Jumat, 06 Januari 2023

PERSEPSI AKUNTAN PUBLIK, AKUNTAN PENDIDIK, DAN MAHASISWA AKUNTANSI TERHADAP KODE ETIK AKUNTAN INDONESIA

 KESIA SISKA AMELIA & DANIEL SUGAMA STEPHANUS

PERKULIAHA METODOLOGI PENELITIAN

PROGRAM STUDI AKUNTANSI - FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS MA CHUNG – KABUPATEN MALANG 2014

 

1.     PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Seiring berjalannya waktu, perkembangan zaman tidak dapat dihindari. Persaingan menjadi semakin ketat dan hanya mereka yang siap dan memunyai bekal serta sikap profesionalisma yang memadai saja yang dapat tumbuh dan bertahan. Kemampuan dan keahlian khusus yang dimiliki oleh suatu profesi adalah suatu keharusan agar profesi tersebut mampu bersaing di dunia usaha sekarang ini. Namun, selain kemampuan dan keahlian khusus, suatu profesi juga harus memiliki etika yang merupakan aturan-aturan khusus yang harus ditaati oleh pihak yang menjalankan profesi tersebut.

Etika suatu profesi menjadi topik pembicaraan yang sangat penting dalam masyarakat sekarang ini. Terjadinya pelanggaran etika profesi tersebut menyadarkan masyarakat untuk mengutamakan perilaku etis, dimana selama ini perilaku etis sering diabaikan. Etika menjadi kebutuhan penting bagi semua profesi yang ada agar tidak melakukan tindakan yang menyimpang hukum. Semua profesi dituntut untuk berperilaku etis yaitu bertindak sesuai dengan moral dan nilai-nilai yang berlaku.

Tiap-tiap pelaku profesi memuyai tanggung jawab etika profesi masin-masing. Dalam hal etika profesi, sebuah profesi memiliki komitmen moral yang tinggi, yang biasanya dituangkan dalam bentuk aturan khusus yang menjadi pegangan bagi setiap orang yang mengembang profesi yang bersangkutan. Aturan ini merupakan aturan main dalam menjalankan atau mengemban profesi tersebut

yang biasanya disebut sebagai kode etik yang harus dipenuhi dan ditaati oleh setiap profesi. Setiap profesi yang memberikan pelayanan kepada masyarakat harus memiliki kode etik yang merupakan seperangkat prinsip-prinsip dan mengatur tentang perilaku profesionalisma (Murtanto & Marini 2003).

Begitu pula dengan keberadaan maupun peran profesi akuntan di masa sekarang dan akan datang, serta perkembangan bisnis yang menuntut profesionalisma dari seorang akuntan karena profesi akuntan merupakan salah satu profesi yang melekat pada masyarakat bisnis. Di Indonesia sedang berkembang issue seiring dengan terjadinya beberapa pelanggaran etika yang terjadi, baik yang dilakukan oleh akuntan publik, akuntan internal, maupun akuntan pemerintah.

Untuk kasus akuntan publik, beberapa pelanggaran etika ini dapat ditelusuri dari laporan Dewan Kehormatan IAI dalam laporan pertanggungjawaban pengurus IAI periode 1990-1994 yang menyebutkan adanya 21 kasus yang melibatkan 53 KAP. Dari hasil penelitian BPKP terhadap 82 KAP dapat diketahui bahwa selama tahun 1994 sampai dengan 1997 terdapat 91,81% KAP tidak memenuhi Standar Profesional Akuntan Publik, 82,39% tidak menerapkan sistem Pengendalian Mutu, 9,33% tidak mematuhi kode etik, dan 5,26% tidak mematuhi peraturan perundang-undangan. Data terakhir (Media Akuntansi, 2002) ada 10 KAP yang melakukan pelanggaran saat mengaudit bank-bank yang dilikuidasi tahun 1998.

Pelanggaran etika oleh akuntan publik misalnya dapat berupa pemberian opini wajar tanpa pengecualian untuk laporan keuangan yang tidak memenuhi kualifikasi tertentu menurut norma pemeriksaan akuntan atau Standar Profesional

Akuntan Publik (SPAP). Pelanggaran etika oleh akuntan internal dapat berupa perekayasaan data akuntansi untuk menunjukkan kinerja keuangan perusahaan agar tampak lebih baik dari yang sebenarnya. Sedangkan pelanggaran etika yang dilakukan oleh akuntan pemerintah misalnya dapat berupa pelaksanaan tugas pemeriksaan yang tidak semestinya karena didapatkannya insentif tambahan dalam jumlah tertentu dari pihak yang laporan keuangannya diperiksa.

Berbagai pelanggaran terjadi baik di Amerika maupun di Indonesia. Contoh kasus nyata adalah PT Telkom dimana laporan keuangan PT Telkom yang diaudit oleh KAP Edy Pianto ditolak oleh SEC (United States Securities and Exchange Comission) untuk kinerja 2002; kemudian kasus pelanggaran yang menimpa perbankan di Indonesia pada tahun 2002 yaitu banyak bank yang dinyatakan sehat tanpa syarat oleh akuntan publik atas audit laporan keuangan berdasar Standar Akuntansi Perbankan Indonesia ternyata sebagian besar bank itu kondisinya tidak sehat; dan kasus rekayasa laporan keuangan oleh akuntan intern yang dilakukan oleh sejumlah perusahaan go public (kasus Enron, Tyco, Xerox Corp, Walt Disney).

Runtuhnya perusahaan raksasa Enron Corporation yang merupakan salah satu perusahaan terkemuka di Amerika Serikat telah melibatkan KAP Arthur Andersen sebagai akuntan publik yang mengaudit laporan keuangan perusahaan tersebut. Lima tahun terakhir perusahaan tersebut telah diduga melebihkan neraca dan laporan keuangan. Skandal Enron memunculkan banyak pertanyaan seputar peranan Arthur Andersen. Sebab auditor bertaraf internasional ini telah memainkan dua posisi strategis di perusahaan tersebut, sebagai auditor dan konsultan bisnis Enron. Hal inilah yang kemudian menjadi perdebatan di kalangan auditor (jasa akuntan publik) mengenai industri accounting dan potensi benturan kepentingan yang dihadapi perusahaan tersebut dalam peranannya di masyarakat (Media Akuntansi, 2002).

Arthur Andersen secara nyata telah melakukan pelanggaran pada prinsip kepentingan publik, dimana sebagai Kantor Akuntan Publik yang menerima kepercayaan masyarakat yang sangat tinggi justru melakukan kebohongan publik dengan membiarkan laporan keuangan Enron terbit. Padahal dalam kenyataannya Enron diduga melebih-lebihkan neraca dan laporan keuangan. Selain itu Arthur Andersen juga melanggar prinsip integritas dan obyektivitas dimana selain mengaudit laporan keuangan Enron, mereka juga berperan sebagai konsultan bisnis. Arthur Andersen juga mendiskreditkan profesi akuntan publik dengan menjalankan dua posisi tersebut, dan hal tersebut jelas melanggar prinsip perilaku profesional.

Deretan kasus tersebut adalah merupakan gambaran beragam tindakan penyelewengan dan kecurangan audit. Kejadian itu telah mendorong tuntutan masyarakat terhadap independensi auditor. Dengan adanya berbagai pelanggaran tersebut maka jelas bahwa Kode Etik Akuntan selama ini kurang dipatuhi. Hal tersebut akhirnya berdampak pada menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap profesi akuntan. Agar kepercayaan masyarakat khususnya pengguna jasa akuntan meningkat, maka seharusnya etika yang mengatur profesi akuntan sejak dini dipahami dan dilaksanakan secara disiplin yaitu semenjak di bangku kuliah, sehingga Kode Etik Akuntan yang ada benar-benar dipahami untuk dilaksanakan pada praktik kerja nantinya.

Hal-hal tersebut tidak akan terjadi jika setiap akuntan dan calon akuntan memunyai pengetahuan pemahaman dalam menerapkan etika secara memadai  untuk melaksanakan tugasnya sebagai seorang akuntan yang profesional. Dengan sikap akuntan yang profesional maka akan mampu menghadapi tekanan yang muncul dari dirinya sendiri ataupun dari pihak eksternal. Oleh karena itu kesiapan yang menyangkut profesionalisma seorang yang berprofesi sebagai akuntan diperlukan, sebab sebagai seorang profesionaisma harus memiliki tiga hal utama oleh setiap anggota profesi tersebut yaitu keahlian, pengetahuan, dan karakter. Hal ini bertujuan untuk memenuhi peran dan tanggung jawabnya kepada masyarakat para pemakai jasa profesionalisma profesi akuntan. Sikap dan tindakan etis akuntan akan sangat menentukan keberadaannya dalam persaingan diantara rekan profesi dari negara lainnya (Yusup et al., 2007).

Di tengah banyaknya tantangan yang cukup berat yang dihadapi, profesi akuntan dalam dunia bisnis seringkali dihadapkan pada konflik kepentingan ekonomi dan politik dan dianggap sudah menyimpang jauh dari nilai-nilai etika. Disinilah seorang akuntan harus bekerja dengan sikap yang profesional yang sepenuhnya berlandaskan pada standar moral dan etika yang ada. Akuntan atau auditor di dalam menjalankan tugasnya harus bertanggung jawab kepada pihak ketiga atau pihak eksternal, dalam hal ini pemerintah, pemegang saham, kreditur, dan masyarakat.

Dalam menjalankan profesinya sebagai pemeriksa (audit), seorang akuntan diatur oleh suatu kode etik profesi. Kode etik tersebut berupaya untuk memastikan standar kompetensi yang tinggi diantara anggota-anggota kelompok, mengatur hubungan mereka, dan meningkatkan serta melindungi citra profesi dan kesejahteraan komunitas profesi (Simamora, 2002).

Kode etik profesi akuntan di Indonesia dikenal dengan nama Kode Etik Ikatan Akuntan Indonesia (Renyowijoyo, 2005), yang merupakan norma perilaku yang mengatur hubungan antara akuntan dengan para klien, antara akuntan dengan sejawatnya, dan antara profesi dengan masyarakat (Sihwajoeni & Godono., 2000). Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) telah mengesahkan Kode Etik Akuntan Indonesia tersebut sejak tahun 1973 yang mengalami revisi di tahun 1986, 1994, dan terakhir tahun 1998 dalam pasal 1 ayat (2) yang mengamanatkan setiap anggota harus mempertahankan integritas dan obyektivitas dalam melaksanakan tugasnya guna menjaga hubungan dengan klien (Jusup & Al Haryono, 2001).

Ikatan Akuntansi Indonesia adalah satu-satunya organisasi profesi akuntan Indonesia yang beranggotakan auditor dari berbagai tipe (auditor pemerintah, auditor intern, dan auditor independen), akuntan manajemen, akuntan yang bekerja sebagai pendidik, serta akuntan yang bekerja di luar profesi auditor, akuntan manajemen, dan akuntan pendidik. Dengan adanya kode etik tersebut, akuntan akan bertindak adil tanpa dipengaruhi tekanan atau permintaan pihak tertentu atau kepentingan pribadinya.

Prinsip etika profesi dalam kode etik Ikatan Akuntan Indonesia menyatakan pengakuan profesi akan tanggung jawabnya kepada publik, pemakai jasa akuntan, dan rekan. Prinsip ini memandu anggota dalam memenuhi tanggung jawab profesionalnya dan merupakan landasan dasar perilaku etika dan perilaku  profesionalnya. Selain itu, prinsip ini meminta komitmen untuk berperilaku terhormat, bahkan dengan pengorbanan keuntungan pribadi (IAI, 1998).

Kode etik akan mendorong masyarakat dalam menilai sejauh mana seorang auditor telah bekerja sesuai dengan standar-standar etika yang telah ditetapkan oleh profesinya. Selain itu, kepercayaan masyarakat terhadap suatu profesi dapat diperkuat, karena setiap klien mempunyai kepastian bahwa kepentingannya terjamin. Kode etik ibarat kompas yang menunjukkan arah etika bagi suatu profesi dan sekaligus juga menjamin mutu profesi itu di mata masyarakat (Yatimin, 2006). Kepercayaan dari masyarakat inilah yang menjadi alasan perlunya kode etik profesi akuntan.

Secara umum, dapat ditunjukkan bahwa pekerjaan akuntan merupakan pekerjaan yang sarat dengan acuan normatif dan muatan moral. Acuan normatif dan muatan moral ini dapat dicermati antara lain pada kode etik profesi akuntan, standar profesionalisma akuntan publik, dan standar akuntansi keuangan yang telah dikeluarkan oleh IAI (Ludigdo, 2007).

Persepi perlu diteliti karena merupakan gambaran pemahaman terhadap etika profesi (Kode Etik Akuntan). Dengan pengetahuan, pemahaman, serta kemauan yang lebih untuk menerapkan nilai-nilai moral dan etika secara memadai dapat mengurangi berbagai pelanggaran etika (Ludigdo 1999). Peneliti memfokuskan penelitian pada Prinsip-Prinsip Etika dalam Kode Etik Akuntan yaitu Tanggung Jawab Profesi, Kepentingan Publik, Integritas, Obyektivitas, Kerahasiaan, Kompetensi dan Perilaku Profesional, serta Standar Teknis.

Abdullah & Halim (2002) menyatakan etika dalam profesi akuntansi mendapat sorotan kerena ternyata kurikulum pendidikan belum mencakup muatan etika yang cukup berarti (Ludigdo & Macfoedz, 1999; Engle & Smith, 1990). Mata kuliah yang mengandung muatan etika tidak terlepas dari misi yang dimiliki oleh perguruan tinggi, yang juga bertanggung jawab pada pengajaran ilmu pengetahuan yang menyangkut tentang etika yang harus dimiliki oleh mahasiswanya dan agar mahasiswanya mempunyai kepribadian (personality) yang utuh sebagai calon akuntan yang profesional.

Menurut Utami et al., (2009) Internal Federation of Accountants (IFAC) pada tahun 2008 menerbitkan delapan standar pendidikan internasional (International Education Standards / IES). Dari delapan standar tersebut, standar nomor 4 (IES 4) menyebutkan bahwa program pendidikan akuntansi sebaiknya memberikan rangka nilai, etika, dan sikap profesional untuk melatih judgement profesional calon akuntan sehingga dapat bertindak secara etis di tengah kepentingan profesi dan masyarakat.

Sebagai acuan dari studi ini dapat disebutkan beberapa hasil penelitian yang telah dilakukan sebelumnya. Wulandari & Sularso (2002) meneliti tentang persepsi akuntan pendidik dan mahasiswa akuntansi terhadap kode etik akuntan Indonesia. Hasil penelitiannya menyatakan bahwa ada perbedaan persepsi yang signifikan antara kelompok akuntan pendidik dengan mahasiswa akuntansi. Akuntan pendidik mempunyai persepsi yang lebih baik terhadap kode etik dibanding dengan mahasiswa akuntansi.

Winarna & Retnowati (2003) melakukan penelitian tentang persepsi akuntan pendidik, akuntan publik, dan mahasiswa akuntansi terhadap kode etik Ikatan Akuntan Indonesia. Hasil penelitiannya menyatakan bahwa antara akuntan publik, akuntan pendidik dan mahasiswa akuntansi mempunyai persepsi yang berbeda terhadap kode etik Ikatan Akuntan Indonesia. Martadi & Suranta (2006) meneliti bahwa tidak terdapat perbedaan persepsi yang signifikan antara akuntan pria dan mahasiswa akuntansi dengan akuntan wanita dan mahasiswa akuntansi terhadap etika profesi. Terdapat perbedaan persepsi yang signifikan antara karyawan bagian akuntansi pria dengan karyawan bagian akuntansi wanita terhadap etika profesi. Ronald Arisetyawan (2010) meneliti tentang persepsi akuntan publik dan mahasiswa pendidikan profesi akuntansi terhadap kode etik Ikatan Akuntan Indonesia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat perbedaan persepsi mahasiswa akuntansi PPAk dan akuntan publik.

Berdasarkan argumen di atas, maka penelitian etika profesi akuntan ini dilakukan karena profesi akuntan dalam aktivitasnya tidak terpisahkan dengan prinsip-prinsip yang tercantum dalam etika profesi. Menurut Hunt & Vitel (1998), kemampuan seorang profesional untuk dapat mengerti dan peka akan adanya masalah etika dalam profesinya sangat dipengaruhi oleh lingkungan budaya atau masyarakat dimana profesi itu berada, lingkungan profesi, lingkungan organisasi, atau tempat ia bekerja serta pengalaman pribadinya.

Sudibyo (1998) menyatakan dunia pendidikan akuntansi memunyai pengaruh yang besar terhadap perilaku etis akuntan. Pemahaman seorang mahasiswa akuntansi dalam hal etika sangat diperlukan dan memiliki peranan penting dalam perkembangan profesi akuntansi di Indonesia. Calon akuntan perlu diberi pemahaman yang cukup terhadap masalah-masalah etika profesi yang akan mereka hadapi.

Subyek penelitian ini adalah akuntan publik dan akuntan pendidik, karena mereka adalah pendidik dari pada calon akuntan yang utuh sebagai manusia setelah diberikan pengarahan ilmu pengetahuan bisnis dan akuntansi (transformasi ilmu). Sedangkan dilakukan pada mahasiswa akuntansi karena mereka adalah calon akuntan yang seharusnya terlebih dahulu dibekali pengetahuan mengenai etika sehingga kelak bisa bekerja secara profesional berlandaskan etika profesi seorang akuntan serta dapat menerapkannya dengan baik di dunia bisnis.

Penelitian ini bertujuan untuk menguji secara empiris perbedaan persepsi terhadap etika profesi akuntan dengan menekankan pada prinsip-prinsip etika akuntan antara akuntan publik, akuntan pendidik, dan mahasiswa akuntansi. Berdasarkan permasalahan yang ada tersebut maka menjadi latar belakang untuk menyusun penelitian ini dengan judul PERSEPSI AKUNTAN          PUBLIK,       AKUNTAN   PENDIDIK,            DAN MAHASISWA AKUNTANSI TERHADAP KODE ETIK AKUNTAN INDONESIA.

1.2 Rumusan Masalah

Banyaknya masalah yang terjadi pada berbagai kasus bisnis yang melibatkan profesi akuntan, membuat masyarakat memandang negatif peran akuntan. Padahal apabila Kode Etik Akuntan yang mengatur mengenai pelaksanaan profesi akuntan dilaksanakan dengan tulus dan niat yang baik maka hal-hal negatif tersebut tidak seharusnya terjadi.

Penegakan etika profesi harus dimulai melalui pemahaman dan penghayatan dengan kesadaran penuh sedini mungkin, yaitu sejak bangku kuliah. Apabila pemahaman akan Kode Etik Akuntan tersebut tidak dipersepsikan dengan baik maka dalam melakukan praktik kerja di masyarakat akan mengurangi kualitas audit report. Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Bagaimana persepsi akuntan publik, akuntan pendidik, dan mahasiswa akuntansi terhadap prinsip-prinsip Kode Etik Ikatan Akuntan Indonesia?

2. Apakah ada perbedaan persepsi antara akuntan publik, akuntan pendidik, dan mahasiswa akuntansi terhadap prinsip-prinsip Kode Etik Ikatan Akuntan Indonesia?

1.3 Tujuan

Adapun tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Mengetahui persepsi akuntan publik, akuntan pendidik, dan mahasiswa akuntansi terhadap prinsip-prinsip Kode Etik Ikatan Akuntan Indonesia.

2. Menguji secara empiris apakah terdapat perbedaan persepsi terhadap Kode Etik Akuntan antara akuntan publik, akuntan pendidik, dan mahasiswa akuntansi.

1.4 Manfaat

1. Bagi peneliti

a. Penelitian ini dapat menjadi sarana untuk memraktikkan dan menerapkan ilmu pengetahuan yang telah diperoleh.

b. Peneliti mendapatkan tambahan pengetahuan tentang etika profesi akuntan.

c. Mengetahui           persepsi akuntan       publik, akuntan pendidik, dan mahasiswa akuntansi terhadap etika profesi akuntan.

2. Bagi profesi akuntan

Penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan untuk tetap dapat menjaga mutu jasa auditnya dan mempertahankan independensi auditor.

3. Bagi dunia pendidikan

a. Membantu para akademisi untuk melakukan pemahaman yang lebih terhadap perkembangan etika mahasiswa akuntansi dan juga dapat memberikan masukan penting dalam penyususnan kurikulum pendidikan akuntansi sehubungan dengan etika profesi akuntan.

b. Memberikan masukan tentang indikator mengenai bagaimana calon-calon akuntan berperilaku profesional di masa yang akan datang.

c. Memberikan masukan dalam upaya untuk meningkatkan kualitas pendidikan akuntansi yang tidak hanya bertanggungjawab untuk mendidik mahasiswa menjadi akuntan yang mahir dan profesional tetapi juga menjadi akuntan yang berperilaku etis dan selalu berpegang teguh pada etika profesi yang dipahaminya.

4. Bagi peneliti selanjutnya

Penelitian ini dapat menjadi sumber pembelajaran sebagai dasar pembanding dalam rangka melakukan penelitian lebih lanjut pada bidang terkait.

 

2.     LANDASAN TEORI

Landasan teori adalah seperangkat definisi, konsep serta proposisi yang telah

disusun rapi serta sistematis tentang variabel-variabel dalam sebuah penelitian

(Turner, 1992). Dalam penelitian, landasan teori layaknya fondasi pada sebuah

bangunan. Bangunan akan terlihat kokoh bila fondasinya kuat. Tanpa landasan

teori penelitian dan metode yang digunakan tidak akan berjalan lancar. Peneliti

juga tidak bisa membuat pengukuran atau tidak memiliki standar alat ukur jika

tidak ada landasan teori. Seperti yang diungkapkan oleh Sugiyono (2012), bahwa

landasan teori perlu ditegakkan agar penelitian mempunyai dasar yang kokoh,

dan bukan sekedar perbuatan coba-coba (trial and error).

Pada bab II ini, peneliti bertujuan untuk mendapatkan jawaban atas rumusan

masalah yang telah ditetapkan dalam bab 1.2, sehingga dapat meyakinkan

pembaca akan penelitian yang telah dibuat dengan didasarkan pada teori-teori ilmiah.

2.1 Kajian Pustaka

2.1.1    Persepsi

2.1.1.1 Definisi Persepsi

Persepsi menurut Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer (1999) adalah

pandangan dari seseorang atau banyak orang akan hal atau peristiwa yang

didapat atau diterima. Sedangkan kata persepsi sendiri berasal dari bahasa

Latin perception, yang berarti penerimaan, pengertian, atau pengetahuan.

Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1995) persepsi

diartikan sebagai tanggapan (penerimaan) langsung dari sesuatu atau

merupakan proses seseorang mengetahui beberapa hal yang dialami oleh setiap

orang dalam memahami setiap informasi tentang lingkungan melalui panca

indera (melihat, mendengar, mencium, menyentuh, dan merasakan). Agar

individu dapat menyadari dan dapat membuat persepsi, ada beberapa syarat

yang harus dipenuhi (Walgito & Bimo, 1997): (1) adanya obyek yang

dipersepsikan (fisik); (2) alat indera atau reseptor yaitu alat untuk menerima

stimulus (fisiologis); (3) adanya perhatian yang merupakan langkah pertama

dalam mengadakan persepsi (psikologis).

Jadi dalam konteks penelitian ini persepsi dapat diartikan sebagai

penerimaan atau pandangan seseorang melalui suatu proses yang didapat dari

pengalaman dan pembelajaran sehingga seorang individu mampu untuk

memutuskan mengenai suatu hal. Persepsi sendiri dipengaruhi oleh sejumlah

faktor yang dapat membentuk persepsi dan kadangkala membiaskan persepsi.

Faktor-faktor tersebut dapat terletak pada orang yang mempersepsikannya,

obyek atau sasaran yang dipersepsikan, atau konteks dimana persepsi itu

dibuat. Sedangkan karakteristik pribadi yang mempengaruhi persepsi meliputi

sikap, kepribadian, motif, kepentingan, pengalaman masa lalu, dan harapan

(Robbins & Stephen, 2002).

Persepsi individu dalam membuat penilaian akan dikaitkan dengan teori

atribusi (Ikhsan, 2010). Teori atribusi merupakan penjelasan dan cara-cara

manusia menilai sesuatu secara berlainan, bergantung pada makna yang

dihubungkan ke suatu perilaku tertentu. Pada dasarnya, teori ini menyarankan

bahwa jika seseorang mengamati perilaku, orang tersebut berusaha

menentukan apakah perilaku itu disebabkan oleh faktor internal atau eksternal.

Namun, penentuan tersebut sebagian besar bergantung pada tiga faktor berikut.

1. Kekhususan (ketersendirian), merujuk pada apakah seorang individu

memperlihatkan perilaku-perilaku yang berlainan dalam situasi yang berlainan.

2. Konsensus, yaitu jika semua orang yang menghadapi suatu situasi

serupa bereaksi dengan cara yang sama.

3. Konsistensi, yaitu individu memberikan reaksi dengan cara yang sama

dari waktu ke waktu.

2.1.1.2 Faktor-Faktor yang Memengaruhi Persepsi

Persepsi dikatakan rumit dan aktif karena walaupun persepsi merupakan

pertemuan antara proses kognitif dan kenyataan, persepsi lebih banyak

melibatkan kegiatan kognitif. Persepsi lebih banyak dipengaruhi oleh

kesadaran, ingatan, pikiran, dan bahasa. Dengan demikian, persepsi bukanlah

cerminan yang tepat dari realitas (Ikhsan, 2010).

Dari beberapa definisi persepsi, dapat disimpulkan bahwa persepsi setiap

individu mengenai suatu obyek atau peristiwa tergantung pada dua faktor, yaitu

faktor dalam diri seseorang (aspek kognitif) dan faktor dunia luar (aspek

stimulus visual). Robbins (2009), mengemukakan bahwa sejumlah faktor

beroperasi untuk membentuk dan terkadang mengubah persepsi. Faktor-faktor

ini bisa terletak dalam diri pembentuk persepsi, dalam diri objek atau target

yang diartikan, atau dalam konteks situasi di mana persepsi tersebut dibuat.

Robbins (....) menjelaskan bahwa ketika seorang individu melihat sebuah target

dan berusaha untuk menginterpretasikan apa yang ia lihat, interpretasi itu

sangat dipengaruhi oleh berbagai karakteristik pribadi dari pembuat persepsi

individual tersebut. Karakteristik pribadi yang memengaruhi persepsi meliputi

sikap, kepribadian, motif, minat, pengalaman masa lalu, dan harapan-harapan seseorang.

Karakteristik target yang diobservasi bisa memengaruhi apa yang

diartikan. Target tidak dilihat secara khusus, hubungan sebuah target dengan

latar belakangnya juga memengaruhi persepsi, seperti halnya kecenderungan

untuk mengelompokkan hal-hal yang dekat dan hal-hal yang mirip. Konteks

dimana kita melihat berbagai objek atau peristiwa juga penting. Waktu sebuah

objek atau peristiwa yang dilihat dapat memengaruhi perhatian, seperti halnya

lokasi, cahaya, panas, atau sejumlah faktor situasional lainnya.

2.1.2    Akuntan

2.1.2.1 Definisi Akuntan

Akuntan adalah suatu gelar profesi yang pemakaiannya dilindungi oleh

peraturan (Undang-undang No. 34 tahun 1954). Peraturan ini mengatakan

bahwa gelar akuntan hanya dapat dipakai oleh mereka yang telah

menyelesaikan pendidikannya dari perguruan tinggi yang diakui menurut

peraturan tersebut dan telah terdaftar pada Departemen Keuangan yang

dibuktikan pemberian nomor register. Apabila seseorang telah lulus dari

pendidikan tinggi dimaksud tetapi tidak terdaftar maka yang bersangkutan

sesuai dengan ketentuan tersebut, bukan akuntan. Oleh sebab itu, semua

“akuntan yang resmi memunyai nomor register (Regar, 2007).

Menurut Bambang (2001), akuntan adalah seseorang yang melakukan

pelayanan        akuntansi.        Akuntan          menyiapkan     laporan            keuangan         dan

mengembangkan rencana keuangan, mengerjakan pembukuan pribadi (untuk

perusahaan), pembukuan umum (untuk perusahaan akuntan), dan akuntan yang

tidak mencari keuntungan (untuk perwakilan pemerintah). Akuntan merupakan

profesi yang mengawal penerapan good corporate governance (good

governance) baik di swasta maupun di pemerintahan agar berjalan sesuai pada

jalurnya. Akuntan yang tidak berintegritas dan tidak bermoral membuat segala

sesuatunya menjadi berantakan.

Menurut International Federation of Accountants (2003), profesi akuntan

adalah semua bidang pekerjaan yang mempergunakan keahlian di bidang

akuntansi, termasuk bidang pekerjaan akuntan publik, akuntan internal yang

bekerja pada perusahaan industri, keuangan atau dagang, akuntan yang bekerja

di pemerintah, dan akuntan sebagai pendidik.

Sedangkan berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia

No. 17/PMK.01/2008 tentang mengakui IAI sebagai organisasi profesi akuntan

publik yang berwenang melaksanakan ujian sertifikasi akuntan publik,

penyusunan dan penerbitan standar profesional dan etika akuntan publik, serta

menyelenggarakan program pendidikan berkelanjutan bagi seluruh akuntan

publik di Indonesia, akuntan publik adalah akuntan yang telah memperoleh ijin

dari Menteri untuk memberikan jasa sebagaimana diatur dalam Keputusan

Menteri Keuangan.

2.1.2.2 Profesi Akuntan

Profesi akuntan dapat digolongkan sebagai berikut.

1. Profesi Akuntan Publik (Public Accountants)

Akuntan publik atau juga dikenal dengan akuntan eksternal adalah

akuntan independen yang memberikan jasa-jasanya atas dasar

pembayaran tertentu. Mereka bekerja bebas dan umumnya mendirikan

suatu kantor akuntan. Yang termasuk dalam kategori akuntan publik

adalah akuntan yang bekerja pada kantor akuntan publik (KAP) dan

dalam praktiknya sebagai seorang akuntan publik dan mendirikan

kantor akuntan, seseorang harus memperoleh izin dari Departemen

Keuangan. Seorang akuntan publik dapat melakukan pemeriksaan

(audit), misalnya terhadap jasa perpajakan, jasa konsultasi manajemen,

dan jasa penyusunan sistem manajemen.

2. Profesi Akuntan Internal (Internal Accountant)

Akuntan intern adalah akuntan yang bekerja dalam suatu perusahaan

atau organisasi. Akuntan intern ini disebut juga akuntan manajemen.

Jabatan tersebut yang dapat diduduki mulai dari Staf biasa sampai

dengan Kepala Bagian Akuntansi atau Direktur Keuangan. Tugas

mereka adalah menyusun sistem akuntansi, menyusun laporan

keuangan kepada pihak-pihak eksternal, menyusun laporan keuangan

kepada pemimpin perusahaan, menyusun anggaran, penanganan

masalah perpajakan, dan pemeriksaan internal.

3. Profesi Akuntan Pemerintah (Government Accountants)

Akuntan pemerintah adalah akuntan yang bekerja pada lembaga-

lembaga pemerintah, misalnya di kantor Badan Pengawasan Keuangan

dan Pembangunan (BPKP), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

4. Profesi Akuntan Pendidik

Akuntan pendidik adalah akuntan yang bertugas dalam pendidikan

akuntansi, melakukan penelitian dan pengembangan akuntansi,

mengajar, dan menyusun kurikulum pendidikan akuntansi di perguruan tinggi.

Hal-hal yang harus dilakukan oleh setiap akuntan sesuai dengan bidangnya

adalah sebagai berikut (Wulansari, 2008).

1. Profesionalisma akan dapat ditingkatkan melalui penguasaan bahasa asing,

teknologi informasi, dan penguasaan metoda akuntansi untuk transaksi

perusahaan multinasional.

2. Akuntan publik yang profesional adalah mereka yang kompeten dalam

melakukan audit atas laporan keuangan perusahaan domestik dan

multinasional dengan sistem manual atau berbasis teknologi informasi.

Kantor akuntan publik juga harus mempunyai kompetensi di bidang

review dan kompilasi.

3. Akuntan internal (manajemen) perlu meningkatkan profesionalismanya di

bidang metoda akuntansi untuk transaksi perusahaan nasional dan

multinasional, penguasaan bahasa asing, dan teknologi informasi. Akuntan

manajemen juga perlu memiliki kemampuan dalam bidang komunikasi

dan manajemen, sehingga dapat berperan dalam proses pengambilan keputusan.

4. Akuntan pendidik harus dapat melakukan transfer of knowledge kepada

mahasiswanya, memiliki tingkat pendidikan yang tinggi, menguasai

pengetahuan bisnis, akuntansi, dan teknologi informasi, serta mampu

mengembangkan pengetahuannya melalui penelitian.

5. Akuntan pemerintah harus menguasai akuntansi dan audit pemerintahan

serta audit perusahaan karena lingkup keuangan negara juga meliputi

BUMN dan BUMD. Penguasaan teknologi informasi akan meningkatkan

profesionalisma akuntan pemerintah.

2.1.3    Mahasiswa Akuntansi

Menurut kamus Besar Bahasa Indonesia (2007) mahasiswa didefinisikan

sebagai orang yang belajar di perguruan tinggi. Sedangkan akuntansi adalah seni

pencatatan dan pengikhtisaran transaksi keuangan dan penafsiran akibat suatu

transaksi terhadap suatu kesatuan ekonomi (AICPA). Jadi yang dimaksud

mahasiswa akuntansi dalam penelitian ini adalah mahasiswa jurusan akuntansi

yang telah menempuh mata kuliah auditing dan teori akuntansi. Persyaratan ini

didasarkan pada asumsi bahwa para mahasiswa akuntansi tersebut telah

memunyai pemahaman tentang prinsip-prinsip etika dalam Kode Etik IAI.

Pendidikan akuntansi selayaknya diarahkan untuk memberi pemahaman

konseptual yang didasarkan pada penalaran sehingga ketika akhirnya masuk ke

dalam dunia praktik dapat beradaptasi dengan keadaan sebenarnya dan memiliki

resistance to change yang rendah terhadap gagasan perubahan atau pembaruan

yang menyangkut profesinya (Suwardjono, 1992).

Mahasiswa yang lulus dari jurusan Akuntansi tidak secara otomatis

mendapatkan gelar akuntan (Ak) tetapi harus menempuh program Pendidikan

Profesi Akuntansi (PPAk) untuk mendapatkan gelar akuntan tersebut. Program

Studi S1 Akuntansi merupakan program studi yang menghasilkan sarjana


akuntansi yang siap menjadi akuntan profesional dan kompeten berlandaskan

wawasan berpikir manajerial. Agar menjadi sarjana yang siap untuk menjadi

akuntan yang profesional dan kompeten di era globalisasi sekarang ini maka para

mahasiswa dibekali dengan keterampilan, pengetahuan, dan karakter.

Selain itu, guna pengembangan diri yang berkelanjutan maka mahasiswa juga

akan dibekali dengan kemampuan melakukan penelitian yang akan dapat

dimanfaatkan bagi pengembangan ilmu atau secara khusus dapat digunakan untuk

mencapai jenjang pendidikan yang lebih tinggi.

2.1.4    Definisi Etika dan Kode Etik Akuntan

Etika berasal dari bahasa Yunani yaitu dari kata ethos yang berarti karakter.

Nama lain untuk etika adalah moralitas yang berasal dari bahasa Latin yaitu dari

kata mores yang berarti kebiasaan. Moralitas berfokus pada perilakumanusia

yang benar” dan “salah (Jusup et al. 2001).

Ward et al. (1993) mengungkapkan bahwa etika sebenarnya meliputi suatu

proses penentuan yang kompleks tentang apa yang harus dilakukan seseorang

dalam situasi tertentu. Proses itu sendiri meliputi penyeimbangan sisi dalam

(inner) dan sisi luar (outer) yang disifati oleh kombinasi unik dari pengalaman

danpembelajaran masing-masing individu. Kemudian dalam Mulyadi (2002),

tertulis bahwa dasar pikiran yang melandasi penyusunan etika profesional setiap

profesi adalah kebutuhan profesi tersebut tentang kepercayaan masyarakat

terhadap mutu jasa yang diserahkan oleh profesi, terlepas dari anggota profesi

yang menyerahkan jasa tersebut.

Sedangkan Kode Etik Akuntan adalah norma perilaku yang mengatur

hubungan antara akuntan dengan kliennya, antara akuntan dengan sejawatnya, dan

antara profesi dengan masyarakat (Sihwahjoeni & Gudono, 2000). Kode Etik

Akuntan sebagaimana ditetapkan dalam Kongres VIII Ikatan Akuntan Indonesia

di Jakarta pada tahun 1998 terdiri dari (Mulyadi, 2002):

1. Prinsip Etika

2. Aturan Etika

3. Interprestasi Aturan Etika

Di dalam prinsip etika, dimuat delapan prinsip etika sebagai berikut.

a. Tanggung Jawab Profesi

Dalam melaksanakan tanggung jawabnya sebagai profesional, setiap

anggota harus senantiasa menggunakan pertimbangan moral dan

profesional      dalam  semua  kegiatan           yang    dilakukannya.  Sebagai

profesional, anggota mempunyai peran penting dalam masyarakat. Sejalan

dengan peranan tersebut, anggota mempunyai tanggung jawab kepada

semua pemakai jasa profesional mereka. Anggota juga harus selalu

bertanggung jawab untuk bekerja sama dengan sesama anggota untuk

mengembangkan profesi akuntansi, memelihara kepercayaan masyarakat

dan menjalankan tanggung jawab profesi dalam mengatur dirinya sendiri.

Usaha kolektif semua anggota diperlukan untuk memelihara dan

meningkatkan tradisi profesi.

b. Kepentingan Publik

Setiap anggota berkewajiban untuk senantiasa bertindak dalam kerangka

pelayanan kepada publik, akuntan memegang kepercayaan publik, dan

menunjukkan komitmen atas profesionalisma. Satu ciri utama dari suatu

profesi adalah penerimaan tanggung jawab kepada publik. Profesi akuntan

memegang peranan yang penting di masyarakat, publik dari

profesi akuntan terdiri dari klien, pemberi kredit, pemerintah, pemberi

kerja, pegawai investor, dunia bisnis dan keuangan, dan pihak lainnya

bergantung kepada obyektivitas dan integritas akuntan dalam memelihara

berjalannya fungsi bisnis secara tertib. Ketergantungan ini menimbulkan

tanggung jawab akuntan terhadap kepentingan publik.

c. Integritas

Untuk  memelihara      dan      meningkatkan  kepercayaan    publik, setiap

anggotaharus memenuhi tanggung jawab profesionalnya dengan integritas

setinggi mungkin. Integritas adalah suatu elemen karakter yang mendasari

timbulnya pengakuan profesional. Integritas merupakan kualitas yang

mendasari kepercayaan publik dan merupakan patokan (benchmark) bagi

anggota dalam menguji semua keputusan yang diambilnya. Integritas

mengharuskan seseorang anggota untuk, antara lain, bersikap jujur dan

berterus terang tanpa harus mengorbankan rahasia penerima jasa, pelayanan,

dan kepercayaan publik tidak boleh dikalahkan oleh keuntungan pribadi.

Integritas dapat menerima kesalahan yang tidak disengaja dan perbedaan

pendapat yang jujur, tetapi tidak dapat menerima kecurangan atau peniadaan

prinsip. Integritas diukur dalam bentuk apa yang benar dan adil.

d. Obyektivitas

Setiap anggota harus menjaga obyektivitas dan bebas dari benturan

kepentingan dalam pemenuhan kewajiban profesionalnya. Obyektivitas

adalah suatu kualitas yang memberikan nilai atas jasa yang diberikan anggota.

Prinsip obyektivitas mengharuskan anggota bersikap adil, tidak memihak,

jujur secara intelektual, tidak berprasangka atau bias, serta bebas dari

benturan kepentingan atau berada di bawah pengaruh pihak lain. Anggota

bekerja dalam berbagai kapasitas yang berbeda dan harus menunjukkan

obyektivitas mereka di berbagai situasi. Anggota dalam praktik akuntan

publik memberikan jasa atestasi, perpajakan, serta konsultasi manajemen.

Anggota yang lain menyiapkan laporan keuangan sebagai seorang bawahan,

melakukan jasa audit internal yang bekerja dalam kapasitas keuangan dan

manajemennya di industri, pendidikan dan pemerintahan. Mereka harus

melindungi integritas pekerjaannya dan memelihara obyektivitas.

e. Kompetensi dan Kehati-hatian Profesional

Setiap anggota harus melaksanakan jasa profesionalnya dengan kehati-

hatian, kompetensi, dan ketekunan, serta mempunyai kewajiban untuk

mempertahankan pengetahuan dan keterampilan profesional pada tingkat

yang diperlukan untuk memastikan bahwa klien atau pemberi kerja

memperoleh manfaat dari jasa profesional yang kompeten berdasarkan

perkembangan praktik, legislasi, dan teknik yang paling mutakhir.

Kehati-hatian profesional mengharuskan anggota untuk memenuhi

tanggungjawab profesionalnya dengan kompetensi dan ketekunan. Hal ini

mengandung   arti       bahwa  anggota           mempunyai      kewajiban        untuk

melaksanakan jasa profesional dengan sebaik-baiknya sesuai dengan

kemampuannya, demi kepentingan pengguna jasa dan konsisten dengan

tanggung jawab profesi kepada publik.

Kompetensi diperoleh melalui pendidikan dan pengalaman. Anggotanya

seyogyanya tidak menggambarkan dirinya memiliki keandalan atau

pengalaman yang tidak mereka punyai. Dalam semua penugasan dan

dalam semua tanggungjawabnya, setiap anggota harus melakukan upaya


untuk mencapai tingkatan kompetensi yang akan meyakinkan bahwa

kualitas jasa yang diberikan memenuhi tingkatan profesionalisma tinggi

seperti disyaratkan oleh prinsip etika.

f.          Kerahasiaan

Setiap anggota harus menghormati kerahasiaan informasi yang diperoleh

selama melakukan jasa profesional dan tidak boleh memakai atau

mengungkapkan informasi tersebut tanpa persetujuan, kecuali bila ada hak

atau kewajiban profesional atau hukum untuk mengungkapkannya. Anggota

memunyai kewajiban untuk menghormati kerahasiaan informasi tentang

klien atau pemberi jasa yang diperoleh melalui jasa profesional yang

diberikannya. Kewajiban kerahasiaan berlanjut bahkan setelah hubungan

antar anggota dan klien atau pemberi jasa berakhir.

g. Perilaku Profesional

Setiap anggota harus berperilaku yang konsisten dengan reputasi profesi yang

baik dan menjauhi tindakan yang dapat mendiskreditkan profesi. Kewajiban

untuk menjauhi tingkah laku yang dapat mendiskreditkan profesi harus

dipenuhi oleh anggota sebagai perwujudan tanggung jawabnya kepada

penerima jasa, pihak ketiga, anggota yang lain, staf, pemberi kerja dan

masyarakat umum.

h. Standar Teknis

Setiap anggota harus melaksanakan jasa profesionalnya sesuai dengan standar

teknis dan standar profesional yang relevan. Sesuai dengan keahliannya dan

dengan berhati-hati, anggota mempunyai kewajiban untuk melaksanakan

penugasan dari penerima jasa selama penugasan tersebut sejalan dengan

prinsip integritas dan obyektivitas. Standar teknis dan standar profesional

yang harus ditaati anggota adalah standar yang dikeluarkan oleh Ikatan

Akuntan Indonesia, International Federation of Accountants, badan pengatur,

dan peraturan perundang-undangan yang relevan.

2.2 Penelitian Terdahulu

Penelitian sebelumnya yang dilakukan berkaitan dengan persepsi terhadap

etika dan kode etik menunjukkan hasil yang berbeda-beda. Desriani (1993)

melakukan penelitian yang bersifat exploratori deskriptif untuk melihat persepsi

akuntan publik tarhadap kode etik. Penelitian ini hanya ditujukan kepada akuntan

publik. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa terdapat perbedaan persepsi yang

signifikan antara kelompok akuntan. Peneliti berharap dapat dilakukan penelitian

lebih lanjut terhadap faktor-faktor yang memengaruhi perbedaan persepsi antar

kelompok akuntan tersebut.

Sedangkan penelitian yang dilakukan Stevens et al. (1993) hasil analisis

dengan t-test menunjukkan bahwa secara keseluruhan tidak ada perbedaan

signifikan di antara kelompok, walaupun ada kecenderungan staf pengajar lebih

berorientasi etis dibanding mahasiswa baik yang tingkat akhir maupun mahasiswa baru.

Ludigdo & Machfoedz (1999) meneliti tentang etika bisnis dengan

menggunakan responden dari kelompok akuntan pendidik, akuntan publik,

akuntan pendidik sekaligus akuntan publik, dan mahasiswa. Hasil penelitiannya

menunjukkan bahwa ada perbedaan persepsi tentang kode etik bisnis diantara

kelompok akuntan tersebut.

Sihwajoehni & Gudono (2000) melanjutkan penelitian Desriani (1993) dengan

meneliti tentang persepsi kode etik diantara tujuh kelompok akuntan yang

meliputi akuntan pendidik, akuntan publik, akuntan manajemen, akuntan

pemerintah, akuntan pendidik sekaligus akuntan publik, akuntan pendidik

sekaligus akuntan manajemen, dan akuntan pendidik sekaligus akuntan

pemerintah. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan persepsi

yang signifikan diantara tujuh kelompok akuntan. Dalam penelitiannya juga

mengungkapkan bahwa diantara kelompok profesi akuntan tersebut memunyai

persepsi yang sama positifnya terhadap kode etik.

Wulandari & Sularso (2002) juga meneliti tentang persepsi akuntan pendidik

dan mahasiswa akuntansi terhadap Kode Etik Akuntan Indonesia. Hasil

penelitiannya menyatakan bahwa ada perbedaan persepsi yang signifikan antara

kelompok akuntan pendidik dengan mahasiswa akuntansi. Akuntan pendidik juga

mempunyai persepsi yang lebih baik terhadap kode etik dibanding dengan

mahasiswa akuntansi. Diperkirakan akuntan pendidik memiliki pengalaman lebih

banyak dibanding mahasiswa tentang etika.

Rustiana & Dian (2002) membandingkan persepsi antara novice accountant

(mahasiswa), akuntan pendidik, dan akuntan publik terhadap kode etik akuntan

yang hasilnya menunjukkan bahwa terdapat perbedaan persepsi tentang kode etik

akuntan diantara tiga kelompok akuntan tersebut, dan persepsi akuntan lebih baik

dibanding akuntan pendidik dan novice accountant (mahasiswa).

Jaka & Retnowati (2003) hasil penelitiannya menunjukkan bahwa untuk

prinsip etika secara keseluruhan disimpulkan bahwa antara akuntan publik,

akuntan pendidik, dan mahasiswa akuntansi mempunyai perbedaan persepsi yang

signifikan terhadap Kode Etik. Sedangkan untuk aturan etika secara keseluruhan

disimpulkan bahwa terdapat perbedaan persepsi yang signifikan antara akuntan

publik dan mahasiswa akuntansi.

Martadi & Suranta (2006) menyatakan bahwa tidak terdapat perbedaan

persepsi yang signifikan antara akuntan pria dan mahasiswa akuntansi dengan

akuntan wanita dan mahasiswa akuntansi terhadap etika profesi. Perbedaan

persepsi yang signifikan hanya terdapat antara karyawan bagian akuntansi pria

dengan karyawan bagian akuntansi wanita terhadap etika profesi.

Arisetyawan (2010) meneliti tentang persepsi akuntan publik dan

mahasiswa pendidikan profesi akuntansi terhadap Kode Etik Ikatan Akuntan

Indonesia. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan persepsi

mahasiswa akuntansi PPAk dan akuntan publik.

Berdasarkan argumen dan hasil yang berbeda-beda di atas, maka peneliti

terdorong untuk melakukan penelitian untuk lebih meyakinkan apakah memang

terdapat perbedaan atau tidak. Penelitian ini akan menguji perbedaan persepsi

terhadap 8 prinsip-prinsip etika dalam kode etik akuntan antara profesi akuntan

yang merupakan praktisi (akuntan pendidik) dengan mahasiswa jurusan akuntansi

sebagai akademisi yang berada di Universitas Ma Chung kota Malang.

2.3 Hipotesis

Berdasarkan penelitian-penelitian terdahulu, maka penelitian ini bermaksud

untuk menguji lebih lanjut apakah memang ada atau tidak perbedaan persepsi

tersebut dengan menguji hipotesis berikut.

H1 : Sekurang-kurangnya terdapat dua perbedaan persepsi antara akuntan

publik, akuntan pendidik, dan mahasiswa akuntansi terhadap Kode Etik Akuntan.

Dalam pengujian ANOVA jika ada perbedaan diantara rata-rata populasi

minimal dua berbeda, maka dapat disimpulkan terdapat perbedaan persepsi

diantara ketiga kelompok tersebut atau H1 diterima (Levin & Rubin, 1998).

Tujuan membandingkan antara akuntan publik, akuntan pendidik, dan

mahasiswa jurusan akuntansi adalah untuk mengetahui ada atau tidaknya

perbedaan persepsi mengenai Kode Etik Akuntan. Apabila hasil penelitian

menunjukkan adanya perbedaan persepsi maka wajar saja karena akuntan

pendidik sudah menerapkan Kode Etik Akuntan dalam pekerjaannya sedangkan

mahasiswa jurusan akuntansi baru dipersiapkan untuk berprofesi sebagai akuntan.

 

 

2.4 Rerangka Teoritis

 

Prinsip-prinsip etika dalam Kode Etik Akuntan:

1. Tanggungjawab Profesi

2. Kepentingan Publik 3. Integritas

4. Obyektivitas

5. Kompetensi dan Kehati-hatian Profesional

6. Kerahasiaan

7. Perilaku Profesional

8. Standar Teknis

 

 

 

 

 

 

 

 

Akuntan Pendidik                    Akuntan Publik                                    Mahasiswa Akuntansi

 

 

 

 

 

Persepsi

 

 

 

ANOVA,

Dengan varian kelompok:

1. Akuntan (Pendidik dan Publik)

2. Mahasiswa Jurusan Akuntansi

 

 

 

 

 

Hasil ANOVA

 

 

 

Hipotesis

 

 

 


 

 

 

Terima H1


 

 

Tolak H1

Gambar 2.1

Rerangka Teoritis

 

 

 


 

3.     METODA PENELITIAN

Metodologi merupakan cara kerja untuk dapat memahami hal yang menjadi

sasaran penelitian yang bersangkutan, meliputi prosedur penelitian dan teknik

penelitian (Hasan, 2002). Metoda dan teknik penelitian merupakan komponen

yang paling penting dalam suatu penelitian. Metoda merupakan keseluruhan

langkah ilmiah yang digunakan untuk menemukan solusi atas suatu masalah

(Silalahi, 2009). Sedangkan metoda penelitian itu sendiri dapat didefinisikan

sebagai suatu prosedur yang digunakan untuk mencapai tujuan akhir (Sulistyo & Basuki, 2006).

3.1 Jenis dan Pendekatan Penelitian

3.1.1 Jenis Penelitian

Penelitian yang ditujukan untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan

persepsi antara akuntan publik, akuntan pendidik, dan mahasiswa akuntansi

terhadap kode etik Ikatan Akuntan Publik dilakukan dengan menggunakan

rancangan jenis penelitian kuantitatif. Penelitian kuantitatif adalah pendekatan

terhadap kajian empiris untuk mengumpulkan, menganalisa, dan menampilkan

data dalam bentuk numerik daripada naratif (Given, 2008). Studi empiris sendiri

adalah penelitian yang diadakan untuk mendapatkan bukti atau fakta-fakta secara

murni dan sebenarnya tentang gejala-gejala atas permasalahan yang timbul

(Husein, 2003). Sedangkan menurut Cooper & Schindler (2006), riset kuantitatif

mencoba melakukan pengukuran yang akurat terhadap sesuatu.

3.1.2 Pendekatan Penelitian

Pendekatan penelitian yang digunakan adalah pendekatan studi kasus-

hypothesis testing dengan menggunakan statistik inferensial multi diskriminan.

Tujuan studi kasus adalah mengkaji secara intensif latar belakang, status terkini,

dan interaksi unit-unit sosial (individu, kelompok, lembaga, atau komunitas)

dengan lingkungannya. Menurut Isaac & Michael (1982), studi kasus merupakan

investigasi mendalam atas unit sosial tertentu yang menghasilkan sebuah

gambaran lengkap dan tertata baik dari unit sosial tersebut. Cakupan gambaran itu

tergantung pada tujuan-tujuan penelitiannya.

Kasus dipilih mungkin karena dramatis, bukannya bersifat khas; atau karena

kasusnya cocok dengan prakonsepsi peneliti. Tafsiran subyektif mempengaruhi

hasil penelitian; hal ini terjadi karena penilaian-penilaian selektif peneliti

menentukan aliran data, atau menentukan tinggi rendahnya signifikansi data, atau

penempatan data pada satu konteks daripada konteks lainnya.

Inferensi adalah salah satu bagian penting dalam pengembangan ilmu karena

inferensi menyediakan rata-rata (mean) untuk menggambarkan kesimpulan-

kesimpulan dari data yang dipengaruhi oleh variasi acak. Statistik inferensial

adalah pola-pola dalam data yang dapat dimodelkan sedemikian rupa sehingga

dapat menjelaskan keacakan (randomness) dan ketidakpastian (uncertainty) dalam

observasi, dan kemudian digunakan untuk menggambarkan inferensi-inferensi

tentang proses atau populasi yang diteliti (Miller, 1991).

3.2 Populasi dan Sampel

Populasi adalah wilayah generalisasi yang mempunyai kuantitas dan karakter

tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik

kesimpulan (Sugiyono, 2000). Populasi penelitian ini adalah akuntan publik,

akuntan pendidik, dan mahasiswa jurusan akuntansi yang ada di kota Malang.

Sedangkan sampel adalah kelompok kecil yang diamati dan merupakan bagian

dari populasi, sehingga sifat dan karakteristik populasi juga dimiliki oleh sampel

(Indriantoro & Supomo, 1999). Sampel penelitian ini adalah akuntan publik,

akuntan pendidik, dan mahasiswa akuntansi dengan kriteria sampel sebagai berikut.

1. Akuntan publik, merupakan akuntan yang bekerja pada Kantor Akuntan

Publik (KAP) di kota Malang yang telah memiliki pengalaman mengaudit

minimal satu tahun.

2. Akuntan pendidik, merupakan akuntan yang mengajar pada jurusan

akuntansi pada perguruan tinggi negeri dan swasta yang berada di Kota Malang.

3. Mahasiswa akuntansi, merupakan mahasiswa yang mengambil jurusan

akuntansi Program Sarjana S1 pada perguruan tinggi negeri dan swasta di

kota Malang yang sedang atau telah mengambil mata kuliah Auditing dan

Etika Bisnis. Alasannya adalah karena pada mata kuliah tersebut, materi

etika telah diperkenalkan.

Alasan pemilihan sampel akuntan publik dan akuntan pendidik karena kedua

jenis pekerjaan tersebut berhubungan dengan penugasan audit yang diatur dalam

Kode Etik Akuntan, akuntan publik merupakan pihak yang secara khusus

diatur dalam Kode Etik Akuntan dan akuntan pendidik merupakan pihak yang

mengajarkan mata kuliah yang mengandung muatan Kode Etik Akuntan, yang

sekaligus bisa juga sebagai pelaksana penugasan audit. Sedangkan alasan

pengambilan sampel untuk mahasiswa akuntansi karena mereka merupakan cikal

bakal akuntan yang sedang dipersiapkan agar dapat memahami Kode Etik

Akuntan sejak dini, sehingga nantinya Kode Etik tersebut dapat diterapkan dalam

pekerjaannya sebagai akuntan kelak. Teknik pemilihan sampel yang digunakan

adalah purposive sampling, yaitu pengambilan sampel yang bersifat tidak acak,

dimana            sampel dipilih  berdasarkan     pertimbangan-pertimbangan   tertentu

(Singarimbun & Masri, 1995).

Karena keterbatasan waktu dan biaya, serta banyaknya jumlah populasi

akuntan pendidik dan mahasiswa akuntansi maka penulis mengambil sampel

berdasarkan jumlah sampel besar (n > 30), yaitu sejumlah 100 kuesioner guna

melakukan pengujian apakah terdapat perbedaan atau tidak.

3.3 Data Penelitian

3.3.1 Jenis dan Sumber Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data subyek (self-report

data), yaitu jenis data yang berupa opini, sikap, pengalaman, atau karakteristik

dari seorang atau sekelompok orang yang menjadi subyek penelitian (responden)

(Indriantoro & Suipomo, 2002).

Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer (primary

data), yaitu sumber data yang diperoleh secara langsung dari sumber asli (tidak

melalui media perantara). Data primer diperoleh melalui kuesioner secara dua

cara, pertama personal (personally administered questionaries) kepada masing-

masing responden, yaitu dalam hal ini peneliti berhubungan langsung dan

memberikan penjelasan seperlunya, kemudian kuesioner dapat langsung

dikumpulkan setelah selesai dijawab oleh responden (Indriantoro & Suipomo,

2002). Dan kedua, lewat perantara teman untuk membagikan kuesioner tersebut.

3.3.2 Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian kuantitatif ini

dikumpulkan melalui survei dengan mengisi kuesioner yang dibagikan kepada

responden. Menurut Husein (2009), kuesioner merupakan suatu pengumpulan

data dengan memberikan atau menyebarkan daftar pertanyaan atau pernyataan

kepada responden dengan harapan memberikan respon atas daftar pertanyaan tersebut.

Kuesioner yang diajukan kepada responden berupa daftar pertanyaan tertutup

(closed question), yaitu pertanyaan yang dibuat sedemikian rupa sehingga

responden dibatasi untuk membuat pilihan di antara serangkaian alternatif saja.

Operasional penyebaran kuesionernya dilakukan dengan didistribusikan secara

langsung (mendatangi dan bertemu langsung dengan responden), baik untuk

akuntan pendidik maupun mahasiswa akuntansi.

3.4 Definisi dan Pengukuran Operasional Variabel

Variabel dari penelitian ini adalah persepsi Kode Etik Akuntan sebagai

variabel tunggal. Persepsi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1995) adalah

tanggapan (penerimaan) secara langsung dari sesuatu atau merupakan proses

seseorang mengetahui beberapa hal melalui panca inderanya. Sedangkan Kode

Etik Akuntan adalah norma perilaku yang mengatur hubungan antara akuntan

dengan kliennya, antara akuntan dengan sejawatnya, dan antara profesi dengan

masyarakat (Sihwahjoeni & Gudono, 2000).

Konstruksi yang membentuk variabel penelitian diambil dari delapan prinsip

etika dalam Kode Etik Akuntan yang ditetapkan pada Kongres VII Ikatan

Akuntan Indonesia di Jakarta pada tahun 1998 yaitu tanggung jawab profesi,

kepentingan publik, integritas dan obyektivitas, kompetensi dan profesionalisma,

kerahasiaan, dan standar teknis. Masing-masing dimensi yang membentuk Kode

Etik Akuntan tersebut akan diwakili oleh serangkaian pernyataan yang diadopsi

dari kuesioner Hendarto (2003) yang dikembangkan lebih lanjut.

Skala yang digunakan dalam penyusunan kuesioner penelitian ini adalah skala

ordinal atau skala LIKERT, yaitu skala yang digunakan untuk mengukur sikap,

pendapat, dan persepsi seseorang atau sekelompok orang tentang fenomena sosial

(Sugiyono, 2003). Sewaktu menanggapi pertanyaan dalam skala likert, responden

menentukan tingkat persetujuan mereka terhadap suatu pernyataan dengan

memilih salah satu dari pilihan yang tersedia.

Skala dalam penelitian ini berisi empat tingkat jawaban yang merupakan skala

jenis ordinal (Ghozali, 2001). Dalam skala likert ini, peneliti menghilangkan

alternatif pilihan netral (tidak pasti), hal tersebut untuk menghilangkan keragu-

raguan karena peneliti menghendaki alternatif pilihan yang pasti. Dari 34 item

pernyataan yang diajukan dibagi dalam dua kelompok pernyataan yang dapat

dilihat pada tabel 3.1.

Tabel 3.1 Kelompok Pernyataan dan Penilaian Pernyataan

Kelompok

Nomor Pernyataan

Penilaian Pernyataan

Keterangan

Pernyataan positif

I.          1,2,3,4

 

II. 1,2,3,4

 

III. 2,3,4,5,6,7,8,9,10 IV. 1,2,4

V. 1,2,3,4,5,6 VI. 1,2,3,4,5

 

 

STS = 1 TS = 2 S      = 3 SS = 4

 

 

 

 

 

STS = Sangat Tidak Setuju

 

TS = Tidak Setuju S  = Setuju

SS = Sangat Setuju

Pernyataan

 

negatif

III. 1,11

 

IV. 3

STS = 4

 

TS = 3

 

S          = 2

 

SS = 1

Sumber: Metodologi Penelitian (Sedarmayanti & Syarifudin, 2002).

Untuk dimensi tanggung jawab profesi diwakili oleh empat pertanyaan

sehingga range teoritisnya berkisar antara 4 sampai 20, kepentingan publik

diwakili oleh empat pertanyaan sehingga range teoritisnya berkisar antara 4

sampai 20, dimensi integritas dan objektivitas diwakili oleh 11 pertanyaan

sehingga range teoritisnya berkisar antara 11 sampai 55, dimensi kerahasiaan

diwakili oleh empat pertanyaan sehingga range teoritisnya berkisar 4 sampai 20,

dimensi kompetensi dan perilaku profesional diwakili oleh enam pertanyaan

sehingga range teoritisnya berkisar antara 6 sampai 30, dan dimensi standar teknis

diwakili oleh lima pertanyaan sehingga range teoritisnya berkisar antara 5 sampai

25. Sedangkan untuk range teoritis total berkisar antara 34 sampai 170.

3.5 Analisis Data

3.5.1 Uji Kualitas Data

Sekumpulan data yang akan digunakan dalam penelitian ini terlebih dahulu

dilakukan uji validitas dan uji reliabilitas. Tujuannya adalah untuk mengetahui

sejauh mana data penelitian dapat diteruskan dan layak untuk dilakukan penelitian

lebih lanjut (Renyowijoyo, 2005).

a. Uji Validitas

Mengingat pengumpulan data dilakukan dengan kuesioner, maka kualitas

kuesioner dan kesanggupan responden dalam menjawab pertanyaan

merupakan hal yang sangat penting dalam penelitian ini. Apabila alat yang

digunakan dalam proses pengumpulan data tidak valid, maka hasil

penelitian yang diperoleh tidak mampu menggambarkan keadaan yang

sebenarnya. Oleh karena itu dalam penelitian akan dimulai dengan

pengujian validitas dan reliabilitas terhadap daftar pertanyaan yang

digunakan dalam kuesioner.

Validitas suatu instrumen menunjukkan suatu alat ukur yang dapat

mengukur sejauh mana kebenaran alat itu untuk mengukur sesuatu yang

diperlukan, atau seberapa kesahihannya (Mardalis, 2009). Suatu kuesioner

dikatakan        valid    jika      pertanyaan       pada    kuesioner         mampu            untuk

mengungkapkan sesuatu yang diukur oleh kuesioner tersebut. Jadi

validitas ingin mengukur apakah apakah pertanyaan dalam kuesioner yang

sudah kita buat betul-betul dapat mengukur apa yang hendak kita ukur

(Ghozali, 2002). Model pengujian menggunakan pendekatan Pearson

Correlation untuk menguji validitas pernyataan kuesioner yang disusun

dalam bentuk skala. Perhitungan ini akan dilakukan dengan bantuan

komputer program SPSS 20 (Statistical Package for Social Scince).

Signifikansi Pearson Correlation yang dipakai adalah 0,05. Apabila nilai

signifikan lebih kecil dari 0,05 maka butir pertanyaan tersebut valid dan

apabila nilai signifikannya lebih besar dari 0,05 maka butir pertanyaan

tersebut tidak valid (Ghozali, 2005).

b. Uji Reliabilitas

Reliabilitas atau keterandalan suatu instrumen sebagai alat ukur

dimaksudkan untuk mengetahui sejauh mana kebenaran alat ukur tersebut

cocok digunakan sebagai alat ukur untuk mengukur sesuatu (Mardalis,

2009). Reliabilitas instrumen diperlukan untuk mendapatkan data sesuai

dengan tujuan pengukuran. Uji reliabilitas adalah alat untuk mengukur

suatu kuesioner yang merupakan indikator dari variabel atau konstruk.

Suatu kuesioner dikatakan reliabel atau andal jika jawaban seseorang

terhadap pernyataan adalah konsisten atau stabil dari waktu ke waktu. Uji

realbilitas dilakukan terhadap pernyataan-pernyataan yang sudah valid

untuk mengetahui sejauh mana hasil pengukuran tetap konsisten apabila

dilakukan pengukuran ulang pada kelompok yang sama dengan alat ukur

yang sama. Cara menghitung tingkat reliabilitas suatu data yaitu

menggunakan rumus Crobach’s Alpha (Azwar, 1997). Koefisien

Cronbach Alpha yang lebih besar dari 0,6 menunjukkan keandalan

(reliabilitas) instrumen, namun jika nilai Cronbach Alpha lebih kecil dari

0,6 maka jawaban dalam kuesioner tersebut dikatakan tidak reliabel

(Ghozali, 2005).

3.5.2 Uji Asumsi Klasik

Analisis berikutnya adalah menguji persyaratan alat uji hipotesis. Uji asumsi

ini meliputi uji normalitas sebaran dan uji homogenitas varians. Pengujian ini

dilakukan sesuai dengan model analisis yang akan digunakan dalam pengujian

hipotesis yaitu ANOVA dan Independent Sample t-test yang mensyaratkan data

terdistibusi normal dan varian kelompok homogen.

a. Uji Normalitas

Pengujian normalitas sebaran dilakukan untuk mengetahui bahwa data

yang dianalisis memenuhi kriteria sebaran normal (distribusi normal).

Data yang baik dan layak untuk membuktikan model-model penelitian

tersebut adalah data yang memiliki distribusi normal. Uji asumsi

normalitas data dalam penelitian ini dilakukan dengan One Sample

Kolmogorov-Smirnov Goodness of Fit Test dengan menggunakan tingkat

alpha 5%. Dasar pengambilan keputusan dilihat dari tingkat signifikan

dengan ketentuan jika nilai signifikannya yang dihasilkan lebih kecil dari

nilai signifikan yang telah ditetapkan sebesar 0,05, hal ini berarti data

terdistribusi secara tidak normal. Jika nilai signifikan lebih besar dari 0,05

maka distribusi data adalah normal (Singgih, 2002).

b. Uji Homogenitas

Uji homogenitas dimaksudkan untuk memperlihatkan bahwa dua atau

lebih kelompok data sampel berasal dari populasi yang memiliki varians

yang sama. Uji homogenitas pada uji perbedaan dimaksudkan untuk

menguji bahwa setiap kelompok yang akan dibandingkan memiliki

variansi yang sama. Dengan demikian perbedaan yang terjadi dalam

hipotesis benar-benar berasal dari perbedaan antara kelompok (Ghozali,

2005). Uji homogenitas data dalam penelitian ini dilakukan dengan

melihat nilai dari Test of Homogenity of Variances. Dasar pengambilan

keputusan dilihat dari tingkat signifikan dengan ketentuan jika nilai

signifikannya yang dihasilkan lebih kecil dari 0,05, hal ini berarti data

tersebut heteroskedastisitas. Jika nilai signifikan lebih besar dari 0,05

maka data tersebut aman (homogen).

3.6 Uji Hipotesis

Analisis utama adalah pengujian hipotesis. Untuk pengujian hipotesis

dilakukan dengan menggunakan alat analisis statistik ANOVA dengan

menggunakan bantuan program Statistical Packages for Social Science (SPSS)

karena sampel yang diuji terdiri dari tiga kelompok yang saling independen dan

bertujuan untuk menguji apakah rata-rata tiga atau lebih populasi berbeda, jika

populasi didistribusikan normal dengan varians yang sama dan masing-masing

sampel independen. Ada dua tahapan analisis yang dilakukan dalam uji beda:

a. Pertama, dengan uji F.

b. Kedua, H01 diterima bila F hitung < F tabel.

3.7 Tahapan Penelitian

Penelitian dilakukan melalui tahapan sebagai berikut.

1. Pengumpulan data

Pengumpulan data terdiri dari prosedur pengumpulan, yaitu menggunakan

kuesioner yang disebar secara langsung kepada responen yang

bersangkutan; sikap dan motivasi; memperhatikan kesahihan (validitas)

dan keandalan suatu data.

2. Pengolahan data

a. Editing, yaitu meneliti data yang diperoleh dari hasil pembagian

kuesioner, untuk melihat apakah catatan-catatan tersebut sudah tertata

baik dan siap untuk proses selanjutnya.

b. Coding, yaitu upaya mengklasifikasikan jawaban-jawaban dari para

responden menurut macamnya. Klasifikasi ini dilaksanakan dengan

memberi tanda pada masing-masing jawaban.

c. Tabulating, yaitu proses penyusunan data ke dalam bentuk tabel. Jika

sudah pada tahap ini maka dapat dilanjutkan serangkaian proses

analisis yang diperlukan.

3. Analisis data

Analisis data dilakukan dengan menyederhanakan hasil olahan data agar

mudah dibaca dan diinterpretasi. Pada penelitian kuantitatif dilakukan

dengan analisis statistik.

4. Penafsiran hasil analisis

Hasil analisis data ditafsirkan dengan kalimat yang mudah dimengerti oleh

para pembaca, sesuai dengan hasil statistik yang ada.

5. Kesimpulan

Tahap akhir ini berisi tentang sintesis semua aspek yang dibahas,

membandingkan hasil dengan penelitian terdahulu, pengkajian implikasi

penelitian, dan juga rekomendasi atau saran yang dapat diberikan untuk

penelitian selanjutnya.

 

DAFTAR PUSTAKA

Azwar, Saifuddin. 1997. Reliabilitas dan Validitas, ed. 3. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

Desriani, Rahmi. 1993. Persepsi Akuntan terhadap Kode Etik Akuntan Indonesia. Thesis S-2, Program Pasca Sarjana, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta.

Ghozali, Imam. 2001. Aplikasi Analisis Multivariate dengan Program SPSS. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro.

Hendarto, Alex. 2003. Persepsi Akuntan Publik terhadap Kode Etik Ikatan Akuntan Indonesia, Skripsi S-1, Program Sarjana, Universitas Diponegoro, Semarang.

Indriantoro, Nur dan Bambang Supomo. 2002. Metodologi Penelitian Bisnis untuk Akuntansi dan Manajemen. Yogyakarta : BPFE.

Jusup, Al Haryono. 2001. Auditing (Pengauditan). Yogyakarta : STIE YKPN.

Kustituanto, Bambang. 1994. Statistika untuk Ekonomi dan Bisnis. Yogyakarta : BPFE.

Levin .I, Richard and David S. Rubin. 1998. Statistic for Management, 7th Edition, Prentice Hall.

Ludigdo, Machfoedz. 1999. Pengaruh Jenis Kelamin terhadap Etika Bisnis: Studiterhadap Persepsi Akuntan dan Mahasiswa Akuntansi, Simposium Nasional Akuntansi II IAI-KAPd September.

Mulyadi. 1992. Pemeriksaan Akuntan, ed. 4. Yogyakarta : STIE YKPN.

Robbins, Stephen P. 2002. Prinsip-Prinsip Perilaku Organisasi, ed. 5. Jakarta : Erlangga.

Salim, Peter dan Yenny Salim. 1991. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Modern English Press.

Santosa, Kanto. 2002. Dampak Kebangkrutan Enron terhadap Citra Profesi Akuntan Publik. Media Akuntansi, Edisi 25/April/Th.IX/2002, Jakarta.

Sihwahjoeni dan M.Gudono. 2000. Persepsi Akuntan terhadap Kode Etik.

Singarimbun, M. Dan Sofyan E. 1995. Metode Penelitian Survei, Jakarta : LP3ES.

Stevens, Robert E., O.J. Harris dan S. Williamson. 1993. A Comparation of Ethical Evaluations of Business School Faculty and Students : A PilotStudy, Journal of Business Ethics 12 : 611-619.

Subroto, Bambang. 2001. Kode Etik Akuntan dan Kepatuhan Akuntan terhadap Kode Etik, urnal Ekonomi dan Manajemen, Vol.2, No.2, Desember 2001 : 155-166.

Sugiyono. 2000. Metodologi Penelitian Bisnis, ed. 2, Bandung : CV. Alfa Beta.

Sulistyanto, Sri dan Clara Susilawati. 2000. Pedoman Penulisan Skripsi,Semarang: Universitas Katolik Soegijapranata.

Tim Penyusun Kamus Pusat Pembina dan Pengembangan Bahasa. 1995. KamusBesar Bahasa Indonesia, ed. 2, Departemen Pendidikan danKebudayaan, Balai Pustaka.

Walgito, Bimo. 1997. Pengantar Psikologi Umum, Yogyakarta : Andi Offset.

Ward, Suzanne Dinac, D.R. Ward dan A.B. Deck. 1993. Certified Publics Accountans ; Ethical Perception Skill and Attitudes on Ethics Education, Journal of Business Ethics 12 : 600-610.

Winarna, Jaka dan Ninuk Retnowati. 2003. Persepsi Akuntan Pendidik, Akuntan Publik dan Mahasiswa Akuntansi terhadap Kode Etik Ikatan Akuntan Indonesia, Simposium Nasional Akuntansi VI IAI KAPd Oktober.

Tidak ada komentar: