29 Mei 2014, sudah 8 tahun atau sewindu Lumpur Lapindo menenggelamkan dan memberikan penderitaan bagi rakyat Porong. Ada serangkaian acara untuk melawan lupa akan bencana industry yang terjadi serta menjaga nyala api perlawanan terhadap perilaku Lapindo yang tidak bertanggungjawab. Acara yang dipusatkan di Tanggul Siring mulai dari instalasi patung oleh Dadang Kristianto untuk mengingatkan pada penderitaan rakyat Porong sampai penandatangan Pakta Politik antara rakyat korban Lapindo dengan calon Presiden Joko Widodo.
Keriuh rendahan acara tidak selamanya
menjadi cara untuk melawan lupa.
Kegiatan berbeda dilakukan oleh kawan-kawan dari Sanggar Al Faz yang
dulunya berada di Desa Besuki bagian timur.
Sanggar Al Faz bereinkarnasi kembali di Desa Pangreh Kecamatan Jabon, di
kompleks perkampungan yang lebih dikenal sebagai Kaplingan Besuki, dekat dengan
SMK Negeri Jabon. Bertepatan dengan
peringatan 8 tahun Lumpur Lapindo dilaksanakan acara Selamatan Lebon (masuk) Sanggar untuk menandai
secara resmi aktivitas Sanggar Al Faz.
Sebelum selamatan dilaksanakan Diskusi Publik dengan thema “Dibalik
Dongeng Timus Mas” dengan narasumber Henry Nurcahyo, seorang penulis dan
budayawan serta pegiat lingkungan dari Surabaya.
Diskusi
Publik
Di luar acara hingar bingar di Tanggul
Siring dalam rangka memperingati 8 tahun semburan Lumpur Lapindo, Sanggar Al
Faz menggelar Diskusi Publik “Dibalik Dongeng Timun Mas”. Diskusi yang menghadirkan Henry Nurcahyo,
seorang penulis, budayawan, dan pegiat lingkungan dari Surabaya dan
dimoderatori oleh Rere Pilot, pendamping korban yang juga adalah korban lumpur
lapindo dari Desa Reno Kenongo. Diskusi
yang dihadiri oleh kurang lebih 30an orang cukup menarik karena menguak dongeng
Timun Mas. Dongeng yang menceritakan
perlawanan seorang anak kecil melawan raksaksa yang akhirnya dimenangkan oleh
sang anak dengan menenggelamkan sang raksaksa di sebuah kubangan lumpur.
Dongeng sebagaimana umumnya adalah salah
satu alat perlawanan rakyat terhadap kesewenangan penguasa. Pada Dongeng Timun Mas, Rakyat kecil
diwakili oleh anak kecil yang tidak berdaya, sedangkan penguasa yang lalim
digambarkan oleh bentuk raksaksa jahat dan serakah. Dongeng juga bersifat multi tafsir,
tergantung pada konteks tempat dan waktu penuturannya. Tetapi, Dongeng akan sangat kuat untuk
menginternalisasi keadaan pada saat ini, khususnya sebagai sarana edukasi dan
advokasi. Apalagi bila dongeng
diinternalisasikan dengan mengolaborasikannya dengan gerak budaya lain untuk
melawan ketidakadilan. Dalam konteks
Lumpur Lapindo, dongeng, khususnya Dongeng Timun Mas merupakan alat edukasi dan
advokasi yang kuat untuk melawan lupa pada kengerian luapan lumpur lapindo dan
sekaligus menjaga api semangat melawan kesewenangan korporasi yang bernama
Lapindo Brantas.
Acara diskusi ditutup oleh pembacaan puisi
karya Henry Nurcahyo yang memiliki korelasi kuat dengan peristiwa semuran
Lumpur Lapindo. Bukan hanya narasumber,
salah seorang anak Sanggar Al Faz bernama Fika turut juga menyumbangkan puisi tentang
ngerinya Lumpur Lapindo dan getirnya hidup yang diakibatkannya. Tidak sampai di situ, Daris salah seorang
pegiat Sanggar Al Faz yang juga putri dari pendiri sanggar meminta pada peserta
diskusi public untuk menuliskan puisi terkait 8 tahun Lumpur Lapindo. Walau tidak semua dapat menulis puisi dengan
baik, tetapi kumpulan puisi dapat didokumentasi bukan sekedar untuk pengingat
dan penanda tetapi juga sebagai sarana menjaga api perlawanan terhadap Lapindo
yang tidak akan kunjung padam.
Selamatan
Sanggar
Bersamaan dengan peringatan 8 tahun
Semburan Lumpur Lapindo kali ini, tepat pada tanggal 29 Mei 2014, di sore yang
terasa panas, Sanggar Al Faz Besuki yang telah rata dengan tanah bereinkarnasi
di Desa Pangreh, Kecamatan Jabon.
Terletak di halan rumah salah satu pegiat sanggar, Cak Rokim, di tengah
Kampong Kaplingan Korban Lumpur Lapindo dari Desa Besuki dekat SMK Jabon,
Sanggar Al Faz kembali berdiri. Ditandai
dengan lantunan doa berisi harapan, Sanggar Al Faz Pangreh berdiri dan
beraktivitas kembali. Aktivitas yang
mengedukasi bahkan advokasi untuk melawan dan menuntut hak-hak rakyat yang
dihilangkan dan ditenggelamkan oleh ganasnya Lumpur Lapindo. Bahkan, menjadi salah satu tempat untuk
belajar, belajar untuk memberdayakan diri sendiri, belajar untuk mengorganisir
diri bagi kawan-kawan dari berbagai tempat untuk melawan demi memperjuangkan
hak-haknya yang dirampaas oleh kejam dan rakusnya korporasi.
Sanggar Al Faz Pangreh bukanlah pengganti
sanggar yang ada di Desa Besuki, karena sanggar di Desa Besuki tetap merupakan
pusat perlawanan dan tidak akan pernah diganti apalagi dilupakan. Sanggar di Desa Pangreh maupun yang ada di
tempat lain, akan menjadi pancaran sinar dari Sanggar Al Faz Besuki. Sinar yang berspora yang memantul di banyak
tempat. Bukan pula cabang, karena
Sanggar-Sanggar Al Faz di Pangreh dan diberbagai tempat yang lain didirikan
oleh Rakyat Korban Lumpur Lapindo dari Desa Besuki yang dipaksa berdiaspora
oleh kejamnya Lumpur Lapindo hasil karya Lapindo Brantas. Sanggar Al Faz Besuki tetaplah Sanggar Al Faz
adalah Sang Matahari Perlawanan, sedangkan Sanggar-Sanggar Al Faz di
tempat-tempat lain adalah pancaran dan pantulan sinar Sang Matahari
Perlawanan.
Sanggar Al Faz Pangreh bukanlah pancaran
Matahari Perlawanan Al Faz yang pertama, pasti akan diikuti oleh pancaran
matahari di berbagai tempat. Bahkan, ruh
perlawanan yang dihidupi oleh sinar matahari perlawanan dari Besuki telah
menghidupi api semangat banyak kawan di berbagai tempat. Ruh yang menghidupi api peralwanan terhadap
kesewenangan dan kekejaman dari korporasi yang bernama Lapindo Brantas. Bahkan telah juga menjadi sumber semangat dan
inspirasi dari berbagai kawan di berbagai tempat untuk melawan kerasukan dan
keserakahan korporasi yang menghancurkan alam dan kehidupan.
Sedikit
Jengah yang Tersisa
Bersamaan dengan peringatan 8 tahun
Semburan Lumpur Lapindo, terjadi peristiwa politik yang cukup menarik perhatian
banyak pihak. Pada tanggal yang sama
dengan tanggal menyemburnya Lumpur Lapindo 8 tahun yang lalu, ditandatangi
“Kontrak Politik” antara Joko Widodo (Jokowi) sebagai salah satu Capres pada
Pilplres 9 Juli 2014 mendatang dengan Rakyat Korban Lumpur Lapindo. Sebuah peristiwa yang sebenarnya
dinanti-nanti oleh Rakyat Korban Lumpur yang menanti harapan pada Penguasa
Rezim yang dapat menyelesaikan masalah Lumpur Lapindo. Setelah 8 tahun tidak terlalu diperhatikan
oleh Penguasa kecuali penanggulan dan mekanisma jual beli sebagai ganti rugi,
tidak dihitung kehilangan-kehilangan nirbenda, seakan-akan hanya menjadi komoditas
yang diperjualbelikan. Kontrak Politik
dengan Jokowi menjadi harapan baru untuk memperoleh hak-hak yang hilang.
Sayang seribu saying, acara yang seharusnya
menjadi pesta awal kemenangan Rakyat Korban Lumpur Lapindo menjadi tidak
terlalu terasa. Bukan karena Jokowi
tidak serius, tetapi karena menjadi acara public, kedatangan pendukung dan
“fans” Jokowi malah menjauhkan Jokowi dengan komponen Rakyat Korban Lumpur
Lapindo. Rakyat Korban tersisihkan bukan
karena tidak diperhatikan, tetapi terpinggirkan oleh besarnya antusias Jokowi
Mania yang merangsek sampai ke dekat tempat penandatanganan kontrak politik
tersebut. Memang Jokowi bukan milik Rakyat Korban Lumpur Lapindo saja, Jokowi
sudah menjadi milik rakyat pada umumnya, tetapi sedikit jengah terjadi. Pesta kemenangan awal yang digadang-gadang
menjadi bercampur baur dengan pesta rakyat.
Akibatnya, Rakyat Korban Lumpur Lapindo merasa sedikit terabaikan dan
tersisihkan, walau bangga dan harapan tetapi digantungkan pada sosok Jokowi
sebagai Calon Presiden Republik Indonesia selanajutnya.
Semoga sedikit jengah ini cukuplah selesai
pada hari itu bersamaan dengan bergantinya hari. Semoga harapan yang digantungkan pada Jokowi
Sang Capres Rakyat ini tidak kemudian layu bersamaan dengan bergulirnya waktu. Semoga doa-doa yang selalu dipanjatkan untuk
mendapatkan kembali hak-hak dan kedamaian hidup Rakyat Korban Lumpur Lapindo
dapat segera terkabul bersama datangnya hari kemenangan Jokowi Sang Capres
Rakyat. Rakyat hanya bisa menanti dan
berharap, semoga fajar baru yang penuh kebahagiaan dan suka cita serta damai
sentausa kembali datang di atas Tanah Porong.
Malang 03 Juni 2014, di sore hari yang
mendung
Daniel S. Stephanus
Tidak ada komentar:
Posting Komentar