Bisnis dan aktivitas
ekonomi dari sebuah entitas pada umumnya bertujuan untuk memperoleh
keuntungan dan menginginkan pertumbuhan ekonomi untuk meningkatkan nilai entitasnya. Seringkali, dengan menjadikan keuntungan
dan pertumbuhan sebagai tujuan menjadikan entitas ekonomi akan menghalalkan
segala cara seperti mengeksploitasi tenaga kerja dan mengabaikan
kelestarian lingkungan di sekitarnya bahkan mengorbankan konsumen sebagai
sumber pendapatannya. Konsep Tripple
Bottom Line (People, Planet, and Profit) merupakan konsep bisnis dan
aktivitas ekonomi yang berbeda.
Mengedepankan konsep pemberdayaan masyarakat baik karyawan,
konsumen, maupun masyarakat secara umum menjadikan entitas ekonomi
berorientasi untuk mengedukasi dan mengadvokasi manusia sebagai factor
utama menjaga pertumbuhan dan kelanjutan usaha yang manusiawi. Kemudian, entitas ekonomi menjadikan
kelestarian alam sebagai dasar untuk bukan hanya menjaga keberlanjutan
bahan baku dan energy, tetapi benar-benar menjaga lestarinya planet Bumi
sebagai satu-satunya tempat hidup manusia.
Bila manusia sudah berdaya dan planet tetap lestari, profit atau
keuntungan akan dating dengan sendirinya baik keuntungan yang dinikmati
oleh manajemen sebagai agen pengelola entitas maupun investor sebagai
pemilik entitas ekonomi tersebut. |
ABSTRAKS
Bisnis dan aktivitas ekonomi dari
sebuah entitas pada umumnya bertujuan untuk memperoleh keuntungan dan
menginginkan pertumbuhan ekonomi untuk meningkatkan nilai entitasnya. Seringkali, dengan menjadikan keuntungan dan
pertumbuhan sebagai tujuan menjadikan entitas ekonomi akan menghalalkan segala
cara seperti mengeksploitasi tenaga kerja dan mengabaikan kelestarian
lingkungan di sekitarnya bahkan mengorbankan konsumen sebagai sumber
pendapatannya.
Konsep Tripple Bottom Line (People,
Planet, and Profit) merupakan konsep bisnis dan aktivitas ekonomi yang
berbeda. Pertama, mengedepankan konsep
pemberdayaan masyarakat baik karyawan, konsumen, maupun masyarakat secara umum
menjadikan entitas ekonomi berorientasi untuk mengedukasi dan mengadvokasi
manusia sebagai factor utama menjaga pertumbuhan dan kelanjutan usaha yang
manusiawi. Bila masyarakat teredukasi dengan produk yang berkualitas apalagi
dengan harga terjangkau, dijamin kesetiaan konsumen pada produk dan perusahaan
akan terjaga. Di sisi lain, karyawan
yang teredukasi dengan baik akan menciptakan tenaga kerja yang mumpuni untuk
memproduksi produk yang bermutu sekaligus efisien dalam biaya.
Kedua, entitas ekonomi menjadikan
kelestarian alam sebagai dasar untuk bukan hanya menjaga keberlanjutan bahan
baku dan energy, tetapi benar-benar menjaga lestarinya planet Bumi sebagai
satu-satunya tempat hidup manusia. Bahan
baku dan energy yang lestari akan menjamin kelangsungan usaha entitas ekonomi
dalam jangka panjang sekaligus menjadikan bumi sebagai tempat tinggal yang
nyaman dan asri. Bukan hanya
memperhatikan bahan baku dan energy, tetapi polusi dan sampah yang dihasilkan
oleh perusahaan hendaknya ramah lingkungan dan memiliki dampak yang sangat
kecil bagi lingkungan.
Bila manusia sudah berdaya dan planet
tetap lestari, profit atau keuntungan akan datang dengan sendirinya baik
keuntungan yang dinikmati oleh manajemen sebagai agen pengelola entitas maupun
investor sebagai pemilik entitas ekonomi tersebut. Jadi, keuntungan atau profit bukanlah menjadi
tujuan pertama dan utama, tetapi menjadi dampak dari kinerja perusahaan yang
baik dan bertanggung jawab. Keuntungan
yang akan bersifat jangka panjang dan berkesinambungan (going concern).
SERI #1: TRIPPLE BOTTOM LINE: SEBUAH PENGANTAR
PENDAHULUAN
Isu lingkungan hidup
menjadi agenda penting masyarakat internasional di forum regional dan
multilateral sejak tahun 1972 setelah pelaksanaan konferensi internasional
tentang Human Environment di Stockholm, Swedia dan KTT Bumi di Rio de
Jeneiro, Brazil tahun 1992. Sejak saat itu, masyarakat internasional menilai
bahwa perlindungan lingkungan hidup menjadi tanggung jawab bersama dan
perlindungan lingkungan hidup tidak terlepas dari aspek pembangunan ekonomi dan
sosial (Nuraini, 2010).
Planet,
People, and Profit atau
yang di Ilmu Akuntansi lazim disebut dengan Triple
Bottom Line merupakan pemikiran yang sudah berkembang cukup lama di
Eropa. Pemikiran tentang bisnis yang
berkelanjutan (sustainable business)
yang mengedepankan kelestarian alam (planet)
sebagai sumber dari semua sumber daya, kesejahteraan masyarakat atau manusia (people), dan memperoleh laba (profit) yang memadai untuk kelangsungan
hidup perusahaan.
Gray, dkk., (1995) menyatakan bahwa
tanggung jawab sosial dan lingkungan merupakan tanggung jawab dunia bisnis
untuk menjadi akuntabel terhadap seluruh stakeholder, bukan hanya kepada
stockholder saja. Dengan pelaporan pelaksanaan tanggung jawab
sosial dan lingkungan dalam laporan tahunan perusahaan ini diharapkan
perusahaan memperoleh legitimasi atas peran social dan kepedulian lingkungan
yang telah dilakukan oleh perusahaan tersebut, sehingga perusahaan akan
memperoleh dukungan dari masyarakat, dankelangsungan hidup perusahaan dapat
diperoleh.
Prior, dkk., (2008) menyatakan bahwa tanggung jawab sosial dan
lingkungan perusahaan dalam laporan tahunan dapat digunakan oleh manajer
sebagai alat untuk mengamankan kedudukannya. Hal tersebut digunakan oleh
manajer untuk mengalihkan perhatian stakeholder dari monitoring aktivitas
manajemen laba yang mereka lakukan. Hal ini dapat terjadi karena manajemen
memiliki informasi yang lebih banyak dari pada pihak berkepentingan lainnya
sebagaimana dijelaskan dalam agency theory (teori keagenan).
Konsep The Triple
Bottom Line
Elkington (1997) dalam Wibisono (2007)
menjelaskan konsep Triple Bottom Line digunakan sebagai landasan
prinsipal dalam aplikasi program Corporate Social Responsibility pada
sebuah perusahaan. Tiga kepentingan yang menjadi satu ini merupakan garis besar
dan tujuan utama tanggung jawab sosial sebuah perusahaan.
1. Profit (Keuntungan)
Keuntungan merupakan unsur terpenting
dan menjadi tujuan utama dari setiap kegiatan usaha. Keuntungan sendiri pada
hakikatnya merupakan tambahan pendapatan yang dapat digunakan untuk menjamin
kelangsungan hidup perusahaan.
2. People (Masyarakat)
Menyadari bahwa masyarakat sekitar
perusahaan merupakan salah satu stakeholder penting bagi perusahaan
karena dukungan masyarakat sekitar sangat diperlukan untuk keberadaan,
kelangsungan hidup dan perkembangan perusahaan. Perusahaan perlu berkomitmen
untuk berupaya memberikan manfaat sebesar-besarnya kepada masyarakat. Selain
itu, operasi perusahaan berpotensi memberikan dampak kepada masyarakat sekitar.
Tanggung jawab sosial perusahaan didasarkan pada keputusan perusahaan tersebut
tidak bersifat paksaan atau tuntutan masyarakat sekitar. Untuk memperkokoh
komitmen dalam tanggung jawab sosial diperlukan pandangan menganai Corporate
Social Responsibility. Melalui kegiatan sosial perusahaan maka itu dapat
dikatakan melakukan investasi masa depan dan timbal baliknya masyarakat juga
akan ikut serta menjaga eksistensi perusahaan.
3. Planet (Lingkungan)
Lingkungan merupakan
sesuatu yang terkait dengan seluruh bidang kehidupan perusahaan. Hubungan
perusahaan dan lingkungan adalah hubungan sebab akibat yaitu jika perusahaan
merawat lingkungan maka lingkungan akan bermanfaat bagi perusahaan. Sebaliknya
jika perusahaan merusak lingkungan maka lingkungan juga akan tidak memberikan
manfaat kepada perusahaan. Dengan demikian, penerapan konsep Triple Bottom
Line yakni profit, people, dan planet sangat diperlukan
sebuah perusahaan dalam menjalankan operasinya. Sebuah perusahaan tidak hanya
keuntungan saja yang dicari melainkan juga memperdulikan masyarakat dan
lingkungan sekitar perusahaan.
TEORI-TEORI YANG MENDASARI TRIPLE BOTTOM LINE
Teori Legitimasi (Legitimacy
Theory)
Teori legitimasi berasal dari konsep
legitimasi organisasi yang diungkapkan oleh Dowling & Pfeffer (1975) dalam
Ghozali & Chariri (2007) yang mengungkapkan bahwa legitimasi adalah sebuah
kondisi atau status yang ada ketika sistem nilai entitas kongruen dengan sistem
nilai masyarakat yang lebih luas di tempat entitas tersebut berada. Ketika
terjadi suatu perbedaan, baik yang nyata atau berpotensi muncul di antara kedua
sistem nilai tersebut, maka akan muncul ancaman terhadap legitimasi entitas.
Sesuai dengan yang dinyatakan O’Donovan (2002) bahwa legitimasi merupakan
gagasan agar sebuah organisasi dapat terus beroperasi dengan sukses, maka
organisasi tersebut harus bertindak sesuai aturan yang
diterima secara luas oleh masyarakat. Deegan (2004) menyatakan bahwa teori
legitimasi adalah sebagai, “Teori yang menyatakan bahwa organisasi
secara berkelanjutan mencari cara untuk menjamin operasi mereka berada dalam
batas dan norma yang berlaku di masyarakat. Suatu perusahaan akan secara
sukarela melaporkan aktivitasnya jika manajemen menganggap bahwa hal ini adalah
yang diharapkan komunitas”.
Ghozali & Chariri
(2007) menyatakan bahwa hal yang mendasari teori legitimasi adalah kontrak
sosial antar perusahaan dan masyarakat di tempat perusahaan beroperasi dan
menggunakan sumber ekonomi. Jadi, setiap perusahaan memiliki kontrak implisit
dengan masyarakat untuk melakukan aktivitasnya berdasarkan nilai-nilai yang
dijunjung di dalam masyarakat. Apabila perusahaan bertindak memenuhi kontrak
implisit maka masyarakat akan mendukung keinginan perusahaan tersebut. Ahmad,
dkk., (2004) menyatakan bahwa pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan
merupakan salah satu mekanisma yang dapat digunakan untuk mengomunikasikan
perusahaan dengan masyarakat, dan merupakan salah satu cara untuk memperoleh
keuntungan atau memperbaiki legitimasi perusahaan. Praktik dan pengungkapan
tanggung jawab sosial akan dianggap sebagai cara bagi perusahaan untuk tetap
menyelaraskan diri dengan norma-norma dalam masyarakat. Dengan demikian,
perusahaan disarankan untuk mengungkapkan kinerja lingkungan sehingga
mendapatkan reaksi positif dari lingkungan dan memperoleh legitimasi atas
usahanya.
Perusahaan yang melakukan
kinerja lingkungan dan pengungkapan tanggung jawab sosial diharapkan dapat
meningkatkan keuntungan perusahaan di masa yang akan datang. Menurut
Saidi (2004), teori legitimasi adalah suatu kondisi atau status, yang ada
ketika suatu sistem nilai perusahaan kongruen dengan sistem nilai dari system
sosial yang lebih besar di mana perusahaan merupakan bagiannya. Ketika suatu
perbedaan yang nyata atau potensial ada antara kedua sistem nilai tersebut,
maka akan muncul ancaman terhadap legitimasi perusahaan. O’Donovan (2002) mendefinisikan legitimasi
sebagai, “Legitimacy theory as the idea that in order for an organization to
continue operating successfully, it must act in a manner that society deems
socially acceptable.”
Barkemeyer (2007)
menyatakan legitimasi sebagai, “Legitimacy is sought by organisations as it
affects understanding and actions of people towards the organization. People
perceive a legitimate organisation as “… more trustworthy.” Lebih lanjut Barkemeyer (2007) memberikan
definisi mengenai organizational legitimacy sebagai, “Legitimacy is a generalized perception or
assumption that the actions of an entity are desirable, proper, or appropriate
within some socially constructed system of norms, values, beliefs, and
definitions.”
Jadi, legitimasi adalah
suatu tindakan atau perbuatan hukum yang berlaku, peraturan yang ada, baik
peraturan hukum formal, etnis, adat-istiadat, maupun hukum kemasyarakatan yang
sudah lama tercipta secara sah. Batasan-batasan yang ditekankan oleh
norma-norma dan nilai-nilai sosial serta reaksi terhadap batasan tersebut
mendorong pentingnya analisis perilaku organisasi dengan memerhatikan
lingkungan. Ghozali & Chariri (2007) menyatakan bahwa salah satu dari
sekian banyak faktor yang dimasukkan oleh para peneliti sebagai motif dibalik
pengungkapan tanggung jawab sosial dan lingkungan perusahaan adalah keinginan
untuk melegitimasi operasi organisasi. Legitimasi merupakan sebuah pengakuan
akan legalitas sesuatu. Suatu legitimasi organisasi dapat dikatakan sebagai
manfaat atau sumber potensial bagi perusahaan untuk bertahan hidup (O’Donovan,
2002 dalam Chariri & Ghozali, 2007).
Legitimasi organisasi dapat
dipandang sebagai sesuatu yang diberikan oleh masyarakat kepada perusahaan dan
sesuatu yang diinginkan atau dicari perusahaan dari masyarakat. Kedudukan
perusahaan sebagai bagian dari masyarakat ditunjukkan dengan operasi perusahaan
yang seringkali memengaruhi masyarakat sekitarnya. Eksistensinya dapat diterima
sebagai anggota masyarakat, sebaliknya eksistensinya pun dapat terancam bila
perusahaan tidak dapat menyesuaikan diri dengan norma yang berlaku dalam
masyarakat tersebut atau
bahkan merugikan anggota
komunitas tersebut.
Gray, dkk., (1995) juga menyatakan bahwa
organisasi atau perusahaan akan berlanjut keberadaannya jika masyarakat
menyadari bahwa organisasi beroperasi untuk sistem nilai yang seiring dengan
sistem nilai masyarakat itu sendiri. Teori legitimasi menganjurkan perusahaan
untuk meyakinkan bahwa aktivitas dan kinerjanya dapat diterima oleh masyarakat.
Hal ini akan mendorong perusahaan melalui top manajemennya akan mencoba
memperoleh kesesuaian antara tindakan organisasi dan nilai-nilai dalam
masyarakat umum dan publik yang relevan dengan stakeholder.
Teori legitimasi didasarkan
pada pengertian kontrak sosial yang diimplikasikan antara institusi sosial dan
masyarakat (Ahmad & Sulaiman, 2004). Teori legitimasi dibutuhkan oleh
institusi-institusi untuk mencapai tujuan agar kongruen dengan masyarakat luas.
Menurut Gray, dkk., (1996)
dalam Ahmad & Sulaiman (2004) dasar pemikiran teori legitimasi adalah
organisasi atau
perusahaan akan terus
berlanjut keberadaannya jika masyarakat menyadari bahwa perusahaan tersebut
beroperasi untuk sistem nilai yang sepadan dengan system nilai masyarakat itu
sendiri.
Perusahaan menggunakan
laporan keuangan tahunan untuk menggambarkan akuntabilitas atau tanggung jawab
manajemen terhadap perusahaan dan kesan tanggung jawab sosial dan lingkungan,
sehingga perusahaan yang bersangkutan diterima oleh masyarakat. Teori
legitimasi menganjurkan perusahaan untuk meyakinkan bahwa aktivitas dan
kinerjanya dapat diterima oleh masyarakat. Dengan adanya penerimaan dari
masyarakat tersebut diharapkan nilai perusahaan dapat meningkat sehingga
berdampak pula pada peningkatan laba perusahaan. Hal ini juga dapat mendorong
dan membantu investor dalam melakukan pengambilan keputusan investasi.
Ghozali & Chariri
(2007) menjelaskan bahwa teori legitimasi sangat bermanfaat dalam menganalisis
perilaku organisasi, karena teori legitimasi adalah hal yang paling penting
bagi organisasi. Teori legitimasi juga memberikan perspektif yang komprehensif
pada pengungkapan tanggung jawab sosial dan lingkungan perusahaan. Teori ini secara
eksplisit mengakui bahwa bisnis dibatasi oleh kontrak sosial yang menyebutkan
bahwa perusahaan harus dapat menunjukkan berbagai aktivitasnya agar perusahaan
memperoleh penerimaan masyarakat yang pada gilirannya akan menjamin
kelangsungan hidup perusahaan (Reverte, 2008). Lindblom (1994) dalam Gray, dkk., (1995) menyatakan bahwa
teori legitimasi adalah suatu kondisi atau status yang ada ketika suatu sistem
nilai perusahaan kongruen dengan sistem nilai dari sistem sosial yang lebih
besar di mana perusahaan merupakan bagiannya. Hal ini menyebabkan munculnya
ancaman terhadap legitimasi perusahaan ketika terjadi perbedaan yang nyata atau
potensial antara kedua sistem nilai tersebut. Sehingga, dengan
melakukanpengungkapan tanggung jawab sosial dan lingkungan, perusahaan akan
merasa bahwa keberadaan dan aktivitasnya terlegitimasi.
Meskipun perusahaan
memiliki kebijakan operasi dalam batasan institusi, kegagalan perusahaan dalam
menyesuaikan diri dengan norma ataupun adat yang diterima masyarakat, akan
mengancam legitimasi serta sumber daya perusahaan, yang pada akhirnya akan
mengancam kelangsungan hidup perusahaan (Reverte, 2008). Praktik- praktik
tanggung jawab sosial dan pengungkapan social (corporate social and
environmental disclosure (CSED)) yang dilakukan perusahaan dapat dipandang
sebagai suatu usaha untuk memenuhi harapanharapan
masyarakat terhadap
perusahaan. Aktivitas tanggung jawab sosial dan lingkungan perusahaan
diharapkan dapat meningkatkan hubungan antara pemegang saham, supplier,
kreditur, dan pihak yang berkepentingan lainnya atau dengan kata lain, kinerja
ekonomi dan keuangan sebuah entitas memiliki hubungan positif dengan
pengungkapan tanggung jawab sosialnya (Hasibuan, 2001). Hal ini berarti
pengungkapan tanggung jawab sosial dan lingkungan perusahaan merupakan salah
satu mekanisma yang dapat digunakan untuk mengkomunikasikan perusahaan dengan stakeholders.
Gray, dkk., (1995) mengatakan bahwa
informasi yang diungkapkan kepada stakehoder merupakan legitimasi
tanggung jawab sosial dan lingkungan yang telah dilakukan perusahaan. Manajer
yang terlibat manajemen laba cenderung menyadari bahwa pengungkapan lingkungan
dengan sukarela (voluntary corporate social and environmental disclosure)
dapat digunakan untuk mempertahankan legitimasi organisasional, terutama pada
pihak terkait dengan politik dan sosial dan untuk mengalihkan perhatian stakeholder
terhadap pendeteksian manajemen laba. CSED merupakan jalan masuk yang
digunakan beberapa organisasi untuk memperoleh keuntungan atau memperbaiki
legitimasi (Ahmad & Sulaiman, 2004). Karena itu, teori legitimasi merupakan
salah satu teori yang mendasari pengungkapan tanggung jawab sosial dan
lingkungan perusahaan untuk mendapatkan nilai positif dan legitimasi dari
masyarakat.
Teori legitimasi juga dapat
digunakan untuk menjelaskan keterkaitan mekanisma corporate governance dan
profitabilitas terhadap pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan.
Mekanisma corporate governance dan profitabilitas memberikan keyakinan
perusahaan untuk melakukan pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan.
Dengan mekanisma corporate governance dan profitabilitas yang mencukupi,
perusahaan tetap akan mendapatkan keuntungan positif, yaitu mendapatkan
legitimasi dari masyarakat yang pada akhirnya akan
berdampak meningkatnya
keuntungan perusahaan di masa yang akan datang.
Gray, dkk., (1995) juga menjelaskan bahwa
pengungkapan tanggung jawab sosial dan lingkungan merupakan bagian dari
pengungkapan laporan keuangan. Ada banyak studi yang menguji lebih lanjut
informasi sosial yang dihasilkan oleh perusahaan, dan menemukan bahwa informasi
lingkungan merupakan salah satu bagian dari informasi tersebut. Walaupun tidak
bersifat wajib, banyak perusahaan yang secara sukarela melakukan pengungkapan
tanggung jawab sosial dan lingkungan (voluntary social and environmental
disclosures). Voluntary social and environmental disclosures banyak
dilakukan perusahaan dalam rangka menjaga reputasi perusahaannya dan perusahaan
bisa tetap survive serta terhindar dari berbagai bentuk penolakan dari
masyarakat. Di dalam teori legitimasi (legitimacy theory) dipaparkan
jawaban-jawaban yang mendukung mengapa perusahaan harus mengungkapkan tanggung
jawab sosial dan lingkungannya .
Teori Stakeholder (Stakeholder
Theory)
Konsep tanggung jawab sosial
perusahaan telah mulai dikenal sejak awal 1970, yang secara umum dikenal dengan
stakeholder theory artinya sebagai kumpulan kebijakan dan praktik yang
berhubungan dengan stakeholder, nilai-nilai, pemenuhan ketentuan hukum,
penghargaan masyarakat dan lingkungan, serta komitmen dunia usaha untuk
berkontribusi dalam pembangunan secara berkelanjutan. Stakeholder theory dimulai
dengan asumsi bahwa nilai secara eksplisit dan tak dipungkiri merupakan bagian
dari kegiatan usaha (Freeman dkk., 2004).
Teori stakeholder mengatakan
bahwa perusahaan bukanlah entitas yang hanya beroperasi untuk kepentingannya
sendiri, namun harus memberikan manfaat bagi stakeholder (pemegang
saham, kreditor, konsumen, supplier, pemerintah, masyarakat, analis dan
pihak lain). Dengan demikian, keberadaa suatu perusahaan sangat dipengaruhi
oleh dukungan yang diberikan oleh stakeholder kepada perusahaan tersebut
(Ghozali & Chariri, 2007). Deegan (2004) menyatakan bahwa stakeholder
theory adalah “Teori yang menyatakan bahwa semua stakeholder memunyai
hak memperoleh informasi mengenai aktivitas perusahaan yang dapat memengaruhi
pengambilan keputusan mereka. Para stakeholder juga dapat memilih untuk
tidak menggunakan informasi tersebut dan tidak dapat memainkan peran secara
langsung dalam suatu perusahaan.”
Budimanta, Prasetijo, & Rudito
(2008) menyatakan bahwa terdapat dua bentuk dalam pendekatan stakeholder yaitu
old-corporate relation dan new-corporate relation.
Old-corporate relation menekankan pada bentuk pelaksanaan aktivitas
perusahaan secara terpisah, yang menunjukkan bahwa tidak terdapat kesatuan di
antara fungsi dalam sebuah perusahaan ketika melakukan pekerjaannya. Hubungan
perusahaan dengan pihak di luar perusahaan juga bersifat jangka pendek dan
hanya sebatas hubungan transaksional saja tanpa ada kerjasama untuk menciptakan
kebermanfaatan bersama. Pendekatan old-corporate relation ini dapat
menimbulkan konflik karena perusahaan memisahkan diri dengan para stakeholder
baik yang berasal dari dalam perusahaan dan dari luar perusahaan.
Sedangkan, pendekatan new-corporate relation menekankan kolaborasi
antara perusahaan dengan seluruh stakeholder sehingga perusahaan bukan
hanya menempatkan dirinya sebagai bagian yang bekerja secara sendiri dalam
sistem sosial masyarakat. Hubungan perusahaan dengan stakeholder di
dalam perusahaan dibangun berdasarkan konsep kebermanfaatannya yang membangun
kerjasama dalam menciptakan kesinambungan usaha perusahaan, sedangkan hubungan
dengan stakeholder di luar perusahaan didasarkan pada hubungan yang
bersifat fungsional yang bertumpu pada kemitraan. Perusahaan selain menghimpun
kekayaan juga berusaha bersama-sama membangun kualitas kehidupan dengan stakeholder
di luar perusahaan.
Tunggal (2008)
menyatakan bahwa teori stakeholder dapat dilihat dalam tiga pendekatan.
1. Deskriptif
Pendekatan deskriptif
pada intinya menyatakan bahwa, stakeholder secara sederhana merupakan
deskripsi yang realitas mengenai bagaimana sebuah perusahaan beroperasi. Teori stakeholder
dalam pendekatan deskriptif, bertujuan untuk memahami bagaimana manajer
menangani kepentingan stakeholder dengan tetap menjalankan kepentingan
perusahaan. Manajer dituntut untuk mengarahkan energi mereka terhadap seluruh
pemangku kepentingan, tidak hanya terhadap pemilik perusahaan saja.
2. Instrumental
Teori stakeholder dalam
pendekatan instrumental menyatakan bahwa, salah satu strategi pihak manajemen
perusahaan untuk menghasilkan kinerja perusahaan yang lebih baik adalah dengan
memperhatikan para pemangku kepentingan. Hal ini didukung oleh bukti empiris
yang diungkapkan oleh Lawrence & Weber (2008), yang menunjukkan bahwa
setidaknya lebih dari 450 perusahaan yang menyatakan komitmennya terhadap pemangku
kepentingan dalam laporan tahunnya memiliki kinerja keuangan yang lebih baik
dibandingkan dengan perusahaan yang tidak memiliki komitmen. Pendekatan
instrumental bertujuan untuk mempelajari konsekuensi yang ditanggung
perusahaan, dengan melihat dari pengelolaan hubungan stakeholder dan
berbagai tujuan tata kelola perusahaan yang telah dicapai.
3. Normatif
Teori stakeholder dalam
pendekatan normatif menyatakan bahwa setiap orang atau kelompok yang telah
memberikan kontribusi terhadap nilai suatu perusahaan memiliki hak moral untuk
menerima imbalan (rewards) dari perusahaan, dan hal ini menjadi suatu
kewajiban bagi manajemen untuk memenuhi apa yang menjadi hak para pemangku
kepentingan. Pendekatan normatif juga bertujuan untuk mengidentifikasi pedoman
moral atau filosofis terkait dengan aktivitas ataupun manajemen perusahaan.
Dengan demikian, dapat
disimpulkan bahwa stakeholder teori merupakan suatu teori yang
mempertimbangkan kepentingan kelompok stakeholder yang dapat memengaruhi
strategi perusahaan. Pertimbangan tersebut memunyai kekuatan karena stakeholder
adalah bagian perusahaan yang memiliki pengaruh dalam pemakaian sumber
ekonomi yang digunakan dalam aktivitas perusahaan. Strategi stakeholder bukan
hanya kinerja dalam finansial namun juga kinerja sosial yang diterapkan oleh
perusahaan. Corporate Sosial Responsibility merupakan strategi
perusahaan untuk memuaskan keinginan para stakeholder, makin baik
pengungkapan Corporate Sosial Responsibility yang dilakukan perusahaan
maka stakeholder akan makin terpuaskan dan akan memberikan dukungan
penuh kepada perusahaan atas segala aktivitasnya yang bertujuan menaikkan
kinerja dan mencapai laba.
Stakeholder theory mengatakan bahwa perusahaan
bukanlah entitas yang hanya beroperasi untuk kepentingannya sendiri namun harus
memberikan manfaat bagi stakeholdernya (pemegang saham, kreditur,
konsumen, supplier, pemerintah, masyarakat, analis, dan pihak lain).
Dengan demikian, keberadaan suatu perusahaan sangat dipengaruhi oleh dukungan
yang diberikan oleh stakeholder kepada perusahaan tersebut (Ghozali
& Chariri, 2007).
Gray, dkk., (1995) dalam Ghozali &
Chariri (2007) menyatakan bahwa kelangsungan hidup perusahaan tergantung pada
dukungan stakeholders dan dukungan tersebut harus dicari, sehingga
aktivitas perusahaan adalah untuk mencari dukungan tersebut. Teori Stakeholder
Freeman (1984) dalam Roberts (1992) mendefinisikan stakeholder seperti
sebuah kelompok atau individual yang dapat memberi dampak atau terkena dampak
oleh hasil tujuan perusahaan. Stakeholders adalah para pemangku
kepentingan, yaitu pihak atau kelompok yang berkepentingan, baik langsung
maupun tidak langsung, terhadap eksistensi atau aktivitas perusahaan, dan
karenanya kelompok tersebut memengaruhi dan/atau dipengaruhi oleh perusahaan. Stakeholder
termasuk di dalamnya yaitu stockholders, creditors, employees,
customers, suppliers, public interest groups, dan govermental bodies (Roberts,
1992).
Stakeholder pada dasarnya dapat
mengendalikan atau memiliki kemampuan untuk memengaruhi pemakaian sumber-sumber
ekonomi yang digunakan perusahaan. Oleh karena itu, power stakeholder ditentukan
oleh besar kecilnya power yang dimiliki stakeholder atas sumber
tersebut. Power tersebut dapat berupa kemampuan untuk membatasi
pemakaian sumber ekonomi yang terbatas (modal dan tenaga kerja), akses terhadap
media yang berpengaruh, kemampuan untuk mengatur perusahaan, atau kemampuan
untuk memengaruhi konsumsi atas barang dan jasa yang dihasilkan perusahaan
(Ghozali & Chariri, 2007).
Roberts (1992) memaparkan
bahwa perkembangan konsep stakeholder dibagi menjadi tiga yaitu model
perencanaan perusahaan, kebijakan bisnis dan corporate social responsibility.
Pengungkapan tanggung jawab sosial dan lingkungan merupakan bagian dari
komunikasi antara perusahaan dengan stakeholder-nya. Oleh karena itu,
ketika stakeholder mengendalikan sumber ekonomi yang penting bagi
perusahaan, maka perusahaan akan bereaksi dengan cara yang memuaskan keinginan stakeholder
(Ghozali & Chariri, 2007).
Teori stakeholder secara
eksplisit mempertimbangkan akan dampak kebijakan pengungkapan perusahaan ketika
ada perbedaan kelompok stakeholder dalam sebuah perusahaan. Pengungkapan
informasi oleh perusahaan dijadikan alat manajemen untuk mengelola kebutuhan
informasi yang dibutuhkan oleh berbagai kelompok (stakeholders). Oleh
karena itu, manajemen mengungkapkan informasi tanggung jawab sosial dan
lingkungan ini dalam rangka mengelola stakeholder agar perusahaan mendapatkan
dukungan dari mereka. Dukungan tersebut dapat berpengaruh terhadap kelangsungan
hidup perusahaan (Gray, dkk.,
1995).
Teori
Keagenan (Agency Theory)
Teori Keagenan (Agency
Theory) menjelaskan adanya konflik kepentingan yang terjadi antara agen
dengan principal. Principal adalah pemegang saham atau investor
sedangkan agen adalah orang yang diberi kuasa oleh principal yaitu
manajemen untuk mengelola perusahaan yang terdiri dari dewan komisaris dan
dewan direksi. Adanya pemisahan kepemilikan oleh principal dan
pengendalian oleh agen dalam sebuah organisasi cenderung menimbulkan konflik
keagenan antara principal dan agen. Teori agensi ini muncul untuk
mengatasi konflik agensi yang dapat terjadi dalam hubungan keagenan. Di dalam
teori keagenan dikatakan bahwa hubungan keagenan timbul ketika salah satu pihak
(principal) memberi kuasa kepada pihak lain (agen) untuk melakukan
beberapa jasa untuk kepentingannya yang melibatkan pendelegasian beberapa
otoritas pembuatan keputusan kepada agen. Dalam kontrak ini agen berkewajiban
untuk melakukan hal-hal yang memberikan manfaat dan meningkatkan kesejahteraan principal
(Jensen & Meckling, 1976).
Principal ingin mengetahui segala
informasi termasuk aktivitas manajemen, yang terkait dengan investasi atau
dananya dalam perusahaan. Hal ini dilakukan dengan meminta laporan
pertanggungjawaban pada agen (manajemen). Laporan tersebut akan digunakan oleh principal
sebagai landasan dalam menilai kinerja manajemen. Tetapi, yang seringkali
terjadi adalah kecenderungan manajemen untuk melakukan tindakan yang membuat
laporannya kelihatan baik, sehingga kinerjanya pun dianggap baik. Manajemen
seringkali melakukan sesuatu yang dapat menguntungkan dirinya sendiri yaitu
dengan memaksimumkan laba manajemen yang dilakukan dengan manajemen laba (earnings
management).
Tindakan manajemen laba ini
dapat menyesatkan dan dapat menyebabkan pihak luar membuat keputusan ekonomi
yang salah. Gray, dkk., (1995)
berpendapat bahwa pengungkapan tanggung jawab sosial dan lingkungan perusahaan/
corporate social and environmental disclosure (CSED) merupakan sinyal
yang dapat mengalihkan perhatian pemegang saham dari monitoring atas
rekayasa laba atau isu lain, sehingga berdampak pada harga saham. Aktivitas
pengungkapan tanggung jawab sosial dan lingkungan perusahaan akan memberikan
informasi yang berguna dalam penilaian resiko yang lebih akurat bagi investor.
Hal ini akan memberikan akses kepada pendanaan eksternal dengan biaya yang
lebih rendah. Dalam hal ini dapat diinterpretasikan bahwa manajemen yang
melakukan manajemen laba dapat diprediksikan akan melakukan lebih banyak
pengungkapan tanggung jawab sosial dan lingkungan perusahaan.
TANGGUNG JAWAB SOSIAL DAN
LINGKUNGAN PERUSAHAAN
Triple Bottom Line
Istilah Triple Bottom
Line dipopulerkan oleh John Elkington pada tahun 1997. Melalui bukunya yang
berjudul “Cannibals with Forks, the Triple Bottom Line of Twentieth Century
Business”, Elkington mengembangkan konsep Triple Bottom Line dalam
istilah economic prosperity, environmental quality, dan social justice.
Perusahaan yang ingin berkelanjutan haruslah memerhatikan “3P”. Selain mengejar
profit, perusahaan juga harus memerhatikan dan terlibat dalam pemenuhan
kesejahteraan masyarakat (people) dan turut berkontribusi aktif dalam
menjaga kelestarian lingkungan (planet). Aspek-aspek yang terdapat dalam
Triple Bottom Line adalah sebagai berikut (Wibisono, 2007).
1. Profit
Profit merupakan unsur terpenting
dan menjadi tujuan dari setiap kegiatan usaha. Fokus utama dari seluruh
kegiatan dalam perusahaan adalah mengejar profit atau mendongkrak harga
saham setinggi-tingginya, baik secara langsung maupun tidak langsung. Profit
sendiri adalah tambahan pendapatan yang dapat digunakan untuk menjamin
kelangsungan hidup perusahaan. Aktivitas yang dapat ditempuh untuk mendongkrak profit
antara lain dengan meningkatkan produktivitas dan melakukan efisiensi
biaya. Hal tersebut akan menyebabkan perusahaan memiliki keunggulan kompetitif
yang dapat memberikan nilai tambah semaksimal mungkin.
2. People
Masyarakat di sekitar
perusahaan adalah salah satu stakeholder penting yang harus diperhatikan
oleh perusahaan. Dukungan dari masyarakat sekitar sangat diperlukan bagi
keberadaan, kelangsungan hidup, dan perkembangan perusahaan sehingga perusahaan
akan selalu berupaya untuk memberikan manfaat yangsebesar-besarnya kepada
masyarakat. Operasi perusahaan berpotensi memberikan dampak bagi masyarakat
sekitar, sehingga perusahaan perlu untuk melakukan berbagai kegiatan yang
menyentuh kebutuhan masyarakat. Secara ringkas, jika perusahaan ingin tetap
mempertahankan usahanya, perusahaan juga harus menyertakan tanggung jawab yang
bersifat sosial.
3. Planet
Selain aspek people,
perusahaan juga harus memperhatikan tanggung jawabnya terhadap lingkungan.
Karena keuntungan merupakan inti dari dunia bisnis, kerapkali sebagian besar
perusahaan tidak terlalu memperhatikan hal yang berhubungan dengan lingkungan,
karena tidak ada keuntungan langsung di dalamnya. Dengan melestarikan
lingkungan, perusahaan akan memperoleh keuntungan yang lebih, terutama dari
sisi kenyamanan dan ketersediaan sumber daya yang menjamin kelangsungan hidup
perusahaan.
Konsep dan Definisi Tanggung
Jawab Sosial dan Lingkungan Perusahaan
Menurut Global Reporting
Initiative (GRI) dalam Siregar (2010) tanggung jawab sosial dan lingkungan
adalah, “Corporate social reporting/sustainability reporting is a process
for publicly disclosing an organization’s economic, environmental, and
social performance”. World Bank (2003)
menyatakan definisi CSR sebagai, “The commitment of business to contribute
to sustainable economic development, working with employees, their families,
the local community and society at large to improve their quality of
life.” Untung (2008) memberikan
pengertian mengenai tanggung jawab sosial dan lingkungan sebagai, “Corporate
Social Responsibility adalah komitmen perusahaan atau dunia bisnis untuk
berkontribusi dalam pengembangan ekonomi yang berkelanjutan dengan memerhatikan
tanggung jawab sosial perusahaan dan menitikberatkan pada keseimbangan antara
perhatian terhadap aspek ekonomis, sosial, dan lingkungan.”
Jadi, tanggung jawab sosial
dan lingkungan perusahaan adalah tanggung jawab yang diemban oleh perusahaan
terhadap keseimbangan antara aspek- aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan.
Tanggung jawab sebuah perusahaan tersebut meliputi beberapa aspek yang tidak
dapat dipisahkan. Tanggung jawab sosial atau Corporate Social Responsibility
(CSR) adalah kontribusi sebuah perusahaan yang terpusat pada aktivitas
bisnis, investasi sosial dan program philantrophy, serta kewajiban dalam
kebijakan publik (Wineberg, 2004). Tujuan dari adanya CSR yaitu sebagai wujud
tanggung jawab sosial dan lingkungan perusahaan atas dampak-dampak lingkungan
yang ditimbulkannya. Banyaknya global warming, kemiskinan yang semakin
meningkat, serta memburuknya kesehatan masyarakat memicu perusahaan untuk
melakukan tanggung jawab sosial dan lingkungannya. CSR memegang peranan yang
penting dalam strategi perusahaan di berbagai sektor yang terjadi
ketidakkonsitenan antara keuntungan perusahaan dan tujuan sosial, atau
perselisihan yang dapat terjadi karena isu-isu tentang kewajaran yang
berlebihan (Heal, 2004).
CSR merupakan suatu bentuk
kepedulian sosial perusahaan untuk melayani kepentingan organisasi maupun
kepentingan publik eksternal/masyarakat. CSR adalah komitmen perusahaan untuk
mempertanggungjawabkan dampak operasi dalam dimensi sosial, ekonomi serta lingkungan.
Dengan atau tanpa aturan hukum, sebuah perusahaan harus menjunjung tinggi
moralitas. Parameter keberhasilan suatu perusahaan dalam sudut pandang CSR
adalah pengedepankan prinsip moral dan etis, yakni menggapai suatu hasil
terbaik, tanpa merugikan kelompok masyarakat yang lainnya.
European Commission (2001)
dalam Darwin (2008) mendefinisikan CSR sebagai, “a concept where by
companies integrate social and environmental concerns in their business
operations and in their interaction with their stakeholders on a voluntary
basis”. CSR Asia dalam Darwin (2008)
mendefinisikan CSR sebagai, “CSR is a company’s commitment to operating in
an economically, socially and environmentally sustainable manner whilst
balancing the interests of diverse stakeholders.”
Jadi, CSR adalah komitmen
perusahaan terhadap tiga (3) elemen, yaitu elemen ekonomi, sosial, dan
lingkungan. Definisi CSR dalam penelitian ini merujuk pada definisi yang
disampaikan European Commission dan CSR Asia di atas, yaitu perusahaan semakin
menyadari bahwa kelangsungan hidup perusahaan juga tergantung dari hubungan
perusahaan dengan masyarakat dan lingkungannya tempat perusahaan
beroperasi. Hal ini selaras dengan legitimacy
theory yang menyatakan bahwa perusahaan memiliki kontrak dengan masyarakat
untuk melakukan kegiatannya berdasarkan nilai-nilai keadilan, dan bagaimana
perusahaan menanggapi berbagai kelompok kepentingan untuk melegitimasi tindakan
perusahaan (Haniffa & Cooke, 2005). Jika terjadi ketidakselarasan antara
sistem nilai perusahaan dan sistem nilai masyarakat, maka perusahaan akan
kehilangan legitimasinya, yang selanjutnya akan mengancam kelangsungan hidup
perusahaan itu sendiri (Lindblom, 1994 dalam Haniffa & Cooke, 2005 dan
Sayekti & Wondabio, 2007).
Pengungkapan Tanggung Jawab
Sosial dan Lingkungan Perusahaan
Pengungkapan secara
kontekstual adalah bagian integral dari pelaporan keuangan, sedangkan secara
teknis pengungkapan adalah langkah akhir dalam proses akuntansi yaitu penyajian
informasi dalam bentuk penuh laporan keuangan (Suwardjono, 2005). Hendriksen
(1991) mendefinisikan pengungkapan sebagai penyajian sejumlah informasi yang
dibutuhkan untuk pengoperasian secara optimal pasar modal yang efisien.
Pengungkapan mengandung arti bahwa sebuah laporan harus memberikan informasi dan
penjelasan yang cukup mengenai hasil
aktivitas suatu unit usaha
(Ghozali & Chariri, 2007).
Tujuan pengungkapan secara
umum adalah menyajikan informasi yang dipandang perlu untuk mencapai tujuan
pelaporan keuangan dan melayani berbagai pihak yang memiliki kepentingan
berbeda (Suwardjono, 2005). Security Exchange Committee (SEC) menuntut
lebih banyak pengungkapan karena pelaporan keuangan memiliki aspek sosial dan
publik. Oleh karena itu, pengungkapan dituntut lebih dari sekedar pelaporan
keuangan, tetapi meliputi pula penyampaian informasi kualitatif dan
kuantitatif, baik yang mandatory (wajib) maupun voluntary (sukarela)
(Chrismawati, 2007).
Anggraini (2006) menyatakan
bahwa tuntutan terhadap perusahaan untuk memberikan pengungkapan informasi yang
transparan, organisasi yang akuntabel serta tata kelola perusahaan yang baik (good
corporate governance) memaksa perusahaan untuk memberikan informasi
mengenai aktivitas sosialnya. Masyarakat membutuhkan informasi mengenai sejauh
mana perusahaan sudah melaksanakan aktivitas sosialnya sehingga hak masyarakat
untuk hidup aman dan tentram, kesejahteraan karyawan, dan keamanan mengonsumsi
produk dapat terpenuhi. Pengungkapan sosial dan lingkungan yang dilakukan oleh
perusahaan umumnya bersifat voluntary (sukarela), unaudited (belum
diaudit), dan unregulated (tidak dipengaruhi oleh peraturan tertentu)
(Nurlela & Islahudin, 2008).
REFLEKSI
Sebegitu gamblang dan jelas
tentang arti penting bisnis dan aktivitas ekonomi yang berkelanjutan (sustainable business) bagi sebuah
entitas ekonomi. Bukan hanya teori
tetapi didukung oleh bukti empiris atau bukti dari duni bisnis di berbagai
Negara. Tetapi, sayangnya di Indonesia
bisnis dan aktivitas ekonomi berkelanjutan yang memperhatikan lestarinya bumi,
pemberdayaan masyarakat, yang pada akhirnya akan berdampak pada profit masih
belum menjadi perhatian. Bahkan, telah
banyak instrumen hukum dan peraturan yang mendukungnya, tetapi belum bersifat
mengikat dan masih bersifat sukarela.
Artinya, entittas ekonomi alias perusahaan belum diharuskan tetapi hanya
bersifat sukarela melaksanakan bisnis berkonsep triple bottom line.
Dari banyak sumber dan
analisis penulis, nampaknya kepentingan untuk mendatangkan investor demi
meningkatkan investasi (orientasi kuantitas) masih menjadi pertimbangan
utama. Pemberdayaan masyarakat sebagai
konsumen dan tenaga kerja apalagi masalah kelestarian lingkungan dan energy
ramah lingkungan masih tidak dipertimbangkan.
Akhirnya, banyak investor dan pelaku ekonomi di Indonesia memfokuskan usahanya
hanya untuk mencari keuntungan sebesar-besarnya. Bukan hanya tidak
memperhatikan manusia dan lingkungan, malah dengan semena-mena melakukan
eksploitasi manusia sebagai sumber daya, juga merugikan konsumen dengan produk
yang tidak bermutu. Perlikau menghancurkan alam dengan alasan sumberdaya alam
yang melimpah serta penanganan limbah yang serampangan menjadikan planet bumi
sebagai tempat tinggal manusia satu-satunya rusak dengan sangat cepat.
Bisnis atau aktivitas
ekonomi bukan tidak bisa dikelola dengan arif dan bijaksana. Konsep bisnis triple bottom line menawarkan metoda dan cara berbisnis yang arif
dan bijaksana yang berorientasi jangka panjang dan berkelanjutan. Walau telah diterapkan diberbagai Negara maju
seperti di Eropa, Amerika, Australia, dan sebagian Negara-negara maju di Asia
belum menjadi prioritas untuk diajarkan apalagi diterapkan di Indonesia. Bahkan, masih cenderung menjadi arus
pinggiran yang sering kali diremehkan dan ditertawakan oleh pemangku
kepentingan, khususnya dari kalangan pengambil kebijakan seperti Pemerintah
Pusat dan Daerah, para pelaku usaha baik investor maupun industrialis, bahkan
oleh kalangan akademisi sendiri.
Pemangku kepentingan di Indonesia pada umumnya masih menjadikan
keuntungan, walau bersifat jangka pendek, menjadi tujuan utama dan bahkan
satu-satunya tujuan berusaha dan pembangunan ekonominya.
Sosialisasi, edukasi, dan
advokasi harus terus dilakukan demi kehidupan yang lebih baik dan lestarinya
bumi sebagai satu-satunya tempat manusia bisa hidup. Kerja keras dari setiap orang yang telah
sadar untuk menjaga lestarinya bumi demi lestarinya kehidupan, memanusiakan
manusia sebagai makhluk yang berdaya dan bermartabat, serta entitas ekonomi
yang bijaksana dan bertanggung jawab untuk terus dan terus mengabarkan
kebenaran walau seringkali pahit dan menyakitkan. Pekerjaan berat menanti di depan kita, tetapi
kebenaran tentang lestarinya bumi, manusia yang bermartabat, dan usaya yang
bertanggung jawab lagi bijaksana harus dikabarkan.
Salam Lestari,
Malang, 07072014
REFERENSI
Ahmad, N & Sulaiman, M.
2004. Environmental Disclosure in Malaysian Annual Reports: A Legitimacy Theory
Perspective. International Journal of Commerce & Management. Vol.14,
No.1.
Barkemeyer, R. 2007.
Legitimacy as a Key Driver and Determinant of CSR in Developing Countries. Paper
for the 2007 Marie Curie Summer School on Earth System Governance, 28 May –
06 June 2007, Amsterdam.
Budimanta, A., Prasetijo,
A. & Rudito, B. 2008. Corporate Social Responsibility, Alternatif Bagi
Pembangunan Indonesia. Jakarta: Indonesia Center for Sustainibility
Development Chariri, A. & Ghozali, I.
2007. Teori Akuntansi. Semarang: Badan Penerbit Universitas
Diponegoro.
Chrismawati, D. T. 2007.
Pengaruh Karakteristik Keuangan dan Non Keuangan Perusahaan terhadap Praktik Environmental
Disclosure di Indonesia. Skripsi. Perpustakaan Ekonomi Referensi.
Universitas Diponegoro, Semarang.
Commission of the European
Communities. 2001. Promoting a European Framework for Corporate Social
Responsibility. Brussels: European Community.
Darwin, A. 2008. CSR:
Standards dan Reporting. Makalah disampaikan pada Seminar Nasional CSR
sebagai Kewajiban Asasi Perusahaan; Telaah Pemerintah, Pengusaha, dan Dewan
Standar Akuntansi, 27 November 2010.
Deegan. 2002. Introduction:
The Legitimizing Effect Of Social And Environmental Disclosure – A Theoretical
Foundation. Accounting, Auditing & Accountability Journal, vol.15,
no. 3, pp. 282-311.
Dowling, J. and Pfeffer, J.
1975, “Organizational legitimacy: social values and organization behaviour,” Pacific
Sociological Review, Vol. 18 No. 1, pp. 122-136.
Elkington,
J. 1997.Cannibals with Forks: The Triple Bottom Line of 21st Century
Business. Oxford: Capstone Publishing.
Endiarto, O.T. &
Stephanus, D. S. 2014. Analisis
Pengaruh Kinerja Lingkungan Terhadap Nilai Perusahaan Yang Terdaftar Di Index
Sri Kehati .Proposal Skripsi. Universitas
Ma Chung. Malang
Forum for Corporate
Governance in Indonesia.
2001. Peranan Dewan Komisaris dan Komite Audit dalam Pelaksanaan Corporate
Governance (Tata Kelola Perusahaan). Jilid II. Edisi Kedua. Jakarta:
FCGI.
Freeman, R.E. 1984. Strategic
Management: A Stakeholder Approach.Pitman. Boston
.
Ghozali & Chairiri.
2007. Teori Akuntansi. Semarang: Universitas Diponegoro
Global Reporting
Initiative. 2006. GRI Sustainability Reporting GuideLines G3 Version.
Dipetik Desember 6, 2013, dari https://www.globalreporting.org/
Haniffa, R. M & Cooke,
T. E. 2005. The Impact of Culture and Governance on Corporate Social Reporting.
Journal of Accounting and Public Policy 24.
Hasibuan, R. 2001. Pengaruh
Karakteristik Perusahaan Terhadap Pengungkapan Sosial. Tesis.
Universitas Diponegoro. Semarang.
Heal, G. 2004. Corporate
Social Responsibility – An Economic and Financial Framework. Working Paper.
Columbia Business School.
Jensen, M. C &
Meckling, W. H. 1976. Theory of the Firm: Managerial Behavior, Agency Costs and
Ownership Structure. Journal of Financial Economics, Oktober, 1976, V.
3, No. 4, pp. 305-360.
Lawrence, A. & Webber,
J. 2008. Business & Society: Stakeholders, Ethics, Public Policy. McGraw
Hill Companies Incorporated
Lindblom, C. K. 1994. The
Implications of Organizational Legitimacy for Corporate
Nugroho, O.C. &
Stephanus, D.S. 2014. Studi Empiris
Pengaruh Manajemen Laba (Earnings Management), Corporate Governance,
Ukuran Perusahaan (Size), Leverage, dan Profitabilitas Terhadap
Pengungkapan Tanggung Jawab Sosial Dan Lingkungan Perusahaan. Proposal Skripsi. Universitas Ma Chung.
Malang
Nuraini, E. (2010).
Pengaruh Environmental Performance Dan Environmental Disclosure Terhadap
Economic Performance (Studi Pada Perusahaan Yang Terdaftar Di Bursa Efek
Indonesia). Skripsi Tidak Dipublikasikan. Universitas Diponegoro.
Nurlela, R &
Islahuddin. 2008. Pengaruh Corporate Social Responsibility terhadap
Nilai Perusahaan dengan Prosentase Kepemilikan Manajemen sebagai Variabel
Moderating: Studi Empiris pada Perusahaan yang Terdaftar di Bursa Efek Jakarta.
Simposium Nasional Akuntansi XI Pontianak 2008.
O’Donovan. 2002.
Environmental Disclosure in the Annual Report: Extending the Applicability and
Predictive Power of Legitimacy Theory. Accounting, Auditing, and
Accountability Journal, Vol.15, No.3
Oktiviana,
D. & Stephanus, D.S. 2014. Analisis
Pengaruh Penerapan Environment Management Accounting Dan Strategi
Terhadap Inovasi Perusahaan . Proposal
Skripsi. Universitas Ma Chung. Malang
Prior, D, Jordi, S, Josep,
A. 2008. Are socially responsible managers really ethical? Exploring the
relationship between earnings management and corporate social responsibility. Corporate
Governance: An International nurainiReview, Vol.16, no.3, 160-177.
Puspita,
M. E. & Stephanus, D.S. 2014. Pengaruh
Pengungkapan Corporate Social Responsibility, Global Reporting Initiatives Dan
Iso 26000 Terhadap Nilai Perusahaan Sektor Pertambangan. Proposal Skripsi. Universitas Ma Chung.
Malang
Reverte, C. 2008. Determinants
of Corporate Social Responsibility Disclosure Ratings by Spanish Listed Firms. Journal
of Business Ethics (2009) 88:351– 366 DOI 10.1007/s10551-008-9968-9.
Robert, D.
& Stephanus, D.S. 2014. Penerapan Dan Analisis Pengaruh Environmental Management Accounting
(Ema). Proposal Skripsi. Universitas
Ma Chung. Malang
Saidi. 2004. Faktor-faktor
yang Mempengaruhi Struktur Modal pada Perusahaan Manufaktur Go Public di BEJ 1997-2002.
Jurnal Bisnis dan Ekonomi Vol. 11 no.1, hal. 44-58.
Saputra, N. A. & Stephanus, D.S. 2014. Pengaruh Pengungkapan Corporate
Social Resposibility Dan Global Reporting Initiatives Terhadap Nilai
Perusahaan Pada Perusahaan Yang Tercatat Di Indeks Sri-Kehati 2010—2012. Skripsi. Universitas Ma Chung. Malang
Sayekti & Wondabio.
(2007). Pengaruh Corporate Social Responsibility (CSR) Disclosure Terhadap Earnings Response Coefficient. Simposium Nasional Akuntansi X.
Makassar.
Shleifer, A. dan Vishny,
R.W. 1997. A Survey of Corporate Governance. Journal of Finance, Vol 52.
No 2
Suwardjono. 2005. Teori
Akuntansi: Perekayasaan Pelaporan Keuangan. Yogyakarta: Badan Penerbit
Universitas Gadjah Mada.
Tunggal, A, W. 2008. “Corporate
Social Responsibility (CSR)”. Harvarindo.
Untung, H. B. 2008. Corporate
Social Responsibility. Jakarta: Sinar Grafika.
Wibisono, Y. 2007. Membedah
Konsep dan Aplikasi Corporate Social Responsibility. Gresik: Fascho
Publishing
Wineberg, D. 2004.
Corporate Social Responsibility – What Every In House Counsel Should Know. Acc
Docket.
World Bank Ext Communications
For Development Division Devcomm/Sdo. 2003. Corporate Social Responsibility And
Multi Stakeholder Dialogue: Towards Environmental Behavioral Change.
Discussion Paper.
Seri #2: Instrumen-Instrumen Bisnis yang Bekelanjutan
1. Corporate Social
Responsibility (CSR): Undang-Undang
40/2007 Tentang Perseroan Terbatas
Topik mengenai Tanggung
Jawab Sosial Korporat atau yang biasa dikenal dengan Corporate Social
Responsibility (CSR) menjadi topik yang semakin marak dibicarakan dan
menjadi topik yang semakin banyak dibahas di seluruh belahan dunia. Telah
banyak diulas bahasan-bahasan sehubungan dengan CSR baik melalui media cetak,
elektronik, seminar, dan bahkan hingga konferensi. Perkembangan topik CSR di
perguruan tinggi di Indonesia pun telah menunjukkan adanya peningkatan,
walaupun masih berada di tahap awal (Jalal, 2007).
Konsep tanggung jawab
sosial perusahaan (CSR) muncul sebagai akibat adanya kenyataan atas karakter
alami dari setiap perusahaan. Setiap perusahaan secara alamiah selalu ingin
mencari keuntungan semaksimal mungkin tanpa memedulikan kesejahteraan karyawan,
masyarakat, dan lingkungan alam. Perkembangan CSR juga terkait erat dengan
semakin parahnya kerusakan lingkungan yang terjadi di Indonesia maupun di
dunia, mulai dari penggundulan hutan, polusi udara dan air, hingga perubahan
iklim (Utama, 2007).
Konsep tanggung jawab
sosial muncul seiring dengan semakin parahnya lingkungan serta semakin
meningkatnya kesadaran dan kepekaan dari stakeholder perusahaan. Hal ini
menjadikan tanggung jawab sosial menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan
dengan kelangsungan hidup perusahaan di masa yang akan dating (going concern
perusahaan). Tanggung jawab perusahaan memberikan konsep yang berbeda bahwa
perusahaan tersebut secara sukarela (voluntary) menyumbangkan sesuatu
untuk masyarakat, lingkungan, serta kelangsungan hidup yang lebih baik.
Praktik pengungkapan
sukarela dalam wujud pengungkapan tanggung jawab sosial dan lingkungan semakin
meningkat selama beberapa tahun terakhir. Pengungkapan informasi CSR yang
dilakukan perusahaan secara sukarela pun telah banyak diteliti sebelumnya.
Hasil dari penelitian dan studi yang telah dilakukan di berbagai negara juga
dimuat di berbagai jurnal internasional. Studi tersebut tidak saja dilakukan
dengan menggunakan pendekatan positif tetapi juga interpretive dan critical
theory (Deegan, 2002). Isu serta fenomena yang berkaitan dengan tanggung
jawab sosial dan lingkungan perusahaan juga telah ditulis dalam beberapa buku
teori akuntansi di bab tersendiri sejak lama, salah satunya yaitu oleh Mathews
& Perera (1996).
CSR merupakan pernyataan
umum yang di dalamnya menunjukkan kewajiban perusahaan untuk memanfaatkan
sumber daya ekonomi dalam kegiatan usaha untuk menyediakan dan memberikan
kontribusi kepada para pemangku kepentingan internal dan eksternal (Saleh, dkk., 2010). Dalam era globalisasi sekarang
ini serta adanya kecenderungan akan kebutuhan yang meningkat dari stakeholder
pada perusahaan untuk mengadopsi praktek tanggung jawab social dan
lingkungan (CSR), entah disadari atau tidak, akan ikut mendorong keterlibatan
perusahaan dalam praktik CSR. Karena itu, CSR telah muncul sebagai subjek
penting yang harus diberi perhatian oleh perusahaan.
Terdapat berbagai macam
alasan perusahaan dalam melakukan pengungkapan tanggung jawab sosial dan
lingkungannya secara sukarela. Perusahaan melakukan pengungkapan tanggung jawab
sosial dan lingkungannya sebagai bentuk pertanggungjawaban perusahaan kepada stakeholder
atas segala aktivitas CSR yang telah dilaksanakan oleh perusahaan. Darwin
(2006) dalam Novita & Djakman (2008) menyatakan bahwa pengungkapan kinerja
lingkungan, sosial, dan ekonomi di dalam laporan tahunan atau laporan terpisah
adalah wujud untuk mencerminkan tingkat akuntabilitas, responsibilitas, dan
transparansi korporat kepada investor dan stakeholders lainnya.
Lebih jauh, Novita &
Djakman (2008) mengatakan bahwa pengungkapan tersebut bertujuan untuk menjalin
hubungan komunikasi yang baik dan efektif antara perusahaan dengan publik dan stakeholders
lainnya tentang bagaimana perusahaan telah mengintegrasikan corporate
social responsibilty (CSR) dalam setiap aspek kegiatan operasinya. Alasan
lain yang melatarbelakangi perusahaan dalam melakukan pengungkapan tanggung
jawab sosial dan lingkungannya secara sukarela adalah berkaitan dengan
legitimasi perusahaan.
Haniffa & Cooke (2005)
mengatakan bahwa perusahaan juga dapat memperoleh legitimasi dengan
memperlihatkan tanggung jawab sosial melalui pengungkapan CSR dalam media
termasuk dalam laporan tahunan perusahaan. Hal tersebut sejalan dengan pendapat
Kiroyan (2006) dalam Sayekti & Wondabio (2007) yang menyatakan bahwa dengan
menerapkan CSR, diharapkan perusahaan akan memperoleh legitimasi sosial dan
memaksimalkan kekuatan keuangannya dalam jangka panjang. Hal ini
mengindikasikan bahwa perusahaan yang menerapkan CSR mengharapkan akan direspon
positif oleh para pelaku pasar.
Undang-Undang di Indonesia
mengamanatkan agar perusahaan melaksanakan tanggung jawab sosial dan
lingkungannya. Ada dua undang-undang yang mengatur mengenai hal tersebut.
Undang-undang pertama adalah Pasal 15b Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang
Penanaman Modal. Undang-undang ini menyatakan bahwa setiap investor
berkewajiban melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan. Penjelasan pasal
ini menyatakan bahwa yang dimaksud dengan tanggung jawab sosial perusahaan
adalah tanggung jawab yang melekat pada perusahaan penanaman modal untuk tetap
menciptakan hubungan yang serasi, seimbang, dan sesuai dengan lingkungan,
nilai, norma, dan budaya masyarakat.
Undang-undang kedua yang
mengatur mengenai tanggung jawab sosial dan lingkungan perusahaan adalah
Undang- Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Pasal 74 ayat (1)
Undang- undang ini menyatakan bahwa perseroan yang menjalankan kegiatan
usahanya di bidang dan atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib
melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan. Ayat (2) pasal ini
menyatakan kewajiban tersebut diperhitungkan sebagai biaya perseroan yang
pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran.
Selanjutnya ayat (3) menyebutkan perseroan yang tidak melaksanakan kewajiban
sebagaimana yang dimaksud ayat (1) dikenai sanksi sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang terkait. Kemudian ayat (4) menyatakan ketentuan lebih
lanjut mengenai tanggung jawab sosial dan lingkungan diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
Dengan diberlakukannya
kedua Undang-undang di atas, perusahaan akan lebih terdorong untuk
bertanggungjawab terhadap lingkungan dan sosialnya. Adanya standar yang
dilakukan terhadap praktek pelaporan CSR (Corporate Social Reporting)
akan menjadikan pengungkapan tanggung jawab sosial dan lingkungan sebagai mandatory
disclosure, sehinggap pelaporan CSR akan lebih lengkap dan akurat. Walaupun
Undang-undang tersebut telah mendorong kesadaran perusahaan terhadap tanggung
jawab lingkungan dan sosialnya, namun undang-undang tersebut masih memiliki
kelemahan. Dalam undang-undang tersebut tidak dicantumkan sektor apa saja yang
diwajibkan untuk melaksanakan CSR, sanksi yang dikenakan apabila melanggar,
berapa besar anggaran minimum, serta pelaporan CSR.
2. International
Standard Organization (ISO) 14001 tentang Manajemen Lingkungan
International Organization for
Standardization (ISO)
adalah suatu asosiasi global di luar pemerintahan yang terdiri dari badan-badan
standardisasi nasional yang beranggotakan 140 negara dan berdiri sejak tahun
1947 (www.iso.org, 2013).
Tujuan ISO 14000 (Kuhre,
1995) adalah sebagai berikut.
1. Mendorong upaya dan
melakukan pendekatan untuk pengelolaan lingkungan hidup dan sumberdaya alam dan
kualitas pengelolaannya diseragamkan pada lingkup global.
2. Meningkatkan kemampuan
organisasi untuk mampu memperbaikikualitas dan kinerja lingkungan hidup dan
sumber daya alam.
3. Memberikan kemampuan dan
fasilitas pada kegiatan ekonomi danindustri, sehingga tidak mengalami rintangan
dalam berusaha.
Untuk mencapai tujuan
tersebut dibentuk SAGE (Startegic Advisory Group on the Environment).
Kemudian TC 207 (Komisi Teknis) pada tahun 1993 dibentuk oleh Organisasi
Internasional untuk Standarisasi (ISO). Komisi ini terdiri dari berbagai negara
dan bertugas merumuskan konsep standar internasional di bidang lingkungan.
Adapun pembagian tugasnya adalah sebagai berikut.
1. Sub komisi yang
menangani Environmental Management System (Sistem pengelolaan Lingkungan
dan sumberdaya alam).
2. Sub komisi yang
menangani Environmental Auditing (Odit Lingkungan).
3. Sub komisi yang
menangani Environmental Labelling (Label Lingkungan).
4. Sub komisi yang
menangani Environmental Performance Evaluating (Evaluasi Kinerja
Lingkungan).
5. Sub komisi yang
menangani Life Cycle Analysis (Analisis Daur Hidup)
6. Sub komisi yang
menangani Environemental aspect in Product Standard (Aspek
Lingkungan dalam Baku mutu Produk).
7. Sub komisi yang bertugas
menyusun Term and Definitions (Istilah dan Definisi).
3. International Standard
Organization (ISO) 26000 tentang Corporate Responsibility
International
Organization for Standardization (ISO) adalah suatu asosiasi global di
luar pemerintahan yang terdiri dari badan-badan standardisasi nasional yang
beranggotakan 140 negara dan berdiri sejak tahun 1947. Pada 1 November 2010,
ISO mengeluarkan ISO 26000 yang merupakan suatu standar mengenai panduan perilaku
bertanggung jawab sosial bagi organisasi guna berkontribusi terhadap
pembangunan berkelanjutan (www.iso.org, 2013).
Munculnya ISO 26000 ini diharapkan
dapat memberikan tambahan nilai terhadap aktivitas tanggung jawab sosial yang
berkembang saat ini melalui pengembangan suatu konsensus terhadap pengertian
tanggung jawab sosial dan isunya, menyediakan pedoman tentang penerjemahan
prinsip-prinsip menjadi kegiatan yang efektif dan memilah praktik-praktik
terbaik yang sudah berkembang dan menyebarluaskannya untuk kebaikan komunitas
atau masyarakat internasional. ISO 26000 menerjemahkan tanggung jawab sosial
sebagai tanggung jawab suatu organisasi atas dampak dari keputusan dan
aktivitasnya terhadap masyarakat dan lingkungan melalui perilaku yang
transparan dan etis, serta konsisten dengan pembangunan berkelanjutan dan
kesejahteraan masyarakat, memperhatikan kepentingan dari para stakeholder,
sesuai hukum yang berlaku dan konsisten dengan norma-norma internasional serta
terintegrasi di seluruh aktivitas organisasi (www.iso.org, 2013).
Pedoman ISO 26000 terdiri dari 6 bab
serta memuat 7 prinsip, 2 praktik dasar, 7 subjek inti, 36 isu, dan 6 praktik
integrasi tanggung jawab sosial organisasi. Berbagai isu yang tercakup dalam
tanggung jawab sosial menurut ISO 26000 digambarkan sebagai berikut. Tanggung
Jawab Sosial: (1) Lingkungan; (2) Praktik operasi yang adil; (3) Isu-isu
konsumen; (4) Pembangunan social; (5) Tata kelola organisasi; (6) Hak asasi
manusia; (7) Praktik Ketenagakerjaan
4. Global Reporting Initiative
(GRI)
Pengungkapan tanggung jawab sosial
pada laporan keuangan perusahaan juga memiliki standar yang disebut dengan Global
Reporting Initiatives (GRI). GRI merupakan suatu organisasi nirlaba yang
memelopori kinerja ekonomi, lingkungan dan sosial yang berkelanjutan. Tujuan
utama GRI yaitu membantu para investor, pemerintah, perusahaan dan masyarakat
umum untuk memahami lebih jelas proses peningkatan dan pencapaian perusahaan
(Sudana & Arlindania, 2011). Aspek yang terdapat dalam GRI yaitu aspek
ekonomi (9 item), lingkungan (30 item), tenaga kerja (14 item), hak asasi
manusia (11 item), masyarakat (8 item), dan produk (9 item). Rerangka pelaporan
yang dikembangkan oleh GRI bersifat umum dan telah disetujui oleh berbagai
pemangku kepentingan di seluruh dunia (www.globalreporting.org, 2013).
5. Sustainable and Responsible
Investment Keaneka Ragaman Hayati Indonesia (Indeks
SRI-KEHATI)
Pengungkapan lingkungan di Indonesia
terdapat di Indeks bernama SRI-KEHATI, SRI-KEHATI diluncurkan pada tanggal 8
Juni 2009 yang merupakan hasil kerjasama antara Bursa Efek Indonesia dan
Yayasan Keanekaragaman Hayati Indonesia (KEHATI) yang bergerak dalam bidang
pelesatarian dan pemanfaatan keanekaragaman hayati (www.kehati.or.id, 2014).
Perusahaan yang terdaftar dalam Indeks SRI-KEHATI adalah perusahaan yang telah
dinilai berdasarkan kriteria Indeks SRI-KEHATI. Kriteria Indeks SRI-KEHATI
seperti aset total di atas satu triliun Rupiah pada laporan audit tahunan,
memiliki Price Earnings Ratio positif, dan Free Float Ratio.
Pemilihan Indeks SRI-KEHATI sebagian sampel penelitian dikarenakan indeks
SRI-KEHATI menjadi acuan para investor dan masyarakat untuk mengetahui
perusahaan apa saja yang telah menerapkan 4 konsep Corporate Social
Responsibility dengan menggunakan standar Global Reporting Initiatives.
6. Environmental Management
Accounting (EMA)
EMA didefinisikan sebagai alat
analisis infomasi keuangan dan non-keuangan yang digunakan untuk mendukung
proses manajemen lingkungan hidup yang dilakukan oleh internal perusahaan.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa EMA
merupakan sebuah alat yang dapat menyajikan informasi bagi internal perusahaan
terkait dengan kegiatan pengelolaan kinerja lingkungan yang tepat dan praktis.
Dalam pelaksanaannya, EMA memiliki 5 kegiatan yang utama
Tujuan dan Manfaat Penggunaan EMA
Tujuan EMA menurut Savage (2014) dapat
dirumuskan bahwa setiap pengambil keputusan dapat menggunakan informasi fisik
dan biaya dari EMA untuk membuat keputusan yang akan berdampak pada kinerja
lingkungan dan kunerja keuangan perusahaan. Sedangkan menurut IFAC (2005) tujuan
EMA adalah manajemen internal perusahaan dapat mengambil langkah-langkah
insiatif yang sangat baik menggunakan informasi yang diperoleh dari EMA.
Beberapa fokus lingkungan seperti, produk “hijau”, desain produk yang
menggunakan bahan ramah lingkungan. Selain itu EMA sering digunakan untuk
pelaporan eksternal.
Jadi, EMA lebih dari sekedar alat
pengelolaan lingkungan saja, tetapi EMA bisa menjadi sekumpulan prinsip dan
pendekatan yang menyediakan data penting untuk keberhasilan banyak kegiatan
pengelolaan lingkungan perusahaan. Dan sejak keputusan mengenai kegiatan
lingkungan dipengaruhi isu lingkungan, dengan adanya EMA setiap keputusan
mengenai kegiatan lingkungan dapat diambil secara objektif.
Beberapa manfaat dari penggunaan EMA
1)
Perusahaan
mampu untuk lebih akurat melacak dan mengelola penggunaan aliran energi dan
material, termasuk volume polusi/limbah, jenis, dan nasib
2)
Perusahaan
juga dapat mengidentifikasi, mengestimasi, mengalokasikan, dan
mengelola/mengurangi biaya, terutama biaya yang terkait lingkungan
3)
Perusahaan
dapat hasil informasi yang lebih akurat dan komprehensif untuk pengukuran dan
pelaporan kinerja lingkungan, sehingga citra perusahaan meningkat dengan para
pemangku kepentingan seperti pelanggan, masyarakat setempat, karyawan,
pemerintah, dan penyedia dana investasi.
4)
Manfaat
bagi Pemerintah ketika Perusahaan menerapkan EMA
5)
Semakin
banyak industri yang dapat mengaplikasikan program lingkungan atas dasar hukum
dan peraturan yang sudah diatur oleh pemerintah
6)
Pelaksanaan
EMA oleh industri harus meningkatkan efektivitas kebijakan pemerintah/peraturan
yang berlaku dengan cara perusahaan mengungkapkan biaya lingkungan dan manfaat
yang dihasilkan dari kebijakan-kebijakan/peraturan tersebut.
7)
Pemerintah
dapat menggunakan perusahaan yang sudah menerapkan EMA untuk dijadikan tolok
ukur performa kinerja perusahaan terhadap lingkungan serta penyusunan regulasi
bagi pemerintah.
Framework Environmental Management
Accounting
Rerangka EMA berhubungan dengan dua
komponen utama manajemen lingkungan yaitu: monetary
environmental management accounting (MEMA) dan physical environmental management accounting (PEMA)
7. Audit
Lingkungan Hidup
Audit lingkungan merupakan
instrumen berharga untuk memverifikasi dan membantu penyempurnaan kinerja lingkungan. Audit perlu dilakukan secara berkala, untuk
menentukan apakah sistem yang dilaksanakan sudah sesuai dengan pengaturan yang
direncanakan dan telah dijalankan dan dipelihara secara benar, yang
pelaksanaannya tergantung dari pentingnya masalah lingkungan bagi kegiatan
perusahaan dan hasil audit sebelumnya.
Refleksi
Penjelasan mengenai masing-masing
instrument dengan lebih detail akan dituliskan pada serial artikel-artikel
lebih lanjut. Semoga bermanfaat dan
menjadi informasi serta pengetahuan lebih lanjut mengenai pengelolaan usaha,
bisnis, dan aktivitas ekonomi yang berkelanjutan. Aktivitas ekonomi yang ramah terhadap alam,
memberdayakan masyarakat, yang pada akhirnya akan menghasilkan keuntungan atau
profit yang memadai.
Referensi
Burritt, R. L., Hahn, T., & Schaltegger, S. 2002. Towards A
Comprehensive Framework For Environmental Management Accounting – Links Between
Business Actors And EMA Tools. Australian
Accounting Review, 39-50.
Darwin, A.
2006. Akuntabilitas, Kebutuhan, Pelaporan, Dan Pengungkapan Corporate Social Rwsponsibility Bagi Perusahaan Di Indonesia”. Economics
Business Accounting Review: Corporate
Social Responsibility, 3rd Ed, Pp. 83-95. Departemen Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
Deegan.
2002. Introduction: The Legitimizing Effect Of Social And Environmental Disclosure
– A Theoretical Foundation. Accounting, Auditing & Accountability Journal,
Vol.15, No. 3, Pp. 282-311.
Endiarto, O.T. &
Stephanus, D. S. 2014. Analisis
Pengaruh Kinerja Lingkungan Terhadap Nilai Perusahaan Yang Terdaftar Di Index
Sri Kehati .Proposal Skripsi. Universitas
Ma Chung. Malang
Haniffa, R.
M & Cooke, T. E. 2005. The Impact Of Culture And Governance On Corporate
Social Reporting. Journal Of Accounting And Public Policy 24.
International Federation of Accountants (IFAC). 2005. International
Guidance Document: Environmental Management Accounting. New York: The
International Federation of Accountants.
Jalal. 2007.
Perkembangan Mutakhir Corporate
Social Rwsponsibility di Indonesia.
Jakarta: Lingkar Studi Corporate Social
Responsibility
Johnson, S. 2004. Environmental
Management Accounting.
Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 4294 Tahun 1994 Tentang
Pedoman Umum Pelaksanaan Audit Lingkungan.
Kuhre, W. L.
1995. ISO 14001 Certification -
Environmental Management Systems: A Practical Guide for Preparing Effective
Environmental Management Systems.
Mathews, M. R. &
Perera, M. H. 1996. Accounting Theory and Development. Thomas Nelson,
South Melbourne, Australia.
Novita &
Djakman. 2008. Pengaruh Struktur Kepemilikan Terhadap Luas Pengungkapan Tanggung Jawab Sosial (Corporate Social Rwsponsibility Disclosure) Pada Laporan Tahunan
Perusahaan: Studi Empiris Pada Perusahaan Publik Yang Tercatat Di Bursa Efek
Indonesia Tahun 2006. Simposium Nasional Akuntansi XI.
Nugroho, O.C. &
Stephanus, D.S. 2014. Studi Empiris
Pengaruh Manajemen Laba (Earnings Management), Corporate Governance,
Ukuran Perusahaan (Size), Leverage, Dan Profitabilitas Terhadap
Pengungkapan Tanggung Jawab Sosial Dan Lingkungan Perusahaan. Proposal Skripsi. Universitas Ma Chung.
Malang
Oktiviana,
D. & Stephanus, D.S. 2014. Analisis
Pengaruh Penerapan Environment Management Accounting Dan Strategi
Terhadap Inovasi Perusahaan . Proposal
Skripsi. Universitas Ma Chung. Malang
Peraturan
Menteri Lingkungan Hidup Republik Indonesia Nomor 03 Tahun 2013 Tentang Audit
Lingkungan Hidup
Puspita,
M. E. & Stephanus, D.S. 2014. Pengaruh
Pengungkapan Corporate Social Responsibility, Global Reporting Initiatives Dan
Iso 26000 Terhadap Nilai Perusahaan Sektor Pertambangan. Proposal Skripsi. Universitas Ma Chung.
Malang
Robert, D.
& Stephanus, D.S. 2014. Penerapan Dan Analisis Pengaruh Environmental Management Accounting
(Ema). Proposal Skripsi. Universitas
Ma Chung. Malang
Saleh, M, Zulkifli, N,
& Muhamad, R. (2010). Corporate Social Responsibility Disclosure And Its
Relation On Institutional Ownership. Managerial Auditing Journal, Vol.
25, No. 6, Pp. 591-613.
Saputra,
N. A. & Stephanus, D.S. 2014. Pengaruh Pengungkapan Corporate Social
Resposibility Dan Global Reporting Initiatives Terhadap Nilai
Perusahaan Pada Perusahaan Yang Tercatat Di Indeks Sri-Kehati 2010—2012. Skripsi. Universitas Ma Chung. Malang
Sudana, I M. & Arlindania
W. P.A., 2011. “Corporate Governance dan Pengungkapan Corporate Sosial
Responsibility pada Perusahaan Go Public di Bursa Efek Indonesia”, Jurnal
Manajemen Teori dan Terapan, Volume 4 Nomor 1 hal 37-49.
Undang-Undang Nomor 25
Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal.
Undang-Undang Nomor 40
Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas.
Utama, S. 2007. Evaluasi
Infrastruktur Pendukung Pelaporan Tanggung Jawab Sosial Dan Lingkungan Di
Indonesia. Pidato Pengukuhan Profesor Fakultas Ekonomi Ui. Jakarta.
www.oc.its.ac.id/ambilfile.php?idp=1833. Konsep
Audit Lingkungan
Seri #3: Corporate
Social Responsibility dan Undang-Undang No. 40/2007 Tentang Perseroan
Terbatas
Pengantar
Corporate
Social Responsibility (CSR)
dapat didefinisikan sebagai sebuah komitmen untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat melalui praktik bisnis secara sukarela dan melalui sumber daya
perusahaan. Dalam hal ini, perusahaan melakukan komitmennya murni secara
sukarela turut meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan bukan dikarenakan
sebuah kewajiban atau keterpaksaan
Sedangkan Sedangkan menurut Friedman
(1970), tanggung jawab sosial perusahaan adalah menjalankan bisnis sesuai
dengan keinginan pemilik perusahaan, biasanya dalam bentuk menghasilkan uang
sebanyak mungkin dengan senantiasa mengindahkan aturan dasar yang digariskan
dalam suatu masyarakat sebagaimana diatur oleh hukum dan perundang-undangan.
Jadi, dapat disimpulkan, Corporate Social Responsibility adalah
konsep yang diterapkan perusahaan dengan tujuan agar menyejahterakan masyarakat
serta menjaga lingkungan sekitar terkait keberadaan perusahaan tersebut.
Kepedulian perusahaan terhadap masyarakat dan lingkungan dapat meningkatkan
citra perusahaan di mata publik.
Hukum dan
Perundang-undangan yang mengatur Corporate
Social Responsibility (CSR)
Secara hukum dan perundang-undangan
ada sedikitnya tiga peraturan yang mewajibkan CSR untuk dilaksanakan. CSR
sendiri dibagi menjadi tiga macam yaitu CSR untuk Perseroan Terbatas (PT), CSR
untuk penanam modal, dan CSR untuk BUMN.
1 Undang-undang yang Mengatur CSR untuk
Perseroan Terbatas (PT)
CSR dalam Perseroan Terbatas (PT)
diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2007 Tentang
Perseroan Terbatas pada Pasal 74 yang menyebutkan bahwa perusahaan wajib
menciptakan hubungan Perseroan yang serasi, seimbang, dan sesuai dengan
lingkungan, nilai, norma, dan budaya masyarakat setempat.
2 Undang-undang yang Mengatur CSR untuk Penanam
Modal
Untuk penanam modal, CSR diatur dalam
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanam Modal pada
Pasal 15 ayat (b) menyebutkan bahwa setiap penanam modal berkewajiban
melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan.
3 Undang-undang yang Mengatur CSR
untuk Badan Usaha Milik Negara (BUMN)
Dalam Keputusan Menteri Badan Usaha
Milik Negara NOMOR KEP-236/MBU/2003 pada pasal 2 menyatakan bahwa BUMN wajib
melaksanakan Program Kemitraan dan Program BL dengan memenuhi
ketentuan-ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini. Sumber dana
pembinaan berasal dari bagian pemerintah atas laba BUMN sebesar antara 1%-5%
dari seluruh laba perusahaan setelah pajak.
2.4.1 Definisi
Tanggung Jawab Sosial Perusahaan
Hackston & Milne (1996) dalam
Sembiring (2005) menyatakan bahwa tanggung jawab sosial perusahaan atau corporate
social responsibility (CSR) merupakan proses pengomunikasian dampak sosial
dan lingkungan dari kegiatan ekonomi perusahaan terhadap kelompok khusus yang
berkepentingan dan terhadap masyarakat secara keseluruhan. Undang-Undang No 40
tahun 2007 pasal 74 ayat (2) mengenai Perseroan Terbatas menyatakan bahwa
tanggung jawab sosial merupakan kewajiban Perseroan yang dianggarkan dan
diperhitungkan sebagai biaya perseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan
memperhatikan kepatuhan dan kewajaran. Untung (2008) mendefinisikan tanggung
jawab sosial perusahaan atau corporate social responsibility (CSR)
adalah komitmen perusahaan atau dunia bisnis untuk berkontribusi dalam
perkembangan ekonomi yang berkelanjutan 15
dengan
memperhatikan tanggung jawab sosial perusahaan dan menitikberatkan pada
keseimbangan terhadap aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan.
Harsanti (2011)
menyatakan tanggung jawab sosial adalah sebuah gagasan yang menjadikan
perusahaan tidak lagi berpijak pada prinsip single bottom line, yaitu
nilai perusahaan hanya direfleksikan pada kondisi keuangannya saja dan
perusahaan hanya memunyai kewajiban ekonomi kepada pemegang saham (shareholder),
tetapi juga kewajiban terhadap pihak-pihak lain yang berkepentingan (stakeholder).
Berdasarkan definisi yang telah diungkapkan, maka dapat disimpulkan tanggung
jawab sosial perusahaan atau corporate social responsibility merupakan
suatu komitmen perusahaan kepada pihak stakeholder ataupun shareholder
untuk bertanggung jawab atas kinerja bisnis perusahaan dalam aspek ekonomi,
sosial, dan lingkungan. Tanggung jawab sosial bukan saja menuntut perusahaan
untuk memperoleh laba yang tinggi namun bagaimana hubungan perusahaan dengan
lingkungan sekitar perusahaan.
2.4.2
Pengungkapan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan
Chariri & Ghozali
(2007) menyatakan bahwa pengungkapan dapat diartikan sebagai pemberian
informasi bagi pihak-pihak yang berkepentingan terhadap informasi tersebut.
Rakhiemah & Agustia (2009) menyatakan bahwa pengungkapan tanggung jawab
sosial perusahaan atau corporate social responsibility (CSR) merupakan
suatu proses penyedia informasi yang dirancang untuk mengemukakan masalah
seputar social accountability, yang secara khas tindakan ini dapat
dipertanggungjawabkan dalam media-media seperti laporan tahunan maupun dalam
bentuk iklan yang berorientasi sosial. Dari beberapa definisi di atas maka
dapat disimpulkan bahwa pengungkapan tanggung jawab sosial 16
merupakan
suatu proses yang dilakukan perusahaan untuk menyediakan informasi mengenai
aktivitas sosial perusahaan, yang dapat memengaruhi persepsi masyarakat dan
kinerja keuangan perusahaan.
Sitepu & Siregar
(2009) menyatakan tujuan dari pengungkapan tanggung jawab sosial adalah
menyediakan informasi yang memungkinkan dilakukan evaluasi perusahaan terhadap
masyarakat. Pengaruh kegiatan ini bersifat negatif jika menimbulkan biaya
sosial pada masyarakat, dan bersifat positif jika menimbulkan manfaat sosial
bagi masyarakat. Utomo (2000) menyatakan bahwa tujuan pengungkapan
dikategorikan menjadi dua yaitu protective disclosure yang merupakan
upaya perlindungan terhadap investor, dan information disclosure yang
bertujuan memberikan informasi yang layak kepada pengguna laporan. Jadi, tujuan
tanggung jawab sosial adalah menyediakan informasi bagi para pengguna laporan
keuangan baik dalam dampak dan manfaat atas aktivitas yang dilakukan perusahaan
kepada masyarakat. Selain itu, pengungkapan tanggung jawab sosial tersebut
dapat menjadi evaluasi kinerja perusahaan dan menerangkan dampak yang timbul
atas kinerja perusahaan.
Di Indonesia,
pengungkapan tanggung jawab sosial dan lingkungan dalam laporan tahunan
Perseroan Terbatas telah diwajibkan melalui pasal 66 ayat 2 Undang-Undang No.
40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Undang-Undang tersebut mewajibkan
setiap laporan tahunan Perseroan Terbatas memuat sekurang-kurangnya laporan
keuangan, laporan mengenai kegiatan perusahaan, laporan tanggung jawab sosial
dan lingkungan, rincian masalah yang timbul selama tahun buku, laporan mengenai
tugas pengawasan, nama anggota Direksi dan Dewan Komisaris dan gaji beserta
tunjangan anggota Direksi dan Dewan Komisaris. 17
Praktik
pengungkapan tanggung jawab sosial diatur oleh Ikatan Akuntan Indonesia (IAI)
dalam Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK 2011) No. 1 Paragraf 12, yang
menyatakan bahwa entitas dapat pula menyajikan, terpisah dari laporan keuangan,
laporan mengenai lingkungan hidup dan laporan nilai tambah khususnya bagi
industri yang faktor-faktor lingkungan hidup memegang peranan penting dan bagi
industri yang menganggap pegawai sebagai kelompok pengguna laporan yang
memegang peranan penting.
Peraturan Bapepam-LK
mengenai Emiten dan Perusahaan Publik terkait Pelaporan Emiten dan Perusahaan
Publik, tertuang dalam peraturan VIII.G.2 yang telah diubah menjadi peraturan
No. X.K.6 (Kewajiban Penyampaian Laporan Tahunan Bagi Emiten dan Perusahaan
Publik) juga menyatakan bahwa laporan tahunan wajib memuat ikhtisar data keuangan
penting, laporan Dewan Komisaris, laporan Direksi, profil perusahaan, analisis
dan pembahasan manajemen, tata kelola perusahaan, tanggung jawab sosial
perusahaan, laporan keuangan tahunan yang telah diaudit, dan surat pernyataan
tanggung jawab Dewan Komisaris dan Direksi atas kebenaran isi laporan tahunan.
Jadi, dapat dikatakan
bahwa secara keseluruhan pengungkapan laporan tanggung jawab sosial telah
menjadi suatu kewajiban bagi perusahaan publik di Indonesia. Perusahaan
dituntut untuk tidak hanya memikirkan kepentingan pemegang saham atau pemilik,
namun juga mementingkan kepentingan masyarakat sekitar. Perusahaan dalam
memperoleh laba harus memperhatikan kondisi masyarakat dan lingkungan, dan
kegiatan yang dilakukan oleh perusahaan diungkapkan pula pada laporan tahunan
perusahaan. 18
2.4.3
Pengungkapan Lingkungan
Al Tuwaijiri,
Christensen & Hughes (2004) menyatakan pengungkapan lingkungan perusahaan
sebagai kumpulan informasi yang berhubungan dengan aktivitas pengelolaan
lingkungan oleh perusahaan di masa lalu, sekarang, dan yang akan datang.
Suratno, Darsono, & Mutmainah (2006) menyatakan bahwa pengungkapan
lingkungan perusahaan merupakan pengungkapan informasi terkait dengan
lingkungan di dalam laporan tahunan (annual report) perusahaan.
Fatayaningrum (2011) pengungkapan lingkungan merupakan pengungkapan perusahaan
terhadap dampak dari aktivitas perusahaan pada lingkungan fisik atau alam pada
tempat perusahaan beroperasi. Berdasarkan beberapa definisi maka dapat
disimpulkan bahwa pengungkapan lingkungan merupakan kumpulan informasi yang
terdapat pada laporan tahunan perusahaan mengenai aktivitas perusahaan pada
lingkungan sekitar. Pengungkapan tersebut dapat berupa pencegahan polusi akibat
aktivitas perusahaan, pelestarian lingkungan, pemanfaatan dan perlindungan
lingkungan, serta informasi lain yang berhubungan dengan lingkungan hidup.
Pengungkapan
lingkungan merupakan salah satu pengungkapan yang menjadi bagian dari
pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan atau corporate social
responsibility (CSR), yang berfokus pada kepedulian perusahaan terhadap
lingkungan sekitar. Kepedulian perusahaan terhadap permasalahan lingkungan
dapat dilakukan dengan melaksanakan program-program kinerja lingkungan yang
kemudian di ungkapkan dalam laporan, baik pada laporan tahunan maupun laporan
terpisah lainnya yang disebut laporan keberlanjutan (sustainability report).
19
Terdapat
beberapa alasan perusahaan dalam memperhatikan lingkungan adalah sebagai
berikut (Januarti & Apriyanti, 2005).
1.
Isu lingkungan yang melibatkan kepentingan berbagai kelompok dalam masyarakat
yang dapat mengganggu kualitas hidup mereka.
2.
Dalam era globalisasi, produk-produk yang diperdagangkan harus bersahabat
dengan lingkungan.
3.
Para investor dalam menanamkan modalnya cenderung untuk memilih perusahaan yang
memiliki dan mengembangkan kebijakan dan program lingkungan.
4. Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM) dan pecinta lingkungan semakin vokal dalam mengkritik
perusahaan-perusahaan yang kurang peduli terhapa lingkungan.
Pentingnya
pengungkapan lingkungan juga menimbulkan adanya peraturan khusus seperti yang
tertuang pada pasal 68 huruf (a) Undang-Undang No.32 Tahun 2009 mengenai
Pengelolaan Lingkungan Hidup. Dalam pasal 68 huruf (1) Undang-Undang No. 32
tahun 2009 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup disebutkan bahwa setiap orang
yang melakukan usaha atau kegiatan berkewajiban memberikan informasi yang
terkait dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup secara benar, akurat
dan terbuka, serta tepat waktu. Pengungkapan kinerja lingkungan dan tanggung
jawab sosial perusahaan dapat dilakukan melalui laporan tahunan atau laporan
terpisah yang disebut dengan sustainability report dan media lainnya
seperti website. Sustainability report ini mencakup kinerja
lingkungan, sosial dan ekonomi, dan sering dibuat dengan nama environmental
report, social report, atau environmental and social report tergantung
dari tujuan pengungkapan. 20
Tabel
1.
Indikator
Pengungkapan Corporate Social Responsibility (CSR)
(Dilanjutkan…)
No.
|
Kategori |
Keterangan |
|||
1 |
Lingkungan |
1 |
Pengendalian polusi
kegiatan operasi; pengeluaran riset dan pengembangan untuk pengurangan polusi
|
||
2 |
2 |
Pernyataan yang
menunjukkan bahwa operasi perusahaan tidak mengakibatkan polusi atau memenuhi
ketentuan hukum dan peraturan polusi |
|||
3 |
3 |
Pernyataan yang
menunjukkan bahwa polusi operasi telah atau akan dikurangi |
|||
4 |
4 |
Pencegahan atau
perbaikkan kerusakan lingkungan akibat pengolahan sumber alam, misalnya
reklamasi daratan atau reboisasi |
|||
5 |
5 |
Konservasi sumber
alam, misalnya mendaur ulang kaca, besi, minyak, air dan kertas. |
|||
6 |
6 |
Penggunaan material
daur ulang |
|||
7 |
7 |
Menerima
penghargaan berkaitan dengan program lingkungan yang dibuat perusahaan |
|||
8 |
8 |
Merancang fasilitas
yang harmonis dengan lingkungan |
|||
9 |
9 |
Kontribusi dalam
seni yang bertujuan untuk memperindang lingkungan |
|||
10 |
10 |
Kontribusi dalam
pemugaran bangunan sejarah |
|||
11 |
11 |
Pengolahan limbah |
|||
12 |
12 |
Memperlajari dampak
lingkungan untuk memonitor dampak lingkungan perusahaan |
|||
13 |
13 |
Perlindungan
lingkungan hidup |
|||
14 |
Energi |
1 |
Menggunakan energi
secara lebih efisien dalam kegiatan operasi |
||
15 |
2 |
Memanfaatkan barang
bekas untuk memproduksi energi |
|||
16 |
3 |
Penghematan energi
sebagai hasil produk daur ulang |
|||
17 |
4 |
Membahas upaya
perusahaan dalam mengurangi konsumen energi |
|||
18 |
5 |
Peningkatan
efisiensi energi dari produk |
|||
19 |
6 |
Riset yang mengarah
pada peningkatan efisiensi dari produk |
|||
20 |
7 |
Kebijakan energi
perusahaan |
|||
21 |
Kesehatan dan
Keselamatan Kerja |
1 |
Mengurangi polusi,
iritasi, atau risiko dalam lingkungan kerja |
||
22 |
2 |
Mempromosikan
keselamatan tenaga kerja dan kesehatan fisik atau mental |
|||
23 |
3 |
Statistik
kecelakaan kerja |
|||
Ahmad, N & Sulaiman, M.
(2004). Environmental Disclosure in Malaysian
Annual Reports: A
Legitimacy Theory Perspective. International Journal of
Commerce & Management. Vol.14, No.1.
Alhusin, S. (2004). Aplikasi
Statistik Praktis dengan SPSS 10 for Windows.
Jogjakarta: Graha Ilmu.
Altman, E. I. (2000).
Predicting financial distress of companies: Revisiting the
Zscore and Zeta® Models. Journal
of Banking & Finance, 1.
Amal, M. (2011). Pengaruh
Manajemen Laba, Kepemilikan Manajerial, Ukuran
Perusahaan, dan
Profitabilitas terhadap Pengungkapan Tanggung Jawab
Sosial dan Lingkungan
(Studi Empiris pada Perusahaan Manufaktur yang
terdaftar di Bursa Efek
Indonesia Tahun 2008-2009). Skripsi. Universitas
Diponegoro, Semarang.
Amran, A & Devi, S.
(2008). The Impact Of Government and Foreign Affiliate
Influence on Corporate
Social Reporting (The Case of Malaysia). Accounting,
Auditing, and
Accountability Journal, Vol.
23, No. 4, hal 386- 404.
Anggaini, R. R. (2006).
Pengungkapan Informasi Sosial dan Faktor-Faktor yang
Mempengaruhi Pengungkapan
Infromasi Sosial dalam Laporan Keuangan
Tahunan (Studi Empiris pada
Perusahaan-Perusahaan yang Terdaftar pada
Bursa Efek Jakarta). Simposium
Nasional Akuntansi IX, Padang.
Arif, I. Y. (2006).
Pengaruh Struktur Kepemilikan dan Mekanisme Corporate
Governance Terhadap Agency Cost (Studi
pada Perusahaan di BEJ). Jurnal
Ilmiah Bidang Manajemen dan
Akuntansi,
Vol.3, No.2, hal. 194 213,
September 2006.
Arikunto, S. (2006). Prosedur
Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta:
Rineka Cipta.
Barkemeyer, R. (2007).
Legitimacy as a Key Driver and Determinant of CSR in
Developing Countries. Paper
for the 2007 Marie Curie Summer School on
Earth System Governance, 28 May – 06 June 2007,
Amsterdam.
Barnae, A & Rubin, A.
(2005). “Corporate Social Responsibility as a Conflict
Between Shareholders”
Beiner, S, Drobetz, W,
Schmid, F, & Zimmermann, H. (2003). Is Board Size an
Independent Corporate
Governance Mechanism? Working Paper. University
of Basel.
87
Belkaoui, A. & Karpik,
P. G. (1989). Determinants of the Corporate Decision to
Disclose Social
Information. Acoounting, Auditing and Accountability
Journal, Vol. 2, No. 1, hal. 36-51
Bowman, E. H & Haire,
M. (1976). “Social Impact Disclosure and Corporate
Annual Reports”. Accounting,
Organizations, and Society, Vol. 1 No. 1, pp.
11-21
Branco, M & Rodrigues,
L. L. (2006). Corporate Social Responsibility and
Resource-Based
Perspectives. Journal of Business Ethics 69 (2), pp. 111-132
Brealey, M & Marcus.
2007. Dasar- dasar Manajemen Keuangan Perusahaan.
Edisi kelima. Jakarta: Erlangga.
Brigham, E & Houston,
J. F. (2001). Manajemen Keuangan II. Jakarta: Salemba
Empat.
Cadbury Committee. (1992). Report
of the Committee on the Financial Aspects of
Corporate Governance. London: Gee.
Cahyonowati, N. (2003).
Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi
Pengungkapan Sosial (Social
Disclosure) Dalam Laporn Tahunan Perusahaan.
Skripsi S1 Tidak
Dipublikasikan.
Fakultas Ekonomi Universitas Diponegoro.
Chih, H, Shen, C, &
Kang, F. (2008). Corporate Social Responsibility, Investor
Protection and Earning
Management: Some International Evidence. Journal
of Business Ethics, 79 (April), 179-198.
Chrismawati, D. T. (2007).
Pengaruh Karakteristik Keuangan dan Non Keuangan
Perusahaan terhadap Praktik
Environmental Disclosure di Indonesia. Skripsi.
Perpustakaan Ekonomi
Referensi. Universitas Diponegoro, Semarang.
Commission of the European
Communities. (2001). Promoting a European
Framework for Corporate
Social Responsibility.
Brussels: European
Community.
Cowen, S. S, Ferreri, L. B,
Parker, L. D. (1987). The Impact of Corporate
Characteristic on Social
Responsibility Disclosure; a Typology and
Frequency Based Analysis.
Accounting, Organization and Society, Vol. 12
No. 2.
Creswell, J.W. (2012). Research
Design Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif, dan
Mixed. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar
Darwin, A. (2006).
Akuntabilitas, Kebutuhan, Pelaporan, dan Pengungkapan CSR
bagi Perusahaan di
Indonesia”. Economics Business Accounting Review:
Corporate Social
Responsibility, 3rd
ed, pp. 83-95. Departemen Akuntansi
Fakultas Ekonomi
Universitas Indonesia.
88
Darwin, A. (2008). CSR:
Standards dan Reporting. Makalah disampaikan pada
Seminar Nasional CSR
sebagai Kewajiban Asasi Perusahaan; Telaah
Pemerintah, Pengusaha, dan
Dewan Standar Akuntansi,
27 November 2010.
Davey, H. B. (1982).
Corporate Social Responsibility Disclosure in New Zealand;
An Empirical Investigation.
Unpublished Working Paper. Massey University,
Palmerston North, New
Zealand.
Dechow, P. M, Sloan, R. G,
& Sweeney, A. P. (1995). Detecting Earnings
Management. Accounting
and Business Research. Vol. 70, No. 2.
Deegan. (2002). Introduction:
The legitimizing effect of social and environmental
disclosure – a theoretical
foundation. Accounting, Auditing & Accountability
Journal, vol.15, no. 3, pp.
282-311.
Fahrizqi, A. (2010).
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pengungkapan Corporate
Social Responsibility dalam Laporan Tahunan
Perusahaan. Skripsi. Jurusan
Akuntansi, Universitas
Diponegoro , Semarang.
Fama, E. F. & Jensen,
M. C. (1983). Separation of Ownership and Control.
Journal Of Law and
Economics, Vol.26.
pp.301-325.
Farook, S & Lanis, R.
(2005). Banking On Islam? Determinants of Corporate
Social Responsibility
Disclosure. The 6 th International Conference on
Islamic and Fnance. Jakarta.
Ferri, M. G & Jones, W.
H. (1979). Determinants of Financial Structure: A New
Methodological Approach. The
Journal Of Finance XXXIV, 3, pp. 631-644.
Fitriyani. (2001).
Signifikansi Perbedaan Tingkat Kelengkapan Wajib dan
Sukarela pada Laporan
Keuangan Perusahaan Publik yang terdaftar di Bursa
Efek Indonesia. Simposium
Nasional Akuntansi IV. Hlm 133-154.
Forum for Corporate
Governance in Indonesia.
(2001). Peranan Dewan
Komisaris dan Komite Audit
dalam Pelaksanaan Corporate Governance
(Tata Kelola Perusahaan).
Jilid II.
Edisi Kedua. Jakarta: FCGI.
Forum for Corporate
Governance in Indonesia.
(2003). Indonesian Company
Law. Dipetik November 29,
2013, dari www.fcgi.org.id
Freeman, R.E. (1984). Strategic
Management: A Stakeholder Approach.Pitman.
Boston.
Ghozali, I. (2005). Aplikasi
Analisis Multivariate dengan Program SPSS.
Semarang: Universitas
Diponegoro
Ghozali & Chairiri.
(2007). Teori Akuntansi. Semarang: Universitas Diponegoro
89
Ghozali, I. (2009). Aplikasi
Analisis Multivariate dengan Program SPSS.
Semarang: Badan Penerbit
Universitas Diponegoro.
Global Reporting
Initiative. (2006). GRI Sustainability Reporting GuideLines G3
Version. Dipetik Desember 6, 2013,
dari https://www.globalreporting.org/
Gray, R, Kouhy, R,
Lavers, S. (1995). Corporate Social and Environmental
Reporting: a Review of the
Literature and a Longitudinal Study of UK
Disclosure, Accounting,
Auditing & Accountability Journal, vol. 8, no. 2, pp
47-77.
Gray, R, Owen, D. L, &
Adams, C. (1996). Accounting and Accountability: Social
and Environmental
Accounting in a Changing World. Hemel Hempstead:
Prentice Hall
Gujarati, D. (2007). Ekonometrika
Dasar. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Hackston, D. & Milne,
M. J. (1996). Some Determinants of Social and
Environmental Disclosures
in New Zealand Companies. Accounting,
Auditing and Accountability
Journal, Vol.
9, No. 1
Hanafi, M. M & Halim,
A. (2005). Analisis Laporan Keuangan, Edisi Kedua.
Yogyakarta: AMP-YKPN.
Haniffa, R. M & Cooke,
T. E. (2005). The Impact of Culture and Governance on
Corporate Social Reporting.
Journal of Accounting and Public Policy 24.
Harahap, M. E. (4 Februari
2014). Perkembangan CSR di Indonesia. Dipetik
April 29, 2014, dari
http://muchtareffendiharahap.blogspot.com/2014/02/perkembangan-csr-diindonesia.
html
Hasibuan, R. (2001).
Pengaruh Karakteristik Perusahaan Terhadap Pengungkapan
Sosial. Tesis.
Universitas Diponegoro. Semarang.
Heal, G. (2004). Corporate
Social Responsibility – An Economic and Financial
Framework. Working Paper.
Columbia Business School.
Hendriksen, E. (1991). Teori
Akuntansi Diterjemaahkan oleh Nugroho Widjajanto.
Jakarta : Gramedia
Herawaty, V. (2008). Peran
Praktek Corporate Governance sebagai Moderating
Variable dari Pengaruh Earnings
Management terhadap Nilai Perusahaan.
Simposium Nasional
Akuntansi II.
Pontianak.
Jalal. (2007). Perkembangan
Mutakhir CSR di Indonesia. Jakarta: Lingkar Studi
CSR
90
Jensen, M. C &
Meckling, W. H. (1976). Theory of the Firm: Managerial
Behavior, Agency Costs and
Ownership Structure. Journal of Financial
Economics, Oktober, 1976, V. 3, No. 4,
pp. 305-360.
Kaen, R. F. (2003). Blueprint
for Corporate Governance. American Management
Association. New York, USA.
Kiroyan, N. (2006). “Good
Corporate Governance (GCG) dan Corporate Social
Responsibility (CSR) adakah kaitan di
antara keduanya?”, Economics
Business Accounting Review:
Corporate Social Responsibility, 3rd ed, pp. 45-
58. Departemen Akuntansi
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
Komite Nasional Kebijakan
Governance (KNKG). (2004). Pedoman Umum
Good Corporate Governance
Indonesia 2004. Jakarta.
Lindblom, C. K. (1994). The
Implications of Organizational Legitimacy for
Corporate
Lo, E. W. (2005).
Penjelasan Teori Prospek Terhadap Manajemen Laba.
Jurnal Akuntansi dan
Manajemen. Vol. XVI. No. 1. April. STIE YKPN.
Yogyakarta.
Maemunah, N. (2009).
Pengaruh Karateristik Perusahaan Terhadap Corporate
Social Responsibility Disclosure
pada
Perusahaan Manufaktur. Jurnal
Fakultas Ekonomi Jurusan
Akuntansi.
Universitas Gunadarma.
Mahdiyah, F. (2008).
Ananlisis Karakteristik Perusahaan dan Pengungkapan
Tanggung Jawab Sosial dalam
Laporan Tahunan Perusahaan. Skripsi Tidak
Dipublikasikan. Universitas Diponegoro,
Semarang.
Mathews, M. R. &
Perera, M. H. (1996). Accounting Theory and Development.
Thomas Nelson, South
Melbourne, Australia.
Midiastuty, P & Mas’ud,
M. (2003). Analisis Hubungan Mekanisme Corporate
Governance dan Indikasi
Manajemen Laba. Seminar Nasional Akuntansi VI.
Surabaya.
Mulyadi. (2002). Auditing:
Jilid 1 Edisi Enam. Jakarta: Salemba Empat.
Munawir. (2000). Analisis
Laporan Keuangan. Jogjakarta: Liberty.
Munif, A. Z. (2010).
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Indeks Pengungkapan
Corporate Social
Responsibility Di
Indonesia (Studi Empiris Pada
Perusahaan Non Keuangan
Yang Listing Di Bursa Efek Indonesia). Tesis.
Universitas Diponegoro.
91
Nasution, M & Setiawan,
D. (2007). Pengaruh Corporate Governance Terhadap
Manajemen Laba di Industi
Perbankan Indonesia. Simposium Nasional
Akuntansi X.
Ningsaptiti, R. (2010).
Analisis Pengaruh Ukuran Perusahaan Dan Mekanisme
Corporate Governance
Terhadap Manajemen Laba. Skripsi S1. Fakultas
Ekonomi Universitas
Diponegoro.
Novita & Djakman. (2008).
Pengaruh Struktur Kepemilikan Terhadap Luas
Pengungkapan Tanggung Jawab
Sosial (CSR Disclosure) Pada Laporan
Tahunan Perusahaan: Studi
Empiris Pada Perusahaan Publik Yang Tercatat
Di Bursa Efek Indonesia
Tahun 2006. Simposium Nasional Akuntansi XI.
Nugroho, B.A. (2005). Strategi
Jitu Memilih Metode Statistik Penelitian dengan
SPSS. Yogyakarta: ANDI
Nuraini & Sumarno.
(2007). Analisis Pengaruh Kepemilikan Institusional dan
Kualitas Audit Terhadap
Manajemen Laba. Jurnal MAKSI, Vol. 7, No. 1,
Januari, hal:1-18.
Nuraini, E. (2010).
Pengaruh Environmental Performance dan Environmental
Disclosure Terhadap Economic
Performance (Studi pada Perusahaan yang
terdaftar di Bursa Efek
Indonesia). Skripsi Tidak Dipublikasikan. Universitas
Diponegoro.
Nurkhin, A. (2009). Corporate
Governance Dan Profitabilitas; Pengaruhnya
terhadap Pengungkapan
Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (Studi Empiris
pada Perusahaan yang
tercatat di Bursa Efek Indonesia. Tesis. Universitas
Diponegoro, Semarang.
Nurlela, R &
Islahuddin. (2008). Pengaruh Corporate Social Responsibility
terhadap Nilai Perusahaan
dengan Prosentase Kepemilikan Manajemen
sebagai Variabel
Moderating: Studi Empiris pada Perusahaan yang Terdaftar
di Bursa Efek Jakarta. Simposium
Nasional Akuntansi XI Pontianak 2008.
Nur, M & Priantinah, D.
(2012). Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi
Pengungkapan Corporate
Social Responsibility di Indonesia (Studi Empiris
pada Perusahaan berkategori
High Profile yang Listing di Bursa Efek
Indonesia. Jurnal
Nominal, Volume 1 No 1, pp: 22-34.
O’Donovan. (2002).
Environmental Disclosure in the Annual Report: Extending
the Applicability and
Predictive Power of Legitimacy Theory. Accounting,
Auditing, and
Accountability Journal,
Vol.15, No.3
Organization for Economic
Coperation and Development. (2004). OECD
Principles of Corporate
Governance.
OECD Publication Service.
92
Prior, D, Jordi, S, Josep,
A. (2008). Are socially responsible managers really
ethical? Exploring the
relationship between earnings management and
corporate social
responsibility. Corporate Governance: An International
Review, Vol.16, no.3, 160-177.
Purnasiwi, J. (2011).
Analisis Pengaruh Size, Profitabilitas dan Leverage
Terhadap Pengungkapan CSR
pada Perusahaan yang Terdaftar di Bursa Efek
Indonesia. Skripsi S1
Program Reguler 1 yang Tidak Dipublikasikan.
Universitas Diponegoro.
Rahmawati, dkk. (2006).
Pengaruh Asimetri Informasi Terhadap Praktik
Manajemen Laba
PadaPerusahaan Perbankan Publik Yang Terdaftar di Bursa
Efek Jakarta. Simposium
Nasional Akuntansi IX. Padang
Republik
Indonesia,Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman
Modal.
Republik Indonesia,
Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan
Terbatas.
Restuningdyah, Nurika.
(2010). Mekanisme GCG dan Pengungkapan Tanggung
Jawab Sosial terhadap
Koefisien Respon Laba. Jurnal Keuangan dan
Perbankan, Vol. 14, No 3 hlm.
377-390
Reverte, C. (2008).
Determinants of Corporate Social Responsibility Disclosure
Ratings by Spanish Listed
Firms. Journal of Business Ethics (2009) 88:351–
366 DOI
10.1007/s10551-008-9968-9.
Roberts, R.W. (1992).
Determinants Of Corporate Social Responsibility: An
Application Of Stakeholder
Theory. Accounting, Organisations and Society,
Vol. 17 No. 6.
Rosmasita, H. (2007).
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pengungkapan Sosial
(Social Disclosure)
Dalam Laporan Keuangan Tahunan Perusahaan
Manufaktur Di Bursa Efek
Jakarta. Skripsi Tidak Dipublikasikan. Universitas
Islam Indonesia.
Saidi. (2004).
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Struktur Modal pada Perusahaan
Manufaktur Go Public di
BEJ 1997-2002. Jurnal Bisnis dan Ekonomi Vol. 11
no.1, hal. 44-58.
Saleh, M, Zulkifli, N,
& Muhamad, R. (2010). Corporate Social Responsibility
Disclosure and Its Relation
on Institutional Ownership. Managerial Auditing
Journal, Vol. 25, No. 6, pp.
591-613.
Santoso, S. (2001). SPSS
Versi 10: Mengolah Data Statistik Secara Profesional.
Jakarta: PT Elex Media
Komputindo
93
Santoso, S. (2010). Buku
Latihan SPSS Statistik Parameter. Jakarta: PT Elex
Media Komputindo
Sartono, A. (2001). Manajemen
Keuangan Teori dan Aplikasi, Edisi Keempat.
Yogyakarta: BPFE.
Sastra, I. (2011).
Faktor-faktor yang Memengaruhi Pemilihan Metode Penilaian
Persediaan Sesuai dengan
PSAK 14 (Revisi 2008) Pada Perusahaan
Consumer Goods yang terdaftar di Bursa Eek
Indonesia. Skripsi. Universitas
Bina Nusantara Jakarta.
Sayekti & Wondabio.
(2007). Pengaruh CSR Disclosure Terhadap Earnings
Response Coefficient. Simposium
Nasional Akuntansi X. Makassar.
Scott, W. R. (2003). Financial
Accounting Theory. New Jersey: Prentice Hall Inc
Scott, W. R. (2009). Financial
Accounting Theory. Second Edition. Canada:
Pearson Prentice-Hall
Sekaran, U. (2006). Metodologi
Penelitian untuk Bisnis, Edisi 4, Buku 1, Jakarta:
Salemba Empat.
Sembiring, E. R. (2003).
Kinerja Keuangan, Political Visibility, Ketergantungan
pada Hutang dan
Pengungkapan Tanggung Jawab Perusahaan. Simposium
Nasional Akuntansi VI,
Sembiring, E. R. (2005).
Karakteristik Perusahaan dan Pengungkapan Tanggung
jawab Sosial: Studi Empiris
pada Perusahaan yang Tercatat di Bursa Efek
Jakarta. Simposium
Nasional Akuntansi 8, Solo.
Shleifer, A. dan Vishny,
R.W. 1997. A Survey of Corporate Governance. Journal
of Finance, Vol 52. No 2
Siregar, S. V. (2010).
Corporate Social Reporting: Empirical Evidence from
Indonesia Stock Exchange. International
Journal of Islamic and Middle
Eastern Finance and
Management III.
Social Performance and
Disclosure. Critical Perspectives on Accounting
Conference, New York
Subramanyam & Wild. 2010.
Analisis Laporan Keuangan Buku 1. Jakarta: PT
Salemba Empat.
Sugiyarbini. (13 November
2012). Pengertian Populasi dan Sampel dalam
Penelitian. Dipetik April 30, 2014,
dari BLOG’S BIMBINGAN:
http://sugithewae.wordpress.com/2012/11/13/pengertian-populasi-dansampel-
dalam-penelitian/
94
Sugiyono. (2010). Metode
Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif,
Kulaitatif dan R & D.
Bandung : CV. Alfa Beta
Sulastini, S. (2007).
Pengaruh Karakteristik Perusahaan Terhadap Social
Disclosure Perusahaan Manufaktur Yang
Telah Go Public. Skripsi. Fakultas
Ekonomi, UNNES, Semarang.
Sulistyanto, S. (2008). Manajemen
Laba, Teori dan Model Empiris. Jakarta: PT
Grasindo.
Sun, N, Salama, A,
Hussainey, K, & Habbash, M. (2010). Corporate
Environmental Disclosure,
Corporate Governance and Earnings
Management, Managerial
Auditing Journal.
Vol 25:7.
Suranta & Machfoedz.
(2003). Analisis Struktur Kepemilikan, Nilai Perusahaan,
Investasi dan Ukuran Dewan
Direksi, Simposium Nasional Akuntansi VII,
Surabaya, 16-17 Oktober.
Suwardjono. (2005). Teori
Akuntansi: Perekayasaan Pelaporan Keuangan.
Yogyakarta: Badan Penerbit
Universitas Gadjah Mada.
Taufan, M. (2012). Pengaruh
Rasio Keuangan terhadap Prediksi Kebangkrutan
Perusahaan Industri Makanan
dan Minuman yang terdaftar di Bursa Efek
Indonesia tahun 2007-2010. Skripsi.
Jakarta: Universitas Gunadharma.
Untung, H. B. (2008). Corporate
Social Responsibility. Jakarta: Sinar Grafika.
Utama, S. (2007). Evaluasi
Infrastruktur Pendukung Pelaporan Tanggung Jawab
Sosial dan Lingkungan di
Indonesia. Pidato Pengukuhan Profesor Fakultas
Ekonomi UI. Jakarta.
Veronica, S & Bachtiar,
Y. S. (2005). Corporate Governance, Information
Asymmetry, and Earning
Management. Jurnal Akuntansi dan Keuangan
Indonesia, Vol.2, No.1, hal. 77-106,
Juli 2005.
Veronica, T. M. &
Sumin, A. (2009). Pengaruh Karakteristik Perusahaan terhadap
Pengungapan Tanggung Jawab
Sosial pada Perusahaan Sektor Pertambangan
yang Terdaftar di Bursa
Efek Indonesia. Skripsi. Universitas Gunadharma,
Jakarta.
Watts, R. L &
Zimmerman, J. L. (1986). Positive Accounting Theory. New York:
Prentice Hall.
Wibisono, Y. (2007). Membedah
Konsep dan Aplikasi Corporate Social
Responsibility. Gresik: Fascho Publishing
95
Widyaningdyah, A. U.
(2001). Analisis Faktor-Faktor Yang Berpengaruh
Terhadap Earnings
Management Pada Perusahaan Go Public Di Indonesia.
Jurnal Akuntansi &
Keuangan Vol. 3 No.
Wilopo. (2009). Pernyataan
Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) No 1:
Penyajian Laporan Keuangan.
Jakarta: Ikatan Akuntan Indonesia.
Wineberg, D. (2004).
Corporate Social Responsibility – What Every In House
Counsel Should Know. ACC
Docket.
World Bank EXT
Communications for Development Division DevComm/SDO.
(2003). CORPORATE SOCIAL
RESPONSIBILITY AND MULTI
STAKEHOLDER DIALOGUE:
Towards Environmental Behavioral Change.
Discussion Paper.
Yulita, L. (2011). The
Effect Characteristics Of Company Toward Corporate
Social Responsibility
Disclosures In Mining Company Listed At. Jurnal
Reformasi Ekonomi, Vol. 4, No. 1.
Zaleha, S. (2005). Pengaruh
Karakteristik Perusahaan terhadap Pengungkapan
Sosial dalam Laporan
Tahunan Perusahaan Go Public di Bursa Efek Jakarta
Tahun 2003. Skripsi S1
Akuntansi tidak dipublikasikan. Fakultas Ekonomi
Universitas Diponegoro.
Arikunto, S. (2002). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek.
Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Burritt, R. L., Hahn,
T., & Schaltegger, S. (2002). Towards A Comprehensive Framework For
Environmental Management Accounting – Links Between Business Actors And EMA
Tools. . Australian Accounting Review, 39-50.
Department of
Infrastructur, P. a. (2004, May 28). Guidelines Environmental Management
Plans. Retrieved from www.dipnr.nsw.gov.au
IFAC. (2005). International
Guidance Document: Environmental Management Accounting. New York: The
International Federation of Accountants.
Indriantoro, N.,
& Supomo, B. (2009). Metodologi Penelitian Bisnis: Untuk Akuntansi dan
Manajemen. Yogyakarta: BPFE.
Japanese Ministry of
the Environment. (2005, May 28). Environmental Accounting Guidelines.
Tokyo. Retrieved from http://www.env.go.jp/en/policy/ssee/eag05.pdf
Johnson, S. (2004,
June 1). Environmental Management Accounting.
Salim, A. (2006). Teori
dan Paradigma Penelitian Sosial. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Savage, D. D. (2014,
May 27). Retrieved from Ministry of the Environment Goverment of Japan:
http://www.env.go.jp/en/
Solihin, I. (2009).
In Corporate social responsibility: from charity to sustainability.
Penerbit Salemba Empat.
Sugiyono. (2009). Metoda
Penelitian Bisnis. Bandung: Alfabeta.
Tomizawa, R. (2014,
May 23). Retrieved from Japan Environmental Management Association for
industry: http://www.jemai.or.jp/english/#1
Yin, R. K. (2009). Case
Study Research: Design and Methods. London: Sage Publisher.
Andayani, (2003), Tanggung Jawab
Lingkungan Dan Informasi Biaya Lingkungan Dalam Pengambilan Keputusan
Manajemen, Surabaya : Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Indonesia (Stiesia)
Cahyandito, M.. 2009 . Environmental
Management Accounting (EMA) (Akuntansi Manajemen Lingkungan). Bandung :
Universitas padjajaran.
Cahyono. 2002. Peran Akuntan Dan
Akuntansi Dalam Environmental Management System (Ems). Media Akuntansi Edisi 25
(Mei).
Gale, J.P. & Stokoe. 2001.
Environmental cost accounting and business strategy, in chris madu (Ed.).
Handbook of environmentally conscious manufacturing. Victoria: Kluwer Academic
Publishers.
Ghozali. (2005).”Aplikasi Analisis
Multivariate dengan Program SPSS”. Semarang : Badan Penerbitan Universitas
Diponegoro.
Ikhsan. 2008. Akuntansi Lingkungan dan
Pengungkapannya. Yogyakarta: Graha Ilmu Harahap sofyan syafari. Teori
akuntansi. 2009. Jakarta. Penerbit : Raja wali pres Bastian indra.
Ikhsan. 2009. Akuntansi Manajemen
Lingkungan . Yogyakarta : Graha Ilmu.
L. Singgih, Pengukuran Dampak
Lingkungan Menggunakan Environmental Management Accounting (Ema), Surabaya:
Jurnal Ilmiah Jurusan Teknik Industri Institut Teknologi Sepuluh Nopember
Porter, E Michael. 2008. Competitive
Advantage (Keunggulan Bersaing ). Dialih bahasakan oleh Saputra Lyndon dan
Sigit Suryanto. Tangerang : Karisma Publishing Group. 40
Sahasrakirana
Widya, Evaluasi Peran Akuntansi Lingkungan Untuk Mendukung Keputusan Manajemen
Lingkungan Dalam Mencapai Sustainability Perusahaan (Pt Sahabat Mewah Dan
Makmur), Jakarta : Jurnal Ilmiah Mahasiswa Universitas Bina Nusantara.
Singgih.Moses L.
2006. Pengukuran dampak lingkungan menggunakan Environmental Management
Accounting (EMA). Surabaya: Institut Teknologi Sepuluh Nopember.
Sugiyono, Prof. Dr.
(2004). Statistik Nonparametiik Untuk Penelitian. Bandung : Penerbit CV.
Alfabeta.
Sugiyono. 2012.
Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta.
Sundjaja, Ridwan S.
Dan Barlian, Inge. 2002. Manajemen keuangan Dua, Edisi Keempat, Literata Lintas
Media, Jakarta.
Tanzil. J. 2012. Environmental
Management Accounting. Diakses pada tanggal 01 april 2013 dari
http://www.jtanzilco.com/main/index.php/mission-and-vision/656
environmentalmanagementaccounting
Robert, D. & Stephanus, D.S. 2014. Penerapan
Dan Analisis Pengaruh Environmental
Management Accounting (Ema). Proposal
Skripsi. Universitas Ma Chung. Malang
Oktiviana, D. & Stephanus, D.S.
2014. Analisis Pengaruh Penerapan Environment
Management Accounting Dan Strategi Terhadap Inovasi Perusahaan . Proposal Skripsi. Universitas Ma Chung.
Malang
Nugroho, O.C. &
Stephanus, D.S. 2014. Studi Empiris
Pengaruh Manajemen Laba
(Earnings
Management), Corporate Governance, Ukuran Perusahaan (Size), Leverage,
Dan
Profitabilitas
Terhadap Pengungkapan Tanggung Jawab Sosial Dan Lingkungan
Perusahaan. Proposal
Skripsi. Universitas
Ma Chung. Malang
Puspita, M. E. & Stephanus,
D.S. 2014. Pengaruh
Pengungkapan Corporate Social Responsibility, Global Reporting Initiatives Dan
Iso 26000 Terhadap Nilai Perusahaan Sektor Pertambangan. Proposal Skripsi. Universitas Ma Chung.
Malang
Endiarto, O.T. &
Stephanus, D. S. 2014. Analisis
Pengaruh Kinerja Lingkungan
Terhadap
Nilai Perusahaan Yang Terdaftar Di Index Sri Kehati .Proposal
Skripsi. Universitas Ma Chung. Malang
Saputra, N.
A. & Stephanus, D.S. 2014. Pengaruh Pengungkapan Corporate Social
Resposibility Dan Global Reporting Initiatives Terhadap Nilai
Perusahaan Pada Perusahaan Yang Tercatat Di Indeks Sri-Kehati 2010—2012. Skripsi. Universitas Ma Chung. Malang
Seri #4: International Standard Organization (ISO)
14001 tentang Manajemen Lingkungan
Iinternational Standard Organization
(ISO)
International Organization for
Standardization (ISO)
adalah suatu asosiasi global di luar pemerintahan yang terdiri dari badan-badan
standardisasi nasional yang beranggotakan 140 negara dan berdiri sejak tahun
1947.
Tujuan ISO 14000 (Kuhre,
1995) antara lain adalah.
1. Mendorong upaya dan
melakukan pendekatan untuk pengelolaan
lingkungan hidup dan
sumberdaya alam dan kualitas pengelolaannya
diseragamkan pada lingkup
global.
2. Meningkatkan kemampuan
organisasi untuk mampu memperbaiki
kualitas dan kinerja
lingkungan hidup dan sumber daya alam.
3. Memberikan kemampuan dan
fasilitas pada kegiatan ekonomi dan
industri, sehingga tidak
mengalami rintangan dalam berusaha.
Untuk mencapai tujuan
tersebut dibentuk SAGE (Startegic Advisory Group
on the Environment). Kemudian TC 207 (Komisi
Teknis) pada tahun 1993
dibentuk oleh Organisasi
Internasional untuk Standarisasi (ISO). Komisi ini terdiri
dari berbagai negara dan
bertugas merumuskan konsep standar internasional di
bidang lingkungan. Adapun
pembagian tugasnya adalah sebagai berikut.
1. Sub komisi yang
menangani Environmental Management System
(Sistem pengelolaan
Lingkungan dan sumberdaya alam),
2. Sub komisi yang
menangani Environmental Auditing (Odit
Lingkungan),
3. Sub komisi yang
menangani Environmental Labelling (Label
Lingkungan),
4. Sub komisi yang
menangani Environmental Performance Evaluating
(Evaluasi Kinerja
Lingkungan),
5. Sub komisi yang
menangani Life Cycle Analysis (Analisis Daur
Hidup),
18
6. Sub komisi yang
menangani Environemental aspect in Product
Standard (Aspek Lingkungan dalam
Baku mutu Produk),
7. Sub komisi yang bertugas
menyusun Term and Definitions (Istilah dan
Definisi)
2.6.2 Seri ISO 14000
ISO seri 14000 terdiri dari
beberapa seri yaitu.
1. ISO seri 14001--14009
tentang Environmental Manajemen Sistem
(EMS) atau Sistem Manajemen
Lingkungan.
Dari seluruh seri ISO
14000, ISO 14001 tentang sistem manajemen
lingkungan adalah seri yang
paling banyak dikenal karena sertifikasi
ISO 14000 sebenarnya adalah
sertifikasi untuk ISO 14001 ini. Ada 3
komponen besar dalam ISO
14001 yaitu program lingkungan tertulis;
pendidikan dan pelatihan;
dan pengetahuan mengenai peraturan
perundang-undangan lokal
dan nasional.
2. ISO seri 14010--14019
tentang Environmental Auditing (Audit
Lingkungan)
ISO seri ini merupakan
suatu alat (tools) dalam penerapan sistem
manajemen lingkungan, jadi
tidak memerlukan sertifikasi. Audit
lingkungan mirip dengan
medical check up yaitu evaluasi secara rutin
mengenai kondisi suatu
perusahaan. Audit lingkungan dapat dilakukan
oleh intern perusahaan
(internal audit) maupun oleh pihak luar
(eksternal audit). Untuk
audit sistem manajemen lingkungan seorang
auditor harus memenuhi
kriteria auditor seperti yang ditetapkan dalam
ISO 14012.
19
3. ISO seri 14020--14029
tentang Environmental Labelling (Ekolabel).
ISO seri ini juga
dimaksudkan untuk sertifikasi, tetapi yang
disertifikasi adalah
produknya sedangkan EMS yang disertifikasi
adalah sistemya. Jadi suatu
perusahaan yang sudah mendapat sertifikat
ISO 14001, bila diperlukan
maka dapat juga mengusulkan untukk
memperoleh ekolabeling.
Yang mana yang akan didahulukan untuk
perolehannya tergantung
dari permintaan pasar.
4. ISO seri 14030--14039
tentang Environmental Performance
Evaluation (EPE) atau Evaluasi Kinerja
Lingkungan.
Environmental Performance
Evaluation diukur
dengan
mengkuantifikasi dampak
kegiatan terhadap lingkungan. Hal-hal
tersebut dapat diidentifikasi
secara dini dengan menginventarisasi
dampak seperti emisi udara,
effluen limbah cair, dan sebagainya.
Penetapan baseline dari
hasil inventarisasi, perusahaan kemudian
mengidentifikasi indikator
adanya peningkatan kinerja.
5. ISO seri 154040--14049
tentang Life Cycle Assessment (LCA) atau
Analisis Daur Hidup Produk.
LCA juga merupakan suatu
alat, jadi standar ini tidak dimaksudkan
untuk sertifikasi. Setiap
produk mempunyai siklus hidup yaitu : lahir
(fabrikasi), hidup
(dioperasikan) dan mati (dibuang).
6. ISO 14050 tentang Term
and Definition.
Dalam dokumen ini terdapat
definisi-definisi yang digunakan dalam
ISO seri 14000. Standar ISO
seri 14000 yang telah ditetapkan menjadi
standar internasional
adalah ISO 14001, 14004, 14010, 14011, 14012
20
dan ISO 14040. Indonesia
pada saat ini telah mengadopsi Standar ISO
14001, 14002, 14010, 14011
dan 14012 menjadi Standar Nasional
Indonesia (SNI).
Pengertian tentang
masing-masing standar dan istilah yang di dalam ISO
14000 akan sangat membantu
pemahaman tentang konsep ISO seri 14000.
Adapun beberapa pengertian
dasar adalah sebagai berikut.
1. Environmental
Management System.
Bagian dari keseluruhan
sistem manajemen yang termasuk
didalamnya struktur
organisasi, aktivitas perencanaan, tanggung jawab,
praktek, prosedur-prosedur,
proses dan sumber daya untuk
pengembangan, penerapan,
pencapaian, pengkajian dan pemeliharaan
kebijaksanaan lingkungan.
2. Continual Improvement.
Proses peningkatan atau
perbaikan sistem pengelolaan lingkungan
untuk mencapai / memperbaiki
kinerja lingkungan secara keseluruhan
dan sejalan dengan
kebijaksanaan lingkungan dari suatu organisasi.
3. Environment.
Lingkungan sekitar operasi
suatu perusahaan, termasuk udara, air,
tanah, sumber daya alam,
flora, fauna, manusia dan hubungannya satu
dengan lainnya.
4. Environmental Aspect.
Elemen dari suatu kegiatan
organisasi, produk atau jasa yang dapat
berinteraksi dengan
lingkungan
5. Environmental Impact.
21
Perubahan terhadap
lingkungan, menguntungkan atau merugikan,
secara keseluruhan ataupun
sebagian yang dihasilkan dari kegiatan
suatu organisasi, produk
dan jasa.
6. EMS Audit.
Proses verifikasi yang
sistimatis dan terdokumentasi yang secara
obyektif menentukan dan
mengevaluasi bukti audit untuk menentukan
apakah suatu sistem
pengelolaan lingkungan suatu organisasi telah
sesuai dengan kriteria EMS
audit dan mengkomunikasikan hasil dari
proses ini kepada klien.
7. Organisasi.
Perusahaan, korporasi,
firma, usaha, atau institusi atau secara bagian
ataupun kombinasi, swasta
ataupun milik publik, yang memiliki
fungsi dan administrasi.
8. Kriteria audit EMS.
Kebijaksanaan, hal praktis,
prosedur-prosedur atau persyaratan seperti
yang tercantum dalam ISO
14000 dan jika tersedia, erbagai tambahan
persyaratan EMS yang
dibandingkan dengan hasil pengumpulan bukti
audit oleh auditor tentang
sistem pengelolaan lingkungan (EMS) suatu
organisasi.
9. Environmental
label/declaration.
Klaim yang mengindikasikan
atribut lingkungan dari suatu produk
atau jasa yang dapat berupa
pernyataan, symbols, atau grafik pada
produk atau label paket,
literatur produk, buletin teknis, iklan,
publikasi.
22
10. Environmental
performance.
Kinerja lingkungan, hasil
pengelolaan suatu manajemen terhadap
aspek lingkungan (environmental
aspects) daripada kegiatannya,
produk dan jasa.
11. Environmental
performance evaluation.
Proses untuk mengukur,
menganalisis, mengkaji, melaporkan dan
mengkomunikasikan kinerja
lingkungan suatu organisasi
dibandingkan dengan
kriteria yang disetujui oleh manajemen.
12. Life cycle
assessment.
Prosedur sistimatis untuk
mengumpulkan dan menguji masukan dan
keluaran dari bahan dan
energi serta dampak lingkungan yang terkait
yang langsung terikut dalam
fungsi sistem produk dan jasa melalui
siklus hidup dari produk dan jasa
tersebut.
Referensi
Al Tuwajiri, dan Sulaiman
A. 2003. The Relation Among Environmental
Disclosure, Environmental
Performance, dan Economic Performance : A
Simultaneous Equation
Approach.
Accounting Environment Journal. USA.
5-10.
Amilia, Luciana Spica dan
Dwi Wijayanto. 2007. Pengaruh Environmental
Performance dan
Environmental Disclosure Terhadap Economic
Performance. The 1st Accounting
Conference, Faculty of Economics
Universitas Indonesia.
Depok, (November).
Azwar, S. 1998. Metodologi
Penelitian. Yogyakarta: Pustaka Belajar.
Brigham, E. F., &
Weston. J. F. 1994. Dasar-Dasar Manajemen Keuangan. Jilid
2. Jakarta: Binarupa Aksara
Brigham, E. F., &
Houston, J. F. 2008. Manajemen Keuangan. Jilid 3. Jakarta:
Salemba Empat.
Botosan, C.A. 1997. Disclosure
Level and the Cost of Equity Capital. The
Accounting Review. Vol. 72
No. 3: 323-349.
Deegan, Craig dan Michaela
Rankin. 1996. Do a Australian Companies Report
Environmental News
Objectively? An Analysis of Environmental
isclosures Firms Prosecuted
Successfully by the Environmental Protection
Authority. Accounting Auditing and
Accountability Journal: 50-68.
Freedman, M. dan Wasley, C.
1990. “The Association Between Environmental
Performance and
Environmental Disclosure in Annual Reports and 10-
Ks”. Advances in Public
Interest Accounting.
Vol. 3, pp.183-193.
Gary O‟Donovan, (2002) “Environmental
disclosures in the annual report:
Extending the applicability
and predictive power of legitimacy theory”.
Accounting, Auditing &
Accountability Journal, Vol. 15 Iss: 3, pp.344 -
371
Ghozali dan Chariri, 2007. Teori
Akuntansi. Semarang: Badan Penerbit Undip.
Global Reporting Initiative
(GRI). 2010. Pedoman Laporan Berkelanjutan (GRI–
G3)2000-2006.Versi Bahasa
Indonesia.
(http://www.globalreporting.org),
diakses 19 Mei 2014
Ghozali, I. 2005. Aplikasi
Analisis Multivariate dengan Program SPSS. Edisi ke-3.
Semarang: Badan Penerbit
Universitas Diponegoro.
Ghozali, Imam. 2006. Aplikasi
Analisis Multivariate dengan Program SPSS,
Cetakan IV. Semarang : Badan Penerbit
Universitas Diponegoro.
Gray, R., Bebbington, J.
dan Walters, D. 1993. Accounting for the Environment.
ACCA. Hongkong.
Ja‟far dan Arifah. 2006. “Pengaruh
Dorongan Manajemen Lingkungan,
Manajemen Lingkungan
Proaktif Dan Kinerja Lingkungan Terhadap
Public Environmental
Reporting”.
SNA IX Padang. 23-26 Agustus.
Lindrianasari. 2006. “Hubungan
antara Kinerja Lingkungan dan Kualitas
pengungkapan Lingkungan
dengan Kinerja Ekonomi Perusahaan di
Indonesia”. JAAI Vol. 11, pp.
159-172.
Nazir, M. 2005. Metode
Penelitian. Bogor: Ghalia Indonesia.
Primario, Andria. 2007. “Pengaruh
Pengungkapan Sosial Pada Laporan Tahunan
Terhadap Harga Saham dan
Volume Penjualan”.
Skripsi Fakultas konomi
Universitas Jember.
Rahmawati, Ala. 2012. Pengaruh
Kinerja Lingkungan Terhadap Kinerja
Keuangan dengan CSR sebagai
Variabel Intervening.
Skripsi S1 Fakultas
Ekonomi Universitas
Diponegoro.
Riyadi, Eddie Sius. 2008. “Landasan
Teoritis bagi Tanggung Jawab Sosial
Perusahaan: dari Pemegang
Saham ( Shareholder ) ke Pemangku
Kepentingan ( Stakeholder )”. Dignitas Volume V, No.
11.
Sugiyono. 2007. Statistika
Untuk Penelitian. Bandung: CV Alfabeta.
Sulastri. 2007. Sebuah
Pengembangan Model Hipotesis Pengaruh Aset Strategis
dan Lingkungan terhadap
Pilihan Strategi Diversivikasi. Jurnal
Manajemen & Bisnis
Sriwijaya Vol. 4. No 7. Juni 2006
Sudaryanto. 2011. Pengaruh
Kinerja Lingkungan Terhadap Kinerja Keuangan
dengan CSR sebagai variable
Intervening. Skripsi
S1 Fakultas Ekonomi
Universitas Diponegoro.
Suratno, Ignatius Bondan,
dkk. 2006. “Pengaruh Environmental Performance
terhadap Environmental
Disclosure dan Economic Performance”.
Simposium Nasional
Akuntansi 9. Padang
Smith dan Lauren K. Wright,
2007, Manajemen Pemasaran Jasa, Alih bahasa
Agus Widyantoro, Cetakan
Kedua, Jakarta; PT. INDEKS.
Sartono, A. 2008. Manajemen
Keuagan : Teori dan Aplikasi. Yogyakarta: BPFE
Yogyakarta.
Tilt, CA 1994, 'The
influence of external pressure groups on corporate social
disclosure: Some empirical
evidence',
Accounting, Auditing &
Accountability Journal,
vol. 7
Wilmshurst T., & Frost
G., 2000, 'Corporate Environmental Performance. A Test
of Legitimacy Theory.', Accounting, Auditing
and Accountability Journal,
Vol. 13, No. 1
Robert, D. & Stephanus, D.S. 2014.
Penerapan Dan Analisis Pengaruh Environmental
Management Accounting (Ema). Proposal
Skripsi. Universitas Ma Chung. Malang
Oktiviana, D. & Stephanus, D.S.
2014. Analisis Pengaruh Penerapan Environment
Management Accounting Dan Strategi Terhadap Inovasi Perusahaan . Proposal Skripsi. Universitas Ma Chung.
Malang
Nugroho, O.C. &
Stephanus, D.S. 2014. Studi Empiris
Pengaruh Manajemen Laba
(Earnings
Management), Corporate Governance, Ukuran Perusahaan (Size), Leverage,
Dan
Profitabilitas
Terhadap Pengungkapan Tanggung Jawab Sosial Dan Lingkungan
Perusahaan. Proposal
Skripsi. Universitas
Ma Chung. Malang
Puspita, M. E. & Stephanus,
D.S. 2014. Pengaruh
Pengungkapan Corporate Social Responsibility, Global Reporting Initiatives Dan
Iso 26000 Terhadap Nilai Perusahaan Sektor Pertambangan. Proposal Skripsi. Universitas Ma Chung.
Malang
Endiarto, O.T. &
Stephanus, D. S. 2014. Analisis
Pengaruh Kinerja Lingkungan
Terhadap
Nilai Perusahaan Yang Terdaftar Di Index Sri Kehati .Proposal
Skripsi. Universitas Ma Chung. Malang
Seri #5: International
Standard Organization (ISO) 26000 tentang Corporate Responsibility
International
Organization for Standardization (ISO) adalah suatu asosiasi global di
luar pemerintahan yang terdiri dari badan-badan standardisasi nasional yang
beranggotakan 140 negara dan berdiri sejak tahun 1947. Pada 1 November 2010,
ISO mengeluarkan ISO 26000 yang merupakan suatu standar mengenai panduan
perilaku bertanggung jawab sosial bagi organisasi guna berkontribusi terhadap
pembangunan berkelanjutan (www.iso.org, 2013).
Munculnya ISO 26000 ini diharapkan
dapat memberikan tambahan nilai terhadap aktivitas tanggung jawab sosial yang
berkembang saat ini melalui pengembangan suatu konsensus terhadap pengertian
tanggung jawab sosial dan isunya, menyediakan pedoman tentang penerjemahan
prinsip-prinsip menjadi kegiatan yang efektif dan memilah praktik-praktik
terbaik yang sudah berkembang dan menyebarluaskannya untuk kebaikan komunitas
atau masyarakat internasional. ISO 26000 menerjemahkan tanggung jawab sosial
sebagai tanggung jawab suatu organisasi atas dampak dari keputusan dan
aktivitasnya terhadap masyarakat dan lingkungan melalui perilaku yang
transparan dan etis, serta konsisten dengan pembangunan berkelanjutan dan
kesejahteraan masyarakat, memperhatikan kepentingan dari para stakeholder,
sesuai hukum yang berlaku dan konsisten dengan norma-norma internasional serta
terintegrasi di seluruh aktivitas organisasi (www.iso.org, 2013).
Pedoman ISO 26000 terdiri dari 6 bab
serta memuat 7 prinsip, 2 praktik dasar, 7 subjek inti, 36 isu, dan 6 praktik
integrasi tanggung jawab sosial organisasi. Berbagai isu yang tercakup dalam
tanggung jawab sosial menurut ISO 26000 digambarkan sebagai berikut. Tanggung
Jawab Sosial
Lingkungan
Praktik operasi yang
adil
Isu-isu konsumen
Pembangunan sosial
Tata kelola
organisasi
Hak asasi manusia
Praktik
Ketenagakerjaan
Gambar
2.
Subjek
Fundamental dari Tanggung Jawab Sosial menurut ISO 26000
Sumber: www.iso.org
(2013)
1.
Tata kelola organisasi (organizational governance): sistem pengambilan
dan penerapan keputusan perusahaan dalam rangka pencapaian tujuannya.
2.
Hak asasi manusia (human rights): hak dasar yang berhak dimiliki semua
orang sebagai manusia, yang antara lain mencakup hak sipil, politik, ekonomi,
sosial, dan budaya.
3.
Praktik ketenagakerjaan (labour practices): segala kebijakan dan praktik
yang terkait dengan pekerjaan yang dilakukan di dalam atau atas nama
perusahaan.
4.
Lingkungan (the environment): dampak keputusan dan kegiatan perusahaan
terhadap lingkungan.
5.
Prosedur operasi yang wajar (fair operating procedures): perilaku etis
organisasi saat berhubungan dengan organisasi dan individu lain.
6. Isu konsumen (consumer
issues): tanggung jawab perusahaan penyedia barang/jasa terhadap konsumen
dan pelanggannya.
47
7. Pelibatan dan
pengembangan masyarakat (community involvement and development):
hubungan organisasi dengan masyarakat di sekitar wilayah operasinya.
Berikut merupakan
item-item penilaian pengungkapan lingkungan berdasarkan ISO 26000.
Tabel
4.
Indikator
Pengungkapan Tanggung Jawab Sosial berdasarkan ISO 26000 No |
Sifat |
Indikator |
|
||||
Core |
Tata kelola
organisasi |
|
|||||
Core |
Hak asasi manusia |
|
|||||
1 |
Issue |
Due diligence |
|
||||
2 |
Issue |
Situasi risiko HAM |
|
||||
3 |
Issue |
Menghindari
keterlibatan |
|
||||
4 |
Issue |
Menyelesaikan
keluhan |
|
||||
5 |
Issue |
Diskriminasi dan
kelompok yang rentan |
|
||||
6 |
Issue |
Hak-hak sipil dan
politik |
|
||||
7 |
Issue |
Hak-hak ekonomi ,
sosial dan budaya |
|
||||
8 |
Issue |
Prinsip-prinsip dan
hak-hak di tempat kerja |
|
||||
Core |
Praktek Buruh |
|
|||||
9 |
Issue |
Hubungan kerja dan
pekerjaan |
|
||||
10 |
Issue |
Kondisi kerja dan
perlindungan sosial |
|
||||
11 |
Issue |
Dialog sosial |
|
||||
12 |
Issue |
Kesehatan dan
keselamatan kerja |
|
||||
13 |
Issue |
Pengembangan dan
pelatihan manusia di tempat kerja |
|
||||
Core |
Lingkungan |
|
|||||
14 |
Issue |
Pencegahan
pencemaran |
|
||||
15 |
Issue |
Pemanfaatan
sumberdaya secara berkelanjutan |
|
||||
16 |
Issue |
Mitigasi dan
adaptasi perubahan iklim |
|
||||
17 |
Issue |
Perlindungan
lingkungan , keanekaragaman hayati dan restorasi habitat alam |
|
||||
Core |
Praktek operasi
yang adil |
|
|||||
18 |
Issue |
Anti- korupsi |
|
||||
19 |
Issue |
Keterlibatan
politik yang bertanggung jawab |
|
||||
20 |
Issue |
Persaingan sehat |
|
||||
21 |
Issue |
Mempromosikan
tanggung jawab sosial dalam rantai nilai |
|
||||
22 |
Issue |
Menghormati hak
milik |
|
||||
Core |
Masalah konsumen |
||||||
23 |
Issue |
Pemasaran yang adil
, faktual dan informasi yang tidak bias dan praktek kontrak yang adil |
|||||
24 |
Issue |
Melindungi
kesehatan dan keselamatan konsumen |
|||||
25 |
Issue |
Konsumsi
Berkelanjutan |
|||||
26 |
Issue |
Layanan konsumen ,
dukungan , dan keluhan dan penyelesaian sengketa |
|||||
27 |
Issue |
Perlindungan data
dan privasi konsumen |
|||||
28 |
Issue |
Akses ke layanan
penting |
|||||
29 |
Issue |
Pendidikan dan
kesadaran |
|||||
Core |
Keterlibatan dan
pengembangan masyarakat |
||||||
30 |
Issue |
Keterlibatan
masyarakat |
|||||
31 |
Issue |
Pendidikan dan
kebudayaan |
|||||
32 |
Issue |
Penciptaan lapangan
kerja dan pengembangan keterampilan |
|||||
33 |
Issue |
Perkembangan
teknologi dan akses |
|||||
34 |
Issue |
Kekayaan dan
penciptaan pendapatan |
|||||
35 |
Issue |
Kesehatan |
|||||
36 |
Issue |
Investasi sosial |
|||||
Berdasarkan konsep ISO 26000,
penerapan sosial responsibility hendaknya terintegrasi di seluruh
aktivitas perusahaan dengan mencakup keseluruhan isu pokok yang terdapat pada
ISO 26000. Dengan demikian, jika suatu perusahaan hanya memperhatikan isu
tertentu saja, misalnya seperti aspek lingkungan, maka dapat dikatakan bahwa
perusahaan tersebut sesungguhnya belum melaksanakan tanggung jawab sosial.
Referensi
Adams, C.A. & McNicholas, P. 2007.
Making a Difference: Sustainability Reporting, Accountability and
Organizational Change. Accounting, Auditing & Accountability Journal Vol.
20, Iss: 3.
Aupperle, K.E., Carroll, A.B &
Hatfield, J.D. 1985. An Empirical Examination of the Relationship between
Corporate Social Responsibility and Profitability. The Academy of Management
Journal Vol. 28, No. 2.
Branco, M.C. & Rodrigues L.L.
2008. Faktors Influencing Social Responsibility Disclosure by Portuguese
Companies. Journal of Business Ethies, 83.
Budimanta, A., Prasetijo, A. &
Rudito, B. 2008. Corporate Social Responsibility, Alternatif Bagi
Pembangunan Indonesia. Jakarta: Indonesia Center for Sustainibility
Development.
Carroll, A.B. 1991. The Pyramid of
Corporate Social Responsibility: Toward the Moral Management of Organizational
Stakeholders. Business Horizons.
Chung, K.H & Pruitt, S.W. 1994. A
Simple Approximation of Tobin’s Q, Financial Management, Vol. 23 No. 3
Autumn.
Darwin, A. 2004. Penerapan
Sustainability Reporting di Indonesia. Konvensi Nasional Akuntansi V,
Program Profesi Lanjutan. Yogyakarta.
Deegan, C. 2004. Financial
Accounting Theory. Sydney: McGraw-Hill Book Company.
Deegan, C., Rankin, M. & Tobin, J.
2002. An Examination of Corporate Social and Environmental Disclosures of BHP
from 1983-1997: A Test of Legitimacy Theory. Accounting, Auditing &
Accountability Journal Vol. 15, No.3.
Elkington, J. 1997.Cannibals with
Forks: The Triple Bottom Line of 21st Century Business. Oxford: Capstone
Publishing.
Epstein, M.J. & Freedman,M. 1994.
Social Disclosure and the Individual Investor. Accounting, Auditing &
Accountability Journal Vol. 7, Iss: 4.
Fiakas, D. 2005. Tobin’s Q: Valuing
Small Capitalization Companies. Crystal EQuity Research.
Freedman, M. 1970. The Social
Responsibility of Business Is to Increase its Profits. New York Times.
76
Freeman,
R. E. 1984. Strategic Management: A Stakeholder Approach. Boston: Pitman
Publishing.
Ghozali, I. &
Chariri, A. 2007. Teori Akuntansi. Semarang: Badan Penerbit Universitas
Diponegoro.
Ghozali, I. 2006. Analisis
Multivariate dengan Program SPSS. Semarang: Badan Penerbit Universitas
Diponegoro.
Griffin, R.W. &
Ebert, R.J. 2007. Bisnis Edisi Kedelapan Jilid 1. Jakarta: Erlangga.
Gujarati, D. 2003. Ekonometrika
Dasar. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Hackston, D. &
Milne, M.J. 1996. Some Determinants of Social and Environmental Disclosures in
New Zealand Companies. Accounting, Auditing, & Accountability Journal Vol.
9, No. 1.
Hadi. N. 2011 . Corporate
Social Responsibility. Yogyakarta : Graha Ilmu.
Hadiwidjaja, R.D.
2007. Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Dividend Payout Ratio pada
Perusahaan Manufaktur di Indonesia. Tesis. Universitas Sumatera Utara.
Ikatan Akuntansi
Indonesia (IAI). 2004. Standar Akuntansi Keuangan. Jakarta: Salemba
Empat.
Kasali, R. 2005.
Manajemen Public Relations. Jakarta: Grafiti.
Kotler, P & Lee,
N. 2005. Corporate Social Responsibility: Doing the Most Good for Your
Company and Your Cause. New Jersey: John Wiley & Sons, Inc.
Kusumadilaga, R.
2010. Pengaruh Corporate Social Responsibility Terhadap Nilai Perusahaan
Dengan Profitabilitas Sebagai Variabel Moderating (Studi Empiris pada
Perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia). Skripsi.
Fakultas Ekonomi Universitas Diponegoro, Semarang.
Lindenberg, E.B &
Ross, S.A. 1981. Tobin’s Q Ratio and Industrial Organization. Journal of
Business, 54 (1).
Munawir, S. 2004. Analisis
Laporan Keuangan Edisi Ke-4. Yogyakarta: Liberty.
Murtanto. 2006.
Menciptakan Nilai Tambah Melalui Corporate Social Responsibility. Media
Akuntansi, Edisi 53.
Nugroho, Y. 2007.
Dilema Tanggung Jawab Korporasi. Kumpulan Tulisan, www.unisosdem.org.
Diakses pada tanggal 27 Agustus 2013. 77
Nurlela
dan Islahudin. 2008. Pengaruh Corporate Social Responsibility terhadap
Nilai Perusahaan
dengan Persentase Kepemilikan Manajemen sebagai Variabel Moderating.
Simposium Nasional Akuntansi XI.
O’Donovan, G. 2002.
Environmental Disclosure in The Annual Report: Extending The Applicability and
Predictive Power of Legitimacy Theory. Accounting, Auditing and
Accountability Journal, Vol. 15 No.3.
Patten, D.M. 1990.
The Market Reaction to Social Responsibility Disclosures: The Case of the
Sullivan Principles Signings, Accounting, Organizations and Society Vol.
15, Iss. 6.
Rahayu, S. 2010.
Pengaruh Kinerja Keuangan Terhadap Nilai Perusahaan Dengan Pengungkapan Corporate
Social Responsibility dan Good Corporate Governance sebagai Variabel
Pemoderasi (Studi Empiris pada Perusahaan Manufaktur di Bursa Efek Jakarta). Skripsi.
Fakultas Ekonomi Universitas Diponegoro, Semarang.
Reverte, C. 2009.
Determinants of Corporate Social Responsibility Disclosure Ratings by Spanish
Listed Firms. Journal of Business Ethics, 88.
Rustiarini, N. W.
2010. Pengaruh Corporate Governace pada Hubungan Corporate Social
Responsibility dan Nilai Perusahaan. Simposium Nasional Akuntansi XIII, Purwokerto.
Santoso, S. 2009. Panduan
Lengkap Menguasai Statistik dengan SPSS 17. Jakarta: PT Elex Media
Komputindo Gramedia.
Santoso, S. 2010. Statistik
Multivariat. Jakarta : PT Gramedia.
Saputra, N. A.,2014.
Pengaruh Pengungkapan Corporate Social Responsibility, Global Reporting
Initiatives terhadap Nilai Perusahaan pada Perusahaan yang Tercatat di
Indeks Sri-Kehati 2010-2012. Skripsi. Fakultas Ekonomi Universitas Ma
Chung, Malang.
Sekaran, U. 2006. Metodologi
Penelitian untuk Bisnis Jilid 1. Edisi 4. Jakarta : Salemba Empat.
Sugiyono, 2009. Metoda
Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif. Bandung: CV. Alfabeta.
Sutedi, A. 2011. Hukum
Pertambangan. Jakarta: Sinar Grafika
Tobin’s, J. 1969. A
General EQuilibrium Approach to Monetary Theory, Journal of Money, Credit
and Banking.
Undang-Undang
Republik Indonesia No. 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas. 78
Undang-Undang
Republik Indonesia No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal.
Undang-Undang
Republik Indonesia No.32 Tahun 2009 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Wibisono, Y. 2007.
Membedah Konsep & Aplikasi CSR. Gresik: Fascho Publishing.
Widarjono, A. 2007. Ekonometrika:
Teori dan Aplikasi untuk Ekonomi dan Bisnis. Edisi Kedua. Yogyakarta:
Ekonisia Fakultas Ekonomi Universitas Islam Indonesia.
www.globalreporting.org
. Diakses tanggal 4 Maret 2014.
www.iso.org. Diakses
tanggal 3 Maret 2014.
www.unglobalcompact.org.
Diakses tanggal 10 Maret 2014.
www.wbcsd.org. Diakses tanggal 3 Maret
2014.
Robert, D. & Stephanus, D.S. 2014.
Penerapan Dan Analisis Pengaruh Environmental
Management Accounting (Ema). Proposal
Skripsi. Universitas Ma Chung. Malang
Oktiviana, D. & Stephanus, D.S.
2014. Analisis Pengaruh Penerapan Environment
Management Accounting Dan Strategi Terhadap Inovasi Perusahaan . Proposal Skripsi. Universitas Ma Chung.
Malang
Nugroho, O.C. &
Stephanus, D.S. 2014. Studi Empiris
Pengaruh Manajemen Laba
(Earnings
Management), Corporate Governance, Ukuran Perusahaan (Size), Leverage,
Dan
Profitabilitas
Terhadap Pengungkapan Tanggung Jawab Sosial Dan Lingkungan
Perusahaan. Proposal
Skripsi. Universitas
Ma Chung. Malang
Puspita, M. E. & Stephanus,
D.S. 2014. Pengaruh
Pengungkapan Corporate Social Responsibility, Global Reporting Initiatives Dan
Iso 26000 Terhadap Nilai Perusahaan Sektor Pertambangan. Proposal Skripsi. Universitas Ma Chung.
Malang
Endiarto, O.T. &
Stephanus, D. S. 2014. Analisis
Pengaruh Kinerja Lingkungan
Terhadap
Nilai Perusahaan Yang Terdaftar Di Index Sri Kehati .Proposal
Skripsi. Universitas Ma Chung. Malang
Seri #6: Global Reporting Initiative (GRI)
Global Reporting
Initiatives (GRI)
Global Reporting
Initiatives (GRI) disusun pertama kali pada tahun 1997 oleh Coalition
on Environment Responsible Economies (CERES) yang bekerjasama dengan Tellus
Institutes (www.globalreporting.org). Global Reporting Initiatives (GRI)
menyediakan sarana internal untuk mengevaluasi konsistensi kebijakan sustainability
perusahaan dan strategi yang digunakan, serta kegiatan aktual lainnya. Pada
tahun 2000, Global Reporting Initiatives (GRI) mengeluarkan The
Sustainability Reporting Guidelines yang telah diadopsi oleh kurang lebih
seratus perusahaan di seluruh dunia (Nuraini, 2010). Purnasiwi (2011)
menyatakan bahwa standar pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan atau Corporate
Sosial Responsibility (CSR) yang berkembang di Indonesia menggunakan
standar yang dikembangkan oleh Global Reporting Initiatives (GRI).
Dengan demikian, perusahaan-perusahaan di Indonesia dalam melakukan
pengungkapan tanggung jawab lingkungan dapat menggunakan standar dari Global
Reporting Initiatives. Standar tersebut dapat menjadi tolok ukur dan acuan
pada penerapan tanggung jawab lingkungan.
Global Reporting
Initiatives merupakan suatu organisasi nirlaba yang memelopori
kinerja ekonomi, lingkungan dan sosial berkelanjutan. Tujuan Global
Reporting Initiatives (GRI) yaitu membantu para investor, pemerintah,
perusahaan dan masyarakat umum untuk memahami lebih jelas mengenai proses
peningkatan dalam pencapaian keberlanjutan (sustainability). Global
Reporting Initiatives menyediakan rerangka pelaporan keberlanjutan untuk
semua perusahaan dengan indikator pengungkapan seperti ekonomi (9 item),
lingkungan (30 item), tenaga kerja (14 item), hak asasi manusia (11 item),
masyarakat (8 item) dan produk (9 24 item). Rerangka
pelaporan yang dikembangkan oleh GRI bersifat umum dan telah disetujui oleh
berbagai pemangku kepentingan di seluruh dunia, serta dapat diaplikasikan
secara umum dalam melaporkan kinerja keberlanjutan dari sebuah organisasi
(Sudana & Arlindania, 2011).
Global Reporting
Initiatives merupakan organisasi nirlaba yang dibentuk pada tahun
1997 oleh Coalition for Environmentally Responsible Economies (CERES) dan
Tellus Institute dengan dukungan dari United Nations Environment
Programme (UNEP) (www.globalreporting.org, 2013). Pada tahun 2006, GRI
menerbitkan pedoman GRI report dan versi terbaru pedoman ini diterbitkan
pada tahun 2013 yaitu GRI G4.
Global Reporting
Initiative adalah sebuah kerangka pelaporan untuk membuat sustainability
reports yang terdiri atas prinsip-prinsip pelaporan, panduan pelaporan dan
standar dalam pengungkapan termasuk didalamnya indikator kinerja
(www.globalreporting.org, 2013). Dengan diterbitkannya pedoman GRI diharapkan
dapat membantu investor, pemerintah, perusahaan dan masyarakat umum untuk
memahami lebih jelas mengenai proses peningkatan dalam pencapaian keberlanjutan
(sustainability). 27
Dalam
pedoman Global Reporting Initiative terdapat tiga jenis pengungkapan
yaitu strategi dan profil, pendekatan manajemen serta indikator kinerja.
Pengungkapan strategi dan profil merupakan pengungkapan yang menentukan konteks
keseluruhan dalam memahami kinerja organisasi, seperti strategi, profil dan
tata kelola. Pengungkapan pendekatan manajemen mencakup bagaimana sebuah organisasi
mengarahkan seperangkat topik dalam menyediakan konteks untuk memahami kinerja
pada wilayah tertentu. Sedangkan pengungkapan indikator kinerja berkaitan
dengan hasil perbandingan informasi mengenai kinerja organisasi dalam hal
ekonomi, lingkungan, dan sosial.
Dalam standar
pengungkapan Global Reporting Initiative Guideliness G3.1 terdapat 6
indikator dengan 79 item pengungkapan seperti berikut ini.
1. Indikator kinerja
ekonomi (9 item)
Indikator kinerja
ekonomi berkaitan dengan dampak organisasi terhadap kondisi perekonomian para
pemegang kepentingan ditingkat sistem ekonomi lokal, nasional, dan global.
Indikator ini menunjukkan aliran dana di antara para pemegang kepentingan dan
dampak ekonomi utama organisasi terhadap masyarakat.
2. Indikator kinerja
lingkungan (30 item)
Indikator kinerja
lingkungan digunakan untuk melihat dampak organisasi terhadap sistem alami
hidup dan tidak hidup, termasuk ekosistem, tanah, air dan udara. Adapun
indikator lingkungan meliputi kinerja yang berhubungan dengan input (misalnya
material, energi, dan air) dan output (misalnya emisi, air limbah, dan
limbah) serta yang berhubungan biodiversity (keanekaragaman hayati),
kepatuhan lingkungan, dan informasi relevan lainnya seperti pengeluaran
lingkungan (environmental expenditure) dan dampaknya terhadap produk dan
jasa.
3. Indikator kinerja
tenaga kerja (14 item)
Aspek tenaga kerja
digunakan untuk melihat dari sisi ketenagakerjaannya berdasarkan aspek standar
internasional yang diakui, termasuk United Nations Universal Declaration of
Human Rights and its Protocols, United Nations Convention: International
Covenant on Civil and Political Rights, United Nations Convention:
International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights, ILO Declaration
on Fundamental Principles and Rights at Work of 1998 (in particular the eight
core convention of the ILO) dan The Vienna Declaration and Programme of
Action.
4. Indikator kinerja
hak asasi manusia (9 item)
Aspek hak asasi
manusia digunakan untuk melihat sejauh mana hak asasi manusia diperhitungkan
dalam investasi dan praktek pemilihan supplier/kontraktor. Selain itu,
indikator dalam aspek ini juga meliputi pelatihan mengenai hak asasi manusia
bagi karyawan dan aparat keamanan, sebagaimana juga bagi nondiskriminasi,
kebebasan berserikat, tenaga kerja anak, hak adat, serta kerja paksa, dan kerja
wajib.
5. Indikator kinerja
masyarakat (8 item)
Indikator kinerja
masyarakat digunakan untuk melihat dampak dari organisasi terhadap masyarakat
setempat, dan menjelaskan risiko dari interaksi dengan institusi sosial
lainnya.
6. Indikator kinerja
produk (9 item)
Tanggung
Jawab Sosial
Lingkungan
Ekonomi
Produk
Tenaga Kerja
Hak asasi manusia
Masyarakat
Indikator kinerja
tanggung jawab produk membahas aspek produk dari organisasi pelapor serta jasa
yang diberikan yang memengaruhi pelanggan, terutama, kesehatan dan keselamatan,
informasi dan pelabelan, pemasaran, dan privasi. Aspek tersebut juga melingkupi
penjelasan mengenai prosedur internal dan usaha yang dilaksanakan bila tidak
memenuhi kepatuhan.
Gambar
1.
Subjek
Fundamental dari Tanggung Jawab Sosial menurut GRI
Sumber: www.globalreporting.org
(2013)
Berikut merupakan
item-item penilaian pengungkapan lingkungan berdasarkan Global Reporting
Initiative Guideliness G3.1.
Tabel 2. Indikator
Pengungkapan Tanggung Jawab Sosial berdasarkan GRI G3.1
No
Kode
Sifat
Indikator
Indikator Kinerja
Ekonomi
Aspek: Kinerja
Ekonomi
1
EC1
Core
Perolehan dan
distribusi nilai ekonomi langsung, meliputi pendapatan, biaya operasi, imbal
jasa karyawan, donasi, dan laba ditahan, dan investasi komunitas lainnya dan
pembayaran kepada penyandang dana serta pemerintah
(Dilanjutkan…)
Tanggung Jawab Sosial
Lingkungan
Ekonomi
Produk
Tenaga Kerja
Hak asasi manusia
Masyarakat
30
(…Lanjutan)
2
EC2
Core
Implikasi finansial
dan risiko lainnya akibat perubahan iklim serta peluangnya bagi aktivitas
organisasi
3
EC3
Core
Jaminan kewajiban
organisasi terhadap program imbalan pasti
4
EC4
Core
Bantuan finansial
yang signifikan dari pemerintah
Aspek: Kehadiran
Pasar
5
EC5
Add
Rentang rasio standar
upah terendah dibandingkan dengan upah minimum setempat pada lokasi operasi
yang signifikan
6
EC6
Core
Kebijakan, praktek
dan proporsi pengeluaran untuk pemasok lokal pada lokasi operasi yang signikan
7
EC7
Core
Prosedur penerimaan
pegawai lokal dan proporsi manajemen senior lokal yang dipekerjakan pada lokasi
operasi yang signifikan
Aspek: Dampak Ekonomi
Tidak Langsung
8
EC8
Core
Pembangunan dan
dampak dari investasi infrastruktur serta jasa yang diberikan untuk kepentingan
publik secara komersial, natura atau pro bono
9
EC9
Add
Pemahaman dan
penjelasan dampak ekonomi tidak langsung yang signifikan, termasuk seberapa
luas dampaknya
INDIKATOR KINERJA
LINGKUNGAN
Aspek: Material
10
EN1
Core
Penggunaan bahan;
diperinci berdasarkan berat atau volume
11
EN2
Core
Persentase penggunaan
bahan daur ulang
Aspek: Energi
12
EN3
Core
Penggunaan energi
langsung dari sumber daya energi primer
13
EN4
Core
Pemakaian energi tidak
langsung berdasarkan sumber primer
14
EN5
Add
Penghematan energi
melalui konservasi dan peningkatan efisiensi
15
EN6
Add
Inisiatif untuk
mendapatkan produk dan jasa berbasis energi efisien atau energi yang dapat
diperbarui, serta pengurangan persyaratan kebutuhan energi sebagai akibat dari
inisiatif tersebut.
16
EN7
Add
Inisiatif untuk
mengurangi konsumsi energi tidak langsung dan pengurangan yang dicapai
(Dilanjutkan…)
31
(…Lanjutan)
Aspek: Air
17
EN8
Core
Total pengambilan air
per sumber
18
EN9
Add
Sumber air yang
terpengaruh secara signifikan akibat pengambilan air
19
EN10
Add
Persentase penggunaan
dan total volum air yang digunakan kembali dan didaur ulang
Aspek: Biodiversitas
(Keanekaragaman Hayati)
20
EN11
Core
Lokasi dan ukuran
tanah yang dimiliki, disewa, dikelola oleh organisasi pelapor yang berlokasi di
dalam atau yang berdekatan dengan daerah yang dilindungi atau daerah yang
memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi di luar daerah yang diproteksi
21
EN12
Core
Uraian atas berbagai
dampak signifikan yang diakibatkan oleh aktivitas, produk, dan jasa organisasi
pelapor terhadap keanekaragaman hayati daerah yang diproteksi (dilindungi) dan
daerah yang memiliki keanekaragaman hayati bernilai tinggi di luar daerah yang
diproteksi (dilindungi)
22
EN13
Add
Perlindungan dan
Pemulihan Habitat
23
EN14
Add
Strategi, tindakan,
dan rencana mendatang untuk mengelola dampak terhadap keanekaragaman hayati
24
EN15
Add
Jumlah spesies
berdasarkan tingkat risiko kepunahan yang masuk dalam Daftar Merah IUCN (IUCN Red
List Species) dan yang masuk dalam daftar konservasi nasional dengan habitat di
daerah-daerah yang terkena dampak operasi.
Aspek: Emisi, Efluen
dan Limbah
25
EN16
Core
Jumlah emisi gas
rumah kaca yang sifatnya langsung maupun tidak langsung dirinci berdasarkan
berat
26
EN17
Core
Emisi gas rumah kaca
tidak langsung lainnya diperinci berdasarkan berat
27
EN18
Add
Inisiatif untuk
mengurangi emisi gas rumah kaca dan pencapaiannya
28
EN19
Core
Emisi bahan kimia
yang merusak lapisan ozon (ozone-depleting substances/ODS) diperinci
berdasarkan berat
29
EN20
Core
NOx, SOx dan emisi
udara signifikan lainnya yang diperinci berdasarkan jenis dan berat
30
EN21
Core
Jumlah buangan air
menurut kualitas dan tujuan
31
EN22
Core
Jumlah berat limbah
menurut jenis dan metoda pembuangan
(Dilanjutkan…)
32
(…Lanjutan)
32
EN23
Core
Jumlah dan volume
tumpahan yang signifikan
33
EN24
Add
Berat limbah yang
diangkut, diimpor, diekspor, atau diolah yang dianggap berbahaya menurut
Lampiran Konvensi Basel I, II, III dan VIII, dan persentase limbah yang
diangkut secara internasional.
34
EN25
Add
Identitas, ukuran,
status proteksi dan nilai keanekaragaman hayati badan air serta habitat terkait
yang secara signifikan dipengaruhi oleh pembuangan dan limpasan air organisasi
pelapor.
Aspek: Produk dan
Jasa
35
EN26
Core
Inisiatif untuk
mengurangi dampak lingkungan produk dan jasa dan sejauh mana dampak pengurangan
tersebut.
36
EN27
Core
Persentase produk
terjual dan bahan kemasannya yang ditarik menurut kategori.
Aspek: Kepatuhan
37
EN28
Core
Nilai Moneter Denda
yang signifikan dan jumlah sanksi nonmoneter atas pelanggaran terhadap hukum
dan regulasi lingkungan.
Aspek:
Pengangkutan/Transportasi
38
EN29
Add
Dampak lingkungan
yang signifikan akibat pemindahan produk dan barang-barang lain serta material
yang digunakan untuk operasi perusahaan, dan tenaga kerja yang memindahkan.
Aspek: Menyeluruh
39
EN30
Add
Jumlah pengeluaran
untuk proteksi dan investasi lingkungan menurut jenis.
INDIKATOR KINERJA
PRAKTEK TENAGA KERJA DAN PEKERJAAN YANG LAYAK
Aspek: Pekerjaan
40
LA1
Core
Jumlah angkatan kerja
menurut jenis pekerjaan, kontrak pekerjaan, dan wilayah.
41
LA2
Core
Jumlah dan tingkat
perputaran karyawan menurut kelompok usia, jenis kelamin, dan wilayah.
42
LA3
Add
Manfaat yang
disediakan bagi karyawan tetap (purna waktu) yang tidak disediakan bagi
karyawan tidak tetap (paruh waktu) menurut kegiatan pokoknya.
(Dilanjutkan…)
33
(…Lanjutan)
Aspek: Tenaga kerja /
Hubungan Manajemen
43
LA4
Core
Persentase karyawan
yang dilindungi perjanjian tawar-menawar kolektif tersebut.
44
LA5
Core
Masa pemberitahuan
minimal tentang perubahan kegiatan penting, termasuk apakah hal itu dijelaskan
dalam perjanjian kolektif tersebut.
Aspek: Kesehatan dan
Keselamatan Jabatan
45
LA6
Add
Persentase jumlah
angkatan kerja yang resmi diwakili dalam panitia Kesehatan dan Keselamatan
antara manajemen dan pekerja yang membantu memantau dan memberi nasihat untuk
program keselamatan dan kesehatan jabatan.
46
LA7
Core
Tingkat kecelakaan
fisik, penyakit karena jabatan, hari-hari yang hilang, dan ketidakhadiran, dan
jumlah kematian karena pekerjaan menurut wilayah.
47
LA8
Core
Program pendidikan,
pelatihan, penyuluhan/bimbingan, pencegahan, pengendalian risiko setempat untuk
membantu para karyawan, anggota keluarga dan anggota masyarakat, mengenai
penyakit berat/berbahaya.
Aspek: Pelatihan dan
Pendidikan
48
LA9
Add
Masalah kesehatan dan
keselamatan yang tercakup dalam perjanjian resmi dengan serikat karyawan.
49
LA10
Core
Rata-rata jam
pelatihan tiap tahun tiap karyawan menurut kategori/kelompok karyawan.
50
LA11
Add
Program untuk
pengaturan keterampilan dan pembelajaran sepanjang hayat yang menunjang
kelangsungan pekerjaan karyawan dan membantu mereka dalam mengatur akhir
karier.
51
LA12
Add
Persentase karyawan
yang menerima peninjauan kinerja dan pengembangan karier secara teratur.
Aspek: Keberagaman
dan Kesempatan Setara
52
LA13
Core
Komposisi badan
pengelola/penguasa dan perincian karyawan tiap kategori/kelompok menurut jenis
kelamin, kelompok usia, keanggotaan kelompok minoritas, dan keanekaragaman
indikator lain.
53
LA14
Core
Perbandingan/rasio
gaji dasar pria terhadap wanita menurut kelompok/kategori karyawan.
(Dilanjutkan…)
34
(…Lanjutan)
Hak Asasi Manusia
Aspek : Praktek
Investasi dan Pengadaan
54
HR1
Core
Persentase dan jumlah
perjanjian investasi signifikan yang memuat klausul HAM atau telah menjalani
proses skrining/ filtrasi terkait dengan aspek hak asasi manusia.
55
HR2
Core
Persentase pemasok
dan kontraktor signifikan yang telah menjalani proses skrining/ filtrasi atas
aspek HAM
56
HR3
Add
Jumlah waktu
pelatihan bagi karyawan dalam hal mengenai kebijakan dan serta prosedur terkait
dengan aspek HAM yang relevan dengan kegiatan organisasi, termasuk persentase
karyawan yang telah menjalani pelatihan
Aspek: Nondiskriminasi
57
HR4
Core
Jumlah kasus
diskriminasi yang terjadi dan tindakan yang diambil/dilakukan.
Aspek: Kebebasan
Berserikat dan Berunding Bersama Berkumpul
58
HR5
Core
Segala kegiatan
berserikat dan berkumpul yang diteridentifikasi dapat menimbulkan risiko yang signifikan
serta tindakan yang diambil untuk mendukung hak-hak tersebut.
Aspek: Pekerja Anak
59
HR6
Core
Kegiatan yang
identifikasi mengandung risiko yang signifikan dapat menimbulkan terjadinya
kasus pekerja anak, dan langkah-langkah yang diambil untuk mendukung upaya
penghapusan pekerja anak.
Aspek: Kerja Paksa
dan Kerja Wajib
60
HR7
Core
Kegiatan yang
teridentifikasi mengandung risiko yang signifikan dapat menimbulkan kasus kerja
paksa atau kerja wajib, dan langkah-langkah yang telah diambil untuk mendukung
upaya penghapusan kerja paksa atau kerja wajib
Aspek:
Praktek/Tindakan Pengamanan
61
HR8
Add
Persentase personel
penjaga keamanan yang terlatih dalam hal kebijakan dan prosedur organisasi
terkait dengan aspek HAM yang relevan dengan kegiatan organisasi.
(Dilanjutkan…)
35
(…Lanjutan)
Aspek: Hak Penduduk
Asli
62
HR9
Add
Jumlah kasus
pelanggaran yang terkait dengan hak penduduk asli dan langkah-langkah yang
diambil.
Aspek : Penilaian
63
HR10
Core
Persentase dan jumlah
operasi yang telah menjadi subjek ulasan HAM dan atau penilaian dampak
Aspek: Remediasi
64
HR11
Core
Keluhan yang
berkaitan dengan hak asasi manusia yang diajukan, dibahas dan diselesaikan
melalui mekanisma pengaduan jalur formal
INDIKATOR KINERJA
PADA MASYARAKAT
Aspek: Komunitas
65
S01
Core
Sifat dasar, ruang
lingkup, dan keefektifan setiap program dan praktek yang dilakukan untuk
menilai dan mengelola dampak operasi terhadap masyarakat, baik pada saat
memulai, pada saat beroperasi, dan pada saat mengakhiri.
Aspek: Korupsi
66
S02
Core
Persentase dan jumlah
unit usaha dianalisis untuk risiko yang berkaitan dengan korupsi.
67
S03
Core
Persentase pegawai
yang dilatih dalam kebijakan dan prosedur antikorupsi.
68
S04
Add
Tindakan yang diambil
dalam menanggapi kejadian korupsi.
Aspek: Kebijakan
Publik
69
S05
Core
Kedudukan kebijakan
publik dan partisipasi dalam proses melobi dan pembuatan kebijakan publik.
70
S06
Add
Nilai kontribusi
finansial dan natura kepada partai politik, politisi, dan institusi terkait
berdasarkan negara di mana perusahaan beroperasi.
Aspek: Kelakuan Tidak
Bersaing
71
S07
Add
Jumlah tindakan hukum
terhadap pelanggaran ketentuan antipersaingan, anti-trust, dan praktek monopoli
serta sanksinya.
36
(…Lanjutan)
72
PR2
Add
Jumlah pelanggaran
terhadap peraturan dan etika mengenai dampak kesehatan dan keselamatan suatu
produk dan jasa selama daur hidup, per produk.
Aspek: Pemasangan
Label bagi Produk dan Jasa
73
PR3
Core
Jenis informasi
produk dan jasa yang dipersyaratkan oleh prosedur dan persentase produk dan
jasa yang signifikan yang terkait dengan informasi yang dipersyaratkan
tersebut.
74
PR4
Add
Jumlah pelanggaran
peraturan dan voluntary codes mengenai penyediaan informasi produk dan jasa
serta pemberian label, per produk
75
PR5
Add
Praktek yang
berkaitan dengan kepuasan pelanggan termasuk hasil survei yang mengukur
kepuasaan pelanggan.
Aspek: Komunikasi
Pemasaran
76
PR6
Core
Program-program untuk
ketaatan pada hukum, standar dan voluntary codes yang terkait dengan komunikasi
pemasaran, termasuk periklanan, promosi, dan sponsorship.
77
PR7
Add
Jumlah pelanggaran
peraturan dan voluntary codes sukarela mengenai komunikasi pemasaran termasuk
periklanan, promosi, dan sponsorship, menurut produknya.
Aspek: Keleluasaan
Pribadi (privacy) Pelanggan
78
PR8
Add
Jumlah keseluruhan dari
pengaduan yang berdasar mengenai pelanggaran keleluasaan pribadi (privacy)
pelanggan dan hilangnya data pelanggan
Aspek: Kepatuhan
79
PR9
Core
Nilai moneter dari
denda pelanggaran hukum dan peraturan mengenai pengadaan dan penggunaan produk
dan jasa
Sumber:
www.globalreporting.org (2013)
GRI G4 yang
diluncurkan pada tahun 2013 memiliki 6 aspek yang sama namun dengan jumlah item
yang berbeda. Pada GRI G4, terdapat aspek ekonomi (9 item), lingkungan (34
item), tenaga kerja (16 item), hak asasi manusia (12
37
item), masyarakat (11
item) dan produk (9 item) (www.globalreporting.org, 2013). Tabel 3. Indikator
Pengungkapan Tanggung Jawab Sosial berdasarkan GRI G4
No
Kode
Indikator
INDIKATOR KINERJA
EKONOMI
Aspek: Kinerja
Ekonomi
1
EC1
Nilai ekonomi
langsung yang dihasilkan dan didistribusikan
2
EC2
Implikasi finansial
dan risiko serta peluang lainnya kepada kegiatan organisasi karena perubahan
iklim
3
EC3
Cakupan kewajiban
organisasi atas program imbalan pasti
4
EC4
Bantuan finansial
yang diterima dari pemerintah
Aspek: Kehadiran
Pasar
5
EC5
Rasio upah standar
pegawai pemula (entry level) menurut gender dibandingkan dengan upah minimun
regional di lokasi-lokasi operasional yang signifikan.
6
EC6
Perbandingan
manajemen senior yang dipekerjakan dari masyarakat lokal di lokasi operasi yang
signifikan
Aspek: Dampak Ekonomi
Tidak Langsung
7
EC7
Pembangunan dan
dampak dari investasi infrastruktur dan jasa yang diberikan
8
EC8
Dampak ekonomi tidak
langsung yang signifikan, termasuk besarnya dampak
Aspek :Praktik
Pengadaan
9
EC9
Perbandingan
pembelian dari pemasok lokal di lokasi operasional yang signifikan
INDIKATOR KINERJA
LINGKUNGAN
Aspek: Material
10
EN1
Bahan yang digunakan
berdasarkan berat dan volume
11
EN2
Persentase bahan yang
digunakan yang merupakan bahan input daur ulang
Aspek: Energi
12
EN3
Konsumsi energi dalam
organisasi
13
EN4
Konsumsi energi di
luar organisasi
14
EN5
Intensitas energi
15
EN6
Pengurangan konsumsi
energi
(Dilanjutkan…)
38
(Lanjutan…)
16
EN7
Pengurangan kebutuhan
energi pada produk dan jasa
Aspek: Air
17
EN8
Total pengambilan air
berdasarkan sumber
18
EN9
Sumber air yang
secara signifikan dipengaruhi oleh pengambilan air
19
EN10
Persentase dan total
volume air yang didaur ulang dan digunakan kembali
Aspek: Biodiversitas (Keanekaragaman
Hayati)
20
EN11
Lokasi-lokasi
operasional yang dimiliki, disewa, dikelola di dalam atau yang berdekatan
dengan kawasan lindung dan kawasan dengan nilai keanekaragaman hayati di luar
kawasan lindung.
21
EN12
Uraian dampak
signifikan kegiatan, produk, dan jasa terhadap keanekaragaman hayati di kawasan
lindung dan kawasan dengan nilai keanekaragaman hayati tinggi di luar kawasan
lindung.
22
EN13
Habitat yang
dilindungi dan dipulihkan
23
EN14
Jumlah total spesies
dalam IUCN Red Listdan spesies dalam daftar spesies yang dilindungi nasional
dengan habitat di tempat yang dipengaruhi operasional, berdasarkan tingkat
risiko kepunahan.
Aspek: Emisi
24
EN15
Emisi gas rumah kaca
yang sifatnya langsung
25
EN16
Emisi gas rumah kaca
yang sifatnya tidak langsung
26
EN 17
Emisi gas rumah kaca
tidak langsung lainnya
27
EN18
Intensitas emisi gas
rumah kaca
28
EN19
Pengurangan emisi gas
rumah kaca
29
EN20
Emisi bahan perusak
ozon (ozone-depleting substances/ODS)
30
EN21
NOx, SOx dan emisi
udara signifikan lainnya
Aspek: Limbah dan
Sampah
31
EN22
Total air yang
dibuang berdasarkan kualitas dan tujuan
32
EN23
Bobot total limbah
berdasarkan jenis dan metoda pembuangan
(Dilanjutkan…)
39
(Lanjutan…)
33
EN24
Jumlah dan volume
total tumpahan yang signifikan
34
EN25
Bobot limbah yang
dianggap berbahaya menurut ketentuan konvensi BASEL I, II, III dan VIII yang
diangkut, diimpor, diekspor,atau diolah dan persentase limbah yang diangkut
untuk pengiriman internasional.
35
EN26
Identitas, ukuran,
status lindung dan nilai keanekaragaman hayati dari badan air dan habitat yang
secara signifikan terkena dampak dari air buangan dan limpasan dari organisasi.
Aspek: Produk dan
Jasa
36
EN27
Tingkat mitigasi
dampak terhadap lingkungan produk dan jasa
37
EN28
Persentase produk
yang terjual dan kemasannya yang direklamasi menurut kategori
Aspek: Kepatuhan
38
EN29
Nilai Moneter denda
yang signifikan dan jumlah total sanksi nonmoneter karena ketidakpatuhan
terhadap Undang-Undang dan Peraturan Lingkungan
Aspek:
Pengangkutan/Transportasi
39
EN30
Dampak lingkungan
yang signifikan dari pengangkutan produk dan barang-barang lain serta bahan
untukoperasional organisasi dan pengangkutan tenaga kerja
Aspek: Lain-Lain
40
EN31
Total pengeluaran dan
investasi perlindungan lingkungan berdasarkan jenis
Aspek: penilaian
Pemasok atas Lingkungan
41
EN32
Persentase pemasok
baru yang disaring menggunakan kriteria lingkungan
42
EN33
Dampak lingkungan
negatif signifikan aktual dan potensial negatif dalam rantai pasokan dan
tindakan yang diambil.
Aspek: Mekanisma Pengaduan
Masalah Lingkungan
43
EN34
Jumlah pengaduan
tentang dampak lingkungan yang diajukan, ditangani dan diselesaikan melalui
mekanisma pengaduan resmi.
(Dilanjutkan…)
40
(Lanjutan…)
INDIKATOR KINERJA
PRAKTEK TENAGA KERJA DAN PEKERJAAN YANG LAYAK
Aspek: Kepegawaian
44
LA1
Jumlah total dan
tingkat perekrutan karyawan baru dan turnover karyawan menurut kelompok umur,
jenis kelamin, dan wilayah.
45
LA2
Tunjangan yang
diberikan bagi karyawan purnawaktu yang tidak diberikan bagi karyawan sementara
atau paruh waktu, berdasarkan lokasi operasi yang signifikan.
46
LA3
Tingkat kembali
bekerja dan tingkat retensi setelah cuti melahirkan berdasarkan gender
Aspek: Hubungan
Industrial
47
LA4
Jangka waktu minimum
pemberitahuan mengenai perubahan operasional, termasuk apakah hal tersebut
dalam perjanjian bersama.
Aspek: Kesehatan dan
Keselamatan Jabatan
48
LA5
Persentase total
tenaga kerja yang diwakili dalam komite bersama formal manajemen-pekerja yang
membantu mengawasi dan memberikan saran program kesehatan dan keselamatan kerja
49
LA6
Jenis dan tingkat
cedera, penyakit akibat kerja, hari-hari yang hilang, dan ketidakhadiran, dan
jumlah total kematian akibat kerja menurut daerah dan gender.
50
LA7
Pekerja yang sering
terkena atau berisiko tinggi terkena penyakit yang terkait dengan pekerjaan
mereka
51
LA8
Topik kesehatan dan
keselamatan yang tercakup dalam perjanjian formal dengan serikat pekerja
Aspek: Pelatihan dan
Pendidikan
52
LA9
Rata-rata jam
pelatihan tiap tahun tiap karyawan menurut kategori/kelompok karyawan.
53
LA10
Program untuk
manajemen keterampilan dan pembelajaran seumur hidup yang mendukung
keberlanjutan kerja karyawan dan membantu mereka mengelola purna bakti
54
LA11
Persentase karyawan
yang menerima peninjauan kinerja dan pengembangan karier secara teratur menurut
gender dan kategori karyawan.
(Dilanjutkan…)
41
(Lanjutan…)
Aspek: Keberagaman
dan Kesetaraan Peluang
55
LA12
Komposisi badan tata
kelola dan pembagian karyawan per kategori karyawan menurut gender, kelompok
usia, keanggotaan kelompok minoritas dan indikator keberagaman lainnya.
Aspek: Kesetaraan
Renumerasi Perempuan dan Laki-Laki
56
LA13
Rasio gaji pokok dan
renumerasi bagi perempuan terhadap laki-laki menurut kategori karyawan,
berdasarkan lokasi operasional yang signifikan.
Aspek: Penilaian
Pemasok atas Praktik Ketenagakerjaan
57
LA14
Persentase Pemasok
Baru yang Disaring menggunakan Kriteria Praktik Tenaga Kerja
58
LA15
Dampak negatif aktual
dan potensial yang signifikan terhadap praktik ketenagakerjaan dalam rantai
pasokan dan tindakan yang diambil
Aspek: Mekanisma
Pengaduan Praktek Kerja
59
LA16
Jumlah pengaduan
tentang Praktik Ketenagakerjaan yang diajukan, ditangani dan diiselesaikan
melalui mekanisma pengaduan resmi.
HAK ASASI MANUSIA
Aspek : Investasi
60
HR1
Persentase dan jumlah
perjanjian investasi signifikan yang memuat klausul HAM atau telah menjalani
proses skrining/ filtrasi terkait dengan aspek hak asasi manusia.
61
HR2
Jumlah waktu
pelatihan bagi karyawan tentang kebijakan atau prosedur Hak Asasi Manusia
terkait dengan aspek Hak Asasi Manusia yang relevan dengan operasi termasuk
presentase karyawan yang dilatih.
Aspek:
Nondiskriminasi
62
HR3
Jumlah kasus
diskriminasi yang terjadi dan tindakan yang diambil/dilakukan.
(Dilanjutkan…)
42
(Lanjutan…)
Aspek: Kebebasan Berserikat
dan Berunding Bersama Berkumpul
63
HR4
Operasi dan pemasok
teridentifikasi yang mungkin melanggar atau berisiko tinggi melanggar hak untuk
melaksanakan kebebasan berserikat dan perjanjian kerja bersama dan tindakan
yang diambil untuk mendukung hal-hal tersebut.
Aspek: Pekerja Anak
64
HR5
Operasi dan pemasok
yang teridentifikasi berisiko tinggi melakukan eksploitasi pekerja anak dan
tindakan yang diambil untuk berkontribusi dalam penghapusan pekerja anak yang
efektif.
Aspek: Kerja Paksa
dan Kerja Wajib
65
HR6
Operasi dan pemasok
yang diidentifikasi berisiko tinggi melakukan kerja paksa atau wajib kerja dan
tindakan untuk berkontribusi dalam penghapusan segala bentuk pekerja paksa atau
wajib kerja.
Aspek:
Praktek/Tindakan Pengamanan
66
HR7
Persentase petugas
pengamanan yang dilatih dalam kebijakan atau prosedur hak asasi manusia di
organisasi yang relevan dengan operasi.
Aspek: Hak Penduduk
Asli
67
HR8
Jumlah total insiden
pelanggaran yanng melibatkan hak-hak masyarakat adat dan tindakan yang diambil.
Aspek : Penilaian
68
HR9
Jumlah total dan
presentase operasi yang telah melakukan penilaian dampak Hak Asasi Manusia
Aspek: Penaksiran Hak
Asasi Manusia Pemasok
69
HR10
Persentase pemasok
baru yang disaring dengan menggunakan kriteria hak asasi manusia
70
HR11
Dampak negatif aktual
dan potensial yang signifikan terhadap Hak Asasi Manusia dalam rantai pasokan
dan tindakan yang diambil
Aspek: Mekanisma
Pengaduan Masalah Hak Asasi Manusia
71
HR12
Jumlah pengaduan
tentang dampak terhadap Hak Asasi Manusia yang diajukan, ditangani dan
diselesaikan melalui mekanisma pengaduan resmi
(Dilanjutkan…)
43
(Lanjutan…)
INDIKATOR KINERJA
PADA MASYARAKAT
Aspek: Masyarakat
Lokal
72
S01
Persentase operasi
dengan pelibatan masyarakat lokal, penilaian dampak dan program pengembangan
yang diterapkan
73
S02
Operasi dengan dampak
negatif aktual dan potensial yang signifikan terhadap masyarakat lokal.
Aspek: Anti Korupsi
74
S03
Jumlah total dan
presentase operasi yang dinilai terhadap risiko terkait dengan korupsi dan
risiko signifikan yang teridentifikasi
75
S04
Komunikasi dan
pelatihan mengenai kebijakan dan prosedur anti korupsi
76
S05
Insiden korupsi yang
terbukti dan tindakan yang diambil
Aspek: Kebijakan
Publik
77
S06
Nilai total
kontribusi politik berdasarkan negara dan penerima/penerima manfaat
Aspek: Anti
Persaingan
78
S07
Jumlah total tindakan
hukum terkait anti persaingan, anti trust, serta praktik monopoli dan hasilnya
Aspek: Kepatuhan
79
S08
Nilai moneter denda
yang signifikan dan jumlah total sanksi nonmoneter atas ketidakpatuhan terhadap
Undang-Undang dan peraturan
Aspek: Penilaian
Pemasok atas Dampak Pada Masyarakat
80
S09
Persentase pemasok
baru yang disaring dengan menggunakan kriteria dampak terhadap masyarakat
81
S10
Dampak negatif aktual
dan potensial yang signifikan terhadap masyarakat dalam rantai pasokan dan
tindakan yang diambil.
Aspek: Mekanisma
Pengaduan Dampak terhadap Masyarakat
82
S11
Jumlah pengaduan
tentang dampak terhadap masyarakat yang diajukan, ditangani dan diselesaikan
melalui mekanisma pengaduan resmi
(Dilanjutkan…)
44
(Lanjutan…)
INDIKATOR KINERJA
TERHADAP TANGGUNG JAWAB PRODUK
Aspek: Kesehatan dan
Keamanan Pelanggan
83
PR1
Persentase kategori
produk dan jasa yang signifikan yang dampaknya terhadap kesehatan dan
keselamatan yang dinilai untuk peningkatan
84
PR2
Total jumlah insiden
ketidakpatuhan terhadap peraturan dan kode sukarela terkait dampak kesehatan
dan keselamatan dari produk dan jasa sepanjang daur hidup, menurut jenis hasil.
Aspek: Pemasangan
Label bagi Produk dan Jasa
85
PR3
Jenis informasi
produk dan jasa yang dipersyaratkan oleh prosedur organisasi terkait dengan
informasi dan pelabelan produk dan jasa serta persentase kategori produk dan
jasa yang signifikan harus mengikuti persyaratan informasi sejenis.
86
PR4
Jumlah total insiden
ketidakpatuhan terhadap peraturan dan kode sukarela terkait dengan informasi
dan pelabelan produk dan jasa menurut jenis hasil.
87
PR5
Hasil survei untuk
mengukur kepuasan pelanggan
Aspek: Komunikasi
Pemasaran
88
PR6
Penjualan produk yang
dilarang atau disengketakan
89
PR7
Jumlah total insiden
ketidakpatuhan terhadap peraturan dan kode sukarela tentang komunikasi
pemasaran termasuk iklan, promosi dan sponsor menurut jenis hasil.
Aspek: Keleluasaan
Pribadi (privacy) Pelanggan
90
PR8
Jumlah total keluhan
yang terbukti terkait dengan pelanggaran privasi pelanggan dan hilangnya data
pelanggan
Aspek: Kepatuhan
91
PR9
Nilai moneter denda
yang signifikan atas ketidakpatuhan terhadap Undang-Undang dan peraturan
terkait penyediaan dan penggunaan produk dan jasa.
Sumber:
www.globalreporting.org (2013)
Robert, D. & Stephanus, D.S. 2014.
Penerapan Dan Analisis Pengaruh Environmental
Management Accounting (Ema). Proposal
Skripsi. Universitas Ma Chung. Malang
Oktiviana, D. & Stephanus, D.S.
2014. Analisis Pengaruh Penerapan Environment
Management Accounting Dan Strategi Terhadap Inovasi Perusahaan . Proposal Skripsi. Universitas Ma Chung.
Malang
Nugroho, O.C. &
Stephanus, D.S. 2014. Studi Empiris
Pengaruh Manajemen Laba
(Earnings
Management), Corporate Governance, Ukuran Perusahaan (Size), Leverage,
Dan
Profitabilitas
Terhadap Pengungkapan Tanggung Jawab Sosial Dan Lingkungan
Perusahaan. Proposal
Skripsi. Universitas
Ma Chung. Malang
Puspita, M. E. & Stephanus,
D.S. 2014. Pengaruh
Pengungkapan Corporate Social Responsibility, Global Reporting Initiatives Dan
Iso 26000 Terhadap Nilai Perusahaan Sektor Pertambangan. Proposal Skripsi. Universitas Ma Chung.
Malang
Endiarto, O.T. &
Stephanus, D. S. 2014. Analisis
Pengaruh Kinerja Lingkungan
Terhadap
Nilai Perusahaan Yang Terdaftar Di Index Sri Kehati .Proposal
Skripsi. Universitas Ma Chung. Malang
Saputra, N.
A. & Stephanus, D.S. 2014. Pengaruh Pengungkapan Corporate Social
Resposibility Dan Global Reporting Initiatives Terhadap Nilai
Perusahaan Pada Perusahaan Yang Tercatat Di Indeks Sri-Kehati 2010—2012. Skripsi. Universitas Ma Chung. Malang
Seri #7: Sustainable and Responsible Investment Keaneka
Ragaman Hayati Indonesia (Indeks SRI-KEHATI)
Pengantar
Berikut ini adalah informasi mengenai
Indeks SRI KEHAtI yang dikutip langsung dari Website Yayasan Keanekaragaman Hayati Indonesia http://www.kehati.or.id/id/indeks-sri-kehati.html.
Indeks SRI-KEHATI diberlakukan sejak 8
Juni 2009, Yayasan KEHATI bekerjasama dengan PT Bursa Efek Indonesia (BEI)
meluncurkan indeks SRI KEHATI yang mengacu pada tata cara Sustainable and Responsible Investment (SRI)
dengan nama Indeks SRI KEHATI. Tahun dasar yang digunakan sebagai tahun
awal indeks dengan basis 100 (seratus) adalah pada 30 Desember 2006 dan
dipublikasikan oleh BEI sebagai Indeks SRI KEHATI. Diharapkan dengan peluncuran
indeks SRI KEHATI ini masyarakat mengenal adanya indeks yang menggambarkan
perusahaan-perusahaan yang menguntungkan secara ekonomi dengan tetap
memperhatikan kelestarian lingkungan hidup. Tujuan dibentuknya indeks ini
adalah untuk memberikan informasi secara terbuka kepada masyarakat luas
mengenai ciri dari perusahaan terpilih pada indeks SRI KEHATI yang dianggap
memiliki bermacam bentuk pertimbangan dalam usahanya berkaitan dengan
kepedulian pada lingkungan, tata kelola perusahaan, keterlibatan masyarakat,
sumber daya manusia, hak asasi manusia, dan perilaku bisnis dengan etika bisnis
yang diterima di tingkat international.
Yayasan KEHATI menetapkan 25 (dua
puluh lima) perusahaan terpilih yang dianggap dapat memenuhi kriteria dalam
indeks SRI KEHATI sehingga dapat menjadi pedoman bagi para investor. Keberadaan
perusahaan terpilih akan dievaluasi setiap 2 (dua) periode dalam setahun, yaitu
pada bulan April dan Oktober, dan setelah terpilih nama-nama dari 25 (dua puluh
lima) perusahaan tersebut akan di publikasikan oleh BEI yang dapat dilihat di www.idx.co.id. Mekanisma pemilihan
perusahaan-perusahaan untuk masuk indeks SRI KEHATI dilakukan melalui dua
tahap, yaitu tahap pertama adalah penapisan awal seleksi negatif dan aspek
keuangan kemudian pada tahap kedua adalah dengan aspek fundamental. Penilaian
dilakukan melalui review terhadap
data sekunder, pengisian kuesioner oleh perusahaan-perusahaan yang telah
melalui tahapan seleksi di atas, dan data lain yang relevan. Dari hasil review tersebut, 25 (dua puluh lima
perusahaan) perusahaan dengan nilai tertinggi masuk dalam Indeks SRI KEHATI.
Pada tahap pertama di penapisan awal
ini dilakukan untuk memastikan bahwa perusahaan-perusahaan yang dinilai
memenuhi prasyarat penilaian adalah sebagai berikut:
Seleksi
Negatif bagi perusahaan (1) Pestisida,
(2) Nuklir, (3) Senjata, (4) Tembakau, (5) Alkohol, (6) Pornografi, (7)
Perjudian, (8) Genetically Modified
Organism (GMO).
Aspek
Keuangan yang terdiri dari: (1) Perusahaan memiliki Kapitalisasi Pasar (Market Capitalization) di atas Rp1
triliun berdasarkan laporan keuangan teraudit tahun terakhir; (2) Perusahaan
memiliki Asset di atas Rp1 triliun berdasarkan laporan keuangan teraudit tahun
terakhir; (3) Perusahaan memiliki Free
Float Ratio di atas 10% berdasarkan saham aktif di bursa dengan kepemilikan
public; (4) Perusahaan memiliki Price
Earning Ratio (PER) yang positif dalam 6 (enam) bulan terakhir.
Pada tahap kedua setelah
perusahaan-perusahaan yang lolos penapisan awal akan dinilai kinerjanya yaitu
pada aspek fundamental yang meliputi beberapa bidang, diantaranya :
Aspek
Fundamental terdiri dari: (1) Tata
Kelola Perusahaan; (2) Lingkungan; (3) Keterlibatan Masyarakat; (4) Perilaku
Bisnis; (5) Sumber Daya Manusia; (6) Hak Asasi Manusia
Implikasi
Normatif dan Etis
Implikasi
Praktis dan Bisnis
Implikasi
Konservasi
Robert, D. & Stephanus, D.S. 2014.
Penerapan Dan Analisis Pengaruh Environmental
Management Accounting (Ema). Proposal
Skripsi. Universitas Ma Chung. Malang
Oktiviana, D. & Stephanus, D.S.
2014. Analisis Pengaruh Penerapan Environment
Management Accounting Dan Strategi Terhadap Inovasi Perusahaan . Proposal Skripsi. Universitas Ma Chung.
Malang
Nugroho, O.C. &
Stephanus, D.S. 2014. Studi Empiris
Pengaruh Manajemen Laba
(Earnings
Management), Corporate Governance, Ukuran Perusahaan (Size), Leverage,
Dan
Profitabilitas
Terhadap Pengungkapan Tanggung Jawab Sosial Dan Lingkungan
Perusahaan. Proposal
Skripsi. Universitas
Ma Chung. Malang
Puspita, M. E. & Stephanus,
D.S. 2014. Pengaruh
Pengungkapan Corporate Social Responsibility, Global Reporting Initiatives Dan
Iso 26000 Terhadap Nilai Perusahaan Sektor Pertambangan. Proposal Skripsi. Universitas Ma Chung.
Malang
Endiarto, O.T. &
Stephanus, D. S. 2014. Analisis
Pengaruh Kinerja Lingkungan
Terhadap
Nilai Perusahaan Yang Terdaftar Di Index Sri Kehati .Proposal
Skripsi. Universitas Ma Chung. Malang
Saputra, N.
A. & Stephanus, D.S. 2014. Pengaruh Pengungkapan Corporate Social
Resposibility Dan Global Reporting Initiatives Terhadap Nilai
Perusahaan Pada Perusahaan Yang Tercatat Di Indeks Sri-Kehati 2010—2012. Skripsi. Universitas Ma Chung. Malang
SERI #8: ENVIRONMENTAL MANAGEMENT ACCOUNTING
(EMA)
Pengantar
Perusahaan dalam melakukan kegiatan
bisnisnya selalu memiliki tujuan untuk memperoleh nilai semaksimal mungkin.
Dengan menggali dan memaksimalkan sumber daya alam serta masyarakat yang ada,
perusahaan dapat memproduksi barang dan jasa sehingga dapat memperoleh laba
yang maksimal. Namun, seringkali perusahaan tidak memperhatikan dampak negatif
bagi lingkungan dan masyarakat ketika perusahaan melakukan eksplorasi terhadap
sumber daya yang ada.
Oleh karena itu, pemerintah Indonesia
telah menetapkan Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 bab V Pasal 74 tentang Perseroan Terbatas,
bahwa perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan
dengan sumber daya alam wajib melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan
tersebut. Selain diwajibkan, berdasarkan penelitian yang telah dilakukan,
ketika perusahaan melakukan CSR, maka hal itu akan meningkatkan profitabilitas
maupun reputasi perusahaan. Oleh karena itu, prinsip Triple Bottom Line (people and planet before profit) yang
dicetuskan oleh Jhon Elkington pada tahun 1997 banyak dianut oleh perusahaan.
Hal ini dikarenakan ketika perusahaan
menerapkan prinsip Triple Bottom Line ini,
masyarakat lebih mengapresiasi setiap produk yang dihasilkan dengan
mengutamakan kepentingan lingkungan hidup dan masyarakat luas.
Namun dalam pelaksanaannya, CSR
bukanlah sesuatu hal yang bisa dilaksanakan tanpa menggunakan dana perusahaan.
Sebagai bentuk tanggung jawab, perusahaan harus mengalokasikan dana yang akan
digunakan untuk melaksanakan bentuk-bentuk tanggung jawab perusahaan. Dengan
kata lain, perusahaan harus mengalokasikan dana untuk pengeluaran yang
dampaknya akan mengurangi laba perusahaan.
Sayangnya pengalokasian dana dan
setiap rencana yang telah disusun bagian anggaran untuk melakukan kegiatan
sebagai bentuk tanggung jawab perusahaan tidak berjalan maksimal dan sangat
rentan terjadinya kesalahan sasaran. Contohnya pada Oktober 2013, PT Semen
Tonasa sempat dipertanyakan mengenai aliran dana CSR yang dinilai salah
sasaran. Hal ini dapat terjadi dikarenakan tidak adanya sistem dan alat
perencanaan yang baik untuk menyelengarakan CSR perusahaan.
Kendala yang dihadapi perusahaan saat
ini sudah bisa diatasi dengan penggunaan Environmental
Management Accounting (EMA). EMA menurut Jhonson (2004) adalah alat untuk
analisis informasi keuangan dan non-keuangan dalam rangka mendukung proses
pengelolaan lingkungan perusahaan. Namun EMA saat ini belum diterapkan dalam
perencanaan CSR perusahaan yang ada di Indonesia. Berbeda dengan Indonesia,
Jepang adalah salah satu Negara yang sangat menjunjung tinggi kepedulian
terhadap dampak yang terjadi pada lingkungan. Dan penerapan EMA bukanlah hal
asing lagi di negara tersebut, bahkan setiap perusahaan wajib melakukan EMA dan
tiap tahun diadakan Audit Lingkungan atas perusahaan tersebut.
Menurut Purwanto (2007), awalnya sebuah
perusahaan akan menetapkan kebijakan yang berfokus pada hal – hal yang
cenderung berhubungan dengan dampak langsung dari proses bisnis suatu
perusahaan seperti membersihkan polusi yang ada dan mencoba untuk mengurangi
polusi dari sumber titik pembuangan, kemudian strategi manajemen berpindah
kearah modifikasi proses – proses produksi sehingga dapat meminimalkan jumlah
polusi yang dihasilkan.
Saat ini kerusakan alam dan pemanasan
global menjadi perhatian yang serius. Bumi sudah menunjukkan gejala – gejala
yang tidak sehat lagi seperti kondisi cuaca yang tidak normal, bencana alam,
dan lain sebagainya. Banyaknya tuntutan atas peraturan kepada perusahaan untuk
mengurangi dampak yang ditimbulkan terhadap lingkungan mengahruskan sebuah
perusahaan untuk menganut sebuah prinsip eco-efficiency yang artinya
perusahaan harus menghasilkan produk barang maupun jasa yang lebih bermanfaat
sekaligus mengurangi dampak lingkungan, penggunaan sumber daya yang berlebihan,
maupun efisiensi yang dihasilkan dari perbaikan kinerja. Peranan EMA memberikan
sebuah motivasi bagi manajer lingkungan dan bawahannya agar terpacu untuk
mengurangi biaya lingkungan yang ditimbulkan, yang mana akan berpengaruh
terhadap keputusan yang akan menjadi dasar eksistensi perusahaan di masa
mendatang.
Daljono (2004) mengemukakan bahwa
dalam mengelola perusahaan, manajer harus membuat keputusan yaitu
mempertimbangkan secara hati – hati dari berbagai alternatif tindakan dan
memilih tindakan terbaik untuk mencapai tujuan yang telah direncanakan. Alasan
yang mendasari mengapa sebuah organisasi dan akuntan harus peduli permasalahan
lingkungan. Menurut Ikhsan (2009), banyak para stakeholder perusahaan
baik dari sisi internal maupun eksternal menunjukkan peningkatan kepentingannya
terhadap kinerja lingkungan dari sebuah organisasi.
Adanya kebijakan di bidang lingkungan
inilah yang kemudian menjadi awal berkembangnya suatu konsep yang bertujuan
untuk menemukan solusi atas pemenuhan tujuan bisnis dan penyelesaian masalah
lingkungan yang dinamakan eco-efficiency. Eco-efficiency merupakan upaya
peningkatan efisiensi perusahaan dengan memperkecil output limbah melalui
proses produksi atau teknologi bersih lingkungan.
Environment Management Accounting (EMA) dapat digunakan
sebagai tolak ukur dalam membantu pengambilan keputusan manajemen lingkungan
dalam peningkatan sustainable perusahaan. EMA dibutuhkan oleh setiap perusahaan
untuk memberikan informasi kepada perusahaan berkaitan dengan kinerja
lingkungan perusahaan. EMA juga bertujuan untuk meningkatkan jumlah informasi yang
relevan bagi mereka yang memerlukan, sehingga dapat digunakan sebagai salah
satu indikator pengambilan keputusan.
Menurut Ikhsan (2009), keberhasilan
akuntansi lingkungan tidak hanya tergantung pada ketepatan dalam menggolongkan
semua biaya – biaya yang dibuat perusahaan. Akan tetapi kemampuan dan
keakuratan data akuntansi perusahaan dalam menekan dampak lingkungan yang
ditimbulkan dari aktivitas perusahaan. Penerapan akuntansi manajemen lingkungan
memberikan banyak manfaat bagi penggunanya. Salah satu manfaat akuntansi
manajemen lingkungan yaitu adanya inovasi yang dilakukan perusahaan untuk
mengurangi dampak lingkungan. Penerapan akuntansi manajemen lingkungan dapat
membantu manajer lingkungan untuk merencanakan produksi pembersih dan
mengidentifikasi cara – cara baru dan penghematan biaya serta memperbaiki
kinerja lingkungan pada waktu yang bersamaan. Penerapan lainnya adalah
memberikan informasi kepada manajer dalam mengidentifikasi biaya – biaya
lingkungan yang sering disembunyikan dalam akuntansi umum. Penelitian yang
menjadi acuan dari penelitian penulis adalah Ferreira, et al., (2009)
yang menguji pengaruh penerapan EMA dan strategi perusahaan terhadap inovasi
produk dan inovasi proses. Sampel dalam penelitian yang dilakukan Fereira
adalah perusahaan – perusahaan terbesar di Australia. Kategori perusahaan yang
diteliti adalah perusahaan yang bergerak di bidang manufaktur, kesehatan,
konstruksi, dan transportasi. Hasil analisis menunjukkan bahwa terdapat
hubungan positif antara penerapan EMA dan inovasi proses.
Belum banyaknya penelitian akuntansi
yang membahas penerapan EMA menjadi salah satu kendala dalam penelitian ini.
Maka dari itu, penelitian ini cenderung masih tergolong dalam fase awal atau
penelitian yang bersifat explanatory.
Berdasarkan argumen yang telah penulis
sebutkan, penelitian ini menjadi bukti bahwa penerapan EMA dapat memberikan
banyak manfaat bagi perusahaan. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan
pendekatan kuantitatif untuk menguji pengaruh EMA dan strategi sebagai inovasi.
Kemudian dilanjutkan dengan meneliti variabel – variabel lain dalam praktik
penggunaan EMA, apakah berpengaruh terhadap inovasi produk atau inovasi proses.
Melalui aktivitas – aktivitas
lingkungan dan aktivitas pada laporan tahunan menyebabkan pengguna laporan
keuangan (manajemen, investor, kreditor) akan mendapat informasi yang akan
membantu para pengguna informasi tersebut dalam pengambilan keputusan untuk
program perusahaan yang berkaitan dengan pelestarian lingkungan di masa yang
akan datang. Hal ini akan mempengaruhi persepsi positif pada masyarakat dan
pada akhirnya mereka akan memiliki kepercayaan terhadap perusahaan. Kepercayaan
masyarakat yang didapat oleh perusahaan pasti akan meningkatkan penjualan
produk yang dikeluarkan oleh perusahaan. Dengan adanya penerapan EMA pada
perusahaan, maka diharapkan lingkungan sekitar akan terjaga kelestariannya.
Belajar dari
Negara-Negara Maju
The Japan
Environmental Management Association for Industry (JEMAI) adalah salah satu wujud
nyata Jepang dalam memperhatikan dampak yang dihasilkan perusahaan atas
lingkungan hidup. Sejak berdirinya JEMAI pada tahun 1993, Organisasi Pemerintah
ini memiliki 700 perusahaan sebagai anggota termasuk perusahaan asing yang
berdiri di Negara ini. Ryuichi Tomizawa selaku ketua JEMAI mengatakan ada empat
hal yang menjadi perhatian utama organisasi ini, antara lain: (1) penilaian
lingkungan, (2) perkembangan teknologi, (3) survei untuk polusi udara dan air,
kebisingan, getaran, dan zat kimia berbahaya, dan (4) masalah lingkungan global.
Berbeda dengan JEMAI, Australia juga
memiliki organisasi yang mengatur secara khusus mengenai dampak lingkungan yang
dihasilkan perusahaan. Australian
Environmental Management (AEM) adalah suatu organisasi sumber daya dengan
membawa ide-ide dan teknologi “green
building” bagi perusahaan di Australia. Selain membawa ide-ide dan
teknologi berkaitan dengan lingkungan hidup, AEM juga memperhatikan Efisiensi
Energi, dan Recycling dengan cara
yang profesional.
Jepang dan Australia adalah beberapa
Negara yang sudah menerapkan perhitungan EMA sebagai bukti bahwa Negara
tersebut sudah memperhatikan kelestarian lingkungan hidup. Namun, setiap Negara
dalam menjalankan EMA memiliki pedoman dan peraturan yang berbeda. Perbedaan
ini disebabkan keadaan lingkungan dan geografis yang berbeda. Selain itu
jenis-jenis perusahaan juga memiliki dampak lingkungan yang berbeda. Oleh
karena perbedaan-perbedaan yang ada, International
Federation of Accountants (IFAC) juga telah membuat sebuah pedoman
yang bisa diterapkan secara internasional tentang EMA. Pedoman ini disusun pada
Agustus 2005.
Dalam kesempatan ini, peneliti ingin
menerapkan sistem EMA pada perusahaan yang berdiri di Indonesia. Selama ini
pelaksanaan bentuk tanggung jawab terhadap dampak lingkungan di Indonesia belum
berjalan secara maksimal. Hal ini ditandai dengan banyaknya kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh kegiatan
produksi perusahaan.
Environmental Management Accounting
(EMA)
EMA didefinisikan sebagai alat
analisis infomasi keuangan dan non-keuangan yang digunakan untuk mendukung
proses manajemen lingkungan hidup yang dilakukan oleh internal perusahaan.
Jadi dapat disimpulkan bahwa EMA
merupakan sebuah alat yang dapat menyajikan informasi bagi internal perusahaan
terkait dengan kegiatan pengelolaan kinerja lingkungan yang tepat dan praktis.
Dalam pelaksanaannya, EMA memiliki 5 kegiatan yang utama
product
pricing
budgeting
investment
appraisal
calculating
costs and
savings of
environmental projects, or setting quantified performance targets
2.4 Tujuan dan Manfaat Penggunaan EMA
2.4.1 Tujuan Penggunaan EMA
Tujuan EMA menurut Savage (2014) dapat
dirumuskan bahwa setiap pengambil keputusan dapat menggunakan informasi fisik
dan biaya dari EMA untuk membuat keputusan yang akan berdampak pada kinerja
lingkungan dan kunerja keuangan perusahaan. Sedangkan menurut IFAC (2005)
tujuan EMA adalah manajemen internal perusahaan dapat mengambil langkah-langkah
insiatif yang sangat baik menggunakan informasi yang diperoleh dari EMA.
Beberapa fokus lingkungan seperti, produk “hijau”, desain produk yang
menggunakan bahan ramah lingkungan. Selain itu EMA sering digunakan untuk
pelaporan eksternal.
Jadi, EMA lebih dari sekedar alat
pengelolaan lingkungan saja, tetapi EMA bisa menjadi sekumpulan prinsip dan
pendekatan yang menyediakan data penting untuk keberhasilan banyak kegiatan
pengelolaan lingkungan perusahaan. Dan sejak keputusan mengenai kegiatan
lingkungan dipengaruhi isu lingkungan, dengan adanya EMA setiap keputusan
mengenai kegiatan lingkungan dapat diambil secara objektif.
2.4.2 Manfaat Penggunaan EMA
Beberapa manfaat dari penggunaan EMA
antara lain:
Manfaat dari EMA untuk Perusahaan
adalah sebagai berikut:
Perusahaan mampu untuk lebih akurat
melacak dan mengelola penggunaan aliran energi dan material, termasuk volume
polusi/limbah, jenis, dan nasib
Perusahaan juga dapat
mengidentifikasi, mengestimasi, mengalokasikan, dan mengelola/mengurangi biaya,
terutama biaya yang terkait lingkungan
Perusahaan dapat hasil informasi yang
lebih akurat dan komprehensif untuk pengukuran dan pelaporan kinerja
lingkungan, sehingga citra perusahaan meningkat dengan para pemangku
kepentingan seperti pelanggan, masyarakat setempat, karyawan, pemerintah, dan
penyedia dana investasi.
Manfaat bagi Pemerintah ketika
Perusahaan menerapkan EMA
Semakin banyak industri yang dapat
mengaplikasikan program lingkungan atas dasar hukum dan peraturan yang sudah
diatur oleh pemerintah
Pelaksanaan EMA oleh industri harus
meningkatkan efektivitas kebijakan pemerintah/peraturan yang berlaku dengan
cara perusahaan mengungkapkan biaya lingkungan dan manfaat yang dihasilkan dari
kebijakan-kebijakan/peraturan tersebut.
Pemerintah dapat menggunakan
perusahaan yang sudah menerapkan EMA untuk dijadikan tolok ukur performa
kinerja perusahaan terhadap lingkungan serta penyusunan regulasi bagi
pemerintah.
Selain setiap manfaat menurut Savage
(2014), ada pula beberapa kegunaan dan manfaat dari EMA menurut IFAC (2005).
Beberapa kegunaan tersebut ditampilkan dalam tabel sebagai berikut:
Tabel 1.
Manfaat EMA Menurut
IFAC (2005)
Sumber: International Federation of
Accountants (2005)
2.5 Framework Environmental Management Accounting
Rerangka EMA berhubungan dengan dua
komponen utama manajemen lingkungan yaitu: monetary
environmental management accounting (MEMA) dan physical environmental management accounting (PEMA)
Berikut rerangka EMA yang dibedakan
menjadi MEMA dan PEMA dan perbedaan EMA dengan Environmental Accountin
Tabel 2.
Perbedaan MEMA dengan PEMA
Sumber:
Namun, selain dibedakan menjadi PEMA
dan MEMA saja, EMA masih memiliki rerangka lain yang mencakup dimensi yang
lebih luas. Ada lima dimensi yang membentuk multi-dimensi EMA
internal
versus external
physical
versus monetary classifications
past and
future timeframes
short and
long terms and
ad hoc versus
routine information gathering in the proposed framework for the application of
EMA.
Berikut tabel yang menggambarkan
multi-dimensi EMA:
Tabel 3.
Multi-dimensi EMA
Sumber:
2.6 Environmental Management Plans (EMP)
Environmental
Management Plans
(EMP) adalah alat yang menjelaskan secara terperinci mengenai, apa, siapa,
dimana, dan kapan manajemen lingkungan dan pengukuran akan diterapkan
2.7 Perhitungan EMA berdasarkan Environmental Accounting Guidelines Japan 2005
Setelah disusun EMP, dengan mengetahui
setiap rencana yang akan dilakukan untuk manajemen lingkungan, langkah
selanjutnya adalah melakukan perhitungan EMA berdasarkan Environmental Accounting Guidelines Japan.
2.7.1 Klasifikasi Biaya Konservasi
Lingkungan
Sebelum mempelajari cara perhitungan,
terlebih dahulu setiap biaya yang berhubungan dengan konservasi lingkungan akan
diklasifikasikan. Dalam hal ini, biaya dikategorikan berdasarkan aktivitas
konservasi. Ada enam jenis biaya antara lain:
Business Area
Cost
Biaya ini digunakan untuk aktivitas
pengurangan dampak lingkungan yang mungkin terjadi ketika bisnis dijalankan.
Dalam hal ini, perusahaan memiliki hak untuk mengatur secara langsung dampak
yang terjadi atas lingkungan di area perusahaan. Selanjutnya, biaya akan dibagi
menjadi tiga lagi yaitu:
Pollution
Prevention Cost
Biaya ini dibentuk sebagai wujud usaha
perusahaan mengurangi dampak lingkungan seperti penerapan fasilitas yang
difungsikan sebagai tindakan pencegahan dan pengurangan polusi udara. Berikut
klasifikasi bentuk Pollution Prevention
Cost:
1) Cost for
preventing air pollution (including acid rain)
2) Cost for
preventing water pollution
3) Cost for
preventing ground contamination
4) Cost for
preventing noise pollution
5) Cost for
preventing vibration pollution
6) Cost for
preventing odor pollution
7) Cost for
preventing ground sinkage
8) Cost for
preventing other types of pollution
Global
Environmental Conservation Cost
Biaya
konservasi lingkungan global adalah biaya-biaya yang terkait dengan dampak
negatif lingkungan terhadap lingkungan global, yang dihasilkan dari aktivitas
manusia. Biaya ini dibagi menjadi tiga kategori antara lain:
1) Cost for
preventing global warming and energy conservation
2) Cost for
preventing the ozone depletion
3) Cost for
other global environmental conservation activities
Resourece
Circulation Cost
Biaya ini didefinisikan sebagai biaya
yang dikeluarkan yang digunakan untuk biaya biaya berkelanjutan. Upaya
sirkulasi sumber daya termasuk penertiban pembuangan sampah, pemanfaatan siklus
sumber daya bisa digunakan terlepas dari nilai pasar (daur ulang, daur ulang
termal), dan pembuangan limbah yang tidak disirkulasikan. Biaya ini dibagi lagi
menjadi enam jenis yaitu:
1) Cost for
the efficient utilization of resources
2) Cost for
recycling industrial waste
3) Cost for
recycling municipal waste
4) Cost for
disposal of industrial
5) Cost for
disposal of municipal waste
6) Cost
contributing to resource circulation
Upstream/Downstream
Cost
Biaya upstream merupakan biaya yang digunakan sebagai upaya untuk
mengurangi dampak lingkungan yang dibuat sebelum terjadi input barang dan jasa
ke daerah-daerah bisnis, serta biaya yang terkait dengan upaya-upaya tersebut.
Sedangkan biaya downstream merupakan
biaya yang digunakan sebagai upaya untuk mengurangi dampak lingkungan yang
dibuat setelah barang dan jasa telah dikeuarkan dari bidang bisnis, serta biaya
yang terkait dengan upaya-upaya tersebut. Berikut adalah gambar yang
menjelaskan mengenai biaya upstream/downstream
Gambar 1.
Diagram Alir biaya upstream/downstream
Sumber:
Administration
Cost
Biaya administrasi adalah biaya yang
digunakan untuk kegiatan pengelolaan yang dilakukan oleh perusahaan dan
organisasi lain untuk kegiatan konservasi lingkungan. Jenis biaya ini termasuk
usaha yang secara tidak langsung berkontribusi untuk mengurangi dampak
lingkungan yang dihasilkan melalui kegiatan bisnis, dan biaya yang dilakukan
sebagai upaya terjadinya komunikasi antara masyarakat dengan perusahaan dan
organisasi lain seperti untuk pengungkapan informasi lingkungan. Biaya ini
dibagi menjadi lima yaitu:
Cost for the
implementation and maintenance of an environmental management system
Cost for
disclosure of environmental information associated with business activities and
environmental advertising
Cost for
monitoring environmental impact
Cost for
environmental training of employees
Cost for
environmental improvement activities, such as nature conservation, greening,
beautification, and landscape preservation, at or in the vicinity of the
business site
Research and
Development Cost
Biaya ini merupakan pengeluaran untuk
kegiatan penelitian dan pengembangan yang dialokasikan untuk konservasi
lingkungan. Ada tiga jenis biaya R&D antara lain:
R&D cost
to develop products that contribute to environmental conservation
R&D cost
to curtail environmental impact at the product manufacturing stage
Other R&D
cost associated to the curtailment of environmental impact at the distribution
stage or the marketing stage of products
Social
Activity Cost
Biaya kegiatan sosial adalah biaya
yang berkaitan dengan konservasi lingkungan yang dilakukan untuk kebaikan
berbagai kalangan masyarakat. Hal ini dianggap sebagai upaya konservasi
lingkungan yang terdiri dari kegiatan sosial tanpa hubungan langsung dengan
kegiatan dari perusahaan atau organisasi lainnya. Ada tiga jenis biaya ini
antara lain:
Cost for
environmental improvement activities, including nature conservation, planting
of greenery, beautification and landscape preservation, with the exception of
the business site
Cost related
to donation or financial support of environmental groups
Cost
associated with various social activities, such as the financial support of a
local community’s environmental conservation activities and the disclosure of
information to the local community
Environmental
Remediation Cost
Biaya Perbaikan lingkungan
dialokasikan untuk pemulihan dari kerusakan lingkungan akibat kegiatan usaha.
Biaya ini terdiri dari tiga jenis yaitu:
Cost to
restore the natural environment back to its original state
Cost to cover
degradation suits connected with environmental conservation
Provisions or
insurance fees to cover degradation to the environment
2.7.2 Metoda Pehitungan Biaya
Konservasi Lingkungan
Berikut beberapa metoda yang digunakan
untuk perhitungan biaya konservasi lingkungan
Biaya diklasifikasikan sebagai biaya
langsung
Biaya diklasifikasikan sebagai biaya
langsung selanjutnya digabungkan sebagai biaya konservasi lingkungan.
Biaya Kompleks
Aggregating
the difference
Penggabungan biaya selain dari biaya
observasi lingkungan yang sudah dibebankan sebelumnya
Cost
Allocation
Dalam keadaan di mana jumlah barang
dan jasa yang diperlukan sebagai dasar untuk perbandingan dalam perbedaan
agregasi tidak dapat dipastikan secara jelas, metode agregasi alokasi,
berdasarkan standar yang tetap, dapat digunakan untuk acuan.
Rational Cost
Aggregation
Dalam keadaan dimana perbedaan
agregasi tidak dapat digunakan, alokasi agregasi harus dilakukan sesuai dengan
metode proporsi wajar ditentukan berdasarkan tujuan pengeluaran. Metode yang
wajar harus ditentukan dengan mempertimbangkan isi dari subyek kegiatan
konservasi lingkungan, karakteristik biaya konservasi lingkungan, jenis dampak
lingkungan, dan lain sebagainya.
Allocation
Based in Simple Methods
Ketika perbedaan agregasi maupun
alokasi agregasi berdasarkan metode yang wajar tidak dapat digunakan, alokasi
agregasi harus dilakukan melalui penentuan tingkat alokasi biaya sederhana.
Metode sederhana ditetapkan berdasarkan asumsi korelasi, dan oleh karena itu
konten utama dari standar dan tempat dari asumsi yang dibuat harus dicatat.
Aplikasi dan Implikasi dalam
Bisnis: Tujuan EMA dan Manfaat bagi Industri
Tujuan dari EMA adalah untuk
meningkatkan jumlah informasi relevan yang dibuat bagi mereka yang memerlukan
atau dapat menggunakannya. Keberhasilan EMA tidak hanya tergantung pada
ketepatan dalam menggolongkan semua biaya-biaya yang dibuat perusahaan. Akan tetapi
kemampuan dan keakuratan data akuntansi perusahaan dalam menekan dampak
lingkungan yang ditimbulkan dari aktifitas perusahaan.
Tujuan lain dari pentingnya
pengungkapan akuntansi lingkungan berkaitan dengan kegiatan-kegiatan konservasi
lingkungan oleh perusahaan maupun organisasi lainnya yaitu mencakup kepentingan
organisasi publik dan perusahaan-perusahaan publik yang bersifat lokal.
Pengungkapan ini penting terutama bagi para stakeholders untuk dipahami,
dievaluasi, dan dianalisis sehingga dapat memberi dukungan bagi usaha mereka.
Oleh karena itu, akuntansi lingkungan selanjutnya menjadi bagian dari suatu
sistem sosial perusahaan.
Biaya yang terkait dengan pengelolaan
lingkungan sangat banyak sehingga harus diperhitungkan dengan benar agar tidak
terjadi kesalahan dalam pengambilan keputusan. Biaya yang terkait umumnya
meliputi biaya pengelolaan limbah, biaya material dan energi, biaya pembelian
material dan energi, serta biaya proses.
Berikut ini merupakan hal – hal
mengapa EMA bermanfaat bagi industri.
1. Kemampuan secara akurat meneliti
dan mengatur penggunaan bahan-bahan, termasuk polusi / sisa volume,
jenis-jenis lain dan sebagainya.
2. Kemampuan mengidentifikasi,
mengestimasi, mengalokasikan, mengatur atau mengurangi biaya-biaya, khususnya
biaya yang berhubungan dengan lingkungan.
3. Informasi yang lebih akurat dan
lebih menyeluruh dalam mendukung penetapan dari dan keikutsertaan di dalam
program-program sukarela, penghematan biaya untuk memperbaiki kinerja
lingkungan.
4. Informasi yang menyeluruh untuk
mengukur dan melaporkan kinerja lingkungan, seperti meningkatkan citra
perusahaan pada stakeholder, pelanggan, masyarakat lokal, karyawan,
pemerintah, dan penyedia keuangan.
2.3 Strategi
Bisnis
Anthony (1965) mengungkapkan bahwa
penerapan EMA dalam suatu organisasi kemungkinan akan dipengaruhi oleh strategi
bisnis. Sistem pengendalian manajemen (SPM) memastikan bahwa manajer menggunakan
sumber daya yang tersedia efektif dan efisien dalam mencapai tujuan organisasi.
Miles & Snow (1978) dalam Ferreira
et al., (2009) membagi empat tipologi strategi perusahaan, yaitu prospector,
defender, analyzer dan reaction. Prospector merupakan
strategi yang mengidentifikasi dan mengembangkan produk baru serta memanfaatkan
peluang pasar, sedangkan defender adalah strategi yang cenderung
mempertahankan pasar yang telah dicapai dan produk yang stabil dengan harga
yang murah (low cost leadership).
Gosselin (1997) dalam Ferreira (2009)
menemukan bahwa strategi prospektor dikaitkan dengan penerapan kegiatan
manajemen. Disimpulkan bahwa jenis strategi yang diikuti oleh organisasi
menentukan kebutuhan inovasi berkaitan dengan kegiatan pengelolaan dan mengamati
bahwa organisasi yang mengejar strategi prospektor cenderung mengadopsi
akuntansi inovasi. Tahap awal relatif adopsi dan implementasi EMA dan fakta
bahwa itu adalah fenomena baru yang cukup, mendukung pandangan EMA sebagai
contoh inovasi akuntansi.
Menurut Gosselin (1997) dalam Ferreira
et al., (2009) penggunaan EMA kemungkinan lebih besar dalam organisasi
melakukan strategi prospektor karena dapat membantu mereka dengan tujuan mereka
yang inovatif. Keberhasilan di dalam menghubungkan manajemen biaya stratejik
terhadap akuntansi lingkungan akan bergantung pada setidaknya lima faktor
berikut.
1. Motivasi untuk perlindungan
lingkungan dan atau inisiatif pencegahan polusi
2. Sebuah prosedur sistematis untuk
pengidentifikasian biaya.
3. Dapat dicapai tetapi menuntut
tujuan dan sasaran.
4. Integrasi dari berbagai strategi
perusahaan pada organisasi secara keseluruhan.
5. Sistem pelaporan menyediakan sebuah
pengawasan dan koreksi sistem umpan balik untuk strategi
Sejak tahun 1970, tekanan
undang-undang lingkungan terus meningkat dan secara luas berdampak terhadap
biaya-biaya yang melekat pada regulasi. Pada tahun 1990, perusahaan terus
meningkatkan temuannya dalam beberapa hal yang dapat menciptakan nilai untuk
para pemegang saham dan pelangan mereka dengan cara memenuhi regulasi yang ada.
Isu-isu lingkungan secara langsung maupun tidak, telah masuk dalam performa
ekonomi suatu kegiatan maupun organisasi.
2.4 Biaya
Lingkungan
Ketidaktepatan alokasi biaya
lingkungan sebagai biaya tetap menyebabkan biaya lingkungan tersembunyi dalam
biaya umum pada saat diperlukan. Hal ini akan menjadi sulit untuk menelusuri
biaya sebenarnya dari proses, produk atau lini produksi tertentu. Jika biaya
umum dianggap tetap, biaya limbah sesungguhnya merupakan biaya variabel yang
mengikuti volume limbah yang dihasilkan berbanding lurus dengan tingkat
produksi.
Perusahaan dapat menghitung biaya
limbah sebagai biaya pengolahan ditambah biaya pembelian bahan baku. Sehingga
biaya limbah yang dikeluarkan lebih besar daripada biaya yang selama ini
diperhitungkan. Dan dapat meminimalisirkan pemakaian bahan agar tidak terbuang
percuma dan akhirnya menjadi limbah.
Perusahaaan bisa meminimalisirkan
dengan biaya yang diperkecil. Biaya lingkungan dalam perusahaan sangat perlu
diperhatikan untuk meminimalisirkan permasalahan lingkungan yang berakibat juga
terhadap perusahaan. Biaya lingkungan berhubungan dengan kreasi, deteksi,
perbaikan, dan pencegahan degradasi lingkungan. Dengan definisi ini, biaya
lingkungan dapat diklasifikasikan menjadi empat kategori.
1. Biaya pencegahan (prevention
cost)
Biaya - biaya untuk aktivitas yang
dilakukan untuk mencegah diproduksinya limbah atau sampah yang dapat
menyebabkan kerusakan lingkungan. Contoh-contoh aktivitas pencegahan adalah
evaluasi dan pemilihan pemasok, evaluasi dan pemilihan alat untuk mengendalikan
polusi, desain proses dan produk untuk mengurangi atau menghapus limbah,
melatih pegawai, mempelajari dampak lingkungan, pelaksanaan penelitian
lingkungan, pengembangan sistem manajemen lingkungan, daur ulang produk, dan
pemerolehan sertifikasi ISO 14001.
2. Biaya deteksi lingkungan (environmental
detection cost)
Biaya - biaya untuk aktivitas yang
dilakukan untuk menentukan apakah produk, proses dan aktivitas lainnya di
perusahaan telah memenuhi standar lingkungan yang berlaku atau tidak. Standar
lingkungan dan prosedur yang diikuti oleh perusahaan didefinisikan dalam tiga
cara yaitu peratuan pemerintah, standar sukarela (ISO 14001) yang dikembangkan
oleh International Standards Organization, dan kebijakan lingkungan yang
dikembangkan oleh manajemen. Contoh-contoh aktivitas deteksi adalah audit
aktivitas lingkungan, pemeriksaan produk dan proses agar ramah lingkungan,
pengembangan ukuran kinerja lingkngan,pelaksanaan pengujian pencemaran, verifikasi
kinerja lingkungan dari pemasok, dan pengukuran tingkat pencemaran.
3. Biaya kegagalan internal lingkungan
(environmental internal failure cost)
Biaya - biaya untuk aktivitas yang
dilakukan karena diproduksinya limbah dan sampah, tetapi tidak dibuang ke
lingkungan luar. Jadi, biaya kegagalan internal terjadi untuk menghilangkan dan
mengolah limbah dan sampah ketika diproduksi. Aktivitas kegagalan internal
bertujuan untuk memastikan bahwa limbah dan sampah yang diproduksi tidak
dibuang ke lingkungan luar dan untuk mengurangi tingkat limbah yang dibuang
sehingga jumlahnya tidak melewati standar lingkungan. Aktivitas kegagalan
internal misalnya pengoperasian peralatan untuk mengurangi atau menghilangkan
polusi, pengolahan dan pmbuangan lmbah beracun, pemeliharaan peralatan polusi,
lisensi fasilitas untuk memproduksi limbah, dan daur ulang sisa bahan.
4. Biaya kegagalan eksternal
lingkungan (environmental external failure cost)
Biaya untuk aktivitas yang dilakukan
setelah melepas limbah atau sampah ke dalam lingkungan.
5. Biaya kegagalan eksternal yang
direalisasi (realized external failure cost)
Biaya yang dialami dan dibayar oleh
perusahaan. Biaya eksternal yang tidak direalisasikan (unrealized external
failure cost) atau biaya social (societal cost), disebabkan oleh
perusahaan tetapi dialami dan dibayar oleh pihak- pihak di luar perusahaan.
Biaya sosial lebih lanjut dapat diklasifikasikan sebagai biaya yang berasal
dari degradasi lingkungan dan biaya yang berhubungan dengan dampak buruk
terhadap properti atau kesejahteraan masyarakat.
2.4.1
Membebankan Biaya Lingkungan
Produk dan proses merupakan
sumber-sumber biaya lingkungan. Proses yang memproduksi produk dapat
menciptakan residu padat, cair, dan gas yang selanjutnya dilepas ke lingkungan.
Residu ini memiliki potensi mendegradasi lingkungan. Dengan demikian, residu
merupakan penyebab biaya kegagalan lingkungan internal dan eksternal misalnya, investasi
pada peralatan untuk mencegah penyebaran residu ke lingkungan dan pembersihan
residu setelah memasuki lingkungan. Pengemasan juga merupakan sumber biaya
lingkungan.
2.4.2 Biaya
Produk Lingkungan
Biaya lingkungan dari proses yang
memproduksi, memasarkan, dan mengirimkan produk serta biaya lingkungan pasca
pembelian yang disebabkan oleh penggunaan dan pembuangan produk merupakan
contoh-contoh biaya produk lingkungan. Pembebanan biaya lingkungan pada produk
dapat menghasilkan informasi manajerial yang bermanfaat. Dengan membebankan
biaya lingkungan secara tepat, maka akan diketahui apakah suatu produk
menguntungkan atau tidak. Jika tidak menguntungkan, produk tersebut dapat
dihentikan guna mencapai perbaikan yang signifikan dalam kinerja lingkungan dan
efisiensi ekonomi.
2.4.3 Target
Costing
Target costing merupakan penentuan biaya
yang diharapkan untuk suatu produk berdasarkan harga yang kompetitif sehingga
produk tersebut memperoleh laba sesuai yang diharapkan. Perusahaan mempunyai
dua pilhan untuk menurunkan biaya sampai pada target biaya yaitu.
1. Mengintegrasikan teknologi
manufaktur baru, menggunakan teknik-teknik manajemen biaya yang canggih dan
mencari produktivitas yang lebih tinggi melalui perbaikan organisasi dan
hubungan tenaga kerja, perusahaan akan dapat menurunkan biaya. Pendekatan ini
diimplementasikan dengan menentukan biaya standar (standart costing).
2. Dengan melakukan desain ulang
terhadap produk atau jasa, perusahaan dapat menurunkan biaya sampai mencapai
level target biaya (target costing). Metode ini lebih umum karena
mengakui bahwa keputusan desain mempunyai pengaruh yang besar terhadap total
biaya selama siklus hidup produk. Dengan memberi perhatian yang cermat pada
desain dimungkinkan untuk menurunkan biaya total secara signifikan.
2.5 Inovasi
Perusahaan
Beberapa ahli menyatakan bahwa inovasi
merupakan salah satu jaminan untuk perusahaan atau organisasi dalam
meningkatkan daya saingnya. Salah satunya Drucker dalam Raka (2011) yang
mengatakan bahwa inovasi merupakan sebuah kebutuhan dan harus menjadi sebuah
disiplin. Inovasi secara umum merupakan aspek penting dari banyak usaha yang
dapat berperan untuk mendapatkan keunggulan kompetitif (Porter, 1985).
Konsep inovasi memunyai sejarah yang
panjang dan pengertian yang berbeda-beda, terutama didasarkan pada persaingan
antar perusahaan dan strategi yang berbeda yang diterapkan perusahaan itu
sendiri. Schumpeter (1949) dalam Hermana menyebutkan bahwa inovasi terdiri dari
lima unsur sebagai berikut.
1. Memperkenalkan produk baru atau
perubahan kualitatif pada produk yang sudah ada
2. Memperkenalkan proses baru ke
industri
3. Membuka pasar baru
4. Mengembangkan sumber pasokan baru
pada bahan baku atau masukan lainnya
5. Perubahan pada organisasi indutri
Referensi
Arikunto, S. (2002). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek.
Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Burritt, R. L., Hahn,
T., & Schaltegger, S. (2002). Towards A Comprehensive Framework For
Environmental Management Accounting – Links Between Business Actors And EMA
Tools. . Australian Accounting Review, 39-50.
Department of
Infrastructur, P. a. (2004, May 28). Guidelines Environmental Management
Plans. Retrieved from www.dipnr.nsw.gov.au
IFAC. (2005). International
Guidance Document: Environmental Management Accounting. New York: The
International Federation of Accountants.
Indriantoro, N.,
& Supomo, B. (2009). Metodologi Penelitian Bisnis: Untuk Akuntansi dan
Manajemen. Yogyakarta: BPFE.
Japanese Ministry of
the Environment. (2005, May 28). Environmental Accounting Guidelines.
Tokyo. Retrieved from http://www.env.go.jp/en/policy/ssee/eag05.pdf
Johnson, S. (2004,
June 1). Environmental Management Accounting.
Salim, A. (2006). Teori
dan Paradigma Penelitian Sosial. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Savage, D. D. (2014,
May 27). Retrieved from Ministry of the Environment Goverment of Japan:
http://www.env.go.jp/en/
Solihin, I. (2009).
In Corporate social responsibility: from charity to sustainability.
Penerbit Salemba Empat.
Sugiyono. (2009). Metoda
Penelitian Bisnis. Bandung: Alfabeta.
Tomizawa, R. (2014,
May 23). Retrieved from Japan Environmental Management Association for
industry: http://www.jemai.or.jp/english/#1
Yin, R. K. (2009). Case
Study Research: Design and Methods. London: Sage Publisher.
Andayani, (2003), Tanggung Jawab
Lingkungan Dan Informasi Biaya Lingkungan Dalam Pengambilan Keputusan
Manajemen, Surabaya : Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Indonesia (Stiesia)
Cahyandito, M.. 2009 . Environmental
Management Accounting (EMA) (Akuntansi Manajemen Lingkungan). Bandung :
Universitas padjajaran.
Cahyono. 2002. Peran Akuntan Dan
Akuntansi Dalam Environmental Management System (Ems). Media Akuntansi Edisi 25
(Mei).
Gale, J.P. & Stokoe. 2001.
Environmental cost accounting and business strategy, in chris madu (Ed.).
Handbook of environmentally conscious manufacturing. Victoria: Kluwer Academic
Publishers.
Ghozali. (2005).”Aplikasi Analisis
Multivariate dengan Program SPSS”. Semarang : Badan Penerbitan Universitas
Diponegoro.
Ikhsan. 2008. Akuntansi Lingkungan dan
Pengungkapannya. Yogyakarta: Graha Ilmu Harahap sofyan syafari. Teori
akuntansi. 2009. Jakarta. Penerbit : Raja wali pres Bastian indra.
Ikhsan. 2009. Akuntansi Manajemen
Lingkungan . Yogyakarta : Graha Ilmu.
L. Singgih, Pengukuran Dampak Lingkungan
Menggunakan Environmental Management Accounting (Ema), Surabaya: Jurnal Ilmiah
Jurusan Teknik Industri Institut Teknologi Sepuluh Nopember
Porter, E Michael. 2008. Competitive
Advantage (Keunggulan Bersaing ). Dialih bahasakan oleh Saputra Lyndon dan
Sigit Suryanto. Tangerang : Karisma Publishing Group. 40
Sahasrakirana
Widya, Evaluasi Peran Akuntansi Lingkungan Untuk Mendukung Keputusan Manajemen
Lingkungan Dalam Mencapai Sustainability Perusahaan (Pt Sahabat Mewah Dan
Makmur), Jakarta : Jurnal Ilmiah Mahasiswa Universitas Bina Nusantara.
Singgih.Moses L. 2006.
Pengukuran dampak lingkungan menggunakan Environmental Management Accounting
(EMA). Surabaya: Institut Teknologi Sepuluh Nopember.
Sugiyono, Prof. Dr.
(2004). Statistik Nonparametiik Untuk Penelitian. Bandung : Penerbit CV.
Alfabeta.
Sugiyono. 2012.
Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta.
Sundjaja, Ridwan S.
Dan Barlian, Inge. 2002. Manajemen keuangan Dua, Edisi Keempat, Literata Lintas
Media, Jakarta.
Tanzil. J. 2012. Environmental
Management Accounting. Diakses pada tanggal 01 april 2013 dari
http://www.jtanzilco.com/main/index.php/mission-and-vision/656
environmentalmanagementaccounting
Robert, D. & Stephanus, D.S. 2014.
Penerapan Dan Analisis Pengaruh Environmental
Management Accounting (Ema). Proposal
Skripsi. Universitas Ma Chung. Malang
Oktiviana, D. & Stephanus, D.S.
2014. Analisis Pengaruh Penerapan Environment
Management Accounting Dan Strategi Terhadap Inovasi Perusahaan . Proposal Skripsi. Universitas Ma Chung.
Malang
Nugroho, O.C. &
Stephanus, D.S. 2014. Studi Empiris
Pengaruh Manajemen Laba
(Earnings
Management), Corporate Governance, Ukuran Perusahaan (Size), Leverage,
Dan
Profitabilitas
Terhadap Pengungkapan Tanggung Jawab Sosial Dan Lingkungan
Perusahaan. Proposal
Skripsi. Universitas
Ma Chung. Malang
Puspita, M. E. & Stephanus,
D.S. 2014. Pengaruh
Pengungkapan Corporate Social Responsibility, Global Reporting Initiatives Dan
Iso 26000 Terhadap Nilai Perusahaan Sektor Pertambangan. Proposal Skripsi. Universitas Ma Chung.
Malang
Endiarto, O.T. &
Stephanus, D. S. 2014. Analisis
Pengaruh Kinerja Lingkungan
Terhadap
Nilai Perusahaan Yang Terdaftar Di Index Sri Kehati .Proposal
Skripsi. Universitas Ma Chung. Malang
Saputra, N.
A. & Stephanus, D.S. 2014. Pengaruh Pengungkapan Corporate Social
Resposibility Dan Global Reporting Initiatives Terhadap Nilai
Perusahaan Pada Perusahaan Yang Tercatat Di Indeks Sri-Kehati 2010—2012. Skripsi. Universitas Ma Chung. Malang
.
SERI
#9: AUDIT LINGKUNGAN
Pengertian Audit Lingkungan
Audit lingkungan merupakan instrumen
berharga untuk memverifikasi dan membantu
penyempurnaan kinerja lingkungan Audit
perlu dilakukan secara berkala, untuk menentukan apakah sistem yang dilaksanakan
sudah sesuai dengan pengaturan yang direncanakan dan telah dijalankan dan
dipelihara secara benar, yang pelaksanaannya tergantung dari pentingnya masalah
lingkungan bagi kegiatan perusahaan dan hasil audit sebelumnya.
Definisi dan
Konsep Audit Lingkungan
BerdasarkanKep.Men.LHNo.42Tahun1994:
Suatualatmanajemenyangmeliputievaluasisecarasistematik,terdokumentasi,periodik,danobyektif,tentangbagaimanasuatukinerjaorganisasi,sistemmanajemen,danperalatanyangdigunakan,dengantujuanmemfasilitasikontrolmanajementerhadapupayapengendaliandampaklingkungandanpengkajianpenataankebijaksaaanusahaataukegiatanterhadapperaturanperundang-undangantentangpengelolaanlingkungan
BerdasarkanUUNo.23tahun1997:
Suatuprosesevaluasiyangdilakukanpenanggungjawabusahadanataukegiatanuntukmenilaitingkatketaatanterhadappersyaratanhukumyangberlakudanataukebijaksanaandanstandaryangditetapkanolehpenanggungjawabusahaataukegiatanyangbersangkutan.
Menurut US EPA:
“Audit lingkungan merupakan suatu
pemeriksaan yang sistematis,
terdokumentasi, periodic dan obyektif
berdasarkan aturan yang tersedia
terhadap fasilitas operasi dan praktek
yang berkaitan dengan pentaatan
kebutuhan lingkungan”.
Menurut SML ISO/SNI 14010:
“Suatu proses verifikasi tersistemasi
dan terdokumentasi untuk memperoleh
dan mengevaluasi bukti secara obyektif
untuk menentukan apakah SML
dari organisasi sesuai dengan kriteria
audit SML yang dibuat organisasi,
dan untuk mengkomunikasikan hasil
proses ini kepada manajemen”.
Fungsi Audit Lingkungan
1. Upayapeningkatanpenaatansuatuusahaterhadapperaturanperundang-undanganlingkungan.
2.Dokumensuatuusahatentangpelaksanaanstandaroperasi,prosedurpengelolaan,danpemantauanlingkungantermasuktanggapdarurat
3.Jaminanuntukmenghindariperusakanataukecenderungankerusakanlingkungan
4.BuktikeabsahanprakiraandampakdanpenerapanrekomendasiyangtercantumdalamdokumenAmdal
5.Upayaperbaikanpenggunaansumberdaya
6.Upayauntukmeningkatantindakanyangtelahdilaksanakan/yangperludilaksanakanolehsuatuusahauntukmemenuhikepentinganlingkungan
Manfaat Audit
Lingkungan:
1.Mengidentifikasiresikolingkungandanpengelolaannya
2.Menjadidasarbagipelaksanaankebijaksanaanpengelolaanlingkungan
3.Menghindarikerugianfinansial
4.Mencegahtekanansanksihukumterhadapsuatuusaha
5.Membuktikanpelaksanaanpengelolaanlingkungan
6.Meningkatkankepedulianpimpinandanstafterhadapkebijakandantanggungjawablingkungan
7.Mengidentifikasikemungkinanpenghematanbiaya
8.Menyediakaninformasiyangmemadaibagikepentinganusaha
9.Menyediakanlaporanauditlingkungan
Sasaran Audit
Lingkungan:
1. Pengembangan
kebijakan lingkungan
2.Penaatan terhadap
regulasi, lisensi, dan standar
3.Review tentang
tindakan manajemen dan operasi perusahaan
4.Meninimisasi resiko
lingkungan
5.Efisiensi penggunaan
energi dan sumberdaya alam
6.Perbaikan kondisi
kesehatan dan keselamatan kerja
7.Pengembangan
aktivitas pasca-Amdal
8.Penyediaan informasi
untuk asuransi, merger, dan disinvesment
9.Pengembangan citra
“Hijau” untuk perusahaan
Ruang Lingkup Audit
Lingkungan
1. Membahas
sejarahataurangkaiansuatuusaha,ronadankerusakanlingkunganditempatusahatsb,pengelolaandanpemantauanyangdilakukan,sertaisulingkunganyangterkait
2.Perubahanronalingkungan
3.Penggunaaninputdansumberdayaalam,prosesbahandasar,bahanjadi,danlimbah,termasuklimbahB3
4.Identifikasipenanganandanpenyimpananbahankimia,B3,sertapotensikerusakanyangmungkintimbul
5.Kajianresikolingkungan
6.Sistemkontrolmanajemen,rutepengangkutanbahandanpembuanganlimbah
7.Efektifitasalatpengendalianpencemaran
CatatantentanglisensipembuanganlimbahdanpenaatanperUU
9. Penaatan terhadap
hasil dan rekomendasi AMDAL (RPL&RKL)
10. Perencanaan dan
prosedur standar operasi keadaan darurat
11. Rencana minimisasi
limbah dan pengendalian pencemaran lingkungan
12. Penggunaan energi,
air, dan sumberdaya alam lainnya
13. Program daur ulang
14. Peningktan
kemampuan sumberdaya manusia dan kepedulian lingkungan
JENIS-JENIS AUDIT LINGKUNGAN:
Audit Manajemen
Lingkungan
2.Audit Penaatan
Lingkungan
3.Audit Fasilitas
Teknik
4.Audit Amdal
5.Audit Tanggung jawab
6.Audit Pemasaran
Lingkungan
7.Audit Hemat Energi
8.Audit Minimisasi
Limbah
9.Audit Lingkungan
Komprehensif
KUNCI KEBERHASILAN AUDIT LINGKUNGAN
Audit lingkungan dapat
disusun dengan baik bila ada :
1.Dukungan pihak
pimpinan
2.Partisipasi banyak
pihak
3.Kemandirian dan
obyektivitas auditor
4.Kesepakatan tentang
tata laksana dan lingkup yang diaudit
METODOLOGI AUDIT LINGKUNGAN
Daftar isi (Table of
Content)
2.Daftar Uji Sederhana
(Checklist)
Carainidipilihjikatelahmemilikiinformasiataudatayangcukupbanyak.Informasiparameteryangdiauditdiberikandengandataataudeskriptif.Seluruhanggotatimdimintaipendapatnyadankemudiandibuatdaftar(list).Daftarinikemudiandiujiolehtimauditor
3.Questionare
QuestionerMemberikan
arahan dan petunjuk kepada auditor dalam mengidi daftar pertanyaan dan atau
cara mengajukan pertanyaanPada metode ini, jawaban pertanyan sudah tersedia.
Contoh bentuk jawabab yang disediakan pada metode ini:
1.Jawaban pertanyaan
langsung menunjukkan perbedaan secara jelas dalam bentuk: “yes/no/unknown”
2.Jawaban menunjukkan
tingkat implementasi:
-No action/not yet been
taken
-Action on progress
-Limited presence
-Adequate presence
-Not appleciable
4.Pedoman (Guideline)
5.Sistem Peringkat
(Rating System)
PeringkatBentuk dasar:
daftar pertanyaan dan pemberian nilai (skor)Contoh:Berdasarkan tingkat nilai
implementasi/keberadaan:
-Nilai 5 : telah
dilaksanakan semua
-Nilai 1-3 : baru
dilaksanakan sebagian
-Nilai 0 : belum
dilaksanakan
Perbedaan Audit Lingkungan dengan AMDAL
Audit Lingkungan |
Amdal |
Dibuat untuk kegiatan
pembangunan yang sedang berjalan |
Dibuat untuk rencana
kegiatan pembangunan |
Dibuat berkali-kali
(periodik) |
Dibuat hanya 1 kali |
Untuk telaah masalah
yang sedang dihadapi (terbatas pada masalah yang dihadapi) |
Untuk perkiraan
potensi dampak lingkungan secara total |
Dilaksanakan
berdasarkan Kep.No.42/MENLH/1994 dan format teknis sesuai tujuan audit
lingkungan |
Dilaksanakan
berdasarkan PP 08/ 2001 dan peraturan pelaksanaannya |
Sukarela, insentif,
dan disentif |
Wajib (Mandatory) |
Rahasia |
Terbuka |
KEUNTUNGAN DAN KERUGIAN AUDIT
Program audit dapat bersifat
menguntungkan dan merugikan.
Pada sisi yang positif, program audit
dapat menghasilkan sejumlah keuntungan
yang berarti, termasuk diantaranya :
Menimbulkan
pentaatan yang lebih baik; dengan melakukan audit lingkungan
maka manajer perusahaan akan menjadi
lebih taat akan peraturan dan
standar yang berlaku.
Menimbulkan
lebih sedikit kejutan; dengan adanya audit lingkungan ini maka
segala sesuatu yang ada di lokasi
perusahaan terpantau secara baik
sehingga jika ada hal yang menyimpang
atau kurang tepat dapat diketahui
sedini mungkin.
Menimbulkan
lebih sedikit denda dan gugatan; dengan adanya program audit
maka diharapkan bahwa perusahaan
berjalan/ dioperasikan sesuai dengan
peraturan dan standar yang berlaku
sehingga dapat menghindari denda
akibat kelalaian pengoperasian dan
gugatan dari pihak yang bersengketa.
Menimbulkan
persepsi yang lebih baik kepada masyarakat dan pembuat
peraturan; dengan melakukan program
audit maka masyarakat akan
mengetahui keadaan perusahaan tersebut
dan dapat menilainya sehingga
dapat menimbulkan persepsi yang lebih
baik, khususnya yang berkaitan
dengan kesadaran akan lingkungan.
Mengakibatkan
penghematan biaya yang potensial; dengan adanya program
audit maka dapat diketahui efisiensi
pengoperasian perusahaan mulai dari
penyimpanan bahan baku sampai dengan
penyimpanan barang jadi,
sehingga jika terjadi ketidakefisienan
dapat segera diketahui dan dicarikan
jalan keluarnya, hal ini memungkinkan
dilakukan penghematan.
Meningkatkan
pengalihan informasi; dengan melakukan audit lingkungan
maka informasi tentang kebijakan yang
berkaitan dengan peraturan dan
standar yang sebelumnya kemungkin
belum diketahui dapat segera
diperoleh melalui konsultan pelaksana
audit.
Meningkatkan
kesadaran akan lingkungan; dengan melakukan audit
lingkungan maka dapat diketahui secara
tepat apakah proses produksi dan
limbah yang dihasilkan akan
menimbulkan pencemaran lingkungan atau
tidak, sehingga hal ini dapat
meningktakan kesadaran akan lingkungan bagi
pemilik dan karyawan perusahaan
tersebut.
Sedangkan kerugiannya adalah :
Hanya
memberi gambaran pengamatan yang sepintas dari pengoperasian
proyek pada waktu tertentu sehingga
tidak dapat menggambarkan atau
mewakili pengoperasian yang sebenarnya
secara keseluruhan;
Tidak
termasuk dalam sistem pengelolaan lingkungan Audit lingkungan
masih belum merupakan kewajiban bagi
sebuah perusahaan. Audit
lingkungan ini hanya merupakan salah
satu piranti pemantauan lingkungan
dari sebuah kegiatan.
Belum
adanya format yang seragam dalam melaksanakan audit dan sistem
penulisan laporan sehingga sulit memperbandingkan
antara audit yang satu
dengan yang lain;
Karena
kurangnya peraturan dan pedoman yang tersedia, audit lingkungan
banyak dilakukan berdasarkan kriteria
yang subyektif dan lebih banyak
dipengaruhi oleh pendapat dari si
penyusun berdasarkan pengalamannya;
Hasil
dari audit lingkungan dapat digunakan untuk menuntut perusahaan, jika
ada issue yang kritis atau meresahkan;
Tanggung
jawab terhadap sumber daya untuk menjalankan program;
perusahaan yang telah membuat laporan
audit lingkungan wajib
melaksanakan program yang disarankan
di dalamnya;
Selama
proses audit kemungkinan terjadi penghentian sementara
pengoperasian pabrik; selama proses
audit akan dilakukan peninjauan
lapangan dan wawancara yang melibatkan
segenap pegawai dari
perusahaan/pabrik tersebut sehingga
akan dapat menyebabkan penghentian
proses produksi sementara;
Meningkatkan
biaya untuk pengatur; biaya tersebut adalah untuk
menjalankan program yang telah
disarankan di dalam laporan audit
lingkungan;
Meningkatkan
tanggung jawab yang salah satunya tidak dapat ditanggapi
oleh rekomendasi audit, termasuk di
dalamnya adalah pembayaran modal
yang berarti.
5.4 AUDIT LIMBAH
efinisi dari audit limbah adalah:
“Analisis rinci secara metodologis
terhadap proses perusahaan yang
bertujuan untuk meminimisasi atau
bahkan menghilangkan limbah buangan
dari unit proses”.
Aktivitas audit limbah meliputi:
pengamatan (obervasi), pengukuran (measuring),
perekaman (recording), dan analisis
sampel limbah (analyzing).
Suatu audit limbah dikatakan baik, jika
memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
Mengindentifikasi sumber, kuantitas dan jenis limbah yang
dihasilkan
Mengumpulkan seluruh data dari unit proses, produk, bahan
baku,
penggunaan air dan timbulan limbah
Menitikberatkan pada efisiensi dan inefisiensi proses
Mengidentifikasi luasan limbah, kehilangan dan masalahnya
Mengidentifikasi konstituen limbah
Menyusun target untuk reduksi limbah
Mendukung pembentukan strategi pengelolaan limbah yang
efektif secara
ekonomis
Meningkatkan pemahaman pekerja atas proses produksi dan
penghargaan
atas keuntungan dari proses reduksi
limbah.
Proses audit adalah proses yang
didasarkan pada kejadian pada waktu tertentu
(snapshot in time), sehingga
merupakan fungsi waktu. Karenanya audit harus
dilakukan setiap ada perubahan besar,
termasuk:
Perubahan biaya bahan baku
Perubahan peraturan
Perubahan biaya pembuangan limbah
Perubahan proses
Pendekatan proses audit limbah ada
enam fase, yaitu:
FASE I : PEMAHAMAN PROSES DALAM PABRIK
Langkah 1: Membuat list unit-unit
proses
Langkah 2: Membuat diagram alir proses
FASE II : PEMBATASAN MASUKAN DALAM
PROSES
Langkah 3 : Menetapkan penggunaan
sumber
Langkah 4 : Menginvestigasi
penyimpanan bahan baku dan kehilangan saat
penanganannya.
Langkah 5 : Merekam penggunaan air
Langkah 6 : Menetapkan level
penggunaan kembali limbah
FASE III : PEMBATASAN KELUARAN DARI
PROSES
Langkah 7 : Mengkuantifikasi keluaran
proses
Langkah 8 : Menghitung aliran air
limbah
Langkah 9 : Mendokumentasi limbah yang
disimpan dan dibuang ke tempat
pembuangan akhir
FASE IV : PENGUASAAN KESETIMBANGAN
MASSA
Langkah 10 : Merangkum informasi
masukan dan keluaran proses
Langkah 11 : Menurunkan kesetimbangan
massa awal untuk unit proses
Langkah 12 : Mengevaluasi
ketidakseimbangan massa
Langkah 13 : Menyempurnakan
kesetimbangan massa
FASE V : PENGIDENTIFIKASIAN ALTERNATIF
REDUKSI LIMBAH
Langkah 14 : Mengkaji cara-cara yang
digunakan dalam mereduksi limbah
Langkah 15 : Menargetkan masalah
aliran limbah
Langkah 16 : Membuat alternatif
reduksi limbah jangka panjang
FASE VI : ANALISIS C/B DAN PELAKSANAAN
RENCANA AKSI
Langkah 17 : Melaksanakan analsis
cost/benefit untuk pengolahan dan
reduksi limbah
Langkah 18: Melaksanakan rencana
implementasi, mengurangi limbah dan
meningkatkan efisiensi produksi.
5.5 AUDIT SISTEM MANAJEMEN LINGKUNGAN
Di dalam ISO 14001, audit SML
didefinisikan sebagai
”suatu proses yang tersistemas,
independen dan terdokumentasi untuk memperoleh
dan mengevaluasi bukti secara obyektif
untuk mengevaluasi apakah SML dari
organisasi sesuai dengan kriteria
audit SML yang dibuat organisasi”
Audit perlu dilakukan secara berkala,
untuk menentukan apakah sistem yang
dilaksanakan sudah sesuai dengan
pengaturan yang direncanakan dan telah
dijalankan dan dipelihara secara
benar, yang pelaksanaannya tergantung dari
pentingnya masalah lingkungan bagi
kegiatan perusahaan dan hasil audit
sebelumnya
Tujuan audit adalah untuk menentukan
apakah SML sesuai dengan pengaturan
pengelolaan lingkungan yang sudah
dirncanakan dan apakah SML sudah diterapkan
secara benar dan dipelihara
Menurut ISO 14001 : 2004 4.5.5, suatu
organisasi harus membuat dan memelihara
program dan prosedur untuk pelaksanaan
audit SML secara berkala, agar dapat :
a. Menentukan apakah SML memenuhi atau
tidak memenuhi
Sesuai
dengan pengaturan yang direncanakan untuk manajemen
lingkungan, termasuk persyaratan yang
tertera dalam Standard
Internasional ini.
Telah
diterapkan dan dipelihara secara baik.
b. memberikan informasi ttg hasil
audit kpd pihak manajemen.
Langkah awal dari suatu pelaksanaan
audit lingkungan dengan melibatkan seluruh
manajemen dan pekerja. Keterlibatan
ini bisa terjadi apabila mereka memahami
keuntungan yang dapat diperoleh dari:
Penurunan timbulan limbah
Penurunan konsumsi bahan baku
Penurunan biaya pengolahan limbah
Penurunan tingkat pertanggungjawaban
Peningkatan hubungan masyarakat
Peningkatan efisiensi proses sehingga meningkatkan
keuntungan perusahaan
Program audit organisasi, termasuk
jadwalnya, harus didasarkan pada pentingnya
faktor lingkungan pada kegiatan
terkait dan hasil audit sebelumnya. Agar dapat lebih
memberikan gambaran lengkap, prosedur
audit harus meliputi lingkup audit,
frekuensi dan metodologi, maupun
tanggung jawab dan persyaratan pelaksanaan
audit, dan pelaporan hasilnya
Program dan Prosedur Audit sebaiknya
mencakup:
• Kegiatan dan lingkup yang
diperhatikan dalam audit
• Frekuensi audit
• Metodologi audit dan
bagaimana audit dilaksanakan
• Tanggung jawab yang
dikaitkan dengan pengelolan dan pelaksanaan audit
• Komunikasi atas hasil audit
• Kewenangan auditor/asesor
untuk melaksanakan audit
Lingkup audit sebaiknya dibatasi
terhadap persyaratan yang ditentukan oleh SML,
dan sebaiknya tidak mencakup kinerja
lingkungan itu sendiri
Audit SML memberikan potret dalam
suatu waktu tertentu tentang keefektifan SML.
Proses didesain sedemikian sehingga
bukti-bukti kuantitatif atau kualitatif
menentukan apakah kriteria audit
dipenuhi.
Metode yang dapat dilakukan untuk
mengumpulkan bukti adalah sebagai berikut:
Wawancara dengan personil
Pemeriksaan dokumen
Pengamatan kegiatan
Pengamatan kondisi kerja
Data pengujian
Data pemantauan
Rekaman lainnya
SIMPULAN
Audit lingkungan adalah salah satu
instrumentasi untuk melakukan control terhadap
pelaksanaan pengaturan pengelolaan lingkungan
yang sudah direncanakan. Untuk
menjaga kualitas lingkungan dapat pula melakukan audit
limbah dan audit sistem.
Pedoman Umum Audit Lingkungan
Keputusan Menter i Negara Lingkungan
Hidup No. 4 2 Tahun 1994 Tentang Pedoman Umum Pelaksanaan Audit Lingkungan
Menimbang :
1. bahwa set iap orang yang
menjalankan suatu bidang usaha atau kegiatan waj ib
memelihara kelestar ian kemampuan
lingkungan hidup yang serasi dan
seimbang untuk menunjang
pembangunanyang berkelanjutan;
2. bahwa audit lingkungan sebagai
suatu perangkat pengelolaan yang dilakukan
secara dasar telah diakui merupakan
alat yang efekt if dan sangat bermanfaat
bagi suatu usaha atau kegiatan dalam
mengelola lingkungan hidup;
3. bahwa audit lingkungan adalah suatu
proses untuk melaksanakan kaj ian secara
sistemat ik, terdokumentasi, berkala,
dan obyekt if terhadap prosedur dan
praktek-praktek dalam pengelolaan
lingkungan hidup;
4. bahwa audit lingkungan dapat
membantu menemukan upaya penyelesaian
yang efekt if tentang masalah
lingkungan hidup yang dapat dihadapi suatu
usaha atau kegiatan, sehingga dapat
meningkatkan kiner ja usaha atau
kegiatan yang bersangkutan dalam
kaitan dengan pelestar ian kemapuan
lingkungan;
5. bahwa oleh karena itu dipandang per
lu untuk menetapkan suatu pedoman
umum tentang pelaksanaan audit
lingkungan dengan suatu keputusan Menter i
Negara Lingkungan Hidup;
Mengingat :
1. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982
tentang Ketentuan-ketentauan Pokok
Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran
Negara R.I . Nomor 12 Tahun 1982,
Tambahan Lembaran Negara R.I . Nomor
3215) ;
2. Peraturan Pemer intah Nomor 51
Tahun 1993 tentang Analisis Mengenai
Dampak Lingkungan (Lembaran Negara R.I
. Nomor 84 Tahun 1993, Tambahan
Lembaran Negara R. I . Nomor 3538) ;
3. Keputusan Presiden Republik Indonesia
Nomor 44 Tahun 1993 tentang
Kedudukan, Tugas Pokok, Fungsi, dan
Tata Ker ja Menter i Negara ser ta
Organisasi Staf Menter i Negara;
4. Keputusan Presiden Republik
Indonesia Nomor 96/M Tahun 1993 tentang
Pembentukan Kabinet Pembangunan VI ;
MEMUTUSKAN
Menetapkan
KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN
HIDUP TENTANG PEDOMAN
UMUM PELAKSANAAN AUDIT LINGKUNGAN
Per tama
Audit Lingkungan merupak suatu
kegiatan yang diajurkan untuk dilaksanakan oleh
dan merupakan tanggung jawab pihak
penanggung jawab usaha atau kegiatan;
Kedua
Audit Lingkungan dapat dilaksanakan
sesuai dengan pr insip-prinsip dasar
sebagaimana tercantum pada lampiran
keputusan ini;
Ket iga
1. Penanggung jawab usaha atau
kegiatan dapat member ikan sebagian atau
seluruh laporan audit lingkungan kepada
Pemer intah, masyarakat umum atau
organisasi lainnya dengan tujuan;
2. mempublikasi upaya pengelolaan dan
pemantauan lingkungan; untuk itu hasil
audit lingkungan dapat dimintakan
keabsahannya dar i instansi yang diyugasi
mengendalikan dampak lingkungan;
3. pengembagan sistem pengelolaan dan
pemantauan lingkungan;
4. meningkatkan kiner ja lingkungan
suatu usaha atau kegiatan;
5. tujuan lainnya sebgaimana
ditentukan oleh usaha atau kegiatan yang
bersangkutan;
Keempat
Keputusan ini mulai ber laku pada tanggal,
dan apabila terdapat kekeliruan maka
keputusan ini akan dit injau kembali.
Di tetapkan di : Jakar ta
Pada tanggal : 22 Nopember 1994
Menter i Negara Lingkungan Hidup,
t td.
Sarwono Kusumaatmadja
Lampiran Keputusan Menter i Negara
Lingkungan Hidup
No. 4 2 Tahun 1 9 9 4
PRI NSI P-PRI NSI P DAN PEDOMAN UMUM
PELAKSANAAN AUDI T
LI NGKUNGAN
A. FUNGSI DAN TUJUAN
Pedoman Umum Pelaksanaan Audit
Lingkungan dimaksudkan sebagai acuan
untuk melakukan pelaksanaan audit
lingkungan bagi suatu usaha atau
kegiatan.
Audit lingkungan yang dimaksud dalam
keputusan ini dilaksanakan secara
sukarela oleh penanggung jawab usaha
atau kegiatan dan merupakan alat
pengelolaan dan pemantauan lingkungan
yang bersifat internal. Dengan
adanya pedoman ini, maka pengelolaan
dan pemantauan lingkungan suatu
usaha atau kegiatan diharapkan dapat
dilakukan dengan baik, lebih terarah,
efekt if dan efisien.
B. PENDAHULUAN
1. Definisi
Audit Lingkungan adalah suatu atau
manajemen yang meliput i evaluasi
secara sistemat ik, terdokumentasi,
per iodik dan objekt if tentang
bagaimana suatu kiner ja organisasi,
sistem manajemen dan peralatan
dengan tujuan memfasilitasi kont rol
manajemen terhadap pelaksanaan
upaya nengendalian dampak lingkungan
dan pengkaj ian pentaatan
kebijakan usaha atau kegiatan terhadap
peraturan perundang undangan
tentang pengelolaan lingkungan.
Audit Lingkungan suatu usaha atau
kegiatan merupakan perangkat
manajemen yang dilakukan secara
internal oleh suatu usaha atau
kegiatan sebagai tanggung jawab
pengelolaan dan pemantauan
lingkungannya. Audit lingkungan bukan
merupakan pemer iksaan resmi
yang diharuskan oleh suatu peraturan
perundang-undangan, melainkan
suatu usaha proakt if yang
dilaksanakan secara sadar untuk
mengindent ifikasi permasalahan
lingkungan yang akan t imbul sehingga
dapat dilakukan upaya-upaya
pencegahannya.
2. Fungsi
Fungsi audit lingkungan adalah sebagai
:
(a) Upaya peningkatan pentaatan suatu
usaha atau kegiatan terhadap
peraturan perundang-undangan
lingkungan, misalnya : standar
emisi udara, limbah cair , penanganan
limbah dan standar operasi
lainnya;
(b) Dokumen suatu usaha atau kegiatan
tentang pelaksanaan standar
operasi, prosedur pengelolaan dan
pemantauan lingkungan
termasuk rencana tangggap darurat ,
pemantauan dan pelaporan
ser ta rencana perubahan pada proses
dan peraturan;
(c) Jaminan untuk rnenghindar i
perusakan atau kecenderungan
kerusakan lingkungan;
(d) Bukt i keabsahan prakiraan dampak
dan penerapan rekomendasi
yang tercantum dalam dokurnen AMDAL,
yang berguna dalam
penyempurnaan proses AMDAL;
(e) Upaya perbaikan penggunaan
sumberdaya melalui penghematan
penggunaan bagan, minimisasi limbah
dan ident ifikasi
kemungkinan proses daur ulang;
( f) Upaya untuk meningkatkan t
indakan yang telah dilaksanakan atau
yang per lu dilaksanakan oleh suatu
usaha atau kegiatan untuk
memenuhi kepent ingan lingkungan,
misalnya pembangunan yang
berkelanjutan, proses daur ulang dan
efisiensi penggunaan
sumberdaya.
3. Manfaat
Audit Lingkungan bermanfaat untuk:
(a) Mengindent ifikasi r isiko
lingkungan;
(b) Menjadi dasar bagi pelaksanaan
kebijaksanaan pengelolaan
lingkungan atau upaya penyempurnaan
rencana yang ada;
(c) Menghindar i kerugian finansial
seper t i penutupan / pemberhent ian
suatu usaha atau kegiatan atau
pembatasan oleh pemer intah,
atau publikasi yang merugikan akibat
pengelolaan dan
pemantauan lingkungan yang t idak
baik;
(d) Mencegah tekanan sanksi hukum
terhadap suatu usaha atau
kegiatan atau terhadap pimpinannya
berdasarkan pada peraturan
perundang-undangan yang ber laku;
(e) Membukt ikan pelaksanaan pengelolaan
lingkungan apabila
dibutuhkan dalam proses pengadilan;
( f) Meningkatkan kepedulian pimpinan/
penanggung jawab dan staf
suatu badan usaha atau kegiatan
tentang pelaksanaan
kegiatannya terhadap kebijakan dan
tanggung jawab lingkungan;
(g) Mengident ifikasi kemungkinan
penghematan biaya melalui upaya
konservasi energi, dan pengurangan,
pemakaian ulang dan daur
ulang limbah;
(h) Menyediakan laporan audit
lingkungan bagi keper luan usaha atau
kegiatan yang bersangkutan, atau bagi
keper luan kelompok
pemerhat i lingkungan, pemer intah,
dan media massa;
( i) Menyediakan informasi yang
memadai bagi kepent ingan usaha
usaha atau kegiatan asuransi, lembaga
keuangan, dan
pemegang saham.
C. RUANG LINGKUP
Audit Lingkungan per lu disusun
sedemikian rupa, sehingga dapat member ikan
informasi mengenai :
1. sejarah atau rangkaian suatu usaha
atau kegiatan, rona dan kerusakan
lingkungan di tempat usaha atau
kegiatan tersebut , pengelolaan dan
pemantauan yang dilakukan, ser ta isu
lingkungan yang terkait ;
2. perubahan rona lingkungan sejak
usaha atau kegiatan tersebut
didir ikan sampai waktu terakhir
pelaksanaan audit ;
3. penggunaan input dan sumberdaya
alam, proses bahan dasar , bahan
jadi, dan limbah termasuk limbah B3;
4. ident ifikasi penanganan dan
penyimpanan bahan kimia, B3 ser ta potensi
kerusakan yang mungkin t imbul;
5. kaj ian resiko lingkungan;
6. sistem kont rol manajemen, rute
pengangkutan bahan dan pembuangan
limbah, termasuk fasilitas untuk
meminimumkan dampak buangan dan
kecelakaan;
7. effekt ifitas alat pengendalian
pencemaran seper t i ditunjukkan dalam
laporan inspeksi, perawatan, uj i
emisi, uj i rut in, dll;
8. catatan tentang lisensi pembuangan
limbah dan pentaatan terhadap
peraturan perundang-undangan termasuk
standar dan baku mutu
lingkungan;
9. pentaatan terhadap hasil dan
rekomendasi AMDAL (Rencana
Pengelolaan Lingkungan dan Rencana
Pemantauan Lingkungan) ;
10. perencanaan dan prosedur standar
operasi keadaan darurat ;
11. rencana minimalisasi limbah dan
pengendalian pencemaran lingkungan;
12. penggunaan energi, air dan
sumberdaya alam lainnya;
13. program daur ulang, konsiderasi
product life cycle;
14. peningkatan kemampuan sumberdaya
manusia dan kepedulian
lingkungan.
Ruang lingkup audit lingkungan sangat
luwes, tergantung pada kebutuhan atau
kegiatan yang bersangkutan.
D. PRINSIP-PRINSIP DASAR
1. Karakter ist ik dasar
Audit Lingkungan mempunyai cir i khas
sebagai ber ikut :
(a) Metodotogi yang komprehensif;
Audit lingkungan memer lukan tata
laksana dan metodologi yang
r inci. Audit lingkungan harus
dilaksanakan dengan metodologi
yang komprehensif dan prosedur yang
telah ditentukan, untuk
menjamin pengumpulan data dan
informasi yang dibutuhkan ser ta
dokumentasi dan penguj ian informasi
tersebut .
Metodologi tersebut harus fleksibel
sehingga t im auditor dapat
menerapkan teknik- teknik yang tepat .
Audit lingkungan harus
berpedoman kepada penggunaan rencana
yang sistemat ik dan
sesuai dengan prosedur pelaksanaan
audit lapangan dan
penyusunan laporan.
(b) Konsep pembukt ian dan penguj ian;
Konsep pembukt ian dan penguj ian
terhadap penyimpangan
pengelolaan lingkungan adalah hal yang
pokok dalam audit
ingkungan. Tim audit harus
mengkonfirmasikan semua data
dan informasi yang diperolehnya
melalui pemer iksaan lapangan
secara langsung.
(c) Pengukuran dan standar yang
sesuai;
Penetapan standardan pengukuran ter t
iadap kiner ja Hngkungan
harus sesuai dengan usaha atau
kegiatan dan proses produksi
yang diaudit . Audit lingkungan t idak
akan berait i kecuali Ha
kiner ja usaha atau kegiatan dapat
dibandingkandengan standar
yang digunakan
(d) Laporan ter tulis.
Laporan harus mernuat hasH pengamatan
dan fakta- iakta penun
ser ta dokumentasi terhadap proses
produksi. Seluruh data dan
basil temuan barus disaj ikan dengan
letas dan akurat , ser la
dilandasi dengan bukt’ yang sahib dan
terdokumentasi.
2. Kunci keberhasilan
(a) Dukungan pihak pimpinan
Pelaksanaan audit lingkungan harus
diawali dengan adanya it ikad
pimpinan usaha atau kegiatan. Usaha
atau kegiatan dan proses
audit dapat menjadi sangat kompleks
dan pelaksanaan audit
lingkungan menjadi t idak efekt if
bila t idak ada dukungan yang
kuat dar i pimpinan usaha atau
kegiatan. Selain itu t im auditor
harus pula diber i keleluasan untuk
mengkaj i hal-hal yang sensit if
dan berpotensi menimbulkan dampak
lingkungan.
(b) Keikutser taan semua pihak
Keberhasilan audit lingkungan
ditentukan pula oleh keikutser taan
dan ker jasama yang baik dar i semua
pihak dalam usaha atau
kegiatan yang bersangkutan, mengingat
kaj ian terhadap kiner ja
lingkungan akan meliput i semua aspek
dan pelaksanaan tugas
secara luas.
(c) Kemandir ian dan obyekt ifitas
auditor
Tim audit lingkungan harus mandir i
dan t idak ada keter ikatan
dengan usaha atau kegiatan yang
diaudit . Apabila t idak, maka
obyekt ifitas dan kredibilitas akan
diragukan. Pada umumnya,
kemandir ian auditor diar t ikan bahwa
t im auditor harus
dilaksanakan oleh orang di luar usaha
atau kegiatan yang diaudit .
(d) Kesepakatan tentang tata laksana
dan lingkup audit Harus ada
kesepakatan awal antara pimpinan usaha
atau kegiatan dengan
t im auditor tentang lingkup audit
lingkungan yang akan
dilaksanakan.
E. PEDOMAN UMUM PELAKSANAAN AUDIT
LINGKUNGAN
1. Tata Laksana
Pelaksanaan audit lingkungan per lu
mengikut i suatu tata laksana audit .
Tata laksana audit merupakan suatu
rencana yang harus diikut i oleh
auditor untuk dapat mencapai tujuan
audit yang diharapkan. Dengan
mengacu pada tata laksana tersebut
maka diharapkan adanya
konsistensi dalam pelaksanaan audit
dan pelaporan hasil audit .
Tata laksana audit sangat beragam dan
tergantung pada jenis usah dan
karakter ist ik lingkungan.
Ber ikut ini adalah beberapa tata
laksana audit yang umum dilaksanakan:
(a) Daftar Isian. Bentuk pelaksanaan
audit yang paling sederhana
adalah mempergunakan daftar isian dar
i laporan yang akan
dihasilkan sebagai acuan audit .
(b) Checklist . Jenis ini merupakan
cara yang umum digunakan yaitu
dengan mempergunakan daftar yang r
inci mengenai isi yang akan
diaudit .
(c) Daftar per tanyaan. Daftar per
tanyaan ser ingkali digunakan dalam
pelaksanaan audit , dan daftar per
tanyaan tersebut harus dijawab
secara lengkap oleh auditor . Pada
umumnya, auditor telah
mempersiapkan format baku untuk
melaksanakan audit dan
menyusun laporan akhir .
(d) Pedoman. Audit dengan menggunakan
pedoman merupakan jenis
tata laksanana yang paling r inci.
Pedoman ini memuat inst ruksiinst
ruksi dan petunjuk pelaksanaan yang
harus dilaksanakan oleh
auditor , ser ta aspek yang harus
ditelit i.
2. Pelaksanaan.
Tahapan pelaksanaan audit lingkungan
adalah sebagai ber ikut :
1. Pendahuluan
Penerapan audit lingkungan akan
tergantung kepada jenis audit
yang dilaksanakan, jenis usaha atau
kegiatan dan pelaksanaan
oleh t im auditor .
2. Pra-audit
Kegiatan pra-audit merupakan bagian
yang pent ing dalam
prosedur audit lingkungan. Perencanaan
yang baik pada tahap ini
akan menentukan keberhasilan
pelaksanaan audit dan t indak
lanjut audit tersebut .
Informasi yang diper lukan pada tahap
ini meliput i informasi r inci
mengenai akt ifitas di lapangan,
status hukum, inst ruktur
organisasi, dan lingkup usaha atau
kegiatan yang akan diaudit .
Akt ifitas pra-audit juga meliput i
pemilihan tata laksana audit ,
penentuan t im auditor , dan pendanaan
pelaksanaan kegiatan
audit . Pada saat ini, tujuan dan
ruang lingkup audit harus telah
disepakat i.
3. Kegiatan Lapangan
(1) Per temuan pendahuluan
Tahap awal yang harus dilaksanakan
oleh t im audit adalah
mengadakan per temuan dengan pimpinan
usaha atau
kegiatan untuk mengkaj i tujuan audit
, tata laksana, dan
jadual kegiatan audit .
(2) Pemer ikasaan lapangan
Pemer iksaan di lapangan dilaksanakan
setelah per temuan
pendahuluan. Tim audit akan
mendapatkan gambaran
tentang kegiatan usaha atau kegiatan
yang akan menjadi
dasar penetapan areal kegiatan yang
memer lukan perhat ian
secara khusus, Dengan melaksanakan
pemer iksaan
lapangan, t im auditor dapal menemukan
hal-hal yang
terkait erat dengan kegiatan audit
namun belum
ter ident ifikasi dalam perencanaan.
(3) Pengumpulan data
Data dan informasi yang dikumpulkan
selama audit
lingkungan akan mencakup tata laksana
audit , dokumentasi
yang diber ikan oleh pemilik usaha
atau kegiatan, catatan
dan hasil pengamatan t im auditor ,
hasil sampling dan
pemantauan, foto- foto, rencana, peta,
diagram, ker tas
ker ja dan hal-hal lain yang
berkaitan. Informasi tersebut
harus terdokumentasi dengan baik agar
mudah ditelusur i
kembali. Tujuan utama pengumpulan data
adalah untuk
menunjang dan merupakan dasar bagi
penguj ian temuan
audit lingkungan.
(4) Penguj ian;
Pr insip utama audit lingkungan adalah
bahwa informasi
yang disaj ikan oleh t im audiotor
telah diuj i dan
dikonfirmasikan. Dokumentasi yang
dihasilkan oleh t im
auditor harus menunjang semua
pernyataan, atau telah
teruj i melalui pengamatan langsung
oleh t im auditor .
Dalam menguj i hasil temuan audit , t
im auditor harus
menjamin bahwa dokumen yang dihasilkan
merupakan
dokumen yang asli dan sah. Oleh karena
itu tata laksana
audit harus menentukan t ingkat penguj
ian data yang
dibutuhkan, atau harus ditentukan oleh
t im auditor .
(5) Evaluasi hasil temuan
Hasil temuan audit harus dievaluasi
sesuai dengan tujuan
audit dan tata laksana yang telah
disetujui untuk menjamin
bahwa semua isu/masalah telah dikaj i.
Dokumentasi
penunjang harus dikaj i secara telit i
sehingga semua hasil
temuan telah ditunjang oleh data dan
diuj i secara tepat .
(6) Per temuan akhir
Setelah penelit ian lapangan selesai,
t im auditor harus
memaparkan hasil temuan pendahuluan
dalam suatu
per temuan akhir secara resmi. Per
temuan ini akan
mendiskusikan berbagai hal yang belum
terpecahkan atau
informasi yang belum tersedia. Tim
auditor harus mengkaj i
hasil per temuan secara gar is besar
dan menentukan waktu
penyelesaian laporan ahkir . Seluruh
dokumentasi selama
penelit ian harus dikembalikan kepada
penanggung jawab
usaha atau kegiatan.
4. Pasca Audit
Tim auditor akan menyusun laporan ter
tulis secara lengkap
sebagai hasil pelaksanaan audit
lingkungan. Laporan tersebut juga
mencakup pemaparan tentang rencana t
indak lanjut terhadap isuisu
yang telah diident ifikasi.
F. SIFAT KERAHASIAAN
Laporan hasil audit lingkungan
merupakan milik usaha atau kegiatan yang
diaudit dan bersifat rahasia. Namun
demikian, dunia usaha atau kegiatan
sesuai dengan kebebasannya dapat
menyampaikan laporan audit lingkungan
kepada pemer intah, masyarakat luas
atau organisasi lainnya dengan tujuan
sebagai ber ikut :
(a) Publikasi terhadap upaya
pengelolaan dan pemantauan lingkungan yang
telah dilakukan. Pemer intah dapat
member ikan ver t ifikasi atas hasil
audit ;
(b) Ant isipasi kebutuhan penilaian
per ingkat kiner ja usaha atau kegiatan
lainnya;
(c) Tujuan lainnya yang ditetapkan
oleh usaha atau kegiatan tersebut .
Kebijakan audit lingkungan dalam hal
ini t idak membatasi hai-hal sebagai
ber ikut :
(a) Hak pemer intah untuk melaksanakan
pemer iksanaan secara rut in pada
suatu usaha atau kegiatan;
(b) Hak pemer intah untuk melaksanakan
pemer iksaan terhadap suatu
kegiatan yang dicur igai sebagai
kelalaian, penghindaran kewaj iban dan
pelanggaran terhadap pentaatan hukum
dan peraturan;
c) Hak pemer intah untuk meminta
sesuatu informasi khusus sebagai dasar
penentuan per ingkat kiner ja
lingkungan suatu usaha atau kegiatan
pelanggaran terhadap pentaatan hukum
dan peraturan:
(d) Tanggung jawab dunia usaha atau
kegiatan untuk menyediakan data
hasil pengelolaan dan pemantauan
kepada pemer intah sesuai ketentuan
Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982,
Peraturan Pemer intah Nomor 51
Tahun 1993 dan peraturan pelaksanaan
lainnya
G. PENGAWASAN MUTU HASIL AUDIT
Dalam rangka menjamin bahwa audit
lingkungan akan dilaksanakan secara
baik dan profesional, maka usaha atau
kegiatan atau organisasi (non
pemer intah) dianjurkan untuk membuat
dan melaksanakan kode et ik ser ta
ser t ifikasi auditor lingkungan.
Auditor lingkungan harus mempunyai
pendidikan yang sesuai dan memiliki
pengalaman profesional untuk dapat
melaksanakan tugasnya.
Kemampuan yang harus dimiliki oleh t
im auditor adalah meliput i pengetahuan
tentang :
- Proses, prosedur dan teknis audit
- Karakter ist ik dan analisis tentang
sistem manajemen
- Peraturan perundang-undangan dan
kebijaksanaan lingkungan
- Sistem dan teknologi pengelolaan
lingkungan, kesehatan dan
keselamatan ker ja
- Fasilitas usaha atau kegiatan yang
akan diaudit
- Potensi dampak lingkungan, kesehatan
dan keselamatan ker ja serta
resiko bahaya
Auditor juga per lu mendapatkan pelat
ihan dan peningkatan kemampuan dalam
bidang yang dibutuhkan dalam audit ,
meliput i:
- Kemampuan berkomunikasi
- Kemampuan perencanaan dan
penjadualan ker ja
- Kemampuan untuk menganalisis data
dan hasil temuan
- Kemampuan untuk menulis laporan
audit
Auditor lingkungan harus ter lat ih
secara profesional untuk menjamin
ketepatan, konsistensi dan objekt
ifitas dalam pelaksanaan audit . Auditor harus
mengikut i kode et ik auditor yang
ada.
Proposal Program Pelat ihan
Pengenalan Inst rumen Ekonomi Untuk
Pengendalian Dampak Lingkungan
1. Latar belakang
Sampai saat ini pendekatan dalam
menangani masalah lingkungan di Indonesia
hampir seluruhnya ber tumpu pada inst
rumen legal yang di wujudkan dalam
bentuk peraturan perundangan. Kenyataan
dibeberapa negara menunjukkan
bahwa peraturan perundangan saja t
idaklah cukup untuk memaksa para pelaku
perusak lingkungan untuk memasukkan
biaya lingkungan sebagai bagian dan
biaya kegiatannya.
Inst rumen ekonomi atau yang lebih
dikenal dengan sistem “ Insensif” akhir -
akhir ini berkembang sebagai alternat
if ataupun pelengkap pendekatan untuk
mencapai tujuan dalam upaya
pengendalian dampak lingkungan. Pendekatan
ini pada dasarnya ber tumpu pada pr
insip menawarkan finansial intensif
ataupun disinsent if kepada para
pelaku ekonomi untuk membayar bila merusak
lingkungan atau menanam modal untuk t
idak merusak lingkungan. Dengan
demikian, make jelaslah bahwa
penerapan inst rumen ini akan sangat
membantu dalam penerapan “Polluters
Pay Pr inciples” .
Melihat kenyataan ini, maka Bapedal
beker jasama dengan German Foundat ion
For Internat ional Development (DSE)
bernmaksud mengadakan pelat ihan
pengenalan inst rumen ekonomi untuk
pengendalian dampak lingkungan.
2. Tujuan
Pelat ihan ini diharapkan dapat
membantu para peser ta untuk mengenal
sebagai inst rumen ekonomi untuk
pengendalian dampak lingkungan.
Selain mengenal berbagai inst rumen
tersebut , para peser ta juga diharapkan
akan memahami persyaratan penggunaan
inst rumen ekonomi kelemahan dan
keuntungan ser ta pengadminist rasian
penggunaan inst rumen ekonomi.
PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP REPUBLIK INDONESIA NOMOR 03
TAHUN 2013 TENTANG AUDIT LINGKUNGAN
HIDUP
Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 52 Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup, perlu menetapkan Peraturan
Menteri Lingkungan Hidup tentang Audit Lingkungan Hidup;
Mengingat : Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan
dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2009 Nomor 140 Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5059);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP TENTANG AUDIT
LINGKUNGAN HIDUP.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
1. Audit Lingkungan Hidup adalah evaluasi yang dilakukan
untuk menilai ketaatan penanggung jawab Usaha dan/atau
Kegiatan terhadap persyaratan hukum dan kebijakan yang
ditetapkan oleh pemerintah.
2. Usaha dan/atau Kegiatan adalah segala bentuk aktivitas
yang dapat menimbulkan perubahan terhadap rona
lingkungan hidup serta menyebabkan dampak terhadap
lingkungan hidup.
3. Auditor Lingkungan Hidup adalah seseorang yang memiliki
Kompetensi untuk melaksanakan Audit Lingkungan Hidup.
4. Lembaga Penyedia Jasa Audit Lingkungan Hidup adalah
badan hukum yang bergerak dalam bidang jasa Audit
Lingkungan Hidup.
5. Kegiatan Berisiko Tinggi adalah Usaha dan/atau Kegiatan
yang jika terjadi kecelakaan dan/atau keadaan darurat
menimbulkan dampak yang besar dan luas terhadap
kesehatan manusia dan lingkungan hidup.
6. Dokumen Lingkungan Hidup adalah dokumen yang
memuat pengelolaan
dan pemantauan lingkungan hidup
yang terdiri atas analisis mengenai dampak lingkungan
hidup (Amdal), upaya pengelolaan lingkungan hidup dan
upaya pemantauan lingkungan hidup (UKL-UPL), surat
pernyataan kesanggupan pengelolaan dan pemantauan
lingkungan hidup (SPPL), dokumen pengelolaan dan
pemantauan lingkungan hidup (DPPL), studi evaluasi
mengenai dampak lingkungan hidup (SEMDAL), studi
evaluasi lingkungan hidup (SEL), penyajian informasi
lingkungan (PIL), penyajian evaluasi lingkungan (PEL),
dokumen pengelolaan lingkungan hidup (DPL), rencana
pengelolaan lingkungan dan rencana pemantauan
lingkungan (RKL-RPL), dokumen evaluasi lingkungan hidup
(DELH), dokumen pengelolaan lingkungan hidup (DPLH),
dan Audit Lingkungan Hidup.
7. Instansi Lingkungan Hidup Kabupaten/Kota adalah
instansi yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di
bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup
kabupaten/kota.
8. Instansi Lingkungan Hidup Provinsi adalah instansi yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup provinsi.
9. Kompetensi adalah kemampuan personil untuk
mengerjakan suatu tugas dan pekerjaan yang dilandasi oleh
pengetahuan, keterampilan, dan sikap kerja yang dapat
dipertanggungjawabkan.
10. Kriteria Kompetensi adalah suatu rumusan mengenai
lingkup kemampuan personil yang dilandasi oleh
pengetahuan, keterampilan dan didukung sikap kerja serta
penerapannya di tempat kerja yang mengacu pada unjuk
kerja yang dipersyaratkan.
11. Lembaga Pelatihan Kompetensi Auditor Lingkungan Hidup,
yang selanjutnya disebut LPK Auditor Lingkungan Hidup
adalah lembaga yang memiliki sarana dan prasarana bagi
pelatihan dalam Audit Lingkungan Hidup dan memenuhi
persyaratan yang ditetapkan oleh Menteri Lingkungan
Hidup.
12. Penilaian Kompetensi adalah kegiatan untuk mengevaluasi
tingkat pengetahuan, keterampilan personil, dan sikap
kerja yang memenuhi kriteria Kompetensi yang telah
ditetapkan.
13. Sertifikat Kompetensi adalah tanda pengakuan Kompetensi
seseorang yang memenuhi standar Kompetensi tertentu
setelah melalui uji Kompetensi.
14. Pengakuan Penyetaraan adalah pengakuan terhadap
kurikulum pelatihan Kompetensi Auditor Lingkungan Hidup
atau Sertifikat Kompetensi Auditor Lingkungan Hidup yang
berasal dari luar negeri.
3
15. Lembaga Sertifikasi Kompetensi Auditor Lingkungan Hidup,
yang selanjutnya disebut LSK Auditor Lingkungan Hidup
adalah lembaga pelaksana Penilaian Kompetensi dan
pelaksana sertifikasi Kompetensi dalam Audit Lingkungan
Hidup.
16. Registrasi Kompetensi adalah rangkaian kegiatan
pendaftaran dan dokumentasi terhadap Lembaga Penyedia
Jasa Audit Lingkungan Hidup dan LPK Audit Lingkungan
Hidup yang telah memenuhi persyaratan tertentu.
17. Akreditasi adalah penilaian kelayakan lembaga pendidikan
dan pelatihan dalam menyelenggarakan program
pendidikan dan pelatihan tertentu yang ditetapkan dalam
Surat Keputusan dan Sertifikat Akreditasi oleh instansi
pembina.
18. Sistem Manajemen Mutu adalah suatu sistem yang
dilaksanakan untuk menjaga kualitas dari suatu
pelaksanaan kegiatan yang meliputi perencanaan, seleksi
dan penugasan tenaga pelaksana, penerapan prosedur
operasional standar, dokumentasi, evaluasi, dan pelaporan.
19. Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup adalah Pegawai Negeri
Sipil yang diberi tugas, tanggungjawab, wewenang, dan hak
secara penuh oleh pejabat yang berwenang untuk
melaksanakan kegiatan pengawasan lingkungan hidup
sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
20. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup.
Pasal 2
Peraturan Menteri ini bertujuan memberikan pedoman untuk
pelaksanaan:
a. sertifikasi Kompetensi Auditor Lingkungan Hidup; dan
b. Audit Lingkungan Hidup.
Pasal 3
Peraturan Menteri ini mengatur mengenai:
a. Kompetensi Auditor Lingkungan Hidup;
b. tata laksana Audit Lingkungan Hidup;
c. pembinaan dan pengawasan; dan
d. pembiayaan.
Pasal 4
Audit Lingkungan Hidup terdiri atas:
a. Audit Lingkungan Hidup yang bersifat sukarela; dan
b. Audit Lingkungan Hidup yang diwajibkan.
4
Pasal 5
(1) Audit Lingkungan Hidup sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 dilakukan oleh tim Audit Lingkungan Hidup.
(2) Tim Audit Lingkungan Hidup sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) terdiri atas:
a. 1 (satu) orang auditor utama, sebagai ketua tim;
b. paling sedikit 1 (satu) orang Auditor Lingkungan Hidup,
sebagai anggota tim; dan
c. ahli yang membidangi Usaha dan/atau Kegiatan yang
bersangkutan, sebagai anggota tim.
Pasal 6
Dalam melaksanakan Audit Lingkungan Hidup, tim Audit
Lingkungan Hidup wajib menggunakan metodologi:
a. standar nasional indonesia; dan/atau
b. standar/pedoman lain,
berdasarkan tujuan pelaksanaan Audit Lingkungan Hidup.
BAB II
KOMPETENSI AUDITOR LINGKUNGAN HIDUP
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 7
(1) Auditor Lingkungan Hidup meliputi:
a. Auditor Lingkungan Hidup perorangan; atau
b. Auditor Lingkungan Hidup yang tergabung dalam
lembaga penyedia jasa Audit Lingkungan Hidup.
(2) Kualifikasi Auditor Lingkungan Hidup sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
a. auditor utama; dan
b. auditor.
(3) Kriteria Kompetensi untuk auditor utama sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf a meliputi kemampuan:
a. memahami prinsip, metodologi, dan tata laksana Audit
Lingkungan Hidup;
b. melakukan Audit Lingkungan Hidup yang meliputi
tahapan perencanaan, pelaksanaan, pengambilan
kesimpulan, dan pelaporan;
c. merumuskan rekomendasi langkah perbaikan sebagai
tindak lanjut Audit Lingkungan Hidup;
d. menunjuk dan mengoordinasikan kegiatan auditor di
bawah tanggungjawabnya sebagai auditor utama;
e. merumuskan kesimpulan Audit Lingkungan Hidup;
f. mengoordinasikan penyusunan dan penyampaian
laporan hasil Audit Lingkungan Hidup; dan
5
g. memenuhi kriteria lain yang ditetapkan oleh LSK
Auditor Lingkungan Hidup.
(4) Kriteria Kompetensi untuk auditor sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) huruf b meliputi kemampuan:
a. memahami prinsip, metodologi, dan tata laksana Audit
Lingkungan Hidup;
b. melakukan Audit Lingkungan Hidup yang meliputi
tahapan perencanaan, pelaksanaan, pengambilan
kesimpulan, dan pelaporan;
c. merumuskan rekomendasi langkah perbaikan sebagai
tindak lanjut Audit Lingkungan Hidup; dan
d. memenuhi kriteria lain yang ditetapkan oleh LSK
Auditor Lingkungan Hidup.
Bagian Kedua
Sertifikasi Kompetensi dan Lembaga Sertifikasi Kompetensi
Auditor
Lingkungan Hidup
Pasal 8
(1) Auditor Lingkungan Hidup sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 7 wajib memiliki Sertifikat Kompetensi Auditor
Lingkungan Hidup.
(2) Untuk memperoleh Sertifikat Kompetensi Auditor
Lingkungan Hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7
ayat (1), Auditor Lingkungan Hidup wajib:
a. memenuhi kriteria Kompetensi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 7 ayat (3) dan ayat (4);
b. mengikuti dan lulus pelatihan Audit Lingkungan
Hidup; dan
c. mengikuti uji Kompetensi yang diselenggarakan oleh
LSK Auditor Lingkungan Hidup.
(3) Uji Kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf
c terdiri atas:
a. penilaian portofolio; dan
b. uji tertulis dan/atau wawancara.
(4) Penilaian portofolio sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
huruf a dilakukan terhadap:
a. latar belakang pendidikan;
b. pelatihan di bidang Audit Lingkungan Hidup;
c. pengalaman kerja di bidang lingkungan hidup; dan
d. pengalaman melakukan Audit Lingkungan Hidup.
(5) Uji tertulis dan/atau wawancara sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) huruf b dilakukan terhadap penguasaan
kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7.
6
Pasal 9
(1) Sertifikat Kompetensi Auditor Lingkungan Hidup
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) diterbitkan
oleh LSK Auditor Lingkungan Hidup yang ditunjuk oleh
Menteri.
(2) Sertifikat Kompetensi Auditor Lingkungan Hidup
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku selama 3
(tiga) tahun dan dapat diperpanjang.
Pasal 10
(1) LSK Auditor Lingkungan Hidup sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 9 wajib memiliki:
a. Sistem Manajemen Mutu;
b. penguji atau penilai yang memiliki pengalaman paling
sedikit 5 (lima) tahun di bidang Audit Lingkungan
Hidup dan/atau 5 (lima) kali melakukan Audit
Lingkungan Hidup sebagai auditor utama;
c. sistem informasi publik yang terkait dengan
pelaksanaan sertifikasi Kompetensi; dan
d. mekanisme penanganan pengaduan dari pengguna
jasa dan publik.
(2) LSK Auditor Lingkungan Hidup sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) wajib melaporkan pelaksanaan sertifikasi
Kompetensi kepada Menteri.
Bagian Ketiga
Lembaga Pelatihan Kompetensi Auditor Lingkungan Hidup
Pasal 11
(1) Pelatihan Audit Lingkungan Hidup sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 8 ayat (2) huruf b dilaksanakan oleh LPK
Auditor Lingkungan Hidup.
(2) Setiap LPK Auditor Lingkungan Hidup sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) wajib melakukan Registrasi
Kompetensi.
(3) LPK Auditor Lingkungan Hidup mengajukan permohonan
registrasi secara tertulis kepada Menteri.
(4) LPK Auditor Lingkungan Hidup yang teregistrasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi
persyaratan, memiliki:
a. identitas LPK Auditor Lingkungan Hidup;
b. akte pendirian badan hukum;
c. dokumen Sistem Manajemen Mutu;
d. dokumen sertifikat pengelola lembaga pendidikan dan
pelatihan;
e. dokumen mengenai pengajar yang kompeten, termasuk
pengajar di bidang metodologi dan teknik Audit
7
Lingkungan Hidup yang berSertifikat Kompetensi
dengan kualifikasi auditor utama dan/atau
berpengalaman paling sedikit 3 (tiga) kali melakukan
Audit Lingkungan Hidup;
f. dokumen mengenai program pelatihan Kompetensi
Auditor Lingkungan Hidup yang menggunakan
kurikulum baku yang ditetapkan oleh Menteri;
g. dokumen mengenai sarana dan prasarana pelatihan;
dan
h. dokumen mengenai sistem informasi publik mengenai
pelatihan Kompetensi Auditor Lingkungan Hidup.
(5) Tata cara registrasi LPK Auditor Lingkungan Hidup
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai
dengan Peraturan Menteri mengenai tata cara Registrasi
Kompetensi.
Pasal 12
(1) Dalam hal LPK Auditor Lingkungan Hidup menggunakan
kurikulum di luar kurikulum baku sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 11 ayat (4) huruf f,
penggunaannya wajib memperoleh penetapan pengakuan
penyetaraan dari Menteri.
(2) Menteri dapat mendelegasikan penetapan pengakuan
penyetaraan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada
Pejabat Eselon I yang bertanggungjawab di bidang
standardisasi.
Bagian Keempat
Lembaga Penyedia Jasa Audit Lingkungan Hidup
Pasal 13
(1) Setiap lembaga penyedia jasa Audit Lingkungan Hidup
wajib melakukan Registrasi Kompetensi.
(2) Lembaga penyedia jasa Audit Lingkungan Hidup
mengajukan permohonan registrasi secara tertulis kepada
Menteri.
(3) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib
dilengkapi dengan persyaratan:
a. identitas pemohon;
b. akte pendirian badan hukum;
c. dokumen Sistem Manajemen Mutu; dan
d. dokumen mengenai tenaga tetap dengan kualifikasi
auditor utama.
(4) Menteri melakukan penilaian terhadap permohonan
registrasi sesuai dengan peraturan mengenai tata laksana
registrasi.
8
Pasal 14
(1) Menteri menyediakan informasi publik mengenai:
a. tujuan Registrasi Kompetensi lembaga penyedia jasa
Audit Lingkungan Hidup dan LPK Auditor Lingkungan
Hidup;
b. tata laksana registrasi, penerbitan surat tanda
registrasi, dan pemeliharaan registrasi;
c. persyaratan dan prosedur mengikuti Registrasi
Kompetensi;
d. daftar registrasi lembaga penyedia jasa Audit
Lingkungan Hidup yang meliputi:
1. nomor dan tanggal registrasi;
2. identitas lembaga penyedia jasa;
3. penanggung jawab teknis pelaksanaan Audit
Lingkungan Hidup; dan
4. daftar Auditor Lingkungan Hidup yang memiliki
Sertifikat Kompetensi dan ditugaskan untuk
melakukan Audit Lingkungan Hidup;
e. daftar registrasi LPK Auditor Lingkungan Hidup yang
meliputi:
1. nomor dan tanggal registrasi;
2. identitas LPK Auditor Lingkungan Hidup;
3. penanggung jawab pelatihan Kompetensi Auditor
Lingkungan Hidup; dan
4. daftar pengajar tetap dan tidak tetap; dan
f. daftar pemegang registrasi yang dalam status
dibekukan atau dicabut.
(2) LPK Auditor Lingkungan Hidup menyediakan informasi
publik mengenai:
a. tujuan pelatihan Kompetensi Auditor Lingkungan
Hidup dan kurikulum yang digunakan;
b. daftar pengajar tetap dan tidak tetap;
c. persyaratan dan prosedur mengikuti pelatihan
Kompetensi Auditor Lingkungan Hidup;
d. jadwal dan tempat pelaksanaan pelatihan Kompetensi
yang disediakan untuk publik; dan
e. daftar pemegang surat tanda tamat pelatihan
Kompetensi Auditor Lingkungan Hidup.
(3) LSK Auditor Lingkungan Hidup menyediakan informasi
publik mengenai:
a. tujuan sertifikasi Kompetensi Auditor Lingkungan
Hidup;
b. sistem Penilaian Kompetensi, penerbitan Sertifikat
Kompetensi, dan pemeliharaan sertifikat;
c. persyaratan dan prosedur sertifikasi Kompetensi
Auditor Lingkungan Hidup bagi pemohon;
d. jadwal dan tempat pelaksanaan Penilaian Kompetensi
yang disediakan untuk pemohon; dan
e. daftar pemegang Sertifikat Kompetensi Auditor
Lingkungan Hidup, termasuk masa berlaku sertifikat
9
dan daftar sertifikat yang dalam status dibekukan
atau dicabut.
(4) Kementerian Lingkungan Hidup, LPK Auditor Lingkungan
Hidup, dan LSK Auditor Lingkungan Hidup wajib
melakukan pemutakhiran informasi publik sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (3).
BAB III
TATA LAKSANA AUDIT LINGKUNGAN HIDUP
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 15
Tata laksana Audit Lingkungan Hidup yang diatur dalam
Peraturan Menteri ini hanya untuk Audit Lingkungan Hidup
yang diwajibkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1)
huruf b.
Pasal 16
(1) Audit Lingkungan Hidup dilakukan terhadap Usaha
dan/atau Kegiatan yang memiliki dokumen lingkungan
hidup.
(2) Audit Lingkungan Hidup dapat dilakukan terhadap lebih
dari 1 (satu) Usaha dan/atau Kegiatan yang berlokasi
dalam 1 (satu) kawasan.
Pasal 17
Audit Lingkungan Hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal
15 merupakan audit yang diwajibkan oleh Menteri kepada:
a. Usaha dan/atau Kegiatan tertentu yang berisiko tinggi
terhadap lingkungan hidup; dan/atau
b. Usaha dan/atau Kegiatan yang menunjukkan
ketidaktaatan terhadap peraturan perundang-undangan di
bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
Pasal 18
(1) Usaha dan/atau Kegiatan tertentu yang berisiko tinggi
terhadap lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 17 huruf a tercantum dalam Lampiran I yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Menteri ini.
(2) Menteri dapat menetapkan jenis Usaha dan/atau Kegiatan
yang berisiko tinggi di luar Lampiran I Peraturan Menteri
ini, berdasarkan usulan dari:
a. Komisi Penilai Amdal, untuk Usaha dan/atau Kegiatan
yang masih dalam tahap perencanaan; dan/atau
10
b. Kementerian dan/atau lembaga pemerintah
nonkementerian terkait, untuk Usaha dan/atau
Kegiatan yang sudah beroperasi.
(3) Usulan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) didasarkan
pada hasil analisis risiko lingkungan hidup sesuai
peraturan perundang-undangan.
Pasal 19
Usaha dan/atau Kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
17 huruf b ditetapkan berdasarkan kriteria:
a. adanya dugaan pelanggaran terhadap peraturan
perundang-undangan di bidang perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup;
b. pelanggaran tersebut telah terjadi paling sedikit 3 (tiga)
kali dan berpotensi tetap terjadi lagi di masa datang; dan
c. belum diketahui sumber dan/atau penyebab
ketidaktaatannya.
Pasal 20
Pelaksanaan Audit Lingkungan Hidup tidak membebaskan
penanggung jawab Usaha dan/atau Kegiatan dari sanksi
hukum sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Bagian Kedua
Dokumen Audit Lingkungan Hidup
Pasal 21
(1) Dokumen Audit Lingkungan Hidup terdiri atas:
a. rencana Audit Lingkungan Hidup; dan
b. laporan hasil Audit Lingkungan Hidup.
(2) Rencana Audit Lingkungan Hidup sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf a paling sedikit berisi:
a. identitas pemberi perintah audit dan pihak yang
diaudit;
b. tujuan audit;
c. lingkup audit;
d. kriteria audit;
e. identitas dan identifikasi Kompetensi tim audit;
f. pernyataan ketidakberpihakan dan kemandirian tim
audit;
g. proses dan metode kerja audit;
h. tata waktu audit keseluruhan;
i. lokasi dan jadwal audit lapangan;
j. wakil dari pihak yang diaudit;
k. kerangka protokol audit;
l. pengumpulan bukti audit; dan
m. kerangka sistematika laporan.
11
(3) Laporan hasil Audit Lingkungan Hidup sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b paling sedikit berisi:
a. informasi yang meliputi tujuan, lingkup, kriteria, dan
proses pelaksanaan audit;
b. temuan audit;
c. kesimpulan audit;
d. rekomendasi audit dan tindak lanjut; dan
e. data dan informasi pendukung yang relevan.
Bagian Ketiga
Penilaian Audit Lingkungan Hidup
Pasal 22
(1) Menteri melakukan penilaian pelaksanaan Audit
Lingkungan Hidup.
(2) Penilaian pelaksanaan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilakukan terhadap:
a. usulan jenis Usaha dan/atau Kegiatan berisiko tinggi
di luar Lampiran I Peraturan Menteri ini;
b. usulan dilakukannya Audit Lingkungan Hidup yang
diwajibkan untuk Usaha dan/atau Kegiatan yang
menunjukan ketidaktaatan;
c. rencana Audit Lingkungan Hidup; dan
d. laporan hasil Audit Lingkungan Hidup yang diwajibkan
untuk Usaha dan/atau Kegiatan yang menunjukan
ketidaktaatan.
(3) untuk melaksanakan penilaian sebagaimana dimaksud
pada ayat (2), Menteri membentuk tim evaluasi.
Pasal 23
Tim evaluasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (3)
terdiri atas:
a. ketua yang secara ex-officio dijabat oleh Pejabat Eselon I
yang bertanggungjawab di bidang kajian dampak
lingkungan hidup.
b. sekretaris yang secara ex-officio dijabat oleh pejabat
setingkat eselon II yang bertanggungjawab di bidang Audit
Lingkungan Hidup.
c. anggota yang terdiri atas unsur:
1. instansi lingkungan hidup Pusat;
2. instansi yang membidangi Usaha dan/atau Kegiatan;
3. ahli di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup khususnya yang berkaitan dengan pelaksanaan
hasil Audit Lingkungan Hidup;
4. ahli di bidang Usaha dan/atau Kegiatan yang berkaitan
dengan pelaksanaan hasil Audit Lingkungan Hidup;
5. Instansi Lingkungan Hidup Provinsi; dan/atau
6. Instansi Lingkungan Hidup Kabupaten/Kota.
12
Bagian Keempat
Audit Lingkungan yang Diwajibkan Untuk Usaha dan/atau Kegiatan
Tertentu
yang Berisiko Tinggi Terhadap Lingkungan Hidup
Pasal 24
(1) Audit Lingkungan Hidup untuk Usaha dan/atau Kegiatan
tertentu yang berisiko tinggi terhadap lingkungan hidup
dilakukan secara berkala sesuai periode Audit Lingkungan
Hidup yang telah ditentukan sebagaimana tercantum
dalam Lampiran I Peraturan Menteri ini.
(2) Dalam melaksanakan Audit Lingkungan Hidup
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penanggung jawab
Usaha dan/atau Kegiatan menunjuk tim Audit
Lingkungan Hidup paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja
sebelum berakhirnya periode Audit Lingkungan Hidup
yang telah ditentukan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1).
(3) Tim Audit Lingkungan Hidup melalui penanggung jawab
usaha dan/atau kegiatan menyampaikan rencana Audit
Lingkungan Hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21
ayat (2) kepada tim evaluasi paling lama 10 (sepuluh) hari
kerja sejak tim Audit Lingkungan Hidup ditunjuk.
Pasal 25
(1) Tim evaluasi melakukan penilaian terhadap rencana Audit
Lingkungan Hidup.
(2) Penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
berdasarkan kriteria yang ditetapkan oleh tim evaluasi.
(3) Dalam hal terjadi perbaikan terhadap rencana Audit
Lingkungan Hidup, tim Audit Lingkungan Hidup
menyampaikan perbaikan atas rencana Audit Lingkungan
Hidup kepada tim evaluasi.
(4) Penilaian rencana Audit Lingkungan Hidup sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling lama 10
(sepuluh) hari kerja sejak rencana Audit Lingkungan
Hidup diterima.
(5) Terhadap rencana audit lingkungan yang telah memenuhi
kriteria penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
ketua tim evaluasi menerbitkan persetujuan rencana Audit
Lingkungan Hidup.
Pasal 26
(1) Tim Audit Lingkungan Hidup melaksanakan Audit
Lingkungan Hidup yang diwajibkan secara berkala
berdasarkan rencana Audit Lingkungan Hidup yang telah
disetujui sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (5).
13
(2) Audit Lingkungan Hidup sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan paling lama 14 (empat belas) hari kerja
sejak diterbitkannya surat persetujuan rencana Audit
Lingkungan Hidup bagi Usaha dan/atau Kegiatan
bersangkutan.
(3) Berdasarkan pelaksanaan Audit Lingkungan Hidup
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tim Audit
Lingkungan Hidup menyusun laporan hasil Audit
Lingkungan Hidup.
Pasal 27
(1) Tim Audit Lingkungan Hidup melalui penanggung jawab
usaha dan/atau kegiatan menyerahkan laporan hasil
Audit Lingkungan Hidup sebagaimana dimaksud dalam
pasal 26 ayat (3) secara tertulis kepada Menteri.
(2) Tim Audit Lingkungan Hidup bertanggungjawab terhadap
laporan hasil Audit Lingkungan Hidup sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).
(3) Menteri mengumumkan laporan hasil Audit Lingkungan
Hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (2) melalui
multimedia.
(4) Pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling
sedikit memuat informasi mengenai:
a. nama Usaha dan/atau Kegiatan;
b. jenis Usaha dan/atau Kegiatan;
c. lokasi Usaha dan/atau Kegiatan;
d. penanggung jawab Usaha dan/atau Kegiatan;
e. tim Audit Lingkungan Hidup beserta nomor Sertifikat
Kompetensinya bagi Auditor Lingkungan Hidup
dan/atau lembaga penyedia jasa Audit Lingkungan
Hidup beserta nomor registrasinya;
f. ruang lingkup Audit Lingkungan Hidup;
g. risiko dan/atau dampak lingkungan dari Usaha
dan/atau Kegiatan;
h. rekomendasi Audit Lingkungan Hidup; dan
i. alamat dan/atau lokasi dokumen laporan hasil Audit
Lingkungan Hidup yang dapat diakses masyarakat.
(5) Pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
dilakukan sesuai format sebagaimana tercantum dalam
Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan
dari Peraturan Menteri ini.
Pasal 28
Tata laksana Audit Lingkungan Hidup untuk Usaha dan/atau
Kegiatan tertentu yang berisiko tinggi terhadap lingkungan
hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 sampai dengan
Pasal 27 tercantum dalam bagan alir Lampiran III yang
14
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri
ini.
Bagian Kelima
Audit Lingkungan Hidup yang diwajibkan untuk Usaha dan/atau
Kegiatan
yang Menunjukan Ketidaktaatan
Pasal 29
(1) Menteri memerintahkan kepada penanggung jawab Usaha
dan/atau Kegiatan untuk melakukan Audit Lingkungan
Hidup yang diwajibkan karena menunjukkan
ketidaktaatan berdasarkan:
a. hasil pengawasan oleh Pejabat Pengawas Lingkungan
Hidup;
b. usulan dari menteri atau kepala lembaga pemerintah
nonkementerian yang membidangi Usaha dan/atau
Kegiatan; dan/atau
c. usulan dari gubernur atau bupati/walikota.
(2) Usulan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan
huruf c didasarkan atas hasil pengawasan oleh:
a. kementerian dan/atau lembaga pemerintah
nonkementerian yang membidangi Usaha dan/atau
Kegiatan;
b. instansi lingkungan hidup provinsi, untuk usulan dari
gubernur; dan/atau
c. instansi lingkungan hidup kabupaten/kota, untuk
usulan dari bupati/walikota.
(3) Usulan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan
kepada Menteri dengan menggunakan format surat usulan
sebagaimana dimaksud dalam Lampiran IV yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Menteri ini.
Pasal 30
(1) Berdasarkan usulan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
29 ayat (1) huruf b atau huruf c, tim evaluasi melakukan
evaluasi paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja, terhitung
sejak usulan diterima.
(2) Tim evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
menyampaikan hasil evaluasi dalam bentuk rekomendasi
tertulis kepada Menteri paling lambat 10 (sepuluh) hari
kerja, setelah selesai melaksanakan evaluasi.
(3) Rekomendasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat
berupa:
a. kelayakan untuk dikeluarkannya perintah Audit
Lingkungan Hidup yang diwajibkan, dilengkapi dengan
rancangan lingkup Audit Lingkungan Hidupnya; atau
15
b. ketidaklayakan untuk dikeluarkan perintah Audit
Lingkungan Hidup yang diwajibkan, dilengkapi dengan
alasan ketidaklayakan tersebut.
Pasal 31
(1) Berdasarkan rekomendasi tim evaluasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 30 ayat (3), Menteri dapat
menyetujui atau menolak usulan perintah Audit
Lingkungan Hidup yang diwajibkan.
(2) Apabila Menteri menyetujui usulan perintah Audit
Lingkungan Hidup yang diwajibkan, Menteri
mengeluarkan surat perintah pelaksanaan Audit
Lingkungan Hidup kepada penanggung jawab Usaha
dan/atau Kegiatan yang bersangkutan.
(3) Apabila Menteri menolak usulan perintah Audit
Lingkungan Hidup yang diwajibkan, Menteri memberikan
alasan penolakan tersebut dan memberitahukannya
kepada:
a. menteri yang membidangi Usaha dan/atau Kegiatan
atau kepala lembaga pemerintah nonkementerian yang
membidangi Usaha dan/atau Kegiatan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1) huruf b; atau
b. gubernur atau bupati/walikota sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 29 ayat (1) huruf c.
Pasal 32
(1) Penanggung jawab Usaha dan/atau Kegiatan setelah
menerima surat perintah pelaksanaan Audit Lingkungan
Hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (2),
harus menunjuk Auditor Lingkungan Hidup dengan
persetujuan Menteri, paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja
sejak dikeluarkannya surat perintah pelaksanaan Audit
Lingkungan Hidup.
(2) Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) terlampaui, Menteri dapat menunjuk Auditor
Lingkungan Hidup untuk melaksanakan Audit Lingkungan
Hidup yang diwajibkan.
(3) Tim Audit Lingkungan Hidup menyampaikan rencana
Audit Lingkungan Hidup sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 21 ayat (2) kepada tim evaluasi paling lama 10
(sepuluh) hari kerja sejak tim Audit Lingkungan Hidup
ditunjuk.
16
Pasal 33
(1) Tim evaluasi melakukan penilaian terhadap rencana Audit
Lingkungan Hidup.
(2) Penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
berdasarkan kriteria yang ditetapkan oleh tim evaluasi.
(3) Dalam melakukan penilaian sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), tim evaluasi dapat menetapkan kebutuhan
dilakukan penyaksian oleh tim evaluasi dalam
pelaksanaan Audit Lingkungan Hidup.
(4) Dalam hal terjadi perbaikan terhadap rencana audit
lingkungan, tim Audit Lingkungan Hidup menyampaikan
perbaikan atas rencana Audit Lingkungan Hidup kepada
tim evaluasi.
(5) Penilaian rencana Audit Lingkungan Hidup sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling lama 10
(sepuluh) hari kerja sejak rencana Audit Lingkungan
Hidup diterima.
(6) Terhadap rencana audit lingkungan yang telah memenuhi
kriteria penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
ketua tim evaluasi menerbitkan persetujuan rencana Audit
Lingkungan Hidup.
Pasal 34
(1) Tim Audit Lingkungan Hidup melakukan Audit
Lingkungan Hidup berdasarkan rencana Audit Lingkungan
Hidup yang telah disetujui sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 33 ayat (6).
(2) Audit Lingkungan Hidup sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan paling lama 14 (empat belas) hari kerja
sejak diterbitkannya surat persetujuan rencana Audit
Lingkungan Hidup bagi Usaha dan/atau Kegiatan
bersangkutan.
(3) Dalam hal terdapat penyaksi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 33 ayat (3), penyaksi tidak terlibat dalam
pekerjaan Audit Lingkungan Hidup yang dilakukan oleh
tim Audit Lingkungan Hidup.
(4) Berdasarkan pelaksanaan Audit Lingkungan Hidup
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tim Audit
Lingkungan Hidup menyusun laporan hasil Audit
Lingkungan Hidup.
Pasal 35
(1) Tim Audit Lingkungan Hidup menyerahkan laporan hasil
Audit Lingkungan Hidup sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 33 ayat (4) secara tertulis kepada tim evaluasi.
17
(2) Tim evaluasi melakukan penilaian terhadap laporan hasil
Audit Lingkungan Hidup sebagaimana dimaksud pada
ayat (1).
(3) Penilaian atas laporan hasil Audit Lingkungan Hidup
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan paling
lama 10 (sepuluh) hari kerja sejak diterimanya laporan
hasil Audit Lingkungan Hidup.
(4) Penilaian laporan hasil Audit Lingkungan Hidup
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berupa:
a. diterima; atau
b. ditolak.
(5) Ketua tim evaluasi menyampaikan penilaian laporan hasil
Audit Lingkungan Hidup kepada Menteri.
Pasal 36
(1) Terhadap laporan hasil Audit Lingkungan Hidup yang
diterima sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (4)
huruf a, Menteri:
a. menerima dan mengesahkan laporan hasil Audit
Lingkungan Hidup; dan
b. menetapkan tindak lanjut terhadap hasil Audit
Lingkungan Hidup.
(2) Pengesahan dan penetapan tindak lanjut sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diterbitkan dalam bentuk
keputusan Menteri.
(3) Pengesahan laporan hasil Audit Lingkungan Hidup
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a berisi
pernyataan:
a. taat; atau
b. tidak taat.
(4) Tindak lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
b berupa:
a. perbaikan kinerja pengelolaan dan pemanatuan
lingkungan hidup Usaha dan/atau Kegiatan;
b. perubahan izin lingkungan;
c. pertimbangan dalam penerbitan perpanjangan izin
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup;
dan/atau
d. penegakan hukum.
Pasal 37
(1) Terhadap laporan hasil Audit Lingkungan Hidup yang
ditolak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (4)
huruf b, Menteri menetapkan pelaksanaan Audit
Lingkungan Hidup kembali terhadap penanggung jawab
Usaha dan/atau Kegiatan dengan tim Audit Lingkungan
Hidup yang berbeda.
18
(2) Kriteria penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi:
a. laporan hasil Audit Lingkungan Hidup tidak disusun
sesuai metodologi Audit Lingkungan Hidup dan kaidah
penulisan laporan Audit Lingkungan Hidup yang
benar;
b. tim Audit Lingkungan Hidup melakukan kesalahan
dalam menetapkan ketaatan dan/atau ketidaktaatan
terhadap suatu temuan Audit Lingkungan Hidup;
dan/atau
c. ditemukan bukti bahwa tim Audit Lingkungan Hidup
melaporkan hasil Audit Lingkungan Hidup yang tidak
sesuai dengan fakta dan/atau tidak melakukan
jaminan mutu dan kendali mutu atas laporan hasil
Audit Lingkungan Hidup yang dilaporkannya.
Pasal 38
Menteri mengumumkan pengesahan dan penetapan tindak
lanjut hasil Audit Lingkungan Hidup sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 36 melalui multimedia.
Pasal 39
Tata laksana Audit Lingkungan Hidup bagi Usaha dan/atau
Kegiatan yang menunjukkan ketidaktaatan terhadap peraturan
perundang-undangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29
sampai dengan Pasal 38 tercantum dalam bagan alir Lampiran
V yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Menteri ini.
BAB IV
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
Bagian Kesatu
Pembinaan
Pasal 40
(1) Menteri melakukan pembinaan terhadap:
a. pelaksanaan Audit Lingkungan Hidup kepada instansi
yang membidangi Usaha dan/atau Kegiatan, gubernur,
dan/atau bupati/walikota;
b. LPK Auditor Lingkungan Hidup dan LSK Auditor
Lingkungan Hidup.
(2) Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
dilakukan dalam bentuk peningkatan kapasitas di bidang
Audit Lingkungan Hidup dan/atau pelatihan Auditor
Lingkungan Hidup.
19
(3) Dalam melaksanakan pembinaan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf b, Menteri dapat bekerjasama dengan
gubernur dan/atau bupati/walikota.
Pasal 41
(1) Menteri, gubernur, dan/atau bupati/walikota melakukan
pembinaan kepada:
a. penanggung jawab Usaha dan/atau Kegiatan;
b. lembaga penyedia jasa Auditor Lingkungan Hidup.
(2) Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
dilakukan dalam bentuk pemberian informasi di bidang
Audit Lingkungan Hidup.
(3) Menteri dapat bekerjasama dengan pemerintah daerah
provinsi dan/atau pemerintah daerah kabupaten/kota
dalam melakukan pembinaan terhadap LPK Auditor
Lingkungan Hidup.
(4) Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat
(3) meliputi antara lain:
a. penyediaan informasi yang relevan dan mutakhir
kepada lembaga penyedia jasa Audit Lingkungan
Hidup, LSK Auditor Lingkungan Hidup, LPK Auditor
Lingkungan Hidup dan pengajar;
b. penyediaan panduan teknis yang memuat tatacara
dan penjelasan teknis Audit Lingkungan Hidup;
dan/atau
c. bimbingan teknis kepada auditor utama, auditor, dan
pengajar.
Pasal 42
(1) Instansi yang membidangi Usaha dan/atau Kegiatan
melakukan pembinaan teknis pelaksanaan pengelolaan
dan pemantauan lingkungan hidup terhadap Usaha
dan/atau Kegiatan yang melakukan Audit Lingkungan
Hidup.
(2) Pembinaan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
sesuai dengan izin Usaha dan/atau Kegiatan yang
diterbitkannya.
(3) Pembinaan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan dalam bentuk penetapan norma, standar,
prosedur dan/atau kriteria pelaksanaan pengelolaan dan
pemantauan lingkungan hidup.
20
Bagian Kedua
Pengawasan
Pasal 43
(1) Menteri melakukan pengawasan terhadap LPK Auditor
Lingkungan Hidup dan LSK Auditor Lingkungan Hidup.
(2) Dalam melaksanakan pengawasan terhadap LPK auditor
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri dapat
bekerjasama dengan gubernur dan/atau
bupati/walikota.
(3) Menteri, gubernur, atau bupati/walikota melakukan
pengawasan terhadap lembaga penyedia jasa Audit
Lingkungan Hidup.
(4) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (3) dilakukan secara berkala dan/atau sewaktuwaktu
terhadap lembaga penyedia jasa Audit Lingkungan
Hidup, LPK Auditor Lingkungan Hidup, dan LSK Auditor
Lingkungan Hidup.
Pasal 44
(1) Berdasarkan hasil pengawasan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 43, Menteri berwenang membekukan
Registrasi Kompetensi terhadap:
a. LPK Auditor Lingkungan Hidup, yang tidak dapat
menjaga pemenuhan persyaratan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 11; atau
b. lembaga penyedia jasa Audit Lingkungan Hidup,
yang tidak dapat menjaga pemenuhan persyaratan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13.
(2) Menteri berwenang mencabut Registrasi Kompetensi
lembaga penyedia jasa Audit Lingkungan Hidup dan/atau
LPK Auditor Lingkungan Hidup apabila:
a. lembaga penyedia jasa Audit Lingkungan Hidup
melakukan penjiplakan dan/atau pemalsuan data
hasil Audit Lingkungan Hidup; atau
b. setelah dibekukan dalam waktu paling lama 6 (enam)
bulan lembaga penyedia jasa Audit Lingkungan Hidup
dan/atau LPK Auditor Lingkungan Hidup tetap tidak
memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf a atau huruf b.
(3) Pada kondisi pembekuan atau pencabutan Registrasi
Kompetensi, LPK Auditor Lingkungan Hidup dilarang
melaksanakan pelatihan Kompetensi Auditor Lingkungan
Hidup.
(4) Pada kondisi pembekuan atau pencabutan Registrasi
Kompetensi, lembaga penyedia jasa Audit Lingkungan
21
Hidup dilarang melaksanakan Audit Lingkungan Hidup.
(5) Menteri menginformasikan kepada publik mengenai
pembekuan dan pencabutan Registrasi Kompetensi
lembaga penyedia jasa Audit Lingkungan Hidup dan LPK
Auditor Lingkungan Hidup.
Pasal 45
(1) LSK Auditor Lingkungan Hidup melakukan pengawasan
terhadap Auditor Lingkungan Hidup yang telah memiliki
Sertifikat Kompetensi.
(2) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan berdasarkan kriteria pemeliharaan Sertifikat
Kompetensi dan mekanisme pengawasan yang ditetapkan
oleh LSK Auditor Lingkungan Hidup setelah mendapat
persetujuan Menteri.
Pasal 46
(1) Berdasarkan hasil pengawasan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 45, LSK Auditor Lingkungan Hidup
berwenang:
a. membekukan Sertifikat Kompetensi Auditor
Lingkungan Hidup apabila pemegang sertifikat tidak
memenuhi kriteria pemeliharaan Sertifikat
Kompetensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45
ayat (2); dan
b. mencabut Sertifikat Kompetensi Auditor Lingkungan
Hidup apabila pemegang sertifikat melakukan
penjiplakan dan/atau pemalsuan data dalam
pelaksanaan Audit Lingkungan Hidup.
(2) Pada kondisi pembekuan atau pencabutan Sertifikat
Kompetensi, Auditor Lingkungan Hidup dilarang
melakukan Audit Lingkungan Hidup.
(3) Tata laksana pembekuan atau pencabutan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan sesuai
dengan tata laksana pembekuan dan pencabutan
Sertifikat Kompetensi Auditor Lingkungan Hidup yang
ditetapkan oleh LSK Auditor Lingkungan Hidup setelah
mendapat persetujuan Menteri.
(4) LSK Auditor Lingkungan Hidup menginformasikan
kepada publik mengenai pembekuan atau pencabutan
Sertifikat Kompetensi Auditor Lingkungan Hidup dan
melaporkan kepada Menteri paling lama 1 (satu) bulan
terhitung sejak pembekuan atau pencabutan Sertifikat
Kompetensi Auditor Lingkungan Hidup.
22
Pasal 47
(1) Menteri, gubernur, dan/atau bupati/walikota melakukan
pengawasan terhadap pelaksanaan tindak lanjut hasil
Audit Lingkungan Hidup sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 38.
(2) Pelaksanaan pengawasan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dapat berkoordinasi dengan instansi yang
membidangi Usaha dan/atau Kegiatan.
BAB VII
PEMBIAYAAN
Pasal 48
(1) Biaya pelaksanaan pelatihan Kompetensi dan sertifikasi
Kompetensi dibebankan kepada peserta.
(2) Standar biaya sertifikasi Kompetensi ditetapkan oleh LSK
Auditor Lingkungan Hidup setelah mendapat
pertimbangan dari Menteri.
(3) Biaya Registrasi Kompetensi dibebankan kepada
pemohon.
(4) Biaya Registrasi Kompetensi ditetapkan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.
Pasal 49
(1) Biaya pelaksanaan Audit Lingkungan Hidup sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 20, Pasal 22, dan Pasal 26
dibebankan kepada penanggung jawab Usaha dan/atau
Kegiatan.
(2) Biaya pelaksanaan evaluasi terhadap usulan Audit
Lingkungan Hidup yang diwajibkan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 22 dibebankan pada Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara.
(3) Biaya pelaksanaan penilaian rencana Audit Lingkungan
Hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 dan Pasal
33 dibebankan kepada penanggung jawab Usaha dan/atau
Kegiatan.
(4) Biaya penerbitan surat persetujuan rencana Audit
Lingkungan Hidup, penilaian, dan penyaksian audit,
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (5), Pasal 26
ayat (2), Pasal 33 ayat (6), Pasal 34 (2), Pasal 36 ayat (2),
dan Pasal 42 ayat (2) dibebankan pada Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
(5) Biaya pengumuman dan publikasi oleh Menteri
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat 3 dan Pasal
38 dibebankan kepada penanggung jawab Usaha dan/atau
Kegiatan.
23
(6) Biaya pengumuman ringkasan laporan hasil evaluasi atas
hasil Audit Lingkungan Hidup yang diwajibkan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1)
dibebankan kepada penanggung jawab Usaha dan/atau
Kegiatan.
(7) Biaya pembinaan kepada penanggung jawab Usaha
dan/atau Kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41
dibebankan pada:
a. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
kabupaten/kota, untuk pembinaan yang dilakukan
bupati/walikota;
b. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah provinsi,
untuk pembinaan yang dilakukan gubernur; atau
c. APBN untuk pembinaan yang dilakukan Menteri.
(8) Biaya pembinaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42
dibebankan pada anggaran instansi yang membidangi
Usaha dan/atau Kegiatan.
(9) Biaya pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43
dibebankan pada:
a. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
kabupaten/kota, untuk pengawasan yang dilakukan
bupati/walikota;
b. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah provinsi,
untuk pengawasan yang dilakukan gubernur; atau
c. APBN untuk pengawasan yang dilakukan Menteri.
Pasal 50
(1) Biaya pembinaan dan pengawasan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 40, Pasal 41, Pasal 43, dan Pasal
47 yang dilaksanakan oleh Menteri dibebankan pada
APBN Kementerian Lingkungan Hidup.
(2) Biaya pembinaan dan pengawasan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 41, Pasal 43, dan Pasal 47 yang
dilaksanakan oleh gubernur atau bupati/walikota
dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah.
(3) Biaya pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
45 dibebankan pada LSK Auditor Lingkungan Hidup.
BAB VIII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 51
Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, terhadap Usaha
dan/atau Kegiatan yang sedang dilakukan Audit Lingkungan
Hidup yang diwajibkan, hasil Audit Lingkungan Hidup
dievaluasi sesuai dengan mekanisme Audit Lingkungan Hidup
24
yang diwajibkan karena ketidaktaatan terhadap peraturan
perundang-undangan di bidang perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup.
BAB IX
PENUTUP
Pasal 52
Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku:
a. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor:
KEP-42/MENLH/XI/1994 tentang Pedoman Umum
Pelaksanaan Audit Lingkungan;
b. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 30
Tahun 2001 tentang Pedoman Pelaksanaan Audit
Lingkungan Hidup Yang Diwajibkan; dan
c. Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 17
Tahun 2010 tentang Audit Lingkungan Hidup,
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 53
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya
dalam Berita Negara
Republik Indonesia.
Referensi
Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 4294 Tahun 1994 Tentang
Pedoman Umum Pelaksanaan Audit Lingkungan.
Peraturan
Menteri Lingkungan Hidup Republik Indonesia Nomor 03 Tahun 2013 Tentang Audit
Lingkungan Hidup
www.oc.its.ac.id/ambilfile.php?idp=1833. Konsep
Audit Lingkungan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar