Kamis, 09 Maret 2023

REFLEKSI DAN DISKUSI MAY DAY MALANG 2015

 Mukadimah

May Day yang jatuh pada setiap tanggal 1 Mei secara internsional diperingati sebagai Hari Buruh.  May Day merupakan hari yang menandai pergerakan dan perlawan buruh terhadap penindasan dan penghisapan yang dilakukan oleh korporasi.  May Day ditandai dengan aksi buruh untuk menuntut hak-hak-nya dan perbaikan kondisi ekonomi dan social-nya.  May Day merupakan aksi perlawanan terhadap panjangnya jam kerja dan rendahnya upah serta kondisi kerja yang buruk.  May Day dijadikan symbol perlawanan internasional dikarenakan pada tanggal 1 Mei 1886 terjadi peristiwa pemogokan buruh yang melibatkan kurang lebih 400.000 buruh mogok masal di Amerika Serikat dengan tuntutan 8 jam kerja.  Peristiwa yang ditandai dengan tindakan represif aparat keamanan membawa korban darah dan nyawa yang tidak sedikit.  Pada bulan Juli 1889, Konggres Sosialis Dunia di Paris menetapkan tanggal 1 Mei sebagai Hari Buruh Internasional.

Di Indonesia, peringatan Hari Buruh sudah dilakukan sejak tahun 1920.  Tetapi, saat rezim Orde Baru berkuasa peringatan Hari Buruh diberangus dan dianggap sebagai aktivitas subversive karena dituduh akan menganggu ketertiban umum dan keamanan nasional, selain tuduhan sebagai peninggalan sosialisma dan dekat dengan komunisma.  May Day baru bisa dilaksanakan lagi sejak tahun 1999, dan sampai saat ini May Day tetap diperingati.  Dan ternyata, sampai hari ini tidak ada May Day yang berujung pada kerusuhan dan tindakan anarkis yang mengakibatkan gangguan umum dan mengancam keamanan nasional.  Bahkan pada tahun 2013, 1 Mei dijadikan libur nasional dan berlaku sejak tahun 2014.  Implikasinya, May Day seakan dijadikan hari besar tanda kemenangan Kaum Buruh tetapi juga berujung pada pelemahan gerakan buruh itu sendiri.

 

May Day, Friday, Holiday

Menyikapi  pelemahan gerakan buruh dan mengantisipasi peringatan May Day yang hanya bersifat seremonial, beberapa elemen pegiat dan aktivis soial di Kota Malang menggelar Diskusi dan Refleksi May Day 2015.  Aktivitas yang digawangi oleh aktivis social, aktivis mahasiswa, pelaku seni, akademisi kritis, dan berbagai elemen lainnya memperluas spectrum May Day bukan hanya memperingati Hari Buruh saja tetapi menyikapi permasalahan rakyat, permasalahan ketidakadilan dan kemanusiaan secara luas.  Bukan hanya buruh tetapi juga petani, rakyat miskin, mahasiswa, dan seluruh rakyat tertindas sebagai satu kesatuan permasalahan yang utuh.  Demikian pula, May Day diperluas bukan semata masalah ekonomi dan kelayakan kerja buruh tetapi juga masalah pendidikan, kesehatan, social, seni dan budaya,lingkungan, serta politik yang pada akhir-akhir ini semakin terasa terkomersialisasi, tidak adil, dan mengakibatkan penderitaan rakyat yang luas.

Kegiatan Diskusi dan Refleksi Malang May Day 2015 dilaksanakan pada 1 Mei malam dengan mengambil tempat  di pinggir Kali Brantas, tepatnya di Dinoyo gang V, dihelat oleh kawan-kawan aktivis mahasiswa dan aktivis social yang menjadi pelanggan setia Kedai Kopi Tjangkir 13.  Dengan mengajak serta berbagai elemen seperti aktivis mahasiswa, seniman, dan tentu saja aktivis buruh, diskusi dan refleksi May Day diperluas menjadi aktivisme peduli rakyat melawan ketidakadilan dan peminggiran serta korban represi penguasa.  Pada diskusi dan refleksi kali ini bukan saja dihadirkan 5 (lima) narasumber dari berbagai elemen seperti Bung Hafids akademisi dari Universitas Brawijaya, Bung Andy aktivis KontraS Surabaya, Bung Lutfi aktivis buruh pendiri dan Ketua SPBI, Bung Lucky Haris seorang aktivis social dari Kota Malang, dan Bung Feri seorang pegiat seni dan pemerhati masalah social.  Selain itu, ada pula pemutaran film documenter berjudul “KAMI YANG MELAWAN”, film yang menceritakan penindasan dan perlawanan kawan-kawan buruh dari Tansjogja.  Diramaikan pula oleh penampilan dari beberapa kelompok music yang menyuarakan keresahan tentang permasalahan social di masyarakat serta teater (Celoteh) dan puisi dari Bung Danny Mizhar yang menyuarakan pula penindasan dan aksi rakyat melawan penindasan.

 

Diskusi dan Refleksi May Day

Proses diskusi dan refleksi berjalan mengalir diawali dengan testimony dan pernyataan sikap dari kawan-kawan mahasiswa mengenai kondisi kekinian aktivisme mahasiswa seperti dilemma antara kuliah cepat lulus, komersialisasi kampus, dan tidakan represi kampus terhadap kebebasan mimbar akademik.  Testimoni dan pernyataan sikap sengaja dilakukan oleh moderator untuk menghangatkan daya kritis para peserta yang lebih dari 100 orang dan didominasi oleh mahasiswa yang datang dalam kondisi basah setelah Malang Raya diguyur hujan lebat sepanjang sore.  Dan, diskusi dan refleksipun berjalan dengan bukan lagi hangat tetapi panas.

Sebagai pembicara pertama, Bung Hafids akademisi dan sosiolog dari Universitas Brawijaya memaparkan tentang gerakan buruh yang semestinya menjadi gerakan social baru.  Gerakan social masyarakat yang bersifat cair dengan melibatkan berbagai elemen masyarakat tertindas seperti petani dan rakyat miskin lain serta melibatkan pula akademisi untuk memperluas gerakan.  Gerakan social baru ini harus bersifat cair menentang ketidakadilan dan penindasan terhadap kemanusiaan serta memanfaatkan berbagai media yang dapat dipergunakan sebagai alat edukasi dan advokasi seperti seni dan budaya, berbagai media termasuk media social.

Dilema mahasiswa saat ini adalah pilihan antara prestasi akademik dan aktivisma.  Tidak dipungkiri, mahalnya biaya kuliah menjadi pertimbangan kuliah harus selesai cepat, sedangkan aktivisma difitnah sebagai salah satu biang keladi penghambat kelulusan tepat waktu.  Belum lagi represi penguasa kampus yang ingin memberangus kebebasan mimbar akademik.  Mahasiswa harus membuat ruang-ruang akademik sendiri, ruang episdemik dalam bentuk diskusi dan rencana aksi.  Mahasiswa belum selesai dalam memaknai diri dana aktivisme.  Gerakan buruh dan gerakan mahasiswa harus berafiliasi dengan gerakan rakyat lain untuk melawan ketidakadilan dan penghisapan.

Bung Andy dari KontraS Surabaya sebagai pembicara kedua menyampaikan, sebagai calon buruh (kelas menengah) mahasiswa  seharusnya hadir menjadi pendorong gerakan dan bukan menjadi penghambat gerakan buruh.  Gerakan buruh yang pada tahun 1998 sudah berbicara tentang saham untuk buruh (swakelola) saat ini malah mundur karena bukan saja diakibatkan oleh melemahnya gerakan buruh tetapi dilemahkan, dalam hal ini buruh kelas menengah ikut berperan.  Undang-Undang Ketenagakerjaan (13/2003) dan Kerja Kontrak (outsourcing) (02/2014) menjadi puncak pelemahan gerakan buruh.  Fleksibilitas tenaga kerja menjadikan daya tawar buruh melemah, dan gerakan buruhpun kembali ke titik nadir.  Buruh kelas menengah harus mampu menjadi motor gerakan buruh pada saat ini, seperti yang terjadi di Korea Selatan, buruh kelas menengah yang terdiri dari pada Insinyur, Ahli Hukum, Akuntan, dan berbagai profesi lainnya menjadi motor penggerak gerakan buruh di Korea Selatan.  Diperlukan kesadaran baru dari buruh kelas menengah dan diawali oleh para calon buruh kelas menengah yang masih berstatus mahasiswa.

SOBSI merupakan serikat buruh terbaik di Asia pada jamannya, tetappi dihancurkan oleh Rezim Orba karena berani menasionalisasi beberapa perusahaan asing seperti Bir BIntang dan Unilever, yang kemudian oleh Rezim Orba dikembalikan kepemililknya tanpa syarat.  Bahkan, HOS Tjokroaminoto belajar mengenai isu-isu terkeni dari gerakan buruh (FSTP), demikian pula Bung Karno belajar pidato dari Semaoen seorang aktivis buruh.  Bahkan Sumpah Pemuda dicetukan oleh kawan-kawan FSTP.  SOBSI dekat dengan PKI karena kesamaan program dan tujuan, tetapi SOBSI bukan bagian dari PKI. Gerakan buruh jauh sejatinya lebih luas ketimbang gerakan partisan.

Gerakan mahasiswa sebagai gerakan calon buruh kelas menengah haruslah menyesuaikan dengan gerakan jaman, tetapi tetap harus konsisten dan kontinyu menyuarakan ketidakadilan.  May Day bukan hanya seremonial semata tetapi merupakan bagian dari proses gerakan buruh yang berlangsung sepanjang tahun.  May Day adalah bagian dari proses gerakan buruh.  Tetapi, memang saat ini direduksi menjadi seremonial dengan kebijakan sebagai hari libur nasional.

Bung Lutfi, seorang aktivis buruh yang telah malang melintang dalam gerakan buruh menyatakan bahwa mayoritas buruh yang ada di Indonesia rendah pendidikannya.  Sehingga, buruh sangat mudah menjadi korban, bukan saja korban kapitalisma tetapi juga korban politik.  Buruh kelas menengah seharusnya turut mendukung perjuangan dan gerakan buruh. Bahkan sudah saatnya menjadi motor penggerak gerakan buruh di Indonesia saat ini.

Buruh telah berpolitik tetapi represi Negara yang menjadikan buruh tidak bisa bergerak.  Pada awal kemerdekaan sudah ada serikat buruh, SOBSI da nada tandingan dari pihak milite yang nanya SOKSI, tetapi setelah kudeta militer 1965 di bubarkan diganti dengan FSBI (1965) dan kemudian diganti lagi menjadi SPSI (1987) sebagai satu-satunya serikat buruh yang boleh ada di Indonesia.  Bahkan SOBSI dituduh sebagai under bow dari PKI.  Pada saat SPSI-lah dirumuskan Upah Minimum sebagai batas bawah upah buruh yang bukan menyejahyerakan buruh tetapi sebagai alat kendali terhadap buruh dan menguntungkan korporasi.  Upah minimum dirumuskan oleh Dr. Sutomo.  Sejak 1965 pergerakan buruh menjadi lemah dan dilemahkan.

Sebagai narasumber keempat, Bung Lucky Haris yang adalah aktivis social menjelaskan tentang adanya ilusi baru dalam dunia pendidikan tinggi di Indonesia saat ini.  Ilusi pertama adalah “kewirausahaan” (entrepreneurship).  Pemaksaan perubahan paradigm yang dipaksakan karena menyempitnya lapangan pekerjaan.  Masakan anak petani yang belajar pertanian dipaksa belajar menjadi usahawan, atau seorang yang belajar di bidang teknik dipaksa untuk menjadi usahawan.  Bukan semata karena urusan kemajuan berfikir tetapi sebuah usaha cuci tangan penguasa yang tak mampu menyediakan lapangan pekerjaan yang memadai.  Ilusi yang kedua adalah ilusi “kerja kantoran”, bukan saja semangat menjadi PNS tetapi juga menjadi karyawan perusahaan-perusahaan Negara (BUMN) tetapi juga perusahan trans nasional dan multi nasional.  Padahal peluang untuk kerja kantoran juga sempit, akhirnya bekerja apapun yang penting di kantor dan berpenampilan rapi, walau gaji kecil dan kondisi kerja yang menyiksa.  Buruh kelas menengah (khususnya yang kerja kantoran) harusnya melawan, tetapi semangat melawan sangat rendah karena takut kehilangan status sebagai pekerja kantoran.  Buruh tetaplah buruh, mau yang pabrikan yang berkerah biru (blue collar) maupun yang kantoran yang berkerah putih (white collar) tetaplah buruh, tetap menghadapi masalah yang sama, masalah ketidakadilan dan penghisapan serta penindasan.

Gerakan buruh bukan semata-mata gerakan ekonomi, tetapi juga gerakan social, masalah pendidikan dan kesehatan, kepastian hukum, dan berbagai aspek lainnya.  Bahkan seperti yang dilakukan oleh Forum Buruh Lintas Pabrik (FBLP) di Jababeka telah menyentuh gerakan jender.  Atau seperti Marsinah FM yang melakukan gerakan advokasi hukum dan budaya.  Sedangkan gerakan mahasiswa adalah belajar, berorganisasi, dan beraksi.  Belajar untuk mengasah intelektualitas, berorganisasi untuk mengasah kecerdasan social, dan beraksi untuk mengasah empati.  Seperti yang dulu dilakukan oleh CGMI, dibentuk kelompok-kelompok studi yang bukan hanya kelompok belajar semata tetapi mengembangkan wacana kritis kampus dan wacana kritis aksi.  Selain itu, masalah sektarianisma masih menjadi masalah di kampus.  Sifat saling mencurigai antara organisasi intra kampus dan organisasi ekstra kampus masih kental, padahal seharusnya dibangun ruang-ruang diskusi dan aktivisma bersama serta membangun demokrasi kampus.  Apalai isu yang dihadapi di kampus dan juga di luar kampus sama, masalah kemanusiaan dan ketidakadilan.  Selain itu, organisasi mahasiwa masih bersifat maskulin. Karena aktivitas yang dilakukan di malam hari dan ruang diskusi yang dipenuhi asap rokok.

Narasumber yang kelima adalah Bung Feri, seorang pelaku seni yang perhatian terhadap masalah-masalah social.  Disampaikan bahwa kewajiban seniman adalah merekam keresahan dan permasalahan social dan menuangkannya dalam karya untuk melawan ketidakadilan dan mendukung perjuangan rakyat.  Seniman harus bergerak mendukung gerakan buruh dan gerakan rakyat melawan ketidakadilan dan penindasan.

Pada akhirnya, Moderator menarik simpulan bahwa (1) permasalahan bersama rakyat adalah ketidakadilan, (2) gerakan buruh adalah politik dan gerakan social baru, (3) peran intelektual, akademisi, dan kelas menengah besar untuk mendukung  gerakan rakyat, (4) seniman berperan untuk menyuarakan ketidakadilan.   

 

Malang, 05.05.2015

Daniel S. Stephanus

Tidak ada komentar: