Pustaka UM pada Rabu 07 Oktober 2015.
MUKADIMAH
Ekspansi kuasa modal semakin menjadi-jadi,
bukan hanya dengan kekuatan modal yang dimiliki untuk membeli aset rakyat yang
nota bene dengan mengabaikan lestarinya lingkungan tetapi juga mengancam
kehidupan sosial budaya dan kearifan lokal.
Bahkan dengan jumlah uangnya yang
nyaris tak terbatas mampu membeli para birokrat dan kuasa politik lokal bahkan
nasional demi nafsu rakusnya. Juga
bagaimana kuasa uang para pemodal mampu membeli idealisma akademisi untuk
menyokong keinginan mereka.
Reklamasi Teluk Benoa adalah salah satu
contoh kasus, syahwat ekspansi kuasa modal bukan hanya ingin menguruk teluk
menjadi daratan untuk kawasan industri pariwisata yang tak ramah lingkungan
saja tetapi juga tak mengindahkan budaya dan kearifan lokal. Dipertontonkan pula bagaimana kuatnya keuatan
uang kuasa modal mampu mengatur penguasa lokal dan bahkan nasional untuk
membantu memuluskan pemenuhan sayhwat ekspansi.
Diperlihatkan pula, bagaimana cerdik pandai yang bergelar Guru Besarpun
rela tunduk dan melacurkan idealisma dan keilmuannya dengan menjadi penyedia
jasa konsultan studi kelayakan reklamasi.
Pada tulisan ini akan disajikan kronologi
dan dampak serta data dan fakta yang telah banyak dihimpun dan disebarluarkan
oleh kawan-kawan ForBali13, komunitas penolak reklamasi Teluk Benoa. Juga akan disajikan hasil kerja kawan-kawan
ForBali13 dalam berjuang menjaga lestarinya Teluk Benoa dan Pulau Bali. Pada bagian akhir juga akan disajikan sedikit
pemikiran dan analisis dengan menggunakan pendekatan Triple Bottom Line dengan prinsip People and Planet before Profit.
KRONOLOGI
26 Desember 2012, Gubernur Bali
mengeluarkan ijin pemanfaatan kawasan Teluk Benoa untuk PT Tirta Wahana Bali
Internasional (TWBI) dengan SK Gubernur Nomor 2138/02-C/HK/2012 tentang Rencana
Pemanfaatan dan Pengembangan Kawasan Perairan Teluk Benoa Kabupaten Badung
seluas 828 hektar. Ijin prinsip untuk
pengelolaan kawasan diterbitkan tanpa ada kajian terlebih dahulu.
16 Agustus 2013, Gubernur Bali mencabut SK
sebelumnya dan mengganti dengan SK Gubernur Nomor 1727/01-B/HK/2013 tentang
ijin Studi Kelayakan Rencana Pemanfaatan, Pengembanga, dan Pengeloaan Wilayah
Perariran Teluk Benoa. Sekedar revisi
atas SK sebelumnya.
Polemik yang terjadi adalah sebagai
berikut:
(1) Keluarnya ijin dengan SK Gubernur yang diam-diam, tanpa kajian, dan
cenderung manipulative.
(2) SK Gubernur bertentangan dengan Perpres Nomor 45/2011 tentang Tata
Ruang Kawasan Kawasan Perkotaan Sarbatiga.
Perpres menyatakan bahwa Teluk Benoa adalah kawasan konservasi.
(3) SK Gubernur bertentangan dengan Perpres Nomor 122/2012 tentang
Reklamasi di Wliayah-Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Perpres melarang reklamasi di kawasan
konservasi.
Pada akhir masa jabatan Presiden, SBY
mengeluarkan Perpres Nomor 51/2014 tentang Perubahan atas Perpres 45/2011
tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan Sarbatiga. Perpres baru ini mengubah status kawasan
Teluk Benoa menjadi bukan kawasan konservasi.
Perpres yang jelas-jelas dikeluarkan secara mendadak untuk mengakomodir
kepentingan PT TWBI selaku investor reklamasi Teluk Benoa.
Selanjutnya, terbit Surat Ijin dari Menteri
Kelautan dan Perikanan dengan SK Nomor 445/men-KP/VIII/2014 tentang Reklamasi
di Kawasan Teluk Benoa seluas 700 hektar.
Terbitnya Perpres 51/2014 menjadikan perijinan bagi PT TWBI lancer dan
tanpa hambatan.
Kejanggalan-Kejanggalan dai terbitnya
Perpres, SK Menteri, dan SK Gubernur tentang Reklamasi Teluk Benoa adalah
sebagai berikut:
(1) Dinyatakan terjadi pendangkalan dan sedimentasi di Teluk Benoa. Mengapa mengatasinya bukan dengan pengerukan
(normalisasi) tetapi malah pengurukan (reklamasi)?
(2) Material uruk untuk reklamasi diperkirakan sebanyak 40 juta meter
kubik. Apakah tidak akan menjadikan
Teluk Benoa bukan saja dangkal permanen tetapi menjadi daratan?
(3) Minimnya pelibatan masyarakat dalam kajian oleh investor maupun
pemerintah. Padahal Teluk Benoa berada
di 3 kecamatan di 2 Kota/Kabupaten.
Kecamatan Denpasar Selatan di Kota Denpasar dan Kecamatan Kuta dan Kuta
Selatan di Kabupaten Badung. Terdiri
dari 12 Desa.
Sumber: www.forbali13.org
MASALAH
DAN KERENTANAN
Dirangkum menjadi 13 alasan menolak
Reklamasi Teluk Benoa.
- Reklamasi
merusak fungsi konservasi
Teluk Benoa
adalah tampungan atau muara dari 5 sungai dan merupakan kawasan suci (Ampuhan
Agung), selain itu merupakan pembentuk
Kepulauan Bali. Teluk Benoa memiliki
ekosistem lengkap berupa kawasan mangrove, padang lamun, dan terumbu karang,
serta kawasan penyangga terumbu karang yang lebih luas lagi. Teluk Benoa merupakan kawasan hayati Segitiga
Emas Bali (Bali – Nusa Penida – Candi Dasa).
- Fungsi
reservoir menurun
Reklamasi akan
menganggu fungsi 5 sungai yang bermuara di Teluk Benoa (Badung, Mati, Tuban,
Bualu, dan Sana) sebagai pengendali banjir di Tanjung Benoa sampai kawasan
Bandara akan terganggu bahkan akan kehilangan fungsinya.
- Pulau-Pulau
baru menyebabkan kerentanan bencana
Reklamasi akan
menghilangkan fungsi liquitaksi, fungsi
penahanan getaran gempa pada permukaan tanah.
Akibat lebih jauhnya adalah meningkatnya kerencatanan terjadinya tsunami
bila terjadi gempa baik di laut maupun di darat.
- Rusaknya
terumbu karang
Polip atau
rongga terumbu karang akan tertutup material padat sehingga akan mematikan
terumbu karang tersebut. Kawasan terumbu
karang yanfg rusak akan mengakibatkan rusaknya keanekaragaman hayati di kawasan
Segitiga Emas Bali (Bali – Nusa Penida – Candi Dasa). Material uruk yang didatangkan dari Nusa Dua
(Badung), Candi Dasa (Karangasem), dan Sekotong (Lombok) akan merusak kawasan
dan lingkungan setempat. Jadi, reklamasi
bukan hanya merusakan ekosistem dan lingkungan Teluk Benoa, tetapi juga tempat
asal material uruk didatangkan.
- Rusaknya
ekosistem mangrove
Reklamasi akan
mengakibatkan perubahan kondisi dan salinitas air, akibatnya akan menganggu dan
merusak vegetasi asli Teluk Benoa.
Akibat lebih jauh dari rusaknya vegetasi Teluk Benoa adalah rusaknya
ekosistem dan keanekaragaman hayati Teluk Benoa.
- Ancaman
abrasi pantai
Bukan hanya
Benoa saja tetapi abrasi pantai akan mengancam Nusa Dua, Sanur, Gianyar,
Klungkung, dan Karangasem.
- Material
reklamasi akan didatangkan dari Nusa Dua (Badung), Candi Dasa
(Karangasem), dan Sekotong (Lombok)
Reklamasi akan
mengakibatkan kerusakan bukan hanya di Teluk Benoa tetapi juga daerah asal
material uruk. Sebanyak 40 juta meter
kubik bukan jumlah yang sedikit dan pasti akan merusak bukan hanya lingkungan
dan ekosistem setempat tetapi juga social budaya serta tentu saja social
ekonomi.
- Reklamasi
adalah modus kuasa modal untuk mendapatkan tanah berbiaya murah
Reklamasi
menghasilkan tanah berbiaya murah karena harga tanah di sekitar Teluk Benoa
telah mencapai harga 1,5—2 Milyar/are.
Sedangkan biaya reklamasi diperkirakan hanya sebesar 1 Milyar/are. Besar keuntungan pemodal bila luasan
reklamasi seluas 700 hektar. Reklamasi
bukan hanya menghancurkan lingkungan dan alam tetapi juga mengancam ratusan
nelayan tradisional yang mengantungkan hidup dari Teluk Benoa.
- Kebijakan
pemerintah yang pro modal
Reklamasi
membuka borok mudahnya keluar ijin untuk para pemodal. Bukan hanya SK Gubernur atau SK Menteri,
bahkan Perpres-pun bisa “dibeli” oleh kekuatan uang para pemodal. Kelindan para Birokrat dan Politisi sebagai
dengan kuasa modal yang ekspansif dan destruktif.
- Pulau-pulau
baru hasil reklamasi untuk mendukung industry pariwisata
Reklamasi akan
berimbas pada munculnya ratusan hotel dan ribuan kamar baru. BaIi selatan sudah dinyatakan terlalu banyak
kamar dan sudah diberlakukan moratorium pembangunan hotel dan penambahan kamar
baru, mengapa akan dibangun ratusan hotel baru dan ribuan kamar baru di Bali
Selatan? Dampak lebih jauh adalah
semakin melabatnya ketimpangan antara kawasan Bali Selatan dan Bali Utara. Selain itu, masifnya fasilitas hotel juga
akan mengakibatkan kelangkaan daya dukung alam seperti air, permasalahan energy
listrik, dan tentu saja sampah.
- Janji
manis investor yang membuai mimpi
Reklamasi Teluk
Benoa dapat menjadi mimpi indah yang berubah menjadi mimpi buruk seperi
pengembangan kawasan pariwisata lain di Pulau Bali. Bagaimana kelanjutan reklamasi Pulau Serangan
yang terbengkalai? Bagaimana dengan proyek Garuda Wisnu Kencana (GWK) yang
macet? Bagaimana dengan Pecatu Graha dan BNR yang terhenti?
- Mudahnya
merubah status kawasan konservasi menjadi kawasan pemanfaatan
Reklamasi
menunjukkan lemahnya komitmen resim saat itu terhadap pelestarian alam. Bahkan untuk komitmen yang digagasnya, Coral
Triangle Initiative, bisa dengan mudah diabaikan dengan menerbitkan Perpres
51/2014 yang mengubah kawasan konservasi Teluk Benoa menjadi kawasan
pemanfataan. Selain itu, nampak jelas
abainya rezim pada menjaga fungsi kawasan hidup yang sehat bagi masyarakat
local.
- Kebangkrutan
pariwisata Bali
Reklamasi
mengabaikan pariwisata Bali yang berbasis pada alam, budaya, dan spiritualitas
bahkan dirusak dan “diperkosa” dengan pola-pola industrialisasi yang ekspansif,
masif dan destruktif. Ciri khas semangat
kapitalistik dan imperialistic.
Sumber: www.walhibali.org
HASIL PERTEMUAN BERSAMA DENGAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH (DPD), KEMENTERIAN, dan
PT. TIRTA WAHANA BALI INTERNATIONAL (TWBI)
Hasil Pertemuan antara ForBali13 dengan
Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPD), Kementerian Terkait, dan PT
TWBI
Pertemuan yang dihadiri oleh Forbali13 yang
juga diikuti oleh Bendesa Pekraman dan Sekses Tanjung Benoa, PT TWBI yang
dihadiri oleh Direksi (AA Ngurah M.) dan Komisaris (Nyoman Sebudi) serta
konsutan (Prof. Dietrich dari IPB). Sedangkand
dari DPD hadir Senator Kadek Lola Arimbawa dan Gde Pasek Suardika serta dari
Kementerian Kelautan dan Perikanan yang diwakili oleh Dirjen KP3K (Sudirman
Saad) dan Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup yang diwakili oleh Deputi
Tata Kelola Lingkungan Hidup.
- Disoroti
oleh para Senator adalah mudahnya AMDAL dikeluarkan oleh KKLH dan
presentasi dari KKP yang mirip dengan presentasi dari PT TWBI.
- Terminologi
revitalisasi yang dipergunakan oleh investor tetapi dengan aktivitas yang
jelas-jelas reklamasi, sehingga muncul penolakan dari warga Bali yang
diwakili oleh ForBali13.
- Masterplan reklamasi
yang mirip dengan Venesia di Italia tetapi bukan Bali yang nuansa kearifan
lokalnya kental.
- Keberpihakan
akademisi sebagai konsultan dan KKP dan KKLH yang terang-terangan bekerja
untuk kepentingan investor.
- Alasan
investor, KKP, dan KKLH tentang pendangkalan dan sedimentasi di Teluk
Benoa tetapi malah dilakukan pendangkalan permanen melalui reklamasi
adalah alasan yang sangat tidak masuk akal.
- Teluk
Benoa sebagai penampungan 5 sungai dan pengendali banjir akan terganggu
dan akan mengakibatkan banjir di kawasan Tanjung Benoa.
- Hilangngya
fungsi spawning (pemijahan), nursery (pemeliharaan), dan feeding (makan) di kawasan mangrove
akan berdampak pada keanekaragaman hayati serta ikan tangkapan dari nelayan
local.
- Reklamasi
yang bertujuan untuk pengembangan pariwisata yang jelas-jelas untuk
mencari keuntungan mengapa dipresentasikan dan disosialisasikan dengan
terminology revitalisasi yang bersifat konservasi. Terjadi proses kebohongan public secara
masif yang dilakukan oleh investor, pemerintah local, bahkan kementerian
dan presiden melalui SK dan Perpres.
- Hilangnya
daerah tangkapan ratusan nelayan tradisional yang akan menghancurkan
perekonomian dan kehidupan nelayan local.
Sumber: Agung Alit dan Gendovara
Selain hasil dari pertemuan antara para
pemangku kepentingan dengan pada Senator dari Bali diketemukan pula modus
kongkalikong lain yang dilakukan oleh investor dan birokrat.
Disusun rencana untuk melakukan tukar
guling Pulau Pudut (169,95 hektar) yang kosong dengan Hutan Mangrove seluas
238,79 hektar di Tahura Ngurah Rai (dekat Bandara). Pulau Pudut akan dihapus dan dijadikan
kawasan penyangga bagi kawasan Reklamasi Teluk Benoa seluas 700 hektar. Hutan Mangrove akan menjadi kawasan
konservasi penganti Teluk Benoa.
Sumber: www.balebengong.net
TEORI
TRIPLE BOTTOM LINE
Istilah Triple Bottom Line dipopulerkan
oleh John Elkington pada tahun 1997. Melalui bukunya yang berjudul “Cannibals
with Forks, the Triple Bottom Line of Twentieth Century Business”,
Elkington (1997) mengembangkan konsep Triple Bottom Line dalam istilah
(1) economic prosperity, (2)
environmental quality, and (3) social justice. Perusahaan
yang berkelanjutan haruslah memperhatikan “3P”. Selain mengejar profit,
perusahaan juga harus memperhatikan dan terlibat dalam pemenuhan kesejahteraan
masyarakat (people) dan turut berkontribusi aktif dalam menjaga
kelestarian lingkungan (planet). Aspek-aspek yang terdapat dalam Triple
Bottom Line adalah sebagai berikut (Wibisono, 2007).
1. Profit
Profit merupakan unsur terpenting dan
menjadi tujuan dari setiap kegiatan usaha. Fokus utama dari seluruh kegiatan
dalam perusahaan adalah mengejar profit atau mendongkrak harga saham
setinggi-tingginya, baik secara langsung maupun tidak langsung. Profit sendiri
adalah tambahan pendapatan yang dapat digunakan untuk menjamin kelangsungan
hidup perusahaan. Aktivitas yang dapat ditempuh untuk mendongkrak profit antara
lain dengan meningkatkan produktivitas dan melakukan efisiensi biaya. Hal
tersebut akan menyebabkan perusahaan memiliki keunggulan kompetitif yang dapat
memberikan nilai tambah semaksimal mungkin.
2. People
Masyarakat di sekitar
perusahaan adalah salah satu stakeholder penting yang harus diperhatikan
oleh perusahaan. Dukungan dari masyarakat sekitar sangat diperlukan bagi
keberadaan, kelangsungan hidup, dan perkembangan perusahaan sehingga perusahaan
akan selalu berupaya untuk memberikan manfaat yangsebesar-besarnya kepada
masyarakat. Operasi perusahaan berpotensi memberikan dampak bagi masyarakat
sekitar, sehingga perusahaan perlu untuk melakukan berbagai kegiatan yang
menyentuh kebutuhan masyarakat. Secara ringkas, jika perusahaan ingin tetap
mempertahankan usahanya, perusahaan juga harus menyertakan tanggung jawab yang
bersifat sosial.
3. Planet
Selain aspek people,
perusahaan juga harus memperhatikan tanggung jawabnya terhadap lingkungan.
Karena keuntungan merupakan inti dari dunia bisnis, kerapkali sebagian besar
perusahaan tidak terlalu memperhatikan hal yang berhubungan dengan lingkungan, karena
tidak ada keuntungan langsung di dalamnya. Dengan melestarikan lingkungan,
perusahaan akan memperoleh keuntungan yang lebih, terutama dari sisi kenyamanan
dan ketersediaan sumber daya yang menjamin kelangsungan hidup perusahaan.
Konsep dan Definisi Tanggung
Jawab Sosial dan Lingkungan Perusahaan
Menurut Global Reporting
Initiative (GRI) tanggung jawab sosial dan lingkungan adalah, “Corporate
social reporting/sustainability reporting is a process for publicly
disclosing an organization’s economic, environmental, and social
performance”. World Bank (2003)
menyatakan definisi CSR sebagai, “The commitment of business to contribute
to sustainable economic development, working with employees, their families,
the local community and society at large to improve their quality of
life.” Untung (2008) memberikan
pengertian mengenai tanggung jawab sosial dan lingkungan sebagai, “Corporate
Social Responsibility adalah komitmen perusahaan atau dunia bisnis untuk
berkontribusi dalam pengembangan ekonomi yang berkelanjutan dengan memerhatikan
tanggung jawab sosial perusahaan dan menitikberatkan pada keseimbangan antara
perhatian terhadap aspek ekonomis, sosial, dan lingkungan.”
Jadi, tanggung jawab sosial dan
lingkungan perusahaan adalah tanggung jawab yang diemban oleh perusahaan
terhadap keseimbangan antara aspek- aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan.
Tanggung jawab sebuah perusahaan tersebut meliputi beberapa aspek yang tidak
dapat dipisahkan. Tanggung jawab sosial atau Corporate Social Responsibility
(CSR) adalah kontribusi sebuah perusahaan yang terpusat pada aktivitas
bisnis, investasi sosial dan program philantrophy, serta kewajiban dalam
kebijakan publik (Wineberg, 2004). Tujuan dari adanya CSR yaitu sebagai wujud
tanggung jawab sosial dan lingkungan perusahaan atas dampak-dampak lingkungan
yang ditimbulkannya. Banyaknya global warming, kemiskinan yang semakin
meningkat, serta memburuknya kesehatan masyarakat memicu perusahaan untuk
melakukan tanggung jawab sosial dan lingkungannya. CSR memegang peranan yang
penting dalam strategi perusahaan di berbagai sektor yang terjadi
ketidakkonsitenan antara keuntungan perusahaan dan tujuan sosial, atau
perselisihan yang dapat terjadi karena isu-isu tentang kewajaran yang
berlebihan (Heal, 2004).
CSR merupakan suatu bentuk
kepedulian sosial perusahaan untuk melayani kepentingan organisasi maupun
kepentingan publik eksternal/masyarakat. CSR adalah komitmen perusahaan untuk
mempertanggungjawabkan dampak operasi dalam dimensi sosial, ekonomi serta
lingkungan. Dengan atau tanpa aturan hukum, sebuah perusahaan harus menjunjung
tinggi moralitas. Parameter keberhasilan suatu perusahaan dalam sudut pandang
CSR adalah pengedepankan prinsip moral dan etis, yakni menggapai suatu hasil
terbaik, tanpa merugikan kelompok masyarakat yang lainnya.
European Commission (2001)
mendefinisikan CSR sebagai, “a concept where by companies integrate social
and environmental concerns in their business operations and in their
interaction with their stakeholders on a voluntary basis”. CSR Asia dalam Darwin (2008)
mendefinisikan CSR sebagai, “CSR is a company’s commitment to operating in
an economically, socially and environmentally sustainable manner whilst
balancing the interests of diverse stakeholders.”
Jadi, CSR adalah komitmen
perusahaan terhadap tiga (3) elemen, yaitu elemen ekonomi, sosial, dan
lingkungan. Definisi CSR merujuk pada definisi yang disampaikan European
Commission dan CSR Asia di atas, yaitu perusahaan semakin menyadari bahwa
kelangsungan hidup perusahaan juga tergantung dari hubungan perusahaan dengan
masyarakat dan lingkungannya tempat perusahaan beroperasi. Hal ini selaras dengan legitimacy theory yang
menyatakan bahwa perusahaan memiliki kontrak dengan masyarakat untuk melakukan
kegiatannya berdasarkan nilai-nilai keadilan, dan bagaimana perusahaan
menanggapi berbagai kelompok kepentingan untuk melegitimasi tindakan perusahaan
(Haniffa & Cooke, 2005). Jika terjadi ketidakselarasan antara sistem nilai
perusahaan dan sistem nilai masyarakat, maka perusahaan akan kehilangan legitimasinya,
yang selanjutnya akan mengancam kelangsungan hidup perusahaan itu sendiri
(Lindblom, 1994).
REFLEKSI
Ekspansi
kuasa modal yang massif dan dekstruktif terjadi di banyak tempat di
Indonesia. Tidak sedikit rakyat yang
melakukan perlawanan terhadap ekspansi kuasa modal yang didukung loleh syahwat
para birokrat dan politisi local sampai nasional untuk memperkaya diri. Bali Toal Reklamasi (Teluk Benoa) di Bali
hanya salah satu potret kecil perjuangan rakyat untuk menjaga lingkungan dan
alam.
Tidak jauh
dari tempat tinggal kita, di Malang Raya juga banyak terjadi eksploitasi alam
atas nama pembangunan ekonomi yang dilakukan oleh kuasa modal yang berkelindan
dengan penguasa local. Kawan-kawan di
Desa Bulukerto, Kecamatan Bumiaji, Kota Batu yang tergabung dalam Nawakalam
Gemulo berjuang untuk menyelamatkan Sumber Air Gemulo dari eksploitasi Hotel
dan Resort Rayja. Di Kabupaten Malang, kawan-kawan
di Sumber Jeruk, Gondanglegi juga melakukan perlawanan untuk menyelamatkan mata
air dan sungai dari ancaman pembangunan waduk.
Pulau Sempu sebagai Cagar Alam yang harusnya bebas dari aktivitas
manusia terkomersialisasi menjadi kawasan wisata. Pertambangan pasir di pantai-pantai selatan
Malang seperti di Wonogoro dan sebentar lagi di Sitiarjo jelas akan menghancurkan
kawasan pantai. Demikian pula di Kota
Malang, kawan-kawan Aliansi Peduli Hutan Kota Malabar berjuangan menjaga
keberadaan dan fungsi hutan kota sebagai hutan kota dari ancaman alih fungsi
menjadi taman kota yang ternyata menjadi syarat (kontijensi) ekspansi kuasa
modal untuk mendirikan Apartemen Muria Residence.
Wacana
sebagai dasar pemikiran bagus, tetapi bila tanpa diikuti oleh tindakan nyata,
wacana hanya akan menguap tak berbekas.
Tindakan dan aksi nyata kita untuk menjaga lestarinya alam lebih penting
dari beribu kata yang terucap di ruang-ruang diskusi.
Malang, 07 Oktober 2015
Daniel S. Stephanus
REFERENSI
Commission of the European Communities. 2001. Promoting
a European Framework for Corporate Social Responsibility. Brussels: European
Community
Darwin, A. 2008. CSR: Standards
dan Reporting. Makalah disampaikan pada Seminar Nasional CSR sebagai
Kewajiban Asasi Perusahaan; Telaah Pemerintah, Pengusaha, dan Dewan Standar
Akuntansi, 27 November 2010.
Elkington, J. 1997.Cannibals with Forks: The
Triple Bottom Line of 21st Century Business. Oxford: Capstone Publishing.
Haniffa, R. M & Cooke, T.
E. 2005. The Impact of Culture and Governance on Corporate Social Reporting. Journal
of Accounting and Public Policy 24
Heal, G. 2004. Corporate Social
Responsibility – An Economic and Financial Framework. Working Paper.
Columbia Business School
Lindblom, C. K. 1994. The
Implications of Organizational Legitimacy for Corporate
Untung,
H. B. 2008. Corporate Social Responsibility. Jakarta: Sinar Grafika
Wineberg, D. 2004. Corporate
Social Responsibility – What Every In House Counsel Should Know. Acc Docket.
World Bank Ext Communications
For Development Division Devcomm/Sdo. 2003. Corporate Social Responsibility And
Multi Stakeholder Dialogue: Towards Environmental Behavioral Change.
Discussion Paper
Akun Facebook Agung Alit dan Gendovara
Tidak ada komentar:
Posting Komentar