Kronologis Penolakan Tambang Pasir Di Desa Selok Awar – Awar Kecamatan Pasirian Kabupaten Lumajang Jawa Timur
Laporan
Investigasi Oleh: ACHMAD ZAKKY QHUFRON,
SH
Sumber:
http://www.selamatkanbumi.com/kronologis-penolakan-tambang-pasir-di-desa-selok-awar-awar-kecamatan-pasirian-kabupaten-lumajang-jawa-timur, 28 September
2015
Awal
terjadinya penolakan aktivitas penambangan pasir oleh masyarakat Desa Selok
Awar-Awar, dimulai sekitar bulan Januari 2015. Bentuk penolakan
masyarakat berupa pernyataan sikap FORUM KOMUNIKASI MASYARAKAT PEDULI DESA
SELOK AWAR – AWAR KECAMATAN PASIRIAN KABUPATEN LUMAJANG, yang dibentuk
oleh 12 warga masyarakat, yaitu :
- Bapak TOSAN
- Bapak IKSAN
SUMAR
- Bapak ANSORI
- Bapak SAPARI
- Bapak SALIM
/ P. KANCIL
- Bapak ABDUL
HAMID
- Bapak
TURIMAN
- Saudara
M.HARIYADI
- Saudara
ROSYID
- Saudara
MOHAMMAD IMAM
- Saudara
RIDWAN
- Bapak
COKROWIDODO RS
Mereka
melakukan gerakan advokasi protes tentang penambangan pasir yang mengakibatkan
rusaknya lingkungan di Desa mereka dengan cara bersurat kepada Pemerintahan
Desa Selok Awar-Awar, Pemerintahan Kecamatan Pasirian danPemerintahan Kabupaten
Lumajang/Bupati Lumajang.
Sekitar
bulan Juni 2015, FORUM warga menyurati Bupati Lumajang untuk meminta
AUDENSI tentang penolakan tambang pasir. Tetapi tidak di respon oleh Bupati
yang diwakili oleh CAMAT Pasirian. AUDENSI tersebut tentang keberatan FORUM
warga terhadap aktivitas penambangan yang Izin penambangannya berkedok izin
pariwisata.
Pada
9 September 2015 FORUM warga melakukan aksi damai penyetopan aktivitas
penambangan pasir dan penyetopan truk muatan pasir di Balai Desa Selok
Awar-Awar, yang menghasilkan Surat Pernyataan Kepala Desa Selok Awar-Awar untuk
menghentikan aktivitas penambangan pasir di Desa Selok Awar-Awar.
Pada
10 September 2015 muncul pengancaman dan pembunuhan yang dilakukan
oleh TIM PREMAN bentukan dari Kepala Desa Selok Awar – Awar kepada Bapak
TOSAN. Tim PREMAN tersebut diketuai oleh P. DESIR. Dan sebelum itu juga ada
beberapa anggota FORUM warga yang pernah diancam oleh TIM PREMAN tersebut.
Pada
11 September 2015 perwakilan FORUM warga melaporkan kejadian
Tindak Pidana pengancaman ke POLRES LUMAJANG yang ditemui dan/atau diterima
langsung oleh KASAT RESKRIM LUMAJANG Bapak HERI. Pada saat itu KASAT menjamin
dan akan merespon pengaduan FORUM yang telah dikordinasikan dengan
pimpinan POLSEK PASIRIAN.
Pada
tanggal 19 September 2015, FORUM warga menerima Surat Pemberitahuan dari
POLRES LUMAJANG terkait nama-nama Penyidik POLRES yang menangani kasus
pengancaman tersebut.
Pada
tanggal 21 September 2015 , FORUM warga mengirim Surat Pengaduan terkait
ILEGAL MINING yang dilakukan oleh oknum Aparat Desa Selok Awar-Awar di daerah
hutan lindung Perhutani.
Pada
tanggal 25 September 2015, FORUM warga mengadakan kordinasi dan
konsolidasi dengan masyarakat luas bahwa akan melakukan aksi penolakan tambang
pasir dikarenakan aktivitas penambangan tetap berlangsung dilakukan oleh pihak
Penambang. Rencana aksi dilakukan besok pagi harinya tanggal 26 September 2015
Pukul 07.30 WIB.
Pada
tanggal 26 September 2015 kurang lebih pukul 08.00 WIB, terjadi penjemputan
paksa dan penganiayaan terhadap 2 orang anggota FORUM warga yaitu Bapak TOSAN
dan Bapak SALIM / P. KANCIL yang dilakukan sekelompok preman
yang dipimpim oleh DESIR yang mengakibatkan meninggalnya Bapak
SALIM/P.KANCIL dan Luka Berat; Bapak TOSAN.
Kejadian
Alur TKP Korban P. TOSAN
Sekitar
Pukul 07.00 WIB, Pak Tosan menyebar selebaran di depan rumahnya bersama saudara
Imam, kemudian ada satu orang kebetulan melintas dan berhenti sempat
marah-marah, setelah itu dia meninggalkan pak Tosan dan Imam.
Sekitar
pukul 07.30 WIB, sekelompok preman sekitar kurang lebih 40 orang
bermotor mendatangi P. TOSAN kemudian mengeroyok. Sebelum melarikan diri, Imam,
teman korban sempat melerai kemudian preman berbalik ingin menyerang IMAM. Karena
IMAM sendirian dan preman memakai dan membawa kayu, batu dan clurit, IMAM
diminta korban untuk melarikan menyelamatkan diri dari lokasi tersebut.
Kemudian pak Tosan melarikan diri dengan menaiki sepeda angin, namun masa terus
mengejar. Pada saat di lapangan Persil, korban terjatuh, di aniaya dengan
memakai pentungan kayu, pacul, batu dan celurit. Setelah korban terjatuh,
preman sempat melindas dengan sepeda motor.
Kemudian
setelah beberapa lama datang teman P.TOSAN yaitu RIDWAN yang telah menerima
kabar bahwa P.TOSAN dianiaya oleh 30 orang lebih. Lalu RIDWAN hendak melerai
preman agar melepaskan P.TOSAN. Kemudian para preman berbalik hendak mengeroyok
RIDWAN, lalu RIDWAN menantang pimpinan preman, yang bernama Deser. Kemudian
para preman berbalik dan meninggalkan P.TOSAN yang sudah penuh luka berat dan
RIDWAN mengantarkan P.TOSAN ke PUSKESMAS Pasirian dan dirujuk ke RSUD
Lumajang dan RS.BHAYANGKARA Lumajang.
Kejadian
Alur TKP Korban Alm. P.SALIM/ P.KANCIL
Setelah
dari menganiaya P.TOSAN, para preman menuju rumah P.SALIM/P.KANCIL. Selanjutnya
para preman menjemput paksa P. SALIM/KANCIL di rumahnya. Pada saat kejadian,
Alm Pak Kancil sedang mengendong cucunya yang masih berusia sekitar 5 tahun.
Melihat gerombolan preman datang kerumahnya, korban menaruh cucunya dilantai,
kemudian preman mengikat kedua tangan korban, memukuli dengan kayu dan batu.
Kemudian preman membawa P.SALIM/P.KANCIL ke Balai Desa Selok Awar – Awar dengan
cara diseret. Jarak rumah korban dengan Balai Desa sekitar 2 kilo meter. Pada
saat di Balai Desa korban sempat mendapat penyiksaan berat. Selain dipukuli,
digergaji lehernya, Almarhum juga disetrum. Kejadian ini kurang lebih setengah
jam; antara jam 08.00-08.30 WIB, sampai menimbulkan kegaduhan, dan terdengar
suara kesakitan dari P. SALIM/KANCIL di Balai Desa tersebut, yang pada saat itu
ada proses belajar mengajar disekolah Anak – Anak PAUD di Desa. Peristiwa itu
sampai mengakibatkan proses belajar mengajar di hentikan dan dipulangkan.
Kemudian preman menyeret P.SALIM/KANCIL ke luar Balai Desa menuju tempat
disekitar Makam Desa. Pada saat disekitar makam, korban diminta berdiri tangan
terikat dan diangkat keatas, kemudian preman membacok perut selama tiga kali
namun tidak menimbulkan luka sama sekali, kemudian kepala korban di kepruk pakai
batu dan mengakibatkan korban meninggal posisi tertelungkup dengan tangan
terikat/diikat dengan tambang. Tubuh terutama kepala korban penuh luka benda
tumpul, di dekat korban banyak batu dan kayu berserakan.
Menurut
kesaksian dari RIDWAN dan IMAM, para preman berjumlah kurang lebih 40 orang
tersebut dipimpin oleh P. DESIR yang kesemuanya itu melakukan penganiayaan
terhadap P.TOSAN dan kemungkinan besar juga pelaku yang sama terhadap
pembunuhan P. SALIM/ P. KANCIL. Kesaksian RIDWAN dan IMAM telah dimintai
keterangan di TKP oleh pihak Penyidik POLRES Lumajang dan menyebutkan beberapa
nama pelaku penganiayaan dan Pembunuhan yang diketahui, yaitu : DESIR; EKSAN; TOMIN;
TINARLAP; SIARI; TEJO; ELI; BUDI; SIO; BESRI; SUKET; SIAMAN; JUMUNAM; SATUWI; TIMAR;
BURI; MISTO; PARMAN; SATRUM; dan pelaku lainnya tidak diketahui namanya.
Untuk
beberapa anggota FORUM lainnya, pasca kejadian tersebut berada di POLSEK
PASIRIAN untuk meminta perlindungan keamanan.
Pembunuhan Terhadap Salim Kancil dan
Tosan Sudah Direncanakan
(Laporan
Investigasi Pusham Surabaya dan CMARs Surabaya)
Oleh:
Johan Avie & Abdul Karim
Malam
Harinya; Pembunuhan Direncanakan
Pembunuhan
terhadap Salim Kancil, serta penganiayaan terhadap Tosan sudah direncanakan
oleh para pelaku sejak tanggal 25 September 2015, satu hari sebelum pembunuhan
itu terjadi. Malam hari, 25 September 2015, Tim 12 dan Kepala Desa menyusun
rencana untuk membunuh Salim Kancil dan Tosan. Rencana pembunuhan dilakukan di
salah satu pondok pesantren milik Kyai Huri. Letaknya di sebelah selatan
terminal Probolinggo, Jawa Timur.
Pada
25 September 2015, sekitar pukul 22.00 WIB, Desir, pimpinan tim 12 yang kini
jadi tersangka, mendatangi Asnawi. Ia mengajak Asnawi untuk mengikuti pertemuan
di Probolinggo dengan Kepala Desa, dan tim 12. Asnawi diajak karena ia adalah
mantan kepala dusun, dan dulu merupakan tim sukses dari Hariyono, Kepala Desa
Selok Awar-Awar, Kecamatan Pasirian, Kabupaten Lumajang. Berdasarkan keterangan
Asnawi, ia menolak untuk ikut karena merasa ada yang tidak beres dengan
pertemuan tersebut. Akhirnya Desir kembali pulang ke rumahnya untuk
mempersiapkan keberangkatan 12 orang lainnya ke Probolinggo.
Di
tempat yang berbeda, Gus Namin, salah seorang tokoh agama di Kecamatan
Wotgalih, Kabupaten Lumajang juga menyatakan bahwa 2 orang santrinya berpamitan
kepada dirinya untuk ikut berangkat ke Probolinggo karena ada pertemuan dengan
Kepala Desa Selok Awar-Awar, Kecamatan Pasirian, Kabupaten Lumajang. Saat itu,
Gus Namin sudah melarang kedua santrinya untuk ikut dalam pertemuan tersebut,
tetapi mereka tetap memaksa berangkat bersama dengan tim 12 lainnya. Gus Namin
sendiri tidak mengetahui apa isi dari pertemuan di Probolinggo tersebut, karena
menurutnya, kedua santrinya tidak mengatakan apa-apa soal pertemuan di
Probolinggo.
Pukul
22.15 WIB, Asnawi, bersama dengan 3 warga Desa Selok Awar-Awar lainnya melihat
2 buah mobil yang ditumpangi oleh tim 12 dan Kepala Desa berangkat dari Balai
Desa. Kedua mobil tersebut berjalan menuju ke utara, arah jalan keluar Desa
Selok Awar-Awar, Kecamatan Pasirian, Kabupaten Lumajang. Saat itu, kaca mobil
ditutup rapat, tetapi salah seorang warga (nama dirahasiakan) melihat bahwa
mobil itu berisi tim 12 dan juga kepala desa. Asnawi bahkan mengatakan bahwa
mobil yang digunakan adalah mobil milik perangkat Desa Selok Awar-Awar, dan
kini telah disita oleh penyidik Polda Jatim. Menurut Asnawi, 1 mobil yang
digunakan adalah mobil kepunyaan dari Didik (Pembantu Staff Desa Selok
Awar-Awar), dan 1 mobil lainnya milik dari Eko (Kepala Urusan Pembangunan Desa
Selok Awar-Awar).
Tim
investigasi juga menemukan fakta lain di malam hari sebelum pembunuhan terjadi.
Berdasarkan keterangan Abdul Hamid, warga Desa Selok Awar-Awar, Kecamatan
Pasirian, Kabupaten Lumajang, 25 September 2015, pukul 21.00 WIB, Ia bersama
dengan Salim Kancil, Tosan, dan 7 orang lainnya sempat berkunjung ke rumah Kyai
di Kecamatan Wotgalih, Kabupaten Lumajang. Menurut Hamid, kunjungannya tersebut
dalam rangka meminta doa kepada Kyai, karena keesokan harinya mereka akan
melakukan aksi demonstrasi ke Kepala Desa. Pada saat di jalan menuju Wotgalih,
Abdul Hamid merasa rombongannya dikuntit oleh beberapa orang tidak dikenal.
“Orang yang menguntit kami itu terus mampir ke rumah Kepala Desa Wotgalih,”
ujar Hamid.
Kejanggalan
lainnya juga ditemui Hamid sesampainya di rumah sang Kyai. Entah secara
kebetulan atau tidak, rombongan Hamid ini juga berjumpa dengan seorang anggota
Brimob di dalam rumah Kyai. Hamid tidak sempat berkenalan dengan anggota Brimob
tersebut, ia hanya mengetahui bahwa anggota Brimob tersebut juga sedang
berkunjung ke rumah Kyai untuk meminta doa dari si Kyai. Setelah bercerita
panjang lebar mengenai rencana demonstrasi yang akan dilakukannya pada esok
harinya, rombongan Hamid ini pun kembali ke desa mereka. Seorang anggota Brimob
yang tidak dikenali tersebut juga ikut berpamitan, setelah sempat mendengarkan
panjang-lebar mengenai rencana demonstrasi yang dilakukan oleh Hamid, Salim
Kancil, Tosan, dan kawan-kawannya.
Pagi
Hari; Titik Kumpul Para Pembunuh
Pukul
06.00 WIB, ketika para warga sedang sibuk mempersiapkan kebutuhan domestik dan
berbelanja di pasar, tim 12 (pelaku pembunuhan) justru sibuk berkumpul dan
mempersiapkan senjata yang akan dipergunakan untuk membunuh Salim Kancil dan
Tosan. Saat itu, BI (seorang warga yang tidak mau disebutkan namanya)
berpapasan dengan Basri, salah seorang tersangka pembunuhan terhadap Salim
Kancil dan Tosan. Menurut keterangannya, Basri menaiki sepeda motor sembari
membawa cangkul, menuju ke arah utara (arah rumah Pak Desir), sedangkan ia
sendiri saat itu sedang pulang ke rumahnya (arah selatan) setelah berbelanja di
pasar. “Saya kira waktu itu mau ada kerja bakti membetulkan jalan raya, kok
saya melihat Basri itu bawa cangkul ke arah utara,” ujar BI
Selain
Basri, BI juga melihat Tejo, salah seorang tersangka pembunuhan lainnya,
berkendara sepeda motor sembari membawa bambu berjalan ke arah rumah Desir.
Cangkul dan bambu inilah yang kemudian digunakan sebagai alat untuk menganiaya
Tosan dan Salim Kancil. Keterangan BI tersebut diperkuat juga oleh keterangan
dari DL, salah seorang warga yang
rumahnya bersebelahan dengan rumah Desir. Ia melihat sekitar 40 orang dengan
menggunakan 20 sepeda motor berkumpul di rumah Desir. “Waktu itu saya kira mau
ada acara desa mas, karena mereka bawa alat-alat kerja itu,” ujar DL. Alat-alat
kerja yang dimaksudkan adalah cangkul, celurit, bambu, dan juga parang.
Alat-alat ini memang telah dibawa oleh para pelaku pembunuhan sejak dari rumah
mereka.
Bahkan
di saat mereka berkumpul di rumah Desir, alat-alat tersebut telah dipersiapkan.
DL juga menyaksikan pada pagi itu, Desir sempat berbicara kepada 40 orang,
seperti memberikan arahan kepada mereka. Menurut DL, ke-40 orang tersebut
berkumpul sekitar 10 menit, sebelum berangkat bersama-sama menuju ke arah rumah
Tosan. Ia juga mengatakan bahwa tidak hanya dirinya yang menjadi saksi mata
atas peristiwa tersebut, tetangga-tetangga Desir juga ikut melihat massa
berkumpul di rumah Desir, pada pukul 06.00 WIB.
Skema
1: Membunuh Tosan
Pada
26 September 2015, Pukul 06.25 WIB, Imam menerima telepon dari Tosan melalui
handphonenya. Tosan meminta Imam untuk datang ke rumahnya, karena ia berencana
mengajak Imam untuk berangkat bersama-sama melakukan demonstrasi menolak
tambang pasir ke Balai Desa. Pukul 06.30 WIB, Imam sampai di rumah Tosan. Ia
berangkat dari rumahnya dengan berjalan kaki. Waktu itu, Tosan sedang memanasi
mesin motornya di teras depan rumahnya. Imam sendiri sedang duduk-duduk di
dalam ruang tamu rumah Tosan. Pukul 06.30 WIB, Tosan dan Imam membagikan
selebaran yang berisi pernyataan kepala desa untuk menutup tambang pasir di
Desa Selok Awar-Awar, Kecamatan Pasirian, Kabupaten Lumajang. Imam dan Tosan
membagikan selebaran itu kepada para pengendara yang melewati depan rumahnya.
Menurut keterangan Imam, saat itu mereka baru berhasil membagikan 9 lembar
selebaran kepada para pengendara.
Pukul
07.00 WIB, Parman, salah seorang anggota Tim 12 tiba-tiba berhenti di depan
rumah Tosan, mematikan mesin sepeda motornya, memarkirnya, lalu kemudian berteriak
membentak-bentak Tosan. Menurut Imam, Parman membentak tosan dengan kata-kata,
“Kenapa kamu mau demo kepala desa! Kalau kamu mau demo kepala desa, lawan saya
dulu,” ujar Imam menirukan ucapan dari Parman. Setelah sempat membentak Tosan,
Parman kemudian kembali menaiki sepeda motornya dan pergi menuju ke arah utara
(arah rumah Desir).
Gambar
1. Rumah Tosan. Di halaman depan rumah ini, Tosan Dianiaya oleh 40 orang pelaku
pembunuhan.
Berselang
10 menit kemudian, sekitar pukul 06.30 WIB, Parman kembali dengan 40 orang
lainnya. Mereka menghampiri rumah Tosan dengan mengendarai 20 sepeda motor.
Menurut keterangan Imam, rombongan massa tersebut dipimpin oleh Ehsan, anak
kandung Desir. Rombongan massa ini datang dari arah Utara rumah Tosan (dari
rumah Pak Desir). Ehsan adalah orang pertama yang menghampiri Tosan di halaman
depan rumah Tosan. Tanpa basa-basi, Ehsan langsung memukul Tosan dengan
menggunakan tangan kosong. Melihat Ehsan memukul Tosan, Tinarlab dan Misto,
tersangka lainnya, menyusul melancarkan pukulan ke Tosan. Desir pun ikut
memukul Tosan dari belakang, dan Tomin beserta Buri langsung membacok kepala
Tosan dengan menggunakan celurit. Menurut keterangan Imam, celurit yang
digunakan Tomin berasal dari sepeda motor milik Tomin. “Tomin waktu itu ngambil
celuritnya itu dari sepeda motornya,” terang Imam. Sedangkan Tejo, dan Ari,
tersangka lainnya, memukul Tosan dengan menggunakan bambu sepanjang 1 meter.
Bambu tersebut dibawa dengan menggunakan motornya.
Imam
juga sempat melihat Basri ikut memukul Tosan dengan menggunakan cangkul, dan
Satrum, beserta Sukit membacok Tosan dengan menggunakan golok. Anehnya, di
tengah pengeroyokan terhadap Tosan, Imam sempat melihat salah seorang anggota
Babinsa berdiri di seberang jalan depan rumah Tosan. Anggota Babinsa tersebut
juga diketahui berada di lapangan tempat Tosan dianiaya oleh massa. Melihat
Tosan dikeroyok oleh 40 orang, Imam lari ke belakang rumah Tosan untuk meminta
tolong kepada warga lainnya. Di belakang rumah, Imam sudah dihadang oleh 10
orang yang dipimpin oleh Buri. Ia pun lari bersembunyi ke rumah Rohim, di dekat
lapangan belakang rumah Tosan. Sekitar pukul 07.30 WIB, dari rumah Rohim, Imam
melihat Tosan lari tunggang-langgang dengan menggunakan sepeda onthel, dikejar
oleh 40 orang yang menggunakan sepeda motor.
Di
depan lapangan, sepeda Tosan ditabrak oleh Siyo yang menggunakan sepeda motor.
Tosan pun terjatuh dari sepedanya. Setelah jatuh, Tosan sempat dipukuli lagi
dengan menggunakan bambu dan kayu oleh massa. Imam juga sempat melihat tubuh
Tosan dilindas sebanyak 4 kali dengan menggunakan motor oleh Ehsan dan Siyo.
Melihat Tosan dilindas berkali-kali dengan menggunakan motor, Ridwan, salah
seorang warga yang rumahnya dekat dengan tempat kejadian berusaha untuk
mengusir massa. Menurut Ridwan, dengan komando dari Desir, massa akhirnya
berjalan ke arah utara menuju rumah Salim Kancil. Polisi sendiri baru datang ke
tempat kejadian (lapangan) pada pukul 07.45 WIB, setelah massa bergerak ke
rumah Salim Kancil. Menurut keterangan Ridwan, terdapat 4 orang anggota Polsek
Pasirian yang
datang ke lapangan pada pukul 07.45
WIB. Imam dan Ridwan pun ikut dibawa ke kantor Polsek Pasirian agar aman dari
ancaman pembunuhan yang dilakukan oleh tim 12.
Skema
2: Membunuh Salim Kancil
Setelah
puas menganiaya Tosan di lapangan, 40 orang tim eksekutor yang diketuai oleh
Desir bergerak ke rumah Salim Kancil. Jarak antara Lapangan dan Rumah Salim
Kancil sekitar 4 km. Jika ditempuh dengan menggunakan sepeda motor, setidaknya
memerlukan waktu sekitar 10 menit untuk sampai ke rumah Salim Kancil. Pukul
07.30 WIB, di rumahnya, Salim Kancil bersama dengan Dio, anaknya yang berusia
12 tahun (kelas 5 SD), sedang mempersiapkan diri untuk berangkat menuju rumah
Ichsan, untuk membahas rencana menolak tambang pasir besi di Desa Selok
Awar-Awar, Kecamatan Pasirian, Kabupaten Lumajang. Pukul 07.40 WIB, Salim
Kancil berboncengan dengan Dio, berangkat dari rumahnya menuju rumah Ichsan
dengan menggunakan sepeda motor. Setelah berjalan sekitar 50 meter dari
rumahnya, Salim Kancil melihat rombongan tim 12 beserta 40 orang massa datang
dari arah selatan. Ia pun memutar balik sepeda motornya kembali ke rumahnya.
Sepeda motornya kemudian ia parkir di depan pintu rumah, dan Salim Kancil
meminta Dio untuk lari ke belakang rumah. Kehadiran Salim Kancil di depan
rumahnya disambut oleh cucunya yang masih berusia 5 tahun. Salim seketika
menggendong cucunya tersebut, dan membawanya masuk ke dalam rumah.
Gambar
3. Jalan masuk pelaku pembunuhan Salim Kancil, disinilah Salim Kancil melihat
massa datang dan kemudian ia memutar-balikkan sepeda motornya.
Setelah membalikkan badannya, Salim
langsung dipukul oleh Ehsan, dan Desir dengan menggunakan tangan kosong. Badan
Salim Kancil didekap oleh Tejo, dan kemudian tangannya diikat oleh Desir dengan
menggunakan tali tambang yang masih baru. Seketika itu Salim dinaikkan ke
sepeda motor oleh Desir, dan diapit oleh Basri. Oleh massa, ia dibawa ke Balai
Desa. Dio yang berusaha mengejar, dilempari batu oleh salah satu pelaku yang
tidak dikenali. “Waktu itu saya juga dibentak ‘jangan ikut-ikut kamu!”, ujar
Dio menirukan ucapan dari salah seorang pelaku tersebut.
Gambar
4. Halaman Rumah Salim Kancil, Tempat Salim Kancil Dipukul dan Disekap, sebelum
akhirnya dibawa ke Balai Desa.
Jarak
antara rumah Salim Kancil dengan Balai Desa sekitar 2 km. Jika ditempuh dengan
menggunakan sepeda motor, memakan waktu sekitar 5 menit perjalanan. Berdasarkan
keterangan salah seorang Guru PAUD (nama dirahasiakan) yang pada saat itu
sedang berada di Balai Desa, Salim Kancil dipukuli berkali-kali dengan menggunakan
bambu, dan kayu. Salim Kancil juga dicelurit berkali-kali, dan dibacok dengan
menggunakan golok. Tim eksekutor juga sempat merebahkan tubuh Salim Kancil,
lalu menggorok lehernya dengan menggunakan gergaji kayu. Tidak juga berhasil
dibunuh, salah seorang pelaku menyetrum tubuh Salim Kancil dengan menggunakan
kabel listrik yang disambungkan ke sakelar listrik yang ada di Balai Desa.
Menurutnya, massa yang mengeroyok Salim Kancil berjumlah 30-40 orang, ia tidak
dapat mengenalinya satu per satu karena situasinya pada saat itu sangat ricuh.
Ia sendiri lari dan mengevakuasi murid PAUD nya keluar dari Balai Desa Selok
Awar-Awar, Kecamatan Pasirian, Kabupaten Lumajang.
Gambar
5. Balai Desa Tempat Salim Kancil Dipukuli, Dibacok, Digergaji, dan Disetrum
oleh 40 orang pelaku pembunuhan berencana.
Pukul 08.30 WIB, dari Balai Desa Selok
Awar-Awar, massa membawa Salim Kancil ke tempat pemakaman di dekat lapangan
Desa Selok Awar-Awar, Kecamatan Pasirian, Kabupaten Lumajang. Di tempat
pemakaman tersebut, Salim kembali dipukuli dengan menggunakan bambu dan kayu
oleh Tejo, kepalanya sempat dipukul dengan menggunakan cangkul, dan dicelurit
oleh Basri. Salim Kancil roboh, dan tidak sadarkan diri. Mengira Salim Kancil
telah mati, massa kemudian meninggalkan Salim Kancil yang terbaring di depan
halaman makam desa tersebut. Saat para pelaku sudah berjarak sekitar 50 meter,
Salim Kancil bangun sadarkan diri. Ia berdiri dan berusaha untuk lari. Salah
seorang pelaku melihat Salim Kancil yang ternyata belum mati itu pun berteriak
kepada anggota massa untuk kembali mengeroyok Salim Kancil. 40 orang itu pun
kembali menghajar Salim Kancil. Saat itu, Desir masuk ke tempat pemakaman,
mengambil batu nisan yang ada di makam tersebut, dan memukulkannya ke kepala
Salim Kancil. Melihat bahwa Salim Kancil ternyata bisa berdarah ketika dipukul
dengan batu nisan, Desir pun menghajar kepala Salim Kancil berkali-kali dengan
menggunakan batu nisan tersebut, hingga akhirnya Salim Kancil tewas di tempat
kejadian pada pukul 08.40 WIB.
Pelajaran dari tragedi pasir Lumajang
Sumber: http://www.antaranews.com/berita/521701/pelajaran-dari-tragedi-pasir-lumajang, Senin, 5 Oktober 2015 12:21 WIB | Oleh
Zumrotun Solichah
“Kasus tersebut
menggambarkan konflik sumber daya antara Salim cs dengan akses sosial ekonomi
politik terbatas melawan kades cs yang memiliki akses dan otoritas yang kuat di
desa setempat."
Aksi solidaritas
terhadap pembunuhan Salim Kancil di depan Balaikota Malang, Jawa Timur, Senin
(28/9). (ANTARA FOTO/Ari Bowo Sucipto)
Lumajang (ANTARA News) - Almarhum Salim alias
Kancil (52) mungkin tidak pernah berharap namanya dikenal oleh masyarakat
karena menolak tambang pasir di pesisir selatan kabupaten Lumajang, Jawa Timur.
"Pak Salim Kancil itu berjuang dengan ikhlas bersama warga karena tidak
ingin penambangan pasir liar itu merusak lahan pertanian yang sudah digarap
warga," kata Hamid, teman Salim Kancil.
Keinginan Salim bersama warga Desa Selok Awar-Awar, Kecamatan Pasirian,
Kabupaten Lumajang, sebenarnya sederhana yakni ingin menggarap lahan pertanian
untuk kelangsungan hidup.
"Pak Salim yang tidak pernah duduk di bangku sekolah pun tahu kalau
penambangan pasir itu dapat merusak lingkungan dan rawan bencana, sehingga kami
sebanyak 12 orang membentuk Forum Komunikasi Masyarakat Peduli Desa Selok
Awar-Awar dan saya sebagai koordinatornya," tuturnya.
Melihat dampak yang cukup serius akibat penambangan pasir di Desa Selok
Awar-Awar itu, beberapa warga tergerak membentuk forum sebagai kekuatan melawan
penambangan yang dikelola oleh kepala desa setempat.
"Kawasan pesisir selatan seharusnya tidak dieksploitasi karena ancaman
tsunami bisa datang kapan saja, sehingga tidak boleh ada penambangan,"
ujarnya.
Dampak kerusakan lingkungan akibat penambangan pasir di Desa Selok Awar-Awar
selama dua tahun itu sudah dirasakan oleh warga sekitar yang bermata pencarian
sebagai petani dan nelayan.
"Irigasi pertanian menjadi rusak dan warga tidak bisa menanam padi karena
air laut yang menggenangi areal persawahan," ucap Hamid.
Almarhum Salim Kancil dan warga sekitar yang sehari-hari bekerja di sawah tidak
bisa memanen hasil padinya karena penambangan yang semakin merusak lingkungan
dan irigasi pertanian. Awalnya kepala
desa meminta persetujuan masyarakat setempat untuk membangun kawasan objek
wisata di sekitar Pantai Watu Pecak, namun lama-kelamaan bukan wisata yang digarap,
malah penambangan pasir. Warga kemudian melakukan gerakan advokasi protes
tentang penambangan pasir yang mengakibatkan rusaknya lingkungan dengan cara
bersurat kepada pemerintahan desa, Pemerintahan Kecamatan Pasirian, dan
Pemerintahan Kabupaten Lumajang.
"Pada Juni 2015, forum menyurati Bupati Lumajang untuk meminta audiensi
tentang penolakan tambang pasir, tetapi tidak direspons dengan baik oleh Bupati
yang diwakili oleh Camat Pasirian," paparnya.
Perjuangan Forum Komunikasi terus dilakukan hingga 9 September 2015 dengan
melakukan aksi damai penghentian aktivitas penambangan Pasir dan penghentian
truk bermuatan pasir di Balai Desa Selok Awar-Awar. Kemudian pada 10 September 2015, adanya
ancaman pembunuhan yang dilakukan oleh preman bayaran yang diduga dari kepala
desa setempat kepada Tosan dan beberapa anggota forum komunikasi lainya yang
lantang menyuarakan penolakan tambang pasir yang diduga mengandung biji besi
itu.
"Kami kemudian melaporkan kejadian tindak pidana pengancaman kepada Polres
Lumajang. Saat itu Kasat Reskrim Polres Lumajang menjamin dan merespons
pengaduan forum yang telah dikoordinasikan dengan pimpinan Polsek
Pasirian," tuturnya.
Ancaman tersebut ternyata tidak hanya isapan jempol, karena preman bayaran itu
benar-benar menindaklanjuti dengan melakukan penganiayaan terhadap dua aktivis
antitambang tersebut pada 26 September 2015.
Salim Kancil meninggal dunia setelah dianiaya oleh preman bayaran di
Balai Desa Selok Awar-Awar, sedangkan Tosan mengalami luka parah hingga
dilarikan ke rumah sakit.
"Setelah meninggalnya Salim Kancil, warga sudah bertekad bulat untuk
melanjutkan perjuangannya menolak tambang di Desa Selok Awar-Awar karena jalan
itu yang akan membuka pada kesejahteraan warga setempat," kata Hamid.
Penutupan Tambang
Setelah terbunuhnya Salim Kancil, Bupati Lumajang Asat Malik
menginstruksikan penutupan tambang pasir di tujuh kecamatan di pesisir selatan,
yakni Yosowilangun, Kunir, Tempeh, Pasirian, Candipuro, Pronojiwo dan
Tempursari.
"Keputusan penutupan tambang pasir tidak berlaku di keseluruhan wilayah
pertambangan karena yang ditutup adalah penambangan pasir di wilayah pesisir
selatan Lumajang," kata Asat.
"Soal penambangan pasir yang berada di daerah aliran sungai (DAS) Semeru
masih diizinkan dan akan terus ditata karena pasir galian C di DAS Semeru harus
terus dikeruk agar tidak terjadi pendangkalan," tuturnya.
Pengamat lingkungan dari Universitas Jember Dr Abdul Qodim Manembojo mengatakan
kasus pembunuhan Salim Kancil bermula dari konflik sumber daya alam (lahan
pertanian) yang berhadapan dengan Kepala Desa Selok Awar-Awar cs yang ingin
menguasai bisnis pasir.
"Salim tidak sendirian dalam konflik itu karena sekitar lima warga lainnya
juga memiliki lahan yang luasnya sekitar 1 hektare, sehingga enam orang yang
bersuara lantang menolak tambang dan menjadi target operasi dari kelompok
penambang pasir yang dikendalikan kades setempat," tuturnya.
Kades menghendaki agar lahan Salim dan warga lainnya dijual atau diserahkan
untuk ditambang dengan alat berat, namun bagi aktivis antitambang itu,
menyerahkan lahan kepada kades sama saja merusak lahan bertani mereka yang
berada di bibir Pantai Watu Pecak karena terjadi abrasi.
"Kasus tersebut menggambarkan konflik sumber daya antara Salim cs dengan
akses sosial ekonomi politik terbatas melawan kades cs yang memiliki akses dan
otoritas yang kuat di desa setempat. Konflik itu juga bersumber dari kelangkaan
sumber daya karena kades merasa lahan yang mereka kuasai sudah sangat terbatas
dan tidak mampu lagi memenuhi permintaan pasir Lumajang yang berkualitas selama
lima tahun terakhir," paparnya.
Salim cs bertahan dengan cara hidup agraris karena tidak mau melepas lahan
pertanian sebagai basis hidup mereka, sedangkan kades cs menganggap lahan Salim
lebih menguntungkan dengan cara ditambang daripada dikelola sebagai lahan
pertanian.
"Menurut saya konflik pasir berdarah di Lumajang itu merupakan konflik
sumber daya lahan pertanian antarelit lokal desa yang telah mengalami proses
ramifikasi dengan menyentuh isu lingkungan, sehingga menimbulkan ledakan kades
cs sebagai perusak lingkungan vs Salim cs sebagai pejuang lingkungan,"
paparnya.
Abdul menegaskan masyarakat pesisir lebih paham tentang bagaimana menjaga
lingkungan karena mereka bertahan hidup dengan bergantung pada sumber daya alam
setempat. Terbunuhnya pejuang antitambang itu juga membuka lebar kepada publik,
bahwa penambangan liar tanpa izin yang dikelola oleh pihak-pihak tertentu masih
marak di pesisir pantai selatan Lumajang dan tidak ada tindakan tegas dari
pemerintah setempat untuk menertibkan hal itu.
"Kasus Salim Kancil menjadi momentum introspeksi semua pihak untuk lebih
peka terhadap masalah lingkungan dan tidak mengabaikan kaum minoritas yang
berjuang hanya untuk mempertahankan hidup mereka," ucap dosen FKIP
Universitas Jember itu.
Ia berharap kasus Salim Kancil dan Tosan menjadi pelajaran penting dan terakhir
bagi semua pihak, tentang perlunya perlindungan terhadap para aktivis
kemanusiaan dan manajemen pengelolaan tambang yang lebih baik ke depan dengan
memperhatikan kelestarian lingkungan.
Editor: Aditia Maruli
COPYRIGHT © ANTARA 2015
REFLEKSI
Dari Tragedi Selok Awar-awar, ada
beberapa hal yang bisa kita baca dan kita sarikan menjadi permasalahan yang
menjadi akar masalah, seperti berikut ini.
1.
Penguasaan sumberdaya alam secara
sepihak untuk mengeruk keuntungan sebesar-besanya tanpa mengindahkan
kepentingan orang lain dan masyarakat secara luas.
2.
Penguasa local yang menyalahgunakan
kekuasaannya sebagai alat untuk menimbun kekayaan tanpa mempedulikan
kesejahteraan rakyat yang dipimpinnya.
3.
Otoritarianisma dalam bentuk premanisnma
masih gaya kepemimpinan yang dipuja untuk diterapkan oleh penguasa (local).
4.
Pembiaran terhadap aktivitas
penambangan dan aktivitas usaha yang merusak lingkungan dan alam oleh Aparat
Negara dan Aparat Keamanan di berbagai tempat.
5.
Keterlibatan Birokrat yang lebih
tinggi dan Aparat Keamanan sebagai “pelindung” aktivitas pertambangan liar
untuk memperoleh pendapatan lebih yang bersifat koruptif.
6.
Penegakkan hokum yang lemah bahkan
cenderung melindungi pelaku perusak lingkungan alam dan hokum dan malah
mengkriminalisasi aktivis-aktivis pembela lingkungan dan alam.
7.
Negara dan Korporasi masih menjadikan
eksploitasi alam (tambang, perkebunan sawit, alih fungsi lahan pertanian, dan
lain sebagainya) sebagai cara cepat untuk mendapatkan Pendapatan Asli Daerah
dan bahkan Devisa Negara dengan cepat tanpa berhitung untuk jangka
panjang.
Tragedi Selok Awar-awar hanya satu
dari berbagai permasalahan konflik perebutan sumberdaya yang terjadi di
Indonesia. Bukan hanya konflik antara
rakyat dengan penguasa local saja, tetapi ada berbagai kasus yang melibatkan
rakyat dan korporasi, bahkan di beberapa kasus malah rakyat harus berhadapan
dengan Negara yang seharusnya melindungi rakyatnya.
Terbunuhnya Salim Kancil hanya salah
satu korban yang tampak dan terkespos oleh media, bagaimana dengan berbagai
kasus akibat pembukaan lahan untuk perkebunan dan pertambangan di pedalaman
Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Papua dan berbagai tempat lainnya yang jauh
dari mata media.
Sebagai catatan akhir, apa yang bisa kita
lakukan? Bagaimana kita melakukannya? Untuk bukan sekedar bersimpati dan
berempati semata tetapi berbuat nyata untuk mengurangi permasalahan konflik
sumberdaya alam dan perusakan lingkungan di berbagai tempat di seantero
Nusantara ini.
Malang, 19 Oktober 2015
Daniel S. Stephanus
Tidak ada komentar:
Posting Komentar