Program Orientation Based on Reflection (OBOR) 2 - Pendidikan Karakter Universitas Ma Chung di Desa Tlogosari, Kecamatan Tlogosari, Kabupaten Malang pada 29 Juni—03 Juli 2015
Mukadimah
Orientation Based on Reflection (OBOR)
merupakan serangkaian kegiatan di masa libur perkuliahan yang merupakan bagian
dari Pendidikan Karakter (Pendikar) yang ada di Universitas Ma Chung yang
dilaksanakan oleh Lembaga Pendidikan Karakter dan Kepemimpinan (PKK) dibantu
oleh Direktorat Kemahasiswaan dan Alumni (DKA) serta Lembaga Pengabdian Pada
Masyarakat (LPM). OBOR terdiri dari
rangkaian kegiatan guna mengembangkan karakter dan jiwa kepemimpinan yang kuat
bagi mahasiswa. OBOR 2 merupakan
kegiatan yang mengedepankan berkehidupan bersama dalam perbedaan. OBOR 2 tahun 2015 dilaksanakan di beberapa
tempat, peserta yang ingin belajar tentang peri kehidupan Muslim belajar hidup
bersama di Pondok Pesantren Dusun Gasek, Kelurahan Karang Besuki, Kecamatan
Sukun, Kota Malang. Sedangkan yang ingin
belajar tentang peri kehidupan Hindu berkenan hidup bersama di Kecamatan Wagir
Kabupaten Malang. Sedangkan yang ingin
belajar tentang peri kehidupan Buddha hidup bersama di Desa Boro, Kecamatan Selorejo,
Kabupaten Blitar. Sedangkan yang ingin
belajar kehidupan Nasrani (Kristen dan Katolik) belajar hidup bersama di Desa
Tlogosari, Kecamatan Donomulyo, Kabupaten Malang.
Desa
Tlogosari, Kecamatan Donomulyo
Tulisan ini disajikan untuk sedikit
menceritakan peri kehidupan juga tanggapan dari peserta hidup bersama (live in) dari saudara-saudara Non
Nasrani untuk belajar tentang keseharian keluarga dan lingkungan Nasrani. Desa Tlogosari, Kecamatan Donomulyo memang
dihuhi oleh mayoritas berkeyakinan Nasrani, baik Katolik maupun Kristen, walau
demikian tidak sedikit yang berkeyakinan Islam.
Tetapi, selama bertahun-tahun kehdupan yang majemuk di Desa Tlogosari
tetaplah aman dan damai. Hal ini
ditandai dengan berdirinya tiga tempat ibadah yang saling berdeketan di seputar
Balai Desa. Gereja Katolik Nampak yang
paling tua didirakan disana, kemudian Gereja Kristen (Jawi Wetan) yang sudah
tampak berdiri cukup lama, serta Masjid yang yerlihat masih baru yang merupakan
perluasan dari Musholla yang sebelumnya sudah ada. Bagaimana pula diceritakan oleh para tokoh
agama (Toga) setempat, pembangunan rumah ibadah selalu dilaksanakan bersama
seluruh penduduk dan seluruh umat laksana gotong royong layaknya membangun
fasilitas umum dan fasilitas social desa lainnya. Sebuah contoh tentang berkehidupan bersama
dalam damai walau berbeda keyakinan.
Para pembelajar yang terdiri dari 15 orang
yang berasal dari berbagai kepercayaan Non Nasrani serta berasal dari berbagai
perguruan tinggi, tinggal bersama 5 keluarga Katolik. Penulis mendapat tempat tinggal bersama
keluarga Bapak Wanto dan Ibu Lusy, keluarga Katolik yang taat, hidup tinggal
berdua karena kedua anaknya telah memiliki kehidupan sendiri di luar kota. Anak pertama yang adalah seorang perawat
telah menikah yang bekerja dan tinggal di Depok, sedangkan anak kedua yang
adalah seorang guru saat ini sedang meniti karir di SDK Sang Timur
Pasuruan. Pasangan suami istri yang
telah meiliki 2 cucu ini menikmati masa tua sebagai petani dan peternak, dengan
memelihara 2 ekor sapi, satu sapi dipelihara di belakang ruman sedangkan satu
ekor sapi lain dipelieharakan dengan cara bagi hasil (gaduh). Pak Wanto merupakan pensiunan guru negeri,
sedangkan Bu Lusy adalah pensiunan perawat dari RS Panti Waluyo (RKZ Malang). Pantas kedua putri merka meniti karir seperti
karir yang pernah dijalani oleh kedua orang tuanya.
Tempat tinggal kami, baik penulis maupun
peserta lain tidak jauh dari pusat pemerintahan (Balai Desa) dan pusat
keramaian (pasar) serta pusat kegiatan social (rumah ibadah). Seperti yang dituliskan sebelumnya, Desa
Tlogosari yang masyarakatnya mayoritas berkeyakinan Nasrani tetap hidup damai
bersama dengan saudara-saudara yang berkeyakinan Islam. Nampak ketiga rumah ibadah (Gereja Katolik
dan Gereja Kristen) berdiri berdekatan dengan Masjig. Bahkan dikisahkan oleh para Toga Tlogosari,
pembangunan setiap rumah ibadah dibangun bersama-sama secara gotong royong oleh
semua warga dari berbagai keyakinan laksana membangun fasilitas umum dan
fasilitas social. Dalam keseharian, peri
kehidupan yang damai ditunjukkan dari kebiasaan saling tegur dan sapa serta
mengucap salam satu dengan yang lain, tak terkecuali dengan seorang yang baru
dikenal atau bahkan baru dilihat seperti yang kami alami.
Kehidupan yang damai bukan menjadi
satu-satunya ciri khas Desa Tlogosari, pemanfaatan lahan dan halaman juga
sangat optimal. Nyaris tidak ada
sejengkal tanapuh yang dimanfaatkan, baik untuk fasilitas rumah terlebih untuk
tanam menanam. Di setiap pekarangan
rumah akan ditemui berbagai tanaman sayur, buah, dan bunga. Asri, sejuk, dan bermanfaat. Di Desa Tlogosari internalisasi ketahanan
pangan bahkan kedaulatan pangan nampak jelas terlihat. Bukan semata sebagai
jargon politik penguasa dan program-program pemerintah yang tidak pernah
implementatif. Tanpa harus berkoar-koar
dan pasang iklan layanan masyarakat tiada henti, masyarakat Desa Tlogosari
telah melakukan dan mempraktikkan konsep ketahanan dan kedaulatan pangan secara
nyata.
Bukan hanya sekedar tegus sapa, Pak Wanto
dan Ibu Lusi mengatakan “Disini sudah biasa mas, saling mengundang saat acara
keagamaan. Pada saat perayaan natal kami
mengundang seluruh warga di sekitar gereka.”
Keluarga yang aktif dalam setiap peribadatan dan kegiatan lingkungan
Stasi Tlogosari yang merupakan bagian dari Paroki Purworejo menegaskan, “Bahkan
makam di Desa ini menjadi satu, tidak ada perbedaan Nasrani ataupun
Muslim. Buktinya mereka berbaring
berdampingan ga pernah bertengkar.” Kelakar keduanya. Pernah suatu saat ada permintaan untuk
memisahkan makam Nasrani dan Muslim, itupun karena pengaruh orang luar, tetapi
dapat ditepis dan makam tetap menjadi makam umum desa.
Pak Wanto yang asli Tlogosari menceritakan
baha di desanya hanya ada sekolah setingkat Sekolah Dasar (SD), dan beliau
pernah mengajar menjadi guru disana.
Bahkan anak keduanya yang alumni dari Universitas Kanjuruhan juga pernah
menjadi guru sukarelawan selama 4 tahun dan tidak diangkat. Pernah suatu saat dimintai uang Rp150 juta
untuk memperlicin jalan diangkat menjadi guru pegawai negeri sipil tetapi
ditolak mentah-mentah oleh Pak Wanto.
Saat ini, sang anak menjadi guru di SDK Sang Timur Pasuruan walau
mendaftar melalui SDK Sang Timur Malang.
Pendidikan selepas SD, warga Tlogosari harus keluar desa bahkan keluar
kecamatan, entah ke Donomulyo bisa juga ke Sumber Manjing.
Kerukunan yang ditunjukkan oleh warga
Tlogosari dibuktikan juga dengan kerelaan melayat sampai ke luar desa ke Desa
Kaliondo dan yang dilayatpun berbeda iman.
Keberangkatan bukan satu persatu tetapi berombongan sebagai perwakilan
dari Desa Tlogosari. Kerukunan dan
kedamaian berimbas pada keamanan.
Rumah-rumah di Desa Tlogosari tidak pernah pintunya ditutup kecuali bila
tuan rumah sedang tidur atau bepergian.
Selama masih ada orang di rumah, pintu rumah selalu terbuka lebar tanpa
ada rasa syak wasangka apalagi curiga masuknya orang-orang jahat. Rumah-rumah tanpa pagar tinggi, tanpa
gerbang, pintunya selalu terbuka untuk siapapun yang akan dating berkunjung.
Masyarakat Desa Tlogosari yang hidup dari
pertanian, perkebunan, dan peternakan menjadikan bertanam tebu sebagai
penghasilan utama karena tidak membutuhkan banyak air walau kebutuhan pupuk
cukup tinggi. Selain berkebun tebu,
peternakan sapi menjadi sandaran hidup bukan saja karena hasilnya menjanjikan pemasukan
yang besar (rajakaya, rajanya penghasilan) tetapi juga karena kotoran sapi
dapat dipergunakan sebagai pupuk untuk perkebunan tebu. Sedangkan pertanian padi berada di dekat mata
air dan sungai-sungai yang mengalirkan air yang tak begitu melimpah di Desa
Tlogosari. Hasil panen tebu dikirim ke
Pabrik Gula (PG) Kebon Agung di Malang dan PG Mrican di Kediri karena
menjanjikan harga yang cukup tinggi walau mensyaratkan rendemen (kandungan
gula) yang cukup tinggi pula. Mekanisma
pengiriman tebu dititipkan pada Kelompok Tani yang memiliki Surat Perintah
Tebang (SPT). Saat ini harga tebu
mencapai Rp380.000/ton.
Apakah godaan dan ancaman terhadap
kedamaian tidak ada? Pernah sesekali datang godaan yang ingin memecahbelah
perdamaian di Desa Tlogosari, seperti adanya Guru Agama di SD Tlogosari yang
mengajarkan disharmonisasi. Karena
resah, seluruh warga meminta untuk memindahkan guru tersebut. “sekarang guru agama itu sudah dipindah ke
Kota Batu” tukas Pak Wanto. Ada pula Uztad muda yang datang untuk menjadi guru
mengaji di Masjid, tetapi karena memanas-manasi warga dengan ajaran
fundamentalisma juga diusir oleh warga. “Yang ngusir Pak Haji Naryo sendiri
mas, karena yang diajarkan ga bener” Kata Pak Wanto menegaskan.
Belajar
dari Kearifan Tokoh Agama dan Tokoh Masyarakat Desa Tlogosasi
Belajar
dari Haji Sunaryo
Bapak Haji Sunaryo yang akrab dipanggil
dengan Mbah Naryo merupakan seorang tokph Agama Islam di Desa Tlogosari. Mbah Naryo yang rumah kediamannya persis di
belakang Stasi Katolik Tlogosari memberikan pembelajaran tentang kehidupan
dalam keberagaman yang damai di Tlogosari.
Beliau mendasarkannya pada Pinsip Islam Nusantara sebagai dasar
berkehidupan sebagai Muslim sekaligus sebagai Warga Negara Indonesia. Beliau menegaskan, “beragama itu bebas, asal
tetap menjaga kesatuan dan persatuan bangsa.”
Sebagaimana Ajaran Islam Nusantara yang berisi (1) Ukuwah Islamiyah, (2)
Ukuwah Jamaiyah, (3) Ukuwah Watoniyah, dan (4) Rahmatan Lil Alamin. Menurut beliau, Islam Nusantara adalah Islam
yang damai dan berwawasan Nusantara.
Mbah Naryo menambahkam, “mayoritas harus
menjamin kehidupan beragama bagi yang minoritas, hidup itu harus rukun dan
saling menjaga keharmoninsan. Rukun
warga, rukun tetangga, dan nukun Negara.”
Beliau menambahkan, “agama tidak perlu dijaga dan dibela secara
berlebihan, Tuhan itu mahakuasa.”
Seharusnya, sesama umat beragama tidak saling menuduh sesat apalagi
mengafir-ngafirkan. Karena, agama harus
sesuai dengan jamannya, sesuai dengan konteks budayanya. “Tidak perlu belajar agama sampai ke luar
negeri, seharusnya belajar di dalam negeri saja. Supaya, mengajarkan agamanya sesuai dengan
budaya dan keadaan masyarakat.”
Beliau menegaskan pula tentang pandangan
beliau terhadap perang melawan kejahatan dan kezaliman. “Negara sudah ada
aparat keamanan. Kita tidak boleh bertindak sendiri melawan kejahatan, harus
bekerja bersama aparat keamanan. Bukan
main hakim sendiri.” Menjaga perdamaian
dalam kehidupan bersama menjadi tanggung jawab setiap warga Negara. Menjalin kerukunan sesama umat dan antar umat
beragama menjadi kewajiban setiap warga Negara dan setiap orang yang mengaku
beragama.
Sebagai contoh, di Desa Tlogosari bila ada
acara desa atau acara keluarga, doa dipanjatkan secara bergantian oleh tokoh
agama. Selain itu, saling mengundang dan
hadir dalam setiap perayaan hari besar agama.
“Kami biasa saling mengundang, tapi kami hadir saat perayaannya saja dan
tidak ikut ritualnya. Tentu saja saling
mengucapkan selamat hari raya masing-masing agama.” Demikian tukas Mbah Naryo, bapak dari 6
putra-putri yang sehari-hari berpenghidupan sebagai petani. Sebagai contoh yang lain, bukan hanya
menghadiri undangan pernikahan tetapi juga kematian, seluruh warga hadir dan
ikut aktif membantu. Turut mendoakan walau
tidak ikut dalam prosesi sacral masing-masing agama, seperti sakramen atau sholat
jenasah. “Kita harus bisa membedakan,
mana doa mana sholat”, demikian penjelasan beliau. “Kita harus dapat diuwongke uwong lan nguwongke uwong, harus menjauhkan buruk sangka
dan belajar untuk ikhlas.” Jelas Mbah Naryo.
Walaupun hanya sekolah sampai kelas 6 saja,
Mbah Naryo yang pernah nyantrik di
salah satu Kyai di Madura bahkan sampai diambil mantu, memiliki pandangan yang
luas tentang Islam Nusantara dan berkehidupan bersama dalam keberagaman. Mbah Naryo yang pernah menjadi Sekretaris
Ansor dan Ketua Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) berpedoman bahwa pemimpin
adalah pelayan. Sehingga, kunci menjadi
pemimpin yang baik adalah menjadi contoh dan teladan.
Pengalaman
Baru dari Para Peserta Saat Turut Hadir pada Doa Arwah (Ritual Katolik)
Doa arwah sebagai salah satu prosesi atau
ritual Katolik dilakukan untuk mendoakan seseoarang yang sudah meninggal baik 7
harinya, 40 harinya, atau 100 harinya, bahkan pendak dan 1000 harinya.
Sama seperti ritual thalil di
dalam Ajaran Islam NUsantara. Pada doa arwah
kali ini, para peserta yang turut hadir mendapatkan pengalaman pujian dan
prosesi doa yang seluruhnya dilakukan dengan berbahasa Jawa halus. Pengalaman baru bagi para perserta yang
mayoritas Non Kristiani yang umumnya terbiasa dengan pujian, doa, dan prosesi
menggunakan bahasa asli agamnya, Bahasa Arab untuk Islam dan Bahasa Pali untuk
yang beragama Buddha, atau Bahasa Sansekerta untuk umat Hindhu.
Pengalaman yang didapat adalah merasa lebih
dekat dengan Sang Maha Kuasa karena bahasa yang dipergunakan adalah bahasa ibu,
bahasa yang didengar sehari-hari. Selain
itu, pengalaman menyaksikan perempuan terlibat aktif dalam ibadah bahkan
memimpun doa. Tingginya toleransi antar
umat beragama dan saling mengenal tetangga yang berkeyakinan berbeda serta
saling memperhatikan satu dengan yang lain.
Bahkan, dalam satu keluarga terdapat perbedaan keyakinan tetap hidup
rukun dan saling mendukung satu dengan yang lain dalam setiap acara keagamaan.
Belajar
Toleransi dan Berkehidupan Bersama dari Para Tokoh Agama dan Tokoh Masyarakat
Desa Tlogosari
Belajar mengenai kehidupan yang damai dalam
perbedaan di Tlogosari didapat melalui acara sarasehan yang menghadirkan Ibu
Lilik (Kepala Desa), Pak Sutris (Toga Katolik), dan Pak Sunaryo (Toga Islam).
Pak Sunaryo sebagai pembicara pertama
menegaskan kembali tentang Islam Nusantara, Islam yang cinta damai. Islam yang berlandaskan pada (1) Ukuwah
Islamiah; (2) Ukuwah Jamaiyah; (3) Ukuwah Watoniah (berhubungan baik dengan
Pemerintah); (4) Kepedulian (nguwongke
uwong); (5) Rahmatan Lil Alamin (menjadi damai bagi alam semesta). Ditegaskannya, “tugas para pemimpin dan juga
anak-anak muda yang beragama berpendidikan adalah untuk mencerdaskan umat,
melakukan pendidikan umat, agama, adat, seni, dan budaya”. Selain itu juga mengatasi masalah kejahatan
dan kezaliman dengan bekerja bersama aparat keamanan dan aparat pemerintah
untuk menjamin persatuan dan kesatuan bangsa.
Setiap insan yang beragama hendaknya bersikap relijius tetapi berwawaasan
nusantara.
Sedangkan Pak Sutris berpesan tentang
membangun kerukunan antar umat beragama, yaitu dengan kerja keras untuk
menghadapi kesulitan bersama. “Gotong
royong dan kebersamaan adalah kunci menjadi kerukunan, karakter asli
Donomulyo.” Demikian tutur Pak Sutris.
Dibuktikan dengan secara bersama-sama mampu mengatasi gejolak politik
dan keamanan yang tetap terjaga dalam damai. “Pirnsip kami, sak nyari bumi sak dumuk bathuk, menjaga
kerukunan untuk menjaga kehidupan yang damai.” Tutur Pak Sutris.
Pembicara terakhir adalah Ibu Lilik, Kades
saat ini yang didampingi oleh Pak Miskan, suami Bu Lilik yang adalah mantan
Kades sebelumnya. Mereka berdua
menceritakan tentang tingginya kerukunan di Desa Tlogosari. Kerukunan yang membawa hidup damai yang telah
ada sejak dahulu kala dan terus dijaga dan diturunkan sampai saat ini. Sebagai contoh, setiap acara desa khususnya
Bersih Desa, pasti akan dinaikkan doa bersama, doa yang dilakukan secara
bergantian oleh tokoh agama-agama yang ada di Desa Tlogosari. “Desa kami
masyarakatnya majemuk, rumah ibadah saling berdekatan. Tidak pernah ada masalah, karena kami hidup
rukun dengan saling menghormati dan gotong royong.” Tukas kedua pemimpin
desa. Ditambahkan pula, “Pemimpin harus adil
dan tidak berpihak apalagi menganak emaskan dan menganak tirikan golongan-golongan
tertentu.” Bahkan, dalam banyak
keputusan akan dikonsultasikan dan dibicarakan dengan seluruh tokoh agama dan
tokoh masyarakat di Desa Tlogosari. “Gotong royong dan silaturahmi adalah
karakter warga Desa Tlogosari.” Ujar mereka.
Diceritakan, bagaimana pendirian Gereja Adven, gereja baru yang
pendiriannya dibantu oleh Aparat Desa dan oleh seluruh masyarakat di
sekitarnya, walau berbeda agama dan kepercayaan. Bila tiba Hari Raya setiap agama yang ada di
Tlogosari, maka akan saling mengundang dan saling memberi selamat. Kenduri sebagai salah satu bentuk ritual yang
dekat dengan adat dan budaya selalu dilakukan dengan berdoa bersama, dengan
segala bahasa yang ada.
Belajar
Toleransi bersama Beberapa Tokoh dan Pemimpin Agama
Selain belajar dari tokoh agama dan tokoh
masyarakat setempat, peserta OBOR juga mendapatkan pencerahan dari beberapa
tokoh dan pemimpin agama. Kedua tokoh
tersebut adalah Bante Dhama Vijayo MT, seorang tokoh dan pemimpin Agama Buddha yang
juga sekaligus Pembina Dhamma TV yang banyak memberikan pencerahan di Malang
Raya dan beberapa kota lain yang menyiarkannya.
Tokoh selanjutnya adalah Pendeta Dr. Suwignyo, seorang tokoh Agama
Kristen yang juga merupakan pimpinan dari Sekolah Tinggi Teologi Balewiyata
Malang. Sedangkan Tokoh Islam diwakili
oleh M. Faisol seorang Dosen dari Universitas Islam Negeri Maulana Malik
Ibrahim Malang. Sedangkan tokoh Agama
Katolik yang menjadi pemateri adalah Romo Antonius Denny seorang Kepala Sekolah
SMAK Santo Paulus Jember, beliau adalah putra daerah Tlogosari. Pak Sujono mewakili tokoh Agama Hindu, beliau
adlah Wakil Kepala Sekolah SMA Tri Murti Pakisaji Malang. Sedangkan tokoh multikulturasima diwakili
oleh Aji Prasetyo seorang komikus dan pemusik sekaligus aktivis
multikulturalisma.
Sebagai pembuka, Bante Dhamma Vijayo MT
memaparkan tentang kebebasan berfikir untuk membangun batin. “Siddarta belajar
menata fikiran dan batin dengan bertapa selama 6 tahun. Beliau menemukan kesadaran dalam hening dan
damai.” Ujan Bante. Dalam damai dan
hening dan kesadaran sesorang akan mampu melihat kehidupan lampau serta dapat
menyadari hokum sebab – akibat dan mengenal dharma baik dan buruk dengan
jelas. Kecondongan berfikir akan
menentukan arah tindakan. Belajar
sepanjang hayat untuk mengelolah pikiran dan batin untuk memperoleh kebahagiaan
sejati. Sadar (kesadaran) adalah kunci
untuk memperoleh kebahagiaan. “Meditasi
adalah cara melatih diri untuk melatih pikiran, bukan tubuh yang menggerakkan
tetapi Pikiran atau batin. Segala
sesuatu diciptakan oleh pikiran atau batin.
Berfikir positif akan memperoleh kebahagiaan” Jelas Bante. Tubuh adalah beban, makan, minum, dan tidur
adalah bagian dari beban. Berpuasa
adalah proses mengurangi beban. Tidak
ada kebahagiaan melebihi ketenangan batin.
Surga adalah alam bahagia, nearaka adalah alam sengsara, yang menentukan
adalah batin. Kitab suci yang sejati
adalah kebenaran dan kebersihan batin, karena akan membawa pada kedamaian dan
kebahagiaan sejati. “Kebodohan.
Kebencian, dan keserakahan bersifat merusak pikiran dan membawa pada
kesengsaraan. “ Demikian Bante mengakhiri pengajarannya.
Selanjutnya, Pendeta Suwignyo yang akrab
dipanggil Pak Wig menyampaikan pengajarannya.
Pak Wig mengawalinya dengan peryataan, “Kejahatan dan kebaikan adalah
dalam diri setiap manusia. Diciptakan
oleh system dan dikonstruksi oleh struktur.
Dosa menjadi bersifat personal (rusaknya gambar Allah), social (rusaknya
umat Allah), dan struktutal (rusaknya Kerajaan Allah). Karena manusia berdimensi personal, social,
dan structural. “ Kekristenan ada dalam
system Judaisma dan bukan system
rasional Yunani. Sistem rasional Yunani
mengupas tuntas tetapi tidak memasukkan nilai ketaatan, setelah tuntas akan
masuk ke kehampaan. Sistem filosofi
Yudaisma mengedepankan kecerdasan sekaligus ketaatan. Dalam Alkitab, kisah bahagia (ideal) hanya
ada pada 2 pasal awal saja, hanya ada pada Pasal 1 dan 2 KItab Kejadian
saja, isi Alkitab sisanya (Kejadian 3
sampai Wahyu) adalah kisah tentang realitas, berisi tuntunan kehidupan di dunia
baik yang bersifat personal, social, maupun structural. Tuntunan untuk mengatasi masing-masing
permasalahan dalam berbagai tingkatan.
“Kesalehan social, ketaatan dan kedisiplinan yang bersifat personal dan
social untuk mengatasi permasalahan social.
Menghadapi ketidakadilan dan ketimpangan serta penindasan.” Lanjut Pak
Wig. Habbermas pernah berujar untuk
menciptakan masyarakat yang komunikatif, untuk menghindari nuansa spirit
dominasi atau hegemoni.
Pada proses diskusi bertambah pula beberapa
masukan dari agama yang lain untuk memperkaya pengetahuan dan pemahaman pada
peserta OBOR. Salah seorang peserta
Muslim menambahkan, “Pada Surat Al Bawarah 67 dikatakan, Agama Islam adalah
agama yang diridhoi oleh Allah tetapi pemeluk agama-agama yang lain seperti
Nasrani akan tetap selamat bila beriman percaya yang kukuh pada Tuhannya dan
terus berbuat baik terhadap sesamanya.”
Selain itu juga mendapatkan pemahaman tentang arti reinkarnasi dari
Bante. Reinkarnasi ditentukan oleh
Dharma seseoarng, tetapi yang terpenting pada saat hidup kekinian harus terus
berbuat baik untuk menjadi lebih baik di kehidupan yang akan datang. Bante menambahkan, “ Yang terpenting adalah
hidup bijaksana, hidup yang jelas, tegas, dan berani untuk memilih
kenaikan. Selain itu, harus terus bersyukur
dengan segala apa yang dimiliki, tidak melekat sehingga terbebas dari
penderitaan.”
“Agama berasal dari kata A dan Gama yang
artinya adalah tidak kacau atau dengan kata lain berarti keteraturan dan
kedamaian untuk mencapai kebahagiaan.” Tukas Bante. Rantai reinkarnasi akan terputus saat
seseorang telah mencapai maha sadar dan tidak akan terlahir kembali. Dijelaskan pula, pembuktian secara keilmuan,
gelombang pikiran manusia normalnya adalah 10 pangkat 200, bila berada di bawah
gelombang normal, manusia berada dalam kegelapan batin. Sedangkan bila berada di atas tingkat normal
berarti dalam kondisi terang batin.
Seseorang yang saleh social, gelombang pikirannya mencapi 10 pangkat
250, sedangkan yang bahagia dalam kondisi meditasi pada tingkat 10 pangkat 550.
Pada kesempatan selanjutnya, Pak Faisol
menjabarkan perspektif kerukunan dan kesalehan social berangkat dari
moraliltas. Dikatakannya, “Seluruh agama
memiliki system moralitas yang sama, yang berbeda hanyalah system teologisnya.”
Setiap umat islam harus memiliki toleransi yang tinggi, tetapi tidak ikut
terlibat dalam ibadah agama lain.
Keberagaman adalah sunnatulloh, hokum
alam yang niscaya. Agama adalah cara
seseorang untuk mencapai kebahagiaan dan mendekatkan diri pada sang
pencipta. “menurut tasawuf para suffi,
agama laksana baju.” Tegas beliau. Agama
hadir untuk menjaga keseimbangan, bila hadirnya agama malah mengancam
keseimbangan, patut dipertanyakan keberagamaan pada penganutnya. Dijelaskan oleh beliau, “saat Rasulullah
kedatangan tamu seorang Nasrani, Nabi mempersilahkan pada tamu Nasrani tadi
untuk beribadah di salah satu pojok rumahnya”.
Rasulluloh saja memiliki toleransi tinggi, bahkan memberikan rumahnya
untuk beribadah bagi umat lain (Nasrani), bagaimana mungkin para pengikutnya
malah tidak memiliki toleransi dan melarang umat lain beribadah dan
menghancurkan rumah-rumah ibadah agama lain?
“ Bahkan, di Piagam Madinnah diatur mengenai toleransi dan saling
menjaga, serta tidak mencampuri masalah ibadah agama-agama lain di luar Islam”, ujar Pak Faisol. Pemikiran sempit, sekat social, dan
kecemburuan social merupakan awal konflik, bukan perbedaan akidah atau teologi
agama. Beragama bukan hanya melakukan
syiar (kesaksian) tetapi juga merenung dan berfikir untuk kesejahteraan umat manusia. Konsep kafir,
orang yang mengingkari Tuhan, telah mengalami pergeseran arti pada beberapa
abad setelah Rasululah, dari orang-orang yang tidak bertuhan menjadi
orang-orang di luar Islam. “Kafir dapat dibedakan menjadi dua bentuk
, kafir farbih, kaum non muslim yang
bisa didamaikan, tidak boleh diperangi dan bahkan harus dilindungi. Selian itu,
kaum kafir yang harus diperangi
karena mengancam keselamatan umat manusia” jelas Pak Faisol. Dijelaskannya lebih lanjut, Fiqih, hokum-hukum yang dirujuk dari Al Quran dan Al Hadits, merupakan hokum yang hadir untuk menyikapi kondisi
kekinian atau kontekstualitas. Al Quran bahkan turun secara gradual
(bertahap) sesuai dengan kondisi dan konteksnya. Pada tahap selanjutnya, Islam berkembang
menjadi 4 mazhab atau aliran besar,
yaitu (1) Syafii, (2) Maliki, (3) Hanafi, (4 ) Hambali. Mazhab yang
muncul sesuai dengan kontekstualitasnya, menjaga keseimbangan antara teks dan
konteks, keseimbngan antara wahyu dan akal.
Tetapi agama bukan budaya, karena agama memiliki konsep sakralitas. Tetapi agama tidak bisa terlepas dari budaya,
karena adat istiadat dapat menjadi landasan hokum (fiqih). “Bahkan budaya dapat
menjadi ekspresi keagamaan, contohnya sholawatan”
ujar Pak Faisol mengakhiri pemaparannya.
Selanjutnya. Romo Antonius Denny, seorang
rohaniwan Katolik asli dari Desa Tlogosari.
Saat ini Romo Denny sedang bertugas untuk menjadi Kepala Sekolah di SMAK
Santo Paulus Jember, salah satu lembaga pendidikan terkemuka di kawasan timur
Jawa Timur. Sang Romo menjelaskan, “sebelum
berdialog antar iman, harus didahului oleh kemandirian iman.” Kemandirian iman menjaga seorang beriman
jatuh pada relativisma, menganggap semua benar atau bisa juga jatuh pada
fundamentalisma, menganggap dirinya sendiri yang paling benar, kebenaran yang
eksklusif. Kunci keberhasilan melakukan
dialog adalah berbela rasa, memiliki
keprihatinan bersama dan non
diskriminatif¸ berkeadilan bersama.
“Menjadi aku yang lain.” Tukas Romo.
Sebagai tambahan informasi, Romo menjelaskan untuk menjadi Romo
diperlukan waktu yang tidak sedikit, selepas SMA menempuh pendidikan selama 4
tahun untuk belajar filfasat, selanjutnya menempuh 4 tahun lagi untuk belajar
teologi. Setelah 8 tahun sudah
ditahbiskan sebagai Romo. Tetapi harus
menambah 2 tahun lagi untuk spesialisasi plus 3 tahun menempuh pendidikan
Doktor bila ingin menjadi Romo yang mengajar di Sekolah Tinggi Teologi.
Selanjutnya dari Agama Hindu diwakili oleh
Pak Sujono, beliau merupakan Kepala Sekolah SMA Tri MUrti Pakisaji Kabupaten
Malang. Pak Sujono membuka dengan
menjelaskan arti dari salam umat Hindu, Hom
Swasti Astu (salam sejahtera dari Tuhan), Hom Santi, Santi, Santi, Hom (damai di hati, damai di bumi, damai
selalu). Dijelaskannya, dalam Sastra
(Kitab Suci) tidak ada kata Hindu
tetapi Dharma seperti yang terdapat
pada Sastra Veda (kitab yang
berbahasa Sansekerta dengan huruf Nagari, huruf yang kemudian dipakai di
Thailand, Jawa, dan Bali. Sedangkan
Bahasa Sansekerta berinkulturasi menjadi Bahasa Kawi di Nusantara). Kata Hindu
berasal dari kata Hindustan, sebagai
asal muasal Ajaran Dharma. Pak Sujono
menegaskan, “Dharma, berarti
kebenaran yang mutlak tanpa awal dan tanpa akhir.” Selain Sastra Veda, ada pula Sastra Bhagawat
Gita, Sastra yang ditulis pada jaman Kaliyaga,
saat jaman Prabu Parikesit berkuasa kurang lebih 5000 tahun yang lalu. Diceritakan bahwa asal muasal manusia ada
sejak 450 Milyar tahun yang lalu, umur manusia telah ditetapkan hanya 65 tahun
karena semakin tingginya kejahatan dan banyak menyalahi kodrat. Manusia sebagai ciptaan yang utama, karena
bisa membedakan yang baik dan yang jahat, dan merubah yang baik menjadi
sempurna. “Orang suci punya masa lalu dan orang jahat punya masa depan”, ujar
Pak Sujono. Umur manusia bisa bertambah
atau berkurang karena perilakukanya, tetapi juga bisa bertambah dan berkurang
karena pola hidup dan pola makannya.
Dijelaskan oleh Pak Sujono, “Manusia rata-rata umurnya 65 tahun, bila
menjadi vegetarian umur bisa bertambah sampai 20 tahun tetapi bila menjadi
karnivora akan berkurang sebanyak 30 tahun.”
Para perserta OBOR tertawa
bersama saat, ada salah seorang pendamping yang bereaksi karena jengkel seluruh
mata memandang dia. Karena beliau sudah terkenal sebagai karnivora sejati di
Kampus Ma Chung.
Beberapa
Catatan Pinggir Diskusi dengan Mas Duha, Dosen dari Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah, Peserta OBOR yang tinggal di Keluarga Pak Wanto juga
Tentang
Filsafat Islam
Filsasat Islam pernah berjaya saat Dunia
Barat dikuasai oleh Gereja Katolik atau yang disebut dengan Masa Kegelapan pada
Abad Pertengahan. Tetapi, Filsafat Islam
akhirnya meredup pada saat Abad Pencerahan (Aufklarung)
dimulai. Tetapi redupnya Filsafat Islam
bukan semata karena bangkitnya Filsafat Barat tetapi karena pertentangan antar
pemikir Islam sendiri saat itu, terutama tajamnya pertikaian antara Ibnu Sina
yang menjadikan filsafat sebagai dasar berfikir dan Al Gazhali yang menentang
dan mengharamkan filsafat sebagai dasar berfikir. Filsafat oleh Al Gazhali diharamkan karena
dianggap sebagai produk barat. Oleh gerakan Aufklarung, Filsafat Islam masalah dimasukkan sebagai bagian dari
Filsafat Barat sampai saat ini, sedangkan Filsafat Timur didasarkan pada
tradisi India dan China yang banyak dipengaruhi oleh Hindu dan Buddha. Tradisi Filsafat Islam sebagai landasar
berfikir yang masih terjaga sampai hari ini ada di kalangan Islam Syi’ah yang
ada di Iran.
Tentang
Tradisi Selibat
Tradisi selibat atau tidak menikah
merupakan salah satu factor pendorong tingginya pelayanan keagamaan dan
negara. Tradisi Katolik dan Syabani dari
pasukan Ottoman. Pada tradisi Syabani,
saat pernikahan diijinkan maka terjadi korupsi dan nepotisme besar-besaran
dalam pelayanan. Ottoman runtuh karena
Syabani lebih mementingkan kepentingan keluarga ketimbang kepentingan
Negara. Menurut tradisi Sufi, tidak
menikah adalah anugerah. “Menikah hanya
untuk orang-orang yang tidak tahan membujang sehingga tidak sepenuh hati
melayani Tuhan.” Demikian pernyataan Tradisi Sufi terhadap pernikahan. Prinsip selibat ini diambil dari tradisi Nabi
Yahya (Yohanes Pembaptis). Sedangkan
dalam tradisi Katolik diturunkan dari ajaran Rasul Paulus.
Fenomena
Komersialisasi Agama
Penumpukkan kekayaan dengan motif agama
saat ini sedang marak. Acara-acara
keagamaan besar-besar yang berbiaya mahal diiringi dengan pesan-pesan sponsor
produk-produk tertentu makin marak.
Bukan hanya onair di televisi
tetapi juga off air di berbagai
pelosok negeri. Kyai, Pendeta, dan
berbagai pemuka agama menggunakan posisi social untuk menguasai ekonomi. Acara keagamaan yang berbau aktivitas bisnis
ini sangat menggiurkan karena bebas pajak, tanpa tuntutan akuntabilitas public,
tidak perlu audit sehingga menjanjikan keuntungan yang sangat tinggi. Bahkan beberapa pemuka agama dengan terang-terangan
membuka usaha yang berbau keagamaan seperti trour
and travel ke Tanah Suci masing-masing agama, produk-produk ritual
keagamaan, dan bahkan lembaga pendidikan yang jelas-jelas mencari
keuntungan. Bahkan dengan menggunakan
klaim tertentu seperti Habib (sebagai keturunan Nabi Muhammad SAW) dengan
menggunakan klaim patriarki (walau Nabi tidak berputra hanya berputri) sehingga
klaim tersebut seharusnya gugur kalau menggunakan konsepsi patriarki. Hal sama terjadi pada agama-agama lain dengan
berbagai klaim-klaim sepihak yang tidak mendasar dan hanya demi keuntungan diri
sendiri saja. Bukan hanya dasar sejarah
tetapi bahkan dasar teologis berbasis kita suci yang diotak-atik sesuai
kebutuhannya sendiri.
Perebutan
Hegemoni
Perebutan hegemoni antar klan bahkan antar
subklan serta berbagai mazhab baik di
tradisi agama Yahudi, Katolik, Islam, maupun Kristen menjadikan Timur Tengah sebagai ajang perang
yang tiada pernah henti. Sejak jaman
Yahudi, pertarungan antar klan menjadikan Kerajaan Israel pecah. Munculnya Isa Al Masih menjadikan pertempuran
antar mazhab di tradisi Yahudi. Demikian pula selanjutknya dalam tradisi
Katolik, perang antar mazhab memisahkan
Katolik Barat (Vatikan) dan Katolik TImur (Bisantium) bertikai. Hal yang sama terjadi di tradisi Islam,
bahkan hanya sesaat setelah wafatnya Sang Nabi.
Bukan hanya memakan korban orang kebanyakan, sampai cucu Sang Nabi-pun
menjadi korban pertikaian berlatar belakang mazahab
dan klan sekaligus. Kejadian yang
sama juga terjadi pada tradisi Kristen yang lebih terbuka terhadap penafsiran
firman, bermunculannya mazhab yang
diwakili oleh organisasi gereja terus terjadi hingga saat ini. Perang antar klan dan mazhab bukan saja berlatar belakang teologis tetapi juga
dilatarbelakangi perebutan kekuasaan ekonomi.
Siapa yang menguasai umat, maka terkuasai pula sumberdaya dan perputaran
ekonomi.
Sekelumit
Informasi Tentang Masjid dan Seluk Beluknya
Belajar dari Masjid Jami’ Basuki Rahmat
yang ada di Tlogosari, masjid yang mampu menampung 100 jemaat terkembang
cerita. Masjid di Tlogosari memiliki Mighrab atau Ruang Imam seluas 2 x 3
meter. Artinya masjid tersebut mengikuti
Maxhab Syafei, adanya Ruang Imam untuk memastikan bahwa Imam memang benar-benar
berada di depan Jamaah. Sedangkan
penganut Mazhan Hambali tidak mengharuskan adanya Ruang Imam. Di Masjid Jami’ Tlogosari tidak ada pemisah
antara Jamaah perempuan dan laki-laki, tidak seperti di beberapa masjid lain
yang dengan tegas memisahkan jamaah beda jenis kelamin, entah dengan kelambu
bisa juga dengan ruang yang terpisah.
Sebagai catatan, di Masjidil Haram dan Masjid Al Aqsa, laki-laki dan
perempuan tidak dipisah, tetapi dengan catatan jamaah perempuan dikelilingi
oleh keluarganya. Berbeda dengan
masjid-masjid di Arab Saudi, nyaris tidak ada ruang untuk perempuan beribadah
berjamaah.
Refleksi
Untuk menutup kegiatan OBOR, selalu akan
diakhiri dengan refleksi, kegiatan untuk mengendapkan berbagai nilai yang kita
serap sepanjang kegiatan dan tentu saja diinternalisasi dan dijadikan pegangan
untuk masa mendatang, serta dirasa baik dapat dibagikan kepada banyak orang. Pada OBOR kali ini, refleksi diserahkan pada
Mas Aji Prasetyo seorang musisi, komikus, sekaligus aktivis gerakan toleransi
dan multikulturalisma. Mas Aji mengawali
dengan menceritakan mengenai pusat aktivisma beliau, “aktivitas saya berpusat
di warung kopi, dalam bahasa jawa artinya wadahe
rerembugan untung, tempak berkumpul dan berdiskusi untuk kebaikan.” Mas Aji menegaskan, bahwa agama hadir
sebagai solusi terhadap permasalahan manusia dan alam. Sehingga, manusia beragama adalah manusia
yang beradab dan bijaksana, karena mampu mengatasi permasalahan kemanusiaan dan
alam. Tetapi pada kenyataannya,
seringkali manusia beragama malah menjadi perusak kemanusiaan dan kehancuran
alam, kata beliau. Letak masalahnya,
bukan pada agama tetapi “klaim” terhadap agama oleh manusia yang mengaku-aku
beragama. “Seharusnya, seseorang yang
beragama harus hidup luhur, cinta damai dan hidup harmoni dan selaras dengan
sesame manusia dan dengan alam.” Jelas Mas Aji.
Tradisi atau lokalitas atau kontekstualisasi menjadi syarat wajib bagi
agama. “Manusia yang semakin bertuhan,
seharusnya semakin manusiawi”, tegas beliau.
Seperti di Indonesia ini, Pancasila adalah dasar hidup yang disarikan
dari kebaikan yang ada pada seluruh agama di Nusantara sekaligus berbagai
kebaikan adat dan budaya asli Nusantara.
“Pancasila yang terdiri dari 5 sila tersebut dapat disarikan lagi
menjadi eka sila, yaitu gotong royong, sikap
peduli dan berbela rasa, simpati dan empati” tegas Mas Aji mengakhiri refleksi
pada OBOR 2015 di Desa Tlogosari kali ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar