Kamis, 09 Maret 2023

MELAWAN KUASA KORPORASI: UMBUL GEMULO BATU

 

Komnas HAM Gagal Mediasi Konflik Sumber Air Gemulo

Rabu, 13 Februari 2013 | 12:16 WIB

Komnas HAM Gagal Mediasi Konflik Sumber Air Gemulo

Sumber mata air Umbulan di Desa Winongan, Pasuruan, Jawa Timur. TEMPO/Bibin Bintariadi

TEMPO.CO, Malang - Mediasi antara investor Hotel The Rayja, warga Desa Bulukerto, Malang, dan Pemerintah Kota Batu yang difasilitasi oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Selasa malam, 12 Februari 2013 di Hotel UMM In, Malang, menemui jalan buntu. "Tak ada kesepakatan soal konflik sumber air Gemulo Bumiaji Batu," kata komisioner M. Imdadudin Rahmat, Selasa malam.

Masing-masing pihak berkukuh dengan pendirian semula. Investor hotel The Rayja, PT Panggon Surkaya Sukses Mandiri tetap akan melanjutkan pembangunan hotel. Mereka berjanji pembangunan tak akan merusak lingkungan dan tidak akan mencemari sumber air Gemulo. Sedangkan warga menuntut penghentian pembangunan hotel. Pemerintah Kota Batu diminta untuk membeli atau menukar guling lahan yang dikuasai investor serta mengubahnya menjadi lahan konservasi.

Pemerintah Kota Batu berjanji terus berkomunikasi dengan semua pihak untuk menyelesaikan masalah ini. Para pihak juga berjanji tetap menahan diri dan tak menempuh jalur hukum untuk menyelesaikan konflik. “Semua pihak harus menahan diri untuk menghindari gejolak sosial,” kata Imdadudin.

Wali Kota Batu Eddy Rumpoko dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Batu tak hadir dalam pertemuan itu. Di lain pihak, Pemerintah Kota Batu diwakili Kepala Kantor Pelayanan Perizinan Terpadu, Syamsul Bahri. "Wali Kota sebagai pengambil keputusan harus datang pada mediasi selanjutnya," ujar Imdadudin.

Komnas HAM menghadirkan Kepala jurusan Teknik Lingkungan Hidup Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya, Eddy Soedjono. Pakar memberikan data pembanding atas hasil penelitian Pusat Penelitian Lingkungan Hidup Universitas Brawijaya Malang yang dipesan Pemerintah Kota Batu. Eddy menyayangkan jika izin mendirikan bangunan dikeluarkan di atas kawasan sumber air itu.

"Pemerintah Kota Batu harus bersikap tegas," kata Eddy. Sesuai Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Batu, kawasan itu merupakan zona permukiman. Penduduk di sekitar sumber air itu menolak pembangunan. Aspirasi warga, kata Eddy seharusnya didengar oleh Pemerintah Kota Batu. Ia mendukung usulan warga mengubah seluruh lahan pembangunan hotel menjadi kawasan konservasi yang tak bisa dibangun.

EKO WIDIANTO

 


 

Okezone.com - Senin, 21 April 2014 - 13:56 wib

Walhi Jatim Soroti Kasus Sengketa Mata Air Gemulo

 

MALANG - Sidang kasus sumber mata air Gemulo di Pengadilan Negeri (PN) Malang, diduga tidak dipimpin hakim yang belum memiliki sertifikat lingkungan.

Hal ini terungkap setelah Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jawa Timur menelusuri jejak hakim yang menyidangkan perkara ini.

Direktur Walhi Jawa Timur, Ony Mahardika, mengungkapkan, hakim yang bernama Eddy Parulian Siregar, yang memimpin sidang konflik sumber mata air Gemulo antara-koordinator warga, Rudy, warga Dusun Cangar, Desa Dulukerto, Kecamatan Bumiaji, Kota Batu yang digugat oleh pihak The Rayja Resort, patut diduga belum memiliki sertifikat lingkungan.

Karena itu, Walhi dan MCW yang mendampingi warga selama ini menemui PN malang untuk menanyakan hal ini. Setelah diteliti, tidak ada hakim ber-sertifikat lingkungan atas nama hakim tersebut.

"Kita sudah serahkan temuan-temuan kami ke PN Malang," katanya, Senin (21/4/2014).

Sementara itu Humas PN Malang, Harini, menyatakan akan segera memberitahukan data dari Walhi dan menanyakan ke Pengadilan Tinggi Jawa Timur yang menunjuk hakim tersebut. "Kita tidak tahu, kita akan tanyakan nanti," ujar Harini,

Menurutnya, PN Malang hanya menerima hakim yang ditunjuk PT untuk menyidangkan perkara ini. PN Malang tidak mempunyai hakim yang bersertifikat lingkungan. "Namanya diberi ya kita terima saja," ujarnya.

Pada kesempatan yang sama, aktivis Walhi melakukan aksi unjuk rasa di depan Pengadilan Negeri Malang. Aksi ini bentuk kritikan terhadap lembaga pengadilan yang dinilai menjadi "rumah yang aman bagi perusak lingkungan".

Pasalnya, ketentuan hakim bersertifikasi lingkungan menunjukkan bahwa lewat putusan hakim, lewat pengadilan, lingkungan pun dapat ditekuk-tekuk atau dirusak oleh palu hakim.

Juru bicara aksi, Luthfi J Kurniawan, mengatakan, menurut data Asisten Deputi Urusan Penegakan Hukum Pidana Lingkungan, Kementerian LH, menyebutkan, dari 2000 hingga 2011, pengadilan telah memutus 33 kasus tindak pidana lingkungan.

"Dari 33 kasus tersebut, 21 kasus di antaranya diputus bebas, 4 kasus penjara, dan 8 kasus hukuman percobaan," kata Luthfi di sela aksi. (kem)

TRIBUNNEWS.COM, MALANG- Majelis hakim Pengadilan Negeri Kota Malang menolak gugatan perdata The Rayja atas koordinator Forum Masyarakat Peduli Mata Air (FMPMA), H Rudy. Sebaliknya, majelis hakim justru mengabulkan sebagian gugatan rekovensi (gugatan balik) warga Gemulo.

Dalam amar putusan yang dibacakan pada Senin (21/7/2014), Ketua Majelis Hakim Bambang H Mulyono SH menolak semua poin gugatan The Rayja. The Rayja juga dibebani biaya perkara Rp 3.001.000. Sementara gugatan rekovensi H Rudy dianggap sebagai gugatan pribadi dan bukan gugatan yang mewakili warga.

Majelis hakim mengabulkan gugatan ganti rugi yang diajukan H Rudy, sebesar Rp 2.000.000. Sebelumnya H Rudy mengajukan ganti rugi Rp 2.000.000 per orang, untuk 9.000 warga pengguna mata air Gemulo. Total ganti rugi yang mencapai Rp 18 miliar tersebut ditolak majelis hakim.

Mejelis hakim menilai Izin Mendirikan Bangunan (IMB) melanggar hukum. Salah satunya karena jarak sumber mata air ke bangunan hanya 150 meter. Padahal jarak minimum seharusnya 200 meter.  Karena itu majelis hakim memerintahkan, agar pembangunan The Rayja dihentikan.

“Jangan mewarisi anak kita dengan air mata, tetapi wariskanlah mata air,” ucap hakim bersertifikasi lingkungan ini, menyelingi putusannya.

Putusan majelis hakim disambut sukacita warga Gemulo. Bahkan mereka sempat bertepuk tangan riuh di dalam ruang sidang. Ratusan orang warga Gemulo kemudian membacakan doa ucapan syukur di halaman depan PN Kota Malang.

Sebelumnya warga pengguna mata air Gemulo di Bumiaji, Kota Batu menggelar aksi penolakan pembangunan The Rayja karena dianggap akan mematikan mata air tersebut. The Rayja kemudian melaporkan warga, karena dianggap melakukan perusakan dan menghalangi pembangunan The Rayja.
Dalam gugatan perdata di PN Kota Malang tersebut, The Rayja minta ganti rugi sebesar Rp 2 miliar.

 


 

Kisah Sukses Warga Batu Malang Selamatkan Sumber Mata Air

Mongabay.co.id July 23, 2014 Tommy Apriando, Yogyakarta

Hari Senin, tanggal 21 Juli 2014 kemarin menjadi hari yang bersejarah bagi masyarakat dari tiga desa yakni Desa Bulukerto dan Desa Bumiaji, Kecamatan Bumiaji serta desa Sidomulyo, Kecamatan Batu, Kota Batu, Malang, Jawa Timur. Perjuangan mereka melestarikan sumber mata air Umbul Gemulo menuai hasil sukses.

Majelis hakim Pengadilan Negeri Malang dalam sidangnya memutuskan PT. Panggon Sarkarya Sukses Mandiri menyalahi hukum mendirikan Hotel The Rayja yang mempengaruhi mata air Umbul Gemulo.

Dalam putusannya, Majelis Hakim menyatakan pembangunan hotel tidak memenuhi syarat perizinan lingkungan karena rekomendasi IMB (izin mendirikan bangunan) tidak mempertimbangkan UKL/UPL lingkungan. IMB menjadi cacat hukum karena lokasi pembangunan Hotel The Rayja berjarak 150 meter dari kawasan konservasi.  Akan tetapi Majelis Hakim menolak mengabulkan pengajuan ganti rugi dari 9000 warga, karena harus diajukan atas nama individu.

Oleh karena itu, PT. Panggon Sarkarya Sukses Mandiri diharuskan menghentikan pembangunan Hotel The Rayja dan harus membayar ganti rugi terhadap penggugat rekonvensi yaitu H. Rudi sebesar Rp2 juta, serta menghukum Tergugat Rekonvensi membayar biaya perkara sebesar Rp3 juta + Rp1ribu.

“Ini adalah kemenangan warga yang selama ini berjuang untuk menyelamatkan sumber mata air. Walaupun kami dikriminalisasi kami tetap terus berjuang. Putusan ini cambuk buat Pemerintah Kota Batu yang tidak tanggap dan peduli terhadap kerusakan lingkuungan, khususnya sumber mata air,” kata H. Rudi kepada Mongabay.

Ke depan, lanjut Rudi, Pemkot Batu harus selektif memberikan izin pembangunan yang tidak berdampak buruk terhadap lingkungan dan sosial.

Sebelumnya, pihak Hotel The Rayja menggugat H. Rudi, perwakilan FMPMA (Forum Masyarakat Peduli Mata Air) karena dianggap memprovokasi aksi penolakan terhadap pembangunan Hotel The Rayja. Aksi masyarakat ini ternyata mendapat dukungan Kementrian Lingkungan Hidup, Ombudsman, dan Komnas HAM yang kesemuanya menyatakan bahwa pembangunan hotel the Rayja telah melanggar berbagai peraturan dan perundang-undangan.

Lokasi sumber mata air  Gemulo yang debitnya terus menurun. Foto Tommy Apriando

Lokasi sumber mata air Gemulo yang debitnya terus menurun. Foto Tommy Apriando

Dukungan tersebut membuat masyarakat melakukan gugatan balik (rekonvensi) terhadap pihak Hotel The Rayja. Proses persidangan gugatan balik masyarakat makin menguat dengan penggantian hakim bersertifikasi lingkungan yang memimpin sidang ini.

Kehadiran hakim bersertifikasi lingkungan sesuai Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung Nomor 134/KMA/SK/IX/2011 tentang penerbitan Sertifikasi Hakim Lingkungan pada persidangan ini terbukti menjadi faktor pendukung bagi penegakan hukum pada konflik yang berkaitan dengan persoalan lingkungan hidup

“Kami sangat senang karena keadilan dan perlindungan terhadap lingkungan masih bisa diharapkan dan perlindungan terhadap pejuang lingkungan bener-benar ditegakkan sesuai undang-undang lingkungan hidup,” kata Ony Mahardika, Direktur Eksekutif WALHI Jawa Timur kepada Mongabay.

Ony mengatakan pihak pengelola Hotel The Rayja harus mematui keputusan pengadilan bahwa tidak boleh melanjutkan pembangunan Hotel. “Selain itu, seluruh warga Jawa Timur jangan pernah takut untuk memperjuangkan lingkungannya karena dilindungi oleh UUD 1945  dan UU lingkungan,” katanya.

Ony menambahkan suksesnya perjuangan masyarakat membuktikan bahwa Pasal 66 UU 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) yang dengan tegas telah menyatakan bahwa “Setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata” bisa menjadi pijakan yang kuat bagi semua orang untuk tidak takut dalam usahanya memperjuangkan lingkungan hidup.

“Kita patut apresiasi perjuangan untuk mendapatkan lingkungan hidup yang lestari dan berkelajutan dengan menjadikan tanggal 21 Juli 2014 sebagai “Hari Pejuang Lingkungan Hidup” sebagai pengingat bahwa semua pejuang Lingkungan Hidup memiliki perlindungan hukum dalam memperjuangkan hak-haknya,” pungkas Ony.

Sedangkan Muhnur Satyahaprabu selaku penasihat hukum warga kepada Mongabay mengatakan mereka siap menghadapi banding pihak Hotel The Rayja.

 

Warga Batu Siap Hadapi Banding Pertahankan Mata Air Umbul Gemulo

Mongabay.co.id - August 22, 2014 Petrus Riski, Surabaya

 

Mata Air Umbul Gemulo di Kecamatan Batu, Kabupaten Kota Batu, Jawa Timur. Foto : Petrus Riski

Pada 21 Juli 2014, Majelis hakim Pengadilan Negeri Malang memutuskan memenangkan gugatan Forum Masyarakat Peduli Mata Air (FMPMA) terhadap PT. Panggon Sarkarya Sukses Mandiri (PSSM) karena menyalahi hukum mendirikan Hotel The Rayja Batu Resort yang mempengaruhi mata air Umbul Gemulo.

FMPA yang merupakan forum warga dari tiga desa yakni Desa Bulukerto dan Desa Bumiaji, Kecamatan Bumiaji serta desa Sidomulyo, Kecamatan Batu, Kabupaten Kota Batu, Jawa Timur berusaha melestarikan sumber mata air Umbul Gemulo.

Setelah kemenangan tersebut, kuasa hukum FMPA yaitu Walhi Jawa Timur, Malang Coruption Watch, LBH Surabaya, Ecoton, Ekologi Budaya, Klub Indonesia Hijau, dan Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI), menyiapkan advokasi untuk mengawal banding pihak PT. PSSM di Pengadilan Tinggi Jawa Timur di Surabaya.

Kepala Divisi Advokasi dan Kampanye Walhi Jawa Timur, Rere Kristanto mengatakan persiapan banding dengan fokus memastikan sidang di pengadilan dipimpin oleh hakim yang bersertifikasi lingkungan agar putusan yang diambil memperhatikan perspektif penyelamatan lingkungan.

“Secara umum (banding) sudah kami persiapkan, termasuk kami akan memastikan hakim yang memimpin sidang bersertifikasi lingkungan, seperti di Pengadilan Negeri Malang kemarin,” kata Rere yang mengingatkan agar hakim tidak lagi bermain dalam kasus ini.

 

Kuasa hukum dan perwakilan FMPA berdiskusi untuk bersiap terhadap banding gugatan kasus penyelamatan mata air Umbul Gemulo, Kota Batu, Jawa Timur. Foto : Petrus Riski

Perwakilan FMPA, Rudi, mengharapkan mereka dapat memenangkan sidang banding di pengadilan karena keputusan hukum yang memihak kelestarian lingkungan sangat berpengaruh untuk kelangsungan masa depan masyarakat tiga desa tersebut.

“Saya mengharapkan Pengadilan Tinggi nantinya dapat memberikan keputusan yang seadil-adilnya dan sebenar-benarnya, untuk anak cucu kita dan masyarakat di kemudian hari,” ujar Rudi kepada Mongabay.

Persoalan mata air Umbul Gemulo di Kota Batu, Jawa Timur, dimulai dari pipanisasi oleh pemerintah daerah maupun tukar guling dengan salah satu perusahaan air minum dalam kemasan yang menimbulkan konflik dengan masyarakat pada 2002.

Rudi mengutarakan posisi mata air Umbul Gemulo yang strategis dan mudah terjangkau, membuat banyak pihak, terutama swasta ingin memanfaatkan airnya untuk kepentingan pribadi, meski kehidupan masyarakat juga bergantung pada mata air itu.

“Kebutuhan mengenai air itu, kami tergantung seratus persen dari sumber mata air Umbul Gemulo. Mulai kebutuhan sehari-hari, pengairan sawah, peternakan, perkebunan, kami sangat tergantung sekali pada sumber mata air Umbul Gemulo,” terang warga asal Cangar Bulukerto, Batu itu.

Pembangunan Hotel The Rayja Batu Resort oleh PT PSSM mendapat penolakan warga Desa Bulukerto dan Desa Bumiaji Kecamatan Bumiaji, serta Desa Sidomulyo, Kecamatan Batu, yang tergabung dalam Forum Masyarakat Peduli Mata Air (FMPMA). Penolakan didasari karena pembangunan hotel itu berada di kawasan lindung sumber mata air Umbul Gemulo di Kota Batu. Warga khawatir sumber mata air yang menjadi sandaran kebutuhan hidup sehari-hari akan terganggu dan hilang akibat pembangunan hotel yang berada diatasnya.

Perlawanan dari warga kemudian direspon oleh pihak The Rayja dengan melakukan kriminalisasi terhadap warga, dengan melaporkan warga atas tuduhan melakukan perusakan dan mengambil material bangunan. Pihak The Rayja juga melakukan gugatan perdata senilai Rp30 miliar terhadap salah satu perwakilan FMPMA, bernama Rudi, yang dituduh melakukan perbuatan melawan hukum dengan jalan melakukan provokasi dan intimidasi, serta melakukan aksi demonstrasi dan berkirim surat yang mengakibatkan terhentinya kegiatan pembangunan The Rayja.

“Gugatan perdata ini di Pengadilan Negeri Malang telah dimenangkan oleh warga, dan salah satu poin keputusannya adalah ijin mendirikan bangunan milik The Rayja tidak memiliki kekuatan hukum,” tutur Ony Mahardika, Direktur Eksekutif Walhi Jawa Timur.

Hasil penelitian Walhi Jawa Timur menyebutkan bahwa pembangunan besar-besaran di wilayah Batu dan sekitarnya dengan tidak mengindahkan daya dukung dan daya tampung lingkungan, telah menyebabkan banyaknya sumber mata air rusak dan mati.

“Penghancuran terhadap hak rakyat atas air adalah bentuk pelanggaran terhadap hak konstitusi warga dan hak asasi manusia. Maka hukum harus bertindak tegas, dan ketegasan itu akan nampak dari keberanian untuk menghentikan pembangunan yang jelas-jelas mengancam keselamatan rakyat. Jangan lagi menjadikan masyarakat sebagai tumbal investasi,” tukas Ony.

Walhi Jatim pada 22 Juli 2014 telah melaporkan kasus pidana lingkungan dari Kepala Kantor Pelayanan Perijinan Terpadu (KPPT) Kota Batu Syamsul Bakri, serta Direktur PT. PSSM, Willy Suhartanto, kepada pihak kepolisian terkait pembangunan The Rayja Batu Resort di kawasan perlindungan sumber mata air Umbul Gemulo di Kota Batu.

Keterangan dan bukti telah diberikan kepada penyidik Polda Jawa Timur, atas gugatan pidana perusakan lingkungan yang diatur dalam Undang-Undang nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH), sesuai laporan dengan nomor LP/2008/VII/2014/SUS/JATIM.

“Kita membuat laporan merujuk pada pasal 109, Pasal 111 ayat 1 dan 2, Pasal 114, dan pasal 115 UU No 32 tahun 2009 tentang PPLH,” jelas Rohman, Kepala Divisi Hukum dan Kebijakan Walhi Jawa Timur.

Pada pasal 109 UU PPLH mengatur sanksi terhadap mereka yang melakukan usaha dan/atau kegiatan tanpa memiliki izin lingkungan. Pendirian The Rayja sendiri tidak memiliki ijin lingkungan meskipun sudah mengantongi ijin mendirikan bangunan.

Syarat pemberian ijin usaha atau kegiatan yakni memiliki ijin lingkungan sebagaimana diatur dalam UU PPLH. Pada pasal 111 mengatur sanksi kepada pejabat yang mengeluarkan ijin usaha tanpa terlebih dahulu memiliki ijin lingkungan. Sedangkan pasal 114 dan 115 UU PPLH mengatur pemberian sanksi terhadap mereka yang tidak melaksanakan paksaan pemerintah dan yang dengan sengaja mencegah, menghalang-halangi, atau menggagalkan pelaksanaan tugas pejabat pengawas lingkungan hidup.

 


 

Mengarak Naga, Meruwat Umbul Gemulo

Greeners.co, 12 November 2014

Batu (Greeners) – Sebuah lesung berkepala naga meliuk-liuk di jalanan. Di bawah kepalanya terdapat sebuah gentong kecil berisi air dari tujuh sumber mata air keramat di Jawa Timur yang dinamakan “banyu tuwuh”. Di kiri dan kanan lesung yang panjangnya sekitar empat meter, berjejer tumpeng dari hasil bumi warga tiga dusun di Desa Bulukerto, Kecamatan Bumiaji, Kota Batu, Jawa Timur. Tumpeng terdiri dari tumpeng jajanan pasar, tumpeng polo pendem, dan tumpeng gunungan nasi kuning dan nasi putih. Aneka kudapan dan lauk juga menghiasi tumpeng tersebut.

Tumpeng dan air tuwuh dari tujuh sumber mata air yang dijaga Naga ini diarak keliling dusun mengelilingi sumber mata air Umbul Gemulo yang selama ini menjadi sumber penghidupan pertanian warga dan kebutuhan hidup sehari-hari.

Sumber air Umbul Gemulo saat ini debit airnya mencapai 179 liter/detik. Sumber ini pula yang menjadi tumpuan sekitar enam ribu warga Desa Bulukerto dan enam desa lainnya, seperti Desa Sidomulyo, Bumiaji, Pandanrejo, Sisir, Mojorejo, dan Pendem. PDAM Kota Batu yang airnya disuplai ke masyarakat Kota Batu juga mengambil air dari sumber Umbul Gemulo ini.

Lesung kepala naga diarak keliling tiga dusun yang juga mengelilingi sumber mata air Umbul Gemulo. Di belakangnya, berbagai grup kesenian jaranan, bantengan, serta tari-tarian turut mengarak lesung kepala naga. Setelah mengelilingi sumber mata air Umbul Gemulo, sesepuh desa dan masyarakat menggelar kenduri di sekitar sumber mata air dan makanannya dimakan bersama-sama sebagai ucapan rasa syukur.

Saat kenduri, tiga macam tumpeng juga dibagikan di perempatan tiga dusun yang dilewati. Sisanya dimakan bersama di Balai Desa Bulukerto untuk masyarakat yang tidak kebagian tumpeng di perjalanan.

Selain itu, ada juga pembagian banyu tuwuh atau air bertuah yang berasal dari tujuh sumber mata air yang dipercaya bisa memberi keberkahan di Jawa Timur. Di antaranya berasal dari Pacitan, Ponorogo, dan Madiun. Air ini dibagikan kepada masyarakat yang ingin mendapatkan berkahnya. Secara bergantian, mereka meminta air yang sejak awal acara ditempatkan di bawah kepala naga.

 


 

Koran SINDO
Kamis, 11 Desember 2014 − 10:38 WIB
Protes Pendirian Hotel Warga Gemulo Gelar Aksi Diam


Sejumlah warga Dusun Gemulo, Desa Bulukerto, melakukan aksi diam kemarin. Aksi itu dilakukan untuk memperingati Hari Hak Asasi Manusia sekaligus protes pendirian hotel di dekat sumber air dusun mereka.

BATU - Hari Hak Asasi Manusia (HAM) dimanfaatkan warga Dusun Gemulo, Desa Bulukerto, Kecamatan Bumiaji, untuk melakukan aksi unjuk rasa.

Mereka menggelar aksi diam untuk memprotes pendirian hotel di sumber air desa mereka. Koordinator aksi warga Dusun Gemulo, Arie Prayitno mengatakan, pendirian Hotel The Rayja di dekat sumber mata air umbulan Gemulo merupakan pelanggaran HAM.

Ironisnya, Pemkot Batu memberikan izin pendirian tanpa mempertimbangkan protes warga. ”Empat tahun kami berjuang mempertahankan hak asasi kami supaya air dari sumber Gemulo yang kita minum, kita buat mandi, kita alirkan ke sawah tidak mati karena di dekatnya telah dibangun Hotel The Rayja. Tapi usaha kami mempertahankan hak hidup terasa sia-sia. Tidak ada pembelaan dari Pemkot Batu,” ujar Arie.

Arie mengamati bahwa yang Pemkot Batu lebih membela kepentingan pengusaha dibandingkan kepentingan rakyatnya. ”Kami berjuang membela hak-hak kami. Tapi H Rudi teman kami justru dilaporkan ke polisi oleh pengusaha. Dengan tuduhan merusak objek usaha investor,” katanya.

Aksi damai warga Dusun Gemulo memperingati Hari HAM dilakukan dengan cara berjalan kaki dari Omah Munir menuju sumber mata air umbul Gemulo, Mapolsek Bumiaji, dan Kantor Kecamatan Bumiaji. Mereka membakar dupa dan menaburkan bunga di halaman Mapolsek Bumiaji, Kantor Kecamatan Bumiaji, dan di sumber mata air umbul Gemulo.

Selain itu, mereka mengibarkan bendera setengah tiang. ”Ini bentuk apresiasi kekecewaan kami terhadap pemerintah. Omah Munir meru-pakan simbol kematian HAM. Polsek Bumiaji sebagai simbol penegakan HAM juga yang mati. Demikian juga Kantor Kecamatan Bumiaji. Simbol kepemimpinan pemerintah yang berpihak kepada pengusaha,” kata Arie.

Kapolsek Bumiaji, AKP Sutantyo menyatakan, unjuk rasa yang dilakukan warga dilindungi undang-undang. Tapi syaratnya jangan sampai mengganggu ketertiban umum dan merusak fasilitas pemerintah. ”Silakan berunjuk rasa. Tapi jangan mengganggu ketertiban umum,” kata Sutantyo saat mengawal aksi warga, kemarin.

Maman Adi Saputro



Warga Kota Batu Tuntut Pengadilan Tinggi Jatim Hentikan Kriminalisasi Pejuang Lingkungan

Mongabay.co.i January 22, 2015 Petrus Riski, Surabaya

Seorang berpakaian hakim dengan kepala badut, nampak membawa payung dan uang ratusan ribu rupiah. Uang itu diperoleh dari seorang berpakaian necis yang berperan sebagai pengusaha. Usai menerima uang, hakim berkepala badut itu mengikat seorang warga yang membawa tulisan tolak pembangunan hotel The Rayja, dan menariknya hingga jatuh ke tanah.

Itulah sepenggal teaterikal yang menggambarkan bahwa hukum masih berpihak pada pemilik modal, dan tidak berpihak pada rakyat kecil yang menjadi pelestari lingkungan.

Aksi teaterikal keberpihakan hukum terhadap pengusaha  dibandingkan masyarakat pelestari lingkungan. Foto : Petrus Riski

Aksi teaterikal keberpihakan hukum terhadap pengusaha dibandingkan masyarakat pelestari lingkungan. Foto : Petrus Riski

Aksi ini merupakan bagian dari unjuk rasa yang dilakukan ratusan warga dari 3 desa yaitu Bulukerto dan Bumiaji di Kecamatan Bumiaji, serta Desa Sidomulyo di Kecamatan Batu, Kota Batu, di depan kantor Pengadilan Tinggi Jawa Timur, Surabaya, pada Senin (190/1/2014) kemarin.

Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesua (Walhi) Jawa Timur, Ony Mahardika mengatakan unjuk rasa tersebut mendesak aparat penegak hukum di Pengadilan Tinggi Jawa Timur, untuk menghentikan proses hukum banding yang dilakukan pihak Hotel The Rayja yang mengkriminalkan warga penolak pendirian hotel diatas sumber mata air Umbul Gemulo.

“Aksi ini merupakan kelanjutan perjuangan masyarakat selama 4 tahun, dalam kasus kriminalisasi warga yang menolak pendirian The Rayja,” kata Ony.

Dalam aksi ini, warga yang tergabung dalam Aliansi Pembela Sumber Mata Air mendesak penghentian proses hukum banding di pengadilan Tinggi Jawa Timur, atas dasar Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) nomor 32 tahun 2009 yang melindungi masyarakat penjaga lingkungan.

“Pertama adalah menghentikan proses pengadilan ini, karena para pejuang lingkungan ini sebenarnya tidak bisa dipidanakan atau diperdatakan, menurut Undang-undang 32 pasal 66 menyebutkan bahwa masyarakat yang menyelamatkan lingkungan tidak bisa diproses,” ujar Ony Mahardika kepada Mongabay.

Rudi selaku warga desa yang digugat mengungkapkan, kriminalisasi yang dilaminya merupakan bentuk ketidakberpihakan hukum kepada rakyat kecil. Hukum seharusnya melindungi masyarakat yang menjaga serta melestarikan lingkungan, bukan malah memihak pada investor yang tidak peduli lingkungan.

“Sudah 2 kali kami dibohongi oleh pihak Pengadilan Tinggi, yaitu dengan memberikan hakim yang tidak ebrsertifikasi lingkungan. Makanya kami menuntut hukum berlaku adil kepada kami, termasuk dengan memberikan hakim yang bersertifikasi lingkungan,” ungkap Rudi yang berharap kasus ini dihentikan oleh Pengadilan Tinggi Jawa Timur.

Mata Air Umbul Gemulo di Malang. Foto: Walhi Jawa Timur

Mata Air Umbul Gemulo di Malang. Foto: Walhi Jawa Timur

Persoalan mata air Umbul Gemulo di Kota Batu, Jawa Timur, sudah berlangsung sejak 2002 lalu, dimana sebelumnya sempat terjadi konflik terkait pipanisasi oleh pemerintah daerah maupun tukar guling dengan salah satu perusahaan air minum dalam kemasan.

Penolakan warga atas pendirian The Rayja karena pembangunan hotel itu berada di kawasan lindung sumber mata air Umbul Gemulo di Kota Batu, yang dikhawatirkan akan menghilangkan atau merusak sumber mata air yang menjadi sandaran hidup bagi warga.

Perlawanan dari warga kemudian direspon oleh pihak The Rayja dengan melakukan kriminalisasi terhadap warga, dengan melaporkan warga atas tuduhan melakukan perusakan dan mengambil material bangunan. Pihak The Rayja juga melakukan gugatan perdata senilai Rp30 miliar terhadap salah satu perwakilan Forum Masyarakat Peduli Mata Air (FMPMA) bernama Rudi, yang dituduh melakukan perbuatan melawan hukum dengan jalan melakukan provokasi dan intimidasi, serta melakukan aksi demonstrasi dan berkirim surat yang mengakibatkan terhentinya kegiatan pembangunan The Rayja.

Pada sidang di Pengadilan Negeri Malang tanggal 21 Juli 2014 lalu, majelis hakim memenangkan pihak warga yang tergabung dalam FMPMA atas gugatan PT Panggon Sarkarya Sukses Mandiri selaku pemilik The Rayja Batu Resort.

Ony mengatakan bila Pengadilan Tinggi Jawa Timur tetap membiarkan proses banding gugatan Hotel The Rayja terhadap warga terus berjalan, maka itu berarti pengadilan belum memiliki kepekaan terhadap kondisi lingkungan yag ada.

“Proses di Pengadilan Tinggi ini akan menjadi bukti apakah pengadilan punya sense of environmental protection. Masyarakat yang digugat oleh pihak hotel ini sedang berjuang untuk melestarikan sumber mata air di Kota Batu yang terus menurun kualitas dan kuantitasnya, membiarkan mereka menghadapi proses hukum sama dengan kita mempertaruhkan keselamatan dan keberlanjutan lingkungan hidup,” tutur Ony.

Data WALHI menunjukkan konfigurasi titik mata air dan kebutuhan mata air di Kota Batu cenderung kritis. Dari 57 titik sumber air yang berada di Kecamatan Bumiaji, saat ini menyisakan 28 titik. Bahkan di Kecamatan Batu saja, tinggal menyisakan 15 titik dari 32 sumber air. Sedangkan di Kecamatan Junrejo tersisa 15 titik dari 22 titik sumber mata air sebelumnya.

Pembangunan Hotel The Rayja diatas sumber mata air Umbul Gemolo Kota Batu, kata Rudi, hingga kini telah menimbulkan kerusakan lingkungan serta ketakutan di tengah masyarakat yang merasa terintimidasi.

“Itu kan posisi hotel itu ada di atas sumber mata air kami. Jadi ketakutan kami, ketakutan warga masyarakat kami, itu akan bisa mencemari sumber mata air kami dan juga bisa menurunkan debit mata air,” tandas Rudi.

 

RRI.co.id - Slamatan Sumber Air Gemulo, Tumpeng diarak keliling tiga Desa

KBRN, Batu :  Warga tiga desa yakni Bulukerto, Sidomulyo dan Bumiaji  di Kecamatan Bumiaji, Kota Batu, Jumat sore (23/10/2015)  mengarak tumpeng dan jajanan pasar melewati desanya. Arak-arakan tersebut berhenti sejenak di Sumber Air Gemulo desa Punten, kecamatan Bumiaji.

Di tempat dianggap  keramat itu,  para tokoh adat dan agama menggelar selamatan tumpeng tepat di depan sumber air yang menghidupi desa-desa di sekelilingnya. Arak-arakan tumpeng ini merupakan salah satu kegiatan dari rangkaian kegiatan Festival Mata Air 4 yang diselenggarakan oleh warga.

Ratusan warga  itu mengarak tumpeng  itu  mulai dari Pendopo Tirto Sari (Balai Dusun Cangar, Desa Bulukerto) kemudian mengaraknya keliling melewati beberapa dusun dan desa sepanjang lebih dari 5 kilometer.

“Arak-arakan ini adalah wujud rasa syukur masyarakat terhadap apa yang diberikan Tuhan terhadap sumber air yang jernih, airnya melimpah hingga menghidupi Desa Bulukerto, Desa Sidomulyo, Desa Bumiaji dan desa-desa lain di sekitarnya,” ujar Aris Faudzin, Koordinator Festival Mata Air 4 tahun 2015 ini.

Lewat festival ini, para aktivis lingkungan menggunakan moment  ini untuk mengajak masyarakat untuk selalu melestarikan dan melindungi sumber air Gemulo.

“Banyak generasi muda yang kita ajak, karena merekalah yang akan menjaga sumber air ini,” terangnya.

Dari iring-iringan tersebut, selain menampilkan seni budaya masyarakat, seperti drum band tradisional, diarak pula 7 gunungan yang merupakan simbol dari pitulungan (pertolongan) dan pitunduh (petunjuk).

Festival air ini dilaksanakan selama dua hari, mulai Jumat (23/10/2015) hingga Sabtu (24/10/2015) mulai dari arak-arakan tumpeng, diskusi lingkungan, pentas seni dan pagelaran wayang dan bazar, serta penanaman pohon di 40 hektar hutan yang terbakar tahun lalu.

“Kita laksanakan penghijauan ini pada bulan Desember karena bertepatan dengan musim penghujan, agar bibit yang kita tanam bisa hidup,” terangnya.

Warga berpendapat melestarikan lingkungan tidak hanya perlu dirawat secara fisik saja, namun juga perlu diruwat dalam bentuk perawatan non fisik. Mereka juga mengajarkan bahwa kearifan budaya lokal dimana air harus dihormati dan tidak boleh diperlakukan semena-mena. (RM/WDA)

 

Tidak ada komentar: