmental Management Accounting. Diakses pada tanggal 01 april 2013 dari http://www.jtanzilco.com/main/index.php/mission-and-vision/656 environmentalmanagementaccounting

Robert, D. & Stephanus, D.S. 2014. Penerapan Dan Analisis Pengaruh Environmental Management Accounting (Ema). Proposal Skripsi. Universitas Ma Chung. Malang

Oktiviana, D. & Stephanus, D.S. 2014. Analisis Pengaruh Penerapan Environment Management Accounting Dan Strategi Terhadap Inovasi Perusahaan . Proposal Skripsi. Universitas Ma Chung. Malang

Nugroho, O.C. & Stephanus, D.S. 2014. Studi Empiris Pengaruh Manajemen Laba (Earnings Management), Corporate Governance, Ukuran Perusahaan (Size), Leverage, Dan Profitabilitas Terhadap Pengungkapan Tanggung Jawab Sosial Dan Lingkungan Perusahaan. Proposal Skripsi. Universitas Ma Chung. Malang  

Puspita, M. E. & Stephanus, D.S.  2014.  Pengaruh Pengungkapan Corporate Social Responsibility, Global Reporting Initiatives Dan Iso 26000 Terhadap Nilai Perusahaan Sektor Pertambangan. Proposal Skripsi. Universitas Ma Chung. Malang  

Endiarto, O.T. & Stephanus, D. S. 2014. Analisis Pengaruh Kinerja Lingkungan Terhadap Nilai Perusahaan Yang Terdaftar Di Index Sri Kehati .Proposal Skripsi. Universitas Ma Chung. Malang    

Saputra, N. A. & Stephanus, D.S. 2014. Pengaruh Pengungkapan Corporate Social Resposibility Dan Global Reporting Initiatives Terhadap Nilai Perusahaan Pada Perusahaan Yang Tercatat Di Indeks Sri-Kehati 2010—2012. Skripsi. Universitas Ma Chung. Malang

.


 

SERI #9: AUDIT LINGKUNGAN

 

 

Pengertian Audit Lingkungan

Audit lingkungan merupakan instrumen berharga untuk memverifikasi dan membantu

penyempurnaan kinerja lingkungan Audit perlu dilakukan secara berkala, untuk menentukan apakah sistem yang dilaksanakan sudah sesuai dengan pengaturan yang direncanakan dan telah dijalankan dan dipelihara secara benar, yang pelaksanaannya tergantung dari pentingnya masalah lingkungan bagi kegiatan perusahaan dan hasil audit sebelumnya.

 

Definisi dan Konsep Audit Lingkungan

BerdasarkanKep.Men.LHNo.42Tahun1994:

Suatualatmanajemenyangmeliputievaluasisecarasistematik,terdokumentasi,periodik,danobyektif,tentangbagaimanasuatukinerjaorganisasi,sistemmanajemen,danperalatanyangdigunakan,dengantujuanmemfasilitasikontrolmanajementerhadapupayapengendaliandampaklingkungandanpengkajianpenataankebijaksaaanusahaataukegiatanterhadapperaturanperundang-undangantentangpengelolaanlingkungan

BerdasarkanUUNo.23tahun1997:

Suatuprosesevaluasiyangdilakukanpenanggungjawabusahadanataukegiatanuntukmenilaitingkatketaatanterhadappersyaratanhukumyangberlakudanataukebijaksanaandanstandaryangditetapkanolehpenanggungjawabusahaataukegiatanyangbersangkutan.

Menurut US EPA:

“Audit lingkungan merupakan suatu pemeriksaan yang sistematis,

terdokumentasi, periodic dan obyektif berdasarkan aturan yang tersedia

terhadap fasilitas operasi dan praktek yang berkaitan dengan pentaatan

kebutuhan lingkungan”.

 

Menurut SML ISO/SNI 14010:

“Suatu proses verifikasi tersistemasi dan terdokumentasi untuk memperoleh

dan mengevaluasi bukti secara obyektif untuk menentukan apakah SML

dari organisasi sesuai dengan kriteria audit SML yang dibuat organisasi,

dan untuk mengkomunikasikan hasil proses ini kepada manajemen”.

 

Fungsi Audit Lingkungan

1. Upayapeningkatanpenaatansuatuusahaterhadapperaturanperundang-undanganlingkungan.

2.Dokumensuatuusahatentangpelaksanaanstandaroperasi,prosedurpengelolaan,danpemantauanlingkungantermasuktanggapdarurat

3.Jaminanuntukmenghindariperusakanataukecenderungankerusakanlingkungan

4.BuktikeabsahanprakiraandampakdanpenerapanrekomendasiyangtercantumdalamdokumenAmdal

5.Upayaperbaikanpenggunaansumberdaya

6.Upayauntukmeningkatantindakanyangtelahdilaksanakan/yangperludilaksanakanolehsuatuusahauntukmemenuhikepentinganlingkungan

Manfaat Audit Lingkungan:

1.Mengidentifikasiresikolingkungandanpengelolaannya

2.Menjadidasarbagipelaksanaankebijaksanaanpengelolaanlingkungan

3.Menghindarikerugianfinansial

4.Mencegahtekanansanksihukumterhadapsuatuusaha

5.Membuktikanpelaksanaanpengelolaanlingkungan

6.Meningkatkankepedulianpimpinandanstafterhadapkebijakandantanggungjawablingkungan

7.Mengidentifikasikemungkinanpenghematanbiaya

8.Menyediakaninformasiyangmemadaibagikepentinganusaha

9.Menyediakanlaporanauditlingkungan

Sasaran Audit Lingkungan:

1. Pengembangan kebijakan lingkungan

2.Penaatan terhadap regulasi, lisensi, dan standar

3.Review tentang tindakan manajemen dan operasi perusahaan

4.Meninimisasi resiko lingkungan

5.Efisiensi penggunaan energi dan sumberdaya alam

6.Perbaikan kondisi kesehatan dan keselamatan kerja

7.Pengembangan aktivitas pasca-Amdal

8.Penyediaan informasi untuk asuransi, merger, dan disinvesment

9.Pengembangan citra “Hijau” untuk perusahaan

Ruang Lingkup Audit Lingkungan

1. Membahas sejarah atau rangkaian suatu usaha, rona dan kerusakan lingkungan di tempat usaha tersebut, pengelolaan dan pemantauan yang dilakukan, serta isu lingkungan yang terkait

2.Perubahanronalingkungan

3.Penggunaan input dan sumberdaya alam, proses bahan dasar, bahan jadi, dan limbah, termasuk limbah B3

4.Identifikasi penanganan dan penyimpanan bahan kimia, B3, serta potensi kerusakan yang mungkin timbul

5.Kajian resiko lingkungan

6.Sistem control manajemen, rute pengangkutan bahan dan pembuangan limbah

7.Efektifitas alat pengendalian pencemaran

8. Catatan tentang lisensi pembuangan limbah dan penaatan per-UU

9. Penaatan terhadap hasil dan rekomendasi AMDAL (RPL&RKL)

10. Perencanaan dan prosedur standar operasi keadaan darurat

11. Rencana minimisasi limbah dan pengendalian pencemaran lingkungan

12. Penggunaan energi, air, dan sumberdaya alam lainnya

13. Program daur ulang

14. Peningktan kemampuan sumberdaya manusia dan kepedulian lingkungan

JENIS-JENIS AUDIT LINGKUNGAN:

1. Audit Manajemen Lingkungan

2. Audit Penaatan Lingkungan

3. Audit Fasilitas Teknik

4. Audit Amdal

5. Audit Tanggung jawab

6. Audit Pemasaran Lingkungan

7. Audit Hemat Energi

8. Audit Minimisasi Limbah

9. Audit Lingkungan Komprehensif

KUNCI KEBERHASILAN AUDIT LINGKUNGAN

Audit lingkungan dapat disusun dengan baik bila ada :

1.Dukungan pihak pimpinan

2.Partisipasi banyak pihak

3.Kemandirian dan obyektivitas auditor

4.Kesepakatan tentang tata laksana dan lingkup yang diaudit

METODOLOGI AUDIT LINGKUNGAN

1, Daftar isi (Table of Content)

2.Daftar Uji Sederhana (Checklist)

Carain dipilih jika telah memiliki informasi atau data yang cukup banyak. Informasi parameter yang diaudit diberikan dengan data atau deskriptif. Seluruh anggota tim dimintai pendapatnya dan kemudian dibuat daftar (list).Daftar ini kemudian diuji oleh tim auditor

3.Questionare

Questioner Memberikan arahan dan petunjuk kepada auditor dalam mengidi daftar pertanyaan dan atau cara mengajukan pertanyaanPada metode ini, jawaban pertanyan sudah tersedia. Contoh bentuk jawabab yang disediakan pada metode ini:

1.Jawaban pertanyaan langsung menunjukkan perbedaan secara jelas dalam bentuk: “yes/no/unknown”

2.Jawaban menunjukkan tingkat implementasi:

-No action/not yet been taken

-Action on progress

-Limited presence

-Adequate presence

-Not appleciable

4.Pedoman (Guideline)

5.Sistem Peringkat (Rating System)

PeringkatBentuk dasar: daftar pertanyaan dan pemberian nilai (skor)Contoh:Berdasarkan tingkat nilai implementasi/keberadaan:

-Nilai 5 : telah dilaksanakan semua

-Nilai 1-3 : baru dilaksanakan sebagian

-Nilai 0 : belum dilaksanakan

 

Perbedaan Audit Lingkungan dengan AMDAL

Audit Lingkungan

Amdal

Dibuat untuk kegiatan pembangunan yang sedang berjalan

Dibuat untuk rencana kegiatan pembangunan

Dibuat berkali-kali (periodik)

Dibuat hanya 1 kali

Untuk telaah masalah yang sedang dihadapi (terbatas pada masalah yang dihadapi)

Untuk perkiraan potensi dampak lingkungan secara total

Dilaksanakan berdasarkan Kep.No.42/MENLH/1994 dan format teknis sesuai tujuan audit lingkungan

Dilaksanakan berdasarkan PP 08/ 2001 dan peraturan pelaksanaannya

Sukarela, insentif, dan disentif

Wajib (Mandatory)

Rahasia

Terbuka

KEUNTUNGAN DAN KERUGIAN AUDIT

Program audit dapat bersifat menguntungkan dan merugikan.

Pada sisi yang positif, program audit dapat menghasilkan sejumlah keuntungan yang berarti, termasuk diantaranya :

Menimbulkan pentaatan yang lebih baik; dengan melakukan audit lingkungan maka manajer perusahaan akan menjadi lebih taat akan peraturan dan standar yang berlaku.

Menimbulkan lebih sedikit kejutan; dengan adanya audit lingkungan ini maka segala sesuatu yang ada di lokasi perusahaan terpantau secara baik sehingga jika ada hal yang menyimpang atau kurang tepat dapat diketahui sedini mungkin.

Menimbulkan lebih sedikit denda dan gugatan; dengan adanya program audit maka diharapkan bahwa perusahaan berjalan/ dioperasikan sesuai dengan peraturan dan standar yang berlaku sehingga dapat menghindari denda akibat kelalaian pengoperasian dan gugatan dari pihak yang bersengketa.

Menimbulkan persepsi yang lebih baik kepada masyarakat dan pembuat peraturan; dengan melakukan program audit maka masyarakat akan mengetahui keadaan perusahaan tersebut dan dapat menilainya sehingga dapat menimbulkan persepsi yang lebih baik, khususnya yang berkaitan dengan kesadaran akan lingkungan.

Mengakibatkan penghematan biaya yang potensial; dengan adanya program audit maka dapat diketahui efisiensi pengoperasian perusahaan mulai dari penyimpanan bahan baku sampai dengan penyimpanan barang jadi, sehingga jika terjadi ketidakefisienan dapat segera diketahui dan dicarikan jalan keluarnya, hal ini memungkinkan dilakukan penghematan.

Meningkatkan pengalihan informasi; dengan melakukan audit lingkungan maka informasi tentang kebijakan yang berkaitan dengan peraturan dan standar yang sebelumnya kemungkin belum diketahui dapat segera diperoleh melalui konsultan pelaksana audit.

Meningkatkan kesadaran akan lingkungan; dengan melakukan audit lingkungan maka dapat diketahui secara tepat apakah proses produksi dan limbah yang dihasilkan akan menimbulkan pencemaran lingkungan atau tidak, sehingga hal ini dapat meningktakan kesadaran akan lingkungan bagi pemilik dan karyawan perusahaan tersebut.

Sedangkan kerugiannya adalah :

Hanya memberi gambaran pengamatan yang sepintas dari pengoperasian proyek pada waktu tertentu sehingga tidak dapat menggambarkan atau mewakili pengoperasian yang sebenarnya secara keseluruhan;

Tidak termasuk dalam sistem pengelolaan lingkungan Audit lingkungan masih belum merupakan kewajiban bagi sebuah perusahaan. Audit lingkungan ini hanya merupakan salah satu piranti pemantauan lingkungan dari sebuah kegiatan.

Belum adanya format yang seragam dalam melaksanakan audit dan system penulisan laporan sehingga sulit memperbandingkan antara audit yang satu dengan yang lain;

Karena kurangnya peraturan dan pedoman yang tersedia, audit lingkungan banyak dilakukan berdasarkan kriteria yang subyektif dan lebih banyak dipengaruhi oleh pendapat dari si penyusun berdasarkan pengalamannya;

Hasil dari audit lingkungan dapat digunakan untuk menuntut perusahaan, jika ada issue yang kritis atau meresahkan;

Tanggung jawab terhadap sumber daya untuk menjalankan program; perusahaan yang telah membuat laporan audit lingkungan wajib melaksanakan program yang disarankan di dalamnya;

Selama proses audit kemungkinan terjadi penghentian sementara pengoperasian pabrik; selama proses audit akan dilakukan peninjauan lapangan dan wawancara yang melibatkan segenap pegawai dari perusahaan/pabrik tersebut sehingga akan dapat menyebabkan penghentian proses produksi sementara;

Meningkatkan biaya untuk pengatur; biaya tersebut adalah untuk menjalankan program yang telah disarankan di dalam laporan audit lingkungan;

Meningkatkan tanggung jawab yang salah satunya tidak dapat ditanggapi

oleh rekomendasi audit, termasuk di dalamnya adalah pembayaran modal

yang berarti.

5.4 AUDIT LIMBAH

efinisi dari audit limbah adalah:

“Analisis rinci secara metodologis terhadap proses perusahaan yang bertujuan untuk meminimisasi atau bahkan menghilangkan limbah buangan dari unit proses”.

Aktivitas audit limbah meliputi: pengamatan (obervasi), pengukuran (measuring), perekaman (recording), dan analisis sampel limbah (analyzing). Suatu audit limbah dikatakan baik, jika memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

Mengindentifikasi sumber, kuantitas dan jenis limbah yang dihasilkan

Mengumpulkan seluruh data dari unit proses, produk, bahan baku,

penggunaan air dan timbulan limbah

Menitikberatkan pada efisiensi dan inefisiensi proses

Mengidentifikasi luasan limbah, kehilangan dan masalahnya

Mengidentifikasi konstituen limbah

Menyusun target untuk reduksi limbah

Mendukung pembentukan strategi pengelolaan limbah yang efektif secara

ekonomis

Meningkatkan pemahaman pekerja atas proses produksi dan penghargaan

atas keuntungan dari proses reduksi limbah.

Proses audit adalah proses yang didasarkan pada kejadian pada waktu tertentu (snapshot in time), sehingga merupakan fungsi waktu. Karenanya audit harus dilakukan setiap ada perubahan besar, termasuk:

Perubahan biaya bahan baku

Perubahan peraturan

Perubahan biaya pembuangan limbah

Perubahan proses

Pendekatan proses audit limbah ada enam fase, yaitu:

FASE I : PEMAHAMAN PROSES DALAM PABRIK

Langkah 1: Membuat list unit-unit proses

Langkah 2: Membuat diagram alir proses

FASE II : PEMBATASAN MASUKAN DALAM PROSES

Langkah 3 : Menetapkan penggunaan sumber

Langkah 4 : Menginvestigasi penyimpanan bahan baku dan kehilangan saat

penanganannya.

Langkah 5 : Merekam penggunaan air

Langkah 6 : Menetapkan level penggunaan kembali limbah

FASE III : PEMBATASAN KELUARAN DARI PROSES

Langkah 7 : Mengkuantifikasi keluaran proses

Langkah 8 : Menghitung aliran air limbah

Langkah 9 : Mendokumentasi limbah yang disimpan dan dibuang ke tempat

pembuangan akhir

FASE IV : PENGUASAAN KESETIMBANGAN MASSA

Langkah 10 : Merangkum informasi masukan dan keluaran proses

Langkah 11 : Menurunkan kesetimbangan massa awal untuk unit proses

Langkah 12 : Mengevaluasi ketidakseimbangan massa

Langkah 13 : Menyempurnakan kesetimbangan massa

FASE V : PENGIDENTIFIKASIAN ALTERNATIF REDUKSI LIMBAH

Langkah 14 : Mengkaji cara-cara yang digunakan dalam mereduksi limbah

Langkah 15 : Menargetkan masalah aliran limbah

Langkah 16 : Membuat alternatif reduksi limbah jangka panjang

FASE VI : ANALISIS C/B DAN PELAKSANAAN RENCANA AKSI

Langkah 17 : Melaksanakan analsis cost/benefit untuk pengolahan dan

reduksi limbah

Langkah 18: Melaksanakan rencana implementasi, mengurangi limbah dan

meningkatkan efisiensi produksi.

5.5 AUDIT SISTEM MANAJEMEN LINGKUNGAN

Di dalam ISO 14001, audit SML didefinisikan sebagai

”suatu proses yang tersistemas, independen dan terdokumentasi untuk memperoleh dan mengevaluasi bukti secara obyektif untuk mengevaluasi apakah SML dari organisasi sesuai dengan kriteria audit SML yang dibuat organisasi”

Audit perlu dilakukan secara berkala, untuk menentukan apakah sistem yang dilaksanakan sudah sesuai dengan pengaturan yang direncanakan dan telah dijalankan dan dipelihara secara benar, yang pelaksanaannya tergantung dari pentingnya masalah lingkungan bagi kegiatan perusahaan dan hasil audit sebelumnya

Tujuan audit adalah untuk menentukan apakah SML sesuai dengan pengaturan pengelolaan lingkungan yang sudah dirncanakan dan apakah SML sudah diterapkan secara benar dan dipelihara

Menurut ISO 14001 : 2004 4.5.5, suatu organisasi harus membuat dan memelihara program dan prosedur untuk pelaksanaan audit SML secara berkala, agar dapat:

a. Menentukan apakah SML memenuhi atau tidak memenuhi

Sesuai dengan pengaturan yang direncanakan untuk manajemen lingkungan, termasuk persyaratan yang tertera dalam Standard Internasional ini.

Telah diterapkan dan dipelihara secara baik.

b. memberikan informasi ttg hasil audit kpd pihak manajemen.

Langkah awal dari suatu pelaksanaan audit lingkungan dengan melibatkan seluruh manajemen dan pekerja. Keterlibatan ini bisa terjadi apabila mereka memahami keuntungan yang dapat diperoleh dari:

Penurunan timbulan limbah

Penurunan konsumsi bahan baku

Penurunan biaya pengolahan limbah

Penurunan tingkat pertanggungjawaban

Peningkatan hubungan masyarakat

Peningkatan efisiensi proses sehingga meningkatkan keuntungan perusahaan

Program audit organisasi, termasuk jadwalnya, harus didasarkan pada pentingnya faktor lingkungan pada kegiatan terkait dan hasil audit sebelumnya. Agar dapat lebih memberikan gambaran lengkap, prosedur audit harus meliputi lingkup audit, frekuensi dan metodologi, maupun tanggung jawab dan persyaratan pelaksanaan audit, dan pelaporan hasilnya

Program dan Prosedur Audit sebaiknya mencakup:

Kegiatan dan lingkup yang diperhatikan dalam audit

Frekuensi audit

Metodologi audit dan bagaimana audit dilaksanakan

Tanggung jawab yang dikaitkan dengan pengelolan dan pelaksanaan audit

Komunikasi atas hasil audit

Kewenangan auditor/asesor untuk melaksanakan audit

Lingkup audit sebaiknya dibatasi terhadap persyaratan yang ditentukan oleh SML, dan sebaiknya tidak mencakup kinerja lingkungan itu sendiri Audit SML memberikan potret dalam suatu waktu tertentu tentang keefektifan SML. Proses didesain sedemikian sehingga bukti-bukti kuantitatif atau kualitatif menentukan apakah kriteria audit dipenuhi.

Metode yang dapat dilakukan untuk mengumpulkan bukti adalah sebagai berikut:

Wawancara dengan personil

Pemeriksaan dokumen

Pengamatan kegiatan

Pengamatan kondisi kerja

Data pengujian

Data pemantauan

Rekaman lainnya

 

SIMPULAN

Audit lingkungan adalah salah satu instrumentasi untuk melakukan control terhadap pelaksanaan pengaturan pengelolaan lingkungan yang sudah direncanakan. Untuk menjaga kualitas lingkungan dapat pula melakukan audit limbah dan audit sistem.

 

Pedoman Umum Audit Lingkungan

Keputusan Menter i Negara Lingkungan Hidup No. 4 2 Tahun 1994 Tentang Pedoman Umum Pelaksanaan Audit Lingkungan

Menimbang :

1. bahwa set iap orang yang menjalankan suatu bidang usaha atau kegiatan wajib memelihara kelestar ian kemampuan lingkungan hidup yang serasi dan seimbang untuk menunjang pembangunanyang berkelanjutan;

2. bahwa audit lingkungan sebagai suatu perangkat pengelolaan yang dilakukan secara dasar telah diakui merupakan alat yang efekt if dan sangat bermanfaat bagi suatu usaha atau kegiatan dalam mengelola lingkungan hidup;

3. bahwa audit lingkungan adalah suatu proses untuk melaksanakan kajian secara sistemat ik, terdokumentasi, berkala, dan obyekt if terhadap prosedur dan praktek-praktek dalam pengelolaan lingkungan hidup;

4. bahwa audit lingkungan dapat membantu menemukan upaya penyelesaian yang efekt if tentang masalah lingkungan hidup yang dapat dihadapi suatu usaha atau kegiatan, sehingga dapat meningkatkan kiner ja usaha atau kegiatan yang bersangkutan dalam kaitan dengan pelestarian kemapuan lingkungan;

5. bahwa oleh karena itu dipandang per lu untuk menetapkan suatu pedoman umum tentang pelaksanaan audit lingkungan dengan suatu keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup;

Mengingat :

1. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentauan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara R.I . Nomor 12 Tahun 1982, Tambahan Lembaran Negara R.I . Nomor 3215) ;

2. Peraturan Pemer intah Nomor 51 Tahun 1993 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Lembaran Negara R.I . Nomor 84 Tahun 1993, Tambahan Lembaran Negara R. I . Nomor 3538) ;

3. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 1993 tentang Kedudukan, Tugas Pokok, Fungsi, dan Tata Ker ja Menter i Negara serta Organisasi Staf Menter i Negara;

4. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 96/M Tahun 1993 tentang Pembentukan Kabinet Pembangunan VI ;

MEMUTUSKAN

Menetapkan

KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP TENTANG PEDOMAN UMUM PELAKSANAAN AUDIT LINGKUNGAN

Per tama

Audit Lingkungan merupak suatu kegiatan yang diajurkan untuk dilaksanakan oleh dan merupakan tanggung jawab pihak penanggung jawab usaha atau kegiatan;

Kedua

Audit Lingkungan dapat dilaksanakan sesuai dengan prinsip-prinsip dasar sebagaimana tercantum pada lampiran keputusan ini;

Ketiga

1. Penanggung jawab usaha atau kegiatan dapat member ikan sebagian atau seluruh laporan audit lingkungan kepada Pemer intah, masyarakat umum atau organisasi lainnya dengan tujuan;

2. mempublikasi upaya pengelolaan dan pemantauan lingkungan; untuk itu hasil audit lingkungan dapat dimintakan keabsahannya dar i instansi yang ditugasi mengendalikan dampak lingkungan;

3. pengembagan sistem pengelolaan dan pemantauan lingkungan;

4. meningkatkan kiner ja lingkungan suatu usaha atau kegiatan;

5. tujuan lainnya sebgaimana ditentukan oleh usaha atau kegiatan yang bersangkutan;

Keempat

Keputusan ini mulai ber laku pada tanggal, dan apabila terdapat kekeliruan maka keputusan ini akan dit injau kembali.

Di tetapkan di : Jakar ta

Pada tanggal : 22 Nopember 1994

Menteri Negara Lingkungan Hidup,

ttd.

Sarwono Kusumaatmadja

Lampiran Keputusan Menter i Negara Lingkungan Hidup

No. 4 2 Tahun 1 9 9 4

PRI NSI P-PRI NSI P DAN PEDOMAN UMUM PELAKSANAAN AUDI T

LI NGKUNGAN

A. FUNGSI DAN TUJUAN

Pedoman Umum Pelaksanaan Audit Lingkungan dimaksudkan sebagai acuan untuk melakukan pelaksanaan audit lingkungan bagi suatu usaha atau kegiatan.

Audit lingkungan yang dimaksud dalam keputusan ini dilaksanakan secara sukarela oleh penanggung jawab usaha atau kegiatan dan merupakan alat pengelolaan dan pemantauan lingkungan yang bersifat internal. Dengan adanya pedoman ini, maka pengelolaan dan pemantauan lingkungan suatu usaha atau kegiatan diharapkan dapat dilakukan dengan baik, lebih terarah, efekt if dan efisien.

B. PENDAHULUAN

1. Definisi

Audit Lingkungan adalah suatu atau manajemen yang meliput i evaluasi secara sistematik, terdokumentasi, per iodik dan objekt if tentang bagaimana suatu kiner ja organisasi, sistem manajemen dan peralatan dengan tujuan memfasilitasi kont rol manajemen terhadap pelaksanaan upaya nengendalian dampak lingkungan dan pengkaj ian pentaatan

kebijakan usaha atau kegiatan terhadap peraturan perundang undangan tentang pengelolaan lingkungan.

Audit Lingkungan suatu usaha atau kegiatan merupakan perangkat manajemen yang dilakukan secara internal oleh suatu usaha atau kegiatan sebagai tanggung jawab pengelolaan dan pemantauan lingkungannya. Audit lingkungan bukan merupakan pemer iksaan resmi yang diharuskan oleh suatu peraturan perundang-undangan, melainkan suatu usaha proakt if yang dilaksanakan secara sadar untuk mengindent ifikasi permasalahan lingkungan yang akan t imbul sehingga dapat dilakukan upaya-upaya pencegahannya.

2. Fungsi

Fungsi audit lingkungan adalah sebagai :

(a) Upaya peningkatan pentaatan suatu usaha atau kegiatan terhadap peraturan perundang-undangan lingkungan, misalnya : standar emisi udara, limbah cair , penanganan limbah dan standar operasi lainnya;

(b) Dokumen suatu usaha atau kegiatan tentang pelaksanaan standar operasi, prosedur pengelolaan dan pemantauan lingkungan termasuk rencana tangggap darurat , pemantauan dan pelaporan serta rencana perubahan pada proses dan peraturan;

(c) Jaminan untuk rnenghindari perusakan atau kecenderungan kerusakan lingkungan;

(d) Bukt i keabsahan prakiraan dampak dan penerapan rekomendasi yang tercantum dalam dokurnen AMDAL, yang berguna dalam penyempurnaan proses AMDAL;

(e) Upaya perbaikan penggunaan sumberdaya melalui penghematan penggunaan bagan, minimisasi limbah dan ident ifikasi kemungkinan proses daur ulang;

( f) Upaya untuk meningkatkan tindakan yang telah dilaksanakan atau yang per lu dilaksanakan oleh suatu usaha atau kegiatan untuk memenuhi kepent ingan lingkungan, misalnya pembangunan yang berkelanjutan, proses daur ulang dan efisiensi penggunaan

sumberdaya.

3. Manfaat

Audit Lingkungan bermanfaat untuk:

(a) Mengindent ifikasi r isiko lingkungan;

(b) Menjadi dasar bagi pelaksanaan kebijaksanaan pengelolaan lingkungan atau upaya penyempurnaan rencana yang ada;

(c) Menghindar i kerugian finansial seperti penutupan / pemberhentian suatu usaha atau kegiatan atau pembatasan oleh pemerintah, atau publikasi yang merugikan akibat pengelolaan dan pemantauan lingkungan yang t idak baik;

(d) Mencegah tekanan sanksi hukum terhadap suatu usaha atau kegiatan atau terhadap pimpinannya berdasarkan pada peraturan perundang-undangan yang ber laku;

(e) Membukt ikan pelaksanaan pengelolaan lingkungan apabila dibutuhkan dalam proses pengadilan;

(f) Meningkatkan kepedulian pimpinan/ penanggung jawab dan staf suatu badan usaha atau kegiatan tentang pelaksanaan kegiatannya terhadap kebijakan dan tanggung jawab lingkungan;

(g) Mengident ifikasi kemungkinan penghematan biaya melalui upaya konservasi energi, dan pengurangan, pemakaian ulang dan daur ulang limbah;

(h) Menyediakan laporan audit lingkungan bagi keper luan usaha atau kegiatan yang bersangkutan, atau bagi keper luan kelompok pemerhat i lingkungan, pemer intah, dan media massa;

( i) Menyediakan informasi yang memadai bagi kepent ingan usaha usaha atau kegiatan asuransi, lembaga keuangan, dan

pemegang saham.

C. RUANG LINGKUP

Audit Lingkungan per lu disusun sedemikian rupa, sehingga dapat memberikan informasi mengenai :

1. sejarah atau rangkaian suatu usaha atau kegiatan, rona dan kerusakan lingkungan di tempat usaha atau kegiatan tersebut , pengelolaan dan pemantauan yang dilakukan, ser ta isu lingkungan yang terkait ;

2. perubahan rona lingkungan sejak usaha atau kegiatan tersebut

didirikan sampai waktu terakhir pelaksanaan audit ;

3. penggunaan input dan sumberdaya alam, proses bahan dasar, bahan jadi, dan limbah termasuk limbah B3;

4. identifikasi penanganan dan penyimpanan bahan kimia, B3 ser ta potensi kerusakan yang mungkin t imbul;

5. kaj ian resiko lingkungan;

6. sistem kont rol manajemen, rute pengangkutan bahan dan pembuangan limbah, termasuk fasilitas untuk meminimumkan dampak buangan dan kecelakaan;

7. effekt ifitas alat pengendalian pencemaran seper t i ditunjukkan dalam

laporan inspeksi, perawatan, uj i emisi, uj i rut in, dll;

8. catatan tentang lisensi pembuangan limbah dan pentaatan terhadap peraturan perundang-undangan termasuk standar dan baku mutu lingkungan;

9. pentaatan terhadap hasil dan rekomendasi AMDAL (Rencana Pengelolaan Lingkungan dan Rencana Pemantauan Lingkungan) ;

10. perencanaan dan prosedur standar operasi keadaan darurat ;

11. rencana minimalisasi limbah dan pengendalian pencemaran lingkungan;

12. penggunaan energi, air dan sumberdaya alam lainnya;

13. program daur ulang, konsiderasi product life cycle;

14. peningkatan kemampuan sumberdaya manusia dan kepedulian lingkungan.

Ruang lingkup audit lingkungan sangat luwes, tergantung pada kebutuhan atau kegiatan yang bersangkutan.

D. PRINSIP-PRINSIP DASAR

1. Karakter ist ik dasar

Audit Lingkungan mempunyai cir i khas sebagai berikut:

(a) Metodotogi yang komprehensif;

Audit lingkungan memer lukan tata laksana dan metodologi yang r inci. Audit lingkungan harus dilaksanakan dengan metodologi yang komprehensif dan prosedur yang telah ditentukan, untuk

menjamin pengumpulan data dan informasi yang dibutuhkan serta dokumentasi dan penguj ian informasi tersebut .

Metodologi tersebut harus fleksibel sehingga tim auditor dapat menerapkan teknik- teknik yang tepat . Audit lingkungan harus berpedoman kepada penggunaan rencana yang sistemat ik dan

sesuai dengan prosedur pelaksanaan audit lapangan dan penyusunan laporan.

(b) Konsep pembukt ian dan pengujian;

Konsep pembukt ian dan penguj ian terhadap penyimpangan pengelolaan lingkungan adalah hal yang pokok dalam audit ingkungan. Tim audit harus mengkonfirmasikan semua data

dan informasi yang diperolehnya melalui pemer iksaan lapangan secara langsung.

(c) Pengukuran dan standar yang sesuai;

Penetapan standardan pengukuran ter t iadap kiner ja Hngkungan harus sesuai dengan usaha atau kegiatan dan proses produksi yang diaudit . Audit lingkungan t idak akan berait i kecuali Ha

kiner ja usaha atau kegiatan dapat dibandingkandengan standar yang digunakan

(d) Laporan ter tulis.

Laporan harus mernuat hasH pengamatan dan fakta- iakta penun ser ta dokumentasi terhadap proses produksi. Seluruh data dan basil temuan barus disajikan dengan lekas dan akurat , serta dilandasi dengan bukt’ yang sahib dan terdokumentasi.

2. Kunci keberhasilan

(a) Dukungan pihak pimpinan

Pelaksanaan audit lingkungan harus diawali dengan adanya itikad pimpinan usaha atau kegiatan. Usaha atau kegiatan dan proses audit dapat menjadi sangat kompleks dan pelaksanaan audit lingkungan menjadi t idak efekt if bila t idak ada dukungan yang

kuat dari pimpinan usaha atau kegiatan. Selain itu tim auditor harus pula diber i keleluasan untuk mengkaj i hal-hal yang sensit if dan berpotensi menimbulkan dampak lingkungan.

(b) Keikutser taan semua pihak

Keberhasilan audit lingkungan ditentukan pula oleh keikutser taan dan kerjasama yang baik dar i semua pihak dalam usaha atau kegiatan yang bersangkutan, mengingat kaj ian terhadap kiner ja lingkungan akan meliput i semua aspek dan pelaksanaan tugas secara luas.

(c) Kemandir ian dan obyekt ifitas auditor

Tim audit lingkungan harus mandir i dan t idak ada keterikatan dengan usaha atau kegiatan yang diaudit . Apabila t idak, maka obyekt ifitas dan kredibilitas akan diragukan. Pada umumnya, kemandirian auditor diartikan bahwa tim auditor harus dilaksanakan oleh orang di luar usaha atau kegiatan yang diaudit.

(d) Kesepakatan tentang tata laksana dan lingkup audit Harus ada kesepakatan awal antara pimpinan usaha atau kegiatan dengan tim auditor tentang lingkup audit lingkungan yang akan

dilaksanakan.

E. PEDOMAN UMUM PELAKSANAAN AUDIT LINGKUNGAN

1. Tata Laksana

Pelaksanaan audit lingkungan per lu mengikuti suatu tata laksana audit. Tata laksana audit merupakan suatu rencana yang harus diikut i oleh auditor untuk dapat mencapai tujuan audit yang diharapkan. Dengan mengacu pada tata laksana tersebut maka diharapkan adanya konsistensi dalam pelaksanaan audit dan pelaporan hasil audit. Tata laksana audit sangat beragam dan tergantung pada jenis usah dan karakteristik lingkungan.

Berikut ini adalah beberapa tata laksana audit yang umum dilaksanakan:

(a) Daftar Isian.

Bentuk pelaksanaan audit yang paling sederhana adalah mempergunakan daftar isian dar i laporan yang akan dihasilkan sebagai acuan audit.

(b) Checklist.

Jenis ini merupakan cara yang umum digunakan yaitu dengan mempergunakan daftar yang r inci mengenai isi yang akan diaudit .

(c) Daftar pertanyaan.

Daftar pertanyaan ser ingkali digunakan dalam pelaksanaan audit, dan daftar per tanyaan tersebut harus dijawab secara lengkap oleh auditor . Pada umumnya, auditor telah mempersiapkan format baku untuk melaksanakan audit dan menyusun laporan akhir .

(d) Pedoman. Audit dengan menggunakan pedoman merupakan jenis tata laksanana yang paling rinci.

Pedoman ini memuat instruksi-instruksi dan petunjuk pelaksanaan yang harus dilaksanakan oleh auditor , se ta aspek yang harus ditelit i.

2. Pelaksanaan.

Tahapan pelaksanaan audit lingkungan adalah sebagai ber ikut:

1. Pendahuluan

Penerapan audit lingkungan akan tergantung kepada jenis audit yang dilaksanakan, jenis usaha atau kegiatan dan pelaksanaan oleh tim auditor .

2. Pra-audit

Kegiatan pra-audit merupakan bagian yang pent ing dalam prosedur audit lingkungan. Perencanaan yang baik pada tahap ini akan menentukan keberhasilan pelaksanaan audit dan t indak lanjut audit tersebut.

Informasi yang diper lukan pada tahap ini meliputi informasi rinci mengenai aktifitas di lapangan, status hukum, instruktur organisasi, dan lingkup usaha atau kegiatan yang akan diaudit.

Aktifitas pra-audit juga meliput i pemilihan tata laksana audit, penentuan tim auditor, dan pendanaan pelaksanaan kegiatan audit . Pada saat ini, tujuan dan ruang lingkup audit harus telah disepakati.

3. Kegiatan Lapangan

(1) Per temuan pendahuluan

Tahap awal yang harus dilaksanakan oleh tim audit adalah mengadakan per temuan dengan pimpinan usaha atau kegiatan untuk mengkaj i tujuan audit, tata laksana, dan jadual kegiatan audit .

(2) Pemer ikasaan lapangan

Pemer iksaan di lapangan dilaksanakan setelah pertemuan pendahuluan. Tim audit akan mendapatkan gambaran tentang kegiatan usaha atau kegiatan yang akan menjadi dasar penetapan areal kegiatan yang memerlukan perhatian secara khusus, Dengan melaksanakan pemer iksaan lapangan, tim auditor dapal menemukan hal-hal yang terkait erat dengan kegiatan audit namun belum ter ident ifikasi dalam perencanaan.

(3) Pengumpulan data

Data dan informasi yang dikumpulkan selama audit lingkungan akan mencakup tata laksana audit, dokumentasi yang diberikan oleh pemilik usaha atau kegiatan, catatan dan hasil pengamatan t im auditor , hasil sampling dan pemantauan, foto- foto, rencana, peta, diagram, ker tas ker ja dan hal-hal lain yang berkaitan. Informasi tersebut harus terdokumentasi dengan baik agar mudah ditelusuri kembali. Tujuan utama pengumpulan data adalah untuk menunjang dan merupakan dasar bagi penguj ian temuan audit lingkungan.

(4) Penguj ian;

Pr insip utama audit lingkungan adalah bahwa informasi yang disaj ikan oleh t im audiotor telah diuj i dan dikonfirmasikan. Dokumentasi yang dihasilkan oleh t im

auditor harus menunjang semua pernyataan, atau telah teruj i melalui pengamatan langsung oleh t im auditor. Dalam menguj i hasil temuan audit , tim auditor harus menjamin bahwa dokumen yang dihasilkan merupakan dokumen yang asli dan sah. Oleh karena itu tata laksana

audit harus menentukan t ingkat penguj ian data yang dibutuhkan, atau harus ditentukan oleh t im auditor.

(5) Evaluasi hasil temuan

Hasil temuan audit harus dievaluasi sesuai dengan tujuan audit dan tata laksana yang telah disetujui untuk menjamin bahwa semua isu/masalah telah dikaji. Dokumentasi

penunjang harus dikaj i secara telit i sehingga semua hasil temuan telah ditunjang oleh data dan diuj i secara tepat .

(6) Per temuan akhir

Setelah penelit ian lapangan selesai, tim auditor harus memaparkan hasil temuan pendahuluan dalam suatu per temuan akhir secara resmi. Per temuan ini akan mendiskusikan berbagai hal yang belum terpecahkan atau informasi yang belum tersedia. Tim auditor harus mengkaji

hasil per temuan secara gar is besar dan menentukan waktu penyelesaian laporan ahkir. Seluruh dokumentasi selama penelit ian harus dikembalikan kepada penanggung jawab usaha atau kegiatan.

4. Pasca Audit

Tim auditor akan menyusun laporan ter tulis secara lengkap sebagai hasil pelaksanaan audit lingkungan. Laporan tersebut juga mencakup pemaparan tentang rencana t indak lanjut terhadap isu-isu yang telah diidentifikasi.

F. SIFAT KERAHASIAAN

Laporan hasil audit lingkungan merupakan milik usaha atau kegiatan yang diaudit dan bersifat rahasia. Namun demikian, dunia usaha atau kegiatan sesuai dengan kebebasannya dapat menyampaikan laporan audit lingkungan kepada pemer intah, masyarakat luas atau organisasi lainnya dengan tujuan sebagai ber ikut :

(a) Publikasi terhadap upaya pengelolaan dan pemantauan lingkungan yang telah dilakukan. Pemer intah dapat member ikan ver t ifikasi atas hasil audit ;

(b) Ant isipasi kebutuhan penilaian per ingkat kiner ja usaha atau kegiatan lainnya;

(c) Tujuan lainnya yang ditetapkan oleh usaha atau kegiatan tersebut.

Kebijakan audit lingkungan dalam hal ini t idak membatasi hai-hal sebagai ber ikut :

(a) Hak pemer intah untuk melaksanakan pemer iksanaan secara rut in pada suatu usaha atau kegiatan;

(b) Hak pemer intah untuk melaksanakan pemer iksaan terhadap suatu kegiatan yang dicur igai sebagai kelalaian, penghindaran kewaj iban dan pelanggaran terhadap pentaatan hukum dan peraturan;

c) Hak pemer intah untuk meminta sesuatu informasi khusus sebagai dasar penentuan per ingkat kiner ja lingkungan suatu usaha atau kegiatan pelanggaran terhadap pentaatan hukum dan peraturan:

(d) Tanggung jawab dunia usaha atau kegiatan untuk menyediakan data hasil pengelolaan dan pemantauan kepada pemer intah sesuai ketentuan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982, Peraturan Pemer intah Nomor 51 Tahun 1993 dan peraturan pelaksanaan lainnya

G. PENGAWASAN MUTU HASIL AUDIT

Dalam rangka menjamin bahwa audit lingkungan akan dilaksanakan secara baik dan profesional, maka usaha atau kegiatan atau organisasi (non pemer intah) dianjurkan untuk membuat dan melaksanakan kode et ik ser ta ser t ifikasi auditor lingkungan.

Auditor lingkungan harus mempunyai pendidikan yang sesuai dan memiliki pengalaman profesional untuk dapat melaksanakan tugasnya. Kemampuan yang harus dimiliki oleh t im auditor adalah meliput i pengetahuan tentang :

- Proses, prosedur dan teknis audit

- Karakter ist ik dan analisis tentang sistem manajemen

- Peraturan perundang-undangan dan kebijaksanaan lingkungan

- Sistem dan teknologi pengelolaan lingkungan, kesehatan dan keselamatan ker ja

- Fasilitas usaha atau kegiatan yang akan diaudit

- Potensi dampak lingkungan, kesehatan dan keselamatan ker ja serta resiko bahaya

Auditor juga per lu mendapatkan pelat ihan dan peningkatan kemampuan dalam bidang yang dibutuhkan dalam audit , meliput i:

- Kemampuan berkomunikasi

- Kemampuan perencanaan dan penjadualan ker ja

- Kemampuan untuk menganalisis data dan hasil temuan

- Kemampuan untuk menulis laporan audit

Auditor lingkungan harus ter lat ih secara profesional untuk menjamin ketepatan, konsistensi dan objekt ifitas dalam pelaksanaan audit . Auditor harus mengikut i kode et ik auditor yang ada.

Proposal Program Pelat ihan Pengenalan Inst rumen Ekonomi Untuk Pengendalian Dampak Lingkungan

1. Latar belakang

Sampai saat ini pendekatan dalam menangani masalah lingkungan di Indonesia hampir seluruhnya ber tumpu pada inst rumen legal yang di wujudkan dalam bentuk peraturan perundangan. Kenyataan dibeberapa negara menunjukkan bahwa peraturan perundangan saja t idaklah cukup untuk memaksa para pelaku perusak lingkungan untuk memasukkan biaya lingkungan sebagai bagian dan biaya kegiatannya.

Inst rumen ekonomi atau yang lebih dikenal dengan sistem “ Insensif” akhir-akhir ini berkembang sebagai alternat if ataupun pelengkap pendekatan untuk mencapai tujuan dalam upaya pengendalian dampak lingkungan. Pendekatan ini pada dasarnya ber tumpu pada pr insip menawarkan finansial intensif ataupun disinsent if kepada para pelaku ekonomi untuk membayar bila merusak lingkungan atau menanam modal untuk t idak merusak lingkungan. Dengan demikian, make jelaslah bahwa penerapan inst rumen ini akan sangat membantu dalam penerapan “Polluters Pay Principles” .

Melihat kenyataan ini, maka Bapedal beker jasama dengan German Foundation For Internat ional Development (DSE) bernmaksud mengadakan pelat ihan pengenalan inst rumen ekonomi untuk pengendalian dampak lingkungan.

2. Tujuan

Pelat ihan ini diharapkan dapat membantu para peser ta untuk mengenal sebagai inst rumen ekonomi untuk pengendalian dampak lingkungan. Selain mengenal berbagai inst rumen tersebut , para peser ta juga diharapkan akan memahami persyaratan penggunaan inst rumen ekonomi kelemahan dan keuntungan ser ta pengadminist rasian penggunaan inst rumen ekonomi.

 

 

PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP REPUBLIK INDONESIA NOMOR 03 TAHUN 2013  TENTANG AUDIT LINGKUNGAN HIDUP

 

Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 52 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, perlu menetapkan Peraturan

Menteri Lingkungan Hidup tentang Audit Lingkungan Hidup; Mengingat : Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5059);

MEMUTUSKAN:

Menetapkan : PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP TENTANG AUDIT

LINGKUNGAN HIDUP.

BAB I

KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:

1. Audit Lingkungan Hidup adalah evaluasi yang dilakukan untuk menilai ketaatan penanggung jawab Usaha dan/atau Kegiatan terhadap persyaratan hukum dan kebijakan yang

ditetapkan oleh pemerintah.

2. Usaha dan/atau Kegiatan adalah segala bentuk aktivitas yang dapat menimbulkan perubahan terhadap rona lingkungan hidup serta menyebabkan dampak terhadap lingkungan hidup.

3. Auditor Lingkungan Hidup adalah seseorang yang memiliki

Kompetensi untuk melaksanakan Audit Lingkungan Hidup.

4. Lembaga Penyedia Jasa Audit Lingkungan Hidup adalah badan hukum yang bergerak dalam bidang jasa Audit Lingkungan Hidup.

5. Kegiatan Berisiko Tinggi adalah Usaha dan/atau Kegiatan yang jika terjadi kecelakaan dan/atau keadaan darurat menimbulkan dampak yang besar dan luas terhadap kesehatan manusia dan lingkungan hidup.

6. Dokumen Lingkungan Hidup adalah dokumen yang memuat pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup yang terdiri atas analisis mengenai dampak lingkungan hidup (Amdal), upaya pengelolaan lingkungan hidup dan upaya pemantauan lingkungan hidup (UKL-UPL), surat

pernyataan kesanggupan pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup (SPPL), dokumen pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup (DPPL), studi evaluasi mengenai dampak lingkungan hidup (SEMDAL), studi evaluasi lingkungan hidup (SEL), penyajian informasi

lingkungan (PIL), penyajian evaluasi lingkungan (PEL), dokumen pengelolaan lingkungan hidup (DPL), rencana pengelolaan lingkungan dan rencana pemantauan lingkungan (RKL-RPL), dokumen evaluasi lingkungan hidup (DELH), dokumen pengelolaan lingkungan hidup (DPLH),

dan Audit Lingkungan Hidup.

7. Instansi Lingkungan Hidup Kabupaten/Kota adalah instansi yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup kabupaten/kota.

8. Instansi Lingkungan Hidup Provinsi adalah instansi yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup provinsi.

9. Kompetensi adalah kemampuan personil untuk mengerjakan suatu tugas dan pekerjaan yang dilandasi oleh pengetahuan, keterampilan, dan sikap kerja yang dapat dipertanggungjawabkan.

10. Kriteria Kompetensi adalah suatu rumusan mengenai lingkup kemampuan personil yang dilandasi oleh pengetahuan, keterampilan dan didukung sikap kerja serta penerapannya di tempat kerja yang mengacu pada unjuk kerja yang dipersyaratkan.

11. Lembaga Pelatihan Kompetensi Auditor Lingkungan Hidup, yang selanjutnya disebut LPK Auditor Lingkungan Hidup adalah lembaga yang memiliki sarana dan prasarana bagi

pelatihan dalam Audit Lingkungan Hidup dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh Menteri Lingkungan Hidup.

12. Penilaian Kompetensi adalah kegiatan untuk mengevaluasi tingkat pengetahuan, keterampilan personil, dan sikap kerja yang memenuhi kriteria Kompetensi yang telah ditetapkan.

13. Sertifikat Kompetensi adalah tanda pengakuan Kompetensi seseorang yang memenuhi standar Kompetensi tertentu setelah melalui uji Kompetensi.

14. Pengakuan Penyetaraan adalah pengakuan terhadap kurikulum pelatihan Kompetensi Auditor Lingkungan Hidup atau Sertifikat Kompetensi Auditor Lingkungan Hidup yang berasal dari luar negeri.

15. Lembaga Sertifikasi Kompetensi Auditor Lingkungan Hidup,  yang selanjutnya disebut LSK Auditor Lingkungan Hidup adalah lembaga pelaksana Penilaian Kompetensi dan

pelaksana sertifikasi Kompetensi dalam Audit Lingkungan Hidup.

16. Registrasi Kompetensi adalah rangkaian kegiatan pendaftaran dan dokumentasi terhadap Lembaga Penyedia Jasa Audit Lingkungan Hidup dan LPK Audit Lingkungan

Hidup yang telah memenuhi persyaratan tertentu.

17. Akreditasi adalah penilaian kelayakan lembaga pendidikan dan pelatihan dalam menyelenggarakan program pendidikan dan pelatihan tertentu yang ditetapkan dalam

Surat Keputusan dan Sertifikat Akreditasi oleh instansi pembina.

18. Sistem Manajemen Mutu adalah suatu sistem yang dilaksanakan untuk menjaga kualitas dari suatu pelaksanaan kegiatan yang meliputi perencanaan, seleksi dan penugasan tenaga pelaksana, penerapan prosedur operasional standar, dokumentasi, evaluasi, dan pelaporan.

19. Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup adalah Pegawai Negeri Sipil yang diberi tugas, tanggungjawab, wewenang, dan hak secara penuh oleh pejabat yang berwenang untuk

melaksanakan kegiatan pengawasan lingkungan hidup sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

20. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.

Pasal 2

Peraturan Menteri ini bertujuan memberikan pedoman untuk pelaksanaan:

a. sertifikasi Kompetensi Auditor Lingkungan Hidup; dan

b. Audit Lingkungan Hidup.

Pasal 3

Peraturan Menteri ini mengatur mengenai:

a. Kompetensi Auditor Lingkungan Hidup;

b. tata laksana Audit Lingkungan Hidup;

c. pembinaan dan pengawasan; dan

d. pembiayaan.

Pasal 4

Audit Lingkungan Hidup terdiri atas:

a. Audit Lingkungan Hidup yang bersifat sukarela; dan

b. Audit Lingkungan Hidup yang diwajibkan.

Pasal 5

(1) Audit Lingkungan Hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dilakukan oleh tim Audit Lingkungan Hidup.

(2) Tim Audit Lingkungan Hidup sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) terdiri atas:

a. 1 (satu) orang auditor utama, sebagai ketua tim;

b. paling sedikit 1 (satu) orang Auditor Lingkungan Hidup, sebagai anggota tim; dan

c. ahli yang membidangi Usaha dan/atau Kegiatan yang bersangkutan, sebagai anggota tim.

Pasal 6

Dalam melaksanakan Audit Lingkungan Hidup, tim Audit Lingkungan Hidup wajib menggunakan metodologi:

a. standar nasional indonesia; dan/atau

b. standar/pedoman lain,

berdasarkan tujuan pelaksanaan Audit Lingkungan Hidup.

BAB II

KOMPETENSI AUDITOR LINGKUNGAN HIDUP

Bagian Kesatu

Umum

Pasal 7

(1) Auditor Lingkungan Hidup meliputi:

a. Auditor Lingkungan Hidup perorangan; atau

b. Auditor Lingkungan Hidup yang tergabung dalam lembaga penyedia jasa Audit Lingkungan Hidup.

(2) Kualifikasi Auditor Lingkungan Hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:

a. auditor utama; dan

b. auditor.

(3) Kriteria Kompetensi untuk auditor utama sebagaimana

dimaksud pada ayat (2) huruf a meliputi kemampuan:

a. memahami prinsip, metodologi, dan tata laksana Audit Lingkungan Hidup;

b. melakukan Audit Lingkungan Hidup yang meliputi tahapan perencanaan, pelaksanaan, pengambilan kesimpulan, dan pelaporan;

c. merumuskan rekomendasi langkah perbaikan sebagai tindak lanjut Audit Lingkungan Hidup;

d. menunjuk dan mengoordinasikan kegiatan auditor di bawah tanggungjawabnya sebagai auditor utama;

e. merumuskan kesimpulan Audit Lingkungan Hidup;

f. mengoordinasikan penyusunan dan penyampaian laporan hasil Audit Lingkungan Hidup; dan

g. memenuhi kriteria lain yang ditetapkan oleh LSK Auditor Lingkungan Hidup.

(4) Kriteria Kompetensi untuk auditor sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b meliputi kemampuan:

a. memahami prinsip, metodologi, dan tata laksana Audit Lingkungan Hidup;

b. melakukan Audit Lingkungan Hidup yang meliputi tahapan perencanaan, pelaksanaan, pengambilan kesimpulan, dan pelaporan;

c. merumuskan rekomendasi langkah perbaikan sebagai tindak lanjut Audit Lingkungan Hidup; dan

d. memenuhi kriteria lain yang ditetapkan oleh LSK Auditor Lingkungan Hidup.

Bagian Kedua

Sertifikasi Kompetensi dan Lembaga Sertifikasi Kompetensi Auditor Lingkungan Hidup

Pasal 8

(1) Auditor Lingkungan Hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 wajib memiliki Sertifikat Kompetensi Auditor Lingkungan Hidup.

(2) Untuk memperoleh Sertifikat Kompetensi Auditor Lingkungan Hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1), Auditor Lingkungan Hidup wajib:

a. memenuhi kriteria Kompetensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (3) dan ayat (4);

b. mengikuti dan lulus pelatihan Audit Lingkungan Hidup; dan

c. mengikuti uji Kompetensi yang diselenggarakan oleh LSK Auditor Lingkungan Hidup.

(3) Uji Kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c terdiri atas:

a. penilaian portofolio; dan

b. uji tertulis dan/atau wawancara.

(4) Penilaian portofolio sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a dilakukan terhadap:

a. latar belakang pendidikan;

b. pelatihan di bidang Audit Lingkungan Hidup;

c. pengalaman kerja di bidang lingkungan hidup; dan

d. pengalaman melakukan Audit Lingkungan Hidup.

(5) Uji tertulis dan/atau wawancara sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b dilakukan terhadap penguasaan kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7.

6

Pasal 9

(1) Sertifikat Kompetensi Auditor Lingkungan Hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) diterbitkan oleh LSK Auditor Lingkungan Hidup yang ditunjuk oleh Menteri.

(2) Sertifikat Kompetensi Auditor Lingkungan Hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku selama 3 (tiga) tahun dan dapat diperpanjang.

Pasal 10

(1) LSK Auditor Lingkungan Hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 wajib memiliki:

a. Sistem Manajemen Mutu;

b. penguji atau penilai yang memiliki pengalaman paling sedikit 5 (lima) tahun di bidang Audit Lingkungan Hidup dan/atau 5 (lima) kali melakukan Audit Lingkungan Hidup sebagai auditor utama;

c. sistem informasi publik yang terkait dengan pelaksanaan sertifikasi Kompetensi; dan

d. mekanisme penanganan pengaduan dari pengguna jasa dan publik.

(2) LSK Auditor Lingkungan Hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib melaporkan pelaksanaan sertifikasi Kompetensi kepada Menteri.

Bagian Ketiga

Lembaga Pelatihan Kompetensi Auditor Lingkungan Hidup

Pasal 11

(1) Pelatihan Audit Lingkungan Hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) huruf b dilaksanakan oleh LPK Auditor Lingkungan Hidup.

(2) Setiap LPK Auditor Lingkungan Hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib melakukan Registrasi Kompetensi.

(3) LPK Auditor Lingkungan Hidup mengajukan permohonan registrasi secara tertulis kepada Menteri.

(4) LPK Auditor Lingkungan Hidup yang teregistrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi persyaratan, memiliki:

a. identitas LPK Auditor Lingkungan Hidup;

b. akte pendirian badan hukum;

c. dokumen Sistem Manajemen Mutu;

d. dokumen sertifikat pengelola lembaga pendidikan dan pelatihan;

e. dokumen mengenai pengajar yang kompeten, termasuk pengajar di bidang metodologi dan teknik Audit

Lingkungan Hidup yang berSertifikat Kompetensi dengan kualifikasi auditor utama dan/atau

berpengalaman paling sedikit 3 (tiga) kali melakukan Audit Lingkungan Hidup;

f. dokumen mengenai program pelatihan Kompetensi Auditor Lingkungan Hidup yang menggunakan kurikulum baku yang ditetapkan oleh Menteri;

g. dokumen mengenai sarana dan prasarana pelatihan;  dan

h. dokumen mengenai sistem informasi publik mengenai pelatihan Kompetensi Auditor Lingkungan Hidup.

(5) Tata cara registrasi LPK Auditor Lingkungan Hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan Peraturan Menteri mengenai tata cara Registrasi Kompetensi.

Pasal 12

(1) Dalam hal LPK Auditor Lingkungan Hidup menggunakan kurikulum di luar kurikulum baku sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (4) huruf f, penggunaannya wajib memperoleh penetapan pengakuan penyetaraan dari Menteri.

(2) Menteri dapat mendelegasikan penetapan pengakuan penyetaraan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Pejabat Eselon I yang bertanggungjawab di bidang standardisasi.

Bagian Keempat

Lembaga Penyedia Jasa Audit Lingkungan Hidup

Pasal 13

(1) Setiap lembaga penyedia jasa Audit Lingkungan Hidup wajib melakukan Registrasi Kompetensi.

(2) Lembaga penyedia jasa Audit Lingkungan Hidup mengajukan permohonan registrasi secara tertulis kepada Menteri.

(3) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib dilengkapi dengan persyaratan:

a. identitas pemohon;

b. akte pendirian badan hukum;

c. dokumen Sistem Manajemen Mutu; dan

d. dokumen mengenai tenaga tetap dengan kualifikasi auditor utama.

(4) Menteri melakukan penilaian terhadap permohonan registrasi sesuai dengan peraturan mengenai tata laksana registrasi.

Pasal 14

(1) Menteri menyediakan informasi publik mengenai:

a. tujuan Registrasi Kompetensi lembaga penyedia jasa Audit Lingkungan Hidup dan LPK Auditor Lingkungan Hidup;

b. tata laksana registrasi, penerbitan surat tanda registrasi, dan pemeliharaan registrasi;

c. persyaratan dan prosedur mengikuti Registrasi Kompetensi;

d. daftar registrasi lembaga penyedia jasa Audit Lingkungan Hidup yang meliputi:

1. nomor dan tanggal registrasi;

2. identitas lembaga penyedia jasa;

3. penanggung jawab teknis pelaksanaan Audit Lingkungan Hidup; dan

4. daftar Auditor Lingkungan Hidup yang memiliki Sertifikat Kompetensi dan ditugaskan untuk

melakukan Audit Lingkungan Hidup;

e. daftar registrasi LPK Auditor Lingkungan Hidup yang meliputi:

1. nomor dan tanggal registrasi;

2. identitas LPK Auditor Lingkungan Hidup;

3. penanggung jawab pelatihan Kompetensi Auditor

Lingkungan Hidup; dan 4. daftar pengajar tetap dan tidak tetap; dan

f. daftar pemegang registrasi yang dalam status dibekukan atau dicabut.

(2) LPK Auditor Lingkungan Hidup menyediakan informasi publik mengenai:

a. tujuan pelatihan Kompetensi Auditor Lingkungan Hidup dan kurikulum yang digunakan;

b. daftar pengajar tetap dan tidak tetap;

c. persyaratan dan prosedur mengikuti pelatihan Kompetensi Auditor Lingkungan Hidup;

d. jadwal dan tempat pelaksanaan pelatihan Kompetensi yang disediakan untuk publik; dan

e. daftar pemegang surat tanda tamat pelatihan Kompetensi Auditor Lingkungan Hidup.

(3) LSK Auditor Lingkungan Hidup menyediakan informasi publik mengenai:

a. tujuan sertifikasi Kompetensi Auditor Lingkungan Hidup;

b. sistem Penilaian Kompetensi, penerbitan Sertifikat Kompetensi, dan pemeliharaan sertifikat;

c. persyaratan dan prosedur sertifikasi Kompetensi Auditor Lingkungan Hidup bagi pemohon;

d. jadwal dan tempat pelaksanaan Penilaian Kompetensi yang disediakan untuk pemohon; dan

e. daftar pemegang Sertifikat Kompetensi Auditor Lingkungan Hidup, termasuk masa berlaku sertifikat dan daftar sertifikat yang dalam status dibekukan atau dicabut.

(4) Kementerian Lingkungan Hidup, LPK Auditor Lingkungan Hidup, dan LSK Auditor Lingkungan Hidup wajib melakukan pemutakhiran informasi publik sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (3).

BAB III

TATA LAKSANA AUDIT LINGKUNGAN HIDUP

Bagian Kesatu

Umum

Pasal 15

Tata laksana Audit Lingkungan Hidup yang diatur dalam Peraturan Menteri ini hanya untuk Audit Lingkungan Hidup yang diwajibkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf b.

Pasal 16

(1) Audit Lingkungan Hidup dilakukan terhadap Usaha dan/atau Kegiatan yang memiliki dokumen lingkungan hidup.

(2) Audit Lingkungan Hidup dapat dilakukan terhadap lebih dari 1 (satu) Usaha dan/atau Kegiatan yang berlokasi dalam 1 (satu) kawasan.

Pasal 17

Audit Lingkungan Hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 merupakan audit yang diwajibkan oleh Menteri kepada:

a. Usaha dan/atau Kegiatan tertentu yang berisiko tinggi terhadap lingkungan hidup; dan/atau

b. Usaha dan/atau Kegiatan yang menunjukkan ketidaktaatan terhadap peraturan perundang-undangan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.

Pasal 18

(1) Usaha dan/atau Kegiatan tertentu yang berisiko tinggi terhadap lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 huruf a tercantum dalam Lampiran I yang

merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.

(2) Menteri dapat menetapkan jenis Usaha dan/atau Kegiatan yang berisiko tinggi di luar Lampiran I Peraturan Menteri ini, berdasarkan usulan dari:

a. Komisi Penilai Amdal, untuk Usaha dan/atau Kegiatan yang masih dalam tahap perencanaan; dan/atau

b. Kementerian dan/atau lembaga pemerintah nonkementerian terkait, untuk Usaha dan/atau

Kegiatan yang sudah beroperasi.

(3) Usulan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) didasarkan pada hasil analisis risiko lingkungan hidup sesuai peraturan perundang-undangan.

Pasal 19

Usaha dan/atau Kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 huruf b ditetapkan berdasarkan kriteria:

a. adanya dugaan pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup;

b. pelanggaran tersebut telah terjadi paling sedikit 3 (tiga) kali dan berpotensi tetap terjadi lagi di masa datang; dan

c. belum diketahui sumber dan/atau penyebab ketidaktaatannya.

Pasal 20

Pelaksanaan Audit Lingkungan Hidup tidak membebaskan penanggung jawab Usaha dan/atau Kegiatan dari sanksi hukum sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Bagian Kedua

Dokumen Audit Lingkungan Hidup

Pasal 21

(1) Dokumen Audit Lingkungan Hidup terdiri atas:

a. rencana Audit Lingkungan Hidup; dan

b. laporan hasil Audit Lingkungan Hidup.

(2) Rencana Audit Lingkungan Hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a paling sedikit berisi:

a. identitas pemberi perintah audit dan pihak yang diaudit;

b. tujuan audit;

c. lingkup audit;

d. kriteria audit;

e. identitas dan identifikasi Kompetensi tim audit;

f. pernyataan ketidakberpihakan dan kemandirian tim audit;

g. proses dan metode kerja audit;

h. tata waktu audit keseluruhan;

i. lokasi dan jadwal audit lapangan;

j. wakil dari pihak yang diaudit;

k. kerangka protokol audit;

l. pengumpulan bukti audit; dan

m. kerangka sistematika laporan.

(3) Laporan hasil Audit Lingkungan Hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b paling sedikit berisi:

a. informasi yang meliputi tujuan, lingkup, kriteria, dan proses pelaksanaan audit;

b. temuan audit;

c. kesimpulan audit;

d. rekomendasi audit dan tindak lanjut; dan

e. data dan informasi pendukung yang relevan.

Bagian Ketiga

Penilaian Audit Lingkungan Hidup

Pasal 22

(1) Menteri melakukan penilaian pelaksanaan Audit Lingkungan Hidup.

(2) Penilaian pelaksanaan sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) dilakukan terhadap:

a. usulan jenis Usaha dan/atau Kegiatan berisiko tinggi di luar Lampiran I Peraturan Menteri ini;

b. usulan dilakukannya Audit Lingkungan Hidup yang diwajibkan untuk Usaha dan/atau Kegiatan yang menunjukan ketidaktaatan;

c. rencana Audit Lingkungan Hidup; dan

d. laporan hasil Audit Lingkungan Hidup yang diwajibkan untuk Usaha dan/atau Kegiatan yang menunjukan ketidaktaatan.

(3) untuk melaksanakan penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Menteri membentuk tim evaluasi.

Pasal 23

Tim evaluasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (3) terdiri atas:

a. ketua yang secara ex-officio dijabat oleh Pejabat Eselon I yang bertanggungjawab di bidang kajian dampak lingkungan hidup.

b. sekretaris yang secara ex-officio dijabat oleh pejabat setingkat eselon II yang bertanggungjawab di bidang Audit Lingkungan Hidup.

c. anggota yang terdiri atas unsur:

1. instansi lingkungan hidup Pusat;

2. instansi yang membidangi Usaha dan/atau Kegiatan;

3. ahli di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup khususnya yang berkaitan dengan pelaksanaan hasil Audit Lingkungan Hidup;

4. ahli di bidang Usaha dan/atau Kegiatan yang berkaitan dengan pelaksanaan hasil Audit Lingkungan Hidup;

5. Instansi Lingkungan Hidup Provinsi; dan/atau

6. Instansi Lingkungan Hidup Kabupaten/Kota.

Bagian Keempat

Audit Lingkungan yang Diwajibkan Untuk Usaha dan/atau Kegiatan Tertentu yang Berisiko Tinggi Terhadap Lingkungan Hidup

Pasal 24

(1) Audit Lingkungan Hidup untuk Usaha dan/atau Kegiatan tertentu yang berisiko tinggi terhadap lingkungan hidup dilakukan secara berkala sesuai periode Audit Lingkungan Hidup yang telah ditentukan sebagaimana tercantum dalam Lampiran I Peraturan Menteri ini.

(2) Dalam melaksanakan Audit Lingkungan Hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penanggung jawab Usaha dan/atau Kegiatan menunjuk tim Audit Lingkungan Hidup paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sebelum berakhirnya periode Audit Lingkungan Hidup

yang telah ditentukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

(3) Tim Audit Lingkungan Hidup melalui penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan menyampaikan rencana Audit Lingkungan Hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21

ayat (2) kepada tim evaluasi paling lama 10 (sepuluh) hari kerja sejak tim Audit Lingkungan Hidup ditunjuk.

Pasal 25

(1) Tim evaluasi melakukan penilaian terhadap rencana Audit Lingkungan Hidup.

(2) Penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan kriteria yang ditetapkan oleh tim evaluasi.

(3) Dalam hal terjadi perbaikan terhadap rencana Audit Lingkungan Hidup, tim Audit Lingkungan Hidup menyampaikan perbaikan atas rencana Audit Lingkungan Hidup kepada tim evaluasi.

(4) Penilaian rencana Audit Lingkungan Hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling lama 10 (sepuluh) hari kerja sejak rencana Audit Lingkungan Hidup diterima.

(5) Terhadap rencana audit lingkungan yang telah memenuhi kriteria penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ketua tim evaluasi menerbitkan persetujuan rencana Audit Lingkungan Hidup.

Pasal 26

(1) Tim Audit Lingkungan Hidup melaksanakan Audit Lingkungan Hidup yang diwajibkan secara berkala berdasarkan rencana Audit Lingkungan Hidup yang telah disetujui sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (5).

(2) Audit Lingkungan Hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak diterbitkannya surat persetujuan rencana Audit Lingkungan Hidup bagi Usaha dan/atau Kegiatan bersangkutan.

(3) Berdasarkan pelaksanaan Audit Lingkungan Hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tim Audit Lingkungan Hidup menyusun laporan hasil Audit Lingkungan Hidup.

Pasal 27

(1) Tim Audit Lingkungan Hidup melalui penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan menyerahkan laporan hasil Audit Lingkungan Hidup sebagaimana dimaksud dalam pasal 26 ayat (3) secara tertulis kepada Menteri.

(2) Tim Audit Lingkungan Hidup bertanggungjawab terhadap laporan hasil Audit Lingkungan Hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

(3) Menteri mengumumkan laporan hasil Audit Lingkungan Hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (2) melalui multimedia.

(4) Pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat informasi mengenai:

a. nama Usaha dan/atau Kegiatan;

b. jenis Usaha dan/atau Kegiatan;

c. lokasi Usaha dan/atau Kegiatan;

d. penanggung jawab Usaha dan/atau Kegiatan;

e. tim Audit Lingkungan Hidup beserta nomor Sertifikat Kompetensinya bagi Auditor Lingkungan Hidup dan/atau lembaga penyedia jasa Audit Lingkungan Hidup beserta nomor registrasinya;

f. ruang lingkup Audit Lingkungan Hidup;

g. risiko dan/atau dampak lingkungan dari Usaha dan/atau Kegiatan;

h. rekomendasi Audit Lingkungan Hidup; dan

i. alamat dan/atau lokasi dokumen laporan hasil Audit Lingkungan Hidup yang dapat diakses masyarakat.

(5) Pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan sesuai format sebagaimana tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.

Pasal 28

Tata laksana Audit Lingkungan Hidup untuk Usaha dan/atau Kegiatan tertentu yang berisiko tinggi terhadap lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 sampai dengan

Pasal 27 tercantum dalam bagan alir Lampiran III yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.

Bagian Kelima

Audit Lingkungan Hidup yang diwajibkan untuk Usaha dan/atau Kegiatan yang Menunjukan Ketidaktaatan

Pasal 29

(1) Menteri memerintahkan kepada penanggung jawab Usaha dan/atau Kegiatan untuk melakukan Audit Lingkungan Hidup yang diwajibkan karena menunjukkan ketidaktaatan berdasarkan:

a. hasil pengawasan oleh Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup;

b. usulan dari menteri atau kepala lembaga pemerintah nonkementerian yang membidangi Usaha dan/atau Kegiatan; dan/atau

c. usulan dari gubernur atau bupati/walikota.

(2) Usulan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan huruf c didasarkan atas hasil pengawasan oleh:

a. kementerian dan/atau lembaga pemerintah nonkementerian yang membidangi Usaha dan/atau

Kegiatan;

b. instansi lingkungan hidup provinsi, untuk usulan dari gubernur; dan/atau

c. instansi lingkungan hidup kabupaten/kota, untuk usulan dari bupati/walikota.

(3) Usulan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan kepada Menteri dengan menggunakan format surat usulan sebagaimana dimaksud dalam Lampiran IV yang

merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.

Pasal 30

(1) Berdasarkan usulan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1) huruf b atau huruf c, tim evaluasi melakukan evaluasi paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja, terhitung sejak usulan diterima.

(2) Tim evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyampaikan hasil evaluasi dalam bentuk rekomendasi tertulis kepada Menteri paling lambat 10 (sepuluh) hari

kerja, setelah selesai melaksanakan evaluasi.

(3) Rekomendasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat berupa:

a. kelayakan untuk dikeluarkannya perintah Audit Lingkungan Hidup yang diwajibkan, dilengkapi dengan rancangan lingkup Audit Lingkungan Hidupnya; atau

b. ketidaklayakan untuk dikeluarkan perintah Audit Lingkungan Hidup yang diwajibkan, dilengkapi dengan alasan ketidaklayakan tersebut.

Pasal 31

(1) Berdasarkan rekomendasi tim evaluasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (3), Menteri dapat menyetujui atau menolak usulan perintah Audit Lingkungan Hidup yang diwajibkan.

(2) Apabila Menteri menyetujui usulan perintah Audit Lingkungan Hidup yang diwajibkan, Menteri mengeluarkan surat perintah pelaksanaan Audit Lingkungan Hidup kepada penanggung jawab Usaha dan/atau Kegiatan yang bersangkutan.

(3) Apabila Menteri menolak usulan perintah Audit Lingkungan Hidup yang diwajibkan, Menteri memberikan alasan penolakan tersebut dan memberitahukannya kepada:

a. menteri yang membidangi Usaha dan/atau Kegiatan atau kepala lembaga pemerintah nonkementerian yang membidangi Usaha dan/atau Kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1) huruf b; atau

b. gubernur atau bupati/walikota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1) huruf c.

Pasal 32

(1) Penanggung jawab Usaha dan/atau Kegiatan setelah menerima surat perintah pelaksanaan Audit Lingkungan Hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (2),

harus menunjuk Auditor Lingkungan Hidup dengan persetujuan Menteri, paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak dikeluarkannya surat perintah pelaksanaan Audit Lingkungan Hidup.

(2) Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) terlampaui, Menteri dapat menunjuk Auditor

Lingkungan Hidup untuk melaksanakan Audit Lingkungan Hidup yang diwajibkan.

(3) Tim Audit Lingkungan Hidup menyampaikan rencana Audit Lingkungan Hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2) kepada tim evaluasi paling lama 10

(sepuluh) hari kerja sejak tim Audit Lingkungan Hidup ditunjuk.

Pasal 33

(1) Tim evaluasi melakukan penilaian terhadap rencana Audit Lingkungan Hidup.

(2) Penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan kriteria yang ditetapkan oleh tim evaluasi.

(3) Dalam melakukan penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tim evaluasi dapat menetapkan kebutuhan dilakukan penyaksian oleh tim evaluasi dalam pelaksanaan Audit Lingkungan Hidup.

(4) Dalam hal terjadi perbaikan terhadap rencana audit lingkungan, tim Audit Lingkungan Hidup menyampaikan perbaikan atas rencana Audit Lingkungan Hidup kepada tim evaluasi.

(5) Penilaian rencana Audit Lingkungan Hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling lama 10 (sepuluh) hari kerja sejak rencana Audit Lingkungan Hidup diterima.

(6) Terhadap rencana audit lingkungan yang telah memenuhi kriteria penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ketua tim evaluasi menerbitkan persetujuan rencana Audit Lingkungan Hidup.

Pasal 34

(1) Tim Audit Lingkungan Hidup melakukan Audit Lingkungan Hidup berdasarkan rencana Audit Lingkungan Hidup yang telah disetujui sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (6).

(2) Audit Lingkungan Hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak diterbitkannya surat persetujuan rencana Audit Lingkungan Hidup bagi Usaha dan/atau Kegiatan bersangkutan.

(3) Dalam hal terdapat penyaksi sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 33 ayat (3), penyaksi tidak terlibat dalam

pekerjaan Audit Lingkungan Hidup yang dilakukan oleh

tim Audit Lingkungan Hidup.

(4) Berdasarkan pelaksanaan Audit Lingkungan Hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tim Audit Lingkungan Hidup menyusun laporan hasil Audit Lingkungan Hidup.

Pasal 35

(1) Tim Audit Lingkungan Hidup menyerahkan laporan hasil Audit Lingkungan Hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (4) secara tertulis kepada tim evaluasi.

(2) Tim evaluasi melakukan penilaian terhadap laporan hasil Audit Lingkungan Hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

(3) Penilaian atas laporan hasil Audit Lingkungan Hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan paling lama 10 (sepuluh) hari kerja sejak diterimanya laporan hasil Audit Lingkungan Hidup.

(4) Penilaian laporan hasil Audit Lingkungan Hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berupa:

a. diterima; atau

b. ditolak.

(5) Ketua tim evaluasi menyampaikan penilaian laporan hasil Audit Lingkungan Hidup kepada Menteri.

Pasal 36

(1) Terhadap laporan hasil Audit Lingkungan Hidup yang diterima sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (4) huruf a, Menteri:

a. menerima dan mengesahkan laporan hasil Audit Lingkungan Hidup; dan

b. menetapkan tindak lanjut terhadap hasil Audit Lingkungan Hidup.

(2) Pengesahan dan penetapan tindak lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan dalam bentuk keputusan Menteri.

(3) Pengesahan laporan hasil Audit Lingkungan Hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a berisi pernyataan:

a. taat; atau

b. tidak taat.

(4) Tindak lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf

b berupa:

a. perbaikan kinerja pengelolaan dan pemanatuan lingkungan hidup Usaha dan/atau Kegiatan;

b. perubahan izin lingkungan;

c. pertimbangan dalam penerbitan perpanjangan izin perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup; dan/atau d. penegakan hukum.

Pasal 37

(1) Terhadap laporan hasil Audit Lingkungan Hidup yang ditolak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (4) huruf b, Menteri menetapkan pelaksanaan Audit Lingkungan Hidup kembali terhadap penanggung jawab Usaha dan/atau Kegiatan dengan tim Audit Lingkungan Hidup yang berbeda.

(2) Kriteria penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

a. laporan hasil Audit Lingkungan Hidup tidak disusun sesuai metodologi Audit Lingkungan Hidup dan kaidah penulisan laporan Audit Lingkungan Hidup yang benar;

b. tim Audit Lingkungan Hidup melakukan kesalahan dalam menetapkan ketaatan dan/atau ketidaktaatan terhadap suatu temuan Audit Lingkungan Hidup; dan/atau

c. ditemukan bukti bahwa tim Audit Lingkungan Hidup melaporkan hasil Audit Lingkungan Hidup yang tidak sesuai dengan fakta dan/atau tidak melakukan jaminan mutu dan kendali mutu atas laporan hasil Audit Lingkungan Hidup yang dilaporkannya.

Pasal 38

Menteri mengumumkan pengesahan dan penetapan tindak lanjut hasil Audit Lingkungan Hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 melalui multimedia.

Pasal 39

Tata laksana Audit Lingkungan Hidup bagi Usaha dan/atau Kegiatan yang menunjukkan ketidaktaatan terhadap peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 sampai dengan Pasal 38 tercantum dalam bagan alir Lampiran V yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.

BAB IV

PEMBINAAN DAN PENGAWASAN

Bagian Kesatu

Pembinaan

Pasal 40

(1) Menteri melakukan pembinaan terhadap:

a. pelaksanaan Audit Lingkungan Hidup kepada instansi yang membidangi Usaha dan/atau Kegiatan, gubernur, dan/atau bupati/walikota;

b. LPK Auditor Lingkungan Hidup dan LSK Auditor Lingkungan Hidup.

(2) Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan dalam bentuk peningkatan kapasitas di bidang Audit Lingkungan Hidup dan/atau pelatihan Auditor Lingkungan Hidup.

(3) Dalam melaksanakan pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, Menteri dapat bekerjasama dengan gubernur dan/atau bupati/walikota.

Pasal 41

(1) Menteri, gubernur, dan/atau bupati/walikota melakukan pembinaan kepada:

a. penanggung jawab Usaha dan/atau Kegiatan;

b. lembaga penyedia jasa Auditor Lingkungan Hidup.

(2) Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan dalam bentuk pemberian informasi di bidang Audit Lingkungan Hidup.

(3) Menteri dapat bekerjasama dengan pemerintah daerah provinsi dan/atau pemerintah daerah kabupaten/kota dalam melakukan pembinaan terhadap LPK Auditor Lingkungan Hidup.

(4) Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat

(3) meliputi antara lain:

a. penyediaan informasi yang relevan dan mutakhir kepada lembaga penyedia jasa Audit Lingkungan Hidup, LSK Auditor Lingkungan Hidup, LPK Auditor Lingkungan Hidup dan pengajar;

b. penyediaan panduan teknis yang memuat tatacara dan penjelasan teknis Audit Lingkungan Hidup; dan/atau

c. bimbingan teknis kepada auditor utama, auditor, dan pengajar.

Pasal 42

(1) Instansi yang membidangi Usaha dan/atau Kegiatan melakukan pembinaan teknis pelaksanaan pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup terhadap Usaha dan/atau Kegiatan yang melakukan Audit Lingkungan Hidup.

(2) Pembinaan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan izin Usaha dan/atau Kegiatan yang diterbitkannya.

(3) Pembinaan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam bentuk penetapan norma, standar, prosedur dan/atau kriteria pelaksanaan pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup.

Bagian Kedua

Pengawasan

Pasal 43

(1) Menteri melakukan pengawasan terhadap LPK Auditor Lingkungan Hidup dan LSK Auditor Lingkungan Hidup.

(2) Dalam melaksanakan pengawasan terhadap LPK auditor sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri dapat bekerjasama dengan gubernur dan/atau bupati/walikota.

(3) Menteri, gubernur, atau bupati/walikota melakukan pengawasan terhadap lembaga penyedia jasa Audit Lingkungan Hidup.

(4) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) dilakukan secara berkala dan/atau sewaktuwaktu terhadap lembaga penyedia jasa Audit Lingkungan

Hidup, LPK Auditor Lingkungan Hidup, dan LSK Auditor Lingkungan Hidup.

Pasal 44

(1) Berdasarkan hasil pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43, Menteri berwenang membekukan Registrasi Kompetensi terhadap:

a. LPK Auditor Lingkungan Hidup, yang tidak dapat menjaga pemenuhan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11; atau

b. lembaga penyedia jasa Audit Lingkungan Hidup, yang tidak dapat menjaga pemenuhan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13.

(2) Menteri berwenang mencabut Registrasi Kompetensi lembaga penyedia jasa Audit Lingkungan Hidup dan/atau LPK Auditor Lingkungan Hidup apabila:

a. lembaga penyedia jasa Audit Lingkungan Hidup melakukan penjiplakan dan/atau pemalsuan data hasil Audit Lingkungan Hidup; atau

b. setelah dibekukan dalam waktu paling lama 6 (enam) bulan lembaga penyedia jasa Audit Lingkungan Hidup dan/atau LPK Auditor Lingkungan Hidup tetap tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a atau huruf b.

(3) Pada kondisi pembekuan atau pencabutan Registrasi Kompetensi, LPK Auditor Lingkungan Hidup dilarang melaksanakan pelatihan Kompetensi Auditor Lingkungan Hidup.

(4) Pada kondisi pembekuan atau pencabutan Registrasi Kompetensi, lembaga penyedia jasa Audit Lingkungan Hidup dilarang melaksanakan Audit Lingkungan Hidup.

(5) Menteri menginformasikan kepada publik mengenai pembekuan dan pencabutan Registrasi Kompetensi lembaga penyedia jasa Audit Lingkungan Hidup dan LPK Auditor Lingkungan Hidup.

Pasal 45

(1) LSK Auditor Lingkungan Hidup melakukan pengawasan terhadap Auditor Lingkungan Hidup yang telah memiliki Sertifikat Kompetensi.

(2) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan berdasarkan kriteria pemeliharaan Sertifikat Kompetensi dan mekanisme pengawasan yang ditetapkan oleh LSK Auditor Lingkungan Hidup setelah mendapat persetujuan Menteri.

Pasal 46

(1) Berdasarkan hasil pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45, LSK Auditor Lingkungan Hidup berwenang:

a. membekukan Sertifikat Kompetensi Auditor Lingkungan Hidup apabila pemegang sertifikat tidak memenuhi kriteria pemeliharaan Sertifikat Kompetensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (2); dan

b. mencabut Sertifikat Kompetensi Auditor Lingkungan Hidup apabila pemegang sertifikat melakukan penjiplakan dan/atau pemalsuan data dalam pelaksanaan Audit Lingkungan Hidup.

(2) Pada kondisi pembekuan atau pencabutan Sertifikat Kompetensi, Auditor Lingkungan Hidup dilarang melakukan Audit Lingkungan Hidup.

(3) Tata laksana pembekuan atau pencabutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan sesuai dengan tata laksana pembekuan dan pencabutan Sertifikat Kompetensi Auditor Lingkungan Hidup yang ditetapkan oleh LSK Auditor Lingkungan Hidup setelah mendapat persetujuan Menteri.

(4) LSK Auditor Lingkungan Hidup menginformasikan kepada publik mengenai pembekuan atau pencabutan Sertifikat Kompetensi Auditor Lingkungan Hidup dan melaporkan kepada Menteri paling lama 1 (satu) bulan terhitung sejak pembekuan atau pencabutan Sertifikat Kompetensi Auditor Lingkungan Hidup.

Pasal 47

(1) Menteri, gubernur, dan/atau bupati/walikota melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan tindak lanjut hasil Audit Lingkungan Hidup sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 38.

(2) Pelaksanaan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berkoordinasi dengan instansi yang membidangi Usaha dan/atau Kegiatan.

BAB VII

PEMBIAYAAN

Pasal 48

(1) Biaya pelaksanaan pelatihan Kompetensi dan sertifikasi Kompetensi dibebankan kepada peserta.

(2) Standar biaya sertifikasi Kompetensi ditetapkan oleh LSK Auditor Lingkungan Hidup setelah mendapat pertimbangan dari Menteri.

(3) Biaya Registrasi Kompetensi dibebankan kepada pemohon.

(4) Biaya Registrasi Kompetensi ditetapkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Pasal 49

(1) Biaya pelaksanaan Audit Lingkungan Hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20, Pasal 22, dan Pasal 26 dibebankan kepada penanggung jawab Usaha dan/atau Kegiatan.

(2) Biaya pelaksanaan evaluasi terhadap usulan Audit Lingkungan Hidup yang diwajibkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.

(3) Biaya pelaksanaan penilaian rencana Audit Lingkungan Hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 dan Pasal

33 dibebankan kepada penanggung jawab Usaha dan/atau Kegiatan.

(4) Biaya penerbitan surat persetujuan rencana Audit Lingkungan Hidup, penilaian, dan penyaksian audit, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (5), Pasal 26 ayat (2), Pasal 33 ayat (6), Pasal 34 (2), Pasal 36 ayat (2), dan Pasal 42 ayat (2) dibebankan pada Anggaran

Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

(5) Biaya pengumuman dan publikasi oleh Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat 3 dan Pasal 38 dibebankan kepada penanggung jawab Usaha dan/atau Kegiatan.

(6) Biaya pengumuman ringkasan laporan hasil evaluasi atas hasil Audit Lingkungan Hidup yang diwajibkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1) dibebankan kepada penanggung jawab Usaha dan/atau Kegiatan.

(7) Biaya pembinaan kepada penanggung jawab Usaha dan/atau Kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 dibebankan pada:

a. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah kabupaten/kota, untuk pembinaan yang dilakukan

bupati/walikota;

b. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah provinsi, untuk pembinaan yang dilakukan gubernur; atau

c. APBN untuk pembinaan yang dilakukan Menteri.

(8) Biaya pembinaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 dibebankan pada anggaran instansi yang membidangi Usaha dan/atau Kegiatan.

(9) Biaya pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 dibebankan pada:

a. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah kabupaten/kota, untuk pengawasan yang dilakukan

bupati/walikota;

b. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah provinsi, untuk pengawasan yang dilakukan gubernur; atau

c. APBN untuk pengawasan yang dilakukan Menteri.

Pasal 50

(1) Biaya pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40, Pasal 41, Pasal 43, dan Pasal 47 yang dilaksanakan oleh Menteri dibebankan pada APBN Kementerian Lingkungan Hidup.

(2) Biaya pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41, Pasal 43, dan Pasal 47 yang dilaksanakan oleh gubernur atau bupati/walikota dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.

(3) Biaya pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 dibebankan pada LSK Auditor Lingkungan Hidup.

BAB VIII

KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 51

Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, terhadap Usaha dan/atau Kegiatan yang sedang dilakukan Audit Lingkungan Hidup yang diwajibkan, hasil Audit Lingkungan Hidup dievaluasi sesuai dengan mekanisme Audit Lingkungan Hidup yang diwajibkan karena ketidaktaatan terhadap peraturan perundang-undangan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.

BAB IX

PENUTUP

Pasal 52

Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku:

a. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor: KEP-42/MENLH/XI/1994 tentang Pedoman Umum Pelaksanaan Audit Lingkungan;

b. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 30 Tahun 2001 tentang Pedoman Pelaksanaan Audit Lingkungan Hidup Yang Diwajibkan; dan

c. Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 17 Tahun 2010 tentang Audit Lingkungan Hidup, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 53

Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya  dalam Berita Negara Republik Indonesia.

 

 

Referensi

 

Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 4294 Tahun 1994 Tentang Pedoman Umum Pelaksanaan Audit Lingkungan.

 

Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Republik Indonesia Nomor 03 Tahun 2013 Tentang Audit Lingkungan Hidup

 

 

www.oc.its.ac.id/ambilfile.php?idp=1833. Konsep Audit Lingkungan

Tidak ada komentar: