ABSTRAKS
Bisnis dan aktivitas ekonomi dari
sebuah entitas pada umumnya bertujuan untuk memperoleh keuntungan dan
menginginkan pertumbuhan ekonomi untuk meningkatkan nilai entitasnya. Seringkali, dengan menjadikan keuntungan dan
pertumbuhan sebagai tujuan menjadikan entitas ekonomi akan menghalalkan segala
cara seperti mengeksploitasi tenaga kerja dan mengabaikan kelestarian lingkungan
di sekitarnya bahkan mengorbankan konsumen sebagai sumber pendapatannya.
Konsep Tripple Bottom Line (People,
Planet, and Profit) merupakan konsep bisnis dan aktivitas ekonomi yang
berbeda. Pertama, mengedepankan konsep
pemberdayaan masyarakat baik karyawan, konsumen, maupun masyarakat secara umum
menjadikan entitas ekonomi berorientasi untuk mengedukasi dan mengadvokasi
manusia sebagai factor utama menjaga pertumbuhan dan kelanjutan usaha yang
manusiawi. Bila masyarakat teredukasi dengan produk yang berkualitas apalagi
dengan harga terjangkau, dijamin kesetiaan konsumen pada produk dan perusahaan
akan terjaga. Di sisi lain, karyawan
yang teredukasi dengan baik akan menciptakan tenaga kerja yang mumpuni untuk
memproduksi produk yang bermutu sekaligus efisien dalam biaya.
Kedua, entitas ekonomi menjadikan
kelestarian alam sebagai dasar untuk bukan hanya menjaga keberlanjutan bahan
baku dan energy, tetapi benar-benar menjaga lestarinya planet Bumi sebagai
satu-satunya tempat hidup manusia. Bahan
baku dan energy yang lestari akan menjamin kelangsungan usaha entitas ekonomi
dalam jangka panjang sekaligus menjadikan bumi sebagai tempat tinggal yang
nyaman dan asri. Bukan hanya
memperhatikan bahan baku dan energy, tetapi polusi dan sampah yang dihasilkan
oleh perusahaan hendaknya ramah lingkungan dan memiliki dampak yang sangat
kecil bagi lingkungan.
Bila manusia sudah berdaya dan planet
tetap lestari, profit atau keuntungan akan datang dengan sendirinya baik
keuntungan yang dinikmati oleh manajemen sebagai agen pengelola entitas maupun
investor sebagai pemilik entitas ekonomi tersebut.Jadi, keuntungan atau profit
bukanlah menjadi tujuan pertama dan utama, tetapi menjadi dampak dari kinerja
perusahaan yang baik dan bertanggung jawab.
Keuntungan yang akan bersifat jangka panjang dan berkesinambungan (going concern).
Kata-Kata
Kunci: Tripple Bottom Line, Berkesinambungan
(going concern), People and Planet Before Profit
PENDAHULUAN
Isu lingkungan hidup
menjadi agenda penting masyarakat internasional di forum regional dan
multilateral sejak tahun 1972 setelah pelaksanaan konferensi internasional
tentang Human Environment di Stockholm, Swedia dan KTT Bumi di Rio de
Jeneiro, Brazil tahun 1992. Sejak saat itu, masyarakat internasional menilai
bahwa perlindungan lingkungan hidup menjadi tanggung jawab bersama dan
perlindungan lingkungan hidup tidak terlepas dari aspek pembangunan ekonomi dan
sosial (Nuraini, 2010).
Planet,
People, and Profit atau
yang di Ilmu Akuntansi lazim disebut dengan Triple
Bottom Line merupakan pemikiran yang sudah berkembang cukup lama di
Eropa.Pemikiran tentang bisnis yang berkelanjutan (sustainable business) yang mengedepankan kelestarian alam (planet) sebagai sumber dari semua sumber
daya, kesejahteraan masyarakat atau manusia (people), dan memperoleh laba (profit)
yang memadai untuk kelangsungan hidup perusahaan.
Gray, dkk., (1995) menyatakan bahwa
tanggung jawab sosial dan lingkungan merupakan tanggung jawab dunia bisnis
untuk menjadi akuntabel terhadap seluruh stakeholder, bukan hanya kepada
stockholder saja. Dengan pelaporan pelaksanaan tanggung jawab
sosial dan lingkungan dalam laporan tahunan perusahaan ini diharapkan
perusahaan memperoleh legitimasi atas peran social dan kepedulian lingkungan
yang telah dilakukan oleh perusahaan tersebut, sehingga perusahaan akan
memperoleh dukungan dari masyarakat, dankelangsungan hidup perusahaan dapat
diperoleh.
Prior, dkk., (2008) menyatakan bahwa tanggung jawab sosial dan
lingkungan perusahaan dalam laporan tahunan dapat digunakan oleh manajer
sebagai alat untuk mengamankan kedudukannya. Hal tersebut digunakan oleh
manajer untuk mengalihkan perhatian stakeholder dari monitoring aktivitas
manajemen laba yang mereka lakukan.Hal ini dapat terjadi karena manajemen
memiliki informasi yang lebih banyak dari pada pihak berkepentingan lainnya
sebagaimana dijelaskan dalam agency theory (teori keagenan).
Konsep The Triple
Bottom Line
Elkington (1997) menjelaskan konsep Triple
Bottom Line digunakan sebagai landasan prinsipal dalam aplikasi program Corporate
Social Responsibility pada sebuah perusahaan. Tiga kepentingan yang menjadi
satu ini merupakan garis besar dan tujuan utama tanggung jawab sosial sebuah
perusahaan.
1. Profit (Keuntungan)
Keuntungan merupakan unsur terpenting
dan menjadi tujuan utama dari setiap kegiatan usaha.Keuntungan sendiri pada
hakikatnya merupakan tambahan pendapatan yang dapat digunakan untuk menjamin
kelangsungan hidup perusahaan.
2. People (Masyarakat)
Menyadari bahwa masyarakat sekitar
perusahaan merupakan salah satu stakeholder penting bagi perusahaan
karena dukungan masyarakat sekitar sangat diperlukan untuk keberadaan,
kelangsungan hidup dan perkembangan perusahaan.Perusahaan perlu berkomitmen
untuk berupaya memberikan manfaat sebesar-besarnya kepada masyarakat.Selain
itu, operasi perusahaan berpotensi memberikan dampak kepada masyarakat
sekitar.Tanggung jawab sosial perusahaan didasarkan pada keputusan perusahaan
tersebut tidak bersifat paksaan atau tuntutan masyarakat sekitar.Untuk
memperkokoh komitmen dalam tanggung jawab sosial diperlukan pandangan menganai Corporate
Social Responsibility. Melalui kegiatan sosial perusahaan maka itu dapat
dikatakan melakukan investasi masa depan dan timbal baliknya masyarakat juga
akan ikut serta menjaga eksistensi perusahaan.
3. Planet (Lingkungan)
Lingkungan merupakan
sesuatu yang terkait dengan seluruh bidang kehidupan perusahaan. Hubungan
perusahaan dan lingkungan adalah hubungan sebab akibat yaitu jika perusahaan
merawat lingkungan maka lingkungan akan bermanfaat bagi perusahaan. Sebaliknya
jika perusahaan merusak lingkungan maka lingkungan juga akan tidak memberikan
manfaat kepada perusahaan. Dengan demikian, penerapan konsep Triple Bottom
Line yakni profit, people, dan planet sangat diperlukan
sebuah perusahaan dalam menjalankan operasinya.Sebuah perusahaan tidak hanya
keuntungan saja yang dicari melainkan juga memperdulikan masyarakat dan
lingkungan sekitar perusahaan.
TEORI-TEORI YANG MENDASARI TRIPLE BOTTOM LINE
Teori Stakeholder (Stakeholder
Theory)
Konsep tanggung jawab sosial
perusahaan telah mulai dikenal sejak awal 1970, yang secara umum dikenal dengan
stakeholder theory artinya sebagai kumpulan kebijakan dan praktik yang
berhubungan dengan stakeholder, nilai-nilai, pemenuhan ketentuan hukum,
penghargaan masyarakat dan lingkungan, serta komitmen dunia usaha untuk
berkontribusi dalam pembangunan secara berkelanjutan.Stakeholder theory dimulai
dengan asumsi bahwa nilai secara eksplisit dan tak dipungkiri merupakan bagian
dari kegiatan usaha (Freeman dkk., 2004).
Teori stakeholder mengatakan
bahwa perusahaan bukanlah entitas yang hanya beroperasi untuk kepentingannya
sendiri, namun harus memberikan manfaat bagi stakeholder (pemegang
saham, kreditor, konsumen, supplier, pemerintah, masyarakat, analis dan
pihak lain). Dengan demikian, keberadaa suatu perusahaan sangat dipengaruhi
oleh dukungan yang diberikan oleh stakeholder kepada perusahaan tersebut
(Ghozali & Chariri, 2007).
Deegan
(2004) menyatakan bahwa stakeholder theory adalah “Teori yang menyatakan
bahwa semua stakeholder memunyai hak memperoleh informasi mengenai
aktivitas perusahaan yang dapat memengaruhi pengambilan keputusan mereka.Para stakeholder
juga dapat memilih untuk tidak menggunakan informasi tersebut dan tidak
dapat memainkan peran secara langsung dalam suatu perusahaan.”
Budimanta, dkk., (2008)
menyatakan bahwa terdapat dua bentuk dalam pendekatan stakeholder yaitu old-corporate
relation dan new-corporate relation.Old-corporate
relation menekankan pada bentuk pelaksanaan aktivitas perusahaan secara
terpisah, yang menunjukkan bahwa tidak terdapat kesatuan di antara fungsi dalam
sebuah perusahaan ketika melakukan pekerjaannya.Hubungan perusahaan dengan
pihak di luar perusahaan juga bersifat jangka pendek dan hanya sebatas hubungan
transaksional saja tanpa ada kerjasama untuk menciptakan kebermanfaatan
bersama.Pendekatan old-corporate relation ini dapat menimbulkan konflik
karena perusahaan memisahkan diri dengan para stakeholder baik yang berasal
dari dalam perusahaan dan dari luar perusahaan.Sedangkan, pendekatan new-corporate
relation menekankan kolaborasi antara perusahaan dengan seluruh stakeholder
sehingga perusahaan bukan hanya menempatkan dirinya sebagai bagian yang
bekerja secara sendiri dalam sistem sosial masyarakat.Hubungan perusahaan
dengan stakeholder di dalam perusahaan dibangun berdasarkan konsep
kebermanfaatannya yang membangun kerjasama dalam menciptakan kesinambungan
usaha perusahaan, sedangkan hubungan dengan stakeholder di luar
perusahaan didasarkan pada hubungan yang bersifat fungsional yang bertumpu pada
kemitraan.Perusahaan selain menghimpun kekayaan juga berusaha bersama-sama
membangun kualitas kehidupan dengan stakeholder di luar perusahaan.
Tunggal (2008)
menyatakan bahwa teori stakeholder dapat dilihat dalam tiga pendekatan.
1. Deskriptif
Pendekatan deskriptif
pada intinya menyatakan bahwa, stakeholder secara sederhana merupakan
deskripsi yang realitas mengenai bagaimana sebuah perusahaan beroperasi.Teori stakeholder
dalam pendekatan deskriptif, bertujuan untuk memahami bagaimana manajer
menangani kepentingan stakeholder dengan tetap menjalankan kepentingan
perusahaan.Manajer dituntut untuk mengarahkan energi mereka terhadap seluruh
pemangku kepentingan, tidak hanya terhadap pemilik perusahaan saja.
2. Instrumental
Teori stakeholder dalam
pendekatan instrumental menyatakan bahwa, salah satu strategi pihak manajemen
perusahaan untuk menghasilkan kinerja perusahaan yang lebih baik adalah dengan
memperhatikan para pemangku kepentingan. Hal ini didukung oleh bukti empiris
yang diungkapkan oleh Lawrence & Weber (2008), yang menunjukkan bahwa
setidaknya lebih dari 450 perusahaan yang menyatakan komitmennya terhadap
pemangku kepentingan dalam laporan tahunnya memiliki kinerja keuangan yang
lebih baik dibandingkan dengan perusahaan yang tidak memiliki komitmen.
Pendekatan instrumental bertujuan untuk mempelajari konsekuensi yang ditanggung
perusahaan, dengan melihat dari pengelolaan hubungan stakeholder dan
berbagai tujuan tata kelola perusahaan yang telah dicapai.
3. Normatif
Teori stakeholder dalam
pendekatan normatif menyatakan bahwa setiap orang atau kelompok yang telah
memberikan kontribusi terhadap nilai suatu perusahaan memiliki hak moral untuk
menerima imbalan (rewards) dari perusahaan, dan hal ini menjadi suatu
kewajiban bagi manajemen untuk memenuhi apa yang menjadi hak para pemangku
kepentingan. Pendekatan normatif juga bertujuan untuk mengidentifikasi pedoman
moral atau filosofis terkait dengan aktivitas ataupun manajemen perusahaan.
Dengan demikian, dapat
disimpulkan bahwa stakeholder teori merupakan suatu teori yang
mempertimbangkan kepentingan kelompok stakeholder yang dapat memengaruhi
strategi perusahaan.Pertimbangan tersebut memunyai kekuatan karena stakeholder
adalah bagian perusahaan yang memiliki pengaruh dalam pemakaian sumber
ekonomi yang digunakan dalam aktivitas perusahaan.Strategi stakeholder bukan
hanya kinerja dalam finansial namun juga kinerja sosial yang diterapkan oleh
perusahaan.Corporate Sosial Responsibility merupakan strategi perusahaan
untuk memuaskan keinginan para stakeholder, makin baik pengungkapan Corporate
Sosial Responsibility yang dilakukan perusahaan maka stakeholder akan
makin terpuaskan dan akan memberikan dukungan penuh kepada perusahaan atas
segala aktivitasnya yang bertujuan menaikkan kinerja dan mencapai laba.
Stakeholder theory mengatakan bahwa perusahaan
bukanlah entitas yang hanya beroperasi untuk kepentingannya sendiri namun harus
memberikan manfaat bagi stakeholdernya (pemegang saham, kreditur,
konsumen, supplier, pemerintah, masyarakat, analis, dan pihak lain).
Dengan demikian, keberadaan suatu perusahaan sangat dipengaruhi oleh dukungan
yang diberikan oleh stakeholder kepada perusahaan tersebut (Ghozali
& Chariri, 2007).
Gray, dkk., (1995) menyatakan bahwa
kelangsungan hidup perusahaan tergantung pada dukungan stakeholders dan
dukungan tersebut harus dicari, sehingga aktivitas perusahaan adalah untuk
mencari dukungan tersebut. Teori Stakeholder Freeman (1984) mendefinisikan
stakeholder seperti sebuah kelompok atau individual yang dapat memberi
dampak atau terkena dampak oleh hasil tujuan perusahaan.Stakeholdersadalah
para pemangku kepentingan, yaitu pihak atau kelompok yang berkepentingan, baik
langsung maupun tidak langsung, terhadap eksistensi atau aktivitas perusahaan,
dan karenanya kelompok tersebut memengaruhi dan/atau dipengaruhi oleh
perusahaan. Stakeholder termasuk di dalamnya yaitu stockholders,
creditors, employees, customers, suppliers, public interest groups, dan govermental
bodies (Roberts, 1992).
Stakeholder pada dasarnya dapat
mengendalikan atau memiliki kemampuan untuk memengaruhi pemakaian sumber-sumber
ekonomi yang digunakan perusahaan.Oleh karena itu, power stakeholder ditentukan
oleh besar kecilnya power yang dimiliki stakeholder atas sumber
tersebut.Power tersebut dapat berupa kemampuan untuk membatasi pemakaian
sumber ekonomi yang terbatas (modal dan tenaga kerja), akses terhadap media
yang berpengaruh, kemampuan untuk mengatur perusahaan, atau kemampuan untuk
memengaruhi konsumsi atas barang dan jasa yang dihasilkan perusahaan (Ghozali &
Chariri, 2007).
Roberts (1992) memaparkan
bahwa perkembangan konsep stakeholder dibagi menjadi tiga yaitu model
perencanaan perusahaan, kebijakan bisnis dan corporate social responsibility.Pengungkapan
tanggung jawab sosial dan lingkungan merupakan bagian dari komunikasi antara
perusahaan dengan stakeholder-nya. Oleh karena itu, ketika stakeholder
mengendalikan sumber ekonomi yang penting bagi perusahaan, maka perusahaan
akan bereaksi dengan cara yang memuaskan keinginan stakeholder (Ghozali &
Chariri, 2007).
Teori stakeholder secara
eksplisit mempertimbangkan akan dampak kebijakan pengungkapan perusahaan ketika
ada perbedaan kelompok stakeholder dalam sebuah perusahaan. Pengungkapan
informasi oleh perusahaan dijadikan alat manajemen untuk mengelola kebutuhan
informasi yang dibutuhkan oleh berbagai kelompok (stakeholders).Oleh
karena itu, manajemen mengungkapkan informasi tanggung jawab sosial dan
lingkungan ini dalam rangka mengelola stakeholder agar perusahaan
mendapatkan dukungan dari mereka.Dukungan tersebut dapat berpengaruh terhadap
kelangsungan hidup perusahaan (Gray, dkk.,
1995).
Teori
Keagenan (Agency Theory)
Teori Keagenan (Agency
Theory) menjelaskan adanya konflik kepentingan yang terjadi antara agen
dengan principal.Principal adalah pemegang saham atau investor
sedangkan agen adalah orang yang diberi kuasa oleh principal yaitu
manajemen untuk mengelola perusahaan yang terdiri dari dewan komisaris dan
dewan direksi. Adanya pemisahan kepemilikan oleh principal dan
pengendalian oleh agen dalam sebuah organisasi cenderung menimbulkan konflik
keagenan antara principal dan agen.Teori agensi ini muncul untuk
mengatasi konflik agensi yang dapat terjadi dalam hubungan keagenan. Di dalam
teori keagenan dikatakan bahwa hubungan keagenan timbul ketika salah satu pihak
(principal) memberi kuasa kepada pihak lain (agen) untuk melakukan
beberapa jasa untuk kepentingannya yang melibatkan pendelegasian beberapa
otoritas pembuatan keputusan kepada agen. Dalam kontrak ini agen berkewajiban
untuk melakukan hal-hal yang memberikan manfaat dan meningkatkan kesejahteraan principal
(Jensen & Meckling, 1976).
Principal ingin mengetahui segala
informasi termasuk aktivitas manajemen, yang terkait dengan investasi atau
dananya dalam perusahaan. Hal ini dilakukan dengan meminta laporan
pertanggungjawaban pada agen (manajemen). Laporan tersebut akan digunakan oleh principal
sebagai landasan dalam menilai kinerja manajemen. Tetapi, yang seringkali
terjadi adalah kecenderungan manajemen untuk melakukan tindakan yang membuat
laporannya kelihatan baik, sehingga kinerjanya pun dianggap baik.Manajemen
seringkali melakukan sesuatu yang dapat menguntungkan dirinya sendiri yaitu dengan
memaksimumkan laba manajemen yang dilakukan dengan manajemen laba (earnings
management).
Tindakan manajemen laba ini
dapat menyesatkan dan dapat menyebabkan pihak luar membuat keputusan ekonomi
yang salah. Gray, dkk., (1995)
berpendapat bahwa pengungkapan tanggung jawab sosial dan lingkungan perusahaan/
corporate social and environmental disclosure (CSED) merupakan sinyal
yang dapat mengalihkan perhatian pemegang saham dari monitoring atas
rekayasa laba atau isu lain, sehingga berdampak pada harga saham. Aktivitas
pengungkapan tanggung jawab sosial dan lingkungan perusahaan akan memberikan
informasi yang berguna dalam penilaian resiko yang lebih akurat bagi investor.
Hal ini akan memberikan akses kepada pendanaan eksternal dengan biaya yang
lebih rendah. Dalam hal ini dapat diinterpretasikan bahwa manajemen yang
melakukan manajemen laba dapat diprediksikan akan melakukan lebih banyak
pengungkapan tanggung jawab sosial dan lingkungan perusahaan.
Teori Legitimasi (Legitimacy
Theory)
Teori legitimasi berasal dari konsep
legitimasi organisasi yang diungkapkan oleh Dowling & Pfeffer (1975) yang
mengungkapkan bahwa legitimasi adalah sebuah kondisi atau status yang ada
ketika sistem nilai entitas kongruen dengan sistem nilai masyarakat yang lebih
luas di tempat entitas tersebut berada. Ketika terjadi suatu perbedaan, baik
yang nyata atau berpotensi muncul di antara kedua sistem nilai tersebut, maka
akan muncul ancaman terhadap legitimasi entitas. Sesuai dengan yang dinyatakan
O’Donovan (2002) bahwa legitimasi merupakan gagasan agar sebuah organisasi
dapat terus beroperasi dengan sukses, maka organisasi tersebut harus bertindak
sesuai aturan yang diterima secara luas oleh masyarakat. Deegan (2004)
menyatakan bahwa teori legitimasi adalah sebagai, “Teori
yang menyatakan bahwa organisasi secara berkelanjutan mencari cara untuk
menjamin operasi mereka berada dalam batas dan norma yang berlaku di
masyarakat. Suatu perusahaan akan secara sukarela melaporkan aktivitasnya jika
manajemen menganggap bahwa hal ini adalah yang diharapkan komunitas”.
Ghozali & Chariri(2007)
menyatakan bahwa hal yang mendasari teori legitimasi adalah kontrak sosial
antar perusahaan dan masyarakat di tempat perusahaan beroperasi dan menggunakan
sumber ekonomi.Jadi, setiap perusahaan memiliki kontrak implisit dengan
masyarakat untuk melakukan aktivitasnya berdasarkan nilai-nilai yang dijunjung
di dalam masyarakat. Apabila perusahaan bertindak memenuhi kontrak implisit
maka masyarakat akan mendukung keinginan perusahaan tersebut. Ahmad, dkk.,
(2004) menyatakan bahwa pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan merupakan
salah satu mekanisma yang dapat digunakan untuk mengomunikasikan perusahaan
dengan masyarakat, dan merupakan salah satu cara untuk memperoleh keuntungan
atau memperbaiki legitimasi perusahaan. Praktik dan pengungkapan tanggung jawab
sosial akan dianggap sebagai cara bagi perusahaan untuk tetap menyelaraskan
diri dengan norma-norma dalam masyarakat. Dengan demikian, perusahaan
disarankan untuk mengungkapkan kinerja lingkungan sehingga mendapatkan reaksi
positif dari lingkungan dan memperoleh legitimasi atas usahanya.
Perusahaan yang melakukan
kinerja lingkungan dan pengungkapan tanggung jawab sosial diharapkan dapat
meningkatkan keuntungan perusahaan di masa yang akan datang.Menurut Saidi
(2004), teori legitimasi adalah suatu kondisi atau status, yang ada ketika
suatu sistem nilai perusahaan kongruen dengan sistem nilai dari system sosial
yang lebih besar di mana perusahaan merupakan bagiannya. Ketika suatu perbedaan
yang nyata atau potensial ada antara kedua sistem nilai tersebut, maka akan
muncul ancaman terhadap legitimasi perusahaan.
O’Donovan (2002) mendefinisikan legitimasi sebagai, “Legitimacy
theory as the idea that in order for an organization to continue operating successfully,
it must act in a manner that society deems socially acceptable.”
Barkemeyer (2007)
menyatakan legitimasi sebagai, “Legitimacy is sought by organisations as it
affects understanding and actions of people towards the organization. People
perceive a legitimate organisation as “… more trustworthy.” Lebih lanjut Barkemeyer (2007) memberikan
definisi mengenai organizational legitimacy sebagai, “Legitimacy is a generalized perception or
assumption that the actions of an entity are desirable, proper, or appropriate
within some socially constructed system of norms, values, beliefs, and
definitions.”
Legitimasi adalah suatu
tindakan atau perbuatan hukum yang berlaku, peraturan yang ada, baik peraturan
hukum formal, etnis, adat-istiadat, maupun hukum kemasyarakatan yang sudah lama
tercipta secara sah. Batasan-batasan yang ditekankan oleh norma-norma dan nilai-nilai
sosial serta reaksi terhadap batasan tersebut mendorong pentingnya analisis
perilaku organisasi dengan memerhatikan lingkungan. Ghozali & Chariri(2007)
menyatakan bahwa salah satu dari sekian banyak faktor yang dimasukkan oleh para
peneliti sebagai motif dibalik pengungkapan tanggung jawab sosial dan
lingkungan perusahaan adalah keinginan untuk melegitimasi operasi organisasi.
Legitimasi merupakan sebuah pengakuan akan legalitas sesuatu. Suatu legitimasi
organisasi dapat dikatakan sebagai manfaat atau sumber potensial bagi
perusahaan untuk bertahan hidup (O’Donovan, 2002).
Legitimasi organisasi dapat
dipandang sebagai sesuatu yang diberikan oleh masyarakat kepada perusahaan dan
sesuatu yang diinginkan atau dicari perusahaan dari masyarakat.Kedudukan
perusahaan sebagai bagian dari masyarakat ditunjukkan dengan operasi perusahaan
yang seringkali memengaruhi masyarakat sekitarnya. Eksistensinya dapat diterima
sebagai anggota masyarakat, sebaliknya eksistensinya pun dapat terancam bila
perusahaan tidak dapat menyesuaikan diri dengan norma yang berlaku dalam
masyarakat tersebut atau bahkan
merugikan anggota komunitas tersebut.
Gray, dkk., (1995) juga menyatakan bahwa
organisasi atau perusahaan akan berlanjut keberadaannya jika masyarakat
menyadari bahwa organisasi beroperasi untuk sistem nilai yang seiring dengan
sistem nilai masyarakat itu sendiri. Teori legitimasi menganjurkan perusahaan
untuk meyakinkan bahwa aktivitas dan kinerjanya dapat diterima oleh masyarakat.
Hal ini akan mendorong perusahaan melalui top manajemennya akan mencoba
memperoleh kesesuaian antara tindakan organisasi dan nilai-nilai dalam
masyarakat umum dan publik yang relevan dengan stakeholder.
Teori legitimasi didasarkan
pada pengertian kontrak sosial yang diimplikasikan antara institusi sosial dan
masyarakat (Ahmad & Sulaiman, 2004).Teori legitimasi dibutuhkan oleh
institusi-institusi untuk mencapai tujuan agar kongruen dengan masyarakat luas.
Menurut Gray, dkk.,(1996)
dasar pemikiran teori legitimasi adalah organisasi atauperusahaan akan terus
berlanjut keberadaannya jika masyarakat menyadari bahwa perusahaan tersebut
beroperasi untuk sistem nilai yang sepadan dengan system nilai masyarakat itu
sendiri.
Perusahaan menggunakan
laporan keuangan tahunan untuk menggambarkan akuntabilitas atau tanggung jawab
manajemen terhadap perusahaan dan kesan tanggung jawab sosial dan lingkungan,
sehingga perusahaan yang bersangkutan diterima oleh masyarakat.Teori legitimasi
menganjurkan perusahaan untuk meyakinkan bahwa aktivitas dan kinerjanya dapat
diterima oleh masyarakat.Dengan adanya penerimaan dari masyarakat tersebut
diharapkan nilai perusahaan dapat meningkat sehingga berdampak pula pada
peningkatan laba perusahaan.Hal ini juga dapat mendorong dan membantu investor
dalam melakukan pengambilan keputusan investasi.
Ghozali & Chariri(2007)
menjelaskan bahwa teori legitimasi sangat bermanfaat dalam menganalisis
perilaku organisasi, karena teori legitimasi adalah hal yang paling penting
bagi organisasi.Teori legitimasi juga memberikan perspektif yang komprehensif
pada pengungkapan tanggung jawab sosial dan lingkungan perusahaan. Teori ini
secara eksplisit mengakui bahwa bisnis dibatasi oleh kontrak sosial yang
menyebutkan bahwa perusahaan harus dapat menunjukkan berbagai aktivitasnya agar
perusahaan memperoleh penerimaan masyarakat yang pada gilirannya akan menjamin
kelangsungan hidup perusahaan (Reverte, 2008). Lindblom (1994)menyatakan bahwa
teori legitimasi adalah suatu kondisi atau status yang ada ketika suatu sistem
nilai perusahaan kongruen dengan sistem nilai dari sistem sosial yang lebih
besar di mana perusahaan merupakan bagiannya.Hal ini menyebabkan munculnya
ancaman terhadap legitimasi perusahaan ketika terjadi perbedaan yang nyata atau
potensial antara kedua sistem nilai tersebut. Sehingga, dengan
melakukanpengungkapan tanggung jawab sosial dan lingkungan, perusahaan akan
merasa bahwa keberadaan dan aktivitasnya terlegitimasi.
Meskipun perusahaan
memiliki kebijakan operasi dalam batasan institusi, kegagalan perusahaan dalam
menyesuaikan diri dengan norma ataupun adat yang diterima masyarakat, akan
mengancam legitimasi serta sumber daya perusahaan, yang pada akhirnya akan
mengancam kelangsungan hidup perusahaan (Reverte, 2008). Praktik- praktik
tanggung jawab sosial dan pengungkapan social (corporate social and
environmental disclosure (CSED)) yang dilakukan perusahaan dapat dipandang
sebagai suatu usaha untuk memenuhi harapanharapan
masyarakat terhadap
perusahaan. Aktivitas tanggung jawab sosial dan lingkungan perusahaan
diharapkan dapat meningkatkan hubungan antara pemegang saham, supplier,
kreditur, dan pihak yang berkepentingan lainnya atau dengan kata lain, kinerja
ekonomi dan keuangan sebuah entitas memiliki hubungan positif dengan
pengungkapan tanggung jawab sosialnya (Hasibuan, 2001).Hal ini berarti
pengungkapan tanggung jawab sosial dan lingkungan perusahaan merupakan salah
satu mekanisma yang dapat digunakan untuk mengkomunikasikan perusahaan dengan stakeholders.
Gray, dkk., (1995) mengatakan bahwa
informasi yang diungkapkan kepada stakehoder merupakan legitimasi
tanggung jawab sosial dan lingkungan yang telah dilakukan perusahaan. Manajer
yang terlibat manajemen laba cenderung menyadari bahwa pengungkapan lingkungan
dengan sukarela (voluntary corporate social and environmental disclosure)
dapat digunakan untuk mempertahankan legitimasi organisasional, terutama pada
pihak terkait dengan politik dan sosial dan untuk mengalihkan perhatian stakeholder
terhadap pendeteksian manajemen laba.CSED merupakan jalan masuk yang
digunakan beberapa organisasi untuk memperoleh keuntungan atau memperbaiki
legitimasi (Ahmad & Sulaiman, 2004).Karena itu, teori legitimasi merupakan
salah satu teori yang mendasari pengungkapan tanggung jawab sosial dan
lingkungan perusahaan untuk mendapatkan nilai positif dan legitimasi dari
masyarakat.
Gray, dkk., (1995) juga menjelaskan bahwa
pengungkapan tanggung jawab sosial dan lingkungan merupakan bagian dari
pengungkapan laporan keuangan. Ada banyak studi yang menguji lebih lanjut
informasi sosial yang dihasilkan oleh perusahaan, dan menemukan bahwa informasi
lingkungan merupakan salah satu bagian dari informasi tersebut. Walaupun tidak bersifat
wajib, banyak perusahaan yang secara sukarela melakukan pengungkapan tanggung
jawab sosial dan lingkungan (voluntary social and environmental disclosures).Voluntary
social and environmental disclosures banyak dilakukan perusahaan dalam
rangka menjaga reputasi perusahaannya dan perusahaan bisa tetap survive serta
terhindar dari berbagai bentuk penolakan dari masyarakat. Di dalam teori
legitimasi (legitimacy theory) dipaparkan jawaban-jawaban yang mendukung
mengapa perusahaan harus mengungkapkan tanggung jawab sosial dan lingkungannya
.
Teori legitimasi juga dapat
digunakan untuk menjelaskan keterkaitan mekanisma corporate governance dan
profitabilitas terhadap pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan.Mekanisma
corporate governance dan profitabilitas memberikan keyakinan perusahaan
untuk melakukan pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan. Dengan mekanisma
corporate governance dan profitabilitas yang mencukupi, perusahaan tetap
akan mendapatkan keuntungan positif, yaitu mendapatkan legitimasi dari
masyarakat yang pada akhirnya akan berdampak meningkatnya keuntungan
perusahaan di masa yang akan datang.
TANGGUNG JAWAB SOSIAL DAN
LINGKUNGAN PERUSAHAAN
Triple Bottom Line
Istilah Triple Bottom
Line dipopulerkan oleh John Elkington pada tahun 1997.Melalui bukunya yang
berjudul “Cannibals with Forks, the Triple Bottom Line of Twentieth Century
Business”, Elkington mengembangkan konsep Triple Bottom Line dalam
istilah economic prosperity, environmental quality, dan social justice.Perusahaan
yang ingin berkelanjutan haruslah memerhatikan “3P”.Selain mengejar profit,
perusahaan juga harus memerhatikan dan terlibat dalam pemenuhan kesejahteraan
masyarakat (people) dan turut berkontribusi aktif dalam menjaga
kelestarian lingkungan (planet). Aspek-aspek yang terdapat
dalam Triple Bottom Line adalah sebagai berikut (Wibisono, 2007).
1. Profit
Profit merupakan unsur terpenting
dan menjadi tujuan dari setiap kegiatan usaha. Fokus utama dari seluruh
kegiatan dalam perusahaan adalah mengejar profit atau mendongkrak harga
saham setinggi-tingginya, baik secara langsung maupun tidak langsung. Profit
sendiri adalah tambahan pendapatan yang dapat digunakan untuk menjamin
kelangsungan hidup perusahaan. Aktivitas yang dapat ditempuh untuk mendongkrak profit
antara lain dengan meningkatkan produktivitas dan melakukan efisiensi
biaya. Hal tersebut akan menyebabkan perusahaan memiliki keunggulan kompetitif
yang dapat memberikan nilai tambah semaksimal mungkin.
2. People
Masyarakat di sekitar
perusahaan adalah salah satu stakeholder penting yang harus diperhatikan
oleh perusahaan. Dukungan dari masyarakat sekitar sangat diperlukan bagi
keberadaan, kelangsungan hidup, dan perkembangan perusahaan sehingga perusahaan
akan selalu berupaya untuk memberikan manfaat yangsebesar-besarnya kepada
masyarakat. Operasi perusahaan berpotensi memberikan dampak bagi masyarakat sekitar,
sehingga perusahaan perlu untuk melakukan berbagai kegiatan yang menyentuh
kebutuhan masyarakat.Secara ringkas, jika perusahaan ingin tetap mempertahankan
usahanya, perusahaan juga harus menyertakan tanggung jawab yang bersifat
sosial.
3. Planet
Selain aspek people,
perusahaan juga harus memperhatikan tanggung jawabnya terhadap
lingkungan.Karena keuntungan merupakan inti dari dunia bisnis, kerapkali
sebagian besar perusahaan tidak terlalu memperhatikan hal yang berhubungan
dengan lingkungan, karena tidak ada keuntungan langsung di dalamnya. Dengan
melestarikan lingkungan, perusahaan akan memperoleh keuntungan yang lebih,
terutama dari sisi kenyamanan dan ketersediaan sumber daya yang menjamin
kelangsungan hidup perusahaan.
Konsep dan Definisi
Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perusahaan
Menurut Global Reporting
Initiative (GRI) dalam Siregar (2010) tanggung jawab sosial dan lingkungan
adalah, “Corporate social reporting/sustainability reporting is a process
forpublicly disclosing an organization’s economic, environmental, and social
performance”. World Bank (2003)
menyatakan definisi CSR sebagai, “The commitment of business to contribute
to sustainable economic development, working with employees, their families,
the local community and society at large to improve their quality of
life.” Untung (2008) memberikan
pengertian mengenai tanggung jawab sosial dan lingkungan sebagai, “Corporate
Social Responsibility adalah komitmen perusahaan atau dunia bisnis untuk
berkontribusi dalam pengembangan ekonomi yang berkelanjutan dengan memerhatikan
tanggung jawab sosial perusahaan dan menitikberatkan pada keseimbangan antara
perhatian terhadap aspek ekonomis, sosial, dan lingkungan.”
Tanggung jawab sosial dan
lingkungan perusahaan adalah tanggung jawab yang diemban oleh perusahaan
terhadap keseimbangan antara aspek- aspek ekonomi, sosial, dan
lingkungan.Tanggung jawab sebuah perusahaan tersebut meliputi beberapa aspek
yang tidak dapat dipisahkan. Tanggung jawab sosial atau Corporate Social
Responsibility (CSR) adalah kontribusi sebuah perusahaan yang terpusat pada
aktivitas bisnis, investasi sosial dan program philantrophy, serta
kewajiban dalam kebijakan publik (Wineberg, 2004). Tujuan dari adanya CSR yaitu
sebagai wujud tanggung jawab sosial dan lingkungan perusahaan atas
dampak-dampak lingkungan yang ditimbulkannya.Banyaknya global warming,
kemiskinan yang semakin meningkat, serta memburuknya kesehatan masyarakat
memicu perusahaan untuk melakukan tanggung jawab sosial dan lingkungannya.CSR
memegang peranan yang penting dalam strategi perusahaan di berbagai sektor yang
terjadi ketidakkonsitenan antara keuntungan perusahaan dan tujuan sosial, atau
perselisihan yang dapat terjadi karena isu-isu tentang kewajaran yang
berlebihan (Heal, 2004).
European Commission (2001)
dalam Darwin (2008) mendefinisikan CSR sebagai, “a concept where by
companies integrate social and environmental concerns in their business
operations and in their interaction with their stakeholders on a voluntary
basis”. CSR Asia dalam Darwin (2008)
mendefinisikan CSR sebagai, “CSR is a company’s commitment to operating in
an economically, socially and environmentally sustainable manner whilst
balancing the interests of diverse stakeholders.”
CSR adalah komitmen
perusahaan terhadap tiga (3) elemen, yaitu elemen ekonomi, sosial, dan
lingkungan. Definisi CSR merujuk pada definisi yang disampaikan European Commission dan CSR Asia di
atas, yaitu perusahaan semakin menyadari bahwa kelangsungan hidup perusahaan
juga tergantung dari hubungan perusahaan dengan masyarakat dan lingkungannya
tempat perusahaan beroperasi. Hal ini
selaras dengan legitimacy theory yang menyatakan bahwa perusahaan
memiliki kontrak dengan masyarakat untuk melakukan kegiatannya berdasarkan
nilai-nilai keadilan, dan bagaimana perusahaan menanggapi berbagai kelompok
kepentingan untuk melegitimasi tindakan perusahaan (Haniffa & Cooke, 2005).
Jika terjadi ketidakselarasan antara sistem nilai perusahaan dan sistem nilai
masyarakat, maka perusahaan akan kehilangan legitimasinya, yang selanjutnya
akan mengancam kelangsungan hidup perusahaan itu sendiri (Lindblom, 1994 dalam
Haniffa & Cooke, 2005 dan Sayekti & Wondabio, 2007).
CSR dan CER merupakan suatu bentuk
kepedulian sosial perusahaan untuk melayani kepentingan organisasi maupun
kepentingan publik eksternal/masyarakat. CSR dan CER adalah komitmen perusahaan
untuk mempertanggungjawabkan dampak operasi dalam dimensi ekonomi, sosial dan lingkungan. Dengan atau tanpa aturan
hukum, sebuah perusahaan harus menjunjung tinggi moralitas.Parameter
keberhasilan suatu perusahaan dalam sudut pandang CSR adalah pengedepankan
prinsip moral dan etis, yakni menggapai suatu hasil terbaik, tanpa merugikan
kelompok masyarakat yang lainnya.
Pengungkapan Tanggung Jawab
Sosial dan Lingkungan Perusahaan
Pengungkapan secara
kontekstual adalah bagian integral dari pelaporan keuangan, sedangkan secara
teknis pengungkapan adalah langkah akhir dalam proses akuntansi yaitu penyajian
informasi dalam bentuk penuh laporan keuangan (Suwardjono, 2005). Hendriksen
(1991) mendefinisikan pengungkapan sebagai penyajian sejumlah informasi yang
dibutuhkan untuk pengoperasian secara optimal pasar modal yang efisien.
Pengungkapan mengandung arti bahwa sebuah laporan harus memberikan informasi
dan penjelasan yang cukup mengenai hasil
aktivitas suatu unit usaha
(Ghozali & Chariri, 2007).
Tujuan pengungkapan secara
umum adalah menyajikan informasi yang dipandang perlu untuk mencapai tujuan
pelaporan keuangan dan melayani berbagai pihak yang memiliki kepentingan
berbeda (Suwardjono, 2005).Security Exchange Committee (SEC) menuntut
lebih banyak pengungkapan karena pelaporan keuangan memiliki aspek sosial dan
publik.Oleh karena itu, pengungkapan dituntut lebih dari sekedar pelaporan
keuangan, tetapi meliputi pula penyampaian informasi kualitatif dan
kuantitatif, baik yang mandatory (wajib) maupun voluntary (sukarela)
(Chrismawati, 2007).
Anggraini (2006) menyatakan
bahwa tuntutan terhadap perusahaan untuk memberikan pengungkapan informasi yang
transparan, organisasi yang akuntabel serta tata kelola perusahaan yang baik (good
corporate governance) memaksa perusahaan untuk memberikan informasi
mengenai aktivitas sosialnya.Masyarakat membutuhkan informasi mengenai sejauh
mana perusahaan sudah melaksanakan aktivitas sosialnya sehingga hak masyarakat
untuk hidup aman dan tentram, kesejahteraan karyawan, dan keamanan mengonsumsi
produk dapat terpenuhi. Pengungkapan sosial dan lingkungan yang dilakukan oleh
perusahaan umumnya bersifat voluntary (sukarela), unaudited (belum
diaudit), dan unregulated (tidak dipengaruhi oleh peraturan tertentu)
(Nurlela & Islahudin, 2008).
REFLEKSI
Sebegitu gamblang dan jelas
tentang arti penting bisnis dan aktivitas ekonomi yang berkelanjutan (sustainable business) bagi sebuah
entitas ekonomi.Bukan hanya teori tetapi didukung oleh bukti empiris atau bukti
dari duni bisnis di berbagai Negara.
Tetapi, sayangnya di Indonesia bisnis dan aktivitas ekonomi
berkelanjutan yang memperhatikan lestarinya bumi, pemberdayaan masyarakat, yang
pada akhirnya akan berdampak pada profit masih belum menjadi perhatian. Bahkan, telah banyak instrumen hukum dan
peraturan yang mendukungnya, tetapi belum bersifat mengikat dan masih bersifat
sukarela.Artinya, entittas ekonomi alias perusahaan belum diharuskan tetapi
hanya bersifat sukarela melaksanakan bisnis berkonsep triple bottom line.
Dari banyak sumber dan
analisis penulis, nampaknya kepentingan untuk mendatangkan investor demi
meningkatkan investasi (orientasi kuantitas) masih menjadi pertimbangan utama. Pemberdayaan masyarakat
sebagai konsumen dan tenaga kerja apalagi masalah kelestarian lingkungan dan
energy ramah lingkungan masih tidak dipertimbangkan. Akhirnya, banyak investor
dan pelaku ekonomi di Indonesia memfokuskan usahanya hanya untuk mencari keuntungan
sebesar-besarnya. Bukan
hanya tidak memperhatikan manusia dan lingkungan, malah dengan semena-mena
melakukan eksploitasi manusia sebagai sumber daya, juga merugikan konsumen
dengan produk yang tidak bermutu.Perlikau menghancurkan alam dengan alasan
sumberdaya alam yang melimpah serta penanganan limbah yang serampangan
menjadikan planet bumi sebagai tempat tinggal manusia satu-satunya rusak dengan
sangat cepat.
Bisnis atau aktivitas
ekonomi bukan tidak bisa dikelola dengan arif dan bijaksana. Konsep bisnis triple bottom line menawarkan metoda dan cara berbisnis yang arif
dan bijaksana yang berorientasi jangka panjang dan berkelanjutan. Walau telah diterapkan diberbagai Negara maju
seperti di Eropa, Amerika, Australia, dan sebagian Negara-negara maju di Asia
belum menjadi prioritas untuk diajarkan apalagi diterapkan di Indonesia.Bahkan,
masih cenderung menjadi arus pinggiran yang sering kali diremehkan dan
ditertawakan oleh pemangku kepentingan, khususnya dari kalangan pengambil
kebijakan seperti Pemerintah Pusat dan Daerah, para pelaku usaha baik investor
maupun industrialis, bahkan oleh kalangan akademisi sendiri.Pemangku
kepentingan di Indonesia pada umumnya masih menjadikan keuntungan, walau
bersifat jangka pendek, menjadi tujuan utama dan bahkan satu-satunya tujuan
berusaha dan pembangunan ekonominya.
Sosialisasi, edukasi, dan
advokasi harus terus dilakukan demi kehidupan yang lebih baik dan lestarinya
bumi sebagai satu-satunya tempat manusia bisa hidup.Kerja keras dari setiap
orang yang telah sadar untuk menjaga lestarinya bumi demi lestarinya kehidupan,
memanusiakan manusia sebagai makhluk yang berdaya dan bermartabat, serta
entitas ekonomi yang bijaksana dan bertanggung jawab untuk terus dan terus
mengabarkan kebenaran walau seringkali pahit dan menyakitkan. Pekerjaan berat menanti di depan kita, tetapi
kebenaran tentang lestarinya bumi, manusia yang bermartabat, dan usaha yang bertanggungjawab
lagi bijaksana harus dikabarkan.
REFERENSI
Ahmad, N & Sulaiman, M.
2004. Environmental Disclosure in Malaysian Annual Reports: A Legitimacy Theory
Perspective. International Journal of Commerce & Management.Vol.14,
No.1.
Barkemeyer, R. 2007.
Legitimacy as a Key Driver and Determinant of CSR in Developing Countries.Paper
for the 2007 Marie Curie Summer School on Earth System Governance, 28 May –
06 June 2007, Amsterdam.
Budimanta, A., Prasetijo,
A. & Rudito, B. 2008.Corporate Social Responsibility, Alternatif Bagi
Pembangunan Indonesia. Jakarta: Indonesia Center for Sustainibility
Development Chariri, A. & Ghozali, I.
2007. Teori Akuntansi. Semarang: Badan Penerbit Universitas
Diponegoro.
Chrismawati, D. T. 2007.
Pengaruh Karakteristik Keuangan dan Non Keuangan Perusahaan terhadap Praktik Environmental
Disclosure di Indonesia. Skripsi. Universitas Diponegoro. Semarang.
Commission of the European
Communities. 2001. Promoting a European Framework for Corporate Social
Responsibility. Brussels: European Community.
Darwin, A. 2008. CSR:
Standards dan Reporting. Makalah disampaikan pada Seminar Nasional CSR
sebagai Kewajiban Asasi Perusahaan; Telaah Pemerintah, Pengusaha, dan Dewan
Standar Akuntansi, 27 November 2010.
Deegan. 2002. Introduction:
The Legitimizing Effect Of Social And Environmental Disclosure – A Theoretical
Foundation. Accounting, Auditing & Accountability Journal, vol.15,
no. 3, pp. 282--311.
Dowling, J. & Pfeffer, J. 1975,
Organizational Legitimacy:
Social Values and Organization Behavior. Pacific
Sociological Review, Vol. 18 No. 1, pp. 122--136.
Elkington,
J. 1997.Cannibals with Forks: The Triple Bottom Line of 21st Century
Business. Oxford: Capstone Publishing.
Endiarto, O.T. &
Stephanus, D. S. 2015. Analisis
Pengaruh Kinerja Lingkungan Terhadap Nilai Perusahaan Yang Terdaftar Di Index
Sri Kehati . Skripsi. Universitas
Ma Chung. Malang
Forum for Corporate
Governance in Indonesia.
2001. Peranan Dewan Komisaris dan Komite Audit dalam Pelaksanaan Corporate
Governance (Tata Kelola Perusahaan). Jilid II. Edisi Kedua. Jakarta:
FCGI.
Freeman, R.E. 1984. Strategic
Management: A Stakeholder Approach. Boston: Pitman
.
Ghozali & Chairiri.
2007. Teori Akuntansi. Semarang: Universitas Diponegoro
Global Reporting
Initiative. 2006. GRI Sustainability Reporting GuideLines G3 Version. Dipetik Desember 6, 2013, dari https://www.globalreporting.org/
Haniffa, R. M & Cooke,
T. E. 2005.The Impact of Culture and Governance on Corporate Social Reporting.Journal
of Accounting and Public Policy 24.
Hasibuan, R. 2001. Pengaruh
Karakteristik Perusahaan Terhadap Pengungkapan Sosial.Tesis. Universitas
Diponegoro. Semarang.
Heal, G. 2004. Corporate
Social Responsibility – An Economic and Financial Framework.Working Paper.Columbia
Business School.
Jensen, M. C &
Meckling, W. H. 1976. Theory of the Firm: Managerial Behavior, Agency Costs and
Ownership Structure. Journal of Financial Economics, Oktober, 1976, V.
3, No. 4, pp. 305--360.
Lawrence, A. & Webber,
J. 2008. Business & Society: Stakeholders, Ethics, Public Policy. McGraw
Hill Companies Incorporated
Lindblom, C. K. 1994. The
Implications of Organizational Legitimacy for Corporate
Nuraini, E. 2010. Pengaruh Environmental
Performance Dan Environmental Disclosure Terhadap Economic
Performance (Studi Pada Perusahaan Yang Terdaftar Di Bursa Efek Indonesia).Skripsi.
Universitas Diponegoro. Semarang
Nurlela, R &
Islahuddin. 2008. Pengaruh Corporate Social Responsibility terhadap
Nilai Perusahaan dengan Prosentase Kepemilikan Manajemen sebagai Variabel Moderating:
Studi Empiris pada Perusahaan yang Terdaftar di Bursa Efek Jakarta. Simposium
Nasional Akuntansi XI.
Pontianak.
O’Donovan. 2002.
Environmental Disclosure in the Annual Report: Extending the Applicability and
Predictive Power of Legitimacy Theory. Accounting, Auditing, and
Accountability Journal, Vol.15, No.3
Prior, D, Jordi, S, & Josep, A. 2008. Are Socially Responsible Managers Really Ethical? Exploring the Relationship Between Earnings Management and Corporate Social Responsibility.Corporate
Governance: An International Review, Vol.16, no.3, pp:160--177.
Reverte, C. 2008.
Determinants of Corporate Social Responsibility Disclosure Ratings by Spanish
Listed Firms.Journal of Business Ethics (2009) pp:351–366.
Saidi. 2004. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi
Struktur Modal pada Perusahaan
ManufakturGo Public di BEJ 1997-2002. Jurnal Bisnis dan
Ekonomi Vol. 11 no.1, hal.44--58.
Saputra, N. A. & Stephanus, D.S. 2014. Pengaruh Pengungkapan Corporate
Social Resposibility Dan Global Reporting Initiatives Terhadap Nilai
Perusahaan Pada Perusahaan Yang Tercatat Di Indeks Sri-Kehati 2010—2012. Skripsi. Universitas Ma Chung. Malang
Sayekti &
Wondabio.(2007). Pengaruh Corporate Social Responsibility (CSR) Disclosure Terhadap Earnings Response Coefficient.Simposium Nasional Akuntansi X.
Makassar.
Shleifer, A. & Vishny, R.W. 1997.A
Survey of Corporate Governance.Journal of Finance, Vol 52. No 2
Suwardjono. 2005. Teori
Akuntansi: Perekayasaan Pelaporan Keuangan. Yogyakarta: Badan Penerbit
Universitas Gadjah Mada.
Tunggal, A, W. 2008. Corporate Social
Responsibility (CSR). Harvarindo.
Untung, H. B. 2008. Corporate
Social Responsibility. Jakarta: Sinar Grafika.
Wibisono, Y. 2007. Membedah
Konsep dan Aplikasi Corporate Social Responsibility. Gresik: Fascho
Publishing
Wineberg, D. 2004.
Corporate Social Responsibility – What Every In House Counsel Should Know. Acc
Docket.
World Bank Ext
Communications For Development Division Devcomm/Sdo. 2003. Corporate Social
Responsibility And Multi Stakeholder Dialogue: Towards Environmental Behavioral
Change. Discussion Paper.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar