Komnas HAM Gagal Mediasi Konflik Sumber Air Gemulo
Rabu, 13 Februari 2013 | 12:16 WIB
Sumber mata air Umbulan di Desa Winongan,
Pasuruan, Jawa Timur. TEMPO/Bibin Bintariadi
TEMPO.CO, Malang -
Mediasi antara investor Hotel The Rayja, warga Desa Bulukerto, Malang, dan
Pemerintah Kota Batu yang difasilitasi oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia
(Komnas HAM), Selasa malam, 12 Februari 2013 di Hotel UMM In, Malang, menemui
jalan buntu. "Tak ada kesepakatan soal konflik sumber air Gemulo Bumiaji
Batu," kata komisioner M. Imdadudin Rahmat, Selasa malam.
Masing-masing pihak berkukuh dengan pendirian semula. Investor hotel The Rayja,
PT Panggon Surkaya Sukses Mandiri tetap akan melanjutkan pembangunan hotel.
Mereka berjanji pembangunan tak akan merusak lingkungan dan tidak akan
mencemari sumber air Gemulo. Sedangkan warga menuntut penghentian pembangunan
hotel. Pemerintah Kota Batu diminta untuk membeli atau menukar guling lahan
yang dikuasai investor serta mengubahnya menjadi lahan konservasi.
Pemerintah Kota Batu berjanji terus berkomunikasi dengan semua pihak untuk
menyelesaikan masalah ini. Para pihak juga berjanji tetap menahan diri dan tak
menempuh jalur hukum untuk menyelesaikan konflik. “Semua pihak harus menahan
diri untuk menghindari gejolak sosial,” kata Imdadudin.
Wali Kota Batu Eddy Rumpoko dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Batu tak
hadir dalam pertemuan itu. Di lain pihak, Pemerintah Kota Batu diwakili Kepala
Kantor Pelayanan Perizinan Terpadu, Syamsul Bahri. "Wali Kota sebagai
pengambil keputusan harus datang pada mediasi selanjutnya," ujar
Imdadudin.
Komnas HAM menghadirkan Kepala jurusan Teknik Lingkungan Hidup Institut
Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya, Eddy Soedjono. Pakar memberikan data
pembanding atas hasil penelitian Pusat Penelitian Lingkungan Hidup Universitas
Brawijaya Malang yang dipesan Pemerintah Kota Batu. Eddy menyayangkan jika izin
mendirikan bangunan dikeluarkan di atas kawasan sumber air itu.
"Pemerintah Kota Batu harus bersikap tegas," kata Eddy. Sesuai
Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Batu, kawasan itu merupakan zona permukiman.
Penduduk di sekitar sumber air itu menolak pembangunan. Aspirasi warga, kata
Eddy seharusnya didengar oleh Pemerintah Kota Batu. Ia mendukung usulan warga
mengubah seluruh lahan pembangunan hotel menjadi kawasan konservasi yang tak
bisa dibangun.
EKO WIDIANTO
Okezone.com - Senin, 21 April 2014 -
13:56 wib
Walhi Jatim Soroti Kasus Sengketa Mata Air Gemulo
MALANG - Sidang kasus sumber mata air Gemulo di Pengadilan Negeri
(PN) Malang, diduga tidak dipimpin hakim yang belum memiliki sertifikat
lingkungan.
Hal ini terungkap setelah Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jawa Timur menelusuri
jejak hakim yang menyidangkan perkara ini.
Direktur Walhi Jawa Timur, Ony Mahardika, mengungkapkan, hakim yang bernama
Eddy Parulian Siregar, yang memimpin sidang konflik sumber mata air Gemulo
antara-koordinator warga, Rudy, warga Dusun Cangar, Desa Dulukerto, Kecamatan
Bumiaji, Kota Batu yang digugat oleh pihak The Rayja Resort, patut diduga belum
memiliki sertifikat lingkungan.
Karena itu, Walhi dan MCW yang mendampingi warga selama ini menemui PN malang
untuk menanyakan hal ini. Setelah diteliti, tidak ada hakim ber-sertifikat lingkungan
atas nama hakim tersebut.
"Kita sudah serahkan temuan-temuan kami ke PN Malang," katanya, Senin
(21/4/2014).
Sementara itu Humas PN Malang, Harini, menyatakan akan segera memberitahukan
data dari Walhi dan menanyakan ke Pengadilan Tinggi Jawa Timur yang menunjuk
hakim tersebut. "Kita tidak tahu, kita akan tanyakan nanti," ujar
Harini,
Menurutnya, PN Malang hanya menerima hakim yang ditunjuk PT untuk menyidangkan
perkara ini. PN Malang tidak mempunyai hakim yang bersertifikat lingkungan.
"Namanya diberi ya kita terima saja," ujarnya.
Pada kesempatan yang sama, aktivis Walhi melakukan aksi unjuk rasa di depan
Pengadilan Negeri Malang. Aksi ini bentuk kritikan terhadap lembaga pengadilan
yang dinilai menjadi "rumah yang aman bagi perusak lingkungan".
Pasalnya, ketentuan hakim bersertifikasi lingkungan menunjukkan bahwa lewat
putusan hakim, lewat pengadilan, lingkungan pun dapat ditekuk-tekuk atau
dirusak oleh palu hakim.
Juru bicara aksi, Luthfi J Kurniawan, mengatakan, menurut data Asisten Deputi Urusan
Penegakan Hukum Pidana Lingkungan, Kementerian LH, menyebutkan, dari 2000
hingga 2011, pengadilan telah memutus 33 kasus tindak pidana lingkungan.
"Dari 33 kasus tersebut, 21 kasus di antaranya diputus bebas, 4 kasus
penjara, dan 8 kasus hukuman percobaan," kata Luthfi di sela aksi. (kem)
TRIBUNNEWS.COM,
MALANG- Majelis hakim Pengadilan Negeri
Kota Malang menolak gugatan perdata The Rayja atas koordinator Forum Masyarakat
Peduli Mata Air (FMPMA), H Rudy. Sebaliknya, majelis hakim justru mengabulkan sebagian
gugatan rekovensi (gugatan balik) warga Gemulo.
Dalam amar putusan yang dibacakan
pada Senin (21/7/2014), Ketua Majelis Hakim Bambang H Mulyono SH menolak semua
poin gugatan The Rayja. The Rayja juga dibebani biaya perkara Rp 3.001.000.
Sementara gugatan rekovensi H Rudy dianggap sebagai gugatan pribadi dan bukan
gugatan yang mewakili warga.
Majelis hakim mengabulkan gugatan
ganti rugi yang diajukan H Rudy, sebesar Rp 2.000.000. Sebelumnya H Rudy
mengajukan ganti rugi Rp 2.000.000 per orang, untuk 9.000 warga pengguna mata
air Gemulo. Total ganti rugi yang mencapai Rp 18 miliar tersebut ditolak
majelis hakim.
Mejelis hakim menilai Izin
Mendirikan Bangunan (IMB) melanggar hukum. Salah satunya karena jarak sumber
mata air ke bangunan hanya 150 meter. Padahal jarak minimum seharusnya 200
meter. Karena itu majelis hakim memerintahkan, agar pembangunan The Rayja
dihentikan.
“Jangan mewarisi anak kita dengan
air mata, tetapi wariskanlah mata air,” ucap hakim bersertifikasi lingkungan
ini, menyelingi putusannya.
Putusan majelis hakim disambut
sukacita warga Gemulo. Bahkan mereka sempat bertepuk tangan riuh di dalam ruang
sidang. Ratusan orang warga Gemulo kemudian membacakan doa ucapan syukur di
halaman depan PN Kota Malang.
Sebelumnya warga pengguna mata air
Gemulo di Bumiaji, Kota Batu menggelar aksi penolakan pembangunan The Rayja karena
dianggap akan mematikan mata air tersebut. The Rayja kemudian melaporkan warga,
karena dianggap melakukan perusakan dan menghalangi pembangunan The Rayja.
Dalam gugatan perdata di PN Kota Malang tersebut, The Rayja minta ganti rugi
sebesar Rp 2 miliar.
Kisah Sukses Warga Batu Malang Selamatkan Sumber Mata
Air
Mongabay.co.id July 23, 2014 Tommy Apriando, Yogyakarta
Hari Senin, tanggal 21 Juli 2014
kemarin menjadi hari yang bersejarah bagi masyarakat dari tiga desa yakni Desa
Bulukerto dan Desa Bumiaji, Kecamatan Bumiaji serta desa Sidomulyo, Kecamatan
Batu, Kota Batu, Malang, Jawa Timur. Perjuangan mereka melestarikan sumber mata
air Umbul Gemulo menuai hasil sukses.
Majelis hakim Pengadilan Negeri
Malang dalam sidangnya memutuskan PT. Panggon Sarkarya Sukses Mandiri menyalahi
hukum mendirikan Hotel The Rayja yang mempengaruhi mata air Umbul Gemulo.
Dalam putusannya, Majelis Hakim
menyatakan pembangunan hotel tidak memenuhi syarat perizinan lingkungan karena
rekomendasi IMB (izin mendirikan bangunan) tidak mempertimbangkan UKL/UPL
lingkungan. IMB menjadi cacat hukum karena lokasi pembangunan Hotel The Rayja
berjarak 150 meter dari kawasan konservasi. Akan tetapi Majelis Hakim
menolak mengabulkan pengajuan ganti rugi dari 9000 warga, karena harus diajukan
atas nama individu.
Oleh karena itu, PT. Panggon
Sarkarya Sukses Mandiri diharuskan menghentikan pembangunan Hotel The Rayja dan
harus membayar ganti rugi terhadap penggugat rekonvensi yaitu H. Rudi sebesar
Rp2 juta, serta menghukum Tergugat Rekonvensi membayar biaya perkara sebesar
Rp3 juta + Rp1ribu.
“Ini adalah kemenangan warga yang
selama ini berjuang untuk menyelamatkan sumber mata air. Walaupun kami
dikriminalisasi kami tetap terus berjuang. Putusan ini cambuk buat Pemerintah
Kota Batu yang tidak tanggap dan peduli terhadap kerusakan lingkuungan,
khususnya sumber mata air,” kata H. Rudi kepada Mongabay.
Ke depan, lanjut Rudi, Pemkot Batu
harus selektif memberikan izin pembangunan yang tidak berdampak buruk terhadap
lingkungan dan sosial.
Sebelumnya, pihak Hotel The Rayja
menggugat H. Rudi, perwakilan FMPMA (Forum Masyarakat Peduli Mata Air) karena
dianggap memprovokasi aksi penolakan terhadap pembangunan Hotel The Rayja. Aksi
masyarakat ini ternyata mendapat dukungan Kementrian Lingkungan Hidup,
Ombudsman, dan Komnas HAM yang kesemuanya menyatakan bahwa pembangunan hotel
the Rayja telah melanggar berbagai peraturan dan perundang-undangan.
Lokasi sumber mata air Gemulo yang
debitnya terus menurun. Foto Tommy Apriando
Dukungan tersebut membuat masyarakat
melakukan gugatan balik (rekonvensi) terhadap pihak Hotel The Rayja. Proses
persidangan gugatan balik masyarakat makin menguat dengan penggantian hakim
bersertifikasi lingkungan yang memimpin sidang ini.
Kehadiran hakim bersertifikasi
lingkungan sesuai Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung Nomor 134/KMA/SK/IX/2011
tentang penerbitan Sertifikasi Hakim Lingkungan pada persidangan ini terbukti
menjadi faktor pendukung bagi penegakan hukum pada konflik yang berkaitan
dengan persoalan lingkungan hidup
“Kami sangat senang karena keadilan
dan perlindungan terhadap lingkungan masih bisa diharapkan dan perlindungan
terhadap pejuang lingkungan bener-benar ditegakkan sesuai undang-undang
lingkungan hidup,” kata Ony Mahardika, Direktur Eksekutif WALHI Jawa Timur
kepada Mongabay.
Ony mengatakan pihak pengelola Hotel
The Rayja harus mematui keputusan pengadilan bahwa tidak boleh melanjutkan
pembangunan Hotel. “Selain itu, seluruh warga Jawa Timur jangan pernah takut
untuk memperjuangkan lingkungannya karena dilindungi oleh UUD 1945 dan UU
lingkungan,” katanya.
Ony menambahkan suksesnya perjuangan
masyarakat membuktikan bahwa Pasal 66 UU 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) yang dengan tegas telah menyatakan bahwa “Setiap
orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak
dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata” bisa menjadi
pijakan yang kuat bagi semua orang untuk tidak takut dalam usahanya
memperjuangkan lingkungan hidup.
“Kita patut apresiasi perjuangan
untuk mendapatkan lingkungan hidup yang lestari dan berkelajutan dengan
menjadikan tanggal 21 Juli 2014 sebagai “Hari Pejuang Lingkungan Hidup” sebagai
pengingat bahwa semua pejuang Lingkungan Hidup memiliki perlindungan hukum
dalam memperjuangkan hak-haknya,” pungkas Ony.
Sedangkan Muhnur Satyahaprabu selaku
penasihat hukum warga kepada Mongabay mengatakan mereka siap menghadapi
banding pihak Hotel The Rayja.
Warga Batu Siap Hadapi Banding Pertahankan Mata Air
Umbul Gemulo
Mongabay.co.id - August 22, 2014 Petrus Riski, Surabaya
Mata Air Umbul Gemulo di Kecamatan
Batu, Kabupaten Kota Batu, Jawa Timur. Foto : Petrus Riski
Pada 21 Juli 2014, Majelis hakim
Pengadilan Negeri Malang memutuskan memenangkan gugatan Forum Masyarakat Peduli
Mata Air (FMPMA) terhadap PT. Panggon Sarkarya Sukses Mandiri (PSSM) karena
menyalahi hukum mendirikan Hotel The Rayja Batu Resort yang mempengaruhi mata
air Umbul Gemulo.
FMPA yang merupakan forum warga dari
tiga desa yakni Desa Bulukerto dan Desa Bumiaji, Kecamatan Bumiaji serta desa
Sidomulyo, Kecamatan Batu, Kabupaten Kota Batu, Jawa Timur berusaha
melestarikan sumber mata air Umbul Gemulo.
Setelah kemenangan tersebut, kuasa
hukum FMPA yaitu Walhi Jawa Timur, Malang Coruption Watch, LBH Surabaya,
Ecoton, Ekologi Budaya, Klub Indonesia Hijau, dan Kesatuan Nelayan Tradisional
Indonesia (KNTI), menyiapkan advokasi untuk mengawal banding pihak PT. PSSM di
Pengadilan Tinggi Jawa Timur di Surabaya.
Kepala Divisi Advokasi dan Kampanye
Walhi Jawa Timur, Rere Kristanto mengatakan persiapan banding dengan fokus
memastikan sidang di pengadilan dipimpin oleh hakim yang bersertifikasi
lingkungan agar putusan yang diambil memperhatikan perspektif penyelamatan
lingkungan.
“Secara umum (banding) sudah kami
persiapkan, termasuk kami akan memastikan hakim yang memimpin sidang
bersertifikasi lingkungan, seperti di Pengadilan Negeri Malang kemarin,” kata
Rere yang mengingatkan agar hakim tidak lagi bermain dalam kasus ini.
Kuasa hukum dan perwakilan FMPA
berdiskusi untuk bersiap terhadap banding gugatan kasus penyelamatan mata air
Umbul Gemulo, Kota Batu, Jawa Timur. Foto : Petrus Riski
Perwakilan FMPA, Rudi, mengharapkan
mereka dapat memenangkan sidang banding di pengadilan karena keputusan hukum
yang memihak kelestarian lingkungan sangat berpengaruh untuk kelangsungan masa
depan masyarakat tiga desa tersebut.
“Saya mengharapkan Pengadilan Tinggi
nantinya dapat memberikan keputusan yang seadil-adilnya dan sebenar-benarnya,
untuk anak cucu kita dan masyarakat di kemudian hari,” ujar Rudi kepada Mongabay.
Persoalan mata air Umbul Gemulo di
Kota Batu, Jawa Timur, dimulai dari pipanisasi oleh pemerintah daerah maupun
tukar guling dengan salah satu perusahaan air minum dalam kemasan yang
menimbulkan konflik dengan masyarakat pada 2002.
Rudi mengutarakan posisi mata air
Umbul Gemulo yang strategis dan mudah terjangkau, membuat banyak pihak,
terutama swasta ingin memanfaatkan airnya untuk kepentingan pribadi, meski
kehidupan masyarakat juga bergantung pada mata air itu.
“Kebutuhan mengenai air itu, kami
tergantung seratus persen dari sumber mata air Umbul Gemulo. Mulai kebutuhan
sehari-hari, pengairan sawah, peternakan, perkebunan, kami sangat tergantung
sekali pada sumber mata air Umbul Gemulo,” terang warga asal Cangar Bulukerto,
Batu itu.
Pembangunan Hotel The Rayja Batu
Resort oleh PT PSSM mendapat penolakan warga Desa Bulukerto dan Desa Bumiaji
Kecamatan Bumiaji, serta Desa Sidomulyo, Kecamatan Batu, yang tergabung dalam
Forum Masyarakat Peduli Mata Air (FMPMA). Penolakan didasari karena pembangunan
hotel itu berada di kawasan lindung sumber mata air Umbul Gemulo di Kota Batu.
Warga khawatir sumber mata air yang menjadi sandaran kebutuhan hidup
sehari-hari akan terganggu dan hilang akibat pembangunan hotel yang berada
diatasnya.
Perlawanan dari warga kemudian
direspon oleh pihak The Rayja dengan melakukan kriminalisasi terhadap warga,
dengan melaporkan warga atas tuduhan melakukan perusakan dan mengambil material
bangunan. Pihak The Rayja juga melakukan gugatan perdata senilai Rp30 miliar
terhadap salah satu perwakilan FMPMA, bernama Rudi, yang dituduh melakukan
perbuatan melawan hukum dengan jalan melakukan provokasi dan intimidasi, serta
melakukan aksi demonstrasi dan berkirim surat yang mengakibatkan terhentinya
kegiatan pembangunan The Rayja.
“Gugatan perdata ini di Pengadilan
Negeri Malang telah dimenangkan oleh warga, dan salah satu poin keputusannya
adalah ijin mendirikan bangunan milik The Rayja tidak memiliki kekuatan hukum,”
tutur Ony Mahardika, Direktur Eksekutif Walhi Jawa Timur.
Hasil penelitian Walhi Jawa Timur
menyebutkan bahwa pembangunan besar-besaran di wilayah Batu dan sekitarnya
dengan tidak mengindahkan daya dukung dan daya tampung lingkungan, telah
menyebabkan banyaknya sumber mata air rusak dan mati.
“Penghancuran terhadap hak rakyat
atas air adalah bentuk pelanggaran terhadap hak konstitusi warga dan hak asasi
manusia. Maka hukum harus bertindak tegas, dan ketegasan itu akan nampak dari
keberanian untuk menghentikan pembangunan yang jelas-jelas mengancam
keselamatan rakyat. Jangan lagi menjadikan masyarakat sebagai tumbal
investasi,” tukas Ony.
Walhi Jatim pada 22 Juli 2014 telah
melaporkan kasus pidana lingkungan dari Kepala Kantor Pelayanan Perijinan
Terpadu (KPPT) Kota Batu Syamsul Bakri, serta Direktur PT. PSSM, Willy
Suhartanto, kepada pihak kepolisian terkait pembangunan The Rayja Batu Resort
di kawasan perlindungan sumber mata air Umbul Gemulo di Kota Batu.
Keterangan dan bukti telah diberikan
kepada penyidik Polda Jawa Timur, atas gugatan pidana perusakan lingkungan yang
diatur dalam Undang-Undang nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH), sesuai laporan dengan nomor
LP/2008/VII/2014/SUS/JATIM.
“Kita membuat laporan merujuk pada
pasal 109, Pasal 111 ayat 1 dan 2, Pasal 114, dan pasal 115 UU No 32 tahun 2009
tentang PPLH,” jelas Rohman, Kepala Divisi Hukum dan Kebijakan Walhi Jawa
Timur.
Pada pasal 109 UU PPLH mengatur
sanksi terhadap mereka yang melakukan usaha dan/atau kegiatan tanpa memiliki
izin lingkungan. Pendirian The Rayja sendiri tidak memiliki ijin lingkungan
meskipun sudah mengantongi ijin mendirikan bangunan.
Syarat pemberian ijin usaha atau
kegiatan yakni memiliki ijin lingkungan sebagaimana diatur dalam UU PPLH. Pada
pasal 111 mengatur sanksi kepada pejabat yang mengeluarkan ijin usaha tanpa
terlebih dahulu memiliki ijin lingkungan. Sedangkan pasal 114 dan 115 UU PPLH
mengatur pemberian sanksi terhadap mereka yang tidak melaksanakan paksaan
pemerintah dan yang dengan sengaja mencegah, menghalang-halangi, atau
menggagalkan pelaksanaan tugas pejabat pengawas lingkungan hidup.
Mengarak Naga, Meruwat Umbul Gemulo
Greeners.co, 12 November 2014
Batu (Greeners) – Sebuah lesung
berkepala naga meliuk-liuk di jalanan. Di bawah kepalanya terdapat sebuah
gentong kecil berisi air dari tujuh sumber mata air keramat di Jawa Timur yang
dinamakan “banyu tuwuh”. Di kiri dan kanan lesung yang panjangnya sekitar empat
meter, berjejer tumpeng dari hasil bumi warga tiga dusun di Desa Bulukerto,
Kecamatan Bumiaji, Kota Batu, Jawa Timur. Tumpeng terdiri dari tumpeng jajanan
pasar, tumpeng polo pendem, dan tumpeng gunungan nasi kuning dan nasi putih.
Aneka kudapan dan lauk juga menghiasi tumpeng tersebut.
Tumpeng dan air tuwuh dari tujuh
sumber mata air yang dijaga Naga ini diarak keliling dusun mengelilingi sumber
mata air Umbul Gemulo yang selama ini menjadi sumber penghidupan pertanian
warga dan kebutuhan hidup sehari-hari.
Sumber air Umbul Gemulo saat ini
debit airnya mencapai 179 liter/detik. Sumber ini pula yang menjadi tumpuan
sekitar enam ribu warga Desa Bulukerto dan enam desa lainnya, seperti Desa
Sidomulyo, Bumiaji, Pandanrejo, Sisir, Mojorejo, dan Pendem. PDAM Kota Batu
yang airnya disuplai ke masyarakat Kota Batu juga mengambil air dari sumber
Umbul Gemulo ini.
Lesung kepala naga diarak keliling
tiga dusun yang juga mengelilingi sumber mata air Umbul Gemulo. Di belakangnya,
berbagai grup kesenian jaranan, bantengan, serta tari-tarian turut mengarak
lesung kepala naga. Setelah mengelilingi sumber mata air Umbul Gemulo, sesepuh
desa dan masyarakat menggelar kenduri di sekitar sumber mata air dan makanannya
dimakan bersama-sama sebagai ucapan rasa syukur.
Saat kenduri, tiga macam tumpeng
juga dibagikan di perempatan tiga dusun yang dilewati. Sisanya dimakan bersama
di Balai Desa Bulukerto untuk masyarakat yang tidak kebagian tumpeng di
perjalanan.
Selain itu, ada juga pembagian banyu
tuwuh atau air bertuah yang berasal dari tujuh sumber mata air yang
dipercaya bisa memberi keberkahan di Jawa Timur. Di antaranya berasal dari
Pacitan, Ponorogo, dan Madiun. Air ini dibagikan kepada masyarakat yang ingin
mendapatkan berkahnya. Secara bergantian, mereka meminta air yang sejak awal
acara ditempatkan di bawah kepala naga.
Koran SINDO
Kamis, 11 Desember 2014 − 10:38 WIB
Protes Pendirian Hotel Warga Gemulo
Gelar Aksi Diam
Sejumlah warga Dusun Gemulo, Desa Bulukerto, melakukan aksi diam kemarin. Aksi
itu dilakukan untuk memperingati Hari Hak Asasi Manusia sekaligus protes
pendirian hotel di dekat sumber air dusun mereka.
BATU - Hari Hak Asasi
Manusia (HAM) dimanfaatkan warga Dusun Gemulo, Desa Bulukerto, Kecamatan
Bumiaji, untuk melakukan aksi unjuk rasa.
Mereka menggelar aksi diam untuk memprotes pendirian hotel di sumber air desa
mereka. Koordinator aksi warga Dusun Gemulo, Arie Prayitno mengatakan,
pendirian Hotel The Rayja di dekat sumber mata air umbulan Gemulo merupakan
pelanggaran HAM.
Ironisnya, Pemkot Batu memberikan izin pendirian tanpa mempertimbangkan protes
warga. ”Empat tahun kami berjuang mempertahankan hak asasi kami supaya air dari
sumber Gemulo yang kita minum, kita buat mandi, kita alirkan ke sawah tidak
mati karena di dekatnya telah dibangun Hotel The Rayja. Tapi usaha kami
mempertahankan hak hidup terasa sia-sia. Tidak ada pembelaan dari Pemkot Batu,”
ujar Arie.
Arie mengamati bahwa yang Pemkot Batu lebih membela kepentingan pengusaha
dibandingkan kepentingan rakyatnya. ”Kami berjuang membela hak-hak kami. Tapi H
Rudi teman kami justru dilaporkan ke polisi oleh pengusaha. Dengan tuduhan
merusak objek usaha investor,” katanya.
Aksi damai warga Dusun Gemulo memperingati Hari HAM dilakukan dengan cara
berjalan kaki dari Omah Munir menuju sumber mata air umbul Gemulo, Mapolsek
Bumiaji, dan Kantor Kecamatan Bumiaji. Mereka membakar dupa dan menaburkan
bunga di halaman Mapolsek Bumiaji, Kantor Kecamatan Bumiaji, dan di sumber mata
air umbul Gemulo.
Selain itu, mereka mengibarkan bendera setengah tiang. ”Ini bentuk apresiasi
kekecewaan kami terhadap pemerintah. Omah Munir meru-pakan simbol kematian HAM.
Polsek Bumiaji sebagai simbol penegakan HAM juga yang mati. Demikian juga
Kantor Kecamatan Bumiaji. Simbol kepemimpinan pemerintah yang berpihak kepada
pengusaha,” kata Arie.
Kapolsek Bumiaji, AKP Sutantyo menyatakan, unjuk rasa yang dilakukan warga
dilindungi undang-undang. Tapi syaratnya jangan sampai mengganggu ketertiban
umum dan merusak fasilitas pemerintah. ”Silakan berunjuk rasa. Tapi jangan
mengganggu ketertiban umum,” kata Sutantyo saat mengawal aksi warga, kemarin.
Maman Adi Saputro
Warga Kota Batu Tuntut Pengadilan Tinggi Jatim
Hentikan Kriminalisasi Pejuang Lingkungan
Mongabay.co.i January 22, 2015 Petrus Riski, Surabaya
Seorang berpakaian hakim dengan
kepala badut, nampak membawa payung dan uang ratusan ribu rupiah. Uang itu
diperoleh dari seorang berpakaian necis yang berperan sebagai pengusaha. Usai
menerima uang, hakim berkepala badut itu mengikat seorang warga yang membawa
tulisan tolak pembangunan hotel The Rayja, dan menariknya hingga jatuh ke
tanah.
Itulah sepenggal teaterikal yang
menggambarkan bahwa hukum masih berpihak pada pemilik modal, dan tidak berpihak
pada rakyat kecil yang menjadi pelestari lingkungan.
Aksi teaterikal keberpihakan hukum
terhadap pengusaha dibandingkan masyarakat pelestari lingkungan. Foto : Petrus
Riski
Aksi ini merupakan bagian dari unjuk
rasa yang dilakukan ratusan warga dari 3 desa yaitu Bulukerto dan Bumiaji di
Kecamatan Bumiaji, serta Desa Sidomulyo di Kecamatan Batu, Kota Batu, di depan
kantor Pengadilan Tinggi Jawa Timur, Surabaya, pada Senin (190/1/2014) kemarin.
Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan
Hidup Indonesua (Walhi) Jawa Timur, Ony Mahardika mengatakan unjuk rasa
tersebut mendesak aparat penegak hukum di Pengadilan Tinggi Jawa Timur, untuk
menghentikan proses hukum banding yang dilakukan pihak Hotel
The Rayja yang mengkriminalkan warga penolak pendirian hotel diatas sumber mata
air Umbul Gemulo.
“Aksi ini merupakan kelanjutan
perjuangan masyarakat selama 4 tahun, dalam kasus kriminalisasi warga yang
menolak pendirian The Rayja,” kata Ony.
Dalam aksi ini, warga yang tergabung
dalam Aliansi Pembela Sumber Mata Air mendesak penghentian proses hukum banding
di pengadilan Tinggi Jawa Timur, atas dasar Undang-Undang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) nomor 32 tahun 2009 yang melindungi
masyarakat penjaga lingkungan.
“Pertama adalah menghentikan proses
pengadilan ini, karena para pejuang lingkungan ini sebenarnya tidak bisa
dipidanakan atau diperdatakan, menurut Undang-undang 32 pasal 66 menyebutkan
bahwa masyarakat yang menyelamatkan lingkungan tidak bisa diproses,” ujar Ony
Mahardika kepada Mongabay.
Rudi selaku warga desa yang digugat
mengungkapkan, kriminalisasi yang dilaminya merupakan bentuk ketidakberpihakan
hukum kepada rakyat kecil. Hukum seharusnya melindungi masyarakat yang menjaga
serta melestarikan lingkungan, bukan malah memihak pada investor yang tidak
peduli lingkungan.
“Sudah 2 kali kami dibohongi oleh
pihak Pengadilan Tinggi, yaitu dengan memberikan hakim yang tidak ebrsertifikasi
lingkungan. Makanya kami menuntut hukum berlaku adil kepada kami, termasuk
dengan memberikan hakim yang bersertifikasi lingkungan,” ungkap Rudi yang
berharap kasus ini dihentikan oleh Pengadilan Tinggi Jawa Timur.
Mata Air Umbul Gemulo di Malang.
Foto: Walhi Jawa Timur
Persoalan mata air Umbul Gemulo di
Kota Batu, Jawa Timur, sudah berlangsung sejak 2002 lalu, dimana sebelumnya
sempat terjadi konflik terkait pipanisasi oleh pemerintah daerah maupun tukar
guling dengan salah satu perusahaan air minum dalam kemasan.
Penolakan warga atas pendirian The
Rayja karena pembangunan hotel itu berada di kawasan lindung sumber mata air
Umbul Gemulo di Kota Batu, yang dikhawatirkan akan menghilangkan atau merusak
sumber mata air yang menjadi sandaran hidup bagi warga.
Perlawanan dari warga kemudian
direspon oleh pihak The Rayja dengan melakukan kriminalisasi terhadap warga,
dengan melaporkan warga atas tuduhan melakukan perusakan dan mengambil material
bangunan. Pihak The Rayja juga melakukan gugatan perdata senilai Rp30 miliar
terhadap salah satu perwakilan Forum Masyarakat Peduli Mata Air (FMPMA) bernama
Rudi, yang dituduh melakukan perbuatan melawan hukum dengan jalan melakukan
provokasi dan intimidasi, serta melakukan aksi demonstrasi dan berkirim surat yang
mengakibatkan terhentinya kegiatan pembangunan The Rayja.
Ony mengatakan bila Pengadilan
Tinggi Jawa Timur tetap membiarkan proses banding gugatan Hotel The Rayja
terhadap warga terus berjalan, maka itu berarti pengadilan belum memiliki
kepekaan terhadap kondisi lingkungan yag ada.
“Proses di Pengadilan Tinggi ini
akan menjadi bukti apakah pengadilan punya sense of environmental protection.
Masyarakat yang digugat oleh pihak hotel ini sedang berjuang untuk melestarikan
sumber mata air di Kota Batu yang terus menurun kualitas dan kuantitasnya,
membiarkan mereka menghadapi proses hukum sama dengan kita mempertaruhkan
keselamatan dan keberlanjutan lingkungan hidup,” tutur Ony.
Data WALHI menunjukkan konfigurasi
titik mata air dan kebutuhan mata air di Kota Batu cenderung kritis. Dari 57
titik sumber air yang berada di Kecamatan Bumiaji, saat ini menyisakan 28
titik. Bahkan di Kecamatan Batu saja, tinggal menyisakan 15 titik dari 32
sumber air. Sedangkan di Kecamatan Junrejo tersisa 15 titik dari 22 titik
sumber mata air sebelumnya.
Pembangunan Hotel The Rayja diatas
sumber mata air Umbul Gemolo Kota Batu, kata Rudi, hingga kini telah
menimbulkan kerusakan lingkungan serta ketakutan di tengah masyarakat yang
merasa terintimidasi.
“Itu kan posisi hotel itu ada di
atas sumber mata air kami. Jadi ketakutan kami, ketakutan warga masyarakat
kami, itu akan bisa mencemari sumber mata air kami dan juga bisa menurunkan
debit mata air,” tandas Rudi.
RRI.co.id - Slamatan
Sumber Air Gemulo, Tumpeng diarak keliling tiga Desa
KBRN, Batu : Warga tiga desa
yakni Bulukerto, Sidomulyo dan Bumiaji di Kecamatan Bumiaji, Kota Batu,
Jumat sore (23/10/2015) mengarak tumpeng dan jajanan pasar melewati
desanya. Arak-arakan tersebut berhenti sejenak di Sumber Air Gemulo desa
Punten, kecamatan Bumiaji.
Di tempat dianggap keramat
itu, para tokoh adat dan agama menggelar selamatan tumpeng tepat di depan
sumber air yang menghidupi desa-desa di sekelilingnya. Arak-arakan tumpeng ini
merupakan salah satu kegiatan dari rangkaian kegiatan Festival Mata Air 4 yang
diselenggarakan oleh warga.
Ratusan warga itu mengarak
tumpeng itu mulai dari Pendopo Tirto Sari (Balai Dusun Cangar, Desa
Bulukerto) kemudian mengaraknya keliling melewati beberapa dusun dan desa
sepanjang lebih dari 5 kilometer.
“Arak-arakan ini adalah wujud rasa
syukur masyarakat terhadap apa yang diberikan Tuhan terhadap sumber air yang
jernih, airnya melimpah hingga menghidupi Desa Bulukerto, Desa Sidomulyo, Desa
Bumiaji dan desa-desa lain di sekitarnya,” ujar Aris Faudzin, Koordinator
Festival Mata Air 4 tahun 2015 ini.
Lewat festival ini, para aktivis
lingkungan menggunakan moment ini untuk mengajak masyarakat untuk selalu
melestarikan dan melindungi sumber air Gemulo.
“Banyak generasi muda yang kita
ajak, karena merekalah yang akan menjaga sumber air ini,” terangnya.
Dari iring-iringan tersebut, selain
menampilkan seni budaya masyarakat, seperti drum band tradisional, diarak pula
7 gunungan yang merupakan simbol dari pitulungan (pertolongan) dan pitunduh
(petunjuk).
Festival air ini dilaksanakan selama
dua hari, mulai Jumat (23/10/2015) hingga Sabtu (24/10/2015) mulai dari arak-arakan
tumpeng, diskusi lingkungan, pentas seni dan pagelaran wayang dan bazar, serta
penanaman pohon di 40 hektar hutan yang terbakar tahun lalu.
“Kita laksanakan penghijauan ini
pada bulan Desember karena bertepatan dengan musim penghujan, agar bibit yang kita
tanam bisa hidup,” terangnya.
Warga berpendapat melestarikan
lingkungan tidak hanya perlu dirawat secara fisik saja, namun juga perlu
diruwat dalam bentuk perawatan non fisik. Mereka juga mengajarkan bahwa
kearifan budaya lokal dimana air harus dihormati dan tidak boleh diperlakukan
semena-mena. (RM/WDA)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar