Kamis, 09 Maret 2023

OBOR 2: Sekelumit Catatan tentang Kerukunan dan Kebersamaan dalam Perbedaan

 Program Orientation Based on Reflection (OBOR) 2 - Pendidikan Karakter Universitas Ma Chung di Desa Tlogosari, Kecamatan Tlogosari, Kabupaten Malang pada 29 Juni—03 Juli 2015


Mukadimah

Orientation Based on Reflection (OBOR) merupakan serangkaian kegiatan di masa libur perkuliahan yang merupakan bagian dari Pendidikan Karakter (Pendikar) yang ada di Universitas Ma Chung yang dilaksanakan oleh Lembaga Pendidikan Karakter dan Kepemimpinan (PKK) dibantu oleh Direktorat Kemahasiswaan dan Alumni (DKA) serta Lembaga Pengabdian Pada Masyarakat (LPM).  OBOR terdiri dari rangkaian kegiatan guna mengembangkan karakter dan jiwa kepemimpinan yang kuat bagi mahasiswa.  OBOR 2 merupakan kegiatan yang mengedepankan berkehidupan bersama dalam perbedaan.  OBOR 2 tahun 2015 dilaksanakan di beberapa tempat, peserta yang ingin belajar tentang peri kehidupan Muslim belajar hidup bersama di Pondok Pesantren Dusun Gasek, Kelurahan Karang Besuki, Kecamatan Sukun, Kota Malang.  Sedangkan yang ingin belajar tentang peri kehidupan Hindu berkenan hidup bersama di Kecamatan Wagir Kabupaten Malang.  Sedangkan yang ingin belajar tentang peri kehidupan Buddha hidup bersama di Desa Boro, Kecamatan Selorejo, Kabupaten Blitar.  Sedangkan yang ingin belajar kehidupan Nasrani (Kristen dan Katolik) belajar hidup bersama di Desa Tlogosari, Kecamatan Donomulyo, Kabupaten Malang.

 

Desa Tlogosari, Kecamatan Donomulyo

Tulisan ini disajikan untuk sedikit menceritakan peri kehidupan juga tanggapan dari peserta hidup bersama (live in) dari saudara-saudara Non Nasrani untuk belajar tentang keseharian keluarga dan lingkungan Nasrani.  Desa Tlogosari, Kecamatan Donomulyo memang dihuhi oleh mayoritas berkeyakinan Nasrani, baik Katolik maupun Kristen, walau demikian tidak sedikit yang berkeyakinan Islam.  Tetapi, selama bertahun-tahun kehdupan yang majemuk di Desa Tlogosari tetaplah aman dan damai.  Hal ini ditandai dengan berdirinya tiga tempat ibadah yang saling berdeketan di seputar Balai Desa.  Gereja Katolik Nampak yang paling tua didirakan disana, kemudian Gereja Kristen (Jawi Wetan) yang sudah tampak berdiri cukup lama, serta Masjid yang yerlihat masih baru yang merupakan perluasan dari Musholla yang sebelumnya sudah ada.  Bagaimana pula diceritakan oleh para tokoh agama (Toga) setempat, pembangunan rumah ibadah selalu dilaksanakan bersama seluruh penduduk dan seluruh umat laksana gotong royong layaknya membangun fasilitas umum dan fasilitas social desa lainnya.  Sebuah contoh tentang berkehidupan bersama dalam damai walau berbeda keyakinan.

Para pembelajar yang terdiri dari 15 orang yang berasal dari berbagai kepercayaan Non Nasrani serta berasal dari berbagai perguruan tinggi, tinggal bersama 5 keluarga Katolik.  Penulis mendapat tempat tinggal bersama keluarga Bapak Wanto dan Ibu Lusy, keluarga Katolik yang taat, hidup tinggal berdua karena kedua anaknya telah memiliki kehidupan sendiri di luar kota.  Anak pertama yang adalah seorang perawat telah menikah yang bekerja dan tinggal di Depok, sedangkan anak kedua yang adalah seorang guru saat ini sedang meniti karir di SDK Sang Timur Pasuruan.  Pasangan suami istri yang telah meiliki 2 cucu ini menikmati masa tua sebagai petani dan peternak, dengan memelihara 2 ekor sapi, satu sapi dipelihara di belakang ruman sedangkan satu ekor sapi lain dipelieharakan dengan cara bagi hasil (gaduh).  Pak Wanto merupakan pensiunan guru negeri, sedangkan Bu Lusy adalah pensiunan perawat dari RS Panti Waluyo (RKZ Malang).  Pantas kedua putri merka meniti karir seperti karir yang pernah dijalani oleh kedua orang tuanya. 

Tempat tinggal kami, baik penulis maupun peserta lain tidak jauh dari pusat pemerintahan (Balai Desa) dan pusat keramaian (pasar) serta pusat kegiatan social (rumah ibadah).  Seperti yang dituliskan sebelumnya, Desa Tlogosari yang masyarakatnya mayoritas berkeyakinan Nasrani tetap hidup damai bersama dengan saudara-saudara yang berkeyakinan Islam.  Nampak ketiga rumah ibadah (Gereja Katolik dan Gereja Kristen) berdiri berdekatan dengan Masjig.  Bahkan dikisahkan oleh para Toga Tlogosari, pembangunan setiap rumah ibadah dibangun bersama-sama secara gotong royong oleh semua warga dari berbagai keyakinan laksana membangun fasilitas umum dan fasilitas social.  Dalam keseharian, peri kehidupan yang damai ditunjukkan dari kebiasaan saling tegur dan sapa serta mengucap salam satu dengan yang lain, tak terkecuali dengan seorang yang baru dikenal atau bahkan baru dilihat seperti yang kami alami.

Kehidupan yang damai bukan menjadi satu-satunya ciri khas Desa Tlogosari, pemanfaatan lahan dan halaman juga sangat optimal.  Nyaris tidak ada sejengkal tanapuh yang dimanfaatkan, baik untuk fasilitas rumah terlebih untuk tanam menanam.  Di setiap pekarangan rumah akan ditemui berbagai tanaman sayur, buah, dan bunga.  Asri, sejuk, dan bermanfaat.  Di Desa Tlogosari internalisasi ketahanan pangan bahkan kedaulatan pangan nampak jelas terlihat. Bukan semata sebagai jargon politik penguasa dan program-program pemerintah yang tidak pernah implementatif.  Tanpa harus berkoar-koar dan pasang iklan layanan masyarakat tiada henti, masyarakat Desa Tlogosari telah melakukan dan mempraktikkan konsep ketahanan dan kedaulatan pangan secara nyata.

Bukan hanya sekedar tegus sapa, Pak Wanto dan Ibu Lusi mengatakan “Disini sudah biasa mas, saling mengundang saat acara keagamaan.  Pada saat perayaan natal kami mengundang seluruh warga di sekitar gereka.”  Keluarga yang aktif dalam setiap peribadatan dan kegiatan lingkungan Stasi Tlogosari yang merupakan bagian dari Paroki Purworejo menegaskan, “Bahkan makam di Desa ini menjadi satu, tidak ada perbedaan Nasrani ataupun Muslim.  Buktinya mereka berbaring berdampingan ga pernah bertengkar.” Kelakar keduanya.  Pernah suatu saat ada permintaan untuk memisahkan makam Nasrani dan Muslim, itupun karena pengaruh orang luar, tetapi dapat ditepis dan makam tetap menjadi makam umum desa.

Pak Wanto yang asli Tlogosari menceritakan baha di desanya hanya ada sekolah setingkat Sekolah Dasar (SD), dan beliau pernah mengajar menjadi guru disana.  Bahkan anak keduanya yang alumni dari Universitas Kanjuruhan juga pernah menjadi guru sukarelawan selama 4 tahun dan tidak diangkat.  Pernah suatu saat dimintai uang Rp150 juta untuk memperlicin jalan diangkat menjadi guru pegawai negeri sipil tetapi ditolak mentah-mentah oleh Pak Wanto.  Saat ini, sang anak menjadi guru di SDK Sang Timur Pasuruan walau mendaftar melalui SDK Sang Timur Malang.  Pendidikan selepas SD, warga Tlogosari harus keluar desa bahkan keluar kecamatan, entah ke Donomulyo bisa juga ke Sumber Manjing.

Kerukunan yang ditunjukkan oleh warga Tlogosari dibuktikan juga dengan kerelaan melayat sampai ke luar desa ke Desa Kaliondo dan yang dilayatpun berbeda iman.  Keberangkatan bukan satu persatu tetapi berombongan sebagai perwakilan dari Desa Tlogosari.  Kerukunan dan kedamaian berimbas pada keamanan.  Rumah-rumah di Desa Tlogosari tidak pernah pintunya ditutup kecuali bila tuan rumah sedang tidur atau bepergian.  Selama masih ada orang di rumah, pintu rumah selalu terbuka lebar tanpa ada rasa syak wasangka apalagi curiga masuknya orang-orang jahat.  Rumah-rumah tanpa pagar tinggi, tanpa gerbang, pintunya selalu terbuka untuk siapapun yang akan dating berkunjung.

Masyarakat Desa Tlogosari yang hidup dari pertanian, perkebunan, dan peternakan menjadikan bertanam tebu sebagai penghasilan utama karena tidak membutuhkan banyak air walau kebutuhan pupuk cukup tinggi.  Selain berkebun tebu, peternakan sapi menjadi sandaran hidup bukan saja karena hasilnya menjanjikan pemasukan yang besar (rajakaya, rajanya penghasilan) tetapi juga karena kotoran sapi dapat dipergunakan sebagai pupuk untuk perkebunan tebu.  Sedangkan pertanian padi berada di dekat mata air dan sungai-sungai yang mengalirkan air yang tak begitu melimpah di Desa Tlogosari.  Hasil panen tebu dikirim ke Pabrik Gula (PG) Kebon Agung di Malang dan PG Mrican di Kediri karena menjanjikan harga yang cukup tinggi walau mensyaratkan rendemen (kandungan gula) yang cukup tinggi pula.  Mekanisma pengiriman tebu dititipkan pada Kelompok Tani yang memiliki Surat Perintah Tebang (SPT).  Saat ini harga tebu mencapai Rp380.000/ton.

Apakah godaan dan ancaman terhadap kedamaian tidak ada? Pernah sesekali datang godaan yang ingin memecahbelah perdamaian di Desa Tlogosari, seperti adanya Guru Agama di SD Tlogosari yang mengajarkan disharmonisasi.  Karena resah, seluruh warga meminta untuk memindahkan guru tersebut.  “sekarang guru agama itu sudah dipindah ke Kota Batu” tukas Pak Wanto. Ada pula Uztad muda yang datang untuk menjadi guru mengaji di Masjid, tetapi karena memanas-manasi warga dengan ajaran fundamentalisma juga diusir oleh warga. “Yang ngusir Pak Haji Naryo sendiri mas, karena yang diajarkan ga bener” Kata Pak Wanto menegaskan.

 

Belajar dari Kearifan Tokoh Agama dan Tokoh Masyarakat Desa Tlogosasi

Belajar dari Haji Sunaryo

Bapak Haji Sunaryo yang akrab dipanggil dengan Mbah Naryo merupakan seorang tokph Agama Islam di Desa Tlogosari.  Mbah Naryo yang rumah kediamannya persis di belakang Stasi Katolik Tlogosari memberikan pembelajaran tentang kehidupan dalam keberagaman yang damai di Tlogosari.  Beliau mendasarkannya pada Pinsip Islam Nusantara sebagai dasar berkehidupan sebagai Muslim sekaligus sebagai Warga Negara Indonesia.  Beliau menegaskan, “beragama itu bebas, asal tetap menjaga kesatuan dan persatuan bangsa.”  Sebagaimana Ajaran Islam Nusantara yang berisi (1) Ukuwah Islamiyah, (2) Ukuwah Jamaiyah, (3) Ukuwah Watoniyah, dan (4) Rahmatan Lil Alamin.  Menurut beliau, Islam Nusantara adalah Islam yang damai dan berwawasan Nusantara.

Mbah Naryo menambahkam, “mayoritas harus menjamin kehidupan beragama bagi yang minoritas, hidup itu harus rukun dan saling menjaga keharmoninsan.  Rukun warga, rukun tetangga, dan nukun Negara.”  Beliau menambahkan, “agama tidak perlu dijaga dan dibela secara berlebihan, Tuhan itu mahakuasa.”  Seharusnya, sesama umat beragama tidak saling menuduh sesat apalagi mengafir-ngafirkan.  Karena, agama harus sesuai dengan jamannya, sesuai dengan konteks budayanya.  “Tidak perlu belajar agama sampai ke luar negeri, seharusnya belajar di dalam negeri saja.  Supaya, mengajarkan agamanya sesuai dengan budaya dan keadaan masyarakat.”

Beliau menegaskan pula tentang pandangan beliau terhadap perang melawan kejahatan dan kezaliman. “Negara sudah ada aparat keamanan. Kita tidak boleh bertindak sendiri melawan kejahatan, harus bekerja bersama aparat keamanan.  Bukan main hakim sendiri.”  Menjaga perdamaian dalam kehidupan bersama menjadi tanggung jawab setiap warga Negara.  Menjalin kerukunan sesama umat dan antar umat beragama menjadi kewajiban setiap warga Negara dan setiap orang yang mengaku beragama.

Sebagai contoh, di Desa Tlogosari bila ada acara desa atau acara keluarga, doa dipanjatkan secara bergantian oleh tokoh agama.  Selain itu, saling mengundang dan hadir dalam setiap perayaan hari besar agama.  “Kami biasa saling mengundang, tapi kami hadir saat perayaannya saja dan tidak ikut ritualnya.  Tentu saja saling mengucapkan selamat hari raya masing-masing agama.”  Demikian tukas Mbah Naryo, bapak dari 6 putra-putri yang sehari-hari berpenghidupan sebagai petani.  Sebagai contoh yang lain, bukan hanya menghadiri undangan pernikahan tetapi juga kematian, seluruh warga hadir dan ikut aktif membantu.  Turut mendoakan walau tidak ikut dalam prosesi sacral masing-masing agama, seperti sakramen atau sholat jenasah.  “Kita harus bisa membedakan, mana doa mana sholat”, demikian penjelasan beliau.  “Kita harus dapat diuwongke uwong lan nguwongke uwong, harus menjauhkan buruk sangka dan belajar untuk ikhlas.” Jelas Mbah Naryo.   

Walaupun hanya sekolah sampai kelas 6 saja, Mbah Naryo yang pernah nyantrik di salah satu Kyai di Madura bahkan sampai diambil mantu, memiliki pandangan yang luas tentang Islam Nusantara dan berkehidupan bersama dalam keberagaman.  Mbah Naryo yang pernah menjadi Sekretaris Ansor dan Ketua Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) berpedoman bahwa pemimpin adalah pelayan.  Sehingga, kunci menjadi pemimpin yang baik adalah menjadi contoh dan teladan.

 

Pengalaman Baru dari Para Peserta Saat Turut Hadir pada Doa Arwah (Ritual Katolik)

Doa arwah sebagai salah satu prosesi atau ritual Katolik dilakukan untuk mendoakan seseoarang yang sudah meninggal baik 7 harinya, 40 harinya, atau 100 harinya, bahkan pendak dan 1000 harinya.  Sama seperti ritual thalil di dalam Ajaran Islam NUsantara.  Pada doa arwah kali ini, para peserta yang turut hadir mendapatkan pengalaman pujian dan prosesi doa yang seluruhnya dilakukan dengan berbahasa Jawa halus.  Pengalaman baru bagi para perserta yang mayoritas Non Kristiani yang umumnya terbiasa dengan pujian, doa, dan prosesi menggunakan bahasa asli agamnya, Bahasa Arab untuk Islam dan Bahasa Pali untuk yang beragama Buddha, atau Bahasa Sansekerta untuk umat Hindhu.

Pengalaman yang didapat adalah merasa lebih dekat dengan Sang Maha Kuasa karena bahasa yang dipergunakan adalah bahasa ibu, bahasa yang didengar sehari-hari.  Selain itu, pengalaman menyaksikan perempuan terlibat aktif dalam ibadah bahkan memimpun doa.  Tingginya toleransi antar umat beragama dan saling mengenal tetangga yang berkeyakinan berbeda serta saling memperhatikan satu dengan yang lain.  Bahkan, dalam satu keluarga terdapat perbedaan keyakinan tetap hidup rukun dan saling mendukung satu dengan yang lain dalam setiap acara keagamaan.

 

Belajar Toleransi dan Berkehidupan Bersama dari Para Tokoh Agama dan Tokoh Masyarakat Desa Tlogosari

Belajar mengenai kehidupan yang damai dalam perbedaan di Tlogosari didapat melalui acara sarasehan yang menghadirkan Ibu Lilik (Kepala Desa), Pak Sutris (Toga Katolik), dan Pak Sunaryo (Toga Islam).

Pak Sunaryo sebagai pembicara pertama menegaskan kembali tentang Islam Nusantara, Islam yang cinta damai.  Islam yang berlandaskan pada (1) Ukuwah Islamiah; (2) Ukuwah Jamaiyah; (3) Ukuwah Watoniah (berhubungan baik dengan Pemerintah); (4) Kepedulian (nguwongke uwong); (5) Rahmatan Lil Alamin (menjadi damai bagi alam semesta).  Ditegaskannya, “tugas para pemimpin dan juga anak-anak muda yang beragama berpendidikan adalah untuk mencerdaskan umat, melakukan pendidikan umat, agama, adat, seni, dan budaya”.  Selain itu juga mengatasi masalah kejahatan dan kezaliman dengan bekerja bersama aparat keamanan dan aparat pemerintah untuk menjamin persatuan dan kesatuan bangsa.  Setiap insan yang beragama hendaknya bersikap relijius tetapi berwawaasan nusantara.

Sedangkan Pak Sutris berpesan tentang membangun kerukunan antar umat beragama, yaitu dengan kerja keras untuk menghadapi kesulitan bersama.  “Gotong royong dan kebersamaan adalah kunci menjadi kerukunan, karakter asli Donomulyo.” Demikian tutur Pak Sutris.  Dibuktikan dengan secara bersama-sama mampu mengatasi gejolak politik dan keamanan yang tetap terjaga dalam damai. “Pirnsip kami, sak nyari bumi sak dumuk bathuk, menjaga kerukunan untuk menjaga kehidupan yang damai.” Tutur Pak Sutris.

Pembicara terakhir adalah Ibu Lilik, Kades saat ini yang didampingi oleh Pak Miskan, suami Bu Lilik yang adalah mantan Kades sebelumnya.  Mereka berdua menceritakan tentang tingginya kerukunan di Desa Tlogosari.  Kerukunan yang membawa hidup damai yang telah ada sejak dahulu kala dan terus dijaga dan diturunkan sampai saat ini.  Sebagai contoh, setiap acara desa khususnya Bersih Desa, pasti akan dinaikkan doa bersama, doa yang dilakukan secara bergantian oleh tokoh agama-agama yang ada di Desa Tlogosari. “Desa kami masyarakatnya majemuk, rumah ibadah saling berdekatan.  Tidak pernah ada masalah, karena kami hidup rukun dengan saling menghormati dan gotong royong.” Tukas kedua pemimpin desa.  Ditambahkan pula, “Pemimpin harus adil dan tidak berpihak apalagi menganak emaskan dan menganak tirikan golongan-golongan tertentu.”  Bahkan, dalam banyak keputusan akan dikonsultasikan dan dibicarakan dengan seluruh tokoh agama dan tokoh masyarakat di Desa Tlogosari. “Gotong royong dan silaturahmi adalah karakter warga Desa Tlogosari.” Ujar mereka.  Diceritakan, bagaimana pendirian Gereja Adven, gereja baru yang pendiriannya dibantu oleh Aparat Desa dan oleh seluruh masyarakat di sekitarnya, walau berbeda agama dan kepercayaan.  Bila tiba Hari Raya setiap agama yang ada di Tlogosari, maka akan saling mengundang dan saling memberi selamat.  Kenduri sebagai salah satu bentuk ritual yang dekat dengan adat dan budaya selalu dilakukan dengan berdoa bersama, dengan segala bahasa yang ada.

 

Belajar Toleransi bersama Beberapa Tokoh dan Pemimpin Agama

Selain belajar dari tokoh agama dan tokoh masyarakat setempat, peserta OBOR juga mendapatkan pencerahan dari beberapa tokoh dan pemimpin agama.  Kedua tokoh tersebut adalah Bante Dhama Vijayo MT, seorang tokoh dan pemimpin Agama Buddha yang juga sekaligus Pembina Dhamma TV yang banyak memberikan pencerahan di Malang Raya dan beberapa kota lain yang menyiarkannya.  Tokoh selanjutnya adalah Pendeta Dr. Suwignyo, seorang tokoh Agama Kristen yang juga merupakan pimpinan dari Sekolah Tinggi Teologi Balewiyata Malang.  Sedangkan Tokoh Islam diwakili oleh M. Faisol seorang Dosen dari Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang.  Sedangkan tokoh Agama Katolik yang menjadi pemateri adalah Romo Antonius Denny seorang Kepala Sekolah SMAK Santo Paulus Jember, beliau adalah putra daerah Tlogosari.  Pak Sujono mewakili tokoh Agama Hindu, beliau adlah Wakil Kepala Sekolah SMA Tri Murti Pakisaji Malang.  Sedangkan tokoh multikulturasima diwakili oleh Aji Prasetyo seorang komikus dan pemusik sekaligus aktivis multikulturalisma.

Sebagai pembuka, Bante Dhamma Vijayo MT memaparkan tentang kebebasan berfikir untuk membangun batin. “Siddarta belajar menata fikiran dan batin dengan bertapa selama 6 tahun.  Beliau menemukan kesadaran dalam hening dan damai.” Ujan Bante.  Dalam damai dan hening dan kesadaran sesorang akan mampu melihat kehidupan lampau serta dapat menyadari hokum sebab – akibat dan mengenal dharma baik dan buruk dengan jelas.  Kecondongan berfikir akan menentukan arah tindakan.  Belajar sepanjang hayat untuk mengelolah pikiran dan batin untuk memperoleh kebahagiaan sejati.  Sadar (kesadaran) adalah kunci untuk memperoleh kebahagiaan.  “Meditasi adalah cara melatih diri untuk melatih pikiran, bukan tubuh yang menggerakkan tetapi Pikiran atau batin.  Segala sesuatu diciptakan oleh pikiran atau batin.  Berfikir positif akan memperoleh kebahagiaan” Jelas Bante.  Tubuh adalah beban, makan, minum, dan tidur adalah bagian dari beban.  Berpuasa adalah proses mengurangi beban.  Tidak ada kebahagiaan melebihi ketenangan batin.  Surga adalah alam bahagia, nearaka adalah alam sengsara, yang menentukan adalah batin.  Kitab suci yang sejati adalah kebenaran dan kebersihan batin, karena akan membawa pada kedamaian dan kebahagiaan sejati.  “Kebodohan. Kebencian, dan keserakahan bersifat merusak pikiran dan membawa pada kesengsaraan. “ Demikian Bante mengakhiri pengajarannya.

Selanjutnya, Pendeta Suwignyo yang akrab dipanggil Pak Wig menyampaikan pengajarannya.  Pak Wig mengawalinya dengan peryataan, “Kejahatan dan kebaikan adalah dalam diri setiap manusia.  Diciptakan oleh system dan dikonstruksi oleh struktur.  Dosa menjadi bersifat personal (rusaknya gambar Allah), social (rusaknya umat Allah), dan struktutal (rusaknya Kerajaan Allah).  Karena manusia berdimensi personal, social, dan structural. “  Kekristenan ada dalam system  Judaisma dan bukan system rasional Yunani.  Sistem rasional Yunani mengupas tuntas tetapi tidak memasukkan nilai ketaatan, setelah tuntas akan masuk ke kehampaan.  Sistem filosofi Yudaisma mengedepankan kecerdasan sekaligus ketaatan.  Dalam Alkitab, kisah bahagia (ideal) hanya ada pada 2 pasal awal saja, hanya ada pada Pasal 1 dan 2 KItab Kejadian saja,   isi Alkitab sisanya (Kejadian 3 sampai Wahyu) adalah kisah tentang realitas, berisi tuntunan kehidupan di dunia baik yang bersifat personal, social, maupun structural.  Tuntunan untuk mengatasi masing-masing permasalahan dalam berbagai tingkatan.  “Kesalehan social, ketaatan dan kedisiplinan yang bersifat personal dan social untuk mengatasi permasalahan social.  Menghadapi ketidakadilan dan ketimpangan serta penindasan.” Lanjut Pak Wig.  Habbermas pernah berujar untuk menciptakan masyarakat yang komunikatif, untuk menghindari nuansa spirit dominasi atau hegemoni.

Pada proses diskusi bertambah pula beberapa masukan dari agama yang lain untuk memperkaya pengetahuan dan pemahaman pada peserta OBOR.  Salah seorang peserta Muslim menambahkan, “Pada Surat Al Bawarah 67 dikatakan, Agama Islam adalah agama yang diridhoi oleh Allah tetapi pemeluk agama-agama yang lain seperti Nasrani akan tetap selamat bila beriman percaya yang kukuh pada Tuhannya dan terus berbuat baik terhadap sesamanya.”  Selain itu juga mendapatkan pemahaman tentang arti reinkarnasi dari Bante.  Reinkarnasi ditentukan oleh Dharma seseoarng, tetapi yang terpenting pada saat hidup kekinian harus terus berbuat baik untuk menjadi lebih baik di kehidupan yang akan datang.  Bante menambahkan, “ Yang terpenting adalah hidup bijaksana, hidup yang jelas, tegas, dan berani untuk memilih kenaikan.  Selain itu, harus terus bersyukur dengan segala apa yang dimiliki, tidak melekat sehingga terbebas dari penderitaan.”

“Agama berasal dari kata A dan Gama yang artinya adalah tidak kacau atau dengan kata lain berarti keteraturan dan kedamaian untuk mencapai kebahagiaan.” Tukas Bante.  Rantai reinkarnasi akan terputus saat seseorang telah mencapai maha sadar dan tidak akan terlahir kembali.  Dijelaskan pula, pembuktian secara keilmuan, gelombang pikiran manusia normalnya adalah 10 pangkat 200, bila berada di bawah gelombang normal, manusia berada dalam kegelapan batin.  Sedangkan bila berada di atas tingkat normal berarti dalam kondisi terang batin.  Seseorang yang saleh social, gelombang pikirannya mencapi 10 pangkat 250, sedangkan yang bahagia dalam kondisi meditasi pada tingkat 10 pangkat 550.    

Pada kesempatan selanjutnya, Pak Faisol menjabarkan perspektif kerukunan dan kesalehan social berangkat dari moraliltas.  Dikatakannya, “Seluruh agama memiliki system moralitas yang sama, yang berbeda hanyalah system teologisnya.” Setiap umat islam harus memiliki toleransi yang tinggi, tetapi tidak ikut terlibat dalam ibadah agama lain.  Keberagaman adalah sunnatulloh, hokum alam yang niscaya.  Agama adalah cara seseorang untuk mencapai kebahagiaan dan mendekatkan diri pada sang pencipta.  “menurut tasawuf para suffi, agama laksana baju.” Tegas beliau.  Agama hadir untuk menjaga keseimbangan, bila hadirnya agama malah mengancam keseimbangan, patut dipertanyakan keberagamaan pada penganutnya.  Dijelaskan oleh beliau, “saat Rasulullah kedatangan tamu seorang Nasrani, Nabi mempersilahkan pada tamu Nasrani tadi untuk beribadah di salah satu pojok rumahnya”.  Rasulluloh saja memiliki toleransi tinggi, bahkan memberikan rumahnya untuk beribadah bagi umat lain (Nasrani), bagaimana mungkin para pengikutnya malah tidak memiliki toleransi dan melarang umat lain beribadah dan menghancurkan rumah-rumah ibadah agama lain?  “ Bahkan, di Piagam Madinnah diatur mengenai toleransi dan saling menjaga, serta tidak mencampuri masalah ibadah agama-agama lain di luar Islam”,  ujar Pak Faisol.  Pemikiran sempit, sekat social, dan kecemburuan social merupakan awal konflik, bukan perbedaan akidah atau teologi agama.  Beragama bukan hanya melakukan syiar (kesaksian) tetapi juga merenung dan berfikir untuk kesejahteraan umat manusia.  Konsep kafir, orang yang mengingkari Tuhan, telah mengalami pergeseran arti pada beberapa abad setelah Rasululah, dari orang-orang yang tidak bertuhan menjadi orang-orang di luar Islam.  Kafir dapat dibedakan menjadi dua bentuk , kafir farbih, kaum non muslim yang bisa didamaikan, tidak boleh diperangi dan bahkan harus dilindungi. Selian itu, kaum kafir yang harus diperangi karena mengancam keselamatan umat manusia” jelas Pak Faisol.  Dijelaskannya lebih lanjut, Fiqih, hokum-hukum yang dirujuk dari Al Quran dan Al Hadits, merupakan hokum yang hadir untuk menyikapi kondisi kekinian atau kontekstualitas.  Al Quran bahkan turun secara gradual (bertahap) sesuai dengan kondisi dan konteksnya.  Pada tahap selanjutnya, Islam berkembang menjadi 4 mazhab atau aliran besar, yaitu (1) Syafii, (2) Maliki, (3) Hanafi, (4 ) Hambali.  Mazhab yang muncul sesuai dengan kontekstualitasnya, menjaga keseimbangan antara teks dan konteks, keseimbngan antara wahyu dan akal.  Tetapi agama bukan budaya, karena agama memiliki konsep sakralitas.  Tetapi agama tidak bisa terlepas dari budaya, karena adat istiadat dapat menjadi landasan hokum (fiqih).  “Bahkan budaya dapat menjadi ekspresi keagamaan, contohnya sholawatan” ujar Pak Faisol mengakhiri pemaparannya.

Selanjutnya. Romo Antonius Denny, seorang rohaniwan Katolik asli dari Desa Tlogosari.  Saat ini Romo Denny sedang bertugas untuk menjadi Kepala Sekolah di SMAK Santo Paulus Jember, salah satu lembaga pendidikan terkemuka di kawasan timur Jawa Timur.  Sang Romo menjelaskan, “sebelum berdialog antar iman, harus didahului oleh kemandirian iman.”  Kemandirian iman menjaga seorang beriman jatuh pada relativisma, menganggap semua benar atau bisa juga jatuh pada fundamentalisma, menganggap dirinya sendiri yang paling benar, kebenaran yang eksklusif.  Kunci keberhasilan melakukan dialog adalah berbela rasa, memiliki keprihatinan bersama dan non diskriminatif¸ berkeadilan bersama.  “Menjadi aku yang lain.” Tukas Romo.   Sebagai tambahan informasi, Romo menjelaskan untuk menjadi Romo diperlukan waktu yang tidak sedikit, selepas SMA menempuh pendidikan selama 4 tahun untuk belajar filfasat, selanjutnya menempuh 4 tahun lagi untuk belajar teologi.  Setelah 8 tahun sudah ditahbiskan sebagai Romo.  Tetapi harus menambah 2 tahun lagi untuk spesialisasi plus 3 tahun menempuh pendidikan Doktor bila ingin menjadi Romo yang mengajar di Sekolah Tinggi Teologi.

Selanjutnya dari Agama Hindu diwakili oleh Pak Sujono, beliau merupakan Kepala Sekolah SMA Tri MUrti Pakisaji Kabupaten Malang.  Pak Sujono membuka dengan menjelaskan arti dari salam umat Hindu, Hom Swasti Astu (salam sejahtera dari Tuhan), Hom Santi, Santi, Santi, Hom (damai di hati, damai di bumi, damai selalu).  Dijelaskannya, dalam Sastra (Kitab Suci) tidak ada kata Hindu tetapi Dharma seperti yang terdapat pada Sastra Veda (kitab yang berbahasa Sansekerta dengan huruf Nagari, huruf yang kemudian dipakai di Thailand, Jawa, dan Bali.  Sedangkan Bahasa Sansekerta berinkulturasi menjadi Bahasa Kawi di Nusantara).  Kata Hindu berasal dari kata Hindustan, sebagai asal muasal Ajaran Dharma.  Pak Sujono menegaskan, “Dharma, berarti kebenaran yang mutlak tanpa awal dan tanpa akhir.”  Selain Sastra Veda, ada pula Sastra Bhagawat Gita, Sastra yang ditulis pada jaman Kaliyaga, saat jaman Prabu Parikesit berkuasa kurang lebih 5000 tahun yang lalu.  Diceritakan bahwa asal muasal manusia ada sejak 450 Milyar tahun yang lalu, umur manusia telah ditetapkan hanya 65 tahun karena semakin tingginya kejahatan dan banyak menyalahi kodrat.  Manusia sebagai ciptaan yang utama, karena bisa membedakan yang baik dan yang jahat, dan merubah yang baik menjadi sempurna. “Orang suci punya masa lalu dan orang jahat punya masa depan”, ujar Pak Sujono.  Umur manusia bisa bertambah atau berkurang karena perilakukanya, tetapi juga bisa bertambah dan berkurang karena pola hidup dan pola makannya.  Dijelaskan oleh Pak Sujono, “Manusia rata-rata umurnya 65 tahun, bila menjadi vegetarian umur bisa bertambah sampai 20 tahun tetapi bila menjadi karnivora akan berkurang sebanyak 30 tahun.”  Para perserta  OBOR tertawa bersama saat, ada salah seorang pendamping yang bereaksi karena jengkel seluruh mata memandang dia. Karena beliau sudah terkenal sebagai karnivora sejati di Kampus Ma Chung.  

  

Beberapa Catatan Pinggir Diskusi dengan Mas Duha, Dosen dari Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Peserta OBOR yang tinggal di Keluarga Pak Wanto juga

Tentang Filsafat Islam

Filsasat Islam pernah berjaya saat Dunia Barat dikuasai oleh Gereja Katolik atau yang disebut dengan Masa Kegelapan pada Abad Pertengahan.  Tetapi, Filsafat Islam akhirnya meredup pada saat Abad Pencerahan (Aufklarung) dimulai.  Tetapi redupnya Filsafat Islam bukan semata karena bangkitnya Filsafat Barat tetapi karena pertentangan antar pemikir Islam sendiri saat itu, terutama tajamnya pertikaian antara Ibnu Sina yang menjadikan filsafat sebagai dasar berfikir dan Al Gazhali yang menentang dan mengharamkan filsafat sebagai dasar berfikir.  Filsafat oleh Al Gazhali diharamkan karena dianggap  sebagai produk barat.  Oleh gerakan Aufklarung, Filsafat Islam masalah dimasukkan sebagai bagian dari Filsafat Barat sampai saat ini, sedangkan Filsafat Timur didasarkan pada tradisi India dan China yang banyak dipengaruhi oleh Hindu dan Buddha.  Tradisi Filsafat Islam sebagai landasar berfikir yang masih terjaga sampai hari ini ada di kalangan Islam Syi’ah yang ada di Iran.

Tentang Tradisi Selibat

Tradisi selibat atau tidak menikah merupakan salah satu factor pendorong tingginya pelayanan keagamaan dan negara.  Tradisi Katolik dan Syabani dari pasukan Ottoman.  Pada tradisi Syabani, saat pernikahan diijinkan maka terjadi korupsi dan nepotisme besar-besaran dalam pelayanan.  Ottoman runtuh karena Syabani lebih mementingkan kepentingan keluarga ketimbang kepentingan Negara.  Menurut tradisi Sufi, tidak menikah adalah anugerah.  “Menikah hanya untuk orang-orang yang tidak tahan membujang sehingga tidak sepenuh hati melayani Tuhan.” Demikian pernyataan Tradisi Sufi terhadap pernikahan.  Prinsip selibat ini diambil dari tradisi Nabi Yahya (Yohanes Pembaptis).  Sedangkan dalam tradisi Katolik diturunkan dari ajaran Rasul Paulus.

Fenomena Komersialisasi Agama

Penumpukkan kekayaan dengan motif agama saat ini sedang marak.  Acara-acara keagamaan besar-besar yang berbiaya mahal diiringi dengan pesan-pesan sponsor produk-produk tertentu makin marak.  Bukan hanya onair di televisi tetapi juga off air di berbagai pelosok negeri.  Kyai, Pendeta, dan berbagai pemuka agama menggunakan posisi social untuk menguasai ekonomi.  Acara keagamaan yang berbau aktivitas bisnis ini sangat menggiurkan karena bebas pajak, tanpa tuntutan akuntabilitas public, tidak perlu audit sehingga menjanjikan keuntungan yang sangat tinggi.  Bahkan beberapa pemuka agama dengan terang-terangan membuka usaha yang berbau keagamaan seperti trour and travel ke Tanah Suci masing-masing agama, produk-produk ritual keagamaan, dan bahkan lembaga pendidikan yang jelas-jelas mencari keuntungan.  Bahkan dengan menggunakan klaim tertentu seperti Habib (sebagai keturunan Nabi Muhammad SAW) dengan menggunakan klaim patriarki (walau Nabi tidak berputra hanya berputri) sehingga klaim tersebut seharusnya gugur kalau menggunakan konsepsi patriarki.  Hal sama terjadi pada agama-agama lain dengan berbagai klaim-klaim sepihak yang tidak mendasar dan hanya demi keuntungan diri sendiri saja.  Bukan hanya dasar sejarah tetapi bahkan dasar teologis berbasis kita suci yang diotak-atik sesuai kebutuhannya sendiri.

Perebutan Hegemoni

Perebutan hegemoni antar klan bahkan antar subklan serta berbagai mazhab baik di tradisi agama Yahudi, Katolik, Islam, maupun Kristen  menjadikan Timur Tengah sebagai ajang perang yang tiada pernah henti.  Sejak jaman Yahudi, pertarungan antar klan menjadikan Kerajaan Israel pecah.  Munculnya Isa Al Masih menjadikan pertempuran antar mazhab di tradisi Yahudi.  Demikian pula selanjutknya dalam tradisi Katolik, perang antar mazhab memisahkan Katolik Barat (Vatikan) dan Katolik TImur (Bisantium) bertikai.  Hal yang sama terjadi di tradisi Islam, bahkan hanya sesaat setelah wafatnya Sang Nabi.  Bukan hanya memakan korban orang kebanyakan, sampai cucu Sang Nabi-pun menjadi korban pertikaian berlatar belakang mazahab dan klan sekaligus.  Kejadian yang sama juga terjadi pada tradisi Kristen yang lebih terbuka terhadap penafsiran firman, bermunculannya mazhab yang diwakili oleh organisasi gereja terus terjadi hingga saat ini.  Perang antar klan dan mazhab bukan saja berlatar belakang teologis tetapi juga dilatarbelakangi perebutan kekuasaan ekonomi.  Siapa yang menguasai umat, maka terkuasai pula sumberdaya dan perputaran ekonomi.   

Sekelumit Informasi Tentang Masjid dan Seluk Beluknya

Belajar dari Masjid Jami’ Basuki Rahmat yang ada di Tlogosari, masjid yang mampu menampung 100 jemaat terkembang cerita.  Masjid di Tlogosari memiliki Mighrab atau Ruang Imam seluas 2 x 3 meter.  Artinya masjid tersebut mengikuti Maxhab Syafei, adanya Ruang Imam untuk memastikan bahwa Imam memang benar-benar berada di depan Jamaah.  Sedangkan penganut Mazhan Hambali tidak mengharuskan adanya Ruang Imam.  Di Masjid Jami’ Tlogosari tidak ada pemisah antara Jamaah perempuan dan laki-laki, tidak seperti di beberapa masjid lain yang dengan tegas memisahkan jamaah beda jenis kelamin, entah dengan kelambu bisa juga dengan ruang yang terpisah.  Sebagai catatan, di Masjidil Haram dan Masjid Al Aqsa, laki-laki dan perempuan tidak dipisah, tetapi dengan catatan jamaah perempuan dikelilingi oleh keluarganya.  Berbeda dengan masjid-masjid di Arab Saudi, nyaris tidak ada ruang untuk perempuan beribadah berjamaah.

 

Refleksi  

Untuk menutup kegiatan OBOR, selalu akan diakhiri dengan refleksi, kegiatan untuk mengendapkan berbagai nilai yang kita serap sepanjang kegiatan dan tentu saja diinternalisasi dan dijadikan pegangan untuk masa mendatang, serta dirasa baik dapat dibagikan kepada banyak orang.  Pada OBOR kali ini, refleksi diserahkan pada Mas Aji Prasetyo seorang musisi, komikus, sekaligus aktivis gerakan toleransi dan multikulturalisma.  Mas Aji mengawali dengan menceritakan mengenai pusat aktivisma beliau, “aktivitas saya berpusat di warung kopi, dalam bahasa jawa artinya wadahe rerembugan untung, tempak berkumpul dan berdiskusi untuk kebaikan.”   Mas Aji menegaskan, bahwa agama hadir sebagai solusi terhadap permasalahan manusia dan alam.  Sehingga, manusia beragama adalah manusia yang beradab dan bijaksana, karena mampu mengatasi permasalahan kemanusiaan dan alam.  Tetapi pada kenyataannya, seringkali manusia beragama malah menjadi perusak kemanusiaan dan kehancuran alam, kata beliau.  Letak masalahnya, bukan pada agama tetapi “klaim” terhadap agama oleh manusia yang mengaku-aku beragama.  “Seharusnya, seseorang yang beragama harus hidup luhur, cinta damai dan hidup harmoni dan selaras dengan sesame manusia dan dengan alam.” Jelas Mas Aji.  Tradisi atau lokalitas atau kontekstualisasi menjadi syarat wajib bagi agama.  “Manusia yang semakin bertuhan, seharusnya semakin manusiawi”, tegas beliau.  Seperti di Indonesia ini, Pancasila adalah dasar hidup yang disarikan dari kebaikan yang ada pada seluruh agama di Nusantara sekaligus berbagai kebaikan adat dan budaya asli Nusantara.  “Pancasila yang terdiri dari 5 sila tersebut dapat disarikan lagi menjadi eka sila, yaitu gotong royong, sikap peduli dan berbela rasa, simpati dan empati” tegas Mas Aji mengakhiri refleksi pada OBOR 2015 di Desa Tlogosari kali ini.  

Tidak ada komentar: